Anda di halaman 1dari 106

PEMBINAAN TERPIDANA MATI

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I PALEMBANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Bagian Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

OLEH :

ADE PRATAMA RAMADHAN

02011381419442

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019

i
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM
PALEMBANG

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI


NAMA : ADE PRATAMA RAMADHAN
NIM : 02011381419442
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI

PEMBINAAN TERPIDANA MATI

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I PALEMBANG

Secara substansi telah disetujui untuk mengikuti Ujian Komprehensif

Palembang, 2019

Pembimbing Utama, Pembimbing Pembantu,

Dr. Hj. Nashriana, S.H, M.Hum. Dr. H.Syarifuddin Pettanasse,S.H.,M.H


NIP. 196509181991022001 NIP. 195412141981031002

Ketua Bagian Hukum Pidana

Dr. Hj. Nashriana, S.H., M.Hum.


NIP. 196509181991022001

ii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : ADE PRATAMA RAMADHAN

Nomor Induk Mahasiswa : 02011381419442

Tempat/ Tanggal Lahir : Prabumulih/ 31 Januari 1996

Fakultas : Hukum

Strata Pendidikan : S1

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini tidak memuat bahan-bahan yang
sebelumnya telah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun
tanpa mencantumkan sumbernya. Skripsi ini juga tidak memuat bahan-bahan yang
sebelumnya telah dipublikasikan atau ditulis oleh siapapun tanpa mencantumkan
sumbernya dalam teks.

Demikianlah pernyataan ini telah saya buat dengan sebenarnya. apabila saya
terbukti telah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pernyataan ini, saya
bersedia menanggung segala akibat yang timbul dikemudian hari sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Palembang, 2019

ADE PRATAMA RAMADHAN


NIM. 02011381419442

iii
MOTTO:

“Learn from yesterday, live for today,hope for tomorrow.

The important thing is not to stop questioning”

(Albert Einstein)

Kupersembahkan kepada :

1. Kedua Orangtuaku tercinta

2. Saudariku tersayang

3. Keluarga Besarku yang kusayangi

4. Sahabat-sahabat terbaikku

5. Almamater kebanggaanku

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

serta karunia-Nya sehingga penulisan skripsi yang penulis lakukan dapat diselesaikan

dengan baik dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Shalawat serta salam

tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah

memberikan tauladan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul PEMBINAAN TERPIDANA MATI DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS I PALEMBANG.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti ujian

skripsi/komprehensif untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya Palembang. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak

kekurangan, oleh karenanya penulis sangat mengharapkan saran dan masukan guna

untuk kesempurnaan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya, serta

dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya

dibidang ilmu hukum. Akhir kata, semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat

karunia-Nya kepada kita semua.

Palembang, 2019

Ade Pratama Ramadhan

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Setelah melalui proses yang sangat panjang maka dalam kesempatan yang

baik ini penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat

rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik,

serta shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad

SAW, keluarga dan para sahabatnya yang telah memberikan tauladan bagi penulis.

Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini atas bimbingan dan bantuan

dari yang terhormat Ibu Dr. Hj. Nashriana, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Utama

dan Bapak Dr. H.Syarifuddin Pettanasse,S.H.,M.H. selaku Pembimbing Pembantu,

terima kasih atas saran dan masukan serta kritik kepada penulis dalam melakukan

penulisan skripsi ini. Serta ucapan terima kasih penulis kepada :

1. Kedua Orangtuaku, Papa dan Mama tercinta dan tersayang terima kasih atas

doa, dukungan dan kasih sayang yang sangat berarti dalam segala aspek

kehidupanku.

2. Yang tercinta dan tersayang Mama Deli Mardiana, Deca Priatama, Adik-

adikku Regina Dwi Andini dan Decen Karalen Ustender, terima kasih atas

dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini Seluruh Keluarga

besarku yang tidak dapat ku sebutkan satu persatu.

3. Bapak Dr. Febrian, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya.

4. Bapak Dr. Mada Apriandi Zuhir, S.H.,M.CL selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sriwijaya.

vi
5. Bapak Dr. Ridwan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya.

6. Bapak Prof. Drs. H. Murzal, S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sriwijaya.

7. Bapak Usmawadi, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik.

8. Ibu Dr. Hj. Nashriana, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi

9. Bapak Dr. H. Syarifuddin Pettanasse, S.H.,M.H selaku pembimbing skripsi

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang telah senantiasa

dengan ikhlas memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis.

11. Seluruh Staff dan Karyawan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya.

12. Bapak Riyanto, Bc.,IP.,S.H. Selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang.

13. Bapak Dapat Sembiring, S.H. selaku Kepala Bidang Pembinaan Narapidana

di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.

14. Bapak Syamsuddin, Bapak Herman Anwar, Bapak Amad Fausan, Bapak

Daniel, Bapak Herman, Kak Tessa, Kak Basar, serta Seluruh Staff dan

Pegawai di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.

15. Bapak Taufiqurrachman, S.H., kak Adi, kak Teo, mbak fitri, yuk Yuyun, yuk

Okta, yuk siska, yuk Maria. Kantor Notaris PPAT Taufiqurrachman,S.H dan

rekan. Terima kasih atas pelajaran dan bimbingan yang telah diberikan selama

mengikuti kegiatan KKL Tahun 2019.

vii
16. Kak Indra dan Yuk Suryani, terimkasih atas semua bantuan dan do’anya serta

terima kasih telah menjadikan dan memperlakukan saya sebagai keluarga

sendiri di Palembang ini.

17. Sahabat-sahabat Kevin Naradian, Eko Saputra, Riyan Apriyansyah dan

seluruh sahabat-sahabat terbaikku yang tak bisa disebutkan satu persatu.

18. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Kampus Palembang

Angkatan 2014 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

19. Kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata terhadap semua doa, dukungan dan bantuan yang telah diberikan

kepada penulis. Semoga silaturahmi tetap terjaga dan Semoga Allah SWT dapat

menerima kebaikan dan amal saleh dan memberikan pahala yang berlipat ganda.

Semoga ilmu yang penulis dapatkan menjadi ilmu yang berkah dan skripsi ini

bermanfaat bagi kita semua.

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii

HALAMAN PERNYATAAN............................................................................ iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi

ABSTRAK ........................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7

D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 8

E. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 9

F. Kerangka Teori ........................................................................... 9

G. Metode Penelitian ....................................................................... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan ......................................... 24

1. Pengertian Pemidanaan.......................................................... 24

ix
2. Perkembangan Teoritis Tentang Tujuan Pemidanaan ............. 31

B. Pengertian Terpidana................................................................... 39

C. Tinjauan Tentang Lembaga Pemasyarakatan ............................... 41

1. Perkembangan Sistim Kepenjaraan ....................................... 41

2. Lembaga Pemasyarakatan .................................................... 51

3. Hak - Hak Narapidana Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan . 54

D. Tinjauan Tentang Pidana Mati ..................................................... 56

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewajiban Pembinaan Terpidana Mati di Lembaga

Pemasyarakatan........................................................................... 62

B. Pembinaan Terhadap Terpidana Mati di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang .............................................. 75

1. Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang ............................................................................. 73

2. Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Terpidana Mati di

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang ......................... 80

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 89

B. Saran ........................................................................................... 90

DAFTAR PUTAKA

LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Warga Binaan Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Palembang ............................................................................... 81

Tabel 2. Data Narapidana Seumur Hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang ......................................................................................... 83

xi
ABSTRAK
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan narapidana dibina untuk kembali ke
masyarakat, Pembinaan sejatinya akan kembali ke masyarakat tetapi pada
kenyataannya narapidana pidana mati tidak akan pernah kembali ke masyarakat,
sedangkan sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab. Dalam proses resosialisasi dilakukan pembinaan dan pembimbingan terlebih
dahulu, namun dalam hal itu terdapat beberapa hal, salah satunya bagaimana dengan
terpidana mati. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Palembang. Membahas skripsi ini dengan memfokuskan pada rumusan masalah yang
pertama, apakah terpidana mati di lembaga pemasyarakatan wajib dilakukan
pembinaan. Kedua, bagaimana pembinaan terhadap terpidana mati di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Palembang. Penelitian menggunakan metode penelitian
hukum empiris, penulis membahas aturan dan pelaksanaan mengenai pembinaan
terhadap terpidana mati serta implementasinya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Palembang. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa, terhadap terpidana mati tidak
ditemukan aturan mengenai wajib tidaknya dilakukan pembinaan dan penempatan
juga tidak harus di lembaga pemasyarakatan namun bisa ditempat lain. Di lembaga
pemasyarakatan status terpidana mati hanya titipan samapai di eksekusi, namun pada
prinsipnya setiap terpidana yang berada dilapas akan mendapatkan pembinaan
termasuk terpidana mati. Serta, dalam hal pembinaan narapidana seumur hidup belum
ada pengaturan khusus sehingga pembinaannya sama dengan pembinaan narapidana
pada umumnya, akan tetapi pembinaan dan pembimbingan lebih berfokus pada
pembinaan kepribadian dalam kegiatan beribadah sesuai kepercayaannya masing-
masing.

Kata Kunci: Pembinaan, Terpidana Mati, Lembaga Pemasyarakatan.


Palembang, Juli 2019
Pembimbing Utama Pembimbing Pembantu

Dr. Hj.Nashriana, S.H.,M.Hum Dr. H.Syarifuddin Pettanasse,S.H.,M.H


NIP. 196509181991022001 NIP. 195412141981031002

Ketua Bagian Hukum Pidana

Dr. Hj.Nashriana,S.H.,M.Hum

NIP. 196509181991022001

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana mati merupakan salah satu dari pidana pokok yang dapat

dijatuhkan oleh majelis hakim dalam putusannya untuk menyelesaikan dan

mengadili setiap perkara perkara pidana berat. Pidana mati adalah pidana yang

terberat dari semua pidana, yang hanya diancamkan kepada kejahatan-kejahatan

yang tergolong dalam kejahatan kejam. 1

Pidana mati dianggap pidana yang paling tua, setua umur manusia,

sehingga menimbulkan pro dan kontra terhadap penggunaannya.Di beberapa

negara, pidana mati tidak pernah ada atau telah dihapuskan. Contoh negara yang

telah menghapuskan pidana mati adalah Venezuela, Coloumbia, Rumania,

Brazil, Costarica, Uruguay,Chili, Denmark, dan Belanda. 2

Di Indonesia Pidana mati mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918

sebagaimana tercantum dalam Wetboek Van strafrecht (KUHP) yang ditetapkan

oleh pemerintah kolonial Belanda berdasarkan K.B.v. 15 Oktober 1915, No. 33.

S. 15-732 jis. 17-497, 645 yakni W.v.S yang sudah berlaku di Hindia Belanda.

Peninjauan pidana mati telah dinasionalisasikan dengan Undang-Undang Nomor

1
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, PT.Refika Aditama, Bandung, hlm.81.
2
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983,Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di
Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, hlm. 26,27,32.

1
2

1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik

Indonesia yang mengubah menjadi Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), yang delik-deliknya itu terdapat dalam Pasal 10 KUHP dan ada pula

delik yang tersebar diluar KUHP dalam wujud UU. Ketentuan itu telah

ditransformasikan dalam memori penjelasan (Memorie van Toelichting), bahwa

negara berhak untuk menjalankan semua peraturan ini, termasuk pidana mati

sebagai keharusan dengan maksud agar negara dapat memenuhi kewajibannya

untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum. 3

Meskipun pidana mati kerap kali di perdebatkan karena selalu

menimbulkan pro-kontra baik dikalngan akademisi maupun dikalangan

masyarakat luas, namun hingga saat ini pidana mati merupakan salah satu

hukuman yang masih diberlakukan di Indonesia dan masih diterapkan, hal ini

dapat dilihat dari ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) tertuang dalam BAB II yang berbunyi :

Pasal 10 KUHP.

Pidana terdiri atas :

a. Pidana Pokok

1. Pidana Mati;

2. Pidana Penjara;

3. Pidana Kurungan;

3
Auliah Andika Rukhman, 2016, “Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan
Penegakan HAM”, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume IV No. 1 Mei 2016, hlm. 1.
https://media.neliti.com/media/publications/61161-ID-pidana-mati-ditinjau-dari-prespektif-
sos.pdf

2
3

4. Pidana Denda;

5. Pidana Tutupan.

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu;

2. Perampasan Barang-Barang Tertentu;

3. Pengumuman Putusan Hakim.

Pasca reformasi, Pemerintah Indonesia telah melakukan eksekusi mati

terhadap 33 orang terpidana mati, dimana 13 orang dieksekusi pada masa

pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, satu orang pada masa

pemerintahan presiden Megawati, dan 18 orang pada masa pemerintahan

presiden Jokowi saat ini. Pada masa pemerintahan presiden Habibie danpresiden

Abdurrahman Wahid tidak ada pelaksanaan eksekusi mati. 4sebelum terpidana

mati di eksekusi mati biasanya ada jeda waktu yang cukup lama sampai tiba

waktunya eksekusi di laksanakan, pada saat masa sebelum pelaksanaan eksekusi

terpidana dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat melakukan kegiatan pembinaan

terhadap narapidana dengan sistem pemasyarakatan yang telah dicanangkan oleh

Sahardjo sejak tahun 1964.”Dengan demikian diharapkan lembaga

pemasyarakatan dapat berfungsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mewujudkan sistem


4
Samuel Agustinus*, Eko Soponyono, Rahayu, 2016, “Pelakasaan Pidana Mati Di
Indonesia Pasca Reformasi Dari Perspektif Hak Asasi Man Usia”, Diponegoro Law Journal
Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, hlm. 6. https://media.neliti.com/media/publications/59298-ID-
pelakasaan-pidana-mati-di-indonesia-pasc.pdf

3
4

pemasyarakatan.5Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, dalam Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa “Lembaga

Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

Narapidana yang ada didalam Lembaga Pemasyarakatan bervariasi

adanya, mulai dari umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan,jenis

kejahatan dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan. Terpidana mati pun juga menjadi salah satu warga binaan Lembaga

Pemasyarakatan, selagi terpidana menunggu datangnya eksekusi.Pidana mati

memiliki tujuan, yaitu sebagai pengganjaran dan juga pelajaran bagi masyarakat

agar tidak melakukan kejahatan tersebut.6

Pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi vonis hukuman mati oleh

pengadilan memiliki kesempatan hidup yang berbeda dengan pelaku tindak

pidana yang tidak mendapat vonis hukuman mati. Dengan melihat pada realitas

yang dihadapi oleh pelaku tindak pidana yang dijatuhi hukuman mati bahwa

mereka tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan atau

perilakunya lagi dalam kehidupan bermasyarakat, karena sudah dipastikan dia

tidak akan lagi berinteraksi secara sosial dengan masyarakat.7

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang merupakan salah satu

lembaga pemasyarakatan yang bertugas untuk melaksanakan pembinaan


5
Marlina, Op.Cit., hlm. 134.
6
Yon Artiono Arba’i,2015,Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan Pidana
Mati, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),Jakarta,hlm.67.
7
Suwarso, Pembinaan Bagi Terpidana Mati,
https://hukum.ump.ac.id/images/pdf/ARTIKEL8.pdf, di akses pada tanggal 09 Oktober 2018,
pukul 16:25 WIB.

