Anda di halaman 1dari 106

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS JAMINAN

KESEHATAN MAKANAN PADA KANTIN SMP NEGERI 17 MEDAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

JINGGA NEMEESES SIMANJUNTAK

160200576

PROGRAM STUDI
ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS JAMINAN

KESEHATAN MAKANAN PADA KANTIN SMP NEGERI 17 MEDAN

i
SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:

JINGGA NEMEESES SIMANJUNTAK


160200576

Disetujui Oleh:
Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum

Dr. Yefrizawati S.H., M.Hum


NIP. 197512102002122001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Syamsul Rizal S.H., M.Hum


Dr. Dedi Harianto S.H., M.Hum NIP. 196402161989111001
NIP. 196908201995121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2023

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

ii
Saya yang bertandatangan dibawah ini:

NAMA : JINGGA NEMEESES SIMANJUNTAK

NIM : 160200576

DEPARTEMEN : HUKUM PERDATA (BW)

JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN


ATAS JAMINAN KESEHATAN MAKANAN
PADA KANTIN SMP NEGERI 17 MEDAN

Dengan ini menyatakan:

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari

skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terjadi dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan seharusnya tanpa paksaan atau tekanan

dari pihak manapun.

Medan, ….

Jingga Nemeeses Simanjuntak

160200576

iii
ABSTRAK
Ris Wahyuni Tamba 
Dedi Harianto****
Syamsul Rizal******
Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu dibutuhkan untuk membeli atau
membayar atas setiap transaksi yang dilakukan. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut tidak sedikit masyarakat melakukan peminjaman untuk memenuhi
kebutuhan hidup. perusahaan gadai menjadi salah satu bisnis yang membantu
kepentingan masyarakat seperti PT. Berkat Gadai Sumatera. Perusahaan gadai
bertujuan memberi pinjaman dana kepada masyarakat dengan prosedur yang lebih
mudah atau sederhana sehingga tidak terikat atau terjebak dengan menggunakan
jasa lembaga keuangan ilegal. Namun dalam pelaksanaannya tidak jarang muncul
permasalahaan terkait barang yang dibuat dalam jaminan saat transaksi Gadai
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Permasalahannya adalah
pengaturan perlindungan konsumen dalam hal hilang atau rusaknya barang
sebagai obyek jaminan gadai, bentuk perlindungan bagi konsumen pengguna jasa
gadai dalam hal hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai pada
PT. Berkat Gadai Sumatera, pertanggungjawaban hukum PT. Berkat Gadai
Sumatera dalam hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Sifat
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Jenis datanya adalah data
sekunder dan tersier yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, penelitian
ini memiliki sifat deskriptif. Penulisan penelitian melalui peraturan-peraturan dan
bahan hukum yang berhubungan dengan penulisan ini, dalam penelitian
melakukan studi lapangan di PT. Berkat Gadai Sumatera yang fungsinya untuk
mengkonfirmasi bahan hukum sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan pengaturan mengenai pegadaian serta
pertanggungjawaban atas hilang atau rusaknya obyek barang Gadai sudah diatur
sedemikian rupa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Perlindungan
Konsumen, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan serta adanya Peraturan Pemerintah
mengenai Pegadaian. PT. Berkat Gadai Sumatera sebagai salah satu lembaga
keuangan dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan perlindungan
terhadap konsumen pengguna jasa pegadaian dan akan memberikan perlindungan
baik secara represif maupun prefentif. Pertanggungjawaban dalam pelaksanaan
gadai juga memungkinkan untuk apabila ditemukan permasalahan dapat
dimintakan pertanggungjawaban baik secara Perdata, Pidana maupun secara
Administrasi Negara jika memenuhi unsur.

Kata Kunci: Gadai, Hukum, Perlindungan Konsumen


Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
****
Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
******
Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala limpahan berkat dan karunia-Nya yang begitu besar, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan tugas

akhir bagi penulis sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan program studi S-

1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi yang

penulis angkat adalah “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Jaminan

Kesehatan Makanan Pada Kantin SMP Negeri 17 Medan “.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapat banyak bimbingan,

bantuan, dukungan serta doa dari berbagai pihak sehingga semua hal berjalan

dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara;

2. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Dr. Agusmidah S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Yefrizawati S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

v
7. Ibu Dr. Afilla S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Detania Sukarja …., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah

membimbing penulis di setiap semester;

9. Bapak Dr. Dedi Harianto S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang

telah membimbing penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini;

10. Bapak Dr. Dedi Harianto S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

telah membimbing penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini;

11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya

yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh perkuliahan

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Bapak/Ibu Staff Administrasi dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah membantu penulis selama proses perkuliahan

selama ini;

13. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia ( GMKI ) Komisariat Fakultas Hukum

Sumatera Utara yang membantu dan memberikan dukungan dalam proses

perkuliahan;

14. Segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak

langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas

doa dan dukungan semangat yang telah diberikan.

Terkhusus kepada orangtua penulis, Bapak Saud Simanjuntak dan Mama

Rommy Sinambela, serta seluruh keluarga yang tidak henti-hentinya memberikan

doa, kasih sayang, motivasi, semangat, untuk penulis dalam setiap proses

menyelesaikan perkuliahan.

vi
Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput

dari kekurangan dan ketidaksempurnaan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan

hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna

menuju tulisan kearah yang lebih baik. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat

bagi siapapun yang memerlukan. Atas segala perhatiannya penulis ucapkan terima

kasih.

Medan, 24 Mei 2023

Penulis,

Ris Wahyuni Tamba

180200081

15.

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK.............................................................................................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iv
DAFTAR ISI........................................................................................................vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................8
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................8
D. Manfaat Penulisan...........................................................................................9
E. Keaslian Penulisan.........................................................................................10
F. Tinjauan Kepustakaan...................................................................................12
G. Metode Penelitian..........................................................................................14
H. Sistematika Penulisan....................................................................................20
BAB II : PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM
MENGONSUMSI MAKANAN DAN MINUMAN YANG
DIPASARKAN DI KANTIN SMP NEGERI 17 MEDAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen...............................21
1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen........................................21
2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
3. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

B. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha......................................................32


1. Pengertian Konsumen..............................................................................33
2. Pengertian Pelaku Usaha..........................................................................34
C. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Apabila Barang Jaminan Obyek
Gadai Hilang atau Rusak Pada PT Berkat Gadai Sumatera..........................35
1. Hak dan Kewajiban sebagai Konsumen
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

D. Pengaturan Perlindungan Konsumen dalam mengonsumsi makanan dan


minuman yang dipasarkan di kantin sekolah

BAB III : PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN


DALAM MENGONSUMSI MAKANAN DAN MINUMAN YANG
DIPASARKAN DI KANTIN SMP NEGERI 17 MEDAN
A. Pelaksanaan Perlindungan Kepada Konsumen Dalam Mengonsumsi
Makanan Dan Minuman Yang Dipasarkan Di Kantin SMP Negeri 17 Medan
Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Yan...........................................54g Berlaku

viii
1. Pengelolaan Kantin SMP Negeri 17 Medan
2. Upaya Untuk Memberikan Perlindungan Kepada Konsumen Dalam
Mengonsumsi Makanan dan Minuman di Kantin SMP Negeri 17 Medan
Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Yang Berlaku

B. Ta......70nggung Jawab Pelaku Usaha Kantin SMP Negeri 17 Medan Kepada


Konsumen
1. Pengertian Tanggung Jawab
2. Prinsip-prinsip Pertanggungjawaban

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PT. BERKAT GADAI


SUMATERA DALAM HILANG ATAU RUSAKNYA BARANG
SEBAGAI OBYEK JAMINAN GADAI
A. Beberapa hambatan75 Dalam Memberikan Perlindungan Kepada Konsumen
Dalam Mengonsumsi Makanan dan Minuman yang Dipasarkan di Kantin
SMP Negeri 17 Medan
1. Hambatan Internal
2. Hambatan Eksternal

B. Solusi da...........90lam Memberikan Perlindungan Kepada Konsumen dalam


Mengonsumsi Makanan dan Minuman yang Dipasarkan di Kantin SMP
Negeri 17 Medan
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan....................................................................................................94
B. Saran..............................................................................................................95
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................97

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional dan perkembangan perekonomian tidak dapat

terlepas dari bagaimana masyarakat hidup di dalam suatu negara. Apabila

masyarakat hidup dengan sejahtera dan berkecukupan, maka dapat dikatakan

bahwa pembangunan perekonomian negara tersebut sangat merata. Salah satu

indikator dalam melihat taraf perekonomian dari suatu negara adalah jumlah dan

kemampuan transaksi yang dilakukan oleh masyarakat negara tersebut.

Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu dibutuhkan untuk membeli atau

membayar atas setiap transaksi yang dilakukan.1 Terkadang yang menjadi

persoalan ialah kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang

yang dimiliki.2 Jika sudah demikian, maka mau tidak mau hasrat setiap orang

untuk membeli berbagai keperluan yang dianggap kurang penting harus dikurangi,

namun untuk keperluan yang sangat penting tentu harus dipenuhi dengan berbagai

cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada.3

Maka dari itu diterapkan berbagai kemudahan dan penyederhanaan baik

pengaturan maupun pelaksanaan mengenai cara mendapatkan dana dari berbagai

sumber dana yang dimaksud. Khususnya yang berkaitan dengan permodalan,

maka peranan lembaga keuangan bank maupun bukan bank (non bank) bahkan

1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.
230
2
Ibid
3
Ibid

1
2

lembaga perkreditan sangat diperlukan sekali dalam rangka menunjang

masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi.4

Peranan yang penting terhadap perekonomian nasional, lembaga keuangan

bukan bank memiliki jenis-jenis yang berbeda, meliputi pasar modal, asuransi,

dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain. Khusus

untuk lembaga jasa keuangan lain terdiri dari lembaga penjaminan kredit, lembaga

penjaminan infrastruktur, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI),

lembaga pembiayaan sekunder perumahan, pegadaian, Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).5

Sebagai salah satu lembaga keuangan bukan bank, perusahaan gadai

menjadi salah satu bisnis yang membantu kepentingan masyarakat dimana dalam

perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini tingkat kebutuhan ekonomi

semakin meningkat. Kebutuhan hidup dengan pendapatan yang diterima

masyarakat kadang kala jauh berbeda. Pendapatan yang diterima seseorang

kadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga harus

mencari jalan agar kebutuhan ekonomi dapat dipenuhi. Terkadang yang menjadi

persoalan ialah kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang

yang dimiliki.

Perusahaan gadai bertujuan memberi pinjaman dana kepada masyarakat

dengan prosedur yang lebih mudah atau sederhana sehingga masyarakat tidak

4
Mutiara Islami, Candra, Rahmi, Aspek Hukum atas Rusaknya Barang Jaminan di PT.
Pegadaian (Persero) dan Perlindungan Hukumnya, Humani (Hukum dan Masyarakat Madani)
Volume 11, hlm. 193
5
Prof. Carunia Mulya Firdausy, MADE, Ph.D., APU, “Peran Industri Keuangan Non
Bank Terhadap Perekonomian Nasional”, https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_tim/buku-tim-
public-98.pdf, diakses pada Senin 25 April 2022, Pukul 13:00 WIB
3

terikat atau terjebak dengan menggunakan jasa lembaga keuangan ilegal seperti

bank gelap, tukang ijon, rentenir dan sebagainya.

Berdasarkan laporan dari Ketua Umum Perkumpulan Perusahaan Gadai di

Indonesia (PPGI) sekaligus Direktur Pemasaran dan Pengembangan Produk PT

Pegadaian (Persero) Harianto Widodo mengatakan bahwa “bisnis gadai makin

ramai peminat ditengah tingginya kebutuhan dana segar oleh masyarakat, beliau

juga mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, perusahaan gadai bertambah

dan mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)’’6.

Tabel 1.1 Data Kuantitatif Perkembangan PT. Berkat Gadai Sumatera

Tahun 2021, 2020, 2019.

Dalam Jutaan Rupiah

Uraian 2021 2020 2019

Kas dan setara kas 138.573 172.838 325.092

Kredit yang diberikan 18.961.730 24.696.744 20.366.150

Jumlah asset 35.775.938 41.468.960 35.324.177

Utang kepada nasabah 56.728 315.010 97.050

Surat berharga yang diterbitkan 4.240.972 5.798.792 3.347.349

Jumlah liabilitas 19.516.937 26.865.344 22.263.867

Saldo laba yang telah 5.516.523 4.505.528 1.398.029

dicadangkan

Jumlah ekuita 11.259.001 9.603.616 8.060.310

Jumlah liabilitas dan ekuitas 30.775.938 36.468.960 30.324.177

Pendapatan usaha 5.808.210 6.545.041 4.948.638

6
https://bisnisindonesia.id/article/bisnis-gadai-makin-ramai-peminat, diakses pada Senin
25 April 2022, Pukul 15:00 WIB
4

Laba usaha 2.236.722 1.791.259 3.208.553

Laba bersih tahun berjalan 1.327.310 970.447 2.008.078

Hal ini dapat disimpulkan bahwa “secara kuantititas pertumbuhan bisnis

gadai sejalan dengan tingginya pengguna jasa gadai di Indonesia.”

Menurut Julius R. Latumaerissa, misi utama dari perusahaan gadai adalah

“menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang

ekonomi serta pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang

pinjaman atas dasar hukum gadai, kemudian mencegah pegadaian gelap, praktek

ijon, riba dan pinjaman tidak wajar lainnya.”7

Perusahaan gadai adalah “badan usaha milik negara maupun milik swasta

di Indonesia yang secara khusus memiliki izin dalam melaksanakan kegiatan

lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke

masyarakat atas dasar hukum gadai sesuai Pasal 1150 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata” yang berbunyi:

Gadai adalah :

suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang yang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan
untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana
harus didahulukan”8.

Salah satu bentuk pertumbuhan bisnis gadai yang ada di Indonesia yakni

dengan berdirinya banyak perusahaan gadai swasta, salah satunya adalah PT.

7
Julius R Latumaerissa, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2017), hlm. 596
8
Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:
Salemba Empat, 2008), hlm. 212
5

Berkat Gadai Sumatera dengan Nomor Izin Usaha Kep-170/NB.1/2020 yang

dikeluarkan pada 21 Desember 2020.

Kegiatan meminjam uang dengan cara menggadaikan barang, memiliki

konsekuensinya yakni barang yang digadaikan tersebut nantinya bisa dijaminkan

kepada perusahaan gadai untuk pelunasan suatu hutang gadai jika nanti pengguna

jasa gadai tidak mampu membayar uang yang telah dipinjam. Dari sini timbul

hubungan hukum antara perusahaan gadai dengan nasabah/masyarakat yang

mempunyai barang yang digadaikan.

Adapun jenis benda-benda yang dapat dijadikan jaminan di perusahaan

gadai adalah benda-benda bergerak, baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. 9

Penguasaan terhadap barang jaminan tersebut akan berlangsung sampai debitur

atau pengguna jasa gadai melunasi utangnya. Hak untuk menguasai barang

tersebut tidak meliputi hak untuk memakai barang yang dijaminkan. 10 Syarat

jaminan yang dapat diterima di perusahaan gadai merupakan barang yang

bergerak dan barang tersebut milik diri sendiri.11

Terdapat hal-hal yang menjadi permasalahan krusial dalam proses

pengadaian salah satunya adalah apabila dalam jangka waktu berlangsungnya

perjanjian gadai, dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri adanya berbagai

peristiwa atau kejadian yang dapat menimpa barang-barang jaminan tersebut.

Selama penyimpanan barang jaminan tersebut banyak hal-hal yang menyebabkan

barang jaminan mengalami kerusakan atau bahkan barang jaminan hilang.

Misalnya yang disebabkan kelalaian dari pihak perusahaan gadai atau barang

9
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 4
10
Sri Soedewi Maschjoen Sofyan, Hukum Jaminan di Indonesia. Pokok-pokok Hukum
Jaminan Perseorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2011), Cet.Ke 2, hlm. 98
11
Ibid
6

jaminan disimpan terlalu lama yang menyebabkan barang jaminan rusak, atau

karena kelalaian penyimpan barang. Oleh karenanya untuk menjamin hak-hak dari

pada nasabah perlu dilakukannya suatu perlindungan hukum.

Pengaturan mengenai hilang dan rusaknya barang jaminan diatur

berdasarkan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) yang berbunyi “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.”12

Pengaturan mengenai hilang dan rusaknya barang jaminan diatur

berdasarkan ketentuan Pasal 7 Huruf G Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “kewajiban Pelaku Usaha adalah

memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”13

Pengaturan mengenai hilang dan rusaknya barang jaminan diatur dalam

Poin 4 Surat Bukti Gadai (SBG) PT Berkat Gadai Sumatera yang berbunyi:

PT Berkat Gadai Sumatera akan memberikan ganti kerugian apabila barang


jaminan yang berada dalam penguasaan PT Berkat Gadai Sumatera
mengalami kerusakan atau hilang yang tidak disebabkan oleh suatu bencana
alam (Force Majure) yang ditetapkan oleh pemerintah. Ganti rugi diberikan
setelah diperhitungkan dengan uang pinjaman, sewa modal, dan biayanya
(jika ada), sesuai ketentuan penggantian yang berlaku di PT Berkat Gadai
Sumatera. 14
Pada April 2021 pernah terjadi kasus hilangnya barang jaminan pada PT

Berkat Gadai Sumatera yang beralamat di Jl. Jamin Ginting No. 275, Kelurahan

Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.

12
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1365
13
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 2
14
Surat Bukti Gadai (SBG), PT. Berkat Gadai Sumatera, Point 4
7

Barang jaminan yang hilang berupa handphone merk Iphone dan ditaksir nasabah

mengalami kerugian sekira Rp. 7.200.000,- (tujuh juta dua ratus rupiah).

Hilangnya barang jaminan disebabkan oleh adanya pencurian yang terjadi di

kantor PT Berkat Gadai Sumatera. Sebagai bentuk komitmen, PT Berkat Gadai

Sumatera memberikan ganti kerugian atas hilangnya barang jaminan tersebut.

