Anda di halaman 1dari 87

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN

HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN DALAM


PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

TESIS. .

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Guna Mencapai Derajat S-2

Oleh :

ZULFIKRI DARWIS
NPM : 191163009

PROGRAM MAGISTER HUKUM


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2019

i
i
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN
HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

TESIS

Oleh

ZULFIKRI DARWIS
NPM : 191163009

Proposal tesis ini telah disetujui untuk di uji pada :

Oleh

Pembimbing I

DR. SUWARNO ABADI, S.H, M.Si Tanggal :

Pembimbing II

DR. NURIYANTO A. DAIM.,SH, MH Tanggal :

Mengetahui,

DR. SUWARNO ABADI, S.H, M.Si Tanggal :


Ketua Program Studi Magister Hukum

ii
Lembaran Pengesahan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN


HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

TESIS

Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan


Untuk memperoleh gelar Magister Hukum

Oleh :

ZULFIKRI DARWIS
NPM : 191163009

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji dan telah direvisi sebagaimana


disarankan oleh Tim Penguji pada tanggal
…………………………………………

Susunan Penguji

Ketua

DR. JOKO ISMONO, SH, MH

Anggota

DR. SUWARNO ABADI, SH, M.Si DR. RIHANTORO BAYU AJI, SH, MH
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS

Saya yang bertandatangan dibawah ini, menyatakan dengan sebenarnya bahwa

sepanjang dan sejauh sepengetahuan saya, di dalam penulisan TESIS ini tidak

atau belum pernah saya temukan sebuah karya ilmiah yang sama yang pernah

diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di sebuah perguruan

tinggi, dan tidak pula terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan orang

lain yang secara tertulis dikutip dalam TESIS dengan mencantumkan sumber

kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam penulisan TESIS ini dapat dibuktikan adanya unsur-

unsur PLAGIASI, saya bersedia TESIS ini dugugurkan dan gelar akademik yang

telah saya peroleh ( Magister ) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Surabaya, Januari 2020

Mahasiswa

ZULFIKRI DARWIS / 191163009


Mahasiswa Magister Hukum UWP
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN
HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

OLEH : ZULFIKRI DARWIS

Abstrak

Perempuan seringkali digambarkan sebagai pribadi yang lemah, penurut, sehingga


sangat rentan menjadi objek kekerasan, namun bentuk perlindungan bagi
perempuan hamil korban persetubuhan belum nampak sehingga menjadi
perhatian, terhadap upaya hukum apa yang dapat ditempuh bagi perempuan hamil
korban persetubuhan jika telah berusia diatas 19 tahun serta kedudukan didalam
hukum. kajian ini merupakan pendekatan normatif yaitu yuridis, konseptual, dan
historis. dalam undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Kitab Hukum
Pidana, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan,

Kata Kunci : Perlindungan, Keadilan, Yuridis

Abstract

Women are often portrayed as weak, submissive individuals, so they are very
vulnerable to being objects of violence, but the form of protection for pregnant
women victims of copulation has not yet appeared so that it becomes a concern,
what legal remedies can be taken for pregnant women vicyims of intercourse if
they are over 19 years old and position in law. this study is a normative approach
namely juridical, conceptual, and historical. in the 1945 Constitution, the Criminal
Code Book, Law Number 35 of 2014 amending the Law Number 23 of 2002
concerning Protection,

Keywords: Protection, Justice, Juridical


KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat serta berkat kasih-Nya yang telah dilimpahkan sejak awal penyusunan

hingga terselesaikannya TESIS ini dengan judul “ PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI PEREMPUAN HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN DALAM

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA “ dapat terselesaikan dengan

baik dan tepat waktunya.

Tesis ini penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk

menyelesaikan pendidikan jenjang pascasarjana Program Magister Hukum pada

Universitas Wijaya Putra Surabaya.

Dalam penyusunan Tesis ini, penulis mencoba menerapkan teori-teori

pada undang-undang dan kendala-kendala serta upaya yang terjadi di lingkungan

masyarakat.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bantuan dari semua pihak

baik moril spiritual maupun materiil, penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan

dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Direktur Pascasarjana Universitas Wijaya Putra Surabaya DR. INDRA

PRASETYO, S.P., M.M.

2. Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya

sekaligus Pembimbing Tesis DR. SUWARNO ABADI, S.H, M.Si.


3. Dosen Pembimbing II Tesis Universitas Wijaya Putra Surabaya DR.

NURIYANTO A. DAIM., SH, MH.

4. Bapak / Ibu Dosen Pengajar dan Staf Universitas Wijaya Putra Surabaya yang

dengan perantara penyampainnya sehingga penulis mendapatkan ilmu yang

sangat berguna bagi karir hidup dan masa depan penulis.

5. Kepada Teman-teman di Universitas Wijaya Putra Surabaya terima kasih atas

segala doa dan bantuan serta dorongan selama menjadi Mahasiswa

pascasarjana Universitas Wijaya Putra Surabaya Program Magister Hukum.

6. Yang tercinta istriku Helmawati Bonde, anak-anakku Mochammad Syahnan

Darwis, Windi Zakiyyah Nirmala Darwis, Muhammad Ghazy al Ifrhan

Darwis yang telah memberikan dorongan motivasi dan perhatian hingga

terselesaikannya tesis ini.

7. Yang tercinta Papa, Umi, Kakak-kakaku serta adik-adikku yang senantiasa

mendorong dan selalu berdoa demi keberhasilanku.

8. Yang tercinta Ibu Mertua serta saudara iparku serta keluarga besar Bonde

Mokodompit yang selalu berdoa sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis

ini.

9. Kepada Rekan-rekan sekerja serta pimpinan di Polres Minahasa terima kasih

atas doa dan dukungannya selama menjadi mahasiswa pascasarjana pada

universitas Wijaya Putra Surabaya Program Magister Hukum.

10. Kepada orang-orang terdekatku yang sangat aku sayangi dan cintai terima

kasih atas doa dan dukungannya selama ini sehingga saya dapat melalui studi
saya di Universitas Wijaya Putra Surabaya Program Magister Hukum dengan

baik.

11. Kepada Ibu Thelda Nicoline Lolong Yang telah memberikan kesempatan

kepada saya untuk dapat mengikuti setiap Tahapan perkuliahan di Universitas

Wijaya Putra Surabaya Program Magister Hukum dengan baik.

Sudah tentu dalam penyusunan tesis ini masih sangat terbatas sekali, hal

ini karena penulis menyadari kemungkinan akan adanya ketidak sempurnaan

dari tesis ini baik isi maupun cara penyampainnya. Oleh karena itu penulis

mengharapkan saran dan kritikan demi perbaikan tesis ini.

Semoga ALLAH selalu memberikan rahmat dan berkatnya kepada kita

semua. Amin akhirnya penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat

bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

Surabaya, Januari 2020

Penulis

Zulfikri Darwis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN................................................................ ii

DAFTAR ISI........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................. 8

1.2 Rumusan Masalah............................................................ 9

1.3 Tujuan Penelitian............................................................. 9

1.4 Manfaat Penelitian........................................................... 10

1.5 Kerangka Teori................................................................ 10

1.6. Metode Penelitian............................................................ 13

1.6.1 Jenis Penelitian.................................................... 14

1.6.2 Pendekatan Penelitian.......................................... 14

1.6.3 Bahan Hukum...................................................... 17

1.7 Sistematika Penulisan Tesis............................................. 19

BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN

HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN.......................... 20

2.1 Konsep Perlindungan Hukum.......................................... 20

2.1.1 Perlindungan Hukum Perempuan Menurut

Konvensi Hak Asasi Manusia.............................. 21

2.1.2 Perlindungan Hukum Menurut Administrasi


Negara.................................................................. 26

2.2 Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum.............................. 29

2.2.1 Prinsip Perlindungan Hukum Perempuan Dalam

Hukum Positif...................................................... 31

2.2.2 Prinsip Tujuan Hukum Terhadap Perempuan

Hamil Korban Persetubuhan................................ 35

2.3 Bentuk Perlindungan Hukum.......................................... 39

2.3.1 Perlindungan Hukum Perempuan Hamil Korban

Persetubuhan Menurut KUHP............................. 44

2.3.2 Perlindungan Hukum Perempuan Hamil Korban

Persetubuhan Menurut Undang-undang Nomor 35

Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak....... 49

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH BAGI

PEREMPUAN HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN 53

3.1 Dasar Hukum Upaya Perlindungan Perempuan

Hamil Korban Persetubuhan................................ 53

3.3.1 Upaya Hukum Pidana.......................................... 56

3.3.2 Upaya Hukum Pasca Direktori Putusan

Mahkamah Agung RI No.45K/PID/2015,Tanggal

22 April 2015....................................................... 58

3.2 Upaya Hukum Perdata..................................................... 61

BAB IV PENUTUP....................................................................... 66
4.1 Kesimpulan...................................................................... 66

4.2 Saran ............................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembicaraan tentang Perempuan dan Perlindungannya tidak akan

pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan manusia, membicarakan

perlindungan terhadap perempuan tentunya kita akan membicarakan

ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan seluruh rangkaian pemeriksaan

terhadap perempuan (sebagai Korban) sejak masih di Kepolisian

(Penyelidikan dan Penyidikan) di Kejaksaan (Penuntutan).

Perempuan seringkali digambarkan sebagai pribadi yang lemah,

penurut, tidak mampu memimpin dan sebagainya yang mengakibatkan

anggapan perempuan menjadi nomor dua setelah laki-laki. Padahal tidak

sedikit perempuan yang memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki

namun hal ini tidak menjadi pertimbangan masyarakat yang tetap

menomorduakan perempuan dan diperlakukan dengan dapat dilakukan

semena-mena yang diakibatkan pada pengaruh budaya perkotaan sangat

dirasakan oleh masyarakat sehingga hak perempuan hamil sebagai korban

persetubuhan akan berdampak psikis terutama pada pergaulan kehidupan

sosial dimasyarakat yang ada dilingkungan kehidupannya terlebih harus

menghadapi reaksi sosial yang timbul seperti stigmatisasi sebagai

1
perempuan yang hina, aib bagi keluarga dan dirinya. Hal demikian dapat

mendorong perempuan hamil korban persetubuhan untuk melakukan

aborsi yang dapat berdampak pada dirinya.

Perempuan hamil sebagai korban persetubuhan karena adanya

budaya patriarki. Pengertian patriarki adalah budaya yang menempatkan

laki-laki sebagai yang utama atau superior dibandingkan dengan

perempuan.1 Perempuan hamil sebagai korban persetubuhan merupakan

fakta sosial yang bersifat universal karena dapat terjadi tanpa perbedaan

budaya, agama, suku, bangsa. Pada umumnya Kecenderungan masyarakat

apabila ada perempuan hamil korban persetubuhan selalu untuk

menyalahkan korbannya. Usaha untuk melindungi korban dan menghukum

para pelaku sering mengalami kegagalan khususnya terhadap perempuan

tidak pernah dianggap sebagai masalah pelanggaran Hak Azasi manusia.

Perlakuan pelaku terhadap perempuan hamil korban persetubuhan

dilakukan oleh pelaku dengan modus yang beragam diantaranya adalah

dengan membujuk korban dengan kata-kata manisnya. Indonesia sebagai

Negara hukum tentunya menghendaki agar hukum senantiasa harus

ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa pengecualian.

Hal ini untuk menciptakan keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan

kepada subjek hukum yakni orang atau badan hukum kedalam bentuk

1
Niken Savitri,HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP,Bandung:
PT.Rafika Aditama,2008,hal.20
2
http://tesishukum.com. Diakses pada tanggal 2 maret 2018, Pukul 14.34 WIB
perangkat baik yang bersifat prefentif maupun yang bersifat represif baik

lisan maupun yang tertulis.2

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak

asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut

diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak

yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum

adalah sebagai upaya hukum yang diberikan oleh aparat penegak hukum

untuk memberikan rasa aman baik secara pikiran maupun fisik dari

gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.3

Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan

pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau

korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan masyarakat dan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk

seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan

bantuan hukum.4

Perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum ke

dalam kedalam bentuk perangkat dengan kata lain dapat dikatakan bahwa

perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum

itu sendiri yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu

keadilan, ketertiban, kepastian, kemafaatan dan kedamaian.

istilah hukum dalam Bahasa Inggris dapat disebut sebagai law atau

legal, pengertian hukum ditinjau dari sisi terminologi dalam kamus Bahasa

Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi

3
Satjipto Rahardjo, Penyelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah, Jurnal
Masalah Hukum, 1993
4
dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah,

Undang-undang, Peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan

hidup masyarakat sebagai patokan atau kaidah tentang peristiwa alam

tertentu, keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam

pengadilan atau Vonis.

Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum

yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,

kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.5

Perlindungan hukum bagi setiap warga negara tanpa terkecuali

dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislative harus

senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua

orang bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan

keadilan yang berkembang dimasyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari

ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum

bagi setiap warga negara.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia konsep perlindungan

hukum yang tidak lepas dari perlindungan hak asasi manusia dan

merupakan konsep Negara hukum yang merupakan istilah sebagai

terjemahan dari dua istilah rechstaat dan rule of law, Teori negara hukum

secera essensial bermakna bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban

bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada

hukum.
Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara dan

dilain sisi bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara

itu sendiri oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum

5 kepada
Rahayu, 2009, warga negaranya.
Pengangkutan orang,Pada prinsipnya perlindungan
etd.eprints.ums.ac.id.Peraturan hukumRIterhadap
Pemerintah Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Tatacara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi
masyarakat
Manusia bertumpu
yang berat dan bersumber
Undang-undang RI Nomorpada konsep2004
23 Tahun tentang pengakuan
Tentang dan
Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
perlindungan terhadap harkat dan martabat sebagai manusia. Sehingga
4

pengakuan dan perlindungan terhadap hak perempuan hamil sebagai

korban persetubuhan sebagai bagian dari hak asasi manusia tanpa mebeda-

bedakan. Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang

biasa bertentangan antara satu sama lain, maka dari itu hukum harus bias

mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat

ditekan seminimal mungkin.

Penyidik Kepolisian seringkali dianggap sebagai tonggak utama


3
penegakan hukum pidana pada umumnya. Polisi melakukan proses

penyelidikan dan penyidikan dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti

yang cukup untuk dapat dilanjutkan ke tahap peradilan selanjutnya,

melihat kenyataan lain fungsi dan peran kepolisian dalam kedudukannya

sebagai aparat yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan

dituntut untuk menjalankan tugas dan kewajibannya seperti yang telah

ditentukan atau diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.6


Hukum di Indonesia dalam menjerat para pelaku persetubuhan

terhadap seorang perempuan hamil yang menjadi korban yang telah

berumur 19 tahun atau lebih dahulunya mengacu pada Pasal 293 ayat (1)

Kuhpidana hal inipun belum atau tidaklah setimpal dengan apa yang

6 diperbuatNomor
Undang-undang dan 2resiko
Tahun rusaknya masa
2002 Tentang depanNegara
Kepolisian para Republik
korban. Indonesia.
Namun saat ini

sejak berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan anak kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor5 35

Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak, sehingga ketika seorang

perempuan hamil korban persetubuhan dan terhadap pelaku tidak dapat

lagi diproses sebagaimana biasanya dan telah mendapatkan penolakan dari


4
pihak Jaksa Penuntut Umum dikarenakan bahwa batas usia yang diatur

bagi perempuan hamil korban persetubuhan adalah dibawah usia atau

belum berusia 18 (delapan belas tahun).

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar dengan tidak dapat lagi

digunakan pasal 293 ayat (1) tersebut maka bagi perempuan yang menjadi

korban janji kawin yang mengakibatkan perempuan tersebut Hamil tidak

dapat lagi mengadu atau melaporkan dugaan tindak pidana yang

dialaminya kepada Kepolisian. Sementara pasal 293 ayat (1) tersebut

belum terdapat Judisial Reviuw oleh Mahkamah Konstitusi.

Kemajuan dalam penegakan hukum mendapatkan dukungan

seluruh bangsa di Dunia. Kemajuan tersebut dapat diketahui dari

banyaknya instrument hukum nasional dan internasional yang digunakan

untuk mendukung terciptanya tujuan hukum berupa kedamaian dan


ketertiban di masyarakat. Hukum pidana sebagai salah satu instrument

hukum nasional yang merupakan produk pemikiran manusia yang sengaja

dibuat untuk melindungi korban dari semua bentuk kejahatan. Namun saat

ini terjadi kekosongan hukum bagi perempuan hamil korban persetubuhan

tidak dapat lagi mengadu atau melaporkan peristiwa yang dialaminya jika

telah berusia diatas 19 (Sembilan belas tahun) kepada Kepolisian.

Berbagai gambaran serta peristiwa atau fenomena yang terjadi

cukup kiranya untuk menggambarkan bahwa diskriminasi terhadap

perempuan bukan hanya dijumpai dalam Novel dan Negara-negara lain

tapi juga di Indonesia. Dan juga merupakan fakat sosial yang bersifat

Universal karena dapat terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa mengenal

perbedaan budaya, agama, suku, bangsa dan imir pelaku maupun

korbannya serta dapat terjadi dalam lingkup keluarga sederhana, miskin,

terbelakang maupun keluarga kaya dan terdidik serta terkenal. bahkan

Kecenderungan dari masyarakat untuk selalu menyalahkan korbannya.

Dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai gerbang utama

proses peradilan pidana, penyidik kepolisian menanggung beban yang

tidak ringan dimana penyidik harus benar-benar menjadi penyidik yang

baik dan juga penilaian yang baik karena harus melakukan penyaringan-

penyaringan terhadap arus perkara atau pengaduan yang masuk serta

memberikan perlinudngan kepada setiap masyarakat dalam interaksinya

dengan sesama manusia serta lingkungannya, Memberikan perlindungan

hukum preventif dengan cara masyarakat diberikan kesempatan


menyatakan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk

yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Serta

perlindungan represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat

manusia serta pengakuan terhadap hak asasi manusia dibidang hukum bagi

rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara hukum

sebagaimana yang dimanahkan dalam Undang-undang Dasar 1945.

Hukum yang baik haruslah memberikan rasa keadilan bagi setiap warga

negaranya, dengan demikian hukum tidak hanya memberikan rasa

keadilan tetapi juga memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum

bagi setiap warga negaranya secara khusus bagi perempuan hamil korban

persetubuhan.

Hukum yang baik haruslah memberikan rasa keadilan bagi setiap

warga negaranya, dengan demikian hukum tidak hanya memberikan rasa

keadilan tetapi juga memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum

bagi setiap warga negaranya secara khusus terhadap perempuan hamil

korban persetubuhan.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Bentuk Perlindungan Hukum bagi Perempuan Hamil

korban Persetubuhan dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia8?

2. Upaya Hukum apakah yang dapat ditempuh bagi perempuan Hamil

korban persetubuhan ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum bagi

Perempuan hamil Korban Persetubuhan sehingga korban terpenuhi

hak-haknya sebagai Warga Negara Republik Indonesia dimana

perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan

implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan

prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.

2. Untuk Mengetahui sampai sejauh mana Upaya hukum apa yang harus

ditempuh bagi perempuan hamil yang menjadi korban persetubuhan

sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan

yang berlaku untuk mendapatkan perlindungan hukum tanpa


diskriminasi. Dimana pada hakekatnya setiap orang berhak

mendapatkan perlindungan dari hukum.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, untuk menambah pemikiran dan khazanah ilmu

pengetahuan ilmu hukum khususnya bidang Hukum Pidana tentang


9

perlindungan khususnya perlindungan hukum bagi perempuan hamil

korban persetubuhan dalam perspektif hukum positif di Indonesia

serta untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis maupun

masyarakat luas tentang pentingnya pencegahan dan perlindungan

hukum terhadap perempuan hamil korban persetubuhan.

2. Secara Praktis, untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam

bentuk penelitian Tesis yang membahas tentang Perlindungan Hukum

Bagi Perempuan hamil sebagai Korban Persetubuhan dalam perspektif

hukum positif di Indonesia. Dan diharapkan dapat menggugah

kesadaran para pembaca dan dapat memberikan sumbangan pemikiran

untuk pelaksanaan penegakan hukum bagi perempuan.

1.5 Kerangka Teori

1. Teori Perlindungan Hukum


Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh

penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan

ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk

menikmati martabatnya sebagai manusia.7

7
Setiono, Rule ofMenurut Satjipto
Law (supremasi Rahardjo
hukum), Magister mendefinisikan perlindungan
Ilmu HukumProgram Pascasarjana
Universitas sebelas Maret, Surakarta, 2004, Hlm.3
hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia

yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada


10

masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum.8

Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan

hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta

pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek

hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.9

Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau

upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang

oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk

mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan

manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.10

Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan

untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai

atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam


menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama

manusia.11

Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum sebagai

kumpulan peraturan atai kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal

dari hal lainnya.

8
Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000). Hal.53
9
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya,1987,h.1-
2 2. Teori Keadilan
10
Ibid,hlm 3.
11
Keadilan
Muchhsin, Perlindungan adalah Hukum
dan Kepastian pemenuhan keinginan
bagi Investor individu
di Indonesia, dalamMagister
(Surakarta; suatu
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14
tingkat tertentu,dimana pada kehidupan sehari-hari kita sering
11

mendengar pernyataan “ kamu harus melakukan yang benar dan tidak

melakukan yang salah”. Keadilan yang paling besar adalah

pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Mereka hendak

mengungkapkan tata hukum positif sebagai sesuatu yang adil,

meskipun mungkin saja suatu aturan hukum positif belum tentu

menjadi adil. Keadilan hanya dapat muncul berdasarkan ketentuan

hukum positif berupa undang-undang yang ditentukan secara obyektif.

Problema bagi para pencari keadilan yang paling sering

menjadi diskursus adalah persoalan keadilan dalam kaitannya dengan

hukum. Hukum atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan

yang diterapkan sementara pandangan yang berbeda dari masyarakat

luas pada umumnya yang menganggap hukum itu telah adil dan

pandangan lainnya yang menganggap hukum itu tidak adil. Seorang

tidak adil terhadap putusan majelis hakim dan sebaliknya majelis


hakim merasa dengan keyakinannya putusan itu telah adil karena

putusan itu telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum

yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan.12

Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak

berhubungan dengan isi tata aturan positif tetapi dengan penerapnnya.

Menurut Hans Kelsen, nilai keadilan bersifat subjektif, sedangkan

12 eksistensi
Andi Hamzah, dari nilai-nilai
Hukum Acara hukum dikondisikan
Pidana Di Indonesia, oleh Sinar
Edisi Revisi, Jakarta, fakta-fakta
Grafika, yang
1996.
Hlm.251
dapat diuji secara objektif.
12
Menurut Aristoteles dalam teorinya menyatakan bahwa ukuran

keadilan adalah :

a. Seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga

keadilan berarti sesuai hukum (lawfull) yaitu hukum tidak boleh

dilanggar dan aturan hukum harus diikuti.

b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga

keadilan berarti persamaan hak (equal).13

Tokoh utama aliran realisme hukum Amerika Holmes,

memiliki pemikiran yang dikenal dengan adagium “ the life of law has

been not logic but experience”. Makna adagium tersebut bahwa

hukum itu tidak ditentukan oleh logika undang-undang, tetapi hukum

adalah prediksi apa yang akan diputus oleh pengadilan. 14 adalah adil

jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus dimana menurut isinya

memang aturan tersebut harus diaplikasikan dan tidak adil jika suatu

aturan diterapkan pada satu kasus tetapi pada kasus lain yang sama
berupa tindakan individu adalah legal atau tidak legal dimana

tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid

untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif.