4
5

narapidana agar menyadari kesalahannya dan memperbaiki diri lagi serta tidak

akan mengulangi perbuatannya lagi seperti tindak pidana yang sebelumnya

ataupun tindak pidana lainnya agar supaya dapat kembali hidup normal

selayaknya di dalam masyarakat.Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang

dimungkinkan untuk dapat menampung juga beberapa terpidana mati.

Dari data yang diperoleh melalui Sistem Database Pemasyarakatan (SDP)

di dapati bahwa jumlah kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang

ialah berkapasitas 540 (lima ratus empat puluh) orang akan tetapi tahanan dan

narapidana didalamnya berjumlah 1704 (Seribu tujuh ratus empat) orang, apabila

dijumlahkan maka didapati kelebihan kapasitas 1164 (seribu seratus enam puluh

empat) orang, yang artinya sudah 216% (dua ratus enam belas persen) terjadi

over kapasitas yang luar biasa di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang. 8

Selanjutnya dari pra-riset yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Palembang didapati melaui bagian informasi umum yang menyebutkan

bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang memang terdapat

beberapa terpidana mati yang di bina di dalamnya akan tetapi tidak disebutkan

secara rinci berapa jumlah terpidana mati yang dibina tersebut dengan alasan

sesuai Standard Operating Procedure (SOP) setiap proses mencari ataupun

meminta data lebih lanjut terkait data rinci narapidana yang di bina di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang harus mendapat surat izin terlebih dahulu dari

8
Sistem Database Pemasyarakatan (SDP),
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/detail/daily/upt/db70f470-6bd1-1bd1-9dfc-
313134333039,di akses pada tanggal 01 Oktober 2018, pukul 22:36 WIB.

5
6

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Sumatera

Selatan .

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas

penulis tertarik untuk mencoba menganilisis permasalahan dalam bentuk

penulisan skripsi dengan judul PEMBINAAN TERHADAP

TERPIDANAMATI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I

PALEMBANG.

6
7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang penelitian diatas, terdapat beberapa

permasalahan yang dapat penulis kemukakan sebagai identifikasi Masalah dan

untuk membatasi agar pembahasan tidak meluas, yaitu sebagai berikut :

1. Apakah terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan wajib dilakukan

pembinaan?

2. Bagaimana pembinaan terhadap terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Palembang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apakah terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan wajib

dilakukan pembinaan.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana pembinaan terhadap

terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.

7
8

D. Kegunaan Penelitian

Melalui bagian ini selanjutnya dapat ditentukan bahwa kegunaan

penelitian ini terbagi dalam 2 (dua) kegunaan yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangsih dalam

perkembangan ilmu hukum pidana pada umumnya yang berkaitan dengan

pembinaan terhadap terpidana mati di lembaga pemasyarakatan.

2. Kegunaan Praktis

a. Skripsi ini diharapkan bisa memberikan suatu masukan kepada kalangan

aparat penegak hukum, serta lembaga pemasyarakatan dalam rangka

pembinaan terhadap terpidana mati di lembaga pemasyarakatan.

b. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sebuah kontribusi ide atau

pemikiran yang dapat dijadikan bahan pengetahuan bagi siapa saja yang

membutuhkan. Khususnya kalangan fakultas hukum Universitas

Sriwijaya dan perguruan tinggi lainnya serta masyarakat pada umumnya

yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang pembinaan terhadap

terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.

8
9

E. Ruang Lingkup Penelitian

Di dalam penelitian ini, agar diperoleh pembahasan yang terarah dan

terpadu, maka akan dibatasi pada hal-hal yang berupa pelengkap dan yang

menjadi komponen-komponen yang terkait, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Dengan dititik beratkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang dalam pembinaan terhadap terpidana mati.

F. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini,

maka digunakan teori mengenai penegakan hukum yang dikemukakan

Soerjono Sukanto, yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi penegakan hukum, antara lain9:

1. Faktor hukumnya sendiri yang dibatasi undang-undang saja;

2. Faktor penegak hukumnya, yakni pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum tersebut;

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dari hukum tersebut berlaku dan

diterapkan;

9
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet.
Kelima, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.5.

9
10

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi

dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dan efektivitas

penegakan hukum.

2. Teori Tujuan Pemidanaan

Di Indonesia hukum positif belum pernah merumuskan tujuan

pemidanaan selama ini wacana tujuan pemidanaa masih dalam tatanan yang

bersifat teoritis.Namun sebagai bagan kajian, Rancangan KUHP Nasional

menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam

BAB II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.

Tujuan pemidanaan, menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya

pokok-pokok hukum pidana, yaitu:

a. Untuk menakut nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik

menakut-nakiti orang tetentu yang sudah melakukan kejahatan agar di

kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif),atau

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang orang-orang yang

melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya

sehingga bermanfaat bagi masyarakat.10

10
Sani Imam Santoso, 2014, Teori Pemidanaan Dan Sandera Bahan Gijzeling, Penaku,
Jakarta, hlm.57.

10
11

P.A.F Lamintang, dalam bukunya hukum pidana, menyatakan pada

dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai

dengan satu pemidanaan, yaitu:11

1. untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.

2. untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-

kejahatanyang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara lain yang sudah

tidak dapat diperbaiki lagi.

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu tidak mampu untuk

melakukan kejahatan-kejhatan yang lain, yakni penjahat yang dengan

cara-cara yang lain sudah tidak dapat di perbaiki lagi.

Pendapat tersebut melahirkan sebuah Teori Tujuan Pemidanaan yang

pada umumnya teori pemidanaan terbagi atas tiga sebagai berikut:

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)

Menurut teori pidana di jatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan kejahatan atau tindak pidana. Sebagaimana dikemukakan oleh

beberapa ahli, sebagai berikut :

Menurut Muladi:12

“Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan


pembalasanatau kesalahan yang telah dilakukan sehingga
berpotensi pada perbuatan yang terletak pada terjadinya
kejahatan itu sendiri.Teori ini menegaskan bahwa sanksi telah
melakukan kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus

11
P.A.F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
hlm.23.
12
Ibid., hlm. 58.

11
12

ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan


kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan
keadilan.”

Sedangkan, R.Soesilo mengatakan:13

“Pidana adalah suatu pembalasan berdasarkan atas keyakinan


zaman kuno, bahwa siapa yang membunuh harus di bunuh.Dasar
keyakinan itu adalah “TALIO” atau “QISOS” dimana orang
yang membunuh harus menebus dosanya dengan jiwanya
sendiri.Ini berarti bahwa kejahatan itu sendirilah yang memuat
unsur menuntut dan membenarkan dijatuhkannya pidana”.

2. Teori Relatif atau Tujuan (DoelTheorieen)

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar pidana

adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Muladi berpendapat mengenai teori ini sebagai berikut: 14

“Pidana bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku atau


sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.Sanksi ditekankan
pada tujuannya, untuk mencegah agar orang tidak melakukan
kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas
keadilan.”

Berdasarkan teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditunjukan kepada pelaku

maupun pencegahan umum. 15Teori pencegahan umum atau algemene

preventie theorieen yang ingin dicapai dari tujuan pidana, yakni semata-

mata yakni membuat jerah setiap orang agar tidak melakukan kejahatan-

kejahatan. Sedangkan teori pencegahan khusus atau bijzondere preventie

13
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penintensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010,
hlm. 53.
14
Sani Imam Santoso, 2010, Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, Storia
Grafika, Jakarta, hlm. 59.
15
Ibid., hlm. 60.

12
13

theorieen, yang ingin dicapai dari tujuan pidana yakni membuat jera,

memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu

untuk melakukan kejahatan itu lagi. 16

3. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern memandang tujuan pemidanaan

bersifat plural karena mengabungkan antara prinsip-pirnsip relatif (tujuan)

dan absolut (pembalasan) sebagai suatu kesatuan.

Teori ini di perkenalkan oleh Prins, Van Hammel, dan pandangan

sebagai berikut:17

1. Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu

gejala masyarakat;

2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus

memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis;

3. Pidana ialah yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah

untuk memberantas kejahatan.pidana bukanlah satu-satunya sarana.

Oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri, akan tetapi

harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.

3. Teori Rehabilitasi

16
P.A.F Lamintang, 2018, Hukum Penintensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm
15.
17
Sani Imam Santoso, Op.Cit.,hlm. 60.

13
14

Pemahaman teori Rehabilitasi sesuai dengan pola pembinaan

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ialah karena penempatan seseorang

yang dikatakan sebagai narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dengan

maksud membatasi kemerdekaan seseorang bertujuan untuk memperbaiki

pelaku kejahtatan agar berperilaku wajar dan pantas dengan mencantumkan

norma-norma yang berlaku di masyarakat atau dapat dikatakan

merehabilitasi perilaku dari pelaku tindak kejahatan atau narapidana.18

Kedudukan sifat dan fungsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 di

Lembaga Pemasyarakatan dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga

binaan cukup penting karena yang tadinya warga binaan dianggap sebagai

sampah masyarakat, oleh lembaga pemasyarakatan ditujukan agar kembali

menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta dapat diharapkan

berperan aktif dan produktif dalam pembangunan dan bagi dirinya sendiri.

Pencapaian tujuan yang dilakukan oleh pihak lembaga pemasyarakatan

melalui 10 (sepuluh) prinsip pokok pemasyarakatan, bentuk-bentuk

pembinaan, dan pengayoman yakni pembinaan mental, sosial dan

keterampilan.

Sepuluh (10) prinsip pokok pemasyarakatan dalam melakukan

pembinaan di Lembaga pemasyarakatan antara lain: 19

18
Direktorat Jendral Pemasyarakatan, 2002, Sejarah Pemasyarakatan (Dari Kepenjaraan
ke Pemasyarakatan), Departemen Kehakiman RI, Jakarta, hlm.55.
19
C. Djisman Samosir, 2002,Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung,
hlm. 130.

14
15

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;

2. Penjatuhan pidana bukan tidndakan balas dendam negara;

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat;

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat

dari pada sebelum dijatuhi pidana;

5. Selama kehilangan kemerdekaan untuk bergerak, para narapidan dan

anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak

boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau

kepentingan negara. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan

pekerjaan dimasyarakat dan menunjang peningkatan produksi;

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak

didik harus berdasarkan pancasila;

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat harus

diperlakukan sebagai manusia seutuhnya untuk disadarkan;

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

sebagai salah satu derita yang dialaminya;

10. Disediakan dan dipupuk sarana yang dapat mendukung fungsi

rehabilitasi, koreksi dan edukasi dalam sistem pemasyarakatan.

15
16

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Dalam mengkaji permasalahan dibidang ilmu hukum haruslah

disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas, maka tipe penlitian ini

menggunakan metode penelitian hukum empiris yaitu sebuah metode

penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang

nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum di

masyarakat.20 yaitu penulis mencoba mengamati pembinaan terhadap

terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang. Tipe

penelitian ini memberikan banyak informasi keadaan saat ini dan membantu

dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berguna dalam pelaksanaan

penelitian skripsi ini.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

pendekatan kasus (case approach) danpendekatan sosiologis (socio legal

approach).Pendekatan kasus(case approach) adalah salah satu metode

penelitian dalam ilmu sosial, dalam riset yang menggunakan metode ini

dilakukan pemerikasaan longitudinal yang mendalam terhadap suatu keadaan

atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan menggunakan cara – cara

yang sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, analisis

informasi, dan pelaporan hasilnya. Sebagai hasilnya akan diperoleh

20
Fokky Fuad, Pemikiran Ulang Atas Metode Penelitian Hukum,
https://uai.ac.id/2011/04/13/pemikiran-ulang-atas-metodologi-penelitian-hukum/, di akses pada
tanggal 17 Oktober 2018, pukul 00:11 WIB.

16
17

pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat

menjadi dasar bagi riset selanjutnya. Studi kasus dapat digunakan untuk

menghasilkan dan menguji hipotesis.21

Pendekatan sosiologis (socio legal approach), yaitu pendekatan

penelitian yang menggunakan logika – logika dan teori klasik maupun

modern untuk menggambarkan pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena

lain. 22

3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

a. Data Primer

Adapun data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh langsung

dari sumbernya dalam penelitian ini, diperlukan sebagai data pokok

dalam memberikan pemahaman secara jelas, lengkap dan komprehensif

terhadap data sekunder.

b. Data Sekunder

Dalam penelitian ini data sekunder merupakan data penunjang dari data

primer yang diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum

secara teliti yang meliputi :

1) Bahan Hukum Primer, antara lain :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

21
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian hukum,,Kencana Penada Media Group,
Jakarta, hlm. 95.
22
Ibid.

17
18

b) Undang-Undang Negeri Republik Indonesia Nomor 2/PNPS/1964


Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang

Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan

Milter.

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995

Tentang Pemasyarakatan.

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002

Tentang Grasi.

e) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan.

f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999

Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan.

g) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan.

h) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012

Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32

Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak

Warga Binaan Pemasyarakatan.

18
19

i) Peraturan kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun


2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

2) Bahan Hukum Sekunder, berupa bahan hukum yang menunjang dan

yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti

:buku-buku lain yang berkaitan dengan penulisan dan penelitian

skripsi ini, sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian. 23

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus umum, kamus hukum dan

majalah hukum yang memuat informasi yang relevan dengan objek

penelitian.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang yang beralamat di Jl. Taqwa Mata Merah, Karya Mulia, Sematang

Borang, Kota Palembang.

5. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh terpidana mati di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang dan seluruh petugas Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang.

23
Ronny Hanitijo Soemitro, 1984, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, hlm 5.

19
20

b. Sampel

Dalam penulisan skripsi ini, teknik penarikan sampel yang digunakan

adalah purposive sampling.24 Maksudnya sampel di pilih terlebih dahulu

dengan pertimbangan dan tujuan tertentu, berdasarkan kedudukan dan

keyakinan bahwa sampel yang diambil dapat mewakili seluruh populasi

dalam penelitian.Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi

sampel dalam penelitian ini adalah :

1) Terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang

2) Petugas dan pembimbing kemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data kualitatif

yaitu penelitian yang memasukan juga situasi sosial tertentu dengan

melakukan observasi serta wawancara pada orang-orang yang dipandang tahu

tentang situasi sosial tersebut. Pada penelitian kualitatif , pertanyaam

penelitian tidak dirumuskan atas dasar definisi operasional dari suatu variabel

penelitian. Pertanyaan di rumuskan dengan maksud untuk memahami gejala

yang kompleks, interaksi sosial yang terjadi dan kemungkinan ditemukan

hipotesis atau teori baru.25 Penelitian ini juga memakai data-data yang penulis

dapat dari petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.