Dalam setiap perjanjian gadai terdapat adanya ketentuan mengenai

pertanggungjawaban atas barang jaminan yang hilang. Hal ini dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 1157 ayat (1) KUH Perdata bahwa: “Si berpiutang adalah

bertanggungjawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar itu telah

terjadi kelalaiannya”.15

Adanya jaminan perlindungan hukum ini menjadi penting karena

perusahaan gadai didirikan dengan tujuan untuk membantu pemerintah untuk

meningkatkan pemerataan pembangunan, meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat dalam rangka mengurangi angka kemiskinan. Oleh

karena itu permasalahan yang telah dipaparkan mengenai perlindungan hukum

terhadap para nasabah apabila terhadap barang jaminannya mengalami kerusakan

atau bahkan kehilangan harus bisa diselesaikan dengan baik agar para pengguna

jasa gadai yang melakukan transaksi di perusahaan gadai benar-benar merasa

aman dan nyaman. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk

mengkaji masalah tersebut dengan mengambil judul “Aspek Hukum

Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Gadai Dalam Hal Hilang atau

Rusaknya Barang Jaminan Studi Pada PT. Berkat Gadai Sumatera”

15
Amalia, Y., F., & I Made, B., A., “Tanggung Jawab Kreditor Atas Hilangnya Barang
Gadai”, Jurnal Ilmu Hukum, Nomor 6 Volume 2 2014, hlm. 4
8

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya,

penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi

ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana pengaturan perlindungan konsumen dalam hal hilang atau

rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai ?

2. Bagaimana bentuk perlindungan bagi konsumen pengguna jasa gadai dalam

hal hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai pada PT.

Berkat Gadai Sumatera ?

3. Bagaimana pertanggungjawaban hukum PT. Berkat Gadai Sumatera dalam

hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan konsumen dalam hal hilang

atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai.

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan bagi konsumen pengguna jasa

gadai dalam hal hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai

pada PT. Berkat Gadai Sumatera.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum PT. Berkat Gadai Sumatera

dalam hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai.

D. Manfaat Penulisan
9

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat, baik

memberikan manfaat teoretis maupun manfaat praktis yang dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Secara Teoretis,

Adapun manfaat yang ingin dicapai penulis dari pembahasan skripsi ini

adalah:

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu

pengetahuan dan wawasan serta masukan pemikiran di bidang ilmu

pengetahuan hukum khususnya pengetahuan ilmu hukum tentang

aspek perlindungan konsumen.

b. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk kajian

lebih lanjut dan menjadi referensi pada penulisan lainnya serta

diharapkan dapat memberikan manfaat lebih dikemudian hari.

2. Secara Praktis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih

kepada masyarakat tentang hak dan perlindungan konsumen guna

menghindari terjadinya kerugian-kerugian pada masa yang akan

datang.

b. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan dorongan dan

manfaat para pembuat kebijakan dan penegak hukum untuk

penyempurnaan peraturan maupun kebijakan yang berkaitan dengan

perlindungan konsumen.
10

E. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Aspek Hukum Perlindungan

Konsumen Pengguna Jasa Gadai Dalam Hal Hilang Atau rusaknya Barang

Jaminan Studi Pada PT. Berkat Gadai Sumatera” dan penulisan ini tidak sama

dengan penulisan skripsi lainnya.

Penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-

asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka, sehingga penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk

kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan

permasalahan dalam penelitian ini. Lingkup keaslian penelitian meliputi Fakultas

Hukum di Perguruan Tinggi seluruh Indonesia

1. R. Suharto, Triyono, Joni Oktavianto, Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro (2016) dengan judul Tanggung Jawab PT. Pegadaian

(Persero) atas Kerusakan dan Kehilangan Barang Gadai di PT. Pegadaian

(Persero) Kota Semarang

Rumusan masalah :

a. Bagaimana akibat hukum dari perjanjian gadai di PT. Pegadaian

Persero kota Semarang?

b. Bagaimana tanggung jawab pihak pegadaian terhadap kerusakan atau

kehilangan barang yang digadaikan?

2. Firda Syaflina, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (2019) dengan

judul yang diangkat adalah Perlidungan Hukum Terhadap Nasabah

Pengadaian Berdasarkan Perjanjian Utang Piutang Dengan Jaminan

Gadai (Studi Pegadaian Unit Pelayaan Cabang Marpoyan).


11

Rumusan masalah :

a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan PT.

Pegadaian kepada nasabah pada utang piutang dengan jaminan

gadai?

b. Apa saja faktor penghambat dalam pemberian perlindungan hukum

PT. Pegadaian kepada nasabah pada perjanjian utang piutang dengan

jaminan gadai?

3. Agnes Esha Sonata, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

(2007) dengan judul Tanggung Jawab Perum Pegadaian Terhadap Obyek

Jaminan Gadai.

Rumusan masalah:

a. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak pada Perum Pegadaian?

b. Bagaimana pelaksanaan perjanjian gadai di Perum Pegadaian?

c. Bagaimana tanggung jawab Perum Pegadaian terhadap barang

jaminan yang hilang/rusak ?

4. Rizki Sukma Hapsari, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (2016)

dengan judul adalah Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Hal

Terjadi Kerusakan Atau Kehilangan Barang Jaminan di PT. Pegadaian

(Persero) Kota Madiun.

Rumusan masalah:

a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab PT. Pegadaian (Persero)

dalam hal terjadi kerusakan atau kehilangan barang yang dijaminkan

dalam perjanjian kredit dengan jaminan gadai di PT. Pegadaian

(Persero) kota Madiun?


12

b. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh nasabah jika terjadi

wanprestasi dari PT. Pegadaian (Persero) kota Madiun.

5. Nikmatul Masfufah, Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (2019),

dengan judul dalam penelitian ini adalah Tanggungjawab Kreditur Gadai

Terhadap Kerusakan atau Kehilangan Barang Yang Dijakan Oleh Objek

Gadai.

Rumusan masalah:

a. Apa penyebab terjadinya hilang atau rusaknya objek gadai?

b. Bagaimana tanggung jawab kreditur gadai?

c. Apa hambatan tanggung jawab kreditur?

Penulisan ini didasarkan dengan ide-ide, gagasan maupun pemikiran dari

awal hingga sampai akhir penulisan. Selain itu, penulisan skripsi didasarkan

kepada buku-buku yang berhubungan dengan pengaturan hukum pelayanan publik

di Indonesia. Perbedaan yang dimiliki dari penelitian ini dibandingkan dengan

peneliti terdahulu yang sudah disebutkan diatas yaitu dari fokus pembahasan.

Penelitian ini akan lebih jelas karena akan membahas pengaturan perlindungan

konsumen, bentuk perlindungan bagi konsumen dan pertanggungjawaban hukum

dalam hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai. Bila pun ada

pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata dipergunakan sebagai

faktor pendukung dan pelengkap karena hal tersebut sangat dibutuhkan untuk

menyempurnakan tulisan ini.

F. Tinjauan Kepustakaan
1. Gadai

Menurut Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

memberikan definisi gadai sebagai:


13

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau
seorang lain atas namanya, yang diberikan kekuasaan kekuasaan kepada
siberpiutang itu untuk didahulukan dari orang-orang berpiutang lainnya:
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang
telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan16
Dari definisi gadai tersebut di atas terkandung adanya beberapa unsur

pokok, yaitu:

a. Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang


jaminan kepada kreditor pemegang gadai;
b. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitur atau orang lain atas nama
debitur;
c. Barang yang menjadi objek gadai hanya barang bergerak, baik
bertubuh maupun tidak bertubuh;
d. Kreditur pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari
barang jaminan lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya. 17
2. Konsumen

Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen dalam Pasal 1 ayat 2 memberikan definisi Konsumen sebagai:

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyaraka
diperdagangkan.” 18

Pengertian Konsumen sesungguhnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

a.
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tuj
b.
Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk di
jasa lain atau untuk diperdagangkan;
c.
Konsumen – akhir, adalah setiap orang alami mendapatkan dan menggunakan barang d

16
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1150.
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm. 28.
18
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 2
14

19

3. Perlindungan Konsumen

Pasal 1 ayat 1 UU PK memberikan definisi tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.20

G. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan “suatu cara pencarian, bukan

hanya sekadar mengamati dengan teliti suatu objek”.21 Metode penelitian

merupakan “logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah”.22 Dalam

penulisan skripsi ini metode penelitian sangat diperlukan agar penelitian skripsi

menjadi lebih terarah dengan data yang dikumpulkan melalui pencarian-pencarian

data yang terhubung dengan permasalahan dalam skripsi ini. Metode penelitian

yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu “yuridis

normatif yang mengacu kepada norma- norma hukum yang ada pada Peraturan

Perundang- undangan, Kitab- Kitab Hukum, Putusan- putusan pengadilan dan

norma- norma hukum yang ada dalam masyarakat”.23 Penelitian dengan yuridis

19
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 3
20
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 1
21
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm. 28
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 6
23
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 105
15

diperuntukkan kepada “penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum,

serta taraf sinkronisasi hukum”24

Adapun sifat penulisan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum yang

bersifat deskriptif analitis, yaitu “dengan menggambarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek

pelaksanaan hukum positif yang berkaitan dengan permasalahan”.25

2. Metode Pendekatan

Pada penelitian hukum yang disusun secara normatif terdapat beberapa

pendekatan yang dapat digunakan yaitu:

a. Pendekatan Perundang-Undangan;

b. Pendekatan Konsep; 26

Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dapat diartikan

sebagai “pendekatan yang dilakukan dengan menelaaah undang-undang yang

berkaitan dengan isu hukum yang dijadikan topik pembahasan”. 27 Dalam

pendekatan ini perlu dipahami bahwa hierarki dan asas-asas dalam peraturan

perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Peraturan perundang-

undangan yang digunakan dalam penulisan ini terkait dengan aturan yang

mengatur konsep tentang perlindungan konsumen, konsep hak dan kewajiban

konsumen dan konsep penyelesaian permasalahan hukum.

24
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta:Sinar Grafika, 1996), hlm.3
25
Ronny Haniatjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: PT Ghalia
Indonesia, 1990), hlm. 97-98.
26
Johni Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia,
Publishing, 2007), hlm. 300
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pres, 2007), hlm. 93.
16

Pendekatan konsep (Conceptual Approach) dapat diartikan sebagai

“pendekatan yang dilakukan dengan mengumpulkan pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum yang dikemukakan oleh

para ahli”.28

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan pada setiap penelitian dapat terdiri dari data

primer dan data sekunder. Pengertian data primer menurut Sugiyono adalah

“sebuah data yang didapatkan dari sumber dan diberi kepada pengumpul data atau

peneliti”. Sedangkan data sekunder adalah “sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat

dokumen”.29 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Data sekunder adalah “data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh

orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada”. 30

Menurut Soerjono Soekanto data sekunder terdiri terdiri atas:31

a. Bahan hukum primer merupakan

“bahan hukum yang utama, sebagai bahan hukum yang bersifat autoritatif, ya
otoritas”,32
, Bahan hukum primer meliputi peraturan

perundang-undangan dan segala dokumen resmi memuat ketentuan

hukum.

Bahan hukum primer terdiri dari:


28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2005), hlm.
134.
29
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2017), hlm. 40
30
Hasan, M., Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya. (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 58
31
Soerjono, S., & Sri, M., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.13
32
Sunggono, B, Metode Penelitian Hukum, Cet 5, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), hlm. 67
17

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(“UU PK”)

3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha

Pergadaian (“POJK UP”)

4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 Tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (“POJK PKSJK”)

5) Surat Bukti Gadai (SBG);

6) Surat Kuasa Penjualan Barang Gadai.

b. Bahan hukum sekunder “ialah bahan yang memberikan penjelasan

megenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, pendapat

pakar hukum, dan lain-lain”.

c. Bahan hukum tersier ialah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah yang menjadi

tambahan bagi penulisan skripsi ini yang berkaitan dengan penelitian ini.33

4. Metode Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah Studi Kepustakaan (Library research): yaitu “studi kepustakaan dengan

mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan

ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berhubungan

dengan penulisan skripsi ini”.34

33
Abdurahman, Sosiologi dan Metodelogi Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009),
hlm. 25.
34
IqbaI Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
hlm. 5.
18

Selain itu, penelitian ini termasuk penelitian lapangan ( field research) yaitu

“suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan mengangkat data yang

ada di lapangan dengan tujuannya untuk melengkapi dan mengkonfirmasi data


35
yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research)”. Lokasi penelitian

dilaksanakan di kantor PT. Berkat Gadai Sumatera.

5. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data yang digunakan menggunakan

metode observasi, studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen yang dilakukan

yaitu “dengan cara membaca, mempelajari, mengidentifikasi literatur-literatur,

laporan penelitian serta sumber bacaan lainnya dengan menyalin atau

memindahkan data yang relevan dengan penulisan”. 36 Menurut Sugiyono

pengertian studi dokumen merupakan “suatu teknik pengumpulan data dengan

cara mempelajari dokumen untuk mendapatkan data atau informasi yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti”.37

PEDOMAN WAWANCARA BELUM ADA DIJELASKAN

6. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada PT. Berkat Gadai Sumatera yang beralamat di

Jalan Jamin Ginting No.275 Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Provinsi

Sumatera Utara.

7. Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif

yaitu “sebuah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan dan


35
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafmdo Persada, 1998),
hlm.22.
36
Soekamto, S., & Mamudji, S., Op. Cit, hlm. 27.
37
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods), (Bandung: Alfabeta, 2015),
hlm. 329.
19

menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang

tumbuh, proses yang sedang berlangsung serta akibat yang sedang terjadi dan juga

kecenderungan yang sedang berkembang”.38 Bahan hukum yang telah terkumpul

dan diolah akan dibahas dengan menggunakan analisa data kualitatif yang

dilakukan dengan cara menafsirkan dan mendiskusikan bahan hukum yang telah

diperoleh dan diolah, berdasarkan dengan norma-norma hukum, doktrin-doktrin

hukum dan teori ilmu hukum yang ada.

Teknik Penarikan kesimpulan dalam skripsi ini dengan menggunakan

metode deduktif, yaitu “dengan cara menarik kesimpulan dari data-data yang

bersifat umum ke data-data yang bersifat khusus. Data-data tersebut diperoleh dan

dianalisis, kemudian ditarik kesimpulan”.39

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab

dibagi lagi atas beberapa sub bab. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab

tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Bab I merupakan bab yang memuat uraian tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan..

Bab II merupakan bab yang berisi tentang pengaturan perlindungan

konsumen dalam hal hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai.

Bab III merupakan bab yang menguraikan tentang bentuk perlindungan

bagi konsumen pengguna jasa gadai dalam hal hilang atau rusaknya barang

sebagai obyek jaminan gadai pada PT. Berkat Gadai Sumatera.


38
Sunarto, Metode Penelitian Deskriptif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1990), hlm. 47
39
Marzuki, P., Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2005), hlm. 202.
20

Bab IV ini merupakan bab yang membahas tentang pertanggungjawaban

hukum PT. Berkat Gadai Sumatera dalam hilang atau rusaknya barang sebagai

obyek jaminan gadai.

Bab V berisikan mengenai kesimpulan dan saran dari pembahasan dan

penguraian dari bab-bab sebelumnya.


BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM HAL HILANG


ATAU RUSAKNYA BARANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN GADAI

A. Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam berbagai literatur ditemukan dua istilah mengenai hukum yang

mempersoalkan konsumen, yaitu “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan

konsumen”. Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen”

sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke

dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik. 40

Posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah

satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman)

kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan

konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

“Hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan

sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-

kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya.”41 Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di

dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk di

dalamnya baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara maupun hukum

internasional. Cakupan dari hukum perlindungan konsumen itu sendiri adalah hak

dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan

40
Shidarta, Hukum perlindungan konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm 9.
41
Neni Sri, Panji Adam, Hukum Bisnis, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017) hlm. 247

21
22

kebutuhannya dari produsen, meliputi: informasi, memilih, harga sampai pada

akibat-akibat yang timbul karena pengguna kebutuhan itu, misalnya untuk

mendapatkan pengganti kerugian.42

Bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi,

penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian

produk itu. Dengan demikian jika perlindungan konsumen diartikan sebagai

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen

sebagai wujud perlindungan kepada konsumen”, maka hukum perlindungan

konsumen tiada lain adalah “Hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin

terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.”43

Berdasarkan UUPK Pasal 1 ayat 1 ditentukan bahwa perlindungan

konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen”.44 Dengan adanya UUPK yang

merupakan hukum positif yang ada di Indonesia, maka hak-hak dan kepentingan

konsumen menjadi terlindungi dan terjamin secara pasti. Kepastian hukum untuk

dapat memberikan perlindungan hukum kepada konsumen tersebut antara lain

adalah dilakukan dengan cara memberikan pendidikan bagi konsumen guna

meningkatkan harkat dan martabatnya, serta pelaku usaha yang membuka akses

informasi secara jujur dan terbuka berkaitan dengan kondisi bahkan jaminan atas

barang dan/atau jasa yang diperdagangkan kepada konsumen.45

Menurut Az. Nasution, bahwa :


42
Rif’ah, R., “Perlindungan Hak Konsumen Dalam Transaksi Elektronik (E-Commerce)”,
Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Nomor 2 Volume 8 2019, hlm. 97-119
43
Janus, S., Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2014) hlm, 37.
44
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 1
45
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2015), hlm. 6.
23

Hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang


memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan
hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa
konsumen di dalam pergaulan hidup.46

Hukum perlindungan konsumen memiliki unsur-unsur di dalamnya yang

terbentuk dari pola hubungan perlindungan konsumen, unsurnya itu sendiri adalah

konsumen, pelaku usaha, dan barang dan/atau jasa.

Menurut pendapat Dewi, E menyatakan bahwa :

perlindungan konsumen merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan


kepentingan manusia, oleh karena itu menjadi harapan bagi semua bangsa di
dunia khususnya Indonesia untuk dapat mewujudkan perlindungan hukum
dan jaminan kepastian hukum terhadap konsumen yang merasa dirugikan
tersebut agar dapat terpenuhinya hak-hak konsumen. 47

Menurut Kurniawan mengatakan bahwa hukum perlindungan konsumen

adalah “keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen

dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen

antara penyedia dan penggunaanya dalam bermasyarakat”.48

Perlindungan hukum bagi konsumen adalah “suatu masalah besar, dengan

persaingan global yang terus berkembang. Perlindungan hukum sangat

dibutuhkan dalam persaingan dan banyaknya produk serta layanan yang

menempatkan konsumen dalam posisi tawar yang lemah”. 49 Perlindungan hukum

bagi konsumen dalam bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara.