1.6MunilMetode
13 Penelitian
Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 93
14
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 166
1.6.1 Jenis Penelitian
13
Metode penelitian yang digunakan metode penelitian

Yuridis Normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada

ilmu pengetahuan hukum yang juga berusaha menelaah kaidah-

kaidah hukum serta menggunakan peraturan perundang-undangan

yang tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan dalam tesis, penelitian yuridis normatif disebut juga

dengan penelitian hukum doctrinal.15 Jenis penelitian ini juga

mengkaji norma-norma yang yang berlaku, dan dapat dilakukan

dengan meneliti bahan yang bersifat khusus ataupun bersifat umum

yang terkandung dalam hukum positif yang berkaitan dengan

kesusilaan dan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.

1.6.2 Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-undangan

Yaitu mengsistematisasi peraturan perundang-undangan

antara yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, peraturan


perundang-undangan yang mengatur hak hidup dilakukan

penalaran secara substansi yaitu dengan adanya hubungan logis

antara dua aturan dalam hubungan yang lebih tinggi dengan yang

lebih rendah dalam hal ini Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27

ayat (1) dan Pasal 28d sebagai Peraturan yang lebih tinggi dari

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia

(HAM) Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak

dan Pasal 293 ayat (1) Kitab Undang Hukum Pidana.

Ketentuan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945,

Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara

bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya. Serta Pasal 28d ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Apabila dihubungkan dengan Pasal 293 ayat (1) Kuhpidana serta

peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengacu

kepada asas legalitas serta Undang-undang Nomor 35 tahun 2014

perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak sebagai Lex Specialis derogat legi generalis.

Terdapat pertentangan Dimana undang-undang ini telah membatasi

usia seseorang apabila menjadi korban persetubuhan pada usia 18


tahun yang sebelumnya batas usia korban persetubuhan pada usia

21 tahun sehingga digunakan penalaran secara derogat dengan

mengingat asa lex superiori derogate legi inferiori yaitu apabila

terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah yang mengatur tentang materi yang sama, maka

digunakanlah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

yakni pasal 28d UUD 1945.

b. Pendekatan Asas Hukum

Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari

hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal

dari aturan-aturan yang lebih umum yang merupakan pengendapan

dari hukum positif. Asas hukum merupakan jantungnya peraturan

hukum karena merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya

peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan

hukum dan dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan

hukum yang merupakan sesuatu yang terkandung nilai-nilai etis.

Asas hukum merupakan suatu konsep dan tidak mempunyai sanksi.

Hukum merupakan realitas dari asas hukum yang pada akhirnya

semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas

hukumnya. Pasal 1 ayat (1) KUHP tiada satu perbuatan (feit) yang

dpat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-

undangan pidana yang mendahuluinya.


Asas-asas hukum berfungsi antara lain untuk menetapkan

wilayah penerapan aturan yang berada di belakang kaidah yang

memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman

berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam

aturan-aturan hukum. Asas hukum dapat diidentifikasi dengan

mengeneralisasi putusan-putusan hakim dan dengan mengabstraksi

dari sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada masalah

kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain asas hukum dapat

ditemukan dari putusan hakim baik secara tersurat (dalam bentuk


16

pasal) ataupun tersirat. Dalam praktik berbagai asas hukum dapat

saja saling bertentangan yang ditentukan oleh akal budi dan nurani

manusia.

Dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa hukum itu

harus memberikan manfaat bagi masyarakat banyak tanpa

memandang status sosial siapapun. Kedudukan hukum dalam

tatanan masyarakat sangatlah penting sehingga dalam pembentukan

peraturan hukum tidak bias lepas dari pada asas hukum karena asas

hukum adalah landasan utama dalam pembentukan hukum, juga

disebut titik tolak dalam pembentukan dan interpretasi undang-

undang tersebut, hal itu ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo.16

1.6.3 Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer


Bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang

taat pada hukum seperti peraturan perundang-undangan dan

putusan hakim.

1) Undang-undang Dasar 1945 pasal 28d

2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

16 3) Undang-undang
Achmad Ali,opcit,hlm.11 Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang

Perlindungan anak. 17

4) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (HAM).

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan

mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan

pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu

bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk

kemana peneliti mengarah. Bahan hukum yang dimaksud yaitu

Pendapat hukum melalui buku-buku, makalah, hasil penelitian,

internet, opini para sarjana hukum, praktisi hukum, dan surat kabar

yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan


pengertian atas bahan hukum lainnya yang berupa Kamus Besar

Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

1.7 Sistematika Penulisan Tesis

Untuk menggambarkan gambaran secara singkat tentang materi-

materi yang dibahas dalam penulisan ini, dikemukakan pokok bahasan


18

sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penilitian.

Sampai dengan Sistematika Penulisan Tesis.

BAB II Membahas tentang Bagaimanakah Bentuk Perlindungan

Hukum Bagi Perempuan Hamil Korban Persetubuhan Dalam Perspektif

Hukum Positif Di Indonesia.

BAB III Membahas tentang Upaya Hukum Apakah yang Dapat

Ditempuh Bagi Perempuan Hamil Korban Persetubuhan.

BAB IV Penutup adalah Berisi Kesimpulan dan Saran dari hasil

penelitian yang dilakukan guna menyelesaikan permasalahan atau isu

hukum yang diteliti.


BAB II

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI PEREMPUAN HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN 19

2.1 Konsep Perlindungan Hukum

Suatu konsep Perlindungan hukum merupakan gambaran dari

bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yaitu

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Kondisi hukum di Indonesia

saat ini lebih sering menuai kritik dari pada pujian, berbagai kritikan yang

diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakan hukum, kesadaran

hukum, kualitas hukum, ketidak jelasan berbagai hukum yang berkaitan

dengan proses berlangsungnya hukum dan juga lemahnya penerapan

berbagai peraturan.

Kritikan begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan

hukum di Indonesia dimana kebanyakan masyarakat kita akan bicara

hukum di Indonesia dapat dibeli sehingga aparat penegak hukum tidak

dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh


dan adil. Sejauh ini hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka

tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan. Hukum yang

seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat telah berubah menjadi

semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang

morat marit. Kondisi yang demikian buruk seperti itu akan sangat

berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi di

Indonesia. Ketidak adilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa

perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud kedalam aksi-aksi anarkis

atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa

dengan kata lain situasi ketidak adilan atau kegagalan mewujudkan

keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik problem yang harus

segera ditangani sehingga terwujudnya cita-cita pendiri bangsa.

2.1.1 Perlindungan Hukum Perempuan Menurut Konvensi Hak

Asasi Manusia

Perempuan sebagai warga negara maupun sumber daya

insani mempunyai kedudukan, kewajiban, hak, serta kesempatan

yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan

disegala bidang. Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945

menyebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak

segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia

harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan

prikeadilan. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang hak


asasi manusia sebagai nilai, konsep, dan norma dalam masyarakat

harus ditegakkan dan diwujudkan.

Pada tahun 1948 Hak Asasi Manusia diadopsi oleh Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-bangsa. Hal ini menunjukkan

komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk menjunjung tinggi dan

melindungi hak kemanusiaan setiap orang tanpa pengecualian

apapun seprti jenis kelamin, Bahasa, ras, warna kulit, politik,

agama, asal-usul kebangsaan, pandangan lain atau sosial serta hak

milik kelahiran atau kedudukan lain. Dalam perjanjian Hak Asasi


21

Manusia International Konvensi perempuan merupakan konvensi

tentang perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan yang

paling konprehensif dan sangat penting karena menjadikan segi

kemanusiaan perempuan. Indonesia sebagai salah satu Negara

peratifikasi konvensi terkait dengan ketentuan dimana setiap

negara peratifikasi konvensi harus memberikan komitmen,

menjamin untuk mengikatkan diri dengan peraturan perundang-

undangan denga mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-

laki dan perempuan serta menghapus diskriminasi terhadap

perempuan. Untuk itu dipandang perlu menghadirkan perundang-

undangan nasional yang memberi perlindungan terhadap

perempuan hamil korban persetubuhan.

Dalam konvensi perempuan perlu dipahami untuk dapat

menggunakan konvensi sebagai alat untuk memberikan


perlindungan terhadap perempuan hamil korban persetubuhan

dimana hal ini juga akan menjadi alat untuk menguji suatu

kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak, dalam

jangka panjang maupun jangka pendek.dimana kebijakan negara

dalam menghadirkan peraturan perundang-undangan diberbagai

bidang hukum tentang perlindungan terhadap perempuan hamil

korban persetubuhan sehingga negara tidak hanya menjamin tapi

merealisasikan hak perempuan secara de jure maupun secara de

facto terhadap tindakan pelaku.

Sila-sila yang terdapat dalam dasar Negara yaitu Pancasila

pada dasarnya mengakui persamaan hak dan kedudukan antara

perempuan dan laki-laki sebagaimana yang tertuang dalam sila

kemanusiaan yang adil dan beradab yang berarti menjunjung tinggi

nilai-nilai kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan

keadilan. Sehingga pemerintah menjamin rakyatnya untuk

menikmati hak asasinya sebagai manusia rasa aman dan terlindungi

khususnya terhadap perempuan hamil korban persetubuhan.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-

undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan

keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan konvensi

tersebut sejalan dengan kehidupan bangsa Indonesia hal ini

menunjukkan bahwa perempuan sebagai pribadi, mempunyai

kedudukan yang sangat strategis untuk berperan dalam segala


aspek kehidupan sebagai penerus dari nilai-nilai pada umumnya

dan norma-norma hukum khususnya dan tidak terkecuali terhadap

perempuan hamil korban persetubuhan.

Ketika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

yang diserukan pada elemen pertama dari peraturan perundang-

undangan hak asasi manusia (international bill of rights) yang

mengikat secara hukum dan protocol. Perwujudan hak dasar yang

tertuang dalam UUD 1945 dijabarkan dalam bentuk kebijakan dan

sejumlah peraturan perundang-undangan yang disusun secara


23

bersama antara lembaga eksekutif dan legislatif sebagai upaya

pelaksanaan konsep hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan

oleh John Locke yang menyatakan bahwa manusia dalam hukum

alam adalah bebas dan sederajat, mempunyai hak-hak alamiah

yang tidak dapat diserahkan atau bahkan diambil oleh kelompok

masyarakat lainnya kecuali lewat perjanjian masyarakat17.

Hak alami manusia sebagaimana dikemukakan oleh John

Locke yaitu hak atas kehidupan, hak atas kebebasan atau

kemerdekaan serta hak akan milik atau hak memiliki sesuatu telah

tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28A-28J. hak ini

dimiliki oleh manusia semata-mata karena mereka adalah manusia

bukan karna mereka adalah warga negara dalam suatu negara. 18

Negara memiliki tanggung jawab dalam menjamin hak-hak yang

dimiliki oleh setiap warganya secara kodrati dalam bentuk aturan


normatif dari suatu perundang-undangan nasional yang secara

khusus melindungi kehormatan perempuan hamil korban

persetubuhan serta perempuan sebagai subjek hukum dalam segala

sesuatu lebih sensitive dimana negara sebagai unsur utama

pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Dalam pasal 15 Undang-undang NOmor 7 Tahun 1984

tentang pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala

bentuk Diskriminasi terhadap perempuan yaitu :

a. Negara-negara wajib memberikan kepada perempuan

persamaan hak dengan pria dimata hukum.

b. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan

dalam urusan-urusan sipil kecakapan hukum yang sama

dengan kaum pria dan kesempatan yang sama untuk

menjalankan kecakapan tersebut khususnya agar memberikan

kepada perempuan hakhak yang sama untuk menandatangani

kontrak-kontrak dan mengurus harta benda serta wajib

memberikan mereka perlakuan yang sama pada semua

tingkatan prosedur dimuka hakim dan pengadilan.

c. Negara-negara perserta bersepakat bahwa semua kontrak dan

semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang

ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi

perempuan wajib dianggap batal dan tidak berlaku.


d. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada laki-laki dan

perempuan hak-hak yang sama berkenaan dengan hukum yang

berhubungan dengan mobilitas orang-orang dan kebebasan

untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.