24
Soerjono Soekanto, 1984,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, hlm. 5.
25
Sugiyono, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Alfabeta,
Bandung, hlm. 237.

20
21

a. Kepustakaan (Library Research)

Berupa Undang-undang, asas-asas hukum, pemikiran konseptual

serta penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian, literatur-

literatur, buku-buku lain yang ada dan relevan dengan materi penelitian

yang akan dibahas, termasuk peraturan-peraturan perundang-undangan

lain yang mendukung pembahsan permasalahan.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Untuk mendapatkan data-data lain yang menunjang penelitian

ataupun penelitian yang dilakukan merupakan upaya untuk memperoleh

data primer berupa dokumen-dokumen dan keterangan atau informasi

dari wawancara bebas tepimpin kepada responden dan petugas yang

termasuk dalam komponen Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.

Dimana wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan

sebagai pedoman, dengan maksud untuk memperoleh penjelasan dan

klarifikasi dari responden tersebut. Dan juga dengan menyiapkan

questioner berupa pertanyaan-pertanyaaan yang akan di isi oleh terpidana

mati yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang. Lalu

dengan melakukan observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung

pada objek penelitian. Penentuan responden berdasarkan kewenangan,

pengetahuan dan pengalamnnya yang dianggap dapat memberikan

informasi mengenai pembinaan terpidana mati di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang. Serta meneliti dan menganalisa

21
22

terhadap arsip terpidana mati yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas

I Palembang.

7. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh baik data primer maupun sekunder setelah

dikumpulkan, kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara data yang

telah dikumpulkan diteliti dan diperiksa kembali. Kegiatan ini dimaksudkan

untuk mengetahui apakah semua pertanyaan yang belum terjawab atau belum

ada relevannya jawaban dengan pertanyaan, atau masih ada kekurangan data

maka akan diperbaiki dengan cara melakukan pertanyaan ulang dan

pertanyaan tambahan kepada responden yang bersangkutan untuk

menyempurnakan dan melengkapi data tersebut.

8. Teknik Analisis Data

Proses analisis data dilakukan terhadap semua data baik data primer

maupun sekunder secara deskriptif kualitatif yaitu analisa terhadap data-data

yang membuat bobot dalam hubungnnya dengan pokok permasalahan

penulisan ini. 26

9. Penarikan Kesimpulan

Penelitian dalam skripsi ini menarik kesimpulan secara kualitatif

dengan menggunakan pendekatan induktif yaitu, cara berfikir dengan

menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat khusus ke data yang bersifat

umum dan dengan pendekatan deduktif, yaitu cara berfikir dengan menarik

kesimpulan dari data-data yang bersifat umum ke data yang bersifat lebih

26
Ibid, hlm 32.

22
23

khusus.berdasarkan analisis tersebut selanjutnya diuraikan secara sistematis

sehingga pada akhirnya diperoleh pengetahuan baru yang disusun dalam

bentuk skripsi.

23
24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan

perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta

menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang

melakukannya. 27 Fungsi pidana untuk melaksanakan dan menegakkan

hukum pidana sedangkan tujuan pidana yaitu ada di pedoman pelaksanaan

KUHAP. Berdasarkan pedoman KUHAP tujuan pidana ada 3 hal yaitu :

mencari dan menentukan kebenaran materiil,melakukan penuntutan, dan

melakukan pemeriksaan dan memberi keputusan.28

Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan

yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syaratsyarat tertentu. Selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan

bahwa pidana adalah reaksi atas detik, dan ini berwujud suatu nestapa yang

disengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Ted Honderich

mengatakan bahwa pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan

oleh penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada pelaku tindak

pidana. Rupert Cross menganggap bahwa pidana berarti pengenaan

27
Muchsin,ikhtisar Ilmu Hukum,Hal.84.
28
Tri Andisman,Hukum Acara Pidana, Hal 13.

24
25

penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu

kejahatan.29

Bicara masalah pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai

pidana, dalam hal ini, Sudarto mengatakan bahwa:

“perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah “penghukuman”.


Penghukuman sendiri berasal dari kata “hukum”, sehingga dapat
diartikan sebagai menetapankan hukum atau memutuskan tentang
hukumannya (berechten).Menetapkan hukuman ini sangat luas
artinya.Oleh karena istilah tersebut harus di sempitkan artinya,
yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerapkali sinonim
dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim”. 30

Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan sebagai

penetapan pidana dan tahap pemberi pidana. Tahap pemberi pidana dalam

hal ini ada dua arti, yaitu dalam arti luas yang menyangkut pembentukan

Undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana, arti kongkrit,

yang menyangkut berbagai bahan yang mengandung dan melaksanakan

stelsel sanksi hukum pidana tersebut.Sedangkan menurut Jan Rammelink,

pemidanaa adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab intrasi

penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu

aturan hukum. 31

Jerome Hall dalam M. Sholehuddin memberikan perincian mengenai

pemidanaan, bahwa pemidanaan sebagai berikut:

29
Diah Gustianiati dan Dona Raisa Monica, Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan
Baru, Anugrah Utama Raharja, hlm.15
30
P.A.F Lamintang, 1978, Hukum Pidana I Hukum Pidana Materil Bagian Umum, Bina
Cipta, Bandung, hlm. 17.
31
Jan Rammelink, 2003, Hukum Pidana ,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.7.

25
26

a. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup;

b. Ia memaksa dengan kekerasan;

c. Ia diberikan atas nama Negara “diotorisasikan”;

d. Pemidanaan masyarakat adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya dan

penentuannya yang diekspresikan di dalam putusan;

e. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan dan ini

mrnsyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan

kepadanya,kejahatandan pemidanaan itu segnifikan dalam etika.

f. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan

diperberat atau diperingankan dengan melihat personalitas (kepribadian )

dipelanggar,motif atau dorongannya.

Menurut Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pengertian

pemidanaan secara luas dapat diartikan dengan sesuatu proses pemberian

atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dengan kata lain sistem

pemidanaan menyangkut keseluruhan kesatuan peraturan perundang-

undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakan atau di

oprasionalkan secara kongkrit, sehingga seseorang dijatuhi sanksi hukum

pidana32. Dari uraian tersebut menunjukan pembicaraan pemidanaan yang

mencakup penelitian yang sangat luas.

32
Barda Nawawi Arif, 2010, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Kencana Edisi Cet.2, Jakarta, hlm.115.

26
27

Pembicaraan tentang pemidanaan yang juga kursial untuk

dibicarakan adalah apa yang menjadi pembenaran dalam penjatuhan pidana

tersebut, atau dengan kata lain apa yang menjadi tujuan pemidanaan.

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang dewasa

ini, sebenarnya bukan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau

banyak mendapat pengaruh dari pemikiran para pemikir atau para penulis

beberapa abad yang lalu.Mereka mengeluarkan pendapat tentang dasar

pembenaran atau tentang rechtvaardidingsgroond dari suatu pemidanaan,

baik yang telah melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja,

maupun yang telah mengaikan pemidanaan dengan tujuan yang inggin

dicapai terhadap pemidanaan itu sendiri. 33

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif34 yang juga sama dengan

pendapat Laden Marpung, secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada

umumnya dapat dibagi dalam dua klompok teori 35, yaitu:

1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Retributive/Vergeldings

Theorieen)

Menurut teori ini, pidana di jatuhkan semata-mata karena telah

melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quiq peccatum

est).pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar

33
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit.,hlm.10.
34
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit., hlm 10-16
35
SR. Sianturi, 1989 Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHAEM-PTHAEM, Jakarta, hlm. 56-63.

27
28

pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan

itu sendiri. Menurut Johannes andenaestujuan utama (primer) dari

pidana adalahy mutlak untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy

the claim of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang

menguntungkan adalah sekunder. 36

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Utilitarian/deoltheorieen)

Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan

mutlak/ absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai

nilai, tetapi hanya sebagai sarana melindungi masyarakat. Oleh karena

itu menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai “teori

pelindungan masyarakat “the teory of social defence”. Selain itu, pidana

bukanlah sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang lain yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan lain yang bermanfaat .oleh karena itu teori ini pun sering

disebut sebagai teori tujuan (Utlitarian theory).

Muladi dan Barda Nawawi Arif mengutif pandangan Bantham

menyatakan bahwa pidana berat diterima karena pengaruh yang bersifat

memperbaikai (reformingeffect). Alasan memasukan pandangan

bentham ini adalah pada alasan yang dikemukakannya bahwa hukum

36
SR. Sianturi, Op.,Cit,hlm. 56-63.

28
29

pidana jangan digunakan sebagai sarana pembalasan pelaku tindak

pidana, tetapi hanya mencegah terjadinya kejahatan. 37

Pandangan aliran deterrence juga mengenal konsep rehabilitasi.

Konsep ini sering dimasukan dalam sub kelompok deterrence, karena

memiliki tujuan pemidanaan, meskipun dalam pandangan Andrew

ashwort sesungguhnya rehabilitasi merupakan satu alasan penjatuhan

pidana yang berbeda pandangan deterrence. Bila tujuan utama dari teori

deterrence adalah melakukan tindakan preventif terhadap terjadinya

kejahatan, maka rehabilitasi lebih memfokuskan diri untuk mereformasi

atau memperbaiki prilaku. Dalam kajian kriminologi, deterrence di

latarbelakangi oleh pandangan rational choice yang merupakan paham

yang berkembang dalam teori kriminologi kelasik.

Perspektif yang berbeda berkiatan pembicaraantentang tujuan

pemidanaan ini adalah seperti yang di rumuskan oleh loebby oqman,

bahwa pemidanaan harus merupakan sarana yang tepat untuk

mencapaitujuan pemidanaan.kalu tujuan-tujuan pemidanaan ingin di

tinjau secaracepat, maka sudut tinjauan perlu dibedakan kedalam tiga

taraf sudut tinjauan yaitu:

1) Tujuan pemidanaan pada taraf legislatif (pemberi ancaman pidana )

Pada taraf ini, tujuan pemidanaan ditetapkan oleh pembentuk

undang-undang,yang harus bersifat umum. Walaupun dalam

perumusan tujuan pemidanaan pembentuk undang-undang bertitik

37
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit., hlm.70.

29
30

tolak pada hal-hal yang umum, namun dalam pemilihan Janis-jenis

pidanya fikirannya tidak akan mungkin terlepas dari pertimbangan

bahwa hukuman yang di jatuhakan tidak akan mengakibatkan

bencana bagi pelaku.

2) Tujuan pemidanaan pada taraf yudikatif (penegakan ancaman pidana )

Pada taraf ini, pemidanaan bertujuan untuk merealisasikan ancaman

hukuman yang ada. Tujuan tersebut lazimnya disebut sebagai

penegakan norma (normhan having). Bilamana dan sampai sejauh

mana harus dilakukan pemidanaan untuk menegakan norma-norma,

yang menjadi masalah yang hingga kini belum banyak diteliti.

3) Tujuan pemidanaan pada taraf ini eksekutif (pelaksana ancaman

pidana)

Pidana menurut hukum harus dilaksanakan, kalau perlu dengan

sesuatu kekuatan tertentu. Hal ini yang sama juga berlaku pada

pelaksanaan hukuman yang berwujud perampasan kemerdekaan

seorang. Dalam hal ini, pelaksanaan hukuman mempunyai tugas

mandiri, dalam mana cara-cara pelaksanaan hukuman dapat

dipilihnya

sepanjang tidak menyimpang dari tujuan yang telah di tetapkan dalam

perundang-undang. Tujuan tersebut biasanya adalah mengembalikan

narapidana ke masyarakat setelah masa hukuman selesai.

30
31

2. Perkembangan Teoritis Tentang Tujuan Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan yang banyak dikemukakan oleh para sarjana

selalu mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di

dalam penjatuhan pidana yang dalam ini sasaran yang hendak dicapai dalam

penjatuhan pidana yang dalam hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial

budaya yang di hayati oleh sarjana tersebut.

Sejak dahulu kala lebih pasti lagi sejak zamannya protagores orang

selalu mencari dan memperdebatkan tentang tujuan pemidanaan.Di dalam

pendapat protagores dinyatakan “bahwa pelato telah bicara mengenai pidana

sebagai sasaran pencegahan khusus maupun pencegahan umum”. Demikian

pula Seneca seseorang fisolof romawi yang terkenal telah membuat formasi

yang terkenal yaitu: “Nemo Prudens punit quia peccatum est sedne

peccetur” yang artinya adalah “tidak layak orang memidana karena telah

terjadinya perbuatan salah, tetapi dengan maksud agar tidak terjadi lagi

perbuatan salah”. Kemudian Jeremmy bentham dan sebagaian besar penulis

modern lainnya, selalu menyatakan tujuan pemidanaan adalah untuk

“mencegah dilakukannya kejahatan masa yang akan dating”. 38

Dari pihak lain Immanuel kant dan gereja katholik sebagai pelopor

menyatakan “bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah

pembalasan terhadap serangan atau kejahatan terhadap ketertiban sosial dan

38
Tolib Setiady, Op.Cit.,hlm 60-61.

31
32

moral”. Dari uraian trsebut tampak bahwa pertentangan mengenai tujuan

pemidanaan sudah terjadi semenjak dahulu kala yaitu dengan yang

berpandangan bahwa pidana sebagai sarana reteributif (retributivism)dan

mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan positif lebih

lanjut (teleological theories). Di samping itu, timbul pula pandangan

integratif dari tujuan pemidanaan (teleological retributivism) yang

beranggapan bahwa: 39

“Pemidanaan mempunyai tujuan yang pural yang merupakan


gabungan antara pandangan utilitarian yang menyatakan tujuan
pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang
dapat dibuktikan, keadilan tidak di peroleh melalui pembebanan-
pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan
penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang
menyatakan keadilam dapat tercapai apabila tujuan yang
teologocal tersebut dilakukan dangan menggunakan ukuran-
ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa
penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang
selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana”.

Adapun prinsip-prinsip dasar yang dilakukan teori-teori tentang

tujuan pemidanaan tersebut adalah sebagai berikut:

a.
Teori Retributif (Retributivism)40

Kaum retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana sepatunya

diterima, sangat diperlukan dengan alasan baik keadilan maupun

beberapa nilai moral.Pidana yang tidak layak selalu menimbulkan

ketidak adilan dan merugikan nilai moral.

