Anda di halaman 1dari 82

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KETIDAKTERSEDIAAN

SURAT KETERANGAN DISABILITAS DI RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH dr. SOEDOMO TRENGGALEK

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Oleh :
ALIZA ZHAFARINA
NRP: 120117251

PROGRAM KEKHUSUSAN PEMERINTAHAN


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh


Nama : Aliza Zhafarina
NRP : 120117251
Fakultas/Program Studi : Hukum/Ilmu Hukum
Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS TERHADAP
KETIDAKTERSEDIAAN SURAT
KETERANGAN DISABILITAS DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
dr. SOEDOMO TRENGGALEK

Telah diperiksa Dosen Pembimbing untuk diterima sebagai bagian persyaratan


yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S-1) pada program studi
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nabbilah Amir, S.H., M.H. Dr. H. Didik Widitrismiharto, S.H., M.Si.

Ditetapkan di : Universitas Surabaya

Tanggal : ………….

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum.

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamin. Puji syukur saya panjatkan kepada Allah

SWT, Tuhan yang Maha Esa. Allah SWT yang telah menguatkan saat semuanya

terasa berat dan yang memberi petunjuk saat semua terasa buntu sehingga saya

berhasil menyelesaikan skripsi berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP

KETIDAKTERSEDIAAN SURAT KETERANGAN DISABILITAS DI RUMAH

SAKIT UMUM DAERAH DR. SOEDOMO TRENGGALEK” ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

Hadirnya skripsi ini di tangan pembaca bukan tanpa perjuangan. Namun,

dalam perjalanannya, pada akhirnya saya bisa menuntaskan perjalanan panjang

pendidikan saya di Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan sebuah

senyuman. Saya hanya manusia biasa yang bukan apa-apa tanpa siapa-siapa.

Keberhasilan saya hingga mampu menyentuh garis akhir perjalanan sebagai

mahasiswa hukum tidak bisa lepas dari peran berharga pihak-pihak yang akan saya

sebutkan di bawah. Tanpa mereka, tulisan ini mungkin tidak akan pernah ada.

Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati, bagian ini juga saya buat

sebagai halaman terima kasih paling tulus yang bisa saya beri. Terima kasih tersebut

saya haturkan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Benny Lianto, M.M.B.A.T, selaku Rektor Universitas Surabaya

yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menuntut ilmu di Fakultas

Hukum Universitas Surabaya.

iii
2. Ibu Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Surabaya yang tidak pernah lelah mengingatkan,

memotivasi, dan menuntun saya untuk menjadi manusia dan calon sarjana

hukum yang baik selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Surabaya,

3. Bapak Dr. Hwian Christianto, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Surabaya yang telah memberikan banyak masukan dan

nasehat kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas

Surabaya.

4. Bapak Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Surabaya atas segala kesempatan dan bantuan

yang telah diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum

Universitas Surabaya.

5. Ibu Nabbilah Amir, S.H., M.H. selaku Kepala Laboratorium Hukum

Administrasi Negara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I penulis. Penulis

sangat berterima kasih kepada Beliau yang telah banyak membantu sejak awal

pengajuan hingga penulisan skripsi ini. Terima kasih telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk skripsi saya. Terima kasih pula

untuk setiap bimbingan, pengetahuan, masukan, saran, nasehat, dan motivasi

yang diberikan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Saya

bersyukur dan beruntung telah diberi kesempatan luar biasa oleh Allah SWT

untuk menjadi anak bimbing Beliau. Terima kasih banyak, Bu Nabbilah.

6. Bapak Dr. H. Didik Widitrismiharto, S.H, M.Si selaku Dosen Pembimbing 2

penulis. Penulis sangat berterima kasih kepada Beliau yang telah bersedia

iv
dengan sabar meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk membimbing,

mengarahkan dan memberikan kritik, saran, juga pengetahuan untuk penulisan

skripsi ini. Tanpa Beliau, saya tidak akan pernah mampu menyelesaikan skripsi

ini dengan baik. Terima kasih banyak, Bapak Didik.

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu. Terima kasih dan hormat saya haturkan atas semua ilmu

dan banyak pelajaran berharga yang telah diberikan kepada penulis selama

penulis menuntut ilmu sejak awal masuk hingga dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Saya beruntung

dan bersyukur pernah belajar kepada orang-orang hebat seperti seluruh dosen

di Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

8. Ibu Wahyu Astutik, selaku staff administrasi Fakultas Hukum Universitas

Surabaya yang telah banyak membantu penulis dalam mengurus segala proses

administrasi penulisan skripsi ini.

9. Seluruh staff Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Surabaya yang telah

banyak membantu saya selama proses studi di Fakultas Hukum Universitas

Surabaya.

10. Bapak Didik dan Ibu Dina, orang tua saya. Bapak sebagai ksatria tanpa kuda

yang telah berjuang keras supaya dapat selalu menyediakan fasilitas terbaik

untuk studi saya, dan Ibu sebagai malaikat tanpa sayap yang selalu menguatkan

dan memahami keadaan saya. Walaupun tidak sempurna, tapi kalian orang tua

luar biasa. Aku sayang kalian. Terima kasih.

v
11. Deninta Fitri Yurindhani, my 24/7 call. Teman perjalanan selama penulis

mengerjakan skripsi baik di Unair maupun Ubaya ini. Terima kasih sudah jadi

sahabat terbaik untuk Lisa.

12. Wahyu Agil Masduki, yang sudah selalu sabar mendengar semua sambatan dan

menjawab setiap pertanyaan saya dari a-z, serta tidak pernah lelah memberikan

semangat agar saya terus mengerjakan skripsi ini hingga selesai.

13. Fernanda Aulia dan Nova Rosita teman terdekat seperasaan-seperjuangan

selama berada di Fakultas Hukum. Terima kasih karena selalu bisa memahami

perasaan saya setiap berkeluh kesah tentang kuliah.

14. Teman seperbimbingan saya yakni Galuh Mutiara, Riski Kumala Dewi, Aldo

Halim, yang telah menjadi teman seperjuangan, tempat diskusi dan

penyemangat dalam pembuatan skripsi ini.

15. Teman-teman Hukum 2017 untuk semua kenangan, pengalaman, dan

pembelajarannya selama ini.

16. Terima kasih untuk semesta dan semua yang ada di dalamnya, karena dengan

begitu baiknya sudah turut membantu saya menyelesaikan skripsi ini.

Doa terbaik untuk setiap nama yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi siapapun yang

membacanya.

Surabaya, 11 Juli 2022

Aliza Zhafarina

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

1.2 Rumusan Permasalahan ................................................................. 9

1.3 Alasan Pemilihan Judul ............................................................... 10

1.4 Tujuan penulisan ......................................................................... 10

1.4.1 Tujuan akademis .................................................................... 10

1.4.2 Tujuan praktis ........................................................................ 11

1.5 Metodologi Penelitian ................................................................. 11

1.5.1 Tipe penelitian ....................................................................... 11

1.5.2 Pendekatan penelitian ............................................................ 11

1.5.3 Bahan hukum ......................................................................... 12

1.6 Pertanggungjawaban Sistematika ................................................ 13

BAB 2 TINJAUAN UMUM TENTANG PENYANDANG DISABILITAS,

PELAYANAN PUBLIK, DAN MALADMINISTRASI .................................. 15

2.1 Penyandang Disabilitas ............................................................... 15

vii
2.1.1 Pengertian Penyandang Disabilitas ............................................. 15

2.1.2 Hak Penyandang Disabilitas ........................................................ 19

2.1.3 Jaminan Perlindungan terhadap Hak Penyandang Disabilitas .... 24

2.2 Pelayanan Publik ......................................................................... 26

2.2.1 Pengertian Pelayanan Publik ................................................. 26

2.2.2 Ruang Lingkup dan Klasifikasi Pelayanan Publik ................ 28

2.2.3 Rumah Sakit Sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik ....... 33

2.2.3.1 Dasar Hukum Rumah Sakit Sebagai Penyelenggara Pelayanan

Publik ..................................................................................... 33

2.2.3.2 RSUD dr. Soedomo Trenggalek sebagai Penyelenggara

Pelayanan Publik .................................................................... 35

2.2.4 Standar Pelayanan Publik terhadap Penyandang Disabilitas 38

2.3 Maladministrasi ........................................................................... 41

2.3.1 Pengertian dan Bentuk-bentuk Maladministrasi ................... 41

2.3.2 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik .......................... 49

BAB 3 ANALISIS YURIDIS TENTANG TIDAK TERSEDIANYA

SURAT KETERANGAN DISABILITAS DI RSUD dr. SOEDOMO

TRENGGALEK SEBAGAI MALADMINISTRASI ....................................... 53

3.1 Kronologi Kasus .......................................................................... 53

3.2 Analisis Kasus ............................................................................. 55

viii
BAB 4 PENUTUP................................................................................................ 68

4.1 Kesimpulan .................................................................................. 68

4.2 Saran ............................................................................................ 69

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70

ix
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara berkewajiban memberi dan memenuhi hak-hak serta kebutuhan dasar

warga negaranya, tidak terkecuali Indonesia. Pemenuhan hak dan kebutuhan bagi

warga negara salah satunya tercermin dalam pelayanan publik yang dilaksanakan

oleh pemerintah melalui penyelenggara pelayanan publik. Sebagai salah satu hak,

maka pelaksaanaan pelayanan publik harus menjangkau dan mewadahi seluruh

warga negara, termasuk terhadap kelompok rentan yang dalam kehidupan sehari-

hari berpotensi banyak menemui kesulitan untuk memperoleh haknya.

Hak setiap warga negara untuk mendapat pelayanan publik sejatinya telah

dijamin dalam konstitusi negara sebagaimana tercantum pada alinea keempat

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

(selanjutnya akan disebut UUD 1945) yang menetapkan:“Kemudian daripada itu,

untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,…”. Bagian pembukaan

UUD 1945 tersebut secara implisit menjadi dasar pemenuhan hak masyarakat atas

pelayanan publik. Hal ini dipertegas pula dalam konsideran menimbang Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disingkat

UU tentang Pelayanan Publik) yang menjelaskan bahwa negara berkewajiban

melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan

1
dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pelayanan publik yang baik menjadi aspek yang tidak dapat dipisahkan dari

upaya negara untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Sebab, cita-cita

pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum hanya dapat dicapai ketika

seluruh warga negara telah memperoleh hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara.

Pemenuhan kewajiban negara atas pelayanan publik pun tidak bisa dijalankan

dengan ala kadarnya. Sebab hal tersebut menjadi salah satu bentuk alat ukur

demokrasi dengan menimbang kemampuan negara tersebut dalam memenuhi dan

menjamin hak- hak warga negaranya. Artinya negara menjadi provider sekaligus

pelindung bagi hak-hak semua warga negara yang dimilikinya. Dengan demikian,

salah satunya, maka negara berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang

dapat dinikmati dan benar-benar berangkat dari kebutuhan masyarakatnya. Untuk

itu aksesibilitas fasilitas publik menjadi sangat penting, terutama bagi penyandang

disabilitas, karena tanpa aksesibilitas tersebut, mereka akan mengalami kesulitan

dalam melakukan mobilitas (Thohari, 2014)

Pemerintah harus memperhatikan keterjangkauan terhadap kelompok-

kelompok tertentu seperti kelompok rentan yang berpotensi memiliki kesulitan

dalam mengakses haknya. Istilah kelompok rentan dalam konteks yuridis muncul

dalam pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (selanjutnya disingkat UU tentang HAM). Pasal tersebut mengatur bahwa

setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh

perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

2
Kelompok rentan terdiri dari beberapa kategori. Salah satu yang termasuk

dalam kategori kelompok rentan sebagaimana dalam UU tentang HAM adalah

penyandang cacat atau penyandang disabilitas. Pengertian penyandang disabilitas

menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas (selanjutnya disingkat UU tentang Penyandang Disabilitas), yakni

bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik,

intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam

berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk

berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan

kesamaan hak.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh

penyandang disabilitas menghasilkan kesulitan terhadap aktivitasnya sebagai

warga negara dan usahanya dalam mendapat akses fasilitas di masyarakat, termasuk

pelayanan publik. Sebagaimana dalam konsideran menimbang huruf a UU tentang

HAM yang menjelaskan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia

hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin disebabkan masih adanya

pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak

penyandang disabilitas.

Namun, keadaan tersebut bukan berarti menjadi halangan bagi mereka untuk

dapat mengakses pelayanan publik yang disediakan pemerintah dengan maksimal.