Tujuan konvensi ini tidak bertentangan dengan Pancasila

dan Undang-undang Dasar 1945, maka pemerintah Indonesia

dalam Konvensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-bangsa

bagi perempuan di Kopenhagen pada tanggal 29 juni 1980 telah

menandatangani konvensi tersebut. Pancasila sebagai pedoman


25

hidup bangsa dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber

hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa

pelaksanaan ketentuan konvensi tersebut sejalan dengan kehidupan

bangsa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan sebagai

pribadi mempunyai kedudukan yang sangat strategis untuk

berperan dalam segala aspek kehidupan sebagai penerus dari nilai-

nilai pada umumnya dan norma-norma hukum khususnya.19 Tidak

terkecuali terhadap perempuan hamil korban persetubuhan.

2.1.2 Perlindungan Hukum Menurut Administrasi Negara

Perlindungan Hukum dalam konteks Administrasi Negara

merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk

mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan,

dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu


perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan

aturan hukum, baik itu bersifat preventif (pencegahan) dimana

bentuk perlindungan kepada rakyat diberikan kesempatan untuk

mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan

pemerintah mendapat bentuk yang definitif, kemudian

perlindungan hukum yang bersifat repsresif (pemaksaan), yakni

bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam

penyelesaian sengeketa20. baik yang secara tertulis meupun tidak

tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat indonesia

merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada

Pancasila dan Prinsip Negara Hukum dimana setiap orang berhak

mendapatkan perlindungan dari hukum merupakan tujuan dari

Pemerintah Negara Republik Indonesia dalam memberikan bagi

setiap warga negara yang berdomisili diwilayah Indonesia maupun

yang berdomisili di Negara lain. Dengan semakin meningkatnya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hal ini dapat

berakibat pada dampak positif dan negatif.

Pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah darah

Indonesia dalam memberikan perlindungan, penegakan hukum dan

pemenuhan hak asasi manusia. Ketiadaan payung hukum di


Indonesia yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap

perempuan hamil korban persetubuhan akan menjadi momok yang

buruk pada proses penegakan hukum.

Pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional warga

negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang

beragam. Dimana masyarakat Indonesia pada umumnya terdapat

20
Ibid, hlm. 41 perbedaan kemampuan untuk mengakses pemenuhan dan

perlindungan hak yang diberikan oleh negara. Kecenderungan

untuk meminggirkan merupakan struktur sosial yang berkembang


27

sehingga perbedaan kemampuan kelompok tertentu. Sehingga

perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan

tanpa melihat perbedaan dapat dirasakan setiap warga negara

Indonesia. Kondisi ini membutuhkan perlakuan khusus bagi

perempuan hamil korban persetubuhan karna tanpa adanya

perlakuan khusus tersebut perempuan tidak dapat mengakses

perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena

perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh

struktur masyarakat patriarkis

Isu timbul tenggelam, menguat atau melemah tentang

perlindungan terhadap perempuan hamil korban persetubuhan

mengacu pada situasi yang terjadi ditengah masyarakat dan

dinamika yang ada dalam gerakan perempuan itu sendiri. Yang

pada prakteknya bahwa seorang perempuan hamil korban


persetubuhan tidak hanya menerima bahwa ia memiliki hak namun

akan mulai mencari dimana letak jaminan hak tersebut dan

bagaimana caranya agar hak tersebut dapat diperoleh. Untuk

menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi

perempuan maka hak asasi perempuan tersebut harus diatur dalam

asas-asas hukum, prinsip hukum dan norma hukum.

dalam teori kedaulatan hukum dimana hukumlah yang

memiliki kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Negara harus

tunduk pada hukum (konstitusi) dan pemerintahn harus dijalankan

beradasar hukum (asas legalitas)21 . hal penting yang dilakukan

dalam rangka penghormatan dan perlindungan hak terhadap

perempuan hamil korban persetubuhan adalah dibentuknya

lembaga nasional yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan yang independen yang didirikan tanggal 15 Oktober

1998 berdasarkan keputusan presiden Nomor 181 / 1998. Yang

mana lembaga ini lahir berdasarkan tuntuttan dari masyarakat sipil

terutama kaum perempuan sebagai wujud tanggung jawab negara

terhadap persoalan yang menimpa kaum perempuan yang sering

terjadi baik dipedesaan maupun di perkotaan.

2.2 Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum


Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah

bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

terhadap hak asasi manusia karena menurut sejarah barat lahirnya konsep-

konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia

diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban

masyarakat dan pemerintah.22 konsep dari barat sangat dominan yang

menekankan pada eksistensi hak dan kebebasan yang melakat pada kodrat

21
Nurul manusia danHakstatusnya
Qamar, 2013, sebagai
Asasi Manusia DalamIndividu dan hak
Negara Hukum tersebut
Demokrasi, Sinartidak dapat
Grafika, Cet.
1, Jakarta, hlm. 18
22
diganggu gugat karena berada di atas Negara dan diatas Diunduh
http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04teori-perlindungan-hukum.html. semua organisasi
pada selasa
15 November pada jam 01.00 Wib.
politik dan bersifat mutlak. 29

Konsep barat ini yang lebih pada konsep individualistik seringkali

mendapatkan kritikan namun seiring berjalannya waktu sifat

individualistik ini mulai berubah dan cenderung meluntur disebabkan

masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural.

Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum salmond bahwa hukum

bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan

dalam masyarakat karena dalam suatu lalulintas kepentinga, perlindungan

terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara

membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah

mengurusi hak dan kepentingan manusia sehingga hukum memiliki

otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur

dan dilindungi.
Fungsi hukum adalah melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan

yang dapat merugikan dan menceritakan hidupnya dari orang lain.

Masyarakat maupun penguasa berfungsi untuk memberikan keadilan serta

menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia. Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan

terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh

aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan

oleh hukum terhadap sesuatu23. Hukum harus memberikan perlindungan

terhadap semua pihak sesuai dengan statusnya hukum karena setiap orang

23 memiliki
Sudikno kedudukan
Mertokusumo, yang
Penemuan samaCitra
Hukum, dihadapan hukum.
Aditya Bakti, Namun
Bandung, 2009.seringkali
Hlm. 38 juga

menimbulkan pertanyaan sehingga masyarakat meragukan keberadaan

hukum itu sendiri. 30

Sesuai dengan fungsinya aparat penegak hukum wajib menegakkan

hukum tanpa pandang bulu dan tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul ke

atas dengan demikian hukum akan memberikan perlindungan pada setiap

hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang

diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dikemukakan

oleh Sudikno Mertokusumo bahwa interpretasi atau penafsiran merupakan

salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang

gambling mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat

ditetapkan sehubungan dengan peristiwa yang dialami oleh seseorang

bertentangan satu dengan yang lain. Menurut Dr. O. Notohamidjojo, SH

Hukum ialah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang
biasa besifat memaksa untuk kelakukan manusia dalam masyarakat negara

serta antara negara yang yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan

dan daya guna demi tata dan damai dalam masyarakat 24. Perlindungan

hukum dalam konsepnya sangat erat dengan aspek keadilan dan pada

hakekatnya tujuan hukum dalam mencapai keadilan.

2.2.1 Prinsip Perlindungan Hukum Perempuan Dalam Hukum

Positif

24 Dalam
Syamsul Arifin, Pengantar Undang-undang
Ilmu Hukum, Dasar
Medan:Medan 1945 menegaskan
area University bahwa
Press, 2002, Hal 5-6 “

setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapatkan


31

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminasi”

Indonesia adalah Negara Hukum maka jaminan hak asasi muthlak

ada dalam konstitusinya. Konstitusi sebagai sumber hukum

tertinggi didalam suatu Negara dijadikan dasar dalam

penyelnggaraan Negara.

Warga negara sudah barang tentu mengandung pengertian

baik wanita maupun laki-laki25 sehingga antara laki-laki dan

perempuan tidak ada perbedaan. Perempuan juga memiliki hak

untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. Berdasarkan

peraturan perundang-undangan status warga negara menjadi tolak

ukur pemberian hak warga negara yang terdiri dari hak

konstitusional dan hak yang diberikan kepada warga negara oleh


peraturan perundang-undangan. Perlindungan dan pemenuhan hak

konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan

kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat

Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk

mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh

negara.

Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang

dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut

dengan sendirinya akan mempertahankan bahkan memperjauh

perbedaan tersebut. Pasal 28H ayat (2) Undang-undang Dasar

25 1945Prinsip
Moempoeni Martojo, 1945Persamaan
menyatakan “ setiap
di Hadapan orang
Hukum Bagi berhak
Wanita mendapat
dan Pelaksanaannya
di Indonesia, disertai, Semarang Universitas Diponegoro (UNDIP), 1999, Hlm.2
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan

dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan 32dan

keadilan”. Pentingnya menghapuskan diskriminasi terhadap

perempuan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan juga telah diakui secara internasional. Pada tingkat

nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan

dan mencapai kesetaraan jender telah dilakukan walaupun pada

tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan

perhatian serius.

Untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang

sering menjadi korban baik korban kekerasan maupun korban


persetubuhan diatur dalam beberapa peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kitab Undang

Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

Ada perbedaan perlakuan yang berbasis gender yang

mengakibatkan kerugian terhadap perempuan dimana perbedaan

kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki dimana

perempuan ada dalam kondisi yang lebih lemah karena

mengalami diskriminasi atau menanggung akibat perlakuan

diskriminatif sehingga untuk itu diperlukan persamaan kedudukan

dalam hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum. Upaya

penegakan hak konstitusional perempuan harus dilakukan 33baik

dari sisi aturan, struktur, maupun dari sisi budaya. Sangat penting

untuk menegakkan hak konstitusional perempuan dengan

memberikan perlakuan khusus dengan perspektif kesetaraan dan

persamaan.

Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang

menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan dimana

perempuan hamil korban persetubuhan harus mendapatkan

perlindungan hukum sebagai amanat konstitusi. Hukum harus

mampu mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia


termasuk didalamnya memberikan jaminan perlindungan terhadap

perempuan hamil korban persetubuhan.

Perlindungan terhadap perempuan hamil korban

persetubuhan harus menjadi fokus perhatian Negara sehingga

pemerintah dan Negara harus paham tentang hak perempuan yang

dikukuhkan dalam konstitusi dimana hukum pada dasarnya

merupakan pencerminan dari hak asasi manusia (HAM) sehingga

hukum itu mengandung keadilan atau tidak. Hukum tidak dilihat

sebagai refleksi kekuasaan semata-mata tetapi juga harus

memancarkan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.

2.2.2 Prinsip Tujuan Hukum Terhadap Perempuan Hamil Korban

Persetubuhan

Tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan,


34

kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat. 26 aliran Yuridis

formal mengenai tujuan hukum adalah semata-mata untuk

menciptakan kepastian hukum, karena hanya dengan kepastian

hukum fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan

ketertiban.

Tujuan Hukum secara Universal seperti pendapat Gustav

Radbruch adalah27 :

1. keadilan
2. Kemanfaatan

3. Kepastian Hukum dalam tata kehidupan bermasyarakat.

Tidak jarang terjadi benturan dimana antara kepastian

hukum dengan keadilan serta manfaat hukum. Namun jika ingin

menegakkan keadilan maka tentu kemanfaatan dan kepastian

hukum harus dikorbankan. Tujuan hukum jika dikaji dari sudut

pandang hukum positif-normatif yang dititik beratkan pada

kepastian hukum kemudian dipandang dari falsafah hukum dititik

beratkan pada keadilan dan jika dipanfang dari sosiologi hukum

menitik beratkan pada manfaatnya. Perempuan hamil korban

persetubuhan merupakan subjek hukum yang berhak mendapatkan

perlindungan hukum yang diatur secara konkret dan spesifik.