39
Ibid.,hlm.61.
40
Ibid..,hlm.62

32
33

Sebagaimana dikatakan Immanuel kant maka penerapan pidana

layak untuk suatu tujuan apapun merupakan penggunaan manusia

sebagai alat semata-mata daripada menganggapnya sebagai tujuan

sendiri. Bagi pandangan ini maka pemidanaa atas perbuatan yang salah

bersifat adil karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang rusak

oleh kejahatan. Keseimbangan moral ini dinyatakan dalam bentuk suatu

perbandingan antara kejahatan dan perbuatan baik. Orang yang baik

adalah orang yang akan bahagia, dan orang yang jahat akan menderita

atas kelakuannya yang buruk. Jadi, ketidak seimbangan akan terjadi

apabila seorang penjahat gagal untuk menerima penderitaan atas

kejahatannya. Keseimbangan moral yang penuh akan tercapai apabila

seseorang penjahat gagal untuk menerima penderitaan atas

kejahatannya.Kesimbangan yang penuh akan tercapai akan tercapai

apabila penjahat dipidana dan si korban mendapatkan kompensasi.

Dalam hal ini keseimbangan antara kesejahteraan dengan perbuatan

tidak tercapai sebagaimana mestinya. Menurut kaum retributivist pidana

mengandung nilai moral yang bebasa dari akibat lain yang di harapkan

lebih lanjut. Cateris paribus, dunia akan menjadi baik bilamana nilai-

nilai moral dilindungi dengan memberikan suatu penderitaan atas

penjahat.

Hal ini menyebabkan bahwa kadang-kadang pandangan retributif

ini dikatagorikan sebagai teori pembalasan dendam (the vindictieve

theory of punis hment).Stanley E. Gruup dalam hal ini menyatakan

33
34

bahwa reaksi pemberian penderitaan yang layak bagi penjahat

merupakan suatu hal yang sangat diharapkan untuk memelihara

ketertiban, dan merupakan pertanyaan kolektif masyarakat yang bersifat

alamiah terhadap kejahatan. Di samping itu hal ini sangat penting untuk

mempertahankan hukum pidana dan menciptakan kesatuan masyarakat

melawan kejahatan dan penjahat .

Reaksi yang bersifat retributif inilah yang memberikan makna

pengertian penjahat, sebab akan menempatkan mereka pada kedudukan

yang lebih rendah dibandingkan dengan warganegara yang yang taat

pada hukum. Meniadakan tanggapan yang bersifat retributif terhadap

penjahat, ini akan melepaskan arti yang melekat serta konventional pada

istilah criminal. Stanley E. Grupp mengingatkan bahwa pengertian

retribution ini harus melihat dalam konteks cultural yang bersifat

relative tergantung waktu dan juga tempat.

b. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)

Menurut zimring dan Hawakins, teori ini digunakan lebih terbatas

pada penerapan hukuman pada satu kasus, dimana ancaman pemidanaan

tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk

melakukan kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman

secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi

seluruh masyrakat untuk tidak melakukan kejahatan. Nigel Walker

menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reduktivism) karena dasar

34
35

pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran in adalah

untuk mengurangi frekuensi kejahatan, penganut reduktivism meyakini

bahwa pemidanaan dapat menggurangi pelanggaran melalui suatu atau

beberapa cara berikut:41

1) Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (Deterring The

Offender)Yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak;

2) melakukan elanggaran hukum melalui ingatan mereka terhadap

3) pidana yang dijatuhkan;

4) Pencegahanterhadap pelaku yang potensial (Deterring

Potentialimitators)Dalam hal ini memberikan rasa takut kepada

orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan denganmelihat

contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga

mendatangkan rasa takut akan kemungkinan di jatuhkan pidana

kepadanya;

5) Perbaikan si Pelaku (Reforming The Offender)Yaitu memperbaiki

tingkah laku si pelaku sehinga muncul kesadaran si pelaku untuk

cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya

rasa ketakutan dan ancaman pidana;

6) Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya

kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat

mengurangi frekuensi kejahatan;

41
Marlina, Op,Cit.,hlm.50.

35
36

7) Melindungi masyarakat (protecting the public)Melalui pidana

penjara yang cukup lama.

Menurut teori ini, memidana bukan lah untuk memuaskan tuntutan absolut

dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya

sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.Oleh karena itu,

menurut J.Andenles, dapat disebut sebagai “teori perlindungan

masyarakat” (the theory of social defence).

1) Pencegahan Umum (General Preventie)

Menurut paham ini tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah

pencegahan yang ditunjukan kepada halayak ramai/kepada semua

orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban

masyarakat.42

2) Pencegahan khusus (Sepecial Preventie)

Aliran ini mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah sipenjahat

mengulangi kejahatan. tujuan pidana menurut aliran ini ialah: pertama,

untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi manusia yang baik

dengan reclasering; kedua, menjatuhkan pidana harus disertai

pendidikan selama menjalani pidana, pendidikan yang diberikan

terutama untuk disiplin, selain itu di berikan pendidikan keahlian

seperti menjahait, pertukangan dan lain-lain bakal kemudian setelah

selesai menjalani pidana; ketiga, menyingkirkan penjahat.

42
Ibid.,hlm.57.

36
37

3) Teori Treatment (Teori Pembinaan/Perawatan)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif

yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada

pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.Namun pemidanaan yang

dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberi tindakan perawatan

(treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan

sebagai pengganti dari penghukuman. 43

c. Konsep Diversi dan Restoratif Justice

Konsep Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya

yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus

pidana dilakukan oleh anak dari makanisme formal ke makanisme

informal. Konsep restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuh

program penyelesaian kasus pidana yang di lakukan diluar makanisme

peradilan konvensional yang dilakukan oleh masyarakat yang di sebut

Victim offender mediation.

d. Pembenaran Pidana

Menurut Herbert L. Packer, dalam pemidanaan terlihat dua

pandangan konsepsual yang masing-masing mempunyai implikasi

moral yang berbeda satu samalain. Pertama, adalah pandangan

(retributive review) yang mengandalkan “pidana” sebagai

43
Ibid.,hlm.73.

37
38

ganjarannegative terhadap setiap pelaku menyimpang yang dilakukan

oleh warga masyarakat.Yang kedua adalah pandangan utilitarian

(utilitarian review) yang lebih melihat pidana itu dari segi manfaat

atau kegunaannya. 44

Pidana dan pemidanaan adalah terdiri dari proses kegiatan

terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan satu cara tertentu

diharapkan untuk dapat mengasimilasikan narapidana kedalam

masyarakat menuntut agar kita melakukan individu tersebut dengan

satu yang juga dapat menjunjung tujuan-tujuan bermanfaat yang

manfaatnya harus ditentukan secara kasuistis. Hal ini lah yang sering

menimbulkan anggapan “pidana sebagai seni”(punis.hment as an art).

Menanggapi perkembangan teori tentang tujuan pemidanaan tersebut

Stanly E. Grupp menyatakan bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan

tergantung pada:45

1) Angapan-angapan seseorang terhadap hakekat manusia.

2) Informasi yang di terima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang

bermanfaat.

3) Macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin

tercapai

44
Ibid.,hlm.76.
45
Ibid.,hlm .64.

38
39

4) Penilaian terhadap pesyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori

tertantu dan kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat di

lakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.

Sehubungan dengan hal itu Stanly E. Grupp menyatakan bahwa konsensus

mengenai tujuan pemidanaan tidak akan mukin tercapai tetapi merupakan

tanggung jawab seluruh warga Negara untuk memikirkan masalah ini secara

mendalam dan terus menerus.

Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan satru proses dinamis

yang meliputi penilaian secara terus menerus dan seksama terhadap sasaran-

sasaran yang hendak dicapai dan konsekuensi-konsekuensi yang dapat di

pilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu pada suatu saat. Hal ini

menumbuhkan pemikiran bahwa pengumpulan bahan-bahan di masalahnya

dengan cara yang sebaik-baiknya.

B. Pengertian Terpidana

Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan menyatakan bahwa terpidana adalah seseorang yang dipidana

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kemudian, dalam Pasal 1 butir 32 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) menyebutkan bahwa terpidana adalah seseorang yang dipidana

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

39
40

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kedua Undang-Undang

tersebut memiliki kesamaan akan pengertian terpidana. Selanjutnya siterpidana

akan diserahkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan dilakukan proses

pendaftaran sehingga mengubah status terpidana menjadi narapidana. 46

Dalam Kamus Hukum, narapidana adalah orang yang menjalani pidana

dalam Lembaga Pemasyarakatan. 47 Selain itu dalam KBBI Daring, narapidana

adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak

pidana); terhukum.48 Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian “narapidana adalah

terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.”

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dikatakan bahwa seorang manusia

yang dipidana disebut dengan narapidana yang berarti kaum terpidana. Kata-kata

hukuman dapat dipakai dalam lapangan hukum sipil dan hukum kriminal. 49 Yang

dimaksudkan hukuman ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang

dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-

undang hukum pidana. 50 Selain itu, sebelum dipakai istilah narapidana terhadap

seorang yang dijatuhi pidana, kata “orang hukuman” biasanya yang

dipergunakan. Tetapi kata “orang hukuman” juga dipakai dalam lapangan hukum

46
Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, LN RI Tahun 1995 Nomor 77.
47
Sudarsono, 2015, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 293.
48
KBBI Daring, “Narapidana”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/narapidana, di akses
pada tanggal 2 Juni 2019, pukul 09.50 WIB.
49
R.A. Koesnoen. 1961, Politik Penjara Nasional, Sumur, Bandung, hlm. 10.
50
R. Soesilo, 2013, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politiea, Bogor, hlm. 35.

40
41

perdata. Untuk membedakanya maka dipakai istilah narapidana bagi orang yang

melanggar hukum pidana sehingga tidak dirasakan terlalu menekan batin pribadi

orang yang bersangkutan.51

Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa narapidana adalah seseorang

yang dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, serta menjalani pidana hilang kemerdekaan dalam suatu

lembaga yang disebut Lembaga Pemasyarakatan serta dalam Lembaga

Pemasyarakatan itu pula narapidana akan mendapatkan bimbingan dan juga

pembinaan untuk masa depannya.

C. Tinjauan Tentang Lembaga Pemasyarakatan

1. Perkembangan Sistem Kepenjaraan

Di dunia ini telah dicoba beberapa sistem penjara (gevangenisstelsel)

dan yang terkenal adalah sebagai berikit :

1. Sistem Pennsylvania

Sistem ini disebut juga “sistem sel”, karena dalam sistem ini

menjalani pidana penjara itu secara terasing dalam sebuah sel. Selain itu

dalam sistem Pennsylvania ini dikeluarkan larangan bercakap-cakap antara

orang-orang hukuman satu sama lain. Si terpidana dapat melakukan

komunikasi hanyalah dengan sipenjaga sel. Sistem ini mula-mula

51
Bambang Poernomo, Op.cit., hlm. 17.

41
42

dipraktekan di Pennsylvania, Amerika Serikat. 52 Sistem ini mengharapkan

terpidana yang menjalani pidana penjara dapat insaf atas perbuatan

jahatnya dan dapat memperkuat daya menolak dari setiap pengaruh yang

jahat. Dalam sistem Pennsylvania ini nampak lebih menitik beratkan segi

keamanan dan disiplin semata-mata dan tidak memperhatikan segi-segi

kemanusiaan dari pada orang-orang hukuman tersebut. Larangan bercakap-

cakap dan tidak dapat keluar dari sel-nya baik siang maupun malam hari

adalah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi seseorang, sekalipun

ia dalam status orang hukuman.

Kelebihan sistem ini adalah tidak terjadi prisonisasi

(pengambilalihan/ peniruan/penyerapan tindak pidana dari narapidana lain.

Namun demikian dilihat dari sisi kelemahannya ialah tidak ada sosialisasi

dan interaksi, hanya membaca kitab suci yang akibatnya tidak ada

pertobatan, apabila napi sistem ini kembali ke masyarakat maka mereka

tidak akan dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat bahkan tidak

mempunyai empati.

2. Sistem Auburn

Disini juga dipakai “sistem sel”, tetapi hanya malam saja napi

berada di dalam sel. Siang hari para napi bekerja bersama-sama, tapi tak

boleh bicara. Karena itu sistem ini disebut juga “silent system”. Lynd

menyatakan bahwa sistem auburn atau silent system ini bukanlah untuk

52
M. Rasyid Ariman, M. Fahmi Raghib, Op.cit., hlm. 281.

42
43

perbaikan, akan tetapi untuk pembalasan semata yang sangatlah

dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang dikenal dalam aliran

pembalasan, karena perbaikan tidak akan berpengaruh sebelum semangat

penjahat dipatahkan (contended that reformation could be effected until the

spirit of the criminal was broken) 53.

3. Sistem Irlandia

Sistem ini bersifat progresif, artinya : mula – mula pidana penjara

itu dijalani secara keras, kemudian sesudah dididik dan berkelakuan baik,

makin di peringan.54 Menurut sistem ini seorang terpidana pertama kali

menjalani pidana penjara secara keras. Apabila kemudian nampak Seorang

terpidana berkelakuan baik, maka secara berangsur-angsur dijalankan

pidana itu dengan pemberian keringanan. Maksudnya untuk melatih

terpidana menjadi anggota masyarakat baik kembali. Dengan sistem ini

telah menunjukkan titik-titik cerah dimana usaha untuk lebih

mengorganisir dan mensistematiskan tujuan dari pada penjatuhan hukuman

dan pelaksanaannya dalam penjara, sudah mulai nampak dengan jelas.

4. Sistem Elmira

Sistem ini hampir sama dengan sistem Irlandia, akan tetapi tidak

menentukan lamanya pidana itu, artinya dalam putusan hakim hanya

dinyatakan terdakwa bersalah oleh jury. 55 Sistem penjara Elmira ini sangat

53
Ibid.
54
Ibid.
55
Ibid.

43
44

dipengaruhi oleh sistem Irlandia. Namun sistem Elmira ini titik beratnya

lebih besar pada usaha memperbaiki siterpidana. Siterpidana diberikan

pengajaran, bimbingan, pendidikan dan pekerjaan yang berguna bagi

masyarakat. Dalam sistem ini keputusan hakim tidak ditentukan lamanya

pidana akan tetapi bergantung pada kelakuan narapidana yang

bersangkutan.

5. Sistem Borstal

Sistem ini sama dengan sistem Elmira, akan tetapi pada sistem

Borstal hakim tetap menentukan lamanya pidana. Namun dalam masa

menjalani pidana orang yang dipenjara sangat bergantung kepada Menteri

kehakiman berwenang untuk melepaskan terpidana apabila dianggap cukup

dengan bersyarat setelah terpidana menjalani pidananya sedikitnya 6

(enam) bulan. 56

6. Sistem Obsborne

Sistem ini memberi “selfgovernment” dari dan untuk narapidana.