Sebab, sebagai warga negara, penyandang disabilitas seyogyanya tidak

dikecualikan dari haknya untuk menikmati berbagai layanan publik yang tersedia

(Tarsidi, 2011). Konsideran menimbang huruf b UU tentang HAM juga

3
menegaskan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan

hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai

kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga

Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan

masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,

untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.

Disabilitas sendiri merupakan isu kompleks yang ada di masyarakat.

Kehadiran penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata. Keterbatasan

yang dimiliki, membuat mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah, tidak

berdaya dan hanya perlu mendapatkan belas kasihan. Hak-hak mereka sebagai

manusia seringkali diabaikan. Mulai dari hak untuk hidup, hak untuk memperoleh

pelayanan pendidikan dan kesehatan hingga hak kemudahan mengakses fasilitas

umum. Padahal UUD 1945, sudah dengan tegas menjamin para penyandang

disabilitas. Setidaknya dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sudah menentukan

bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan

keadilan.

Survei Kepatuhan yang dilakukan Ombudsman RI sejak tahun 2013 untuk

mendorong Instansi Penyelenggaraan Pelayanan Publik menjalankan amanat dalam

UU tentang Pelayanan Publik membuktikan hal tersebut. Dalam survei tersebut,

terdapat indikator yang digunakan dalam mengukur kepatuhan Instansi

Penyelenggara terhadap standar pelayanan publik di dalam UU tentang Pelayanan

Publik. Termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pelayanan publik bagi

4
masyarakat berkebutuhan khusus, salah satunya tentunya kelompok Penyandang

Disabilitas.

Hasil dari survei tersebut pada tahun 2019, contohnya, pada tingkat

Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) menunjukan

bahwa salah satu indikator yang paling banyak belum dipenuhi yaitu ketersediaan

layanan khusus bagi pengguna berkebutuhan khusus. Berturut turut pada tingkat

Kementerian sebesar 23,14%, Lembaga, 32,21%, Pemerintah Provinsi, 35,4%,

Pemerintah Kabupaten, 55,09%, dan Pemerintah Kota, 56,12% yang sudah

memenuhi indikator ketersediaan layanan khusus bagi pengguna berkebutuhan

khusus.

Penemuan tersebut dapat menjadi gambaran bahwa penyelenggara pelayanan

publik di Indonesia belum memberikan pelayanan kepada Penyandang Disabilitas

sesuai amanat UU tentang Pelayanan Publik. Tentu hal ini merupakan pekerjaan

rumah bagi Pemerintah Indonesia untuk mendorong penyelenggara layanan lebih

peka terhadap pemberian pelayanan bagi Penyandang Disabilitas.

Hasil survei tersebut ditegaskan pula oleh Dwiyanto (2010) bahwa

kemampuan birokrasi untuk menerjemahkan pelayanan terkadang masih minim,

karena selama ini birokrasi hanya menerjemahkan bahwa layanan yang wajib

diberikan kepada masyarakat adalah yang bersifat standar dan umum. Akibatnya

mereka tidak akan bisa responsif memenuhi pelayanan publik bagi masyarakat

berkebutuhan khusus.

Partisipasi disabilitas dalam pelayanan publik selayaknya menjadi prioritas

yang wajib bagi keberadaan disabilitas. Sebab, hal ini merupakan bentuk kesetaraan

5
bagi setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya (Mumpuni &

Zainudin, 2018). Maka dari itu, hak atas pelayanan publik bagi penyandang

disabilitas menjadi satu hal yang perlu mendapat perhatian lebih. Hal ini

dikarenakan pelayanan publik kerap menjadi pintu utama bagi para penyandang

disabilitas untuk dapat mengakses hak-hak lain di masyarakat.

Lingkungan yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas akan

memberikan dukungan yang besar terhadap proses dan keberhasilan pengembangan

potensi dan keberfungsian sosial penyandang disabilitas. Hal ini karena lingkungan

yang dapat diakses akan memperlancar dan memberi kemudahan mobilitas bagi

penyandang disabilitas karena keterbatasan fisik dalam segala aspek kehidupannya.

Pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas tidak hanya diartikan

sebagai pelayanan yang berupa fasilitas ramah disabilitas, namun juga terkait

pelayanan lain seperti pelayanan administratif seperti pengurusan berkas-berkas

yang diperlukan oleh penyandang disabilitas. Sebab, penyediaan sarana

aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan publik merupakan kebutuhan bagi

penyandang disabilitas. Pelayanan administratif untuk penyandang disabilitas

justru berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak lain mereka sebagai warga negara

seperti hak mendapat pekerjaan.

Pelayanan publik yang menjangkau seluruh masyarakat tidak hanya sekedar

kewajiban dari pemerintah melainkan juga menjadi indikasi penerapan good

governance yang menjadi tujuan jalannya pemerintahan. Semakin luasnya

keterjangkauan pelayanan publik berkualitas yang disediakan pemerintah untuk

masyarakat, semakin tinggi pula indikasi good governance pemerintahan tersebut..

6
Sebab di dalamnya terdapat interaksi yang kuat di antara masyarakat dan

pemerintah (Dwiyanto, 2017). Sehingga pemerintahan yang baik harus dapat

melaksanakan kewajiban pelayanan publiknya menyeluruh kepada seluruh

masyarakat termasuk bagi penyandang disabilitas.

Berbagai peraturan perundang-undangan telah sedemikian rupa mengatur

mengenai pelayanan publik dalam kaitannya dengan hak penyandang disabilitas.

Walau begitu, saat ini fakta yang terjadi menunjukkan bahwa penyandang

disabilitas masih perlu menghadapi berbagai macam tantangan seperti diskriminasi

perlakuan, sarana dan prasana yang cukup sulit diakses pada fasilitas umum, hingga

diabaikannya kebutuhan penyandang disabilitas yang dapat mengakomodasi

mereka supaya lebih mandiri dan lebih mudah mobilitasnya (Asshidiqie, dalam

Priscyllia, 2016).

Pelayanan publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan

yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam

penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum

memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa yang berjalan dengan

maksimal selain melalui keberadaan Ombudsman Republik Indonesia. Akibatnya,

kualitas produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya. Pelayanan

publik yang ada di Indonesia juga belum responsif terhadap masyarakat khususnya

masyarakat yang berkebutuhan khusus yaitu penyandang disabilitas (Priscyllia,

2016).

Penyandang disabilitas sebagai warga negara seyogyanya tidak

dikecualikan dari haknya untuk menikmati berbagai pelayanan publik yang tersedia

7
dan seharusnya mereka terima. Agar penyandang disabilitas dapat hidup mandiri

dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara wajib

mengambil langkah yang tepat untuk memastikan akses bagi penyandang

disabilitas ke berbagai fasilitas dan jasa pelayanan yang tersedia di publik (Tarsidi,

2011). Tetapi, timbulnya permasalahan dalam aksesibilitas terhadap hak-hak

mereka juga masih banyak terjadi. Permasalahan terkait pelayanan publik yang

berhubungan dengan penyandang disabilitas salah satunya terjadi di RSUD dr.

Soedomo, Trenggalek.

Dua orang disabilitas dan seorang pendamping berinisial TA mendatangi

RSUD dr Soedomo Trenggalek untuk meminta surat keterangan disabilitas.

Ketiganya sempat ditolak oleh bagian administrasi rumah sakit karena rumah sakit

tidak memiliki form yang diminta. Akibat penolakan tersebut, sempat timbul

keributan sehingga Kepala Pelayanan medis kemudian turun tangan dan

membuatkan form yang diminta.

TA dan satu orang disabilitas berinisial WH kemudian menuju poli umum

untuk mengisi form. Permasalahan kembali terjadi karena pengisian centang jenis

disabilitas pada form surat keterangan milik WH dianggap tidak tepat oleh TA. TA

menilai dokter memberi centang pada lebih dari dua disabilitas, padahal, WH

merupakan seorang penderita Cerebral Palsy. Pemberian centang yang salah

terhadap surat keterangan disabilitas dapat menyebabkan penyandang disabiltas

dianggap sebagai double handicap yang dapat menyebabkan penyandang

disabilitas tersebut kesulitan mendapat pekerjaan.

8
Dokter tersebut dokter kemudian berteriak kepada TA dan mengatakan

bahwa ia lebih mengerti. Dokter tersebut juga marah-marah hingga melakukan

pengusiran pada TA dan WH dari ruangan poli. TA yang merasa dirugikan

mengadukan pengalaman tersebut kepada Kepala Pelayanan Rumah Sakit. Setelah

diadukan, TA baru mendapat surat keterangan disabilitas sesuai yang diminta.

Sebagai pembanding, beberapa rumah sakit di Indonesia telah menyediakan

pelayanan pembuatan surat keterangan disabilitas dengan mudah. Salah satunya

melalui pengalaman seorang penyandang disabilitas yang pernah mengurus surat

keterangan disabilitas dengan akses yang mudah dan pelayanan optimal di RSUP

Dr. Mohammad Husein Palembang.

Pada dasarnya memang pelaksanaan pelayanan publik diberikan supaya

masyarakat terfasilitasi, namun dalam pelaksanaannya justru tidak jarang terjadi

penyimpangan-penyimpangan oleh penyelenggara pelayanan publik yang dapat

menyebabkan kerugian pada masyarakat. Penyimpangan pada penyelenggaraan

publik itulah kemudian melahirkan konsep maladministrasi. Maladministrasi dapat

terjadi kepada setiap warga negara yang memanfaatkan pelayanan publik, tidak

terkecuali penyandang disabilitas.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan

masalah yang digunakan adalah: “Apakah RSUD dr. Soedomo Trenggalek telah

melakukan perbuatan maladministrasi karena tidak menyediakan surat keterangan

9
penyandang disabilitas ditinjau dari UU tentang Pelayanan Publik dan UU tentang

Penyandang Disabilitas?”

1.3 Alasan Pemilihan Judul

Penulis memilih judul “Analisis Yuridis Terhadap Ketiadaan Surat

Keterangan Disabilitas Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soedomo Trenggalek”.

Pemilihan judul tersebut didasarkan atas pada tujuan penulisan ini yaitu ingin

menganalisis apakah pelayanan publik yang dilakukan oleh RSUD dr. Soedomo

Trenggalek terhadap penyandang disabilitas merupakan maladministrasi, serta

untuk mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan RSUD dr. Soedomo

Trenggalek telah sesuai dengan aturan yuridis yang berlaku.

Alasan lain penulis adalah karena setiap masyarakat tanpa terkecuali berhak

atas pelayanan publik yang maksimal dari pemerintah. Pun dalam fakta empiris,

masih banyak kasus pelayanan publik yang tidak optimal, yang bahkan cenderung

diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Padahal, pelayanan publik yang

optimal dapat meningkatkan kualitas hidup para penyandang disabilitas.

1.4 Tujuan penulisan

1.4.1 Tujuan akademis

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi dan menyelesaikan

salah satu syarat meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum

Universitas Surabaya.

10
1.4.2 Tujuan praktis

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah RSUD dr. Soedomo

Trenggalek telah melakukan maladministrasi dalam pelayanan publik

akibat tidak mempersiapkan ketersediaan surat keterangan disabilitas yang

dibutuhkan bagi penyandang disabilitas.

1.5 Metodologi Penelitian

1.5.1 Tipe penelitian

Penulis menggunakan tipe penelitian yuridis-normatif dalam penulisan

hukum ini. Soekanto dan Mamudji (dalam Ishaq, 2017) memberi definisi

terhadap penelitian hukum normatif sebagai penelitian hukum melalui

penelitian bahan pustaka atau data sekunder belaka. Tipe penelitian tersebut

digunakan untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang

dilakukan dengan cara studi pustaka, yakni meneliti bahan-bahan hukum

seperti bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.

1.5.2 Pendekatan penelitian

Dua pendekatan permasalahan digunakan dalam penelitian ini.

Pertama, pendekatan perundang-undangan (state approach). Pendekatan

kedua adalah pendekatan konseptual (conceptual approach). Kedua

pendekatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peraturan hukum

normatif (peraturan perundang-undangan) yang berlaku serta literatur-

literatur yang tersedia.

11
1.5.3 Bahan hukum

Bahan hukum pada penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum

primer, sekunder, dan tersier, yang terdiri dari:

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer menurut Cohen dan Olson (dalam Diantha,

2017)) ialah semua aturan hukum yang penegakannya atau

pemaksaannya dilakukan oleh negara atau enforced by state. Aturan

hukum ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan

pengadilan, dan peraturan eksekutif/administratif. Sementara Marzuki

(2009) mendefinisikan bahan hukum primer sebagai bahan hukum yang

bersifat otoritatif yang terdiri atas perundang-undangan, catatan resmi,

atua risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.

Sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini meliputi

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah bahan hukum

yang memberi penjelasan atau pembahasan lebih lanjut atas bahan

hukum primer. Publikasi mengenai hukum yang tidak termasuk sebagai

dokumen resmi dapat turut merupakan bahan hukum sekunder. Penulisan

skripsi ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku, tulisan

ilmiah, jurnal atau majalah hukum, pendapat para ahli, dan beragam

12
referensi yang berhubungan dengan maladministrasi dalam pelayanan

publik dan disabilitas.

c) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier ialah bahan penunjang yang memberikan

penjelasan dan informasi bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder (Sunggono, 1998). Bahan hukum ketiga ini dapat berupa

kamus hukum, media internet, dan ensiklopedia mengenai terminologi

yang banyak digunakan dalam pembahasan terkait maladministrasi

dalam pelayanan publik dan disabilitas.

1.6 Pertanggungjawaban Sistematika

Skripsi ini memiliki sistematika penulisan yang terbagi menjadi 4 (empat)

bab. Bab-bab tersebut diuraikan sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan. Bab ini berisikan pengantar awal terhadap keseluruhan

penenlitian yang terdiri dari sub-sub bab antara lain latar belakang gambaran umum

mengenai masalah yang akan dibahas, rumusan masalah berisikan permasalahan

yang akan dibahas, alasan pemilihan judul gambaran peneliti mengambil judul

penelitin tersebut, tujuan penelitian menjelaskan keluaran atau hasil yang akan

diperoleh dalam penelitian ini, metode menjelaskan cara atau langkah penelitin

yang akan dilakukan peneliti, serta pertanggungjawaban sistematika mempunyai

makna untuk memberikan kejelasan mengenai kerangka penulisan skripsi.

Bab 2, Tinjauan Umum, yang terdiri dari sub-sub bab dengan uraian untuk

memberi penjelasan mengenai pelayanan publik, maladministrasi, serta

penyandang disabilitas termasuk pula hak-haknya. Semua tinjauan umum tersebut

13
dikaji baik dengan dasar yuridis, maupun landasan teori atau pendapat para ahli

guna mempermudah pembahasan permasalahan dalam bab-bab berikutnya.

Bab 3, Pembahasan. Bab 3 terdiri dari dua sub bab yakni kronologi kasus

dan analisis kasus. Bab ini menguraikan analisis pembahasan untuk menjawab

rumusan permasalahan yang diajukan. Pada sub bab kronologi kasus, akan

dijelaskan secara rinci ilustrasi kasus yang terjadi sehingga menghasilkan rumusan

masalah di atas. Kronologi kasus tersebut kemudian dilanjutkan dengan sub bab

berikutnya yakni analisis kasus yang berupa pembahasan untuk mengetahui apakah

RSUD dr. Soedomo telah melakukan maladministrasi dalam pelayanan publik

karena tidak memiliki ketersediaan surat keterangan disabilitas sebagai salah satu

bentuk pelayanan mereka.

Bab 4, yakni Penutup, bagian penulisan skripsi yang mengakhiri seluruh

pembahasan penelitian yang memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan adalah

seluruh garis besar jawaban mengenai rumusan masalah yang didapatkan dari hasil

analisis pada bab sebelumnya. Sedangkan saran berisi rekomendasi yang diberikan

penulis untuk menyelesesaikan permasalahan yang dikaji.

14
BAB 2

TINJAUAN UMUM TENTANG PENYANDANG DISABILITAS,

PELAYANAN PUBLIK, DAN MALADMINISTRASI

2.1 Penyandang Disabilitas

2.1.1 Pengertian Penyandang Disabilitas

Disabilitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah keadaan

seperti sakit atau cedera yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan

seseorang, atau suatu keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara yang

biasa. Menurut Sholeh (2014) disabilitas adalah suatu keterbatasan atau kehilangan

kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan

cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang

manusia. Disabilitas juga didefinisikan sebagai keadaan yang memiliki relasi

berkesinambungan antara gangguan fisik individual dengan lingkungan sosialnya

(Prasetyo, 2014).

Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau

WHO) mengartikan disabilitas sebagai keadaan terbatasnya yang menghalangi

kemampuan untuk melakukan suatu aktivitas dengan normal. Sehingga kemudian

WHO mengategorikan disabilitas ke dalam tiga kategori yaitu (Purnomosidi, 2017):

a. Impairment, yaitu kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau

fungsi psikologis, atau anatomis;

15
b. Disability yaitu ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat

adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang

dianggap normal bagi manusia;

c. Handicap, yaitu keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya

impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan

yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya)

bagi orang yang bersangkutan.

Seseorang dengan keadaan disabilitas kerap disebut sebagai penyandang

disabilitas. Istilah penyandang disabilitas merupakan perubahan dari penyebutan

‘penyandang cacat’ yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia

dan merendahkan harkat serta martabat manusia (Purnomosidi, 2017).

Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas mendefinisikan

bahwa “Penyandang disabilitas mencakup mereka yang memiliki keterbatasan

fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama berinteraksi

dengan berbagai hambatan yang dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif

dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya.” Sementara menurut

John C. Maxwell, penyandang disabilitas merupakan seseorang yang mempunyai

kelainan dan/atau yang dapat mengganggu aktivitas

Beberapa pengertian tentang Penyandang Disabilitas/ Penyandang Cacat

yang diatur dalam Undang-Undang yaitu :

1) Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006,

penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu

menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan

16
individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan

mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan

fisik atau mentalnya.

2) Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, penyandang cacat/disabilitas merupakan kelompok masyarakat

rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih

berkenaan dengan kekhususannya.

3) Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Sosial, penyandang cacat/disabilitas digolongkan sebagai bagian dari

masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara

kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.

4) Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan

Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang

memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka

waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap

masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk

berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

5) Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai

kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan

rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,

yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;

penyandang cacat fisik dan mental.

17
6) Diperbarui dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016

tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa penyandang

disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,

intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang

dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan

kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga

negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Penyandang disabilitas dapat mengalami satu atau lebih jenis disabilitas.

Dalam waktu yang bersamaan, dimungkinkan seseorang mengalami ganda atau

justru multi disabilitas. Ragam penyandang disabilitas sebagaimana dijelaskan

dalam Pasal 4 UU Penyandang Disabilitas yaitu:

1. Penyandang disabilitas fisik

Adalah adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh

layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat

kusta, dan orang kecil.

2. Penyandang disabilitas intelektual

Yakni fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara

lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome

3. Penyandang disabilitas mental

Yakni terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:

a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan

gangguan kepribadian;

18
b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan

interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif

4. Penyandang disabilitas sensorik

Terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas

netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara

2.1.2 Hak Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas memiliki keadaan yang rentan, berbeda dengan

keadaan seseorang pada umumnya. Kenyataan yang dialami oleh penyandang

disabilitas menunjukkan bahwa penyandang disabilitas menyandang stigma

ketidaksempurnaan sehingga membuat penyandang disabilitas termarjinalkan dari

penerimaan sosial yang utuh (Prakosa, 2013). Keadaan rentan tersebut

menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas kerap diabaikan. Padahal, hak

penyandang disabilitas telah diatur sedemikian rupa dan dijamin oleh hukum positif

di Indonesia. Walau begitu, mengacu pada banyaknya jumlah penyandang

disabilitas, semestinya memang tidak terjadi pembedaan perlakuan pemenuhan hak

antara orang yang normal dengan penyandang disabilitas (Purnomosidi, 2017).

Hak penyandang disabilitas ini juga ditegaskan pada UU HAM di mana

penyandang disabilitas termasuk dalam satu dari enam kategori kelompok rentan

tepatnya pada Pasal 5 ayat (3) UU HAM. Pasal tersebut menyatakan bahwa “setiap

orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh

perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”

19
Hak yang paling mendasar, secara konstitusional, misalnya, UUD 1945

Pasal 31 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan

pendidikan yang layak. Penyandang disabilitas merupakan warga Negara Indonesia

dengan bentuk apapun kondisi fisik yang mana masing-masing dari mereka

memiliki hak serta kewajiban yang sama dengan warga Negara Indonesia lainnya.

Kemudian Pasal 28 butir A-J yang mengatur tentang hak asasi manusia, dalam hal

ini berimplikasi pula bagi penyandang disabilitas. Hak-hak bagi setiap warga

negara sejatinya telah diatur dalam dalam UUD 1945 dan berbagai Perundang-

undangan perundang-undangan lainnya di mana dalam UU tersebut tidak

membatasi seseorang yang mempunyai keterbatasan fisik dan/atau intelektual

untuk mendapatkan hak (Alfaris, 2018).

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menguraikan secara jelas

mengenai hak-hak penyandang disabilitas antara lain:

1. Hak untuk mendapat persamaan dan nondiskriminasi;

2. Hak untuk mendapat pelayanan atau aksesibilitas;

3. Hak atas kebebasan dan keamanan;

4. Hak untuk mendapatkan pengakuan ataspersamaan di muka hukum;

5. Hak untuk mendapat keadilan;

6. Hak bebas dari penyiksaan ataupenghukuman yang kejam;

7. Hak bebas dari eksploitasi dan kekerasan;

8. Hak atas pendidikan dan kesehatan;

9. Hak atas pekerjaan dan lapangan kerja;

10. Hak kebebasan bergerak dan kewarganegaraan.

20
Hak-hak yang terdapat dalam Konvensi tersebut merupakan dasar bagi

penyandang disabilitas untuk mempertahankan hidup serta memperjuangkan hak

yang melekat pada dirinya.

Penyandang disabilitas juga memiliki hak yang dijabarkan dalam UU

Penyandang Disabilitas. Hak-hak penyandang disabilitas dapat dikategorikan

kedalam tiga kategori yaitu:

Pertama, hak penyandang disabilitas. Terkait dengan hak-hak penyandang

disabilitas, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016. Menurut Pasal 5

ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas memiliki 22 (dua puluh

dua) hak. Hak-hak tersebut adalah:

1. hak untuk hidup

2. bebas dari stigma;

3. privasi;

4. keadilan dan perlindungan hukum;

5. pendidikan;

6. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;

7. kesehatan;

8. politik

9. keagamaan;

10. keolahragaan;

11. kebudayaan dan pariwisata;

12. kesejahteraan sosial;

13. aksesibilitas

21
14. pelayanan publik;

15. perlindungan dari bencana;

16. habilitasi dan rehabilitasi;

17. konsesi;

18. pendataan;

19. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;

20. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi;

21. berpindah tempat dan kewarganegaraan;

22. bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan

eksploitasi.

Kedua, hak perempuan disabilitas. Hak untuk perempuan penyandang

disabilitas diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Penyandang Disabilitas.

Menurut Pasal tersebut, perempuan penyandang disabilitas memiliki 26 (dua puluh

enam) hak. Bagi perempuan penyandang disabilitas, selain 22 (duapuluh dua) hak

penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Penyandang

Disabilitas juga memiliki hak:

a. atas kesehatan reproduksi;

b. menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi;

c. mendapatkan Perlindungan lebih dari perlakuan Diskriminasi berlapis;

d. untuk mendapatkan Perlindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk

kekerasan dan eksploitasi seksual.

Ketiga, hak anak disabiltas. Adapun, anak penyandang disabilitas memiliki

29 (dua puluh sembilan) jenis hak. Selain hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5

22
ayat (1) UU Penyandang Disabilitas, anak penyandang disabilitas juga memiliki

hak untuk:

a. mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran,

pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual;

b. mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga

pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal;

c. dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan;

d. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;

e. pemenuhan kebutuhan khusus;

f. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial

dan pengembangan individu; dan

g. mendapatkan pendampingan sosial.