26 Hukum adalah
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Undang-undang
Melanggar yang
Hukum dipandang adilSudut
Dari bilaHukum
suatu Perdata,
hukum
Bandung, Sumur Bandung, 1976, hlm. 43
27
yang konkret bertentangan dengan prinsip keadilan maka hukum
http://sharingaboutlawina.blogspot.co.id/2014/12/tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch.html,
diunduh pada tanggal 02/06/2016. 5.26. AM
itu tidak bersifat normatif. Bekerjanya hukum ada 3 (tiga) syarat 35

yang harus dipenuhi yaitu aturan / hukum itu harus dapat

dikomunikasikan kepada subyek yang diaturnya, kedua subyek

yang diaturnya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan

aturan itu, ketiga subyek itu harus mempunyai motivasi untuk

melaksanakan aturan itu.28

Fungsi hukum dalam masyarakat sangatlah penting untuk

dilakukan karena dalam kehidupan masyarakat sering terjadi

perbedaan kepentingan setiap orang. Terkadang anggapan orang


bahwa hukum itu akan berfungsi ketika ada konflik namun

kadangkala hukum itu sendiri tak dapat berfungsi untuk mengatasi

konflik yang terjadi. Fungsi hukum sebagai sosial Kontrol untuk

memberikan suatu batasan tingkah laku masyarakat yang

menyimpang dan akibat yang harus diterima dari penyimpangan

tersebut.

Fungsi hukum bertujuan untuk menyelesaikan setiap

sengketa ataupun konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hukum

yang timbul dari proses politik demi untuk pelaksanaan kekuasaan

negara yang tak dapat dipisahkan dan bukan hanya merupakan

simbol semata namun harus dikomunikasikan oleh pembuat

undang-undang dengan masyarakat dan harus ditafsirkan secara

28 yuridis.
Friedman dalam Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Jakarta, RajaGravindo Persada, 2011, Hlm. 5
Pada dasarnya fungsi hukum adalah sebagai sarana

memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh masyarakat36dari

segala ancaman yang dapat mengakibatkan atau berakibat pada

penderitaan manusia termasuk perempuan hamil korban

persetubuhan. Hukum mulai dipandang sebagai bagian dari

struktur yang didominasikan laki-laki sehingga kesadaran hukum

bagi perempuan perlu dibangun untuk memperoleh hak-hak dan

kesempatan yang sama.

Kondisi konstruksi sosial yang timpang, dipastikan

pemenuhan keadilan juga menjadi sangat sulit untuk dinikmati oleh


perempuan. Sehingga bisa dipahami sering perempuan belum

memperoleh keadilan yang nyata dimana momentum pada apa

yang disebut perspektif perempuan bahwa ketidak adilan yang

dialami oleh perempuan harus diakhiri dan dijadikan korban

ketimpangan, kekerasan dan penistaan. Konsekuensi lain

menempatkan perempuan mengalami ketidak adilan seakan-akan

meminta-minta atau mengemis agar perempuan memperoleh

haknya kepada Negara melainkan sebaliknya bahwa perempuan

sedang menuntut agar negara melaksanakan kewajibannya

memenuhi hak asasi manusia.

Menyeruakan kesadaran berdasarkan pengalaman yang tak

dikenal dari perempuan seperti peningkatan kisah-kisah personal

dan privat yang dialami oleh perempuan hamil korban

persetubuhan melihat dan mempertimbangkan kondisi hubungan

sebab akibat dari seorang perempuan sehingga peningkatan

kesadaran akan menghasilkan pengetahuan baru dengan menyikapi

sesuatu yang tidak diketahui. 37

menurut Soerjono Soekamto ada lima faktor efektif dan

tidaknya suatu hukum agar proses penyelesaiannya benar-benar

efektif sesuai apa yang diharapkan oleh peraturan 29. Adalah

sebagai berikut :

1. Faktor Hukumnya sendiri


Hukum yang dibuat harus ada kepastian hukum dalam

penerapnnya. Jika hukum yang diterapkan tidak sesuai dengan

aturan yang ada maka bisa dipastikan hukum yang berjalan

tidak efektif, dikarenakan tidak mendatangkan keadilan bagi

masyarakat yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian

hukum tidak boleh bertentangan satu dengan yang lain dalam

penegakannya. Semua orang mengharapkan hukum dapat

menyelesaikan pertentangan yang lahir dalam masyarakat.

2. Faktor Penegak Hukum

Dalam penegakan hukum yang dibutuhkan adalah mentalitas

seseorang yang memiliki perilaku yang baik dan taat pada

aturan hukum yang ada. Jika penegak hukum taat pada aturan

tentu berjalannya hukum di masyarakat tidak menjadi masalah

maka yang menjadi kunci utama keberhasilan penegakan

hukum harus berbuat jujur agar masyarakat merasakan

29
Soerjono Soekanto,kebenaran dan keadilan
1998, Efektifitas terhadap
Hukum dan persoalan
Penerapan Sanksi, yang alami.
Bandung, CV.Hal lain
Ramadja
Karya, Hal. 80
penegak hukum dilarang melakukan penyalahgunaan

kewenangan dalam menjalankan tugas penyidikan . jika hal


38 ini

disalah gunakan akan berdampak buruk terhadap penegak

hukum.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Berjalannya fungsi penegakan hukum haus didukung seprti

prasarana yang memadai diantara transportasi, alat komunikasi,


alat kantor, sumber daya manusia, dan keuangan. Jika tidak

didukung oleh fasilitas yang mendukung akan menjadi tidak

efektifnya penegakan hukum.

4. Faktor Masyarakat

Dalam penegakan hukum masyarakat juga memiliki peran

mematuhi segala peraturan yang sudah ada. Jika masyarakat

tidak mematuhi atau apatis terhadap peraturan yang ada. Hal ini

akan berdampak pada penegakan hukum dalam upaya untuk

meciptakan kepastian hukum bagi masyarakat.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan adalah sikap manusia atas apa yang dikerjakan dan

apa yang tidak dia kerjakan. Sikap menjadi penentu berjalnnya

penegak hukum dalam masyarakat supaya masyarakat sadar

hukum terhadap berbagai peraturan yang ada dan mau

menjalankan apa yang menjadi larangannya.30

2.3 Bentuk Perlindungan Hukum


30
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta,
Menurut
Penerbit PT. Grafindo R. LaHal.
Persada, Porta
8 dalam Jurnal of Financial Economics, bentuk

suatu perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua
39
sifat yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman

(sanction).31 Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian dan lembaga-lembaga

lainnya yang menyelesaikan sengketa diluar pengadilan (non-litigasi)

merupakan bentuk nyata adanya perlindungan hukum yang selama ini

dikenal dikalangan masyarakat dan nyata dan untuk mencapai atau


mendapatkan suatu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Berdasarkan aturan hukum baik yang bersifat prefentif (pencegahan)

maupun yang bersifat represif (pemaksaan) baik secara tertulis maupun

tidak tertulis hal ini dalam rangka menegakkan peraturan hukum dan

secara konseptual perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat

Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada

Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila bahkan

Undang-undang Dasar 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak

bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dengan

demikian jika terdapat ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan

warga tertentu hal itu melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional

warga negara.

Teori Negara hukum secara essensial bermakna bahwa hukum

adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau

pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subjek to the law), tidak ada

31 kekuasaan
Rafael La Porta,diatas hukum
”Investor (aboveand
Protection theCororate
law), semuanya adaJournal
Governance; dibawah hukum
of Financial
Economic”, no. 58, (oktober 1999): h.9
(under the rule of law), dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan

39
yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan

(misuse of power).32

Dalam arti sebenar sebagai Negara hukum (The rule of law)

sebagai Pilar-pilar utamanya adalah :

1. Supremasi Hukum
Prinsip supremasi hukum yaitu bahwa semua masalah

diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Konstitusi

merupakan cermin tertinggi hukum karena Negara yang menganut

sistem presidential tidak dikenal adanya pembedaan antara Kepala

Negara dan Kepala Pemerintahan sama dengan sistem pemerintahan

parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (equality before the law)

Secara Normative dan dilaksanakan secara empiric persamaan

setiap orang didalam hukum dan pemerintahan. Segala bentuk

manifestasinya dan diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang

seperti tindakan diskrimantif kecuali tindakan yang bersifat khusus

maupun sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok

masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan yang sah dan tertulis yang sudah diberlakukan

32 terlebih
Muh. Hasrul, dahulu Gubernur
2013, Eksistensi dari perbuatan atau Pemerintah
Sebagai Wakil tindakan Pusat
administrasi yang
di Daerah Dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang efektif, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum
Universitasdilakukan.
Hasanuddin, Peraturan-peraturan
Makassar, 15. yang dibuat untuk kebutuhan internal

secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas dan jabatan
40

yang dibebankan oleh peraturan yang sah untuk menjamin ruang

gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan

tugasnya.
Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu

bersumber dari tuhan yang bersifat universal dan abadi serta antara hukum

dan moral tidak boleh dipisahkan. Dengan hadirnya hukum dalam

kehidupan masyarakat berguna untuk mengintegrasikan dan

mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan

antara satu sama lain. Pada dasarnya perlindungan hukum tidak

membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Indonesia sebagai

Negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan

hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu perlindungan hukum

tersebut akan melahirkan pengakuan dan pelindungan hak asasi manusia

dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam

wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan

demi mencapai kesejahteraan bersama.

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tujuan

memberikan hak dan kewajiban, menjamin hak-haknya pra subyek hukum,

serta menegakkan peraturan itu sendiri melalui hukum administrasi negara

yang berfungsi mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak dengan

perizinan dan pengawasan, hukum pidana yang berfungsi untuk

menanggulangi setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum pidana dan hukum

perdata berfungsi untuk memulihkan hak membayar kompensasi atau 41


ganti

kerugian.33
Hukum adalah hukum yang berfungsi sebagai perlindungan

kepentingan manusia dan semua itu harus dilaksanakan secara profesional

yang dilakukan dengan cara menurut hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia

perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, hal perbuatan dan

sebagainya, proses, cara, perbuatan melindungi.34 sehingga perlindungan

hukum merupakan hak setiap warga negara oleh karenanya negara wajib

memberikan kepada warga negaranya.

Perlindungan terhadap korban persetubuhan membutuhkan

partisipasi masyarakat yang berempati terhadap apa yang telah dialaminya,

sehingga memenuhi rasa kemanusiaan seperti yang tertuang dalam

Pancasila sila ke-2 yang berbunyi “ kemanusiaan yang adil dan beradab”

dengan mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, mengakui

persamaan hak, persamaan derajat dan persamaan kewajiban asasi setiap

manusia tanpa membedakn suku keturunan agama kepercayaan jenis

kelamin kedudukan sosial warna kulit dan sebagainya. Memberikan

perlindungan kepada korban adalah sebagai salah satu perwujudan tujuan

bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-undang

Dasar 1945 alinea 4 yang berbunyi “ melindungi segenap bangsa Indonesia

33 dan Sasongko,
Wahyudi seluruh tumpah darah Indonesia
Ketentuan-ketentuan Pokokdan untuk
hukum memajukan
perlindungan kesejahteraan
konsumen, Bandar
lampung: Universitas lampung, 2007, hal 31
34
Kamusumum, mencerdaskan
Besar Bahasa kehidupan
Indonesia (KBBI) bangsa
Online, dan ikut melaksanakan diakses
https://kbbi.web.id/perlindungan, ketertiban
pada
tanggal 12 Juli 2018
dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan sosial”. 42
Perlunya perlindungan terhadap korban persetubuhan tidak lepas dari

akibat yang dialami korban karena tidak hanya mengalami secara fisik

tetapi juga secara psikis, mental serta kehidupan pribadi dan sosial.

Seringkali tumbuh rasa kurang percaya pada aparat penegak hukum

bilamana kasus yang ditangani menyita perhatian dimana penanganan

kepada seorang terlapor terkesan kurang sungguh-sungguh dan

menimbulkan anggapan bahwa penyidik telah bermain dan telah

melakukan diskriminasi terhadap laporan korban sehingga situasi seperti

ini menjadi pembicaraan dikalangan masyarakat dan menurunkan

kepercayaan masyarakat terhadap polri sebagai gerbang utama penanganan

perkara dugaan tindak pidana.