46
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006, (Jakarta:
Gramedia Widiasarana, 2006), hlm. 3.
47
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2015), hlm. 5.
48
Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen: Problematika Kedudukan dan Kekuatan
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), (Malang: Universitas Brawijaya Press,
2011), hlm. 42
49
Abdul Halim Barkatullah I, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008), hlm. 23.
24

Berkaitan dengan itu, mengingat tujuan negara untuk menjaga dan

memelihara tata tertib, diharapkan negara memberi perhatian. Perhatian negara

terhadap hukum perlindungan konsumen ini, dinamakan politik hukum negara.50

Pentingnya suatu negara mengatur perlindungan hukum terhadap

konsumen, umumnya didasarkan pada pertimbangan aktualitas dan urgensinya.51

Menurut Ali Mansyur kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat

macam kepentingan yaitu sebagai berikut:

a. Kepentingan fisik
Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan
dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan
barang dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan
kesehatan dan keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus
diperhatikan oleh pelaku usaha.
b. Kepentingan sosial dan lingkungan
Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya
keinginan konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari
penggunaan sumbersumber ekonomi mereka dalam mendapatkan
barang dan jasa yang merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen
memerlukan informasi yang benar mengenai produk yang mereka
konsumsi sebab jika tidak maka akan terjadi gejolak sosial apabila
konsumen mengkonsumsi produk yang tidak aman. 3)
c. Kepentingan ekonomi
Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang
sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi daya beli
konsumen juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha
jangan memikirkan keuntungan semata tanpa merinci biaya riil
produksi atas suatu produk yang dihasilkan.
d. Kepentingan perlindungan hukum
Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to
justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan
pelaku usaha yang merugikan. 52

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen diantaranya yaitu:53 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 Ayat 1 yang

50
Soedirman Kartohadiprodjo, Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1993), Cet. Ke-12, hal. 37.
51
Abdul Halim Barkatullah 1, Op.Cit, hlm. 14.
52
Mansyur, M, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam
Perwujudan Perlindungan Konsumen, (Yogyakarta: Genta Press, 2007), hlm 81.
53
Republik Indonesia, Undang Undang Dasar 1945
25

berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 21

ayat 1 yang berbunyi “Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak

memajukan rancangan undang-undang.”, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27

yang berbunyi:

(2) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan


pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
(3) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang berbunyi:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas


kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hukum perlindungan konsumen dalam hukum perdata yakni dalam

pengertian hukum perdata dalam arti luas, yakni “Hukum perdata yang

terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang), serta Peraturan Perundang-

Undangan Nasional yang tergolong dalam hukum privat.” 54

KUH Perdata walaupun tidak secara khusus mengatur menyebutkan

istilah konsumen, tetapi ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata juga

mengatur masalah hubungan antara pelaku usaha. Salah satu aspek hukum

privat yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan, yakni

berkaitan dengan aspek hukum perjanjian maupun Perbuatan Melawan


54
Suwandono, A., & Dajaan, S., Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2015), hlm. 25
26

Hukum (PMH). Selanjutnya, dalam KUH Dagang yang berkaitan

Pengangkutan, Asuransi, dll. Adapun dalam peraturan perundang-undangan

nasional perlindungan konsumen antara lain yang terdapat dalam UU Pangan. 55

Hukum perlindungan konsumen dalam hukum publik yang dimaksud

adalah :

hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat


perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Adapun
yang termasuk dalam hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum
konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen adalah Hukum
Administrasi Negara (HAN), Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata/
Pidana, dan Hukum Internasional. 56

2. Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen dibutuhkan untuk menciptakan rasa aman bagi

para konsumen dalam melengkapi kebutuhan hidup. Kebutuhan perlindungan

konsumen juga harus bersifat tidak berat sebelah dan harus adil. Sebagai landasan

penetapan hukum, asas perlindungan konsumen perlu diatur dengan baik.

Adapun asas - asas perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam

Pasal 2 UU PK yakni sebagai berikut :57

a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya


dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar – besarnya bagi kepentingan konsumen dan Pelaku
Usaha secara keseluruhan;
b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat Indonesia
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil;
c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materil maupun spiritual;

55
Ibid.
56
Ibid., hlm. 26
57
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 2
27

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk


memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan;
e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.

Asas manfaat menyatakan bahwa “Segala upaya dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi

kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.”58 Asas ini

menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen

tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau

sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak,

produsen-pelaku usaha dan konsumen, apa yang menjadi haknya dengan

demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya

bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil. 59 Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum

perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen-pelaku usaha dapat berlaku

adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang, oleh karena

itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan

produsen-pelaku usaha.

58
Shofie, Y, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 25
59
Ibid, hlm. 26
28

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha ,dan pemerintah dalam arti materiil dan

spiritual.60 Asas ini menghendaki agar konsumen, produsen-pelaku usaha, dan

pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan

hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen-pelaku

usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai

dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

atau digunakan. 61 Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen

akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan

sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan

jiwa dan harta benda nya. Oleh karena itu, undang-undang ini membebankan

sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan jumlah larangan yang

harus dipatuhi oleh produsen pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan

produknya.

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya,

undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban

60
Ibid
61
Ibid, hlm. 27
29

yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan

sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. 62

8. Kondisi Perlindungan Konsumen di Indonesia

Sesuai teori yang menyebutkan bahwa “Pemerintah yang bijaksana

memiliki arti yang dalam yaitu tidak sekedar mengandalkan legalitas hukum

(otoritas) yang dimiliki untuk menjalankan administrasi publik, akan tetapi juga

menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa bertanggung jawab

(sense of responsible) masyarakat terhadap administrasi publik dan hasil-hasil

pembangunan yang dicapai. 63 Hal demikian sebagaimana pendapat Karhi Nisjar

yang menyatakan bahwa : “sebagai sebuah sistem penyelenggaraan perlindungan

hukum bagi konsumen dilandasi oleh motif yang dapat diabstrasikan untuk

mewujudkan demokrasi ekonomi serta mendorong diversifikasi produk barang

dan atau jasa sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat luas pada era

globalisasi”. 64

Pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dalam undang-

undang adalah untuk mencegah timbulnya masalah dikemudian hari karena setiap

orang dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang

atau jasa tertentu.

Demikian juga dinyatakan secara tegas dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Hal ini pemerintah melihat asal mula kejadian sengketa

konsumen adalah bermula dari barang dan atau jasa yang ditransaksikan dalam

kondisi “tidak baik”. Disini meliputi barang dan jasa yang diproduksi,

62
Ibid
63
Andriyadi, F., “Good Governance Government And Government”, Jurnal of
Multidisciplinary Islamic Studies, Nomor 2 Volume 1 2019, hlm 85.
64
Joko Widodo, Good Governance, (Surabaya: Insan Cendikia, 2003), hlm.30.
30

diperdagangkan, ditawarkan, dipromosikan, diiklankan dll sebagaimana tercantum

di diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999. Barang dan jasa yang ditransaksikan

“tidak baik” dibedakan dalam 2 kelompok yaitu:

a. Barang dan jasa yang membahayakan atau merugikan dengan

sendirinya (items inherently dangerous or injury);

b. Barang dan jasa yang berpotensi membahayakan atau merugikan karena

cacatnya (items potentially dangerous or injury due ti it’s defectives).65

Barang dan jasa yang membahayakan atau merugikan dengan sendirinya

adalah barang dan jasa yang ditransaksikan dengan sengaja atau sepatutnya dapat

diduga menimbulkan bahaya atau merugikan secara langsung dan seketika,

dengan kata lain, barang dan jasa yang ditransaksikan seperti ini antara lain:

a. Barang-barang yang sangat mudah meledak (high explosive);


b. Barang-barang mengandung racun (poison);
c. Barang mengandung bahan-bahan ketergantungan yang sangat tinggi
(high addictive);
d. Alat-alat transportasi lainnya yang “tidak laik”.66

Dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap konsumen masih

menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dipengaruhi

berbagai faktor, antara lain: yang berkaitan dengan struktur hukum, substansi

hukum, budaya hukum dan aparatur birokrasi.

Secara garis besar kendala atau hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan

UUPK di Indonesia adalah sebagai berikut diantaranya :

a. Karena tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah;


b. Rendahnya pendidikan konsumen;

65
Larry Alexander and Emily Sherwin, The Rule of Rules: Morality, Rules and the
Dilemmasof Law, (Durkhani : Duke University Prels, 2018), hlm.64.
66
M, Makhfudz, “Kondisi Perlindungan Konsumen Di Negara Indonesia Pada Tahun
2019”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, Nomor 2 Volumen 7 2020, hlm. 197-210
31

c. Belum ada pihak yang menyentuh bagaimana mempersiapkan


konsumen Indonesia menghadapi pasar bebas;
d. Masih lemahnya pengawasan dibidang standardisasi mutu barang;
lemahnya produk perundang-undangan;
e. Persepsi pelaku usaha yang keliru dengan perlindungan konsumen akan
menimbulkan kerugian. 67

Untuk mengatasi permasalahan-permasalah tersebut, maka perlu dicarikan

solusi, antara lain prasyarat-prasyarat apa yang harus dipenuhi agar era

perdagangan bebas bagi konsumen di Indonesia menjadi anugerah, justru bukan

sebaliknya menjadi musibah. Langkah yang ditempuh, antara lain sebagai berikut:

a. Perdagangan didasarkan pada prinsip pelaku usaha dan konsumen


sama-sama membutuhkan, dan saling ketergantungan satu sama lain
baik dalam waktu yang singkat maupun waktu yang lama untuk itu
dibutuhkan perlindungan hukum yang seimbang;
b. UUPK ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan
nasional, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya yang
berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu
Pancasila dan UUD 1945;
c. Melakukan revisi terhadap UUPK yang ada dengan senantiasa
memperhatikan kepentingan pelaku usaha dan konsumen secara
seimbang, mengakomodir kepentingan nasional dan internasional.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya
perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat
yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi
persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas;
d. Aparat penegak hukum harus benar-benar serius dalam mengawasi,
memproses dan menyelesaikan setiap pelanggaran yang terjadi dengan
memberikan hukuman/sanksi yang tegas dan setimpal agar
menimbulkan efek jera bagi yang melakukan pelanggaran;
e. Hukum yang dibentuk adalah hukum yang responsif, sehingga dapat
mengakomodasi masalah-masalah yang timbul, masukan-masukan
masyarakat yang berkaitan dengan perlindungan hukum dan kepastian
lingkup perlindungan konsumen; 68

Sehingga dalam menanggapi kendala yang terjadi pada kondisi

perlindungan konsumen di Indonesia, diharuskan sesegera mungkin dilakukan

revisi terhadap UUPK yang ada, dimana di dalamnya diatur keseimbangan antara
67
Niru, A., S., & Nunuk, S., “Pelaksanaan Perlindungan Konsumen di Indonesia”, Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara, Nomor 2 Volume 5 2018, hlm. 21
68
Ibid.
32

kepentingan pelaku usaha dan konsumen dengan tetap memperhatikan

kepentingan nasional dan juga harus mengakomodir kepentingan internasional.

Hukum yang akan dibentuk adalah hukum yang responsif, yang dapat

mengakomodir masalah-masalah yang timbul, masukan-masukan masyarakat

yang berkaitan dengan perlindungan hukum konsumen dan kepastian lingkup

perlindungan konsumen. Aparat penegak hukum harus benar-benar serius dalam

mengawasi, memproses dan menyelesaikan setiap pelanggaran yang terjadi

dengan memberikan hukuman/sanksi yang tegas dan setimpal agar menimbulkan

efek jera bagi yang melakukan pelanggaran.

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan

sehari-hari, merupakan istilah yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar

dapat mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen.

Pengertian Konsumen menurut Pasal 1 angka (2) UU PK yakni “Konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 69

Produsen di dalam perlindungan konsumen memiliki istilah tersendiri,

dimana istilah tersebut berubah menjadi pelaku usaha, dimana tertuang di dalam

Pasal 1 angka (3) UU PK, menyatakan bahwa:

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara

69
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 2
33

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian


menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.70

2) Hak dan Kewajiban Konsumen


Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers

Union- IOCU) menambahkan empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi:

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;


b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d. Hak untuk memperoleh lingkungan yang bersih dan sehat. 71

Berdasarkan perpektif hukum yang berlaku di Indonesia yakni UU PK

menetapkan hak-hak konsumen sebagai berikut:

a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi


barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yan dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakannya;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya pengelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. 72

Selain hak-hak konsumen tersebut, ada juga hak perlindungan dari

persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa kegiatan bisnis
70
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 3
71
Amhadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 39
72
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 4
34

yang dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang dalam hukum

dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition) atau

“persaingan usaha tidak sehat”. 73

Selain memperoleh hak-hak tersebut konsumen juga memiliki kewajiban

untuk :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian


atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan atau
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut. 74

3) Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha


Hak-hak pelaku usaha menurut perspektif hukum perlindungan konsumen

yang berlaku di Indonesia, yakni UU PK antara lain:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan


mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam`penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. 75
Selain hak-hak konsumen tersebut, UU PK juga mengatur hak-hak

konsumem yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, yakni tentang

kewajiban pelaku usaha. Kewajiban pelaku usaha antara lain:

73
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka
Bangsa Press, 2003), hlm. 20
74
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 5
75
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 6
35

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskrimanitif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima dan dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian. 76

C. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Apabila Barang Jaminan Obyek


Gadai Hilang atau Rusak Pada PT Berkat Gadai Sumatera

1. Pengaturan Perlindungan Konsumen Terkait Hilang atau Rusaknya


Barang Jaminan Obyek Gadai dalam Surat Bukti Gadai (SBG)

Surat Bukti Gadai (SBG) yang diterbitkan oleh pemilik PT. Gadai sebagai

surat tanda bukti perjanjian jaminan gadai yang merupakan bentuk perjanjiannya

dibuat secara tertulis. Eksistensi Surat Bukti Gadai (SBG) dalam perjanjian gadai

harus diakui kedudukannya oleh masing-masing pihak untuk tunduk dan patuh

melaksanakan prestasi berupa kewajiban yang sudah tertuang di dalam SBG.

Apabila nantinya terjadi sengketa antara kedua belah pihak, maka perjanjian

tersebut dapat dijadikan suatu bukti.

Kedudukan Surat Bukti Gadai merupakan alat bukti tulisan berupa surat

yang dilakukan dibawah tangan berisikan hal-hal tertentu mengenai peristiwa atau

keadaan yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang. Surat Bukti Gadai
76
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 7
36

(SBG) tersebut dibuat untuk memberikan kepastian hukum para pihak apabila

timbul sengketa dikemudian hari.77 Kekuatan pembuktian Surat Bukti Gadai

(SBG) ini berupa isi perjanjian yang tertuang, identitas para pihak, tanda tangan

para pihak yakni pihak pegadaian dilakukan seorang penaksir atau pengelola unit

pelayanan cabang atau pimpinan cabang untuk dan atas nama perusahaan dan

tandatangan pihak debitur (nasabah) selanjutnya diakui oleh yang membuatnya,

maka Surat Bukti Gadai (SBG) mengikat para pihak..

Adanya hubungan hukum kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan

melahirkan sebuah perjanjian yang dimana nasabah (debitur) datang ke PT Berkat

Gadai Sumatera untuk mengajukan kredit dengan membawa persyaratan yakni

kartu identitas berupa KTP dan barang jaminan kemudian mengikuti prosedur PT

Berkat Gadai Sumatera untuk pencairan dana. Dengan menyerahkan benda

jaminan tersebut ke pihak PT Berkat Gadai Sumatera maka nasabah selaku debitur

menyetujui segala isi perjanjian yang termuat dalam SBG serta tunduk dan patuh

atas segala peraturan yang berlaku sepanjang ketentuan yang menyangkut utang

piutang dengan jaminan gadai.

Pengaturan terkait hilang atau rusaknya barang jaminan yang menjadi objek

gadai diatur dalam Poin 4 Surat Bukti Gadai (SBG) yang berbunyi:

PT Berkat Gadai Sumatera akan memberikan ganti kerugian apabila


barang jaminan yang berada dalam penguasaan PT Berkat Gadai Sumatera
mengalami kerusakan atau hilang yang tidak disebabkan oleh suatu
bencana alam (Force Majure) yang ditetapkan oleh pemerintah. Ganti rugi
diberikan setelah diperhitungkan dengan uang pinjaman, sewa modal, dan
biayanya (jika ada), sesuai ketentuan penggantian yang berlaku di PT
Berkat Gadai Sumatera. 78
77
Aprilia, R., P., & Mas, A., T., "Kedudukan Hukum Surat Bukti Gadai dalam Menjamin
Kepastian Hukum Kepada Pemberi Gadai”, Jurnal Pendidikan Tambusai, Nomor 2 Volume 6
2022, hlm. 6
78
Surat Bukti Gadai (SBG), PT. Berkat Gadai Sumatera, Point 4
37

Berdasarkan uraian diatas menyatakan bahwa pengaturan terkait hilang atau

rusaknya barang jaminan yang menjadi objek gadai sebagai bentuk perlindungan

hukum terhadap konsumen yang diberikan oleh PT Berkat Gadai Sumatera diatur

dalam Surat Bukti Gadai (SBG). Tentu dalam mengganti kerugian yang terjadi

perlu disesuaikan dengan penyebab rusak atau hilang nya barang gadai. PT Berkat

Gadai dalam melalukan ganti rugi apabila telah dilakukannya perhitungan dengan
79
uang pinjaman nasabah, sewa modal dan biayanya (jika ada). Hal ini perlu

sesuai dengan ketentuan penggantian yang telah ditetapkan di PT Berkat Gadai.

