LISDAYANTI
NPM : 1610122065
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WARMADEWA
2022
PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH WNA BERDASARKAN PERSPEKTIF KUHP
OLEH :
LISDAYANTI
NPM. 16.10.12.20.65
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL, .. .......... 2022
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui :
Fakultas Hukum
Universitas Warmadewa
Dekan,
Ketua, Sekretaris,
Dr. I Nyoman Gede Sugiartha, SH., MH. A.A Sagung Laksmi Dewi, SH., MH.
NIK. 230 330 116 NIK. 230 330 126
Anggota :
dalam naskah ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah di tulis dalam naskah ini dan diterbitkan oleh orang lain, kecuali
secara terang dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar
bacaan.
Apabila ternyata di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan,
saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana
berlaku.
Denpasar, 2022
Yang membuat pernyataan,
Lisdayanti
NPM. 1610122065
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, karena atas anugerah dan karunia-Nya Skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan
KUHP.
Skripsi ini merupakan kajian normatif yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah
dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa Strata 1 (satu) dalam menyelesaikan
masa belajarnya dan untuk membongkar masalah dalam bidang hukum serta memberikan
Adapun keberhasilan di dalam penyusunan skripsi ini, tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesepatan ini, penulis
• Bapak Prof. Dr. I Dewa Putu Widjana, DAP&E., Sp.ParK, selaku Rektor Universitas
Warmadewa Denpasar.
• Bapak Prof. Dr. I Nyoman Budiartha, SH., MH., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Warmadewa.
• Bapak Dr. I Nyoman Gede Sugiartha, SH., MH., selaku Wakil Dekan I, sekaligus selaku
dosen Pembimbing I (satu), terimakasih atas bimbingan, arahan dan saran yang
diberikan.
• Ibu A.A Sagung Laksmi Dewi, SH., MH., selaku Wakil Dekan II, sekaligus dosen
pembimbing II (dua), terimakasih atas bimbingan, arahan dan saran yang diberikan.
• Kedua Orang Tua (Bapak dan Ibu) serta keluarga yang penulis sayangi yang telah
• Seluruh sahabat yang selama ini turut serta membantu dan memberikan semangat
Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan penulis, demikian juga skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, sehingga segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga karya tulis ilmiah
skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi aktifitas akademik dan pengembangan ilmu
hukum khususnya. Atas perhatian dan kerjasamanya penulis ucapkan terima kasih.
LISDAYANTI
NPM. 1610122065
ABSTRAK
Era Globalisasi menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang terbuka bagi masuknya
warga negara asing untuk beraktivitas baik di bidang industri, wisata maupun perdagangan
lainnya di Indonesia. Semakin berkembangnya ilmu teknologi, memungkinkan masyarakat
untuk lebih konsumtif dalam menggunakannya. Dilihat berdasarkan perspektif psikologi, kerap
ditemukan para wisatawan asing yang memiliki perilaku menyimpang dari norma hukum yang
ada di Indonesia. Salah satunya dari perbuatan menyimpang yaitu tindak pidana penganiayaan
yang dilakukan oleh seorang warga negara asing kepada warga negara Indonesia di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada pun rumusan masalah. (1) Bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana
penganiayaan ? (2) Bagaimanakah sanksi pidana yang diberikan kepada warga negara asing
yang melakukan tindak pidana penganiayaan ? Penelitian ini menggunakan metode normatif
dikarenakan masih terdapat norma yang kabur, dengan bersumber pada pendapat para sarjana
hukum dan Undang-Undang. Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila
suatu hal atau perbuatan yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang
dapat hilang sifat bertanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang
menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang.
The globalization Era makes Indonesia an open country for the inclusion of foreign
nationals to do activities in the field of industry, tourism and other trade in Indonesia. The
growing technology science, allows the community to be more consumptive in using it. Viewed
based on a psychology perspective, often found foreign tourists who have deviated behaviour
from the legal norm in Indonesia. One of them is a criminal act of persecution committed by a
foreign citizen to an Indonesian citizen in the territory of the unitary Republic of Indonesia.