Sistem penjara di Indonesia dijalani bersama-sama, kecuali untuk anak

laki-laki yang dipisahkan dengan perempuan, dewasa dipisahkan dengan

anak-anak, narapidana dari narasangka, sipil dan militer (Pasal 36 ayat 1,

Gestichtenreglement). Sekarang sistem itu disebut sistem pemasyarakatan

56
Ibid.. hlm. 282

44
45

yaitu penjara yang dilandasi jiwa Pancasila. Sistim ini masih terus

berkembang. 57

Berbicara masalah hukum pidana akan selalu berbentuk pada suatu

titik pertentangan yang paradoksal, yaitu bahwa pidana di satu pihak diadakan

untuk melindungi kepentingan seseorang, akan tetapi di pihak lain ternyata

memperkosa kepentingan orang lain dengan memberikan hukuman berupa

penderitaan kepada narapidana. Hukuman berupa penderitaan kepada mereka

yang melakukan kejahatan yang terkenal dengan sistim penjara baru dikenal

pada zaman penjajahan yang dimulai dengan sistem diskriminatif, yaitu

dengan dikeluarkannya peraturan umum untuk golongan Indonesia (golongan

bumi putra) yang dipidana dengan kerja paksa (staatsblad 1826 No.16),

sedangkan untuk golongan Eropa Belanda berlaku penjara. Pada tahun 19 17

lahirlah reglement penjara (gestichken reglement) yang tercantum dalam

staatsblad 1919 No.708, tanggal 1 Januari 1918. Reglemen penjara tersebut

menjadi dasar peraturan perlakuan narapidana dan cara pengelolaan penjara. 58

Sejak tahun 1917, baru tahun 1963 pertama kali dicetuskan gagasan

pemasyarakatan di Indonesia oleh Dr. Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963

dalam pidato penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu

hukum Universitas Indonesia. Pidato tersebut berjudul pohon beringin

pengayoman, dari pidato tersebut kemudian di tindak lanjuti dalam konfrensi

57
Ibid.
58
Marlina, Op.cit., hlm. 123.

45
46

dinas Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang diselenggarakan di Lembang,

Bandung. Konferensi tersebut memperoleh hasil berupa penggantian sistem

pemenjaraan dengan sistem pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di

Indonesia. Diberlakukannya sistem pemasyarakatan yang menggantikan

sistem pemenjaraan di Indonesia maka secara otomatis pula telah

menggantikan proses pembinaan narapidana di Indonesia yang semula

mengedepankan pembalasan berubah dengan sistem yang menekankan pada

pengayoman dan pembinaan dengan memberikan bimbingan jasmani dan

rohani pada narapidana. 59

Pohon beringin pengayoman menjadi lambang hukum di Indonesia,

dan dipakai sebagai lambang oleh Departemen Kehakiman agar menjadi

penyuluh bagi para petugasnya, terutama dalam urusan membina hukum,

menjalankan peradilan, dan memberikan keadilan dalam memperlakukan

narapidana. 60

Ideologi dan falsafah pelaksanaan pidana penjara dengan sistem

pemasyarakatan tersebut, perlu perananan yang aktif dari pemerintah dan

masyarakat untuk penyelenggaraan proses pembinaan narapidana. Tinjauan

tentang pidana penjra dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan ideologi

Pancasila dan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dukungan

59
Sri Bintang Subari P*, Nur Rochaeti, R.B. Sularto, “Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Seumur Hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane Semarang”,
Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, hlm. 2.
http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=463356
60
Bambang Poernomo, Op.cit., hlm. 174.

46
47

terhadap alasan pemilihan landasan tiga dimensi teori pidana terpadu, ternyata

hal ini sesuai dengan pendekatan secara sosiologis, ideologis dan filosofis

budaya bangsa Indonesia. 61

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan melalui

berbagai upaya pembinaan berusaha untuk mewujudkan perlakuan cara baru

terhadap narapidana sebagai manusia. Menurut Mustafa yang mengutip

pendapat dari Sanusi Hans, menyatakan bahwa ada beberapa hal pelaksanaan

terhadap terpidana yang didasarkan pada pandangan :

a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlukan sebagai manusia

meskipun telah tersesat, tidak boleh selalu ditunjukan pada narapidana

bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia selalu merasa bahwa ia dipandang dan

diperlakukan sebagai manusia.

b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup

diluar masyarakat, narapidana harus kembali kemasyarakat sebagai warga

yang berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang.

c. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi

perlu diusahakan supaya narapidana mempunyai suatu pencaharian dan

mendapat upah untuk pekerjaannya. 62

61
Ibid., hlm. 99.
62
Marlina, Op.cit., hlm. 124.

47
48

Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran

pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi didasarkan pada

sekedar penjaraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan

reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem

pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal dan

dinamakan sistem pemasyarakatan. 63

Dalam rangka mewujudkan sistem pemasyarakatan tersebut

pemerintah berusaha mengganti secara keseluruhan ketentuan perundang-

undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dengan peraturan

yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun

1945, maka tanggal 30 Desember 1995 dibentuklah Undang-undang

Pemasyarakatan, yaitu Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 1995 Tentang Sistem Pemasyarakatan yang terdiri dari 8 (delapan) bab

dan 54 (limapuluh empat) pasal.

Tinjauan tentang pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan

berdasarkan ideologi Pancasila dan konstitusional Undang-Undang Dasar

tersebut merupakan sebagai dkungan terhadap alasan pemilihan landasan tiga

dimensi teori pidana terpadu, ternyata hal ini sesuai dengan pendekatan secara

sosiologis, ideologis, dan filosofis budaya bangsa Indonesia. 64

63
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, TLN RI Nomor 3614.
64
Bambang Poernomo, Op.cit., hlm. 99.

48
49

Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyatakan bahwa Sistem

pemasyarakatan adalah :

“Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan


warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga negara yang
baik dan bertanggung jawab.”

Dari rumusan Pasal 1 ayat 2 tersebut, menggambarkan bahwa unsur-

unsur sistem pemasyarakatan adalah pembina, (personil/staf lembaga

pemasayarakatan), yang dibina (narapidana) dan masyarakat. Selanjutnya

menurut Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan


warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan
dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana.”

Sistem pemasyarakatan yang diselenggarakan dalam rangka

membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

49
50

negara yang baik dan bertanggung jawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 2

Undang –Undang Pemasyarakatan. 65

Sistem pemasyarakatan yang tersebut dalam melaksanakan

pembinaan terhadap narapidana didasarkan pada beberapa hal, sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Pemasyarakatan, Pasal 5 yang menyatakan

bahwa :

“Sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas :


a. Pengayoman;
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. Pendidikan;
d. Pembimbingan;
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
dan;
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.”

Selama di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), warga binaan

pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya

manusia. Dengan kata lain, hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak

memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakian, tempat tidur,

latihan keterampilan, olah raga atau rekreasi. 66

Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, maka pemerintah RI mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

65
Marlina, Op.cit., hlm. 126.
66
Ibid., hlm. 127.

50
51

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyaraktan pada tanggal 19 Mei 1999.

Kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) ini dapat dikatakan sangat terlambat,

namun demikian patut untuk tetap dihargai usaha pemerintah untuk mengatur

dengn cara melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap warga binaan

pemasyarakatan.67

2. Lembaga Pemasyarakatan

Orang-orang yang menjalani pidana penjara dan pidana kurungan di

dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dibagi dalam 4 (empat) kelas.

“Yang termasuk ke dalam golongan terpidana adalah sebagai berikut :

a. Kelas I (satu) itu adalah : 1. Mereka yang telah dijatuhi pidana mati akan

tetapi masih menunggu masa eksekusi, 2. Mereka yang dijatuhi pidana

penjara seumur hidup, dan 2. Mereka yang telah dijatuhi pidana penjara

sementara, tetapi yang sulit untuk dapat dikuasai atau yang sifatnya

berbahaya baik bagi pegawai-pegawai LAPAS sendiri maupun untuk

terpidana lainnya.

Orang-orang terpidana yang termasuk ke dalam golongan kelas I (satu)

dipisahkan dari orang-orang terpidana yang lain, dan ditutup didalam

sebuah penjara tersendiri yang terdapat di dalam LAPAS dengan

mendapat penjagaan yang ketat.

67
Ibid., hlm. 128.

51
52

Apabila dalam jangka waktu satu tahun orang-orang yang dijatuhi pidana

sementara menunjukan kelakuan mereka yang baik maka mereka dapat

dipindahkan ke golongan terpidana kelas II (dua).

b. Kelas II (dua) itu adalah : 1. Mereka yang telah dijatuhi pidana penjara

selama lebih dari tiga bulan, yakni apabila mereka itu dipandang tidak

perlu untuk dimasukan kedalam golongan terpidana golongan I (satu), 2.

Mereka yang dipindahkan ke dalam golongan kelas II (dua) dari golongan

kelas I dan III, mereka yang dipindahkan ke golongan kelas II dari

golongan kelas III.

c. Kelas III (tiga) itu adalah : mereka yang semula masuk dalam golongan

kelas II, yang karena selama 6 (enam) bulan berturut-turut telah

menunjukan kelakuan mereka yang baik, hingga perlu dipindahkan ke

golongan kelas III.

d. Kelas IV (empat) itu adalah mereka yang telah dijatuhi pidana penjara

kurang dari 3 (tiga) bulan. Mereka ini tidak boleh ditempatkan dalam satu

bangunan yang sama, di mana lain-lain terpidana seperti dimaksud di atas

itu telah ditempatkan.”68

Dalam Pasal 13 KUHP menyatakan bahwa “para terpidana dijatuhi

pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan.” Sehubungan dengan hal

itu, R. Soesilo menyatakan bahwa menurut lamanya hukuman yang harus

dijalani, maka para terhukum penjara dibagi atas empat kelas, yang terberat

68
P.A.F. Lamintang, Op.cit., hlm. 62-63.

52
53

masuk kelas I, kemudian kelas II, III, dan akhirnya yang teringan masuk kelas

IV, bila berkelakuan baik orang dapat dinaikan kelasnya. Sedangkan para

terhukum penjara selama hidup dan terhukum penjara sementara yang nakal

atau berbahaya bagi para pegawai penjara dan para terhukum lain-lainnya,

disendirikan daripada terhukum lain-lainnya. 69

Dari uraian-uraian diatas menunjukan bahwa terpidana mati termasuk

ke dalam golongan terpidana kelas I yang akan menjalani masa tunggu

ekekusinya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I pula sampai masa pidananya

tiba yaitu ketika tepidana mati telah dilaksanakan eksekusinya atau meninggal

dunia artinya setelah akhir hayat terpidana mati tersebut, baik karena

dieksekusi maupun meninggal dunia dengan sendiri sebelum dieksekusi.

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat melakukan kegiatan

pembinaan terhadap narapidana dengan sistem pemasyarakatan yang telah

dicanangkan oleh Sahardjo sejak tahun 1964. Dengan demikian diharapkan

lembaga pemasyarakatan dapat berfungsi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk

mewujudkan sistem pemasyarakatan.70

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan dalam Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa “Lembaga

Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk

69
R. Soesilo, Op.cit., hlm. 38.
70
Marlina, Op.cit., hlm. 134.

53
54

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.”

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang dibangun pada tahun 1978

dengan daya tampung kapasitas 540 (lima ratus empat puluh) orang dan

merupakan salah satu LAPAS yang mendapat titipan terpidana mati serta

melakukan pemmbimbingan dan pembinaan terhadap terpidana mati.

3. Hak – Hak Terpidana Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan narapidana tetap

memperoleh hak - haknya yang lain seperti halnya dengan manusia lain pada

umumnya. Dengan kata lain, hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak

memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur,

latihan keterampilan, olah raga ataupun rekreasi. 71

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

telah mengatur secara tegas hak-hak yang di miliki oleh narapidana, hal ini

bertujuan untuk mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan.

Sebagaimana yang terdapat di dalam Undang Undang Pemasyarakatan yang

menentukan bahwa narapidana berhak :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan;


b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

71
Ibid., hlm. 127

54
55

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu


lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.72

Berkaitan dengan hak-hak narapidana di dalam Peraturan Menteri

Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2018

Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti

Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan

Cuti Bersyarat lebih lanjut dijelaskan lagi bahwa :

1. “Remisi adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan

kepada Narapidana dan Anak yang memenuhi syarat yang ditentukan

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Asimilasi adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak yang

dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak dalam

kehidupan masyarakat.

3. Cuti Mengunjungi Keluarga adalah program pembinaan untuk

memberikan kesempatan kepada Narapidana dan Anak untuk berasimilasi

dengan keluarga dan masyarakat.

72
Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, LN RI Tahun 1995 Nomor 77.

55
56

4. Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat adalah


program pembinaan untuk mengintegrasikan Narapidana dan Anak ke

dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan”.

Pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan

bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat dilakukan untuk

memberikan motivasi dan kesempatan kepada narapidana dan anak untuk

mendapatkan kesejahteraan sosial, pendidikan, keterampilan guna

mempersiapkan diri di tengah masyarakat serta mendorong peran serta

masyarakat untuk secara aktif ikut serta mendukung penyelenggaraan sistem

pemasyarakatan.

D. Tinjauan Umum Tentang Pidana Mati

Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana yang tertua dalam usianya,

setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana,

baik di negara-negara anglosaxon dengan aliran hukumnya common law system,

maupun di negara-negara Eropa kontinental yang sistem hukumnya civil law.

Penelusuran historis terhadap hukuman mati, telah berhasil membuktikan bahwa

56
57

dewasa ini, di negara-negara diberbagai belahan dunia selalu saja

mempermasalahkan penerapan hukuman mati itu.73

Pidana mati dianggap pidana yang paling tua, setua umur manusia,

sehingga menimbulkan pro dan kontra terhadap penggunaannya. Di beberapa

negara, pidana mati tidak pernah ada atau telah dihapuskan. Contoh negara yang

telah menghapuskan pidana mati adalah Venezuela, Coloumbia, Rumania,

Brazil, Costarica, Uruguay,Chili, Denmark, dan Belanda. 74

Di Indonesia Pidana mati mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918

sebagaimana tercantum dalam Wetboek Van strafrecht (KUHP) yang ditetapkan

oleh pemerintah kolonial Belanda berdasarkan K.B.v. 15 Oktober 1915, No. 33.

S. 15-732 jis. 17-497, 645 yakni W.v.S yang sudah berlaku di Hindia Belanda.

Peninjauan pidana mati telah dinasionalisasikan dengan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik

Indonesia yang mengubah menjadi Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), yang delik-deliknya itu terdapat dalam Pasal 10 KUHP dan ada pula

delik yang tersebar diluar KUHP dalam wujud UU. Ketentuan itu telah

ditransformasikan dalam memori penjelasan (Memorie van Toelichting), bahwa

negara berhak untuk menjalankan semua peraturan ini, termasuk pidana mati

73
Auliah Andika Rukhman, 2016, “Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan
Penegakan HAM”, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume IV No. 1 Mei 2016, hlm. 1.
https://media.neliti.com/media/publications/61161-ID-pidana-mati-ditinjau-dari-prespektif-
sos.pdf
74
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983,Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di
Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, hlm. 26,27,32.