PT Berkat Gadai pun memberi penawaran dalam bentuk asuransi terhadap

jaminan gadai sebagai perlindungan hukum kepada pemberi gadai. PT Berkat

Gadai selaku lembaga kredit non-bank dengan jaminan gadai memiliki tingkat

risiko cukup tinggi dalam menyimpan sebuah benda jaminan nasabah, maka

diperlukan asuransi terhadap jaminan gadai tersebut agar pihak pemberi jaminan

terlindungi dari risiko-risiko yang akan mendatang atas kejadian yang tidak

terduga. Barang jaminan gadai yang diasuransikan yang meminimalisir kerugian

barang jaminan dan asset PT Berkat Gadai yakni barang nasabah yang merupakan

barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik maupun yang dikuasai oleh

nasabah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan terkait

jaminan kebendaan yang dijadikan jaminan kredit termasuk barang jaminan jatuh

tempo yang belum dilelang, barang jaminan yang dalam proses pemberian kredit

atau sertifikasi taksiran dan yang barang jaminan yang telah dilunasi namun

belum diambil oleh nasabah yang tersimpan di gudang atau tempat penyimpanan

barang. 80
79
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 20 November 2022 di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
80
Ibid
38

2. Pengaturan Perlindungan Konsumen Terkait Hilang atau Rusaknya


Barang Jaminan Obyek Gadai dalam Ketentuan Gadai dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata

Adanya hubungan hukum kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan

melahirkan sebuah perjanjian yang dimana nasabah (debitur) datang ke PT Berkat

Gadai Sumatera untuk mengajukan kredit dengan membawa persyaratan yakni

kartu identitas berupa KTP dan barang jaminan kemudian mengikuti prosedur PT

Berkat Gadai Sumatera untuk pencairan dana. Dengan menyerahkan benda

jaminan tersebut ke pihak PT Berkat Gadai Sumatera maka nasabah selaku debitur

menyetujui segala isi perjanjian yang termuat dalam SBG serta tunduk dan patuh

atas segala peraturan yang berlaku sepanjang ketentuan yang menyangkut utang

piutang dengan jaminan gadai.

Ketentuan mengenai gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal

1160 KUH Perdata.81 Perlindungan obyek gadai pun diatur guna menghindari

kehilangan atau kerusakan.

Pasal 1157, yang berisi :

Kreditur bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai itu,
sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya. Di pihak lain debitur wajib
mengganti kepada kreditur itu biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan
oleh kreditur itu untuk penyelamatan barang gadai itu. 82
Pasal 1157 KUHPerdata menentukan bahwa pemegang gadai bertanggung

jawab atas hilangnya atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu telah terjadi

karena kelalaiannya. Berhubungan dengan hal itu, pemegang gadai mempunyai

kewajiban atas pengamanan dan pemeliharaan barang jaminan.

81
Nurizzulfi, A., Skripsi: Pelelangan Obyek Gadai Sebagai Akibat Debitur Wanprestasi
(Studi Kasus Di Kantor Pt Pegadaian Cabang Genteng), (Jember: Universitas Jember, 2017), hlm.
12
82
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1157
39

Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggung

jawaban, yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the state of

fact being responsible). Dengan diserahkannya barang jaminan gadai, maka

keamanan akan terjaga sebab apabila nasabah tidak dapat melunasi hutangnya

pihak pegadaian mempunyai hak untuk mengambil pelunasan hutang nasabah

dengan jalan melelang jaminan. Disamping mempunyai hak untuk melelang

barang jaminan milik nasabah, PT Gadai sebagai lembaga keuangan juga

mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil terhadap barang jaminan yang

dikuasainya. Jumlah barang jaminan yang diterima oleh pihak pegadaian sangat

banyak.

Dengan dikuasainya barang jaminan milik nasabah dibawah penguasaan

langsung pihak pegadaian, maka sesuai dengan asas pihak pegadaian harus

menjaga keamanan dan pemeliharaan barang jaminan tersebut. Dengan demikian

apabila barang jaminan milik nasabah mengalami kerusakan atau kehilangan, PT

Berkat Gadai Sumatera berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian. 83

3. Pengaturan Perlindungan Konsumen Terkait Hilang atau Rusaknya


Barang Jaminan Obyek Gadai dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Dasar lahirnya UU PK di Indonesia tidak lepas dari peran KUH Perdata,

yakni berasal dari Pasal 1365 KUH Perdata. Bunyi Pasal 1365 KUH Perdata

yakni “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan

kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya

menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. 84

83
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 20 November 2022 di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
84
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1365
40

Demi keamanan dalam proses gadai maka harus

ada penjaminan terhadap pinjaman yang akan diberikan oleh pihak pegadaian.

Sehingga disaat perjanjian kredit disepakati maka pihak yang menggadaikan

wajib menyerahkan benda gadai sebagai jaminan atas pelunasan hutang-

hutangnya. Diketahui juga, jaminan adalah penting demi menjaga keamanan dan

memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan kembali atau

mendapatkan kepastian mengenai pengembalian uang pinjaman yang telah

diberikan oleh kreditur kepada debitur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan

dan disepakati bersama.

Jaminan juga dapat diartikan sebagai pelindung dari para pihak yang saling

mengikat perjanjian. Hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang

berlaku untuk melindungi hak-hak bagi pengguna jasa. Hukum perlindungan

konsumen bertujuan untuk mencegah tindakan-tindakan pelaku usaha yang

merugikan konsumen. Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen:

a. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas


kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau Jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau Jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenal adanya unsur kesalahan.
41

e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila.Pelaku Usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen. 85

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

ternyata memberikan pemahaman secara normatif pelaksanaan tanggung jawab

pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi akibat kerusakan, pencemaran,

dan/atau kerugian konsumen harus dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Pasal

19 ayat (1) (2) (3) dan (4) dengan tidak menutup kemungkinan kewajiban ganti

rugi oleh pelaku usaha tidak perlu dilakukan terhadap konsumen, apabila pelaku

usaha mampu membuktikan penyebab kerusakan barang bukanlah karena

kesalahan pelaku usaha melainkan konsumen sendiri, sebagaimana diatur dalam

ayat (5).

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 mengatur tanggung jawab

kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya.

Dikatakan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas:

a. Kerusakan;
b. pencemaran;
c. kerusakan dan kerugian konsumen;
d. kerugian konsumen. 86

Akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan. Bentuk ganti rugi berupa:

a. Pengembalian uang;
b. Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara;
c. Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 87

85
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 19
86
Rachmadi, S., Hukum Ekonomi Dalam Dinamika., (Jakarta : Cet. l. Djambatan, 2000),
hal. 217
87
Ibid
42

Tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan ganti rugi di atas tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut

merupakan kesalahan konsumen. Ini berarti bahwa pembuktian terhadap ada

tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan

tanggung jawab pelaku usaha.

Sebelum hal kerusakan/kehilangan barang gadai, tentu sebelumnya pihak

pegadaian memperhatikan perlindungan barang gadai agar tetap aman. Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengatur

mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pasal 8 menyatakan pada

ayat:

a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan


barang dan/atau jasa yang:
1) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
3) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
6) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
7) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
9) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
43

10) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan


barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran. 88

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ini, menyebutkan bahwa seorang

pelaku usaha harus memperhatikan keutuhan barang jangan sampai cacat/rusak.

Barang gadai yang nantinya disimpan oleh pihak pegadaian akan diperhatikan

kondisi, komposisi sesuai dengan standar yang seharusnya.

Adapun bentuk pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap

penyelenggaraan perlindungan konsumen yakni diantaranya:

a. Bentuk Pembinaan Pemerintah Terhadap Penyelenggaraan Perlindunga

n Konsumen

Pelaksanaan fungsi pemerintah dalam menumbuhkan dan meningkatkan kes

ejahteraan masyarakat umum diselenggarakan dengan menjalankan kewenangan p

embinaan dan pengawasan terhadap berbagai kegiatan masyarakat. Pengawasan ol

eh pemerintah merupakan “hal yang penting, yang berguna untuk mengetahui keg

iatan yang dilakukan oleh masyarakat dan mengevaluasi kemajuan dan dampak ke

giatan yang terjadi di masyarakat”.89 Dalam Pasal 30 ayat (1) menyatakan “Penga

wasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen scrta penerapan ketentu

88
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 8
89
Kartikawati, R., “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pemakaian
Label Makanan Di Purwokerto”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
nomor 2 volume 7 2010, hlm. 82-83
44

an peraturan perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat d

an lembaga. perlindungan konsumen swadaya masyarakat.”90

Pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pernerintah, tetapi melibatkan elem

en-elemen yang terdapat di masyarakat. Sehingga masyarakat dapat berperan serta

dalam mewu. judkan perlindungan konsumen. Adapun tujuan dari perlindungan k

onsumen berdasarkan Pasal 3 UUPK, yang harus diperhatikan baik oleh pemerint

ah, pelaku usaha dan masyarakat adalah:

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untu


k melindungi diri.
2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindari d
ari eksis negatif pemakaian barang dan atau jasa.
3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan d
an menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur k
epastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatk
an informasi.
5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindun
gan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawa
b dalam usaha.
6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsung
an usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kenyaman
an dan keselamatan konsumen.91

Menurut bagian kedua tentang Pengawasan pada Pasal 30 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, dijelaskan tentang pengawasan yang dilakukan oleh pe

merihtah terhadap produsen, konsumen dan pihak terkait lainnya.

Pada penjelasan Pasai 30 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa “pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga pe

rlindungan konsumen swadaya masvarakat (LPKSM) dilakukan atas barang dan/a

tau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian pengujian dan/atau survey”.

90
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 30 ayat 1.
91
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 3.
45

Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang resiko pengunaan barang

jika diharuskan, pemasangan label. pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan be

rdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dlan kebiasaan dalam praktek

dunia usaha.

Berdasarkan pada Pasal 30 ayat (1) dan (3) Undang-undang Perlindungan K

onsumen serta pendapat dari Sudaryatmo, maka dapat diketahui bahwa “pemerint

ah dan masyarakat serta lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (L

PKSM) mempunyai peranan dalam melaksanakan pengawasan barang dan atau/ja

sa yang beredar dipasar untuk terciptanya pcrlindungan konsumen”. 92Adapun isi

pasal 29 mengenai mengenai Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah ialah

sebagai berikut :

1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlin


dungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pela
ku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsum
en sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/
atau menteri teknis terkait.
3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi ata
s penyelenggaraan perlindungan konsumen.
4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dim
aksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk :
(a) terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antar
a pelaku usaha dan konsumen;
(b) berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyar
akat;
(c) meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya k
egiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan kons
umen.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindun
gan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.93

b. Bentuk Pengawasan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masy

arakat Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Konsumen


92
Kartikawati, R., Loc.cit.
93
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 29.
46

Penjelasan Pasal 1 angka 9 UUPK LPKSM adalah “lembaga non pemerinta

h yang terdaftar dan diaukui oleh pemerintah yang terdasaftar dan diakui oleh pem

erintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.”94 Lembag

a ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindung

an konsumen serta menunjukan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung

jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Penjelasan Pasal 30 mengenai

bentuk pengawasan yaitu “pada angka (3) yaitu pengawasan oleh masyarakat dan

LPKSM dilakukan terhadap barang dan jasa yang beredar di pasar”. Bentuk penga

wasan yang dilakukan di dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ial

ah “dengan cara penelitian terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tenta

ng resiko penggunaan barang, pengiklanan, dan lain-lain menuntut upaya

pemberian pemahaman dan peningkatan kesadaran apa yang menjadi hak-haknya

menjadi sangat penting”. Secara lebih jelas bentuk pengawasan tersebut juga

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pembinaan Dan

Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut PP

No. 8 Tahun 2001) yaitu Pasal 8 angka (1)

pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam


memenuhi standar mutu produksi barang dan/jasa, pencamtuman label dan
klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan / atau jasa. Pelayanan
purna jual yang dimaksud, pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha
terhadap konsumen, misalnya tersedianya suku cadang dan jaminan atau
garansi.

Secara konkrit pengawasan yang dilakukan oleh LPSKM diatur juga dalam

Pasal 10 PP No. 8 Tahun 2001 :95

94
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 angka 9.
95
Nurmahayani & Keneng, “Bentuk Pengawasan Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Konsumen”, Jurnal Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana, nomor 3 volume 4 2016, hlm 3-4.
47

1) Pengawasan oleh LPSKM dilakukan terhadap barang dan/jasa yang


beredar di pasar.
2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
cara penelitian, pengujian, atau survei. Disamping dapat juga
berdasarkan laporan dan pengaduan dari masyarakat baik yang bersifat
perseorangan maupun kelompok.
3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang resiko
penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan,
dan lain lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
4) Penelitian, pengujian dan atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dilakukan terhadap barang dan atau jasa yang diduga tidak
memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan
konsumen. Adapun pelaksanaannya, dapat dilakukan baik sebelum atau
sesudah terjadi hal-hal membahayakan keselamatan konsumen.
5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
disebarluaskan kepada masyarakat dan disampaikan kepada menteri dan
menteri teknis.
Penjelasan umum peraturan pemerintah tersebut menentukan bahwa

“Pengawasan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh pemerintah,

masyarakat dan LPSKM, meningat banyak ragam dan jenis barang dan atau asa

yang beredar di pasar serta luasnya wilayah indonesia.”96

Adapun isi pasal 30 UU Perlindungan Konsumen membahas mengenai

pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah ialah sebagai berikut :

1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta pene


rapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh p
emerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya mas
yarakat.
2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksa
nakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swada
ya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pa
sar.
4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata m
enyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membah
ayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan se
suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindu
ngan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyara
kat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
96
Miru & Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2004),
hlm.189
48

6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada aya


t (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah97

Adapun isi pasal 44 UU Perlindungan Konsumen membahas mengenai

pembentukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam

upaya memberikan perlindungan hukum terhadap para konsumen yaitu

masyarakat, ialah sebagai berikut :

1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masya


rakat yang memenuhi syarat.
2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesem
patan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi
kegiatan:
(a) menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran at
as hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengko
nsumsi barang dan/atau jasa;
(b) memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
(c) bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan pe
rlindungan konsumen;
(d) membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
(e) melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terh
adap pelaksanaan perlindungan konsumen.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.98

c. Bentuk-bentuk Pengawasan dan Tindakan Hukum Yang Dapat

Dilakukan Oleh Pemerintah

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adany

a kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai.

melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang te

lah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan e

fisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat de
97
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 30.
98
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 44.
49

ngan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilak

sanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijal

ankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerj

a tersebut.

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan bahwa pengawasa

n merupakan “bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap seba

gai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada

pihak di bawahnya”.99 Pengawasan merupakan “suatu proses yang terus menerus

yang dilaksanakan dengan jalan mengulangi secara teliti dan periodik. Di dalam

melakukan pengawasan haruslah diutamakan adanya kerjasama dan dipeliharanya

rasa kepercayaan”. Jaminan tercapinya tujuan dengan mengetahui perbedaan-

perbedaan antara rencana dan pelaksanaan dalam waktu yang tepat sehingga dapat

diadakan perbaikan-perbaikan dengan segera dan mencegah berlarut-larutnya

suatu kesalahan.

Adapun bentuk-bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah,

terbagi menjadi 2 macam, yaitu Pengawasan preventif dan represif. Perlindungan

konsumen merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu pemerintah, pelaku

usaha, organisasi konsumen dan konsumen itu sendiri. tanpa adanya andil dari

keempat unsur tersebut, sesuai dengan fungsinya masing-masing, maka tidaklah

mudah mewujudkan kesejahteraan konsumen.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk


berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor
perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti

99
Dian Puji n. Simatupang, s.h., Pengawasan dan Peradilan Administrasi, materi Hukum
Administrasi Negara Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal.2
50

Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa


Keuangan lainnya.100

Perusahaan pergadaian merupakan salah satu lembaga jasa keuangan

lainnya, sehingga OJK mempunyai tugas untuk mengatur dan mengawasinya.