There is no problem formulation. (1) How is a criminal liability for foreign nationals who
commit a criminal act of persecution? (2) How is the criminal sanction given to a foreign citizen
committing a criminal act of persecution? This research uses the normative method because
there is still a vague norm, by being sourced to the opinion of the law scholars and the law. A
person will have the nature of a criminal liability if a thing or deed is done by him or herself is
against the law, but one can be lost in his responsibility when he is found an element that
causes One's own loss of responsibility.
HALAMAN JUDUL...............................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................iv
PERNYATAAN ORISINALITAS...........................................................v
KATA PENGANTAR.............................................................................vi
ABSTRAK...........................................................................................viii
ABSTRACT.........................................................................................ix
DAFTAR ISI.......................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
PENGANIAYAAN
..............................................................................................
21
• Sanksi pidana terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana
penggelapan ...............................................................................45
• Simpulan......................................................................................51
• Saran...........................................................................................52
DAFTAR BACAAN...................................................................................xii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1
ayat (3) UUD NRI Th 1945. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi rakyatnya. Perlindungan hukum yang dimaksud yaitu perlindungan
terhadap serangkaian tindakan pemerintah yang berlandaskan pada 2 (dua) prinsip, yaitu
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terletak di Asia Tenggara.
Jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebanyak 17.508 pulau dengan keseluruhan
wilayahnya adalah sebesar 1,904,569 km 2, selain itu Indonesia juga merupakan negara hukum.
Indonesia memiliki warga negara yang dapat dikatakan terbanyak di Asia Tenggara, dimana
warga negaranya memiliki kedudukan secara bersamaan di dalam hukum, tiap - tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan berhak
untuk mendapat pengajaran. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran untuk mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang - Undang.
Adanya suatu perkembangan zaman, ditandai dengan kemajuan teknologi disebut dengan
istilah lain dari Globalisasi. Globalisasi adalah produk perkembangan ilmu pengetahuan, daya
inovasi, dan teknologi yang semakin mengecilkan arti tapal batas politik dan geografi. Arus
globalisasi yang telah terjadi, menimbulkan berbagai macam bentuk masalah dimana hampir
terjadi pada seluruh aspek kehidupan manusia meliputi bidang budaya, sosial, politik, ekonomi,
ilmu pengetahuan, dan teknologi sehingga terdapat suatu perubahan - perubahan secara
mendasar dalam kebiasaan masyarakat sehari-hari seperti perubahan terhadap pola pikir dan
tingkah laku masyarakat sehari-harinya. Dapat dikatakan bahwa hukum tidak bersifat boleh
statis, melainkan harus bersifat dinamis, serta selalu diadakan perubahan sejalan dengan
Era Globalisasi menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang terbuka bagi masuknya
warga negara asing untuk beraktivitas baik di bidang industri, wisata maupun perdagangan
untuk lebih konsumtif dalam menggunakannya. Pada dewasa ini di dalam lingkungan
masyarakat, banyak terdapat para wisatawan asing diberbagai belahan dunia yang
menghabiskan waktu berliburnya ke Indonesia. Dikarenakan Indonesia tidak hanya kaya akan
sumber daya alamnya yang terdiri dari hutan, laut, dan sungai menghasilkan pula potensi
wisata alam yang luar biasa. Hampir setiap jengkal tanah negeri ini memiliki potensi wisata
alam yang memukau. Tidak heran jika hampir rata – rata setiap wilayah di bumi Nusantara ini
memiliki objek wisata. Alam pegunungan dan segala sesuatu yang menjadi habitat pegunungan
bisa menjadi objek wisata yang sangat diminati. Apalagi bagi orang kota yang mendambakan
kesejukan udara pegunungan objek wisata pegunungan menjadi sarana wisata bagi seluruh
keluarga. Demikian juga pesona alam lainnya seperti danau atau sumber – sumber mata air
“Psikologi hukum di satu pihak menelaah tentang faktor-faktor psikologis yang mendorong
orang untuk mematuhi hukum. Selain itu, psikologi hukum meneliti faktor-faktor yang
mungkin mendorong orang untuk melanggar hukum”.