UU Pelayanan Publik juga tidak luput memberikan hak khusus bagi

penyandang disabilitas. Walau tidak secara jelas menyebut penyandang disabilitas,

namun Pasal 4 butir j UU Pelayanan Publik menyebutkan adanya “fasilitas dan

perlakuan khusus bagi kelompok rentan”. Sebagaimana diketahui bahwa

berdasarkan UU Hak Asasi Manusia, penyandang disabilitas merupakan salah satu

dari enam kategori kelompok rentan. Sehingga, UU Pelayanan Publik juga

memberikan hak untuk penyandang disabilitas untuk memperoleh fasilitas dan

perlakuan khusus dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

23
2.1.3 Jaminan Perlindungan terhadap Hak Penyandang Disabilitas

Pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas masih sangat jauh dari kata

adil (fair), masih banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan diskriminasi

terkait dengan pemenuhan hak, pendidikan, pekerjaan, fasilitas publik seperti

transportasi, tempat ibadah, tempat hiburan, serta kedudukan yang sama di muka

hukum. Permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas tidak hanya pada

pendidikan dasar hingga pendidikan menengah atas, tetapi juga pasca pendidikan

menengah atas hingga dalam kehidupan sehari-hari mereka (Rizky, 2014).

Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama

dengan masyarakat non disabilitas. Bahkan, karena keterbatasannya, sudah

sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus. Perlakuan

khusus yang dimaksudkan ialah sebagai upaya perlindungan dari kerentanan

terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai

pelanggaran hak asasi manusia. Ajakan hingga berbagai aturan hukum hingga

aturan hukum terkait kekhususan fasilitas atau pelayanan yang seharusnya

diberikan kepada penyandang disabilitas sudah tersedia, tetapi masih banyak pihak-

pihak –salah satu contohnya adalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik- yang

mengabaikan hak-hak penyandang disabilitas.

Jaminan perlindungan hak Penyandang Disabilitas di Indonesia semakin

ditegakkan sejak Indonesia meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With

Disabillities, pada 2011 lalu yang tertuang dalam Undang-undang No 19 Tahun

2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with

Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas atau

24
CRPD). Penandatanganan konvensi ini menunjukan kesungguhan negara Indonesia

untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang

disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para

penyandang disabilitas (Sholihah, 2016). CRPD merupakan instrument HAM

internasional dan nasional dalam upaya Penghormatan, Pemenuhan dan

Perlindungan Hak difabel di Indonesia (Development tool and

Human Rights Instrument). Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan,

melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi

semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang

disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity).

Komitmen Indonesia terhada prinsip-prinsip dalam CRPD melahirkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Ndaumanu

(2020) menuliskan bahwa UU Penyandang Disabilitas terbentuk dengan landasan

filosofis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan

hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai

kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga

negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan

masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,

untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.

UU Penyandang Disabilitas juga merupakan jawaban dari kondisi

penyandang disabilitas Indonesia yang masih hidup dalam kondisi rentan,

terbelakang, dan/atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan,

kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Selain

25
itu untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas

menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.

Sejak terbentuknya UU Penyandang Disabilitas hingga saat ini, baru ada

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas; Peraturan Pemerintah Nomor 70

Tahun 2019 Tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, Dan Evaluasi terhadap

Penghormatan, Pelindungan, Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; dan

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak

Untuk Peserta Didik penyandang Disabilitas. Masih banyak amanat untuk

membentuk peraturan pelaksana yang dari UU Penyandang Disabilitas yang

belum terbentuk hingga saat ini. Namun, dengan berbagai peraturan pelaksana yang

sudah terbentuk, cukup menunjukkan adanya upaya negara dalam memberikan

jaminan perlindungan hak bagi penyandang disabilitas

2.2 Pelayanan Publik

2.2.1 Pengertian Pelayanan Publik

Pelayanan publik pada dasarnya merupakan kemudahan atau layanan yang

disediakan dari pemerintah kepada masyarakat sehubungan dengan pemenuhan

barang dan jasa. Dalam praktenya di pemerintahan, negara berkewajiban memberi

pelayanan, atau dengan kata lain memberi pelayanan pada setiap warga negara dan

penduduk supaya hak dasar mereka dapat terpenuhi (Rahmadana & et al, 2020).

Definisi pelayanan publik dalam peraturan perundang-undangan dijelaskan

dalam Pasal 1 butir 1 UU Pelayanan Publik sebagai kegiatan atau rangkaian

26
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan

perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan

publik.

Pengertian pelayanan publik juga didefinisikan dalam Kepmen PAN

Nomor 25 Tahun 2004 tentang Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit

Pelayanan Instansi Pemerintah, yakni segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan

oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan

penerima layanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang- undangan.

Subarsono (2006), sementara itu turut memberi definisi pelayanan publik

sebagai serangkaian kegiatan atau aktivitas oleh birokrasi pemerintahan yang

bergerak di dalam layanan publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna.

Pengguna yang dimaksud dalam hal ini adalah setiap warga negara atau penduduk

yang membutuhkan pelayanan publik baik barang, atau jasa.

Beberapa pakar lain juga memberi pengertian dari pelayanan publik. Seperti

yang dijelaskan Kurniawan (2005) bahwa pelayanan publik adalah pemberian

pelayanan atau pelayanan terhadap keperluan masyarakat yang mempunyai

kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang

ditetapkan. Sedangkan Ratminto (2006), berpendapat jika pelayanan publik adalah

sebuah pelayanan baik itu berupa pelayanan barang atau jasa publik oleh

pemerintah yang dilakukan untuk publik atau masyarakat.

27
Bharata (2003) kemudian menarik unsur-unsur penting yang harus ada

dalam pelayanan publik berdasarkan beberapa pengertian pelayanan publik, yakni:

1. Penyedia layanan, yaitu pihak yang dapat memberikan suatu layanan

tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan

dan penyerahan barang (goods) atau jasa (Service)

2. Penerima layanan, yaitu mereka yang disebut sebagai konsumen.

Konsumen menerima berbagai bentuk layanan dari penyedia layanan

3. Jenis layanan, yakni layanan yang dapat diberikan oleh penyedi

apelayanan kepada pihak yang membutuhkan layanan

4. Kepuasaan pelanggan, yakni bahwa dalam memberikan layanan, penyedia

pelayanan harus mengacu pada tujuan utama pelayanan, yaitu kepuasaan

pelanggan.

Tujuan pelayanan publik secara garis besar adalah untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat akan barang/jasa serta layanan administratif yang dapat

diberikan oleh pemerintah. Selain itu, pelayanan publik juga bertujuan untuk

menyediakan kepuasan dan bantuan sesuai keinginan masyarakat (Rahmadana,

Mawati, dan Siagian, dkk 2020).

2.2.2 Ruang Lingkup dan Klasifikasi Pelayanan Publik

Pelayanan Publik memiliki wujud serta bentuk ruang lingkup yang

beragam. S.F. Marbun (2013) menjelaskan bahwa ruang lingkup pelayanan publik

meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif

28
yang diatur dalam perundang-undangan. Di sisi lain, sumaryadi (2010) mengatakan

bahwa:

Secara operasional, pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat


dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu: Pertama, pelayanan publik
yang diberikan tanpa memperhatikan orang perseorangan, tetapi keperluan
masyarakat secara umum yang meliputi penyediaan sarana dan prasarana
transportasi, penyediaan pusat-pusat kesehatan, pembangunan lembaga-
lembaga pendidikan, pemeliharaan keamanan, dan lain sebagainya. Kedua,
pelayanan yang diberikan secara orang perseorangan yang meliputi kartu
penduduk dan surat-surat lainnya.

Pasal 5 ayat (1) UU Pelayanan Publik juga mengatur bahwa Pelayanan

Publik memiliki ruang lingkup tertentu. Dalam Pasal tersebut berbunyi “ruang

lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta

pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ruang

lingkup sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut meliputi pendidikan,

pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,

lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan,

sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Penjelasan lebih lanjut terkait ruang lingkup pelayanan publik seperti pada

Pasal 5 ayat (1) UU Pelayanan Publik dijabarkan sebagai berikut:

1. Pelayanan barang publik meliputi:

a. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi

pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran

pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja

daerah;

29
b. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan

usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari

kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

c. pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak

bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran

pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya

sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau

kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi

negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

2. Pelayanan atas jasa publik meliputi:

a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau

seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara

dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b. penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya

sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau

kekayaan daerah yang dipisahkan;

c. penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari

anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan

belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau

seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah

yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang

ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.

3. Pelayanan administratif meliputi:

30
a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur

dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan

perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda

warga negara.

b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh

negara dan diatur dalam peraturan perundang undangan serta diterapkan

berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan

Nuriyanto (2014) menambahkan, dalam ruang lingkup tersebut di dalamnya

termasuk pendidikan, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi informasi,

kesehatan, jaminan sosial, dan sector strategis lainnya.

Keputusan MENPAN No. 63/ KEP/ M.PAN/17/ 2003 tentang Pedoman

Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, juga membagi kelompok pelayanan

publik yang dikategorikan dalam 3 kelompok pelayanan yaitu: 1) kelompok

pelayanan barang administratif, 2) kelompok pelayanan barang, dan 3) kelompok

pelayanan jasa.

Pelayanan-pelayanan tersebut kemudian diuraikan sebagai berikut

(Hardiansyah, 2011):

1. Pelayanan Adminsitratif, yaitu pelayanan yang diberikan oleh unit

pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan,

dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan

menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik

seperti status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, atau penguasaan

terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain

31
KTP, Akte Pernikahan, Akte kelahiran, dan Ijin Mendirikan Bangunan, dan

lain-lain.

2. Pelayanan barang, yaitu yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis yang

digunakan oleh publik. Dengan kata lain, Secara keseluruhan kegiatan

tersebut mengasilkan produk akhir berwujud benda (berwujud fisik) atau

yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi

penggunanya. Pelayanan ini berupa kegiatan penyediaan dan atau

pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampainnya

dan konsumen langsung (sebagainit atau individual) dalam suatu sistem.

Contoh pelayanan ini adalah jenis pelayanan listrik, pelayanan air bersih dan

pelayanan telepon.

3. Pelayanan jasa, adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan

yang berupa sarana dan parasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya

berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya

berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung

dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Misalnya pelayanan

transportasi, layanan kesehatan, layanan pendidikan, layanan pos dan

pelayanan pemadam kebakaran.

32
2.2.3 Rumah Sakit Sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik

2.2.3.1 Dasar Hukum Rumah Sakit Sebagai Penyelenggara Pelayanan

Publik

Penjelasan Pasal 5 ayat (4) UU Pelayanan Publik menyatakan bahwa ruang

lingkup pelayanan publik yang wajib diberikan pemerintah salah satunya berbentuk

penyediaan pelayanan jasa publik yang di dalamnya termasuk jasa kesehatan. Rumah

Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber

daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya

kesehatan dalam pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah.

Rumah Sakit merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem

kesehatan yang dikembangkan melalui rancangan pembangunan kesehatan.

Sehingga dalam pembangunan rumah sakit tidak terlepas dari pembangunan

kesehatan juga, yaitu harus sesuai dengan garis-garis haluan negara agar

terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Pengertian Rumah Sakit dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disingkat sebagai UU Rumah Sakit) yakni

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,

dan gawat darurat.

Supartiningsih (2017 dalam Hutabarat, 2019) juga mendefinisikan rumah

sakit adalah suatu organisasi yang dilakukan oleh tenaga medis professional yang

terorganisir baik dari sarana prasarana kedokteran, asuhan keperawatan yang

berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.

33
Bramantoro (2017) memberi definisi lain tentang rumah sakit yakni suatu

fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan upaya kesehatan secara

berdayaguna dan berhasil guna pada upaya penyembuhan dan pemulihan yang

terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya

rujukan.

Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan

karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat harus

tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh

masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Rumah sakit pada hakekatnya berfungsi sebagai tempat penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi yang dimaksud memiliki makna

tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam

meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu bentuk pelayanan

publik.

Rumah sakit memiliki tugas yang sudah tercantum dalam Pasal 4 UU

Rumah Sakit. Tugas tersebut yakni memberikan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna. Menurut Rikomah (2017, dalam Hutabarat, 2019 ) tugas rumah

sakit yang lain adalah melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya

guna dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang

dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta

pelaksanaan upaya rujukan.

34
2.2.3.2 RSUD dr. Soedomo Trenggalek sebagai Penyelenggara Pelayanan

Publik

RSUD dr. Soedomo merupakan rumah sakit umum milik Pemerintah

Daerah Kabupaten Trenggalek dengan type C yang berlokasi di Jalan Dr. Sutomo

No. 2 Trenggalek. RSUD dr. Soedomo Kabupaten Trenggalek juga merupakan

rumah sakit rujukan di Kabupaten Trenggalek.