57
58

sebagai keharusan dengan maksud agar negara dapat memenuhi kewajibannya

untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum. 75

Meskipun pidana mati kerap kali di perdebatkan karena selalu

menimbulkan pro-kontra baik dikalngan akademisi maupun dikalangan

masyarakat luas, namun hingga saat ini pidana mati merupakan salah satu

hukuman yang masih diberlakukan di Indonesia dan masih diterapkan, hal ini

dapat dilihat dari ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) tertuang dalam BAB II yang berbunyi :

“Pasal 10 KUHP.
Pidana terdiri atas :
c. Pidana Pokok
6. Pidana Mati;
7. Pidana Penjara;
8. Pidana Kurungan;
9. Pidana Denda;
10. Pidana Tutupan.
d. Pidana Tambahan
4. Pencabutan Hak-Hak Tertentu;
5. Perampasan Barang-Barang Tertentu;
6. Pengumuman Putusan Hakim.”

Cara pelaksanaan pidana mati berdasarkan ketentuan KUHP warisan

Belanda dan beberapa KUHP negara-negara lain sebagai bahan perbandingan

dan konsep KUHP tahun 2000. Di Filipina diatur dalam Pasal 81 KUHP

Filipina 76, Pidana mati dilaksanakan dengan tidak ada pilihan yang lain dan

75
Auliah Andika Rukhman, 2016, “Pidana Mati Ditinjau Dari Prespektif Sosiologis dan
Penegakan HAM”, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume IV No. 1 Mei 2016, hlm. 1.
https://media.neliti.com/media/publications/61161-ID-pidana-mati-ditinjau-dari-prespektif-
sos.pdf
76
Andi Hamzah, Seri KUHP Negara Asing, KUHP Filipina, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1987, hlm.109 (Selanjutnya disebut KUHP Filipina).

58
59

orang yang dipidana mati di letakkan di kursi listrik (electrocution). Sedangkan

di Malaysia, dalam Pasal 277, apabila mana orang telah dijatuhkan hukuman

mati, hukuman itu hendaknya memerintahkan supaya ia digantung lehernya

sehingga mati, tetapi tidak boleh dinyatakan tempat dan masa hukuman gantung

akan dilaksanakan atau dijalankan. 77

Di Jepang dalam Pasal 11 ayat (1)78 menyatakan pidana mati akan

dieksekusi dengan jalan digantung disuatu penjara. Selanjutnya di Perancis

dalam Pasal 12 KUHP Perancis dikatakan, setiap orang yang dijatuhi pidana mati

akan dipancung. 79 Sedangkan di Thailand dalam Pasal 19 KUHP Thailand

mengatakan seseorang yang dipidana mati akan ditembak mati80. Di negara

Jerman dikatakan dalam Pasal 60 ayat (1) KUHP Republik Demokrasi, sepanjang

UU memperbolehkannya, pidana mati dapat dijatuhkan terhadap orang-oranag

yang melakukan kejahatan serius sekali secara khusus, pidana mati berhubungan

dengan kehilangan tetap semua hak-hak perdata dan pidana mati dilakukan

dengan penembakan. 81

Sedangkan di Indonesia, menurut ketentuan pasal 11 KUHP, Pidana mati

itu dilakukan oleh seorang algojo, yang dilaksanakan oleh terpidana diatas tiang

77
Undang-Undang Malaysia, Kanun Prosedur Jenayah, International Law Book,
Service, 1993, hlm.112.
78
Andi Hamzah, Seri KUHP Asing, KUHP Jepang Ghalia Indonesia, Jakarta 1987,
hlm.71 (Selanjutnya disebut KUHP Jepang)
79
Andi Hamzah, Seri KUHP Asing, KUHP Perancis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987,
hlm.51. (Selanjutnya disebut KUHP Perancis)
80
Andi Hamzah, Seri KUHP Asing, KUHP Thailand, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987,
hlm.56. (Selanjutnya disebut KUHP Thailand)
81
Andi Hamzah, Seri KUHP Asing, KUHP Demokrasi Jerman (Jerman Timur), Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1987, hlm.7. (Selanjutnya disebut KUHP Jerman)

59
60

gantung, yakni dengan mengikatkan sebuah jerat pada leher terpidana yang

terikat pada tiang gantung tersebut dan kemudian dengan menjatuhkan papan

tempat berpijaknya terpidana.82

Pelaksanaan dari pidana mati itu kemudian diubah dengan penetapan

Presiden (PenPres) tanggal 27 April 1964 Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran

Negara Tahun 1964 Nomor 38, yang kemudian telah menjadi Undang-Undang

Nomor 2 PNS Tahun 1964 telah diubah yaitu dengan cara di tembak mati. 83

Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Perbuatan-perbuatan atau tindak

pidana yang diancam dengan pidana mati oleh KUHP warisan Belanda, ada 9

(sembilan) tindak pidana yang dapat dikenakan pidana mati, antara lain: Pasal

104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden), Pasal 111 ayat 2 (membujuk

negara asing bermusuhan dan berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jika

perang terjadi), Pasal 124 ayat 3 (membatu musuh waktu perang), Pasal 140 ayat

3 (makar terhadap raja atau kepala negara yang direncakan dan berakibat maut),

Pasal 340 (pembunuhan berencana), Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan

kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 444 (pembajakan

dilaut pesisir dan disungai yang mengakibatkan kematian), Pasal 479 K ayat 2

(kejahatan penerbangan) dan Pasal 479 o ayat 2 (kejahatan terhadap sarana dan

prasarana penerbangan). 84

82
Marlina, Op.Cit., hlm.81
83
PAF.Lamintang, Op.Cit., hlm.50
84
Marlina, Op.Cit., hlm.86.

60
61

Selain yang terdapat didalam KUHP masih banyak lagi terdapat ancaman

pidana mati di Peraturan perundang-undangan lainnya diluar KUHP itu sendiri

Selain itu ancaman pidana mati masih diancamkan dalam berbagai Undang-

undang tentang tindak pidana khusus, seperti tindak pidana terorisme, narkotika,

korupsi dan dalam KUHPidana Militer, serta masih banyak lagi pada undang-

undang lainnya. 85

85
Departemen Hukum dan HAM RI, 2007, Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 4 No. 4
Desember 2007. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Jakarta: Departemen Hukum
dan HAM, hlm. Iii.

61
62

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewajiban Pembinaan Terhadap Terpidana Mati di Lembaga

Pemasyarakatan

Kebijakan formulasi adalah suatu usaha untuk membuat dan

merumuskan suatu perundang-undangan yang baik, dalam hal ini kebijakan

formulasi pelaksanaan pembinaan narapidana di dalam Lembaga

Pemasyarakatan adalah perumusan perundang-undangan yang mengatur

tentang pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. 86

Pidana mati diberikan karena menyadarkan masyarakat akan akibat

dari perbuatan yang dilakukan. Pidana mati diharapkan menghentikan adanya

perbuatan yang sama didalam masyarakat. Pelbagai kasus pelaku yang hanya

mendapatkan sanksi ringan akan mengulangi perbuatannya. Adanya kasus

mengulangi perbuatannya, maka pidana mati diharapkan memberikan akibat

tidak akan ada kejahatan yang serupa kembali. Maka perlu adanya pembinaan

secara khusus bagi terpidana mati agar tidak melakukan ancaman bagi

siapapun.87

86
Sri Bintang Subari P*, Nur Rochaeti,R.B. Sularto, “Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana Seumur Hidup Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane Semarang”,
Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, hlm. 3-4.
http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=463356
87
Nelvita Purba dan Sri Sulistyawati, 2015, Pelaksanaan Hukuman Mati,
Yogyakarta,hlm. 8

62
63

Pada sisi lain, tidak ditemukan ketentuan yang secara tegas mengatur

soal penempatan terpidana mati. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

terpidana mati juga ditempatkan di Lembaga pemasyarakatan hingga

menunggu eksekusi. Hal ini karena terpidana mati juga termasuk menjalani

pidana hilang kemerdekaan.88

Nyatanya memang tidak ada peraturan yang mengatur mengenai

penempatan atau tempat isolasi bagi terpidana mati. Belum ada aturan yang

mengatur secara khusus seseorang terpidana mati harus ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan, juga tidak ada larangan bahwa terpidana mati

tidak boleh ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Pada Peraturan

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Pidana Mati, hanya menjelaskan secara tersirat bahwa

Lembaga Pemasyarakatan bekerja sama dalam proses isolasi bagi terpidana

mati.

Kesimpulan tersebut juga diperkuat dengan beberapa ketentuan yang

ada di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri

12/2010”). Di dalam Perkapolri Nomor 12 Tahun 2010, antara lain

dijelaskan bahwa pengorganisasian pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan

oleh regu penembak dan regu pendukung, regu pendukung ini terbagi

menjadi 5 (lima) regu. Salah satu regu pendukung, yaitu Regu 2 (dua) yang

88
Hukum Online.com, “Pidana Mati”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c04e6122e48/pidana-mati-dan-lp/, diakses
pada tanggal 15 Juli 2019, Pukul 01.27 WIB.

63
64

berjumlah 10 (sepuluh) orang, bertugas melaksanakan pengamanan dan

pengawalan terhadap terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),

serta melakukan pengawalan terpidana mati dari tempat isolasi menuju

lokasi pelaksanaan pidana mati dan dari lokasi pelaksanaan pidana mati

menuju rumah sakit.89 Jadi, terpidana mati ditempatkan di Lembaga

pemasyarakatan sebagai tempat isolasi terpidana mati yang menunggu di

eksekusi.

Pada Pasal 5 Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 Tahun 1964

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh

Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Milter, menjelaskan bahwa

penjara hanya sebagai tempat menunggu pelaksanaan. Penjara yang

dimaksud dalam hal ini adalah Lembaga Pemasyarakatan. Jaksa tinggi atau

jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pidana mati. Jaksa tinggi

atau jaksa diberikan wewenang untuk menunjuk penjara atau tempat lainnya

yang khusus guna terpidana mati menunggu eksekusinya. 90

Terpidana mati dalam masa proses tunggu eksekusi tentu menjadikan

terpidana mengikuti peraturan dari Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.

Selain mengikuti peraturan tentu terpidana mati juga harus menjalankan

kewajiban dan mendapatkan hak yang sesuai. Keberadaan terpidana mati di

dalam Lembaga Pemasyarakatan hanyalah menunggu waktu kapan

89
lihat Pasal 7 ayat ([1) jo. Pasal 9 jo. Pasal 11 Perkapolri Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
90
Penpres Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang
Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Milter.

64
65

pelaksanaan eksekusi mati. Selagi menunggu terpidana mati harus

diperlakukan seperti narapidana yang lain dalam hal memperoleh hak-

haknya sesuai dengan pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan dengan menyesuaikan peraturan perundang-

undangan yang mengatur terpidana mati.

Memang benar bahwa fungsi sistem pemsyarakatan di Lembaga

pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan adalah

untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana agar dapat

memperbaiki diri dan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.

Pembinaan ini juga diberikan kepada terpidana mati, karena terpidana masih

memiliki upaya hukum lain sehingga masih ada peluang tidak dihukum mati.

Upaya-upaya hukum tersebut di antaranya

1) Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa terhadap

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Permintaan

peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2]

UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana - “KUHAP”):

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa

jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih

berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas

dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat

65
66

diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang

lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu

telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan

putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan

satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan

hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Di dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP memang dinyatakan,

permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan maupun

menghentikan pelaksanaan putusan (dalam hal ini putusan hukuman

mati). Namun demikian ada pengecualian menuut Wakil Jaksa Agung,

Darmono, di dalam artikel Puluhan Terpidana Mati Tak Mengajukan

Upaya Hukum, mengatakan bahwa selama terpidana mati masih memiliki

hak untuk mengajukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan undang-

undang, Kejaksaan belum akan mengeksekusi.

2) Grasi

Pengaturan grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor. 22 Tahun

2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor.

22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”). Menurut Undang-Undang

Grasi, dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan “Grasi adalah pengampunan

berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

66
67

pelaksanaan pidana kepada tepidana yang diberikan oleh presiden”.

Putusan pidana termasuk putusan pidana mati yang telah berkekuatan

hukum tetap, dapat dimohonkan grasi satu kali kepada Presiden.

Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi

terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Permohonan grasi

diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan

memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi, jika putusan pidana mati

diajukan grasi, maka eksekusinya ditangguhkan, karena pidana mati tidak

dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan

permohonan grasi diterima oleh terpidana 91

Meskipun dierikan waku yang jelas untuk mengajukan beberapa

upaya-upaya hukum demikian akan tetapi ternyata tidak ada yang dikabulkan

belum berarti pula bahwa tepidana akan langsung dieksekusi karena pada

faktanya siterpidana mati akan tetap berada di Lembaga pemasyarakatan

karena belum adanya kepastian kapan waktu eksekusi. Selain itu untuk

melaksanakan eksekusi bukan perkara mudah karena mulai dari pengawalan,

pelaksanaan, hingga mengantarkan jenazah mealui proses yang panjang dan

menghabiskan cukup banyak waktu dan membuuhkan banyak dana sehingga

91
Lihat Pasal 2, 3, 7, dan 13 dalam Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

67
68

seringkali pelaksanaan dilaksanakan dengan banyak teridana mai sekaligus

demi efisiensi. 92

Dalam hal ini, lembaga pemasyaakatan yang meneima titipan

terpidana mati harus tetap menjaga dan melaksanakan pembinaan terhadap

tepidana mati sampai batas waktu yang tidak ditentukan atau sampai si

terpidana di eksekusi atau siterpidana mati itu meninggal dunia sebelum

dilaksanakan eksekusi. Berikut adalah perundang-undangan yang terkait

dengan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan :

a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan induk dari Perundang-undangan dan peraturan di Indonesia

mengatur tentang hak – hak asasi manusia yang tidak boleh di rampas,

sekalipun ia menjalani hukuman perampasan kemerdekaan apalagi jika

sampai menghilangkan nyawa atau dengan kata lain pidana mati dan

berikut adalah beberapa pasal yang mengatur tentang hak asasi manusia

didalam UUD 1945. Pengaturan Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam Pasal

28 UUD 1945 merupakan sebuah penghargaan terhadap hak-hak manusia,

hak asasi yang diatur di dalam Pasal 28 tersebut merupakan hak

konstitusional seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, narapidana

yang menjalani masa pembinaan dan pembimbingan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan juga berhak atas hak-hak asasi manusia yang mendasar

92
Wawancara Dengan Bapak Syamsuddin, Selaku Kepala Seksi Bimbingan
Kemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.,Sabtu 7 Juli 2019.

68
69

tanpa adanya halangan, termsuk juga terpidana mati sekalipun setatusnya

hanya terpidana itipan di Lembaga pemasyarakatan..

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2/PNPS/1964tahun 1964

Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijauhkan Oleh

Peradilan Umum Dan Militer.

Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 Tentang Tata

Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijauhkan Oleh Peradilan Umum Dan

Militer, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan

Undang-Undang Nomor 5 Thun 1969 tentang Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijauhkan Oleh Peradilan Umum Dan

Militer, merujuk pada pasal 5 PenPres Nomor 2/PNPS/1964, menyebutkan

bahwa “menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam

penjara atauditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa tinggi/ jaksa

yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.

c. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

(Undang-Undang Pemasyarakatan) ini adalah dasar bagi pelaksanaan

pemasyarakatan di Indonesia, di dalam undang-undang pemasyarakatan

diatur tentang pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Sistem

pemasyarakatan yang dijelaskan di dalam undang-undang pemasyarakatan

menekankan pada pola pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan,

69
70

pembinaan yang berkelanjutan dengan memperhatikan hak – hak asasi

manuisa telah menghapus pola pemidanaan pembalasan atas suatu

kesalahan, dengan adanya pembinaan warga binaan pemasyarakatan

diharapkan menjadi pribadi yang dapat berperan di dalam masyarakat,

khususnya dalam hal pembangunan.

Berbeda halnya dengan terpidana mati, undang-undang

pemsyarakatan tidak mengatur secara khusus terkait pembinaan terpidana

mati, akan tetapi terhadap terpidana mati dilakukan pembinaan sebagian

dari sistem pemasyarakatan yaiu melakukan pendampingan dan pembinaan

secara intensif terhadap terpidana mati tersebut.

d. Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Grasi ini, menyebukan

bahwa “permohonan grasi idak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan

bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati”, hal ini berkaitan

halnya dengan penitipan terpidana mati di lembaga pemasyarakatan dan

tentunya menambah waktu masa berada di lembaga pemasyarakatan.

Grasi pada dasarnya pemberian Prsiden dalam bentuk

pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau

penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian,

pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan

70
71

tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi

bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif,

melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati

pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau

menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan,

tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan

rehabilitasi terhadap terpidana. 93

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan

aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 Tentang

Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka

membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya yang menyadari kesalahannya serta memperbaiki diri dan tidak

akan mengulangi melakukan tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.94 Sedangkan terhadap terpidana mati dilakukan

pembinaan bukan bertujuan untuk memasyarakatkan kembali karena bukan

93
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2002 Tentang Grasi.
94
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

71
72

jenis hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu sehingga terpidana

mati dilakukan pembinaan hanya pada pembinaan kepribadian dengan

mengedepankan aspek religius agar siap menghadapi eksekusi dalam

keadaan benar-benar bertaubat dn benar-benar menyesali perbuatannya.

f. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-

PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan

Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini sistem pemasyarakatan

yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan, yang secara konseptual dan historis sangatlah berbeda

dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Dengan mengetahui

sasaran-sasaran pembinaan dan bimbingan yang akan dicapai disertai

sarana pendukungnya yang masih serba terbatas, maka para petugas harus

mampu memanfaatkan melalui pengelolaan yang efisien sehingga dapat

mencapai hasil yang lebih optimal. Peraturan ini secara historis memang

lebih lama usianya karena sejak tahun 1990 sedangkan Undang-undang

pemasyarakatan diundangkan tahun 1995, akan tetapi di dalam ketentuan

peralihan Undang –Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 52 berbunyi

“Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini semua peraturan

pelaksanaan yang berkaitan dengan pemasyarakatan tetap berlaku,

sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan

pelaksanaan baru berdasarkan undang-undang ini”.

72
73

g. Peraturan kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Perkapolri ini merupakan suatu aturan yang terakhir digunakan

dalam pelaksanaan eksekusi terpidana mati oleh kepolisian sehingga dalam

menjalankan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat, Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, ditunjuk sebagai

pelaksana pidana mati yang dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan

putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

B. Pembinaan Terhadap Terpidana Mati Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang

1. Pembinaan Terhadap Terpidana Di Lembaga Pemayarakatan Klas I

Palembang

Pembinaan dilaksanakan dengan sistem pemasyrakatan. Tujuan dari

sistem pemasyarakatan adalah membentuk narapidana pemasyarakatan agar

menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan ,memperbaiki diri dan

tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat

hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pembinaan dilakukan secara utuh untuk mempersiapkan bagi kehidupan

73
74

narapidana selanjutnya. Memasyarakatkan kembali narapidana yang

melakukan kesalahan agar tidak melakukan kesalahan lagi. Pembinaan dapat

dilakukan dengan pendekatan secara rohani. Pembinaan secara rohani dapat

mengarahkan narapidana hidup lebih bertaqwa.

Melihat pola pembinaan yang telah diatur memberikan makna bahwa

pembinaan harus dilakukan dengan sifat kekeluargaan, dan tidak

diperbolehkan atas dasar penyiksaan ataupun pembalasan. Setelah adanya

Keputusan Konferensi Dinas Para Pemimpin di jajaran Djawatan

Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 oleh Dr. Saharjo,SH.

Menyempurnakan pemenjaraan yang awalnya merupakan upaya penyiksaan

ataupun pembalaasan menjadi pemasyrakatan dengan upaya pembinaan.

Pembinaan yang dilaksanakan bukan hanya untuk sekedar mengisi waktu

luang namun berupa pekerjaan yang berada di masyarakat dan menunjang

pembangunan negara.

Pembinaan yang dilakukan dibagi menjadi dua bidang yaitu bidang

kepribadian dan bidang kemandirian. Pembinaan dalam bidang kepribadian

mengarahkan narapidana menjadikan orang baik secara batin. Pembinaan

kepribadian seperti halnya mengaji, sadar akan hukum , mendapatkan

pendidikan baik secara formal maupun non formal. Pembinaan kemandirian

merupakan pembinaan yang diberikan dengan melatih ketrampilan baik

untuk usaha maupun sesuai dengan bakat masingmasing.

Pelaksanaan pembinaan juga harus melalui tahap-tahap yang telah

ditentukan dalam Kepmen Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana

74
75

atau Tahanan. Tahapan pembinaan dilaksanakan berdasarkan vonis yang

dijatuhkan oleh hakim. Tahapan pembinaan bagi narapidana dapat dibagi

menjadi 2 (dua) yaitu yang sisa pidana lebih dari 1 (satu) tahun dan yang sisa

pidananya lebih dari 1(satu) tahun.

Proses pembinaan bagi narapidana yang sisa pidananya melebihi

1(satu) tahun terbagi menjadi 4 (empat) tahapan.7 Sedangkan proses

pembinaan bagi narapidana yan sisanya sampai dengan 1 (satu) tahun terbagi

menjadi 3 (tiga) tahapan. Perbedaan dalam proses pembinaan terletak pada

awal tahap. Jika ada yang sisa pidananya lebih dari 1 (satu) tahun melalui

tahapan pembinaan awal yang didahului dengan masa pengamatan,

penelitian dan pengenalan lingkungan. Proses pembinaan dengan proses

bertahap dilakukan hanya untuk mereka yang mendapatkan pidana penjara

sementara waktu, sedangkan narapidana yang mendapatkan pidana mati atau

seumur hidup tidak dilakukan pentahapan.

Pembinaan yang dilaksanakan di Lapas tidak terlepas dari peran

narapidana itu sendiri. Narapidana diharapkan juga ikut serta dalam

mengupayakan pelaksanaan dari pembinaan. Iklhas dan terbuka untuk

mengikuti dan menerima pengaruh dari proses pembinaan yang dilakukan

merupakan sikap yang diharapkan narapidana dari proses pembinaan.

Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan bimbingan yang

dilakukan oleh petugas ialah memperbaiki tingkah laku narapidana agar

tujuan pembinaan terwujud, dan tercapainya tujuan daripada sistem

pemasyaraktan, berikut lingkup pembinaanya :

75
76

1. Pembinaan kepribadian yang meliputi :

a. Pembinaan kesadaran beragama

Diperlukan usaha ini agar dapat diteguhkan imannya terutama

memberi pengertian agar narapidana dapat menyadari akibat-

akibat dari perbuatan – perbuatan yang benar ataupun perbuatan

perbuatan yang salah. Pendidikan beragama ini diberikan dengan

maksud agar narapidana mendapat pengetahuan nilai-nilai dan

moral agama serta meningkatkan ketaqwaan sehingga ia menjadi

manusia yang lebih taat menjalankan perintah agama. Adapun

pembinaan kesadaran beragama diselenggarakan dengan beberapa

kegiatan seperti beribadah berdasarkan kepercayaan dan keyakinan

masing-masing, ceramah agama, pendidikan Al-quran bagi yang

beragama Islam, kebaktian bagi yang beragama Kristen, dan juga

diberikan penyuluhan perorangan pada setiap narapidana. 95

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara ini diperlukan agar

narapidana sadar dan dapat menjadi warga negara yang baik yang

dapat berbakti bagi bangsa dan negara.

c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)

Pembinaan ini dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal

maupun melalui pendiidikan non-formal atau kedua-duanya agar

pengetahuan serta kemampuan berfikir narapidana semakin

95
Wawancara dengan Syamsuddin, Kepala Seksi Bimbingan Kemayarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Palembang, Sabtu 13 Juli 2019.

76
77

meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif

yang diperlukan selama masa pembinaan.

d. Pembinaan kesadaran hukum dilaksanakan dengan memberikan

penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar

kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota

masyarakat, mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam

rangka turut menegakan hukum dan keadilan, perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman,

kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap warga negara

Indonesia yang taat kepada hukum.

e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat dapat

dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan, yang

bertujuan agar bekas narapidana mudah diterima kembali oleh

masyarakat lingkungannya.

2. Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program :

a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya

kerajinan tangan, industri, rumah tangga, reparasi mesin dan alat-

alat elektronika dan sebagainya.

b. Keterampilan untuk mendukung usaha – usaha industri kecil,

misalnya pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan

bahan alam menjadi bahan setengah jadi dan jadi (contoh

mengolah rotan menjadi perabotan rumah tangga, pengolahan

77
78

makanan ringan berikut pengawetannya dan pembuatan batu bata,

genteng, batako)

c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya

masing-masing, dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakat

tertentu diusahakan pengembangan bakatnya itu. Misalnya meiliki

bakat dibidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke

perkumpulan – perkumpulan seniman untuk mendapatkan

bimbingan dan saling mengembangkan bakatnya sekaligus

mendapatkan nafkah.

d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau

kegiatan pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi

madya atau teknologi tinggi, misalnya industri kulit, industri

pembuatan sepatu yang berkualitas ekspor, pabrik tekstil, industri

minyak, usaha tambak udang, dan usaha-usaha lainnya.

Adapun disiplin ditegakkan bertujuan agar supaya tata tertib Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang ditaati, berikut jadwal kegiatan narapidana

diatur sebagai berikut :96

04.45-05.45 : Bangun pagi dan shalat subuh


05.45-06.30 : Mandi dan kebersihan dilingkungan kamar masing-masing
06.30-06.45 : Sarapan pagi
06.45-07.00 : Apel blok pagi
08.30-10.00 : Olahraga pagi
08.30-11.30 : Kegiatan kerja

96
Wawancara dengan Bapak Syamsuddin, Selaku Kepala Seksi Bimbingan
Kemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Sabtu 13 Juli 2019.

78
79

11.30-12.00 : Makan siang


12.00-12.30 : Shalat dzuhur berjamaah
12.30.1300 : Apel blok siang
14.00-15-00 : Kebersihan kamar dan lingkungan
15.30-15.45 : Shalat ashar berjamaah
16.30-17.00 : Makan sore
17.00-17.30 : Penguncian kamar narapidana
18.00-18.30 : Shalat maghrib dikamar masing-masing
18.30-19.00 : Apel blok malam
19.00-19.30 : Shalat isya dikamar masing-maasing
19.30.04.45 : Tidur malam

Jadwal kegiatan ini dikecualikan bagi narapidana yang mendapat binaan

dan bimbingan pada hari-hari tertentu melalui tehnis pembinaan kemandirian dan

pembinaan keterampilan.97

2. Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Terpidana Mati Di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang (LAPAS/LP Klas I

Palembang) merupakan salah satu Unit Pelaksan Teknis (UPT) di bidang

pemasyarakatan dimana termasuk dalam wilayah kerja Kantor Wilayah

Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Sumatera Selatan.

Struktur organisasi dan kelembagaan Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang ini dipimpin oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang memiliki

97
Wawancara dengan Bapak Hoki, Selaku Staf Seksi Bimbingan Kemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Selasa 15 Juli 2019.

79
80

beberapa bawahan yang terdiri dari kepala bagian tata usaha, kepala bidang

pembinaan, kepala bidang kerja dan kesatuan pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan.98

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang memiliki jumlah

penghuni yaitu sebanyak 1726 (seribu tujuh ratus dua puluh enam) orang,

sudah termasuk juga dengan terpidana mati yang ada di Lembaga

Pemasyarakatan Kls I Palembang yang seharusnya di isi dengan 540 (lima

ratus empat puluh) orang sesuai dengan kapasitas bangunan LAPAS yang

dibuat, akan tetapi pada kenyataannya diisi melebihi kapasitas yang

seharusnya. 99

Tabel.1
Data Warga Binaan Pemasyarakatan

Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang

No. Jenis Pidana Jumlah

98
Wawancara dengan Bapak Dapat Sembiring, Selaku Kepala Bidang Pembinaan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Senin 1 Juli 2019.
99
Wawancara dengan Bapak Dapat Sembiring, Selaku Kepala Bidang Pembinaan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Senin 1 Juli 2019.

80
81

1. Tindak Pidana umum 624 orang

2. Tindak Pidana Khusus

a. Pidana Tipikor 12 orang

b. Pidana Teroris 2 orang

c. Pidana Narkotika 1088 orang

Total 1726 orang

Sumber : Subsi Registrasi LP Klas I Palembang, 3 Juli 2019

Dari data Tabel.1 di atas terlihat bahwa jumlah narapidana tindak

pidana narkotika lebih mendominasi dari narapidana lainnya, terlihat juga

bahwa untuk menampung jumlah narapidana tindak pidana umum saja

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang sudah melewati kapasitas

bangunan yang seharusnya, belum lagi ditambah dengan narapidana tindak

pidana khusus. Sehingga jika dihitung dari jumlah total tahanan dan

narapidana di dalamnya berjumlah 1726 (seribu tujuh ratus dua puluh enam)

dibandingkan dengan jumlah kapasitas seharusnya 540 (lima ratus empat

puluh) maka kelebihan dari kapasitas sebanyak 1186 (seribu seratus delapan

puluh enam) orang.

Kondisi jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang sudah

melebihi kapasitas sebenarnya bukan hanya terjadi di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Palembang saja, akan tetapi hampir seluruh Lembaga

Pemasyarakatan di Indonesia sudah terjadi kepadatan dimana perbandingan

jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan dan kapasitas Lembaga

81
82

Pemasyarakatan yang tidak sebanding jumlahnya. Kepadatan narapidana

dalam Lembaga Pemasyarakatan terjadi oleh beberapa faktor penyebab.