Jika dilihat berdasarkan perspektif psikologi, kerap ditemukan para wisatawan asing yang
memiliki perilaku menyimpang dari norma hukum yang ada di Indonesia. Salah satunya dari
perbuatan menyimpang yaitu tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh seorang warga
negara asing kepada warga negara Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Warga negara asing atau WNA dalam hal ini merupakan warga yang menetap di suatu negara
namun bukan merupakan warga negara tersebut. Seperti halnya di Indonesia, WNA merupakan
warga negara luar atau luar negeri yang menetap di Indonesia karena adanya keperluan
tertentu seperti liburan, bisnis, edukasi, dan lain – lain. Dimana yang disebut dengan
Penganiayaan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang
mengakibatkan luka memar, luka parah dan tidak menyebabkan kematian terhadap korban.
Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut sebagai “Penganiayaan”.
penganiayaan yang menyebabkan kematian. Hal tersebut dikarenakan adanya berbagai faktor
diantaranya seperti faktor ekonomi, lingkungan, dan dalam kehidupan sehari – hari telah
banyak terjadi tindak penganiayaan yang biasanya dilakukan oleh laki – laki dan perempuan.
Dalam kehidupan manusia sering kali ditemukan adanya bentuk kekerasan terhadap sesama.
Berdasarkan ketentuan pasal 351 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut
• Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
• Jika perbuatan mengakibatkan luka – luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
• Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
• Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
• Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Peraturan hukum yang berlaku di negara Indonesia merupakan suatu peraturan yang
harus ditaati oleh warga negara Indonesia. Menurut ketentuan pasal 26 ayat (1) Undang –
Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945), menyatakan :
“Yang menjadi warga negara ialah orang – orang bangsa Indonesia asli dan orang – orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang – undang sebagai warga negara”.
Selain warga negara Indonesia, peraturan yang berlaku juga harus ditaati bagi para
pendatang atau warga negara asing yang bertempat tinggal di negara Indonesia. Apabila
seorang warga negara asing yang melakukan suatu perbuatan menyimpang dan atau
perbuatan melawan hukum, dimana hal tersebut dilakukan diwilayah negara kesatuan republik
Indonesia, maka wajibnya tunduk pada peraturan hukum yang berlaku diwilayah negara
tersebut. Dalam hal ini, apabila seseorang yakni warga negara asing yang melakukan suatu
Berdasarkan ketentuan pasal diatas, bahwa warga negara asing harus mengikuti atau
mentaati segala tata cara prosedur yang terdapat di negara dimana ia sedang berlibur, agar
apabila terjadi suatu perbuatan melawan hukum maka hal tersebut akan segera diproses. Suatu
tindak penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang melanggar Hak Asasi Manusia yang
dimiliki oleh seseorang, dimana pada dewasa ini di dalam dunia pariwisata banyak dijumpai
adanya suatu perbuatan tersebut dari warga negara asing. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat
1 Undang – Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut dengan
UU HAM), menyatakan :
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dalam hal ini Hak Asasi Manusia yang dimiliki seseorang haruslah dihormati berdasarkan
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
perundang - undangan belum dapat dikatakan efektif, dikarenakan masih banyak terdapat
suatu perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan ini dilakukan oleh warga negara asing.
Pernyataan tersebut merupakan suatu kendala yang akan dialami oleh warga negara Indonesia
selaku penduduk asli diwilayah tersebut, ketentuan sanksi pidana yang memikat dapat
dikatakan masih kurang cukup untuk diterapkan bagi warga negara asing yang melakukan
tindak pidana penganiayaan di wilayah negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, sanksi yang
berlaku bagi warga negara asing bersifat ringan dari pada sanksi tindak pidana yang dilakukan
Dalam hal ini warga negara asing merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas
pariwisata di Indonesia. Namun demikian, posisi strategis warga negara asing untuk
meningkatkan mutu dari hasil kepariwisataan sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi, faktor
kesejahteraannya, dan lain sebagainya. Dalam perspektif psikologi, jiwa manusia bersama
raganya merupakan satu kesatuan (entitas) yang tidak dapat dipisahkan. Apa yang terjadi di
dalam jiwa itu akan tampak di dalam raganya, selain itu kecepatan reaksi jiwa manusia dapat
Sehingga dalam