Salah satu bentuk perlindungan terhadap perempuan hamil korban

persetubuhan saat ini adalah dengan dilakukannya upaya dengan cara

Konseling dimana laporan korban persetubuhan belum dituangkan dalam

Laporan secara resmi namun dibuatkan Laporang Pengaduan kemudian

dasar tersebut penyidik melakukan tahapan dengan melakukan permintaan

keterangan atau klarifikasi dengan cara konseling hal ini diberikan kepada

korban persetubuhan sebagai akibat munculnya dampak negative yang

sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Langkah ini saat ini sangat cocok

untuk korban kejahatan yang menyisakan trauma seperti pada kasus-kasus

yang menyangkut asusila.

43
2.3.1 Perlindungan Hukum Perempuan Hamil Korban

Persetubuhan Menurut Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP)

Negara Republik Indonesia adalah negara Hukum yang

menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan dan

dihormati serta ditaati oleh siapapun juga tanpa ada pengecualian

sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945

dimana setiap tingkah laku warga negaranya tidak terlepas dari

segala peraturan-peraturan yang bersumber dari hukum. Didalam

pembagian hukum konvensional hukum pidana termasuk bidang

hukum publik. Artinya hukum pidana mengatur hubungan antara

warga dengan negara dan menitikberatkan kepada kepentingan

umum atau kepentingan publik.

Hukum pidana merupakan hukum yang memiliki sifat

khusus yaitu dalam hal sanksinya bagi setiap orang yang

berhadapan dengan hukum yang didalamnya terdapat ketentuan

tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh

dilakukan dan yang membedakan hukum pidana dengan hukum

yang lainnya adalah bentuk sanksinya yang memiliki macam

bentuk hukuman seperti perampasan harta akibat denda, dirampas

kemerdekaannya karena

pidana kurungan atau penjara bahkan adapula dirampas nyawanya

jika diputuskan atau dijatuhi pidana mati.

44
Ketentuan hukum positif (KUHP) di indonesia saat ini tidak

tercantum suatu ketentuan yang menjelaskan mengenai definisi

dari tindak pidana (starfbaar feit) dimana pembentuk undang-

undang hanya menyebutkan tentang “tindak pidana” didalam

KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa

sebenarnya yang dimaksud dengan “starfbaar feit” sedangkan

dalam bahasa latin dipakai istilah “Delict” atau “Delictum” Dalam

bahasa belanda “feit” berarti “sebagian dari suatu kenyataan”

sedangkan “starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai “ sebagian

dari suatu kenyataan yang dapat di hukum” sehingga dengan

demikian dapat diketahui bahwa yang dapat dihukum itu

sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan

ataupun tindakan.35 Hukum pidana yang berlaku di Indonesia

sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi yang telah

termuat dan tersusun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Menurut Moeljatno Tindak pidana adalah :36

“ perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana

adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan

35 diancam
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar pidana.
Hukum Asal
Pidana saja dalam
Indonesia, pidana
Bandung, 1984, itu
Sinardiingat bahwa
Baru. Hal. 172
36
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, cetakan delapan, Jakarta, 2009. Hlm 60
larangan ditunjukkan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan

45
atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang

menimbulkan kejadian itu)”

Delik kesusilaan dalam KUHP didalam Bab XIV tentang

kejahatan kesusilaan dimuat jenis-jenis delik kesusilaan yang

diantaranya adalah Pasal 293 dimana tindak pidana ini dengan

pemberian janji akan memberikan uang atau benda atau dengan

menyalahgunakan hubungan yang ada dengan sengaja

menggerakkan seorang anak dibawah umur untuk melakukan

tindakan-tindakan melanggar kesusilaan atau membiarkan

dilakukannya tindakan-tindakan seperti itu oleh anak di bawah

umur tersebut dengan dirinya sendiri. Bunyi dalam pasal 293 ayat

(1), (2), (3) adalah sebagai berikut:

(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau

barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari

hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja

menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah

lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul dengan dia padahal tentang belum

kedewasaannya diketahui atau selayaknya harus diduganya,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang

terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.

46
(3) Tenggang waktu terebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini

adalah masing-masing sembilan bulan dan atau dua belas

tahun.

Unsur-unsur Objektif dan Subjektif pada Pasal 293

Kuhpidana adalah sebagai berikut :

1. Unsur Objektif :

a. Perbuatannya: menggerakan;

b. Cara-caranya:

- Memberi uang atau barang

- Menjanjikan memberi uang atau barang

- Menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan

keadaan

- Penyesatan

c. Objeknya : orang yang belum dewasa

d. Yang baik tingkah lakunya

e. Untuk :

- Melakukan perbuatan cabul

- Dilakukan perbuatan cabul dengannya.

2. Unsur Subjektif :

a. Diketahuinya atau selayaknya harus diduganya tentang

belum kedewasaannya.

dari uraian kedua unsur objektif dan subjektif diatas47


yang

menjadi acuan utama adalah “ orang yang belum dewasa dan yang
baik tingkah lakunya” dimana orang belum dewasa adalah orang

yang belum genap dua puluh satu tahun umurnya dan belum pernah

menikah37. Orang belum dewasa ini, bisa berjenis laki-laki maupun

perempuan dan untk berkelakuan baik tingkah lakunya dimana

yang bersangkutan menurut kenyataan di lingkungan masyarakat

tempat ia berinteraksi sosial diketahui atau dikenal sebagai orang

yang berkelakuan baik di bidang kesusilaan. Jadi indikator sebagai

seseorang berkelakuan baik atau tidak di bidang kesusilaan ialah

terletak pada semua orang yang mengenalnya sebagai orang yang

baik ataukah orang yang buruk kelakuannya di bidang kesusilaan.

Misalnya di masyarakat ada sebutan yang konotasinya sebagai

pelacur atau wanita panggilan, ialah dengan istilah perempuan

nakal sehingga ketika seorang perempuan hamil korban

persetubuhan dapat dilakukan proses penyidikan dan mendapatkan

kepastian hukum serta perlindungan terhadap korban. Berdasarkan

kewenangan yang diberikan kepada penyidik sesuai dengan

diperintakan oleh Undang-undang terlebih dahulu memiliki

wewenang yang sah sebagai landasan dalam proses penyidikan

suatu dugaan tindak pidana.

Pasal 293 ayat (1) Kuhpidana merupakan delik aduan

absolut yaitu delik peristiwa pidana yang selalu hanya dapat

dituntut apabila ada pengaduan sehingga pengaduan diperlukan

untuk menuntut peristiwanya sehingga permintaan dalam


pengaduannya harus berbunyi “ saya meminta agar peristiwa ini

dituntut “ oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua

orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu)

dengan peristiwa itu harus dituntut. Tindakan penyidik dalam

upaya mencari bukti-bukti tertentu dengan menjunjung tinggi

hukum yang berlaku dan meyakini bahwa setiap orang yang

disangka, ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan dimuka sidang

pengadilanwajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Dengan demikian profesional penegak hukum baik

penyidik diharapkan dapat bersinergi antara kewenangan dan hak-

hak tersanga sebagai upaya dalam menjunjung tinggi hukum demi

tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dalam

masyarakat.

2.3.2 Perlindungan Hukum Perempuan Hamil Korban

Persetubuhan Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak ( lex specialis derogat legi

generalis )

Dalam tataran konstruksi sosial masyarakat Indonesia

yang sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki,

perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua sehingga

49
berimplikasi lebih lanjut pada perempuan hamil korban

persetubuhan dan perempuan dianggap sebagai pemicu terjadinya

hubungan seksual. Peristiwa perempuan hamil korban

persetubuhan bila dikaitkan dengan persoalan moralitas

menyebabkan korban bungkam dan kadang justru dimaknai

sebagai “aib” tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga

komunitasnya. Adapula korban yang diusri dari rumah karena

dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama

baik keluarga maupun masyarakat.

Ditingkat struktur lembaga penegak hukum mulai

membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus

terhadap korban perempuan yaitu Unit Perlindungan Perempuan

dan Anak yang dimana para penyidik dan penyidik pembantu

terdapat anggota Polwan (Polisi wanita) demi untuk menjunjung

tinggi serta melindungi prifasi dan wibawa serta harkat dan

martabat seorang perempuan yang masih dibawah umur.

Didalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan anak secara substantif telah diatur secara spesifik

yaitu batas usia dimana pada Undang-undang sebelumnya Kitab

Undang-undang Hukum Pidana yang dikategorikan sebagai anak

adalah pada usia 21 tahun namun pada Undang-undang Nomor 35

tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

50
Tentang Perlindungan anak batas usia anak adalah yang belum

genap berusia 18 (delapan belas) tahun sehingga undang-undang

ini telah sejalan dengan dengan amanat Undang-undang Dasar

1945 menurut pemerintah terkait dengan jaminan hak asasi

manusia namun disisi lain pemerintah lupa bahwa telah

menimbulkan diskriminasi terhadap seorang perempuan yang

berusia diatas 19 tahun dimana perlindungan yang sebelumnya

dimilki ketika menjadi korban persetubuhan dapat mengadukan ke

aparat penegak hukum namun saat ini sudah tidak bisa lagi korban

mengadukan ke aparat penegak hukum karena batas usia

berdasarkan peratiran perundang-undangan yang saat ini berlaku

sehingga Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak ini dianggap belum dapat berjalan secara efektif karena

tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang satu

dengan yang lainnya terkait dengan definisi anak.

Didalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan anak. Perempuan hamil korban persetubuhan diatur

dalam pasal 81 ayat (2) yang berbunyi “ setiap orang yang dengan

sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang

lain” berdasarkan bunyi pasal tersebut maka terhadap perempuan


hamil korban persetubuhan yang dilakukan atas dasar suka sama

suka atau ada hubungan cinta dapat dilakukan penuntutan jika

pelaku tidak mau bertanggung jawab.

Pasal 81 ayat (2) undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan anak bukan merupakan delik aduan absolut yang

hanya atas pengaduan korban serta menyatakan bahwa akan

menuntut atas perbuatan pelaku namun dalam Undang-undang ini

siapapun dapat melaporkan peristiwa yang dialami oleh korban

sehingga pelaku dapat dilakukan proses hukum dengan catatan

bahwa korban belum berusia 18 (delapan belas) tahun.


BAB III

UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH

OLEH PEREMPUAN HAMIL KORBAN PERSETUBUHAN 52

3.1 Dasar Hukum Upaya Perlindungan Perempuan Hamil Korban

Persetubuhan

Indonesia sebagai negara hukum yang bersumber dari hukum

tertinggi adalah Konstitusi yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan

negara dimana salah satu fungsinya adalah untuk membatasi kekuasaan

dan menjamin hak asasi manusia dan kebebasan warganya. Sehingga

antara lelaki dan perempuan tidak ada perbedaan dan diakui didalam

Undang-undang Dasar 1945 sebagai prinsip persamaan dihadapan hukum.

Oleh karena itu setiap perempuan Warga Negara Republik Indonesia

memiliki hak konstitusional sama dengan Warga Negara Indonesia yang

laki-laki.

Hak konstitusional terkait pula akan pengakuan negara atas subjek

dari hak konstitusional yakni warga negara dan mereka ialah orang yang

diakui secara hukum serta disahkan oleh undang-undang sebagai warga

negara Indonesia sehingga mempunyai hak yang sama dalam hal apapun

sebagai warga negara Indonesia. Perlindungan dan pemenuhan hak

konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga

negara yang beragam realitas. Ketentuan konstitusional menegaskan


adanya perlindungan dengan hukum segenap bangsa dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan menunjuk pada individu-individu yang dirangkum

dengan tetap memperhatikan individualitasnya masing-masing termasuk

didalamnya adalah perempuan. Hal ini diwujudkan melalui seperangkat

aturan hukum dan kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Upaya

penegakan hak konstitusional perempuan harus dilakukan baik dari sisi

aturan, struktur, maupun dari sisi budaya.

Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin

pelaksanaan hak konstitusional perempuan maka integritas tubuh

perempuan hamil korban persetubuhan akan mendapatkan perlindungan

sebagai amanat konstitusi hukum harus mampu mewujudkan keadilan bagi

seluruh rakyat Indonesia termasuk didalamnya memberikan jaminan

perlindungan terhadap perempuan hamil korban persetubuhan dalam

pemenuhan hak-haknya. Perlindungan terhadap perempuan hamil korban

persetubuhan harus menjadi focus perhatian negara saat ini demi

menegakkan hak konstitusional perempuan serta pemerintah harus paham

tentang hak perempuan yang dikukuhkan dalam konstitusi.