Faktor penyebab kepadatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan terjadi

bukan hanya karena meningkatnya kejahatan namun juga terjadi akibat dari

sistem pemidanaan.100

Adapun jumlah Terpidana Mati dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas

I Palembang dapat diketahui berjumlah 10 (Sepuluh) orang, dengan rincian 6

(enam) terpidana mati tetapi masih menempuh upaya-upaya hukum,

sedangkan sisanya yang 4 (empat) orang vonisnya sudah berkekuatan hukum

tetap, terpidana mati sendiri penempatannya juga dicampur dengan narapidana

lainnya, kecuali terpidana kasus terentu ataupun terpidana yang berpotensi

membahayakan petugas pemasyarakatan maupun membahayakan bagi

narapidana lainnya.101

Tabel.2

Data Terpidana Mati Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang

No Jenis Tindak Pidana Jumlah

1. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) 8 orang

100
Galih Puji Mulyono, Barda Nawawi Arief, 2016, “Upaya Mengurangi Kepadatan
Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia”, Jurnal Law Reform, Volume 12,
Nomor 1, Hlm. 2. http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/lawreform/article/view/15838
101
Wawancara dengan Bapak Ahmad Fausan, Selaku Kepala Seksi Registrasi di
Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Selasa 3 Juli 2019.

82
83

2. Penyalahgunaan Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) 2 orang

Total 10 orang

Sumber : Olahan data Primer, 13 Juli 2019

Dari data Tabel.2 di atas terlihat terdapat 2 (dua) jenis tindak pidana

yang dilakukan oleh terpidana mati, namun mengenai penempatannya dibagi

2 (dua) kedalam 2 (dua) Blok berdasarkan jenis tindak pidana yaitu Blok A

untuk narapidana tindak pidana khusus dan Blok B untuk narapidana tindak

pidana umum. Artinya 2 (dua) orang terpidana mati dari tindak pidana

penyalahgunaan narkotika di tempatkan dalam Blok A dan sisanya 8

(delapan) orang terpidana mati dari jenis tindak pidana umum ditempatkan

dalam Blok B. Akan tetapi bukan berarti ditempatkan dalam satu kamar yang
102
sama, meskipun ada 2 (dua) orang yang berada dalam satu kamar

Pembinaan terpidana mati sendiri di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang tidak ada kekhususan didalam pelaksanaannya, semua terpidana

mati dibina sama dengan narapidana pada umumnya, akan tetapi khusus

terpidana mati pembinaan hanya difokuskan dan terbatas pada pembinaan

kepribadian yang meliputi Pembinaan kesadaran beragama/religius

(pengajian, ceramah, dan ibadah serta lainnya berdasarkan kepercayaannya

102
Wawancara dengan Bapak Ahmad Fauzan, Selaku Kepala Seksi Registrasi di
Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Selasa 16 Juli 2019.

83
84

masing-masing si terpidana mati), pembinaan fisik (senam, upacara, dan

olahraga, dan lainnya).103

Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan

pemasyarakatan dilaksanakan secara terpadu dengan melaksanakan kegiatan

pembinaan pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna, petugas harus

memiliki kemampuan profesional dan integritas moral yang bertujuan agar

para narapidana setelah selesai menjalani pidannya, pembinaan dan

bimbingannya dapat menjadi manusia seutuhnya dan menyadari kesalahannya

dan memanfaatkan waktu masa tunggunya jelang eksekusi untuk bertaubat

dengan sungguh-sungguh sera beeibadah lainnya sesuai kepercayaanya

masing-masing. 104

Pelaksanaan konsep pemasyarakatan sebagaimana dijabarkan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Pemasyarakatan, di titikberatkan

dalam dua hal yakni pembinaan dan pembimbingan, pembinaan terhadap

narapidana disesuaikan dengan asas yang terkandung dalam Pancasila,

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Standard Minimum Rules (SMR)

yang tercermin dalam 10 prinsip pemasyarakatan. 105

103
Wawancara dengan Bapak Ahmad Fausan, Selaku Kepala Seksi Registrasi di
Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Selasa 16 Juli 2019.
104
Wawancara dengan Syamsuddin, Kepala Seksi Bimbingan Kemayarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Selasa 16 Juli 2019.
105
Galih Puji Mulyono, Barda Nawawi Arief, 2016, “Upaya Mengurangi Kepadatan
Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia”, Jurnal Law Reform, Volume 12,
Nomor 1, hlm. 7. http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/lawreform/article/view/15838

84
85

Pengertian pembinaan dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang menyebutkan bahwa

“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, Intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan

jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.”

Pembinaan terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang sendiri tidak ada kekhususan dalam pelaksanaannya, mulai dari

tempat, program pembinaan hampir semua sama dengan narapidana umum

lainnya, pelaksanaan pembinaan terpidana mati dikhususkan apabila memang

dibutuhkan, namun tidak mesti setiap terpidana mati ditempatkan di tempat

khusus hal ini dikarenakan pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang akan mengalami kekurangan dalam hal petugas yang membina,

mengingat kurangnya petugas sudah menjadi masalah klasik, mengingat

jumlah narapidana yang dibina di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang yang melebihi kapasitas, dikarenakan jumlah narapidana yang

selalu meningkat tiap tahun sehingga pembinaan narapidana kurang efektif,

selain itu memang belum adanya pengaturan khusus yang mengatur

pembinaan bagi terpidana mati dan brapa lama akan dibina. 106

106
Wawancara dengan Bapak Dapat Sembiring, Selaku Kepala Bidang Pembinaan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Senin 15 Juli 2019.

85
86

Dari sekian banyak kegiatan pembinaan narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas 1 Palembang semua narapidana mengikuti kegiatan-

kegiatan tersebut. Terkecuali terpidana mati dimana para terpidana mati banyak

menghabiskan waktunya untuk beribadah saja, hal ini sesuai dengan pernyataan

Kepala Bidang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa semua narapidana

yang di bimbing dan dibina dalam Lembaga Pemasyrakatan Klas I Palembang ini

di perlakukan sama, kecuali dengan terpidana mati hal ini dikarenakan terpidana

mati belum ada pengaturan khususnya sehingga pembimbingannya disamakan

dengan narapidana umum lainnya, akan tetapi siterpidana mati kebanyakan

memilih kegiatan ditempat ibadah saja, selain itu jika harus dikhusukan atau

siterpidana mati aktif egiatan lain tenu akan sangat merepotkan peugas keamanan

lapas dalam mengawasi terpidana mati, selain itu akan muncul masalah lainnya

yaitu petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang yang akan semakin

kurang jumlah karena perbandingan antara narapidana dengan petugas terpaut

jauh dan juga menyangkut bangunan dimana jumlah penghuninya sudah sangat

melebihi kapasitas tentu akan sulit tempatnya jika akan dilakukan pengkhususan

terhadap para terpidana mati. 107

Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh terkait pernyataan diatas,

penulis mencoba izin pada Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan di LAPAS

Klas I Palembang untuk membagikan quisoner kepada seluru terpidana mati akan

tetapi beliau menyarankan untuk wawancara langsung ke beberapa terpidana

107
Wawancara dengan Bapak Hermawan Anwar, Selaku Kepala Kesatuan Pengamanan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.Selasa 16 Juli 2019.

86
87

mati yang dinilai dapat kooperatif untuk diwawancarai dan lebih efektif karena

untuk sekedar membaca saja mereka sudah kesulitan apalagi untuk menjawab

quisioner, dengan kata lain membagikan quisoner kepada terpidana mati tidak

akan efektif. 108

Setelah itu, penulis melakukan wawancara kepada beberapa terpidana

mati yang menjadi sampel, dan dilakukan dalam ruangan Kesatuan Pengamanan

Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) yang oleh Kepala KPLP terlebih dahulu

dipilih dengan memperhatikan aspek keamanan dan yang dapat mewakili seluruh

terpidana mati yaitu hanya 3 (tiga) orang dengan inisial CKT, ZH dan CS,

dimana 3 (tiga) orang tersebut di nilai dapat kooperatif di wawancarai dan yang

lebih penting aman bagi penulis dan masih dalam penjagaan petugas keamanan

lapas.109 Artinya penulis melakukan wawancara dengan 3 (tiga) orang atau

sekitar 3/10 (tiga persepuluh) sampel dari seluruh populasi terpidana mati yang

berjumlah 10 (sepuluh) orang di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang.

Ketika proses wawancara berlangsung, penulis menanyakan apakah

responden ditempatkan dan diperlakukan secara khusus berbeda dengan

narapidana lainnya. Dari 3 (tiga) orang sampel yang di wawancarai mereka

menjawab yang kurang lebih sama menyatakan bahwa dari awal masuk dalam

Lembaga Pemasyrakatan Klas I Palembang dilakukan karantina sekitar satu

minggu dan setelah itu sudah langsung ditempatkan bercampur dengan

108
Wawancara dengan Bapak Syamsuddin, Selaku Kepala Seksi Bimbingan
Kemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Sabtu 13 Juli 2019.
109
Wawancara dengan Bapak Herman Anwar, Selaku Kepala Kesatuan Pengamanan
Lembaga Pemayarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Palembang, Sabtu 13 Juli 2019.

87
88

narapidana lainnya, yang kemudian diperlakukan oleh petugas kemasyarakatan

dengan baik secara sama dengan narapidana umum lainnya tanpa ada perbedaan

dalam setiap proses pembinaan dan pembimbingan narapidana. 110

Selanjutnya, para terpidana juga mengatakan bahwasanya mereka hanya

memilih untuk mengikuti kegiatan kegiatan kerohanian saja karena lebih

merasakan ketenangan dalam jiwa, dan tidak tertarik ikut kgiatan lainnya karena

merasa percuma dan untuk apa, serta tidak ada gairah hiup lagi dan seakan-akan

kematian sudah dekat tinggal hitungan hari saja. 111

Selain itu dari hasil observasi penulis memang sangat terlihat dan terasa

sekali pada saat berjalannya proses wawancara para terpidana yang menjadi

sampel penelitian ini terlihat sekali bingung dan sudah tidak memiliki gairah

hidup sama sekali serta raut wajah dengan tatapan mata kosong, seolah waktu

eksekui telah tiba dan hanya bisa pasrah.

110
Wawancara dengan CKT, ZH, dan CS, Sampel Terpidana Mati Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Palembang, Selasa 16 Juli 2019.
111
Wawancara dengan CKT, ZH, dan CS, Sampel Terpidana Mati Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Palembang, Selasa 16 Juli 2019

88
89

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

h. Di Lembaga Pemasyarakatan seorang terpidana mati akan tetap

mendapatakan pembinaan, hal ini dilakukan berdasarkan beberapa

peraturan perundang-undangan yaitu Undang – Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964

Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh

Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-

PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan.

Peraturan Kepala Kepolisan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010

Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Terpidana mati dilembaga

pemasyarakatan hanya sebagai titipan sampai dilaksakanannya eksekusi,

namun pada prinsipnya setiap terpidana yang berada dilapas akan

mendapatkan pembinaan termasuk terpidana mati, Pembinaan terhadap

89
90

terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan hanya difokuskan pada

pembinaan kepribadian saja.

i. Pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Palembang terhadap terpidana mati, hampir sama saja dengan pembinaan

terhadap narapidana lainnya, namun dalam pelaksanaannya pembinaannya

dilakukan tidak sampai pada pembinaan kemandirian hanya sebatas pada

pembinaan kepribadian saja yang lebih difokuskan pada pembinaan

kesadaran beragama dengan beberapa kegiatan seperti beribadah

berdasarkan kepercayaannya masing-masing serta kegiatan lainnya sesuai

dengan keyakinan.

B. Saran

1. Perlunya dibuat peraturan perundang-undangan secara khusus terkait

pembinaan terpidana mati sebelum eksekusi, sehingga petugas Lembaga

Pemasyarakatan memiliki panduan serta arah tujuan yang jelas dalam

melaksanakan pembinaannya.

2. Perlunya dipertegas dan diperjelas dalam peraturan perundang-undangan

sebagai batasan kapan masa tunggu eksekusi bagi tiap para terpidana mati,

agar tidak mendapatkan dua masa hukuman yaitu menjalani pidana penjara

sampai waktu tidak tertentu dan pidana mati, sehingga tercapai tujuan

kepastian hukum itu sendiri.

90
91

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

AndiHamzah danSiti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem


Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta.

BurhanAsofa,2002,MetodePenelitianHukum, RinekaCipta, Jakarta.

C. Djisman Samosir, 2002, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia,


Bandung.

Direktorat Jendral Pemasyarakatan, 2002, Sejarah Pemasyarakatan (Dari


Kepenjaraan ke Pemasyarakatan), Departemen Kehakiman RI,
Jakarta.

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, PT.Refika Aditama, Bandung.

Nelvita Purba dan Sri Sulistyawati, 2015, Pelaksanaan Hukuman Mati,


Yogyakarta

P.A.F Lamintang, 1984, Dasar-DasarHukumPidana Indonesia, SinarBaru,


Bandung.

P.A.F Lamintang, 2018, HukumPenintensier Indonesia, SinarGrafika, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitianhukum,,KencanaPenada Media Group,


Jakarta.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1984, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas


Indonesia Press, Jakarta.

Sani Imam Santoso, 2010,HukumPidanadanPenerapannya di Indonesia,


StoriaGrafika, Jakarta.

Sani Imam Santoso, 2014, TeoriPemidanaan Dan SanderaBahanGijzeling,


Penaku, Jakarta.

91
92

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia


Press, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Cet. Kelima, Raja GrafindoPersada, Jakarta.

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sugiyono, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,


Alfabeta, Bandung.

TolibSetiady, 2010,Pokok-Pokok Hukum Penintensier Indonesia, Alfabeta,


Bandung.

Yon Artiono Arba’i, 2015, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas
Penerapan Pidana Mati, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),
Jakarta.

Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Peaturan Perundang-Undangan

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 Tentang Tata Cara


Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan


Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

92
93

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PK.04.10


Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan.

Peraturan Kepala Kepolisan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010


Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Website / Internet:

Fokky Fuad, Pemikiran Ulang Atas Metode Penelitian Hukum,


https://uai.ac.id/2011/04/13/pemikiran-ulang-atas-metodologi-penelitian-
hukum/, di akses pada tanggal 17 Maret 2019, pukul 00:11 WIB.

Hukum Online.com, “Pidana Mati”,


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c04e6122e48/pida
na-mati-dan-lp/, diakses pada tanggal 15 Juli 2019, Pukul 01.27 WIB

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a799bc2a041a/jenis-golongan-dan-
penerapan-pasal-yang-dikenakan-pada-uu-narkotika-oleh--eric-manurung,
di aksespada 10 Juli 2019 padapukul 12.05. WIB.

Sistem Database Pemasyarakatan (SDP),


http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/detail/daily/upt/db70f470-6bd1-
1bd1-9dfc-313134333039, di akses pada tanggal 01 Juni 2019, pukul
22:36 WIB.

Suwarso, Pembinaan Bagi Terpidana Mati,


https://hukum.ump.ac.id/images/pdf/ARTIKEL8.pdf, diakses pada
tanggal 09 Juli 2019, pukul 16:25 WIB.

93
94

94

Anda mungkin juga menyukai