Otoritas Jasa Keuangan adalah suatu bentuk unifikasi pengaturan dan pengawasan

sektor jasa keuangan.101

Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang usaha Pergadaian, POJK ini lebih

mengacu pada Pengaturan pendaftaran usaha pergadaian swasta. POJK sebagai

landasan hukum bagi OJK dalam ranga Pengawasan dan Pengaturan dibidang

sektor jasa keuangan di Indonesia.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, “OJK melaksanakan tugas

pengawasan terhadap:

1) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;


2) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
3) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,

OJK mempunyai wewenang:

1) Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa


keuangan;
2) Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
3) Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,
dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

100
Otoritas Jasa Keuangan, Latar belakang Pembentukan OJK,
https://www.ojk.go.id/id/faq.aspx#:~:text=Otoritas%20Jasa%20Keuangan%20(OJK)
%20adalah,modal%2C%20dan%20sektor%20jasa%20keuangan, diakses pada 15 Februari 2023,
Pukul 22.30
101
Kasmir. 2014. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, halaman 269
51

4) Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau


pihak tertentu;
5) Melakukan penunjukan pengelola statuter;
6) Menetapkan penggunaan pengelola statuter
7) Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di sektor jasa
keuangan; dan
8) Memberikan dan/atau mencabut:
(a) Izin usaha;
(b) Izin orang perseorangan;
(c) Efektifnya pernyataan pendaftaran;
(d) Surat tanda terdaftar;
(e) Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
(f) Pengesahan;
(g) Persetujuan atau penetapan pembubaran

Peran strategis OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa

keuangan secara terintegrasi dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sangat

penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, dan oleh sebab itu

perlu penelitian untuk memetakan perkembangan regulasi sektor jasa keuangan

sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.102

102
Tri Handayani dan Lastuti Abubakar, “Perkembangan Hukum Sektor Jasa Keuangan
Dalam Upaya Pertumbuhan Ekonomi Nasional”, Jurnal De Lega Lata, Vol. 2, No.2, 2017,
halaman 421
BAB III

BENTUK PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN PENGGUNA JASA


GADAI DALAM HAL HILANG ATAU RUSAKNYA BARANG SEBAGAI
OBYEK JAMINAN GADAI PADA PT. BERKAT GADAI SUMATERA

A. Karakteristik Jaminan Gadai sebagai Jaminan Kebendaan

1. Dasar hukum Jaminan Gadai

Dasar hukum mengenai gadai dapat dilihat dalam beberapa peraturan

diantaranya:

a. Dasar Hukum Gadai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hak gadai menurut KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150

sampai dengan Pasal 1161.103 Beberapa hal yang diatur dalam Pasal 1150 sampai

dengan Pasal 1161 KUH Perdata diantaranya:

1) Pengertian gadai diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata, yang berbunyi:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai
jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui
kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan,
dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu
sebagai gadai dan yang harus didahulukan.104
2) Dalam pasal 1151 KUH Perdata menyebutkan bahwa “Perjanjian gadai harus
dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian
pokoknya”.
3) Pasal 1152 KUH Perdata mengatur mengenai “Hak gadai atas barang bergerak
yang berwujud dan atas piutang bahwa timbul dengan cara menyerahkan gadai
itu kepada kekuasaan kreditur atau orang yang memberikan gadai atau yang
dikembalikan atas kehendak kreditur. Hak gadai hapus bila gadai itu lepas dari
kekuasaan pemegang gadai. Namun bila barang itu hilang, atau diambil dari
kekuasaannya, maka ia berhak untuk menuntutnya kembali menurut Pasal
1977 alinea kedua, dan bila gadai itu telah kembali, maka hak gadai itu
dianggap tidak pernah hilang. Hal tidak adanya wewenang pemberi gadai
untuk bertindak bebas atas barang itu, tidak dapat dipertanggungjawabkan

103
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1150 - Pasal 1161
104
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1150

52
53

kepada kreditur,tanpa mengurangi hak orang yang telah kehilangan atau


kecurigaan barang itu untuk menuntutnya kembali.”105
4) Pasal 1153 KUH Perdata menybutkan bahwa “Hak gadai atas barang bergerak
yang tak berwujud, kecuali surat tunjuk dan surat bawa lahir dengan
pemberitahuan mengenai penggadaian itu kepada orang yang kepadanya hak
gadai itu harus dilaksanakan. Orang ini dapat menuntut bukti tertulis
mengenai pemberitahuan itu, dan mengenai izin dan pemberian gadainya”106
5) Pasal 1154 KUH Perdata membahas mengenai “Dalam hal debitur atau
pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak
diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya.
Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah
batal.”;107
6) Pasal 1155 KUH Perdata mengatur mengenai “Bila oleh pihak-pihak yang
berjanji tidak disepakati lain, maka jika debitur atau pemberi gadai tidak
memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan,
atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak
ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual
barang gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan
dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu
dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu. Bila gadai
itu terdiri dan barang dagangan atau dan efek-efek yang dapat diperdagangkan
dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan
dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu.”;108
7) Pasal 1156, KUH Perdata mengatur mengenai Dalam segala hal, bila debitur
atau pemberi gadai Ialai untuk melakukan kewajibannya, maka debitur dapat
menuntut lewat pengadilan agar barang gadai itu dijual untuk melunasi
utangnya beserta bunga dan biayanya, menurut cara yang akan ditentukan oleh
Hakim dalam suatu keputusan, sampai sebesar utang beserta bunga dan
biayanya. Tentang penandatanganan barang gadai yang dimaksud dalam pasal
ini dan pasal yang lampau, kreditur wajib untuk memberitahukannya kepada
pemberi gadai, selambat-lambatnya pada hari berikutnya bila setiap hari ada
hubungan pos atau telegram, atau jika tidak begitu halnya dengan pos yang
berangkat pertama. Berita dengan telegrap atau dengan surat tercatat dianggap
sebagai berita yang pantas;109
8) Pasal 1157 KUH Perdata mengatur mengenai “Kreditur bertanggung jawab
atas kerugian atau susutnya barang gadai itu, sejauh hal itu terjadi akibat
kelalaiannya. Di pihak lain debitur wajib mengganti kepada kreditur itu biaya

105
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1152
106
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1153
107
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1154
108
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1155
109
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1156
54

yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh kreditur itu untuk penyelamatan
barang gadai itu”;110
9) Pasal 1158 KUH Perdata mengatur mengenai “Bila suatu piutang digadaikan,
dan piutang ini menghasilkan bunga, maka kreditur boleh memperhitungkan
bunga itu dengan bunga yang terutang kepadanya. Bila utang yang dijamin
dengan piutang yang digadaikan itu tidak menghasilkan bunga, maka bunga
yang diterima pemegang gadai itu dikurangkan dari jumlah pokok utang.
“bunga atas piutang yang digadaikan;111
10) Pasal 1159 KUH Perdata mengatur mengenai “Selama pemegang gadai itu
tidak menyalahgunakan barang yang diberikan kepadanya sebagai gadai,
debitur tidak berwenang untuk menuntut kembali barang itu sebelum ía
membayar penuh, baik jumlah utang pokok maupun bunga dan biaya utang
yang dijamin dengan gadai itu, beserta biaya yang dikeluarkan untuk
penyelamatan barang gadai itu. Bila antara kreditur dan debitur terjadi utang
kedua, yan g diadakan antara mereka berdua setelah saat pemberian gadai dan
dapat ditagih sebelum pembayaran utang yang pertama atau pada hari
pembayaran itu sendiri, maka kreditur tidak wajib untuk melepaskan barang
gadai itu sebelum ia menerima pembayaran penuh kedua utang itu, walaupun
tidak diadakan perjanjian untuk mengikatkan barang gadai itu bagi
pembayaran utang yang kedua.”;112
11) Pasal 1160 KUH Perdata mengatur mengenai “Gadai itu tidak dapat dibagi-
bagi, meskipun utang itu dapat dibagi antara para ahli waris debitur atau para
ahli waris kreditur. Ahli waris debitur yang telah membayar bagiannya tidak
dapat menuntut kembali bagiannya dalam barang gadai itu, sebelum utang itu
dilunasi sepenuhnya. Di lain pihak, ahli waris kreditur yang telah menerima
bagiannya dan piutang itu, tidak boleh mengembalikan barang gadai itu atas
kerugian sesama ahli warisnya yang belum menerima pembayaran.”

b. POJK UP No. 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian;

Pengawasan terhadap usaha pergadaian sebagaimana diatur dalam

Peraturan OJK Nomor 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pegadaian dimaksudkan

untuk “menciptakan usaha pegadaian yang sehat, memberikan kepastian hukum

bagi pelaku usaha pergadaian dan perlindungan kepada konsumen.” Kegiatan

usaha utama perusahaan pegadaian sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan

110
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1157
111
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1158
112
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1159
55

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /Pojk.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian

meliputi:

Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian meliputi:

1) penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum


Gadai;
2) penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia;
3) pelayanan jasa titipan barang berharga; dan/atau
4) pelayanan jasaa taksiran

2. Subyek dan Obyek Jaminan Gadai


Dari ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata, mengatakan bahwa gadai

adalah “Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,

yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau seorang lain atas

namanya, maka subjek hukum dalam gadai tersebut, yaitu pihak yang ikut serta

dalam membuat/mengadakan suatu perjanjian gadai.” 113

Pihak mana terdiri atas 2 (dua) pihak, yaitu:

a. Pihak yang memberikan jaminan gadai, dinamakan pemberi gadai

(pandgever).

Pemberi gadai adalah “orang atau badan hukum yang mempunyai

kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak gadai”. Jadi
114
pemberi gadai adalah “pemilik benda yang digadaikan”. Dapat dibuktikan

dengan bukti kepemilikan atas benda itu.

b. Pihak yang menerima jaminan gadai, dinamakan penerima gadai

(pandnemer).

Penerima gadai adalah “orang perorang atau badan hukum sebagai pihak

yang berhutang atau kreditur”. Kreditur yang memberikan pinjaman hutang

113
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1150
114
Uzlah, I., Skripsi: Tanggung Jawab Yuridis Pihak Kreditur Terhadap Jaminan Gadai
Milik Debitur (Crediteursverzuim), (Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945, 2018).
56

kepada debitur dalam pelaksanaanya bisa bank, pegadaian atau perorangan.

Penerima gadai inilah yang akan menguasai benda yang digadaikan. Benda yang

digadaikan harus ditarik dari kekuasaan pemberi gadai. 115

Yang dapat digadaikan ialah “semua barang bergerak, baik barang bertubuh

(lichamelijke zaken) maupun barang tak bertubuh (onlichamelijke zaken), yang

sebetulnya berupa pelbagai hak”.116 Apabila ketentuan dalam Pasal 1150 KUH

Perdata dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152 bis, Pasal

1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUH Perdata, maka jelas pada dasarnya semua

kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum dalam gadai. 117 Pada dasarnya

semua benda bergerak yang berwujud dapat dijadikan sebagai jaminan pinjaman

atau kredit gadai pada lembaga pegadaian.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, terdapat juga pengecualian-

pengecualian mengenai barang-barang yang dapat digadaikan, yaitu: 118

a. Barang milik negara.


b. Surat hutang, surat actie, surat effek dan surat-surat berharga lainnya.
c. Hewan yang hidup dan tanaman.
d. Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
e. Benda-benda kotor.
f. Benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari suatu
tempat ketempat lain memerlukan izin.
g. Barang yang karena ukurannya yang besar tidak dapat disimpan dalam
gadaian.
h. Barang yang berbau busuk dan mudah merusak barang lain, jika
disimpan bersama-sama.
i. Benda yang hanya berharga sementara atau yang harganya naik turun
dengan cepat, sehingga sulit ditaksir oleh pejabat gadai.

115
Padian Adi Siregar, “Akibat Hukum Pelelangan Objek Jaminan Gadai Oleh Kreditur
Tanpa Adanya Peringatan Terhadap Nasabah Oleh Perum Pegadaian”, Iuris Studia: Jurnal Kajian
Hukum, Nomor 1 Volume 1 2020, hlm. 21-30.
116
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak atas Benda, (PT Intermasa,
Jakarta, 1981), hlm. 155
117
Rachmadi usman, Hukum Kebendaan, (Sinar Grafika, Jakarta, 2011), hlm. 268.
118
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia,
(PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991), hlm.73
57

j. Benda yang digadaikan oleh seorang yang mabuk atau seorang yang
tidak dapat memberi keterangan-keterangan cukup tentang barang yang
mau digadaikan itu.

3. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai dan Penerima Gadai


Selama berlangsungnya gadai, pemegang gadai mempunyai beberapa hak

dan kewajiban yang harus dipenuhi, baik pada gadai benda bergerak bertubuh

maupun pada gadai atas piutang (benda bergerak tidak bertubuh).119

Hak-hak pemegang gadai antara lain:

a. Hak untuk menjual benda gadai atas kekuasaan sendiri atau mengeksekusi

benda gadai (parate executie)

Dalam Pasal 1155 KUH Perdata disebutkan bahwa “Apabila oleh para

pihak tidak telah diperjanjikan lain, jika si berutang atau si pengguna jasa

gadai wanprestasi, maka si kreditur berhak menjual barang jaminan dengan

maksud untuk mengambil pelunasan piutang pokok, bunga dan biaya dari

pendapatan penjualan tersebut.”120

b. Hak untuk menahan benda gadai (hak retentie)

Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata menyatakan “dalam hal pemegang gadai

tidak menyalahgunakan benda gadai, maka si berutang tidak berkuasa

untuk menuntuk pengembaliannya, sebelum ia membayar sepenuhnya baik

utang pokok, maupun bunga dan biaya utangnya yang untuk menjaminnya

barang jaminan telah diberikan, beserta segala biaya yang telah dikeluarkan

untuk menyelamatkan barang jaminan.”121

119
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 7
120
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1155
121
Indonesia (UU PK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8
Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1159 ayat 1
58

Ketentuan ini memberi wewenang kepada pemegang gadai untuk menahan

benda gadai selama debitur belum melunasi utangnya.122

c. Hak untuk mendapatkan ganti rugi atas biaya uang telah dikeluarkan untuk

menyelamatkan benda

Pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata “menetukan bahwa yang harus diganti

oleh debitur adalah biaya-biaya yang berguna dan perlu yang telah

dikeluarkan guna keselamatan gadai.123 Selama biaya-biaya itu belum

dibayar, maka si kreditur tidak diwajibkan untuk mengembalikan barang

jaminan kepada debitur.”

d. Hak untuk menjual dalam kepailitan debitur

“Jika debitur pailit, maka kreditur pemegang gadai dapat melaksanakan

hak-haknya, seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”124 Dengan demikian hak

kreditur untuk melakukan parate eksekusi berkurang dengan terjadinya

kepailitan debitur. Hak untuk menjual barang jaminan harus dilakukan

dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah debitur dinyatakan pailit, kecuali

jika tenggang waktu tersebut diperpanjang oleh hakim.125

e. Hak preferensi

Kreditur pemegang gadai mempunyai hak untuk didahulukan dalam

pelunasan piutangnya daripada kreditur-kreditur lainnya.126

f. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai

122
Adrian Sutedi, loc.cit.
123
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1157 ayat 2
124
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 8
125
Ibid.
126
Ibid.
59

Pemegang gadai dapat menuntut agar benda gadai akan ditetapkan dalam

vonis hingga sebesar utangnya beserta bunga dan biaya.127

g. Hak untuk menjual benda gadai dengan perantaraan hakim

Penjualan benda gadai untuk mengambil pelunasan piutang dapat juga

terjadi jika si berpiutang menuntut di muka hakim supaya barang jaminan

dijual menurut cara-cara yang ditentukan hakim untuk melunasi utang

pokok beserta bunga dan biaya.128 Hal ini biasanya terjadi jika benda gadai

berupa benda antik.

h. Hak untuk menerima bunga piutang gadai

Hak ini berdasarkan Pasal 1158 KUH Perdata yang menentukan bahwa

“Pemegang gadai dari suatu piutang yang menghasilkan bunga, berhak

menerima bunga itu, dengan kewajiban memperhitungkan dengan bunga

piutang yang harus dibayarkan kepadanya.”129

i. Hak untuk menagih piutang gadai

Hak ini dilakukan dengan cara pemberian kuasa yang tidak dicabut kembali

dari pengguna jasa gadai kepada pemegang gadai untuk menagih dan

menerima pembayaran dari debitur yang utang-utangnya digadaikan. 130

Pemberian kuasa ini dicantumkan dalam perjanjian gadai.

Perusahaan Gadai sebagai salah satu pelaku usaha sektor Lembaga

keuangan juga harus memperhatikan perlindungan konsumen sebagaimana yang

diatur dalam POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor

Jasa Keuangan (“POJK PKSJK”).

127
Ibid.
128
Ibid.
129
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1158
130
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
60

Adapun hak-hak Perusahaan Gadai sebagai salah satu pelaku usaha gadai

adalah “berhak untuk memastikan adanya itikad baik konsumen dan mendapatkan

informasi dan/atau dokumen mengenai konsumen yang akurat jujur, jelas, dan

tidak menyesatkan”.131

Kewajiban-kewajiban Perusahaan Gadai sebagai salah satu pelaku usaha

sektor jasa keuangan meliputi:

1) Wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk


dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan;132
2) Wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses kepada
konsumen tentang produk dan/atau layanan;133
3) Wajib menyampaikan informasi kepada konsumen tentang penerimaan,
penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan;134
4) Wajib menggunakan istilah, frasa dan/ atau kalimat yang sederhana dalam
Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh konsumen dalam setiap
dokumen yang memuat hak dan kewajiban konsumen, dapat digunakan
konsumen untuk mengambil keputusan dan memuat persyaratan dan dapat
mengikat konsumen secara hukum;135
5) Wajib menyusun dan menyediakan rangkaian informasi produk dan/atau
layanan;136
6) Wajib memberikan pemahaman kepada konsumen mengenai hak dan
kewajiban konsumen;137
7) Wajib memberikan informasi mengenai biaya yang harus ditanggung
konsumen untuk setiap produk dan/atau layanan yang disediakan Pelaku
usaha jasa keuangan;138
8) Wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk
dan/atau layanan kepada konsumen sebelum konsumen menandatangani
dokumen dan/atau perjanjian produk dan/atau layanan;139

131
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 3
132
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 4
133
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 5
134
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 6
135
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 7
136
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 8
137
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 9
138
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 10
61

9) Wajib menginformasikan kepada konsumen setiap perubahan manfaat,


biaya, resiko, syarat, dan ketentuan yang tercantum dalam dokumen
dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan Pelaku usaha jasa
keuangan;140
10)Wajib menyusun pedoman penetapan biaya atau harga produk dan/atau
layanan jasa keuangan; 141
11)Wajib menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi
keuangan kepada konsumen dan/atau masyarakat;142
12)Wajib memberikan akses yang setara kepada setiap konsumen sesuai
klasifikasi konsumen atas produk dan/atau layanan Pelaku usaha jasa
keuangan;143
13)Wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan
konsumen dengan produk dan/atau layanan ditawarkan kepada
konsumen;144
14)Wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan dalam setiap penawaran atau
promosi produk dan/atau layanan mengenai nama dan/atau logo Pelaku
usaha jasa keuangan dan pernyataan bahwa Pelaku usaha jasa keuangan
terdaftar dan diawasi oleh OJK;145
15)Wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan
perjanjian dengan konsumen;146
16)Wajib menyusun perjanjian baku sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, jika memang menggunakan perjanjian baku;147
17)Wajib menghindari benturan kepentingan antara Pelaku usaha jasa
keuangan dengan konsumen;148
18)Wajib menyediakan layanan khusus kepada konsumen dengan kebutuhan
khusus;149

139
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 11
140
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 12
141
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 13
142
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 14
143
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 15
144
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 16
145
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 20
146
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 21
147
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 22
148
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 23
ayat 2
149
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 24
62

19)Wajib menjaga keamanan simpanan, dana atau aset konsumen yang berada
dalam tanggung jawab Pelaku usaha jasa keuangan;150
20)Wajib memberikan tanda bukti kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan
layanan kepada konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian
dengan konsumen;151
21)Wajib memberikan kepada konsumen tentang posisi saldo dan mutasi
simpanan, dana, aset atau kewajiban konsumen secara akurat, tepat waktu,
dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan konsumen;152
22)Wajib melaksanakan isntruksi konsumen sesuai dengan pejanjian dengan
konsumen dan ketentuan peraturan perundang-undangan;153
23)Wajib mencegah pengurus, pengawas dan pegawainya dari pelaku
memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukannnya, yang dapat merugikan konsumen;154
24)Wajib dengan bersama pengurus juga untuk mentaati kode etik dalam
melayani konsumen, yang telah ditetapkan oleh masing-masing Pelaku
usaha jasa keuangan;155
25)Wajib bertanggung jawab kepada konsumen atas tindakan yang dilakukan
oleh pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan Pelaku usaha jasa
keuangan;156
26)Wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian
pegaduan bagi konsumen;157
27)Wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan konsumen dan tindak
lanjut pelayanan dan pnyelesaian pengaduan konsumen dimaksud kepada
OJK, dalam hal ini Kepala Eksekutif yang melakukan pengawasan ata
kegiatan Pelaku usaha jasa keuangan;158
28)Wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari
kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan;159
150
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 25
151
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 26
152
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 27
153
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 28
154
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 30
ayat 1
155
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 30
ayat 2
156
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 30
ayat 3
157
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 32
158
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 34
159
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 35
63

29)Wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan


menyelesaikan pengaduan yang diajukan konsumen;160
30)Setelah menerima pengaduan konsumen, Pelaku usaha jasa keuangan
wajib melakukan :
(a) Pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar dan
objektif;
(b) Melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan;
(c) Menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi atau
perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan konsumen benar.161
31)Wajib memiliki sistem pengawasan bagi direksi atau pengurus dalam
rangka perlindungan konsumen;162
32)Wajib membentuk sistem pelaporan untuk menjamin optimalisasi
pengawasan direksi atau pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan peraturan
ini;163
33)Wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis
perlindungan konsumen;164
34)Wajib memiliki sistem pengendalian internal terkait dengan perlindungan
konsumen;165

Selain itu, kewajiban Perusahaan Gadai juga diatur dalam POJK UP yakni

sebagai berikut:

a. Perusahaan Gadai yang menyelenggarakan kegiatan usaha penyaluran uang


pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia wajib melakukan mitigasi
risiko yang dilakukan dengan cara :166
1) Mengalihkan risiko usaha melalui mekanisme asuransi kredit atau
peminjaman kredit;
2) Mengalihkan risiko atas barang yang menjadi agunan melalui
mekanisme asuransi; dan/atau
3) Melakukan pendaftaran jaminan fidusia atas barang yang menjadi
jaminan dari kegiatan usaha.