Peran Kepolisian sebagai penegak hukum dituntut untuk mampu

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bentuk tindak

pidana. Aktualitas dari peran penyidik yaitu :

1. mahir dan menguasai dalam hukum acara pidana sehingga mampu

menghadapi setiap permasalahan hukum dengan tepat dan dapat

mengatasi kasus-kasus pelanggaran hak pada tingkat praperadilan.


2. menguasai teknik dan taktik penyelidikan serta penyidikan sehingga

mampu membuat terang dan terungkapnya setiap tindak pidana yang

terjadi. 54

3. mempunyai semangat dan tekad yang kuat dengan satu tekad walaupun

langit esok akan runtuh namun hukum harus tetap ditegakkan.

4. mampu memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

membantu mengungkapkan pembuktian secara ilmiah dalam kasus-

kasus yang terjadi.

5. melakukan koordinasi

Dalam hal ini kewenangan penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1)

Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 Kuhap yaitu :

1. Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana.

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diri tersangka.

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka dan

saksi.
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

9. Mengadakan penghentian penyidikan.

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertangung jawab.

55
Berdasarkan uraian diatas maka ketika penyidik setelah menerima

laporan atau pengaduan tentang telah terjadi dugaan tindak pidana maka

segera untuk melakukan tindakan hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk menghindari konflik sosial yang lebih besar

namun tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah serta menghormati

hak dari terlapor yang diduga melakukan tindak pidana.

3.3.1 Upaya Hukum Pidana

Pengaturan perlindungan terhadap perempuan hamil korban

persetubuhan tidak bisa lepas dari tujuan hukum yang wujud dan

jumlah kepentingan tergantung pada sifat kemanusiaan yang ada

didalam tubuh para anggota masyarakat masing-masing.

Kepentingan kepribadian (Interest of personality) meliputi

perlindungan terhadap integritas (keutuhan) fisik, kemerdekaan

kehendak, reputasi (nama baik) terjaminnya rahasia-rahasia

pribadi. Dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

peninggalan belanda pada pasal 293 ayat (1) yang berbunyi :

“ barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan,


atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum

dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia padahal tentang

belum kedewasaannya diketahui atau selayaknya harus diduganya “

Dalam pasal ini juga dijelaskan tentang umur bagi

perempuan yaitu pada batas usia 21 tahun dan yang paling

terpenting adalah belum cacat kelakuan atau belum pernah menikah

sebelumnya maka seorang perempuan yang hamil karena suatu

hubungan suka sama suka dapat melaporkan peristiwa tersebut

kepada pihak kepolisian. Kejahatan ini merupakan kejahatan

terhadap kesusilaan, menggerakkan orang belum dewasa

melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengan ancaman

pidana kurungan 5 (lima) tahun. Sehingga bagi perempuan hamil

korban persetubuhan yang masih tergolong anak didalam Undang-

undang ini berhak melakukan penuntutan terhadap pelaku apabila

pelaku tidak memenuhi janjinya untuk menikahi apabila terjadi

kehamilan terhadap perempuan akibat dari perbuatan pelaku dan

korban melakukan hubungan layaknya suami istri atau

persetubuhan.

Didalam Undang-undang ini pada pasal 293 Kitab Undang

Hukum Pidana terdapat dua bentuk unsur kesalahan yaitu bentuk

kesengajaan berupa diketahuinya tentang kedewasaannya, dan

bentuk kealpaan berupa sepatutnya harus diduga tentang belum


dewasa orang yang digerakkannya untuk melakukan perbuatan

persetubuhan tersebut namun Kebanyakan korban enggan

melaporkan dan menjalani penyelesaian hukum karena hukum

dirasakan tidak berpihak pada perempuan hamil korban

persetubuhan serta hal yang menimpa tersebut walaupun dapat

mendatangkan penderitaan hebat dan trauma psikis yang mendalam

bagi korban karena merasa bahwa perbuatan tersebut merupakan

hal yang dipicu oleh korban itu sendiri.

Pengalaman inilah yang dirasakan oleh perempuan hamil

korban persetubuhan merasa sulit untuk mendapatkan perlindungan

melalui hak yang dimilikinya karena menurutnya hak-hak yang

dimiliki tidak menguntungkan untuk dirinya sehingga pengalaman

inilah seharusnya menjadi pertimbangan hukum. Dengan kondisi

saat ini pengaturan yang memberikan perlindungan terhadap

perempuan hamil korban persetubuhan belum ada pengaturannya

padahal apa yang dialami oleh perempuan hamil korban

persetubuhan adalah kejahatan terhadap tubuh perempuan yang

harus menjadi prioritas untuk dilindungi karena hubungan dengan

martabat yang telah dihancurkan.

3.3.2 Upaya Hukum Pidana Pasca Putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia No. 45 k/PID/2015, Tanggal 22 April 2015


Pada hakekatnya tindak pidana perbuatan Cabul atau

Persetubuhan anak dibawah umur yang termuat dalam pasal 293

ayat (1) Kitab Undang Hukum Pidana “ barang siapa dengan

memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan

perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan

penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik

tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan


58

perbuatan cabul dengan dia padahal tentang belum kedewasaannya

diketahui atau selayaknya harus diduganya “

Tindak pidana persetubuhan merupakan kejahatan yang

cukup mendapat perhatian dikalangan masyarakat dan merupakan

bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan

kebudayaan manusia itu sendiri. Tindak pidana persetubuhan tidak

hanya terjadi dikota-kota besar yang relative lebih maju

kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya tetapi juga

terjadi di pedesaan yang relatife masih memegang nilai tradisi dan

adat istiadat yang menganggap mahluk yang paling lemah sehingga

mudahnya perbuatan persetubuhan dilakukan.

Pada putusan Mahkamah Agung ini dalam

pertimbangannya bahwa putusan Pengadilan Negeri Tahuna yang

diucapkan dimuka sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum

yang dihadiri oleh jaksa / penuntut umum pada tanggal 10 maret

2014 dimana menurut jaksa bahwa hakim telah melakukan


kekeliruan yaitu salah menerapkan hukum dimana Berkas perkara

yang dibuat oleh penyidik Polri kemudian oleh jaksa / penuntut

umum mengajukan surat dakwaan terhadap Terdakwa terhadap

pelaku yang diduga telah melanggar ketentuan pasal 293 ayat (1)

Kuhpidana namun dalam putusan pengadilan negeri tahuna

membebaskan terdakwa dengan pertimbangan hakim saat itu

adalah unsur anak yang dimaksud dalam pasal 293 ayat (1)

Kuhpidana tidak terpenuhi terkait dengan usia daripada korban

yang telah lewat usia 18 sebagaimana telah diatur batas usia korban

persetubuhan adalah belum berusia 18 (delapan belas) tahun

sebagaimana tertuang dalam pasal 1 huruf a Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undanga Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.

Dalam pertimbangan majelis Hakim baik pada Pengadilan

tingkat pertama serta pada pengadilan Kasasi bahwa telah

dipertimbangkan dengan tepat dan benar dari fakta dan keadaan

serta alat-alat bukti dari hasil persidangan bahwa korban pertama

kali melakukan persetubuhan dengan terdakwa telah berusia 18

(delapan belas) tahun, maka unsur anak dibawah umur pada pasal

293 ayat (1) Kitab undang hukum pidana menjadi tidak terpenuhi.

Maka berdasarkan putusan inilah sehingga jaksa / penuntut umum

ketika menerima berkas perkara dari Penyidik Polri dengan perkara

perbuatan yang melanggar pasal 293 ayat (1) Kitab Undang Hukum
Pidana akan langsung mengembalikan berkas perkaranya dan

dinyatakan tidak dapat dtindak lanjuti ke Tahap Penuntututan,

sehingga apabila ada korban yang melaporkan hal yang sama maka

Penyidik Polri tidak dapat lagi menerima dan melakukan Proses

Penyelidikan dan Penyidikan. namun disisi lain Pasal 293 ayat (1)

Kitab Undang Hukum Pidana hingga saat ini belum ada Yudisial

Reviuw atau pembatalan dari Mahkamah konstitusi seperti Pasal

335 ayat (1) Kitab Undang Hukum Pidana pada Frase kata-kata

“perbuatan tidak menyenangkan”. Dan langkah Penyidik Polri saat

ini ketika menerima laporan atau pengaduan mengenai hal tersebut

maka disarankan untuk menempuh upaya hukum lain.

3.2 Upaya Hukum Perdata

Pada dasarnya perlindungan terhadap perempuan hamil korban

persetubuhan merupakan prioritas yang sangat penting untuk dilakukan

karena fakta natural tentang kesatuan tubuh perempuan yang memiliki

identitas bangsa ataupun daerah budaya dan kesuciannya sebagai

perempuan. Hukum itu mengandung keadilan dan tidak dilihat sebagai

refleksi kekuasaan semata-mata tetapi juga harus memancarkan

perlindungan terhadap hak-hak warga negara yang berlandaskan nilai-nilai

kemanusiaan dan nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi martabat

manusia dan menjamin hak asasi manusia sehingga setiap warga negara
memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan

hukum dan pemenuhan hak yang sama.

Dinamika proses produksi hukum dan implementasinya seharusnya

dirasakan oleh masyarakat karena didasarkan pada analisa realitas

masyarakat yang meneropong bekerjanya hukum. Oleh karena itu

perwujudan tujuan, nilai-nilai atau ide yang terkandung didalam peraturan

hukum merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai

hubungan erat dengan masyarakat. Kaitan antara hukum dengan

61
masyarakat didalam proses dan implementasi hukum menunjukkan kaitan

antara hukum dengan budaya / kultur sehingga isi hukum sangat

dipengaruhi oleh budaya hukum.38 budaya hukum menentukan sikap, ide,

nilai-nilai seseorang terhadap hukum dimasyarakat dan kekuatan sosial

yang menetukan bagaimana hukum itu digunakan.

38 Namun
Jurnal Perempuan, pelaksanaannya
Vol. 21. No. 2, Opcit, Hlm.sering
124 menimbulkan ketegangan karena

tidak jarang kepastian hukum terjadi benturan dengan aliran, benturan

antara kepastian hukum dengan kemanfaatan dan antara keadilan dengan


61

kepastian hukum. Perempuan hamil korban persetubuhan merupakan

subjek hukum yang berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa

pengaturan dalam perundang-undangan nasional yang secara konkret dan

spesifik memberikan perlindungan terhadap tubuh dan kehormatan

perempuan hamil korban persetubuhan.

Anggapan perempuan karena bahwa kekuasaan laki-laki yang lebih

dominan dalam pembuatan suatu produk hukum sehingga hukum yang


diproduksi adalah hukum yang bias sehingga yang dampaknya

menyimpang dari tujuan hukum itu sendiri yang harus memberikan

perlindungan terhadap masyarakat. Hal inilah yang dirasakan oleh

perempuan hamil korban persetubuhan karena adanya kesulitan

mengkonstruksikan dan menginterpretasikan pengalaman perempuan dari

perspektif perempuan untuk dirinya secara kritis kepada orang lain yang

tidak percaya dengan kisah yang dialami malah cenderung menyalahkan

dan pada akhirnya keadaan mereka tidak terlindungi. Dari konstruksi

berpikir patriarki sehingga produk hukum yang lahir tidak objektif

sehingga menempatkan perempuan hamil korban persetubuhan tidak

mendapatkan perlindungan hukum, penciptaan strukutr yang tidak adil

bagi perempuan hamil korban persetubuhan memposisikan tubuh

perempuan sebagai objek seks. Sehingga tubuh perempuan dianggap

sebagai sesuatu yang berada diruang personal dimana perempuan hamil

korban persetubuhan dianggap kesalahan sendiri karena secara sukarela

tubuhnya tidak menjaga kesucian dan keperawanannya tidak menjaga

kehormatannya sebagai perempuan sehingga perempuan sendiri yang

harus menerima sendiri segala resiko yang dialaminya, hal inilah yang

menjadi tuntutan dari institusi publik (negara, institusi hukum, polisi,

jaksa, hakim, media massa, dll).