Sejak tahun 1983 hingga sekarang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

dr.Soedomo Kabupaten Trenggalek adalah rumah sakit kelas C. Penetapan kelas

C RSUD dr.Soedomo berdasar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor:

061/5268/SD/1982 tanggal 29 Juli 1982 tentang Pengelolaan Organisasi dan Tata

Kerja RSUD, Instruksi Gubernur Nomor 16 Tahun 1983 tanggal 19 April 1983

tentang Penetapan Rumah Sakit dr.Soedomo Kabupaten Trenggalek menjadi

Rumah Sakit kelas C, Peraturan Daerah Tingkat II Trenggalek nomor 19 Tahun

1984 tentang susunan organisasi dan tata kerja RSUD Kabupaten Trenggalek,

penetapan MENPAN dengan surat keputusan Nomor 117 Tahun 1997 tanggal 6

November 1997 dalam lampiran VI-2 Nomor urut 13 item 7, serta dikukuhkannya

RSUD kelas C oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam surat Keputusan

Nomor 105/MENKES/SK/II/1998 tanggal 15 Februari 1998 (Sumanto, 2009).

Tahun 2010 RSUD dr.Soedomo ditetapkan sebagai Badan Layanan

Umum Daerah (BLUD) dengan keputusan Bupati Nomor

188.45/518/406.013/2010 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah

dr.Soedomo sebagai Badan Layanan Umum Daerah Berdasarkan Keputusan Bupati

35
Trenggalek RSUD dr.Soedomo ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah

dengan status penuh.

RSUD dr.Soedomo merupakan salah satu penyelenggara pelayanan

kesehatan mencakup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, terutama

dalam hal upaya kesehatan seperti penyembuhan (kuratif) melalui pelayanan

tindakan medik maupun terapi, tindakan pengobatan baik menggunakan alat

maupun obat dan tindakan diagnostik lainnya, pemulihan (rehabilitatif),

peningkatan upaya kesehatan (promotif) dan upaya pencegahan (preventif).

Indikator pelayanan kesehatan RSUD dr.Soedomo mengalami fluktuasi

dari tahun ketahun. Beberapa bagian mengalami peningkatan, namun ada juga

yang mengalami penurunan (Sumanto, 2009).

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soedomo Kabupaten Trenggalek

merupakan unsur penunjang dari penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kabupaten

Trenggalek di bidang pelayanan kesehatan yang mempunyai tugas pokok

melaksanakan penyusunan dan penyelenggaraan kebijakan daerah di bidang

pelayanan kesehatan.

Dilansir dari laman resminya, RSUD dr. Soedomo Trenggalek memiliki

beberapa fungsi dan kewenangan untuk dapat melaksanakan tugasnya pokoknya.

Fungsi tersebut di antaranya:

1. Perumusan kebijakan di bidang penyelenggaraan pelayanan kesehatan

berdasarkan peraturan perundang – undangan.

2. Pendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang pelayanan

kesehatan.

36
3. Pengoordinasian penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

4. Penyelenggaraan dan pengelolaan administrasi dan urusan rumah tangga

RSUD.

5. Penyelenggaraan tugas pelayanan medis dan penunjang medis, keperawatan

serta pengendalian dan pelaporan.

6. Pembinaan dan pengendalian pelaksanaan tugas pelayanan medis dan

penunjang medis, keperawatan serta pengendalian dan pelaporan.

7. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas dan kinerja RSUD.

8. Pelaksanaan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan

bidang tugasnya.

Sementara itu, kewenangan yang dimiliki RSUD dr Soedomo antara lain:

1. Perumusan kebijakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

2. Penyelenggaraan pelayanan medis.

3. Penyelenggaraan pelayanan penunjang medis dan non medis.

4. Penyelenggaraan pelayanan dan bimbingan asuhan keperawatan.

5. Penyelenggaraan layanan rujukan.

6. Usulan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dalam rangka

peningkatan pelayanan kesehatan.

7. Penyelenggaraan perencanaan, penelitian dan pengembangan.

8. Pemanfaatan peluang pasar sesuai dengan kemampuannya dengan tetap

mengutamakan fungsi sosial.

9. Pengaturan personil, keuangan dan perlengkapan lingkup RSUD.

10. Penyelenggaraan kerjasama di bidang pelayanan kesehatan.

37
2.2.4 Standar Pelayanan Publik terhadap Penyandang Disabilitas

Penyelenggaraan pelayanan publik dalam bidang apapun harus memiliki

standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi

penerima layanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dilakukan dalam

penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau

penerima pelayanan. Standard pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan

sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik. Adapun pengertian mutu menurut

Goetsch dan Davis (1994) dalam Sutopo & Suryanto (2006) merupakan kondisi

dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan

yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya.

Penerapan standarisasi pelayanan perizinan minimal ini bebasis pada teori

negara hukum modern (negara hukum demokrasi) yang merupakan perpaduan

antara konsep negara hukum hukum (rechtsstaat) dan konsep negara kesejahteraan

(welfare state). Negara hukum secara sederhana adalah negara yang menempatkan

hukum sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan

(supremasi hukum) .

Pengertian standar pelayanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7 UU

Pelayanan Publik yakni merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai

kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan

yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.

UU Pelayanan Publik dalam Pasal 21 mengatur komponen-komponen

standar pelayanan yang sekurang-kurangnya meliputi:

38
a. Dasar hukum

b. Persyaratan

c. Sistem, mekanisme, dan prosedur

d. Jangka waktu penyelesaian

e. Biaya/tarif

f. Produk pelayanan

g. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas

h. Kompetensi pelaksana,

i. Pengawasan internal

j. Penangangan pengaduan, saran, dan masukan

k. Jumlah pelaksana

l. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan

sesuai dengan standar pelayanan

m. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen

untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-

raguan, dan

n. Evaluasi kinerja pelaksana

Pemenuhan standar pelayanan yang baik oleh para penyelenggara

pelayanan publik merupakan hal yang sangat penting dan berkaitan dengan

terpenuhinya hak-hak dari masyarakat itu sendiri. Menurut Wahyuni (2006, dalam

R. C. Kurniawan 2017), standar pelayanan publik memiliki fungsi yakni:

“memberikan arah bertindak bagi instansi penyedia pelayanan publik, di


mana dengan ditetapkannya suatu standar atas pelayanan publik, maka dapat
mempermudah instansi penyedia pelayanan untuk menentukan strategi dan
prioritas. Tanpa adanya standar pelayanan, penyelenggaraan pelayanan

39
publik bukan tidak mungkin menjadi kacau dan semakin melupakan
pelayanan terhadpa kelompok rentan.”

Penyandang disabilitas merupakan salah satu prioritas pelayanan publik

yang sebagaimana disebutkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

penyandang disabilitas bahkan mendapat perlakuan khusus dalam pelayanan

publik. Maka dari itu, adanya standar pelayanan juga sangat menjadi penting bagi

penyandang disabilitas, sebab keberadaan standar pelayanan publik yang dipenuhi

oleh penyelenggara pelayanan publik dapat memudahkan penyandang disabilitas

untuk memperoleh haknya terkait pelayanan publik.

Keberadaan standar pelayanan publik setidaknya dapat memberi dampak

positif pada terselenggaranya pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas.

Hal ini akan menjadi jauh lebih baik apabila ketika standar pelayanan publik telah

terpenuhi, penyelenggara pelayanan publik kemudian meningkatkan standar

pelayanan mereka terlebih penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya

untuk memenuhi

Salah satu contohnya dampak positif terpenuhinya standar pelayanan publik

bagi penyandang disabilitas adalah ketika standar pelayanan publik telah yang

memperhatikan asas-asas pelayanan publik, terutama asas keadilan dan non-

diskriminatif sesuai yang tercantum dalam UU Pelayanan Publik. Di mana

pelayanan publik dikatakan baik jika memenuhi beberapa asas-asas, salah satunya

adanya perlakukan khusus bagi kelompok rentan. Dengan demikian, jelas bahwa

pelayanan publik harus memperhatikan kebutuhan, serta ramah terhadap

masyarakat berkebutuhan khusus seperti kaum disabilitas yang termasuk sebagai

kelompok rentan.

40
2.3 Maladministrasi

2.3.1 Pengertian dan Bentuk-bentuk Maladministrasi

Nurtjahjo dkk (2013) mengartikan maladministrasi sebagai:

perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses
administrasi pelayanan publik, yakni meliputi penyalahgunaan
wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan,
pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan
diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai
sekualitas dengan kesalahan tersebut maladministrasi.

Sadjijono (2008) yang juga memberi mengartikan maladministrasi sebagai

tindakan administrasi penyelenggaran publik dalam proses pemberian pelayanan

umum yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum yang

berlaku atau melakukan penyalahgunaan wewenang yang atas tindakan tersebut

menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi masyarakat. Bagi Sadjijono,

maladministrasi tidak terbatas pada hal administrasi atau tata usaha saja, melainkan

lebih luas. Maladministrasi dapat memberikan efek yang buruk dalam birokrasi

dan menyebabkan pemerintahan yang inefisien, buruk, dan tidak memadai.

Pengertian maladministrasi juga diberikan oleh Mashuri (2006) yakni

perbuatan koruptif yang meskipun tidak menimbulkan kerugian negara, namun

mengakibatkan kerugian bagi masyarakat (warga negara dan penduduk) karena

tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik (mudah, murah, cepat, tepat dan

berkualitas.

Pengertian maladministrasi dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia pertama kali disebutkan pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor

37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (selanjutnya disingkat UU

Ombudsman). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman, maladministrasi

41
didefinisikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui

wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan

wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam

penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan

pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi

masyarakat dan orang perseorangan.

Maladministrasi tidak berbentuk tunggal. Terdapat berbagai bentuk

maladministrasi yang dapat terjadi dalam suatu pelayanan publik. Dalam buku

yang ditulis Nurtjahjo (2013), Ombudsman Republik Indonesia (yang selanjutnya

disebut sebagai Ombudsman RI), menguraikan bentuk-bentuk tindakan

pemerintah yang dapat disebut sebagai maladministrasi dalam beberapa kategori

yakni:

1. Penundaan berlarut

2. Penyimpangan prosedur

3. Penyalahgunaan wewenang

4. Permintaan uang imbalan

5. Tidak patut

6. Tidak kompeten

7. Tidak memberikan pelayanan

8. Berpihak

9. Diskriminasi

10. Konflik kepentingan

42
Bentuk lain yang termasuk klasifikasi tindakan maladministrasi adalah

tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya:

1. Mis-Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan

kepentingan kantor.

2. Deceitful practice yaitu praktek-praktek kebohongan, tidak jujur terhadap

publik. Masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak

sebenarnya, untuk kepentingan birokrat.

3. Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya,

termasuk didalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari

tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk

kepentingan memperkaya dirinya, orang lain kelompok maupun korporasi

yang merugikan keuangan negara.y

4. Defective Policy implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan

implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya

berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang,

tetapi tidak sampai ditindak lanjuti menjadi kenyataan.

5. Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:

a. Indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi

suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan

mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus

seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktisi

muncul kasus-kasus yang di peti es kan.

43
b. Red Tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa

diselesaikan secara singkat.

c. Cicumloution yaitu Penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan

katakata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak ditepati. Banyak kata manis

untuk menenangkan gejolak masa. Kadang-kadang banyak kata-kata

kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.

d. Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model

pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini

nampak, dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang

pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus-perkasus.

e. Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada

atasannya. Ada gejala Asal Bapak senang. Kecenderungan birokrat melayani

individu atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa

juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.

f. Over stafng yaitu Gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk

pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi

g. Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas,

banyak formulir formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah

dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.

h. Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya

pelaporan keuangan tidak sebagaimana mestinya, ada pelaporan keuangan

44
ganda untuk kepentingan mengelabuhi. Biasanya kesalahan dalam keuangan

ini adalah mark up proyek keuangan.