160
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 36
161
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 38
162
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 48
ayat 1
163
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 48
ayat 2
164
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 49
165
Indonesia (POJK PKSJK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013, Pasal 50
166
Indonesia (POJK UP), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha
Pergadaian, POJK No. 31/POJK.05/2016, LN No. 152 Tahun 2016, Pasal 15
64

b. Perusahaan Gadai wajib menetapkan barang jaminan yang dapat diterima


sebagai jaminan;167
c. Perusahaan Gadai wajib memiliki tempat penyimpanan barang jaminan
berdasarkan hukum gadai dan barang titipan yang memenuhi persyaratan
keamanan dan keselamatan serta barang jaminan itu wajib diasuransikan;168
d. Perusahaan Gadai wajib mengembalikan barang jaminan kepada pengguna
jasa gadai dalam kondisi fisik yang sama seperti saat penyerahan barang
jaminan, jika pengguna jasa gadai telah melunasi uang pinjaman beserta
bunganya;169
e. Perusahaan Gadai wajib mengganti jika barang jaminan hilang atau rusak,
dengan :170
1) Uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan barang
jaminan pada saat barang jaminan itu hilang atau rusak, untuk barang
jamina berupa perhiasan; atau
2) Uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai barang
jaminan pada saat barang jaminan tersebut dijaminkan, untuk barang
jaminan selain perhiasan.
f. Perusahaan Gadai wajib mengembalikan uang kelebihan dari hasil
penjualan barang jaminan yang dilakukan dengan cara lelang;171

Adapun kewajiban-kewajiban dari pemegang gadai adalah sebagai berikut:

a. Kewajiban memberitahukan kepada pengguna jasa gadai jika barang


jaminan dijual 172
b. Kewajiban memelihara benda gadai dapat disimpulkan dari bunyi Pasal
1157 ayat (1) yaitu “Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya
atau merosotnya barang jaminan, sekedar itu telah terjadi karena
kelalaiannya.”173 Begitu juga pemegang gadai tidak boleh
menyalahgunakan benda gadai.
c. Kewajiban untuk memberikan perhitungan antara hasil penjualan
barang jaminan dengan besarnya piutang kepada pengguna jasa
gadai.174
d. Kewajiban untuk mengembalikan barang jaminan
Kewajiban ini dapat diketahui dari bunyi Pasal 1159 ayat (1) KUH
Perdata, yaitu apabila:
167
Indonesia (POJK UP), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha
Pergadaian, POJK No. 31/POJK.05/2016, LN No. 152 Tahun 2016, Pasal 17
168
Indonesia (POJK UP), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha
Pergadaian, POJK No. 31/POJK.05/2016, LN No. 152 Tahun 2016, Pasal 22
169
Indonesia (POJK UP), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha
Pergadaian, POJK No. 31/POJK.05/2016, LN No. 152 Tahun 2016, Pasal 25 ayat 1
170
Indonesia (POJK UP), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha
Pergadaian, POJK No. 31/POJK.05/2016, LN No. 152 Tahun 2016, Pasal 25 ayat 2
171
Indonesia (POJK UP), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha
Pergadaian, POJK No. 31/POJK.05/2016, LN No. 152 Tahun 2016, Pasal 27
172
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
173
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1157 ayat 1
174
Adrian Sutedi, loc.cit.
65

1) Kreditur telah menyalahgunakan barang jaminan;


2) Debitur telah melunasi sepenuhnya, baik utang pokok, bunga dan biaya
utangnya serta biaya untuk menyelamatkan barang jaminan.175
e. Kewajiban untuk memperhitungkan hasil penagihan bunga piutang
gadai dengan besarnya bunga piutangnya kepada debitur.176
f. Kewajiban untuk mengembalikan sisa hasil penagihan piutang gadai
pengguna jasa gadai.177

4. Hak Mendahulukan (Droit de Preferen) Penerima Gadai


Droit de preference merupakan salah satu ciri dari jaminan

kebendaan. Droit de preference artinya “hak kebendaan yang lebih dulu terjadi

akan lebih diutamakan daripada yang terjadi kemudian atau sering juga disebut

asas prioritas.” 178 Hak ini memperoleh landasannya melalui ketentuan Pasal 1132

KUH Perdata, Pasal 1133 KUH Perdata dan Pasal 1134 KUH Perdata, selanjutnya

dipertegas kembali dalam pengertian gadai yang diberikan dalam Pasal 1150

KUH Perdata. Apabila debitur melakukan wanprestasi maka dalam jaminan

kebendaan kreditur mempunyai hak didahulukan (preferent) dalam pemenuhan

piutangnya di antara kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan harta benda

milik debitur.

Contoh droit de preference dalam pengaturan jaminan kebendaan gadai: 179

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai
jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui
kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan,
dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu
sebagai gadai dan yang harus didahulukan.

175
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1159 ayat 1
176
Adrian Sutedi, loc.cit.
177
Ibid, hal. 10
178
Hasbullah, F, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan, (Jakarta:
Ind-Hill, 2002), hlm.17.
179
Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun
1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1150
66

B. Beberapa Kondisi Lapangan yang Menyebabkan Barang Obyek Gadai


Hilang atau Rusak
Dengan dikuasainya barang jaminan milik nasabah dibawah penguasaan

langsung pihak gadai, maka sesuai dengan asas pihak gadai harus

menjaga keamanan dan pemeliharaan barang jaminan tersebut. Dengan

demikian apabila barang jaminan milik nasabah mengalami kerusakan atau

hilang, pihak gadai berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian.

Disini jelas, bahwa penguasaan secara langsung terhadap barang jaminan

milik nasabah mengandung tanggung jawab yang tidak kecil bagi pihak

gadai. Keberadaan barang jaminan tersebut pada prinsipnya mengandung

unsur untung rugi bagi pihak gadai. Keamanan kredit terjaga dan dilain pihak

adanya beban untuk menjaga barang agar barang jaminan tidak rusak

atau hilang. 180

Kasus yang pernah terjadi di PT Berkat Gadai Sumatera ialah rusaknya

barang jaminan yaitu sebuah kalung nasabah yang putus akibat kecerobohan

petugas gadai. Pihak gadai langsung menghubungi nasabah pemilik kalung

tersebut dan menegosiasikan tindakan apa yang harus dilakukan oleh pihak gadai,

apakah yang dilakukan oleh PT Berkat Gadai Sumatera dalam mekanisme.

Pertanggungjawabannya terhadap kerusakan barang jaminan adalah segera

memperbaiki atau disambung kembali kalung yang telah putus tersebut atas izin

dari pemeliknya. Barang jaminan ialah berupa kalung yang dibawah ketoko emas

untuk diperbaiki/disambung kembali dengan biaya perbaikan dua puluh lima ribu

rupiah tidak ditanggung oleh nasabah melainkan PT Berkat Gadai Sumatera. 181

180
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 24 Oktober 2022 di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
181
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 24 Oktober 2022 di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
67

Menurut seorang nasabah bernama Imas Nur yang pernah mengalami

kerusakan barang jaminan, pihak gadai cukup bijaksana dalam menyelesaikan

kasus-kasus kerusakan terhadap barang jaminan, dan tidak menyalahkan atau

melemparkan tanggung jawab kepada pemilik barang jaminan. Dengan catatan

bahwa kerusakan tersebut sebatas bukan kerusakan fisik misalnya jatuh atau

pecah yang dilakukan oleh petugas PT Berkat Gadai Sumatera, dan kerusakan

tersebut harus segera dilaporkan kepada pemilik barang jaminan (Nasabah).

Kerusakan yang terjadi terhadap barang-barang jaminan biasanya hanya

kerusakan kecil yang di sebabkan karena lamanya waktu penyimpanan sehingga

barang jaminan seperti kalung secara tidak sengaja terjatuh, tertumpuk oleh

kotak-kotak penyimpanan, atau tertarik dengan tidak sengaja, sehimgga

mengakibatkan kalung putus.182

Berdasarkan kejadian tersebut pihak pegadaian mempunyai anggaran

khusus untuk biaya perbaikan barang-barang jaminan yang rusak, sehingga

nasabah tidak merasa dirugikan. Pemberian ganti rugi terhadap barang jaminan

yang rusak di PT Berkat Gadai Sumatera sudah sesuai dengan prosedur dan

ketentuan-ketentuan yang berlaku, dimana kedua belah pihak (PT Berkat Gadai

Sumatera dan Nasabah) terjadi kerelaan dan tidak ada pihak yang merasa

dirugikan.

Selama jangka waktu berlangsungnya perjanjian gadai, dalam

kenyataannya tidak dapat dipungkiri adanya berbagai peristiwa atau kejadian

yang dapat menimpa barang-barang jaminan tersebut. Selama penyimpanan

barang jaminan tersebut banyak hal-hal yang menyebabkan barang jaminan

182
Wawancara, Imas Nur, Nasabah PT Berkat Gadai Sumatera, Pada Tanggal 27 Oktober
2022
68

mengalami kerusakan atau bahkan barang jaminan hilang. Misalnya yang

disebabkan kelalaian dari pihak pegadaian atau barang jamianan disimpan terlalu

lama yang menyebabkan barang jamian rusak, atau karena disebabkan pencurian

atau bencana alam yang mengakibatkan barang jaminan hilang. 183

C. Bentuk Perlindungan Bagi Konsumen Pengguna Jasa Gadai Dalam Hal


Hilang Atau Rusaknya Barang Jaminan Pada PT. Berkat Gadai
Sumatera

1. Kewajiban PT Berkat Gadai Sumatera Untuk Menjaga, Merawat


Barang Jaminan Gadai
Benda yang digadai merupakan amanat yang ada pada pegadaian yang

harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar

jaminan gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya

dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan

barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai sangat berkaitan erat

dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak

yang menggadai. Berdasarkan pernyataan yang tercantum pada Surat Bukti Gadai

(SBG) PT. Berkat Gadai Sumatera pada point 1 yaitu “Nasabah menerima dan

setuju terhadap uraian dan taksiran barang jaminan, penetapan uang pinjaman,

tarif sewa modal, biaya administrasi, biaya perawatan, biaya lainnya (jika ada)”.

PT. Berkat Gadai Sumatera dalam menjalankan operasional kegiatannya

bertanggungjawab secara hukum terhadap keselamatan dan keutuhan barang

gadai. Ketika barang gadai sudah berada di PT. Berkat Gadai Sumatera, maka

pihak pegadaian memiliki kewajiban untuk menjaganya sebagaimana ia menjaga

harta kekayaan pribadinya. Penjagaan itu bisa dilakukan demi menghindari


183
Oktavianto, J., & R Suharto, T., Tanggung Jawab PT. Pegadaian (Persero) Atas
Kerusakan dan Kehilangan Barang Gadai Di PT. Pegadaian (Persero) Kota
Semarang, (Diponegoro Law Journal, 2016), 5(3), 1-15.
69

kerusakan, karena apabila barang gadai itu rusak, maka PT. Berkat Gadai

Sumatera berkewajiban untuk menggantinya. 184

2. Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Hal Hilang Atau Rusaknya


Barang Jaminan Pada PT. Berkat Gadai Sumatera
Benda jaminan bagi pemberi gadai sejatinya merupakan benda yang

bernilai ekonomi dan penting dalam kehidupannya, maka agar tidak terjadi

kerugian terhadap barang yang dijaminkan tersebut sudah sewajarnya PT. Berkat

Gadai Sumatera mempunyai peranan yang besar dalam melakukan pengawasan

serta pemeliharaan barang yang berada dalam kekuasaannya, sehingga benda yang

dijaminkan tersebut tidak mengalami kerusakan atau hilang yang dapat merugikan

pemberi gadai (nasabah) yang telah menggadaikan barangnya. 185 Oleh karena itu

apabila terjadi hal yang menyebabkan jaminan tersebut rusak, hilang, berkurang,

atau bahkan tidak sesuai dengan kondisi awal saat penyerahan, maka hal tersebut

akan memberikan implikasi hukum bagi PT. Berkat Gadai Sumatera.

Mengenai rusaknya atau hilangnya barang jaminan yang telah digadaikan

maka PT. Berkat Gadai Sumatera hakikatnya harus memberikan ganti rugi. Hal

ini telah secara tegas diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian, diatur juga dalam

Pasal 1157 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada intinya menyatakan

bahwa “pelaku usaha gadai bertanggung jawab untuk hilang atau kemerosotan

harganya sekadar itu telah terjadi kelalaian dari pihak Perusahaan Gadai”.

Pertanggung jawaban PT. Berkat Gadai Sumatera terhadap barang jaminan yang

mengalami kerusakan baik itu kerusakan sebagian maupun kerusakan seluruhnya


184
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 5 Desember di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
185
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 5 Desember di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
70

maka PT. Berkat Gadai Sumatera akan bertanggungjawab memberikan uang ganti

rugi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016

tentang Usaha Pergadaian.

a. Perlindungan Preventif

Perlindungan Hukum terhadap pemberi gadai bersifat preventif dalam arti

suatu tindakan pencegahan untuk mencegah terjadinya kerugian atau masalah,

dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan barang atau aset. Dalam

hal ini, perlindungan preventif diterapkan pada barang jaminan untuk mengurangi

risiko kerusakan, hilang, atau kerugian selama proses gadai. Tindakan preventif

ini dapat berupa pengaturan prosedur, penerapan sistem pengamanan, serta

edukasi dan sosialisasi kepada nasabah.

Bentuk perlindungan preventif berdasarkan hukum meliputi:

1) Undang-undang perlindungan konsumen yang mengatur hak dan


kewajiban nasabah dan lembaga gadai.
2) Peraturan pemerintah dan regulasi industri yang mengatur praktik bisnis
dan pengelolaan barang jaminan.
3) Kontrak atau perjanjian antara nasabah dan lembaga gadai yang mengatur
hak dan kewajiban kedua pihak.
4) Sertifikasi dan standarisasi industri untuk memastikan kualitas layanan dan
perlindungan yang sesuai dengan standar.

Semua bentuk perlindungan preventif ini diterapkan untuk memastikan

keamanan dan keselamatan barang jaminan dan memenuhi hak dan kewajiban

nasabah serta lembaga gadai sesuai dengan hukum yang berlaku.

Selain itu, tentu perlindungan hukum preventif terhadap nasabah dilakukan

oleh PT. Berkat Gadai Sumatera, terhadap penaksiran barang gadai di PT. Berkat

Gadai Sumatera harus objektif berlaku ketentuan pihak pegadaian atas barang

gadaian. Nasabah dapat melihat dan menyaksikan sebelum surat gadai ditanda
71

tangani hal ini menghindari terjadinya kekeliruan yang mengakibatkan perbedaan

pendapat antara nasabah dan pihak pegadaian. 186

Perlindungan hukum preventif yang dilakukan oleh PT. Berkat Gadai

Sumatera, yaitu dengan melakukan beberapa cara seperti:187

1) Penyimpanan barang jaminan yang aman dan terjaga


2) Pemeriksaan rutin terhadap kondisi barang jaminan
3) Prosedur pengelolaan dan penanganan barang jaminan yang baik
4) Penyediaan asuransi untuk melindungi barang jaminan
5) Edukasi dan sosialisasi kepada nasabah tentang pentingnya perlindungan
barang jaminan.