Perempuan Hamil korban persetubuhan saat ini hanya dapat

melakukan upaya penuntututan terhadap pelaku melalui Upaya Hukum

Perdata dimana perbuatan melawan hukumnya (PMH) karena tidak


menepati janjinya untuk bertanggungjawab apabila terjadi kehamilan

ataupun tidak hamil karena perbuatan persetubuhan yang dilakukan atas

dasar suka sama suka dan ada hubungan cinta serta bujuk rayu sehingga

menggerakkan perempuan untuk melakukan hubungan layaknya suami

istri atau persetubuhan. Namun hal ini jarang ditempuh oleh perempuan

hamil korban persetubuhan karena dianggap sia-sia karena putusannya

adalah tentang ganti kerugian dan itupun harus disertai dengan bukti-bukti

berupa janji-janji kekasih yang akan bertanggungjawab terlebih terhadap

termohon tidak dapat dilakukan upaya penahanan sebagai sok terapi

ataupun salah satu upaya agar termohon mau bertanggungjawab sehingga

dapat memungkinkan termohon setelah selesai persidangan dapat

bepergian kemana saja tanpa ada efek jera dan bisa melakukan

perbuatannya terhadap orang lain ditempat yang berbeda.

Pada umumnya masyarakat sering kali menyalahkan hukum dan

aparat penegak hukum karena terjadi perbedaan kepentingan dimana orang

sering menyalahkan hukum karena menganggap hukum itu baru berfungsi

apabila ada konflik bahkan dalam konflikpun orang menganggap hukum

tidak berdaya. Secara garis besar pengaturan yang memberikan

perlindungan hukum terhadap perempuan hamil korban persetubuhan

adalah merupakan penyadaran perempuan dengan menggunakan metoda

tertentu agar perempuan baik individu maupun kelompok memahami


haknya dalam konstitusi kemudian mampu mempertahankan dan menuntut

hak dan kewajibannya bila dilanggar.

Tidak jarang ditemukan masyarakat bahkan para aktivis perempuan

dan Aktivis Hak Asasi Manusia yang menyuarakan dengan lantang

menolak persoalan kekerasan terhadap perempuan namun minimnya

pengetahuan serta kesadaran masyarakat serta para aktivis sehingga hal

tersebut tidak menyentuh pada substansi yang sebenarnya. Seringkali

locus adalah ranah domestic atau pribadi paling sering dianggap sebagai

pembenaran pernyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak

tergolong sebagai kejahatan Hak Asasi Manusia terlebih pada kasus atau

peristiwa perempuan hamil korban persetubuhan. Banyak para aktivis64Hak

Asasi Manusia yang masih belum tajam mengakui Hak Asasi Perempuan

serta cenderung mendikotomikan privat dan public sipil-politik dan

ekonomi-sosial karena dianggap bahwa perempuan hamil korban

persetubuhan dianggap telah dewasa dan dilakukan atas dasar suka sama

suka. Hal inilah yang kemudian dialami oleh perempuan hamil korban

persetubuhan dimana cara pandang masih terfokus pada Individu dan

belum mengarah pada pengabaian sehingga perempuan hamil korban


64

persetubuhan tidak termasuk isu Hak Asasi Manusia melainkan persoalan

individu versus individu semata. Pemahaman inilah yang menyebabkan


64

kasus perempuan hamil korban persetubuhan terabaikan hak asasinya

sebagai perempuan karena tidak adanya perhatian khusus dan serius,

sehingga implementasi instrument Hak Asasi Manusia sangat diharapkan


bisa memberikan keadilan bagi perempuan korban tidak dipenuhinya

perempuan hamil sebagai korban persetubuhan sebagai subjek. Dan harus

dimaknai sebagai kewajiban negara karena negaralah yang berkewajiban

mengakui, menghormati dan memenuhi Hak Asasi Perempuan.

Kebutuhan akan hadirnya peraturan perundang-undangan nasional

yang komprehensif melindungi perempuan hamil korban persetubuhan

pada dasarnya sangatlah diperlukan dan dinantikan untuk memberikan

perlindungan bagi perempuan hamil korban persetubuhan dan

sesungguhnya sejalan dengan dinamika dan perkembangan zaman yang

mengenali kebutuhan dan perkembangan norma hukum agar lebih

memberikan perlindungan terhadap perempuan hamil korban persetubuhan


65

secara keseluruhan adalah hal yang mutlak diperlukan


BAB IV

PENUTUP

66

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan diatas terkait dengan Perlindungan

Hukum bagi Perempuan Hamil korban persetubuhan, maka dapat dikemukakan

kesimpulan sebagai berikut :

4.1 Kesimpulan

1. Perlindungan hukum bagi perempuan hamil korban persetubuhan

yang berusia 19 (Sembilan belas) tahun hingga usia 21 (dua puluh

satu) tahun dan tidak cacat kelakuan dapat melakukan penuntutan

berdasarkan Pasal 293 ayat (1) Kuhpidana namun sejak berlakunya

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak serta

pasca putusan beberapa Pengadilan Negeri yang dalam amar

putusannya menjelaskan tentang batas usia perempuan hamil sebagai


korban persetubuhan adalah belum berusia 18 (delapan belas) tahun

karena dalam hukum pidana dikenal asas “lex specialis derogate lex

generalis” yang artinya bahwa ketentuan khusus mengenyamping

ketentuan yang lebih umum. sehingga perempuan Hamil korban

persetubuhan yang telah berusia 19 (Sembilan belas) tahun hingga

usia 21 (dua puluh satu) tahun tidak dapat lagi melaporkan ke

Penyidik Kepolisian sebagai Garda utama dalam penyelesaian

perkara dugaan tindak pidana umum.

2. Upaya hukum bagi perempuan hamil korban persetubuhan yang telah

berusia 19 (Sembilan belas) tahun hingga usia 21 (dua puluh satu)

tahun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan anak sebagai lex specialis derogate lex generalis yang

telah mengatur batas usia perempuan hamil sebagai korban

persetubuhan, serta terdapat beberapa putusan pada di pengadilan

negeri dan penolakan kasasi oleh mahkamah agung yang diajukan oleh

jaksa penuntut umum maka perempuan hamil korban persetubuhan

dapat melakukan upaya hukum perdata sebagai bentuk perlindungan

terhadap perempuan hamil korban persetubuhan yang dapat diberikan

oleh negara, dimana terdapat perbuatan melawan hukum (PMH) ingkar

janji untuk tidak bertanggungjawab ketika terjadi kehamilan karena

hubungan yang dilakukan karena atas dasar suka sama suka atau

karena ada hubungan cinta serta bujuk rayu sehingga menggerakkan


seorang perempuan (anak) untuk melakukan hubungan badan layaknya

suami istri atau persetubuhan. namun bentuk perlindungan ini

dipandang tidak mampu membuat efek jera karena tidak dapat menjerat

secara pidana (hukuman badan / penjara) terhadap pelaku, sehingga

hanya dapat mendatangkan rasa malu bagi keluarga terlebih terhadap

perempuan yang menjadi korban dan juga pelaku dapat mungkin

berbuat hal yang sama terhadap perempuan lain.

4.2 Saran

1. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan

atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan 68


anak

sebagai Lex Specialis derogate lex generalis dimana batas usia

perempuan hamil korban persetubuhan dapat melakukan penuntututan

secara pidana terhadap pelaku, maka perlu adanya kerjasama antara

penegak hukum dengan lembaga / pihak lain seperti Komnas

perlindungan perempuan serta tokoh masyarakat perihal sosialisasi

tentang Undang-undang yang saat ini berlaku mengingat pentingnya

perlindungan terhadap perempuan hamil korban persetubuhan dan yang

lebih khususnya peran aktif dari orang tua dalam rangka usaha

penanggulangan dengan melakukan pengawasan terhadap anak-anak

serta lingkungan sehingga kesempatan perbuatan persetubuhan dapat

dicegah.
2. Perlu adanya kerjasama antara Lembaga Eksekutif, Legislatif, Komnas

Perempuan, Para Aktivis Perempuan untuk duduk bersama dan

membuat suatu regulasi peraturan perundang-undangan tentang

perempuan hamil korban persetubuhan yang tidak lagi mengacu pada

batas usia seorang perempuan sehingga persamaan didepan hukum

dapat terwujud serta menghilangkan pemikiran tentang adanya

diskrimnasi terhadap perempuan agar tidak terjadi hukum jalanan dan

penilaian yang tidak baik terhadap penegakan hukum di Indonesia.

sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Dasar 1945

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie Jimly, 2007, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan


69

Penegakannya, Disampaikan pada acara Dialog Publik dan Konsultasi

Nasional Komnas Perempuan “Perempuan dan Konstitusi di Era

Otonom Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”, Jakarta,

ali Achmad, 1990, mengembara di Belantara Hukum, Cetakan Pertama,

Lembaga penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

Arifin Syamsul, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, area University Press, Medan

Friedman dalam Ahmad Miru, 2011, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi

Konsumen Indonesia, Raja Gravindo Persada, Jakarta

Fuady MUnil, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor

Gamer Bryan A, 2009, Black’s Law Dictionary, ninth edition, St. paul: West
Hadjon Philipus M, 1987, Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, PT.Bina Ilmu,

Surabaya

Hamzah Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, Sinar

Grafika, Jakarta

Hasrul Muh, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di

Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang efektif, Disertasi,

Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,

Hartono Sunaryati, 1991, Politik Hukum: Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional,

Bandung

70
Ibrahim Johnny, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu

Media, Surabaya

Muchhsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,

Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas

Maret, Surakarta

Mertokusumo Sudikno, 2009, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung

Najih Mokhammad, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Implementasi

Hukum Pidana Sebagai Instrumen Dalam Mewujudkan Tujuan

Negara, In-Trans Publishing Malang

Porta La Rafael, 1999, “ Investor Protection and Cororate Governance; Journal of

Financial Economic”
Rahardjo Satjipto, 1993, Penyelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat Yang

Sedang Berubah, Jurnal Masalah Hukum

Rahayu, 2009, Pengangkutan orang, etd.eprints.ums.ac.id.Peraturan Pemerintah

RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tatacara Perlindungan Korban dan

Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat Undang-

undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga.

Rahardjo Satjipto, 2000, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V, Bandung

Reksodiputra Mardjono, 1994, Hak Asasi Dalam Sistem Peradilan Pidana.

Penerbit Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga


71
Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta

Soekanto Soerjono, 1998, Efektifitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV.

Ramadja Karya, Bandung

Soekanto Soerjono, 2008, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegak hukum,

Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sadli Saparinah, 1981, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Bulan

Bintang, Jakarta

Sasongko Wahyudi, 2007, Ketentuan-ketentuan Pokok hukum perlindungan

konsumen,: Universitas lampung, Bandar lampung

Setiono, 2004, Rule of Law (supremasi hukum), Magister Ilmu HukumProgram

Pascasarjana Universitas sebelas Maret, Surakarta


Soekanto Soejono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Uipress. Jakarta

Savitri Niken, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap

KUHP,: PT.Rafika Aditama, Bandung

Undang-Undang

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Artikel Jurnal

Perempuan Jurnal, Vol. 21. No. 2,


72
Pemegang Paten Perlindungan Hukum”, Republika, 24 Mei 2004

Rujukan Elektronik / Internet Artikel Online

http://ashdiqi30.blogspot.com/2011/02/perlindungan-hukum-hak-hak-

Korban.html. Diakses pada Hari Selasa, Tanggal 22 Pebruari 2011.

http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html.

Diunduh pada Selasa 15 November pada jam 01.00 Wib.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, https://kbbi.web.id/perlindungan,

diakses pada tanggal 12 Juli 2018

http://tesishukum.com. Diakses pada tanggal 2 maret 2018, Pukul 14.34 WIB


73

Anda mungkin juga menyukai