Maladministrasi juga diklasifikasikan ke dalam enam bentuk yang berkaitan

dengan karakteristiknya (Hartono et al, 2003; Masthuri, 2005). Enam bentuk

maladministrasi tersebut yakni:

1. Bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan ketepatan waktu dalam

proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari tindakan penundaan

berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban.

a. Penundaan Berlarut: dalam proses pemberian pelayanan umum kepada

masyarakat, seorang pejabat publik secara berkali-kali menunda atau

mengulur-ulur waktu sehingga proses administrasi yang sedang

dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara

patut) mengakibatkan pelayanan umum yang tidak ada kepastian.

b. Tidak Menangani: seorang pejabat publik sama sekali tidak melakukan

tindakan yang semestinya wajib dilakukan dalam rangka memberikan

pelayanan umum kepada masyarakat.

c. Melalaikan Kewajiban: dalam proses pemberian pelayanan umum,

seorang

pejabat publik bertindak kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa

yang semestinya menjadi tanggungjawabnya

2. Bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan

sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok ini

45
terdiri dari persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan

nyata-nyata berpihak.

a. Persekongkolan: beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta

melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum sehingga

masyarakat merasa tidak memperoleh pelayanan secara baik

b. Kolusi dan Nepotisme: dalam proses pemberian pelayanan umum

kepada masyarakat, seorang pejabat publik melakukan tindakan

tertentu untuk mengutamakan keluarga/sanak famili, teman dan kolega

sendiri tanpa kriteria objektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan

(tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan umum maupun

untuk dapat duduk di jabatan atau posisi dalam lingkungan

pemerintahan.

c. Bertindak Tidak Adil: dalam proses pemberian pelayanan umum,

seorang pejabat publik melakukan tindakan memihak, melebihi atau

mengurangi dari yang sewajarnya sehingga masyarakat memperoleh

pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.

d. Nyata-nyata Berpihak: dalam proses pemberian pelayanan umum,

seorang pejabat publik bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan

salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan berlaku sehingga

keputusan yang diambil merugikan pihak lainnya.

3. Bentuk-bentuk maladministrasi yang lebih mencerminkan sebagai bentuk

pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundangan. Kelompok ini

46
terdiri dari pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan perbuatan

melawan hukum.

a. Pemalsuan: perbuatan meniru sesuatu secara tidak sah atau melawan

hukum untuk kepentingan menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/

atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak memperoleh

pelayanan umum secara baik.

b. Pelanggaran Undang-Undang: dalam proses pemberian pelayanan

umum, seorang pejabat publik secara sengaja melakukan tindakan

menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku

sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.

c. Perbuatan Melawan Hukum: dalam proses pemberian pelayanan

umum, seorang pejabat publik melakukan perbuatan bertentangan

dengan ketentuan berlaku dan kepatutan sehingga merugikan

masyarakat yang semestinya memperoleh pelayanan umum.

4. Bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan kewenangan/

kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum

pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan

diluar kompetensi, pejabat yang tidak kompeten menjalankan tugas,

intervensi yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan

tindakan yang menyimpangi prosudur tetap.

a. Di luar Kompetensi: dalam proses pemberian pelayanan umum,

seorang pejabat publik memutuskan sesuatu yang bukan menjadi

47
wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan

secara baik.

b. Tidak Kompeten: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang

pejabat publik tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan

sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi

tidak memadai (tidak cukup baik).

c. Intervensi: seorang pejabat publik melakukan campur tangan terhadap

kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya sehingga

mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.

d. Penyimpangan Prosedur: dalam proses pemberikan pelayanan umum,

seorang pejabat publik tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah

ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat tidak memperoleh

pelayanan umum secara baik.

5. Bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi

seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum kepada

masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang,

penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak.

a. Bertindak Sewenang-wenang: seorang pejabat publik menggunakan

wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang

sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan

ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak dapat

diterima secara baik oleh masyarakat.

48
b. Penyalahgunaan Wewenang: seorang pejabat publik menggunakan

wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan

yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan umum yang

diberikan tidak sebagaimana mestinya.

c. Bertindak Tidak Layak/ Tidak Patut: dalam proses pemberian

pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan sesuatu yang tidak

wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak

mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya

2.3.2 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Pelayanan publik yang diduga mengandung maladministrasi pada

pelaksanaannya perlu diidentifikasi untuk mengetahui apakah benar suatu

pelayanan publik merupakan suatu maladministrasi atau bukan. Maka dari itu,

diperlukan suatu indicator-indikator yang dapat menjadi tolak ukur. Apabila dalam

pelaksanaan pelayanan publik oleh penyelenggara negara tidak sesuai dengan

indikator-indikator tersebut, dapat diindikasikan bahwa penyelenggara pelayanan

publik telah melakukan maladministrasi.

Indikator penting dalam menganalisis terjadinya maladministrasi pada suatu

pelayanan publik dapat dilakukan dengan melihat penerapan asas-asas umum

pemerintahan yang baik. Sebab, asas-asas umum pemerintahan yang baik

merupakan rambu-rambu bagi penyelenggara negara dalam setiap pelaksanaan

tugasnya. Rambu-rambu tersebut hadir supaya tindakan para penyelenggara negara

tetap sesuai dengan tujuan yang sesungguhnya dan aturan hukum yang berlaku.

Sebagaimana ditulis oleh Sibuea (2010), fungsi asas-asas umum pemerintahan yang

49
baik dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai pedoman atau penuntun

bagi pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam rangka pemerintahan yang

baik (good governance).

Asas-asas umum pemerintahan yang baik sendiri lahir dari praktik

penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehingga bukan produk formal suatu

lembaga negara seperti undang-undang. Sebagai norma etis, asas-asas umum

pemerintahan yang baik pada awalnya bukan merupakan sekumpulan norma

hukum. Namun seiring berjalannya waktu, asas-asas umum pemerintahan yang baik

mulai dituangkan dan dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan di

Indonesia dan menjadi hukum positif yang harus dilaksanakan, terutama bagi para

penyelenggara negara (Gandaria, 2015).

Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang telah menjadi hukum tertulis

di Indonesia di antaranya dapat ditemukan pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor

30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Selanjutnya disingkat UU

Administrasi Pemerintahan). Dalam Pasal tersebut, disebutkan bahwa asas-asas

umum pemerintahan yang baik terdiri atas asas:

a. Kepastian hukum

b. Kemanfaatan

c. Ketidakberpihakan

d. Kecermatan

e. Tidak menyalahgunakan kewenangan

f. Keterbukaan

g. Kepentingan umum, dan

50
h. Pelayanan yang baik

Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana Pasal 10 UU

Administrasi Pemerintahan kemudian mengalami perkembangan sesuai dengan

kebutuhan penyelenggaraan negara. Pengembangan tersebut bersifat melengkapi

asas-asas yang sudah ada. Hasil pengembangan dari asas-asas itulah yang kemudian

melahirkan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana Pasal 4 UU

Pelayanan Publik. Berdasarkan Pasal 4 UU Pelayanan Publik, penyelenggaraan

pelayanan publik harus dilakukan dengan berasaskan:

a. Kepentingan umum, yakni Pemberian pelayanan tidak boleh

mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.

b. Kepastian hukum, yakni Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam

penyelenggaraan pelayanan

c. Kesamaan hak, yakni Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,

agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

d. Keseimbangan hak dan kewajiban, yakni Pemenuhan hak harus sebanding

dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun

penerima pelayanan

e. Keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi

yang sesuai dengan bidang tugas.

f. Partisipatif, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,

dan harapan masyarakat

51
g. Persamaan perlakuan/ perlakuan tidak diskriminatif, yakni Setiap warga

negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.

h. Keterbukaan, Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses

dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan

i. Akuntabilitas, yaitu Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yakni pemberian

kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam

pelayanan.

k. Ketepatan waktu, Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat

waktu sesuai dengan standar pelayanan.

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yakni Setiap jenis pelayanan

dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

52
BAB 3

ANALISIS YURIDIS TENTANG TIDAK TERSEDIANYA SURAT

KETERANGAN DISABILITAS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

dr. SOEDOMO TRENGGALEK SEBAGAI MALADMINISTRASI

3.1 Kronologi Kasus

Penyandang disabilitas beserta seorang pendamping mengalami kesulitan

dan perlakuan buruk di RSUD dr Soedomo Trenggalek. Kasus ini terjadi ketika 16

Maret 2019, dua orang disabilitas serta seorang pendamping berinisial TA

mendatangi RSUD dr Soedomo Trenggalek untuk meminta surat keterangan

disabilitas. Saat mereka datang, ketiganya sempat ditolak oleh bagian administrasi

rumah sakit karena rumah sakit tidak memiliki form yang diminta. Akibat

penolakan tersebut, seorang petugas memanggil Kepala Pelayanan Medis. TA

kemudian memperlihatkan contoh surat tersebut dan Kepala Pelayanan Medis

membuat surat yang diminta TA.

Surat keterangan disabilitas memerlukan asesmen dari dokter dalam proses

pengisiannya. TA dan satu orang disabilitas berinisial WH kemudian menuju poli

umum untuk mengisi form. Permasalahan kembali terjadi karena pengisian centang

jenis disabilitas pada form surat keterangan milik WH dianggap kurang tepat oleh

TA. WH merupakan seorang penderita Celebral Palsy (CP), namun dokter memberi

centang disabilitas fisik (lumpuh layu). Padahal sudah ada kolom tersendiri untuk

CP.

53
Selanjutnya ketika dokter memberi centang pada disabilitas sensorik

(wicara), TA berusaha menjelaskan jika CP tersebut implikasinya memang terjadi

hambatan motorik & berbicara. Namun bukan berarti masuk kategori disabilitas

sensorik tunawicara. Sehingga apabila dalam form milik WH diisi 3 jenis disabilitas

yakni disabilitas fisik (lumpuh layu, CP) dan disabilitas sensorik (wicara), maka

akan WH akan dianggap menjadi double handicap. Pemberian centang yang salah

terhadap surat keterangan disabilitas dapat merugikan penyandang disabiltas sebab

penilaian double handicap tersebut dapat menyebabkan penyandang disabilitas

kesulitan mendapat pekerjaan. Terlebih lagi surat keterangan disabilitas yang diurus

WH akan digunakan untuk melamar pekerjaan.

Dokter tersebut dokter kemudian berteriak kepada TA dan mengatakan

bahwa ia lebih mengerti. Dokter tersebut juga marah-marah hingga melakukan

pengusiran pada TA dan WH dari ruangan poli. TA yang merasa dirugikan

mengadukan pengalaman tersebut kepada Kepala Pelayanan Rumah Sakit. Setelah

diadukan, TA baru mendapat surat keterangan disabilitas sesuai yang diminta.

Kepala Pelayanan Rumah Sakit mengakui bahwa kerugian yang dialami TA

dan WH dalam pembuatan surat keterangan disabilitas terjadi karena adanya

kesalahpahaman. Kesalahpahaman tersebut disebabkan karena sebelumnya

blangko surat keterangan disabilitas tidak pernah tersedia di RSUD dr Soedomo,

sehingga tidak ada informasi awal bagi para dokter maupun tenaga medis lainnya

untuk memahami pengisian surat keterangan disabilitas.

54
3.2 Analisis Kasus

Rumah sakit umum daerah (RSUD) sebagai penyelenggara pelayanan publik di

bidang kesehatan menjadi pilihan pertama bagi masyarakat daerah untuk

memperoleh layanan. Oleh karenanya, RSUD memiliki kewajiban untuk

memberikan layanan prima terhadap setiap warga negara, termasuk penyandang

disabilitas.

Masuk dalam kategori kelompok rentan, penyandang disabilitas yang memiliki

keterbatasan dalam mengakses fasilitas layanan publik bahkan berhak memperoleh

perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Namun kasus

TA dan WH sebagai penyandang disabilitas yang kesulitan dalam mengurus surat

keterangan disabilitas di RSUD dr. Soedomo menunjukkan adanya pelaksanaan

pelayanan publik yang tidak maksimal hingga dugaan perbuatan maladministrasi

oleh RSUD dr. Soedomo.

Sebelum menganalisis suatu perbuatan termasuk sebagai perbuatan

maladministrasi, maka perlu diidentifikasi terlebih dahulu apakah kegiatan yang

terkait merupakan suatu pelayanan publik atau bukan. Dalam suatu pelayanan

publik, terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi yakni adanya penyedia layanan

atau penyelenggara pelayanan publik, penerima layanan, dan jenis layanan.

Unsur pertama yakni adanya penyedia layanan atau penyelenggara pelayanan

publik. Pada pelayanan publik, harus terdapat adanya suatu penyelenggara yang

menyediakan layanan. Dalam hal ini, RSUD dr. Soedomo merupakan institusi

untuk melaksanakan pelayanan publik di bidang kesehatan, termasuk dalam

layanan administrasi yang berkaitan dengan kesehatan. Rumah Sakit sebagai salah

55
satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan

yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan dalam

pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah, pun yang dilakukan oleh

RSUD dr. Soedomo. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (2) UU

Pelayanan Publik bahwa RSUD dr. Soedomo telah menyediakan suatu layanan

publik yang dalam hal ini bergerak di bidang kesehatan.