Bentuk perlindungan preventif pencegahan dapat dilihat dari adanya

perjanjian yg mewajibkan perusahaan asuransi menjaga dan merawat obyek gadai

memberikan ganti rugi apabila terdapat kerusakan dan kehilangan terdapatnya

peraturan peruuan yn mewajibkan perusahaan gadai menjaga dan merawat barang

pembinaan dan pengawasan terhadap karyawan untuk menjaga dan merawat

obyek gadai.

b. Perlindungan Represif

Perlindungan represif adalah “perlindungan akhir berupa sanksi seperti

denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi

sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.”188 Dalam hal ini, perlindungan

represif diterapkan untuk memastikan bahwa pelaku yang melakukan tindakan

merugikan nasabah dan lembaga gadai akan dikenai sanksi hukum yang sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

186
ibid
187
ibid
188
H. Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan kebijakan publik: analisis atas praktek
ukum dan kebijakan publik dalam pembangunan sektor perekonomian di Indonesia (Universitas
Sunan Giri Surabaya bekerjasama dengan Averoes Press, 2002), hlm. 20
72

Bentuk perlindungan represif yang dilakukan PT. Berkat Gadai Sumatera

pada barang gadai meliputi:189

1) Tuntutan hukum bagi pelaku yang melakukan tindakan merugikan nasabah


atau lembaga gadai.
2) Prosedur penuntutan pidana bagi pelaku yang melakukan tindakan
kriminal seperti pencurian, penipuan, atau kebohongan.
3) Penerapan sanksi administratif oleh otoritas pemerintah atas pelaku yang
melanggar peraturan dan regulasi industri.
4) Penerapan sanksi internal oleh lembaga gadai atas pelaku internal yang
melakukan tindakan merugikan
Semua bentuk perlindungan represif ini bertujuan untuk memberikan sanksi

bagi pelaku yang melakukan tindakan merugikan nasabah dan lembaga gadai,

sehingga dapat meminimalisir risiko terjadinya tindakan merugikan lainnya. 190

189
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 5 Desember di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
190
Wawancara dengan Ruben M Simbolon selalu Karyawan PT Berkat Gadai Sumatera,
Pada Tanggal 5 Desember di kantor PT Berkat Gadai Sumatera
BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PT. BERKAT GADAI SUMATERA


DALAM HILANG ATAU RUSAKNYA BARANG SEBAGAI OBYEK
JAMINAN GADAI

A. Pertanggungjawaban Hukum PT. Berkat Gadai Sumatera Dalam Hilang


Atau Rusaknya Barang Jaminan

1. Pertanggungjawaban Perdata
Setiap perusahaan tentunya memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan

dan pemeliharaan barang jaminan milik Nasabah yang telah dititipkan ataupun

diagunkan kepada pihak pengelola perusahaan. Pertanggungjawaban tersebut

sangat melekat terhadap pihak perusaahan yang dalam hal ini ialah PT. Berkat

Gadai Sumatera.

Pertanggung jawaban berasal dari kata tanggung jawab, berarti “keadaan

wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya)”.191 Dalam kamus hukum ada dua

istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni “liability (the state of

being liable) dan responsibility (the state of fact being responsible)”. Dengan

diserahkannya barang jaminan gadai, maka keamanan akan terjaga, dan juga

pemeliharaan barang jaminan tersebut.192 Dengan demikian apabila barang

jaminan milik nasabah mengalami kerusakan atau kehilangan, pihak pegadaian

berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian.

Dalam hukum perdata terdapat peraturan yang mewajibkan si kreditur untuk

bertanggungjawab dalam hal rusak atau hilangnya barang milik debitur yaitu

sebagai berikut :

191
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976),
hlm. 1014.
192

73
74

Tanggung jawab berdasarkan Pasal 1157 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, adalah:

Si berpiutang adalah bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan


barangnya sekadar itu telah terjadi karena kelalaiannya. Sebaliknya si
berutang diwajibkan mengganti kepada si berpiutang segala biaya yang
berguna dan perlu yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut
belakangan ini guna keselamatan barang gadainya

Pasal 1157 KUHPerdata menentukan bahwa pemegang gadai bertanggung

jawab atas hilangnya atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu telah terjadi

karena kelalaiannya. Dengan dikuasainya barang jaminan milik nasabah dibawah

penguasaan langsung pihak pegadaian, maka sesuai dengan asas pihak pegadaian

harus menjaga keamanan dan pemeliharaan barang jaminan tersebut. Dengan

demikian apabila barang jaminan milik nasabah mengalami kerusakan atau

kehilangan, pihak pegadaian berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian.193

Selain ketentuan Pasal 1157 KUH Perdata, Pasal 1365 KUHPerdata juga

mengatur mengenai ganti rugi atau pemberian kompensasi atas perbuatan

melawan hukum akibat kealpaan yang merugikan orang lain “perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan karena kurang hati-hati atau

kealpaan memiliki akibat hukum yang sama, yaitu pelaku tetap bertanggung

jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan dari Perbuatan Melawan

Hukum yang dilakukannya.”194

Berdasarkan ketentuan yang telah diatur jelas terkait pertanggungjawaban

pengelola gadai dalam hukum perdata Indonesia, maka PT. Berkat Gadai

Sumatera mengikuti ketentuan tersebut dan mencamtumkan aturan mengenai

pertanggungjawaban PT. Berkat Gadai Sumatera dalam memberikan ganti rugi


193
Islami et. al., “Aspek Hukum atas Rusaknya Barang Jaminan di PT.Pegadaian (Persero)
dan Perlindungan Hukumnya”, Jurnal Fakultas Hukum, Nomor 1 Volume 11 2021, hlm 199.
194
Indonesia (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 1365.
75

terhadap barang jaminan milik konsumen sesuai dengan syarat-syarat dan

ketentuan yang berlaku dalam PT. Berkat Gadai Sumatera.195

Dalam menjalankan pertanggungjawaban secara perdata dalam hal hilang

atau rusaknya barang jaminan, PT. Berkat Gadai Sumatera akan memberikan

ganti rugi terhadap barang jaminan milik konsumen sesuai dengan syarat-syarat

dan ketentuan yang berlaku dalam PT. Berkat Gadai Sumatera. Dalam melakukan

ganti rugi atas kehilangan ataupun kerusakan terhadap barang gadai milik

nasabah, pihak PT. Berkat Gadai Sumatera hanya akan memberikan ganti rugi

berupa barang bukan berupa uang cash.196

Adapun besaran ganti rugi yang dapat diberikan oleh PT. Berkat Gadai

Sumatera ialah “maksimal seratus persen dari harga suatu barang dan minimalnya

menggantinya berupa barang second yang sesuai dengan barang merek barang

milik si nasabah”. Hal itu pun sangat jelas tertuang dalam lembaran Surat Bukti

Gadai (SBK) yang telah di tandatangani oleh perwakilan dari PT. Berkat Gadai

Sumatera dan juga konsumen.197

Sebelum PT. Berkat Gadai Sumatera memberikan ganti rugi atas hilang atau

rusaknya barang jaminan, maka PT. Berkat Gadai Sumatera terlebih dahulu akan

melakukan penaksiran berapa besaran rata-rata harga jual dari barang jaminan

milik konsumen melalui market place. Setelah menentukan berapa besaran harga

rata-ratanya maka, pihak dari PT. Berkat Gadai Sumatera akan menghubungi

konsumen dalam mengkompromikan terkait besaran nilai ganti rugi yang akan

diberikan oleh PT. Berkat Gadai Sumatera kepada pihak konsumen. Dan jika

195
Wawancara dengan Daniel, Customer Service PT. Berkat Gadai Sumatera, 16 Desember
2022, pukul 17:00 WIB.
196
Ibid
197
Ibid
76

konsumen setuju dengan besaran kerugian yang ditawarkan, maka PT. Berkat

Gadai Sumatera akan memberikan ganti rugi terhadap barang jaminan milik

konsumen dalam jangka waktu maksimal selama 7 hari setelah terjalin

kesepakatan antar kedua belah pihak.198

2. Pertanggungjawaban Pidana
Selain bertanggung jawab secara perdata dalam hal hilang atau rusaknya ba

rang jaminan milik Nasabah, PT. Berkat Gadai Sumatera juga dapat dimintai

pertanggungjawaban secara pidana jika diperlukan. PT. Berkat Gadai Sumatera

memiliki kewajiban dalam menjalankan memenuhi tugas dan tanggungjawabnya

terhadap kesepakatan yang telah dibuat oleh pihak PT. Berkat Gadai Sumatera

dengan Nasabah. Adapun jika unsur pasal dalam pidana terpenuhi bukan tidak

mungkin PT. Berkat Gadai Sumatera dapat di tuntut pidana ke pengadilan. Contoh

kasus jika PT. Berkat Gadai Sumatera telah terbukti unsur melakukan perusakan

barang jaminan milik Nasabah dengan mengakibatkan barang jaminan tersebut

tidak dapat digunakan kembali ataupun menghilangkan barang sesuatu yang selur

uhnya atau sebagian milik orang lain, maka PT. Berkat Gadai Sumatera dapat

dijerat hukum dengan pasal Pasal 406 KUHP.199 Adapun isi dari pasal 406 yaitu :

(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merus
akkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu ya
ng seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penj
ara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan me
lawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan ata
u menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
Adapun unsur-unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP, yaitu:
a. Barangsiapa;
b. Dengan sengaja dan melawan hukum;

198
Ibid
199
Ibid.
77

c. Melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tida


k dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu; dan
d. Barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain

Apabila semua unsur dalam pasal pengrusakan KUHP tersebut terpenuhi, m

aka PT. Berkat Gadai Sumatera dapat dihukum pidana penjara paling lama 2 tahu

n 8 bulan atau denda paling banyak Rp4,5 juta, sebagaimana telah disesuaikan den

gan Perma 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan

(Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Dalam hukum pidana, pihak yang dapat dipidana sebagai pelaku tidak terba

tas hanya pada pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut secara langsung. M

enurut Jan Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana, “yang digolongkan atau di

anggap sebagai pelaku (dader) tindak pidana setidaknya ada 4 macam sebagaiman

a diatur dalam Pasal 55 KUHP”, yaitu (hal. 306-328):200

a. Mereka yang melakukan sendiri sesuatu perbuatan pidana (plegen);


b. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan
pidana (doen plegen);
c. Mereka yang turut serta (bersama-sama) melakukan sesuatu perbuatan p
idana (medeplegen); dan
d. Mereka yang dengan sengaja menganjurkan (menggerakkan) orang lain
untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking).

Selain itu, dikenal pula pembantu suatu kejahatan (medeplighitige) yang


diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan:

a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

b. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.201

200
Oktavira, B., Pasal 406 KUHP, Jerat Hukum bagi Pelaku Perusakan,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pasal-406-kuhp-jerat-hukum-bagi-pelaku-perusakan-
lt507c193a38a75, diakses pada tanggal 16 Desember 2022 pukul 19:06 WIB.
201
Indonesia (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 56
78

Sedangkan, bagi pelaku pengrusakan Pasal 406 ayat (1) KUHP tersebut

dapat timbul 2 konsekuensi sebagai berikut:

a. Jika pelaku perusakan tidak tahu bahwa perintah tersebut bertujuan untuk
merusak sesuatu. Misalnya, pelaku mengira bahwa ia memang harus
menghancurkan suatu bangunan karena memang tidak terpakai lagi dan
akan dibuat bangunan baru, maka tidak ada unsur kesengajaan untuk
merusak sesuatu milik orang lain dengan cara yang melawan hukum.
b. Jika pelaku perusakan tahu sedari awal bahwa perintah tersebut memang
untuk merugikan orang lain dengan cara merusak barang, maka ada unsur
kesengajaan yang mengakibatkan pelaku dapat dijerat Pasal 406 KUHP
tentang perusakan.202
Contoh kasus lain ialah kasus penggelapan yang dilakukan oleh PT. Berkat

Gadai Sumatera ataupun anggota dari PT. Berkat Gadai Sumatera juga dapat

diminta pertanggungjawaban secara pidana. Adapun jika unsur pada pasal 372

yaitu “penggelapan terhadap barang jaminan gadai milik Nasabah, maka PT.

Berkat Gadai Sumatera diwajibkan unutk bertanggungjawab terhadap tindak

pidana yang dilakukan oleh PT. Berkat Gadai Sumatera ataupun anggota nya

sendiri”. Adapun isi dari pasal 372 yaitu “Barangsiapa dengan sengaja memiliki d

engan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagainya termasuk ke

punyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, d

ihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tah

un.”203

Pasal 372 KUHP merumuskan definisi tentang penggelapan yang merupaka

n kepemilikan yang melawan hak terhadap barang kepunyaan orang lain. Pasal 37

2 KUHP adalah sebagai berikut:

a. Pertama: sengaja;
b. Kedua: melawan hukum;
c. Ketiga: memiliki suatu barang;
d. Keempat: yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

202
Indonesia (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 406 ayat (1)
203
Indonesia (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 372
79

e. Kelima: yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.204


Pasal 372 KUHPidana ini terdiri dari unsur objektif dan subjektif:

a. Unsur subjektif yakni Unsur kesengajaan; memuat pengertian mengetah

ui dan menghendaki. Berbeda dengan tindak pidana pencurian yang tida

k mencantumkan unsur kesengajaan atau 'opzettelijk' sebagai salah satu

unsur tindak pidana pencurian. Rumusan Pasal 372 KUHPidana menca

ntumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan, sehingga

dengan mudah orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzet

telijk delict atau delik sengaja.

b. Sementara unsur objektif terdiri dari:

1) Pertama, Barang siapa; seperti yang telah dipaparkan dalam tindak


pidana pencurian, kata 'barang siapa' ini menunjukan orang. Apabil
a seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapa
n maka dia dapat disebut pelaku atau 'dader'.
2) Kedua, Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki);
mentri kehakiman pemerintahan kerajaan Belanda, menjelaskan ma
ksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang se
buah benda seolah-olah merupakan pemiliknya, bertentangan deng
an hak yang membuat benda tersebut berada padanya.
3) Ketiga, Suatu benda; ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipin
dah- pindahkan ataupun dalam prakteknya sering disebut 'benda be
rgerak'.
4) Keempat, Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain.
5) Kelima, Benda yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahata
n; yaitu harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pe
laku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan205
Penggelapan dalam rumusan KUHP adalah tindak kejahatan yang meliputi

unsur-unsur “Dengan sengaja; Barang siapa; Mengambil; Suatu benda; Sebagian/s

eluruhnya kepunyaan orang lain; Menguasai benda tersebut dengan melawan huku

m; dan Benda Yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan”. Menurut Cl

eiren inti delik penggelapan ialah “penyalahgunaan kepercayaan”. Selalu menyan

gkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada ora
204
ndonesia (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 372
205
Ibid.
80

ng yang menggelapakan itu. Batas klasik antara pencurian dan penggelapan ialah

“pencurian "mengambil" barang yang belum ada padanya, sedangkan pada pengg

elapan barang itu sudah ada di dalam kekuasaannya”. Delik penggelapan adalah

“delik dengan berbuat atau delik komisi”. Waktu dan tempat terjadinya penggelap

an ialah “waktu dan tempat dilaksanakannya kehendak yang sudah nya”. Tiap kej

ahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan perundang-unda

ngan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan yang d

ilakukan.206

Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur kejahatan penggelapan, maka har

us terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Pertama, yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu,


b. Kedua, benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau seba
hagian,
c. Ketiga, benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan
itu, bukan memiliki benda itu harus tanpa hak207

3. Pertanggungjawaban Administrasi Negara


PT. Berkat Gadai Sumatera memiliki kewajiban dalam melakukan ganti

rugi terhadap barang jaminan yang rusak ataupun hilang milik konsumen

sebagaimana yang tertuang dalam point ke 4 pada Surat Bukti Gadai milik PT.

Berkat Gadai Sumatera. Jika terjadi suatu sengketa di kemudian hari antara PT.

Berkat Gadai Sumatera dan Nasabah, yang dimana salah satunya ialah “tidak

terjalin kesepakatan terkait besaran ganti rugi terhadap barang jaminan yang

hilang milik konsumen, maka upaya hukum sebelum melalui jalur pengadilan,

maka dapat dipilih menggunakan jalur non litigasi”.


206
Mugiyati, Badan Pembinaan Hukum Nasional Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum,
“Penggelapan yg sudah dijadikan surat perjanjian hutang”,https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?
id=592#:~:text=Penggelapan%20dalam%20rumusan%20KUHP%20adalah,dalam
%20kekuasaannya%20tidak%20karena%20kejahatan, diakses pada tanggal 16 Desember 2022
pukul 19:06 WIB.
207
Ibid.
81

Nasabah dapat membuat laporan ke Lembaga Alternatif Penyelesaian

Sengketa yang dibentuk oleh OJK. LAPS adalah “lembaga yang melakukan

penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan”. LAPS akan membantu upaya

penyelesaian sengketa antara nasabah dengan PT. Berkat Gadai Sumatera. LAPS

akan menilai permasalahan-permasalahan dari PT. Berkat Gadai Sumatera dan

menentukan apakah izin usaha dari PT. Berkat Gadai Sumatera akan dicabut atau

tidak. Sebelum pencabutan izin usaha suatu perusahaan maka LPAS akan

melakukan sanksi adminstrasi terlebih dahulu terhadap PT. Berkat Gadai

Sumatera. Adapun jenis-jenis dari sanksi administrasi ialah sebagai berikut:

Sanksi administrasi merupakan konsekuensi dari suatu norma yang


dirumuskan dalam bentuk larangan, perintah (keharusan), atau wajib
(kewajiban) yang bersifat administrasi. Adanya sanksi ini diharapkan akan
memudahkan penegakan norma tersebut dan merupakan upaya agar
ketentuan peraturan perundang-undangan ditaati.208
Beberapa macam sanksi administratif, yaitu:
a. Peringatan/teguran lisan;
b. Peringatan/teguran tertulis;
c. Tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang/ politiedwang);
d. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan:
e. Denda administratif;
f. Pengenaan uang paksa (dwangsom)209
Adapun terkait ketentuan mengenai pencabutan izin usaha gadai ialah sebagai

berikut:

Bagian Kedua belas Sanksi Administratif selain Denda Keterlambatan

Pelaporan Pasal 45

a. PUJK dan/atau pihak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal
12 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 13 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal
15, Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 17 ayat (1)
dan ayat (4), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (6), ayat (7), dan
ayat (8), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3),
208
Setiadi, W., “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satuinstrumen Penegakan Hukum Dalam
Peraturanperundang-Undangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, nomor 4 volume 6 2009, hlm. 608.
209
Ibid.
82

Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 30 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 34,
Pasal 35 ayat (1), Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 41
ayat (1), dapat dikenai sanksi administratif berupa:
1) peringatan tertulis;
2) denda;
3) larangan sebagai pihak utama sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai penilaian kembali bagi pihak utama Lembaga
Jasa Keuangan;
4) pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
5) pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
6) pencabutan izin produk dan/atau layanan; dan
7) pencabutan izin usaha.
b. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
c. Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dikenakan paling banyak sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).210

Bagian Ketiga Sanksi Administratif:

Pasal 50

a. PUJK dan/atau pihak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), Pasal 48, dan Pasal 49, dapat dikenai
sanksi administratif berupa:
1) peringatan tertulis;
2) denda;
3) larangan sebagai pihak utama sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai penilaian kembali bagi pihak utama
Lembaga Jasa Keuangan;
4) pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
5) pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
6) pencabutan izin produk dan/atau layanan; dan
7) pencabutan izin usaha.
b. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
c. Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dikenakan paling banyak sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).211

210
Indonesia (POJK RI), Peraturan Otoritas Jasa Keungan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, Pasal
45.
211
Indonesia (POJK RI), Peraturan Otoritas Jasa Keungan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, Pasal
83

Pasal 53

a. Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melakukan kegiatan di


sektor jasa keuangan wajib memenuhi permintaan dokumen dan/atau
informasi yang disampaikan Otoritas Jasa Keuangan untuk penilaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5).
b. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan batas waktu yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
c. Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat dikenai sanksi administratif berupa:
1) peringatan tertulis;
2) denda;
3) larangan sebagai pihak utama sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai penilaian kembali bagi pihak utama
Lembaga Jasa Keuangan;
4) pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
5) pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
6) pencabutan izin produk dan/atau layanan; dan
7) pencabutan izin usaha.
d. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sampai dengan
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
e. Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat
dikenakan paling banyak sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).212
Pasal 55

a. Untuk Perlindungan Konsumen dan Masyarakat, Otoritas Jasa


Keuangan berwenang:
1) melakukan verifikasi dan pemeriksaan khusus terhadap pengaduan;
2) meminta PUJK untuk menghentikan kegiatannya jika kegiatan
tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan/atau
3) melakukan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. PUJK wajib melaksanakan permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan melaksanakan tindak lanjut atas tindakan lain yang
dihasilkan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c.
c. PUJK yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dapat dikenai sanksi administratif berupa:
1) peringatan tertulis;

50.