Unsur berikutnya adalah penerima layanan. Pengurusan surat keterangan

disabilitas termasuk sebagai salah satu pelayanan yang dapat diberikan oleh instansi

kesehatan kepada masyarakat. Dalam kasus ini, masyarakat sebagai penerima

layanan adalah WH sebagai penyandang disabilitas dan TA sebagai pendamping

yang sedang mengurus surat keterangan disabilitas di RSUD. Dr Soedomo. Hal ini

telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Pelayanan Publik yang

menjelaskan tentang pengertian penerima layanan dalam pelayanan publik.

Unsur terakhir dari pelayanan publik yang harus dipenuhi adalah adanya jenis

layanan dalam suatu pelayanan. Surat keterangan disabilitas merupakan sebuah

dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama masyarakat

penyandang disabilitas. Sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU Pelayanan Publik bahwa

salah satu ruang lingkup pelayanan publik adalah pelayanan di bidang kesehatan.

Sementara jenis pelayanan yang disediakan RSUD dr. Soedomo pada TA dan WH

dikategorikan sebagai tindakan administratif pemerintah sebagaimana Pasal 5 ayat

(7) huruf a UU Pelayanan Publik. Hal ini diketahui pula dari penjelasan pasal demi

pasal Pasal 5 ayat (7) huruf a yang menjelaskan bahwa tindakan administratif

pemerintah merupakan pelayanan pemberian oleh pemerintah, yang di dalamnya

56
termasuk segala hal ihwal yang diperlukan oleh penduduk dalam menjalani

kehidupannya.

Setelah dipenuhinya tiga unsur tersebut maka diketahui bahwa tindakan

pembuatan surat keterangan disabilitas di RSUD dr. Soedomo termasuk sebagai

suatu pelayanan publik karena telah memenuhi unsur-unsur pelayanan publik

sebagaimana ditetapkan pada Pasal 1 angka 1 UU Pelayanan Publik. Berkaitan

dengan hal tersebut, maka dalam pelaksanaannya pengurusan surat keterangan

penyandang disabilitas perlu mengacu pada aturan terkait pelayanan publik

terhadap penyandang disabilitas yang terdapat pada UU Pelayanan Publik dan UU

Penyandang disabilitas. Sebab jika suatu pelayanan publik dilaksanakan dengan

tidak mengikuti kedua undang-undang tersebut, maka pelayanan publik tersebut

berpotensi untuk menjadi suatu tindakan maladministrasi.

Dalam menentukan apakah suatu pelayanan publik dikatakan telah

maladministratif atau tidak, diperlukan suatu indikator-indikator yang dapat

menjadi tolak ukur. Apabila dalam pelaksanaan pelayanan publik oleh

penyelenggara negara tidak sesuai dengan indikator-indikator tersebut, dapat

diindikasikan bahwa penyelenggara pelayanan publik telah melakukan

maladministrasi. Indikator penting dalam menganalisis terjadinya maladministrasi

pada suatu pelayanan publik adalah dengan melihat kesesuaian pelayanan tersebut

terhadap aturan hukum yang berlaku serta melihat pelaksanaan dan penerapan asas-

asas umum pemerintahan yang baik dalam pelayanan yang berkaitan.

Terhadap aturan hukum itu sendiri, pembuatan surat keterangan disabilitas

merupakan salah satu bentuk pelayanan publik dalam bidang administratif

57
sebagaimana diatur dalam pasal dengan Pasal 5 ayat (1) UU Pelayanan Publik.

RSUD dr. Soedomo sebagai unsur penunjang fasilitas pelayanan kesehatan wajib

untuk menciptakan dan memberikan fasilitas pelayanan publik di berbagai bidang,

termasuk bidang administratif yang salah satunya adalah pembuatan surat

keterangan disabilitas.

Tidak tersedianya blangko surat keterangan disabilitas disertai dengan

kurangnya informasi dari pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap surat

keterangan disabilitas di RSUD dr. Soedomo akhirnya menyebabkan penyandang

disabilitas kesulitan memperoleh pelayanan publik di bidang administratif. Padahal,

surat keterangan disabilitas adalah salah satu dokumen yang pembuatannya

seharusnya dilayani oleh penyelenggara pelayanan publik yang dalam hal ini adalah

rumah sakit.

Ketiadaan blangko dan rumitnya proses pembuatan surat keterangan

disabilitas yang dialami WH juga menyebabkan kerugian immateriil pada WH

selaku penyandang disabilitas. Hal tersebut berkaitan dengan kompetensi dokter

sebagai pelaksana pelayanan dalam memberikan jenis centang yang diberikan pada

surat keterangan disabilitas WH. Sebab, pemberian centang yang salah terhadap

surat keterangan disabilitas dapat merugikan penyandang disabilitas.

Penilaian double handicap (tuna ganda) yang diterima WH membuat WH

dinyatakan sebagai seseorang dengan lebih dari satu jenis disabilitas. Padahal, surat

surat keterangan disabilitas yang diurus WH akan digunakan untuk melamar

pekerjaan. Akibatnya, penilaian double handicap tersebut dapat menyebabkan WH

sebagai penyandang disabilitas kesulitan mendapat pekerjaan di kemudian hari.

58
Maka dari itu diperlukan kompetensi dari dokter dalam memberikan asesmen

terhadap jenis disabilitas yang disandang. Berkaitan dengan hal kompetensi

tersebut, penyelenggara pelayanan publik di RSUD dr. Soedomo tidak sesuai

dengan Pasal 15 huruf c UU Pelayanan Publik yang mengatur bahwa penyelenggara

pelayanan publik wajib untuk menempatkan pelaksana yang kompeten.

Sementara itu, dilihat dari sudut pandang UU Penyandang Disabilitas, kasus

yang terjadi di RSUD dr. Soedomo juga tidak sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) jo

Pasal 19 UU Penyandang Disabilitas. UU Penyandang Disabilitas telah mengatur

22 (dua puluh dua) hak-hak dasar penyandang disabilitas seperti yang disebutkan

dalam Pasal 5 ayat (1) UU Disabilitas.

Dari dua puluh dua hak tersebut, pelayanan publik termasuk sebagai salah

satu hak yang perlu dijamin perlindungannya bagi penyandang disabilitas karena

memang pada pelaksanaannya, banyak kesulitan dialami penyandang disabilitas

untuk memperoleh pelayanan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pada

penyandang disabilitas itu sendiri.

Lebih lanjut, hak Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas diatur

dalam Pasal 19 UU Disabilitas yakni meliputi hak:

a. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam Pelayanan Publik secara

optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi; dan

b. pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses

di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya. Fasilitas yang mudah

diakses berbentuk, antara lain alat media, sarana, dan prasarana.

59
Kedua hak tersebut mutlak harus diperoleh oleh penyandang disabilitas

dalam pelayanan publik. Namun kasus TA dan WH di RSUD dr. Soedomo justru

tidak sesuai dengan Pasal 19 UU Disabilitas. Hal tersebut dikarenakan:

1. Pelayanan terhadap TA dan WH oleh RSUD dr. Soedomo bukan pelayanan

yang optimal.

Berdasarkan Pasal 19 UU Penyandang Disabilitas, penyandang

disabilitas berhak mendapat pelayanan terbaik dan paling menguntungkan

dari pihak RSUD dr. Soedomo. Pelayanan tersebut tidak didapatkan oleh

TA dan WH yang sejak awal mengalami kesulitan dalam mengurus surat

keterangan disabilitas.

2. Pembuatan surat keterangan disabilitas yang diminta TA dan WH tidak

mudah diakses akibat RSUD dr. Soedomo sendiri belum memiliki blangko

surat keterangan tersebut. Sehingga pihak rumah sakit sendiri menjadi

kebingungan ketika ada pihak seperti TA dan WH yang membutuhkan surat

keterangan penyandang disabilitas.

3. Kurangnya pemahaman dari dokter yang bertugas dalam pengisian blangko

surat keterangan disabilitas tersebut sehingga berpotensi memberi kerugian

WH.

Sementara itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai rambu-

rambu bagi penyelenggara negara dalam setiap pelaksanaan tugasnya juga menjadi

salah satu indikator dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk

maladministrasi. Ia berfungsi sebagai pedoman atau penuntun bagi pemerintah atau

60
pejabat administrasi negara dalam rangka pemerintahan yang baik (good

governance), termasuk dalam memberikan pelayanan publik.

Pada kasus ketersediaan surat keterangan disabilitas oleh RSUD dr. Soedomo

ini, terdapat beberapa perbuatan yang ternyata tidak sesuai dengan asas-asas

pemerintahan umum yang baik sesuai ketentuan Pasal 10 UU Administrasi

Pemerintahan jo Pasal 4 UU Pelayanan Publik yang mengatur tentang asas-asas

umum pemerintahan yang baik khususnya dalam pemberian pelayanan publik.

Asas umum pemerintahan yang baik yang tidak sesuai dalam kasus di

RSUD dr. Soedomo Trenggalek antara lain adalah asas-asas berikut:

1) Persamaan perlakuan/perlakuan tidak diskriminatif.

Pelanggaran terhadap asas ini dapat diketahui dari tidak tersedianya

blangko surat keterangan disabilitas dan ketidaktahuan pihak RSUD dr.

Soedomo -termasuk di dalamnya para dokter- mengenai surat keterangan

terkait. Padahal, penyediaan surat keterangan disabilitas tersebut merupakan

salah satu kewajiban rumah sakit sebagai pihak yang berwenang dalam

mengeluarkan surat keterangan disabilitas.

Ketiadaan pengetahuan dari rumah sakit terkait surat keterangan

disabilitas sebagai salah satu kebutuhan penyandang disabilitas

mengindikasikan bahwa rumah sakit tersebut belum memperhatikan

kebutuhan penyandang disabilitas dengan seharusnya. Dengan kata lain, hal

tersebut menunjukkan bahwa belum ada persamaan perlakuan dalam

pemberian pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas yang

61
disebabkan oleh kurangnya perhatian rumah sakit terhadap penyandang

disabilitas.

2) Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.

Asas ini jelas menunjukkan bahwa kelompok rentan, termasuk

penyandang disabilitas, perlu mendapatkan kemudahan dan perlakuan

khusus dalam aksesnya terhadap pelayanan publik. Namun yang terjadi

dalam kasus TA dan WH adalah mereka justru memperoleh kesulitan dalam

pengurusan surat keterangan disabilitas. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa pelayanan publik yang dilakukan di RSUD dr. Soedomo Trenggalek

belum memberikan fasilitas dan perlakuan khusus yang seharusnya bagi

para penyandang disabilitas.

3) Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

TA dan WH yang sejak awal mengalami kesulitan hingga harus

bersitegang dengan dokter terkait pengurusan dan pembuatan surat

keterangan disabilitas. Padahal, pembuatan surat keterangan disabilitas

seharusnya dapat dilaksanakan dengan cepat dan mudah jika pihak rumah

sakit serta dokter yang bersangkutan sudah mengetahui mengenai keberadaan

surat keterangan disabilitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelayanan dr.

Soedomo terhadap kebutuhan penyandang disabilitas belum dilakukan

dengan cepat, mudah, dan terjangkau sesuai dengan salah satu asas umum

pemerintahan yang baik.

Uraian diatas menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian penyelenggaraan

pelayanan publik dengan asas-asas yang seharusnya diikuti oleh RSUD dr.

62
Soedomo dalam melayani penyandang disabilitas. Padahal, asas-asas yang sudah

disebutkan dalam UU Pelayanan Publik tersebut seharusnya menjadi pedoman bagi

penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan pelayanan Publik.

Setiap penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik wajib melaksanakan

pelayanan publik sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik. Hal

tersebut diatur dalam Pasal 15 huruf e UU tentang Pelayanan Publik yang

menentukan bahwa penyelenggara pelayanan publik berkewajiban memberikan

pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik.

Selain itu dalam Pasal 17 huruf e UU Pelayanan Publik juga menegaskan bahwa

pelaksana pelayanan publik dilarang melanggar asas penyelenggaraan pelayanan

publik. Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik

wajib dilaksanakan dengan mengikuti asas-asas yang ada.

Penerapan asas-asas dalam pelayanan publik tidak bersifat fakultatif atau

opsional melainkan harus dipenuhi seluruhnya. Sehingga pelayanan publik pada

hakikatnya harus dijalankan berdasarkan seluruh asas tersebut. Walau pada

awalnya asas-asas umum pemerintahan yang baik lahir dari praktik

penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehingga bukan merupakan produk

formal, namun karena asas-asas umum tersebut telah dituangkan dan dimuat dalam

beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia dan menjadi hukum positif

yang harus dilaksanakan bagi penyelenggara negara, maka tidak terpenuhinya asas-

asas tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka RSUD dr. Soedomo sebagai

penyelenggara pelayanan publik seharusnya wajib memberikan pelayanan sesuai

63
dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik. Namun, tindakan RSUD dr.

Soedomo yang tidak melaksanakan tiga dari dua belas asas umum pemerintahan

yang baik dalam pelayanan publik telah melanggar ketentuan Pasal 15 huruf e dan

Pasal 17 huruf e UU Pelayanan Publik. Dengan demikian, RSUD dr. Soedomo

dapat dikatakan telah melakukan pengabaian kewajiban hukum. Sehingga ditinjau

dari UU tentang Pelayanan Publik, perbuatan RSUD dr. Soedomo yang tidak

menyediakan surat keterangan disabilitas dan mempersulit WH untuk memperoleh

surat keterangan disabilitas yang dibutuhkan dapat disebut sebagai tindakan

maladministrasi.

Maladministrasi sendiri tidak berbentuk tunggal. Terdapat berbagai bentuk

maladministrasi yang dapat terjadi dalam suatu pelayanan publik. Ombudsman RI

menguraikan bentuk-bentuk tindakan pemerintah yang dapat disebut sebagai

maladministrasi dalam beberapa kategori. Salah satu yang tercantum dari sembilan

kategori tersebut adalah diskriminasi. Diskriminasi inilah yang terjadi dalam kasus

ketidaktersediaan surat keterangan disabilitas di RSUD dr. Soedomo.

Menurut analisis penulis, diskriminasi yang dimaksud dalam kasus TA dan

WH di RSUD dr. Soedomo adalah termasuk sebagai salah satu diskriminasi

struktural. Keberadaan UU tentang Pelayanan Publik dan UU tentang Penyandang

Disabilitas bertujuan menjamin hak dan kesempatan bagi kelompok difabel untuk

memperoleh kehidupan yang “sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi”, namun

faktanya diskriminasi masih dialami penyandang disabilitas hingga kini.

Diskriminasi struktural berarti diskriminasi kelembagaan yang tertanam dalam pola

64
sosial, struktur organisasi dan sarana hukum yang mencerminkan dan menghasilkan

praktek dan hasil yang diskriminatif.

Pada kasus di RSUD dr. Soedomo, tidak adanya blanko surat keterangan

disabilitas menunjukkan kelalaian pihak rumah sakit yang telah mengabaikan

kebutuhan penyandang disabilitas. Kelalaian tersebut sejatinya bersifat struktural,

sebab pemberian informasi terkait keberadaan surat keterangan disabilitas

seharusnya berasal dari pemerintah pusat yang perlu mendapat tindak lanjut dari

rumah sakit daerah terkait. Dengan kata lain, pengabaian kebutuhan penyandang

disabilitas telah melembaga karena dilihat dari kurangnya perhatian dari pihak

rumah sakit terhadap penyandang disabilitas itu sendiri.

Terjadinya perbuatan maladministrasi seperti di RSUD dr. Soedomo

Trenggalek, berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban serta pihak-pihak yang

bertanggungjawab atas maladministrasi tersebut. Pertanggungjawaban ini juga

menjadi penting untuk mengatasi permasalahan serupa yang mungkin dapat terjadi

di kemudian hari.

Seluruh dokter dan sarana pelayanan kesehatan seperti pada RSUD dr.

Soedomo merupakan bagian dari pemerintahan dalam bidang kesehatan yang

mampu memikul tanggung jawab atas hak dan kewajiban sehingga dipandang

sebagai subyek hukum, baik sebagai subyek personal (persoon) maupun sebagai

subyek hukum Badan Hukum (Recht Persoon). Dokter dalam hal ini bertidak

sebagai Pelaksana pelayanan publik sebagaimana Pasal 1 angka (5) UU Pelayanan

yakni sebagai pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam

organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian

65
tindakan pelayanan publik. Sementara rumah sakit dalam kasus ini adalah

Penyelenggara Pelayanan Publik yang menurut pasal 1 angka (6) UU Pelayanan

Publik ialah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga

independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan

publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan

publik.

Pasal 15 huruf g UU tentang Pelayanan Publik yang menetapkan bahwa

Penyelenggara berkewajiban untuk berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Serta

dalam Pasal 17 huruf e UU Pelayanan Publik juga menegaskan bahwa pelaksana

pelayanan publik dilarang melanggar asas penyelenggaraan pelayanan publik.

Pada uraian analisis, RSUD dr. Soedomo diketahui tidak menjalankan

beberapa asas penyelenggaraan pelayanan publik sehingga telah melanggar pasal

17 huruf e UU Pelayanan Publik. Dengan begitu, dokter yang bertugas sebagai

pelaksana serta RSUD dr. Soedomo Trenggalek sebagai penyelenggara pelayanan

publik yang telah melakukan maladministrasi pada pelayanan terhadap penyandang

disabilitas WH akan dikenai sanksi berupa teguran tertulis sebagai bentuk

pertanggungjawaban atas perbuatan maladministrasi tersebut.

Pemberian sanksi berupa teguran tertulis terhadap penyelenggara atau

pelaksana yang tidak menjalankan asas penyelenggaraan pelayanan publik telah

sesuai sebagaimana diatur pada pasal 54 ayat (1) UU Pelayanan Publik yang

mengatur bahwa Penyelenggara atau Pelaksana yang melanggar ketentuan

66
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 15 huruf g, Pasal

17 huruf e, dikenai sanksi teguran tertulis.

67
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

a. Bahwa RSUD dr. Soedomo telah melakukan perbuatan maladministrasi

dalam pelayanan publik karena tidak menyediakan surat keterangan

disabilitas bagi para penyandang disabilitas (TA dan WH) berdasarkan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas.

b. Penyandang disabilitas memiliki hak-hak khusus dalam pelayanan publik

yang telah diatur dalam pasal 19 UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas. Namun, pengurusan surat keterangan disabilitas oleh TA dan

WH di RSUD dr. Soedomo Trenggalek justru tidak sesuai dengan pasal 5

ayat (7) huruf a dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas.

c. Terdapat perbuatan yang tidak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan

yang baik dalam kasus di RSUD dr. Soedomo Trenggalek. Asas yang tidak

sesuai yakni asas persamaan perlakuan/perlakuan tidak diskriminatif, asas

fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, dan asas kecepatan,

kemudahan, dan keterjangkauan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 4, Pasal

15 huruf e UU, dan Pasal 17 huruf e Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009

tentang Pelayanan Publik.

68
4.2 Saran

a. Hendaknya pemberian sanksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh RSUD

dr. Soedomo dapat bersifat lebih konkrit dan tegas. Merujuk pada Pasal 142,

143, dan 144 UU Disabilitas bahwa setiap orang yang tindakannya

berdampak pada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan

penyandang disabilitas (termasuk di dalamnya hak Pelayanan Publik) dapat

dikenai pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak

Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Pemberian sanksi yang tegas perlu

dilakukan supaya yang terjadi di RSUD dr. Soedomo tidak terulang kembali.

b. Hendaknya Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan

mempertimbangkan untuk memindahkan wewenang mengeluarkan surat

keterangan disabilitas dari pihak rumah sakit atau puskesmas kepada

organisasi penyandang disabilitas. Sebab, pemahaman yang rendah terhadap

indikator dalam menentukan derajat disabilitas membuat tidak semua rumah

sakit atau puskesmas berani mengeluarkan surat keterangan disabilitas

sehingga hal tersebut dapat menghambat proses pengurusan surat keterangan

disabilitas.

69
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Buku

Barata, A. (2003). Dasar-Dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Elex Media.

Diantha, I. M. P. (2017). Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta:

Prenada Media Grup.

Dwiyanto, A. (2017). Manajemen Pelayanan Publik: Peduli Inklusif dan

Kolaborasi. In UGM Press.

Hardiansyah. (2011). Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gava Media.

Hartono et al, S. (2003). Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia.

Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional.

Ishaq. (2017). Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta

Disertasi. Bandung: Alfabeta.

Kurniawan, A. (2005). Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaharuan

Marzuki, P. M. (2009). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Masthuri, B. (2005). Mengenal Ombudsman Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.

70
Rahmadana, M. F., & et al. (2020). Pelayanan Publik. Medan: Yayasan Kita

Menulis.

Ratminto. (2006). Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sadjijono. (2008). Mehamami Bab Pokok Hukum Administrasi Negara.

Yogyakarta: Laksbang Persindo

Sibuea, H. P. (2010). Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Subarsono, A. . (2006). Analis Kebijakan Publik: Konsep Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sunggono, B. (1998). Metodologi Penelitian Hukum (Cetakan Ke). Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Sutopo, & Suryanto, A. (2006). Pelayanan Prima. Lembaga Administrasi Negara

Jurnal

Alfaris, R. M. (2018). Payung Hukum Penyandang Disabilitas dalam Konteks

Dukungan dan Aksebulutas Terhadap Pembangunan Sosial Berkelanjutan.

Jurnal Hukum Widya Yuridika, 1(2), 204.

Gandaria, R. Y. (2015). Implementasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Dalam Mewujudkan Prinsip Good Governance di Pemerintahan Daerah. Lex

Administratum, III(6), 5–14.

Hutabarat, L. M. (2019). Pelayanan Publik Bidang Kesehatan Di Rumah Sakit

Umum Daerah ( Rsud ) Tarutung. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Kurniawan, R. C. (2017). Inovasi Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah.

71
Fiat Justisia : Jurnal Ilmu Hukum. 10 (3), 794

Mumpuni, S. D., & Zainudin, A. (2018). Aksesbilitas Penyandang Disabilitas

Dalam Pelayanan Publik Di Kabupaten TegaL. Jurnal Komunikasi

Pendidikan. https://doi.org/10.32585/jkp.v1i2.24

Ndaumanu, F. (2020). Hak Penyandang Disabilitas : Antara Tanggung Jawab Dan

Pelaksanaan Oleh Pemerintah Daerah (Disability Rights : Between

Responsibility and Implementation By the Local Government). Jurnal HAM.

Nuriyanto. (2014). Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Indonesia, Sudahkan

Berlandaskan Konsep “Welfare State”? Jurnal Konstitusi, 11(3), 429–453.

Nurtjahjo, H., Maturbongs, Y., & Rachmitasari, D. (2013). Mehamai

Maladministrasi (Ombudsman). Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia.

Prakosa, P. W. . (2013). Dimensi Sosial Disabilitas Mental di Komunitas Semin,

Yogyakarta. ebuah Pendekatan Representasi Sosial. Jurnal Psikologi

Universitas Gadjah Mada, 32, 72.

Prasetyo, F. A. (2014). Disabilitas dan Isu Kesehatan; Antara Evolusi Konsep, Hak

Asasi, Kompleksitas Masalah dan Tantangan. Buletin Disabilitas, II, 31.

Priscyllia, F. (2016). Kajian Hukum Terhadap Fasilitas Pelayanan Publik Bagi

Penyandang Disabilitas. Lex Crimen, V(3).

Purnomosidi, A. (2017). Konsep Perlindungan Hak Konstitusional Penyandang

Disabilitas di Indonesia. Refleksi Hukum, 1(2), 163–174.

Rizky, F. U. (2014). Identifikasi Kebutuhan Siswa Penyandang Disabilitas Pasca

Sekolah Menengah Atas. Pusat Studi dan Layanan Disabilitas, 24, 71.

Sholihah, I. (2016). Kebijakan Baru: Jaminan Pemenuhan Hak Bagi Penyandang

72
Disabilitas. Sosio Informa. https://doi.org/10.33007/inf.v2i2.256

Sumanto, A. B. (2009). Analisis Kepuasan Pasien Rawat Jalan Terhadap Kualitas

Pelayanan Farmasi di Instalasi Farmasi RSUD Dr. Soedomo Trenggalek.

Universitas Gadjah Mada.

Tarsidi, D. (2011). Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam

Mengakses Layanan Publik. JASSI ANAKKU, 11(2), 201–206.

Thohari, S. (2014). Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi

Penyandang Disabilitas di Kota Malang. Indonesian Journal of Disability

Studies, 1(1), 22–37.

73

Anda mungkin juga menyukai