212
Indonesia (POJK RI), Peraturan Otoritas Jasa Keungan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, Pasal
53.
84

2) denda;
3) larangan sebagai pihak utama sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai penilaian kembali bagi pihak utama
Lembaga Jasa Keuangan;
4) pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
5) pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha;
6) pencabutan izin produk dan/atau layanan; dan
7) pencabutan izin usaha.
d. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b sampai dengan
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
e. Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat
dikenakan paling banyak sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).213
Dalam pencabutan izin usaha nantinya, OJK akan mengeluarkan Surat
Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan terkait pencabutan izin
usaha gadai suatu perusaahan.

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam Hal Hilang atau Rusaknya


Barang Jaminan pada PT. Berkat Gadai Sumatera

Adapun secara umum mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal hilang

atau rusaknya barang jaminan antara pihak Pegadaian dengan para Nasabah

dilakukan melalui 2 cara yaitu “jalur non litigasi maupun jalur litigasi ke

pengadilan negeri setempat”.214

Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Non Litigasi. Berdasarkan penjelasan

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang “Kekuasaan

Kehakiman dapat diketahui bagi masyarakat tidak terdapat keharusan untuk

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih

menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian atau arbitrase”. 215

213
Indonesia (POJK RI), Peraturan Otoritas Jasa Keungan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, Pasal
55.

214
Wawancara dengan Daniel, Customer Service PT. Berkat Gadai Sumatera, 16 Desember
2022, pukul 17:00 WIB.
215
Islami et. al., op.cit. Hal 201.
85

Pengertian arbitrase tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

para pihak yang bersengketa.” Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengatur tentang

bentuk dan mekanisme hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau pendapat ahli.216

Hal itu pun juga telah diatur dalam poin 21 pada Surat Bukti Gadai milik

PT. Berkat Gadai Sumatera dalam upaya penyelesaian sengketa terhadap para

nasabah jika terjadi sengketa di kemudian hari. Apabila terjadi perselisihan di

kemudian hari akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat dan apabila

tidak tercapai kesepakatan maka para pihak akan menyerahkan penyelesaian

sengketa sesuai dengan peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor

jasa keuangan dan peraturan OJK mengenai lembaga alternatif penyelesaian

sengketa beserta peraturan penyelesaiannya.217Adapun ketentuan mengenai

penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa berpedoman pada POJK

mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, yaitu POJK 2013 dan

Peraturan OJK mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yaitu

“Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK 2014)”.218

216
Ibid.
217
Surat Bukti Gadai PT. berkat Gadai Sumatera, Poin 21.
218
Lex Journal: Kajian Hukum &
Keadilan”,https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/hukum, Vol. 6 No. 1 (2022), diakses pada
tanggal 16 Desember 2022 pukul 19:06 WIB.
86

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) adalah “lembaga yang

melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan”. Bilamana timbul masalah

antara nasabah dengan perusahaan pergadaian maka upaya yang harus dilakukan

dengan diselesaikan terlebih dahulu oleh perusahaan pergadaian. Bilamana tidak

tercapai kesepakatan pengaduan tersebut maka nasabah dan perusahaan

pergadaian dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau

melalui pengadilan.

Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui LAPS. Oleh karena

karakteristik jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis dan penuh inovasi

maka LAPS memerlukan prosedur yang cepat, berbiaya murah dengan hasil yang

objektif, relevan dan adil. LAPS dimuat dalam daftar Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK. Penyelesaian sengketa melalui

LPAS bersifat rahasia sehingga masing-masing pihak yang bersengketa lebih

nyaman dalam melakukan proses penyelesaian sengketa dan tidak memerlukan

waktu yang lama karena didesain dengan menghindarkan kelambatan prosedural

dan administartif. Adapun mekanisme penyelesaian sengketa antara Nasabah

dengan pihak PT. Berkat Gadai Sumatera ialah sebagai berikut :219

a. Pelaksanaan Penyelesaian secara Kekeluargaan

Pelaksanaan penyelesaian ganti kerugian secara damai sebenarnya

merupakan prioritas dari PT. Berkat Gadai Sumatera. Karena PT.

Berkat Gadai Sumatera mengutamakan prinsip kekeluargaan serta

mengingat sebagian besar debitur merupakan golongan ekonomi lemah.

Upaya perdamaian dilakukan dengan jalan mendatangi debitur yang

kehilangan barang jaminan, untuk melakukan negosiasi mengenai


219
Ibid.
87

kehilangan atau kerusakan barang jaminan, sehingga tercipta kata

sepakat diantara kedua pihak.220

b. Pelaksanaan Penyelesaian melalui Jalur Hukum

Penyelesaian ganti kerugian melalui jalur hukum atau pihak ketiga

melalui peradilan merupakan jalan terakhir jika tidak ada lagi jalan lain

yang bisa ditempuh dengan perdamaian. Akan tetapi upaya peradilan

sebisa mungkin dihindari, hal ini dikarenakan Penyelesaian melalui

peradilan memerlukan waktu yang relatif lama dan juga membawa

dampak yang buruk bagi PT. Berkat Gadai Sumatera sendiri. Sehingga

nasabah jadi takut dan tidak percaya lagi kepada PT. Berkat Gadai

Sumatera, karena bagi mereka bentuk kesalahan apapun yang

melibatkan peradilan adalah merupakan aib yang sangat memalukan

nama baik mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian,

dalam upaya penyelesaian terhadap ganti kerugian pihak PT. Berkat

Gadai Sumatera sendiri lebih memilih untuk melakukan upaya

perdamaian.221

220
Wawancara dengan Daniel, Customer Service PT. Berkat Gadai Sumatera, 16 Desember
2022, pukul 17:00 WIB.
221
Ibid.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dalam skripsi

ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan mengenai perlindungan konsumen dalam hal hilang atau

rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai telah diakomodir dengan

baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. bahwasanya

dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut mengatur tentang asas-asas

perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen serta hak dan

kewajiban pelaku usaha serta berkenaan mengenai tanggungjawab

perusahaan gadai selaku pelaku usaha dalam terjadinya kehilangan atau

rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai.

2. Bentuk perlindungan bagi konsumen pengguna jasa gadai dalam hal hilang

atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai pada PT. Berkat Gadai

Sumatera yaitu dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi. PT.

Berkat Gadai Sumatera akan bertanggungjawab memberikan uang ganti

rugi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian. Barang jaminan yang berada

dalam penguasaan PT Berkat Gadai Sumatera mengalami kerusakan atau

hilang yang tidak disebabkan oleh suatu bencana alam (Force Majure)

yang ditetapkan oleh pemerintah. Ganti rugi diberikan setelah

diperhitungkan dengan uang pinjaman, sewa modal, dan biayanya (jika

88
89

ada), sesuai ketentuan penggantian yang berlaku di PT Berkat Gadai

Sumatera.

3. Pertanggungjawaban hukum PT. Berkat Gadai Sumatera dalam hilang atau

rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai yaitu dengan memberikan

ganti kerugian. Dalam menjalankan pertanggungjawaban secara perdata

dalam hal hilang atau rusaknya barang jaminan, PT. Berkat Gadai

Sumatera akan memberikan ganti rugi terhadap barang jaminan milik

konsumen sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku dalam

PT. Berkat Gadai Sumatera. Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh

pihak PT. Berkat Gadai juga memungkinkan untuk dimintakan

pertanggungjawaban baik secara Perdata, Pidana maupun secara

Administrasi Negara jika memenuhi unsur.

B. Saran
Saran yang dapat dikemukakan oleh penulis terkait penulisan skripsi ini

adalah antara lain:

1. Pengaturan perlindungan konsumen terhadap rusaknya barang sebagai

obyek jaminan gadai di indonesia telah diatur dalam Undang-Undang

sebagaimana yang dijabarkan diatas. Namun dalam perkembangannya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dapat dilakukan perbaharuan guna

mengikuti arah perkembangan masyarakat untuk dalam lebih menjamin

perlindungan konsumen.

2. perlindungan bagi konsumen pengguna jasa gadai dalam hal hilang atau

rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai pada PT. Berkat Gadai

Sumatera sekiranya dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai ketentuan


90

yang berlaku serta konsumen mengetahui hak-haknya secara jelas untuk

menerima kompensasi atas kerugian yang diterima oleh masyarakat selaku

konsumen gadai.

3. Dalam hal Pertanggungjawaban hukum PT. Berkat Gadai Sumatera dalam

hilang atau rusaknya barang sebagai obyek jaminan gadai sebaiknya

dilaksanakan atau dipenuhi oleh PT. Berkat gadai sesuai dengan ketentuan

yang berlaku agar tidak menimbulkan kerugian kepada konsumen gadai

serta diharapkan kepada PT. Berkat Gadai Sumatera untuk lebih menjamin

obyek gadai untuk dijaga atau diberikan perlindungan untuk mengurangi

adanya resiko kerusakan hinggaa kehilangan obyek gadai.


DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Abdurahman. 2009, Sosiologi dan Metodelogi Penelitian Hukum. Malang :


UMM Press.

Alexander, L. & Sherwin, E. 2018, The Rule of Rules: Morality, Rules and the
Dilemmasof Law. Duke University Prels. Durkhani.

Ali, Z. (2009), Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Badrulzaman, M., 1997, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia.

Bandung.

Barkatullah, A., 2008, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press, Banjarmasin

Dewi, E, 2015, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Firdausy, C., 2018, Peran Industri Keuangan Non Bank terhadap Perekonomian

Nasional, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hasan, M, 2002, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,

Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Hasan, I, 2008, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, Jakarta: Bumi Aksara.

Hasbullah, F, 2002, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi

Jaminan, Jakarta: Ind-Hill.

Ibrahim, J, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia, Publishing.

Janus, S, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti.

Kartohadiprodjo, S., 1993, Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.

91
92

Kasmir, 2016, Bank dan lembaga keuangan lainnya, Jakarta : RajaGrafindo

Persada.

Kurniawan, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen: Problematika Kedudukan

dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK), Malang: Universitas Brawijaya Press.

Latumaerissa, J., 2017, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Mitra

Wacana Media.

Mansyur, M., 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen

Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Genta Press.

Marzuki, P., 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Kencana.

Miru, A., Yodo, S., 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai

Pustaka.

Prodjodikoro, W., 1981, Hukum Perdata tentang Hak atas Benda, Jakarta: PT

Intermasa.

Rachmadi, S., 2000, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Jakarta: Cet. l.

Djambatan.

Sutedi, A., 2001, Hukum Gadai Syariah, Bandung: Alfabeta.

Sofyan, S., 2011, Hukum Jaminan di Indonesia. Pokok-pokok Hukum Jaminan

Perseorangan, Yogyakarta: Liberty Offset.

Sunggono, B, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Soekanto, S., 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.


93

Soemitro, R., 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta: PT Ghalia

Indonesia.

Soerjono, S., Sri, M., 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono, 2017, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sunggono, B., 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Suryabrata, S., 1998, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafmdo Persada.

Sugiyono, 2015, Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods), Bandung:

Alfabeta.

Sunarto, 1990, Metode Penelitian Deskriptif, Surabaya: Usaha Nasional.

Shidarta, 2000, Hukum perlindungan konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Gramedia

Widiasarana.

Suwandono, A., & Dajaan, S., 2015, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:

Universitas Terbuka.

Shofie, Y., 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sirait, N., 2003, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka

Bangsa Press.

Sutedi, A., 2001, Hukum Gadai Syariah, Bandung: Alfabeta.

Subekti & Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

Pradnya Paramita.
94

Sofwam, S., 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberti.

Triandaru, S. & Budisantoso, T., 2008, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,

Jakarta: Salemba Empat Usman, R. (2011). Hukum Kebendaan Jakarta:

Sinar Grafika.

Waluyo, B, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta:Sinar Grafika.

Widjaja, G., 2004, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Widodo, J., 2003, Good Governance. Surabaya: Insan Cendikia.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun 1946, LN No. 23 Tahun

1847.

Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN

No. 42 Tahun 1999.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Usaha Pergadaian, POJK No.

31/POJK.05/2016, LN No. 152 Tahun 2016.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,

POJK No. 1/POJK.07/2013, LN No. 118 Tahun 2013.

Peraturan Otoritas Jasa Keungan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022

Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa

Keuangan.

C. Jurnal

Andriyadi, F., 2019, Good Governance Government And Government. Jurnal of

Multidisciplinary Islamic Studies, 1(2).


95

Aprilia, R., P., & Mas, A., T., 2022, Kedudukan Hukum Surat Bukti Gadai dalam

Menjamin Kepastian Hukum Kepada Pemberi Gadai, Jurnal

Pendidikan Tambusai, 6(2).

Febriani, A. Y., & Arsika, I. M. B., 2014, Tanggung Jawab Kreditor Atas

Hilangnya Barang Gadai. Jurnal Ilmu Hukum, 2(6).

Islami et. al., 2021, Aspek Hukum atas Rusaknya Barang Jaminan di

PT.Pegadaian (Persero) dan Perlindungan Hukumnya, Jurnal Fakultas

Hukum, 1(11).

Kartikawati, R., 2010, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Pemakaian Label Makanan Di Purwokerto, Jurnal Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 7(2).

Makhfudz, M., 2020, Kondisi Perlindungan Konsumen Di Negara Indonesia

Pada Tahun 2019, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, 7(2).

Niru, A., S., & Nunuk, S., 2018, Pelaksanaan Perlindungan Konsumen di

Indonesia, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 5(2).

Nurmahayani & Keneng. 2016, Bentuk Pengawasan Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat Dalam Memberikan Perlindungan

Terhadap Konsumen, Jurnal Hukum Perdata Fakultas Hukum

Universitas Udayana, 4(3).

Oktavianto, J., & R Suharto, T., 2016, Tanggung Jawab PT. Pegadaian (Persero)

Atas Kerusakan dan Kehilangan Barang Gadai Di PT. Pegadaian

(Persero) Kota Semarang. Diponegoro Law Journal, 5(3).

Rif’ah, R., 2019, Perlindungan Hak Konsumen Dalam Transaksi Elektronik (E-

Commerce), Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, 8(2).


96

Setiadi, W., 2009, Sanksi Administratif Sebagai Salah Satuinstrumen Penegakan

Hukum Dalam Peraturanperundang-Undangan. Jurnal Legislasi

Indonesia, 4(6).

Siregar, P. A., 2020, Akibat Hukum Pelelangan Objek Jaminan Gadai Oleh

Kreditur Tanpa Adanya Peringatan Terhadap Nasabah Oleh Perum

Pegadaian, Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 1(1).

Zubaedah, R., dkk, 2021, Aspek Hukum atas Rusaknya Barang Jaminan di PT.

Pegadaian (Persero) dan Perlindungan Hukumnya. Humani (Hukum

dan Masyarakat Madani), 11.

D. Skripsi

Nurizzulfi, A., 2017, Skripsi: Pelelangan Obyek Gadai Sebagai Akibat Debitur

Wanprestasi (Studi Kasus Di Kantor Pt Pegadaian Cabang Genteng).

Jember: Universitas Jember.

Uzlah, I., 2018, Skripsi: Tanggung Jawab Yuridis Pihak Kreditur Terhadap

Jaminan Gadai Milik Debitur (Crediteursverzuim). Surabaya:

Universitas 17 Agustus 1945.

E. Internet

Ariyanti, D. (2021). Bisnis Gadai Makin Ramai Peminat.

https://bisnisindonesia.id/article/bisnis-gadai-makin-ramai-peminat,

diakses pada Senin 25 April 2022, Pukul 15:00 WIB

Mugiyati, Badan Pembinaan Hukum Nasional Pusat Penyuluhan dan Bantuan

Hukum, “Penggelapan yg sudah dijadikan surat perjanjian hutang”,

https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=592#:~:text=Penggelapan

%20dalam%20rumusan%20KUHP%20adalah,dalam%20kekuasaannya
97

%20tidak%20karena%20kejahatan, diakses pada tanggal 16 Desember

2022 pukul 19:06 WIB.

Oktavira, B., Pasal 406 KUHP, Jerat Hukum bagi Pelaku Perusakan,

https://www.hukumonline.com/klinik/a/pasal-406-kuhp-jerat-hukum-

bagi-pelaku-perusakan-lt507c193a38a75, diakses pada tanggal 16

Desember 2022 pukul 19:06 WIB.

2022, Lex Journal: Kajian Hukum & Keadilan,

https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/hukum, diakses pada tanggal

16 Desember 2022 pukul 19:06 WIB.

F. Sumber lain

Surat Bukti Gadai (SBG), PT. Berkat Gadai Sumatera

Anda mungkin juga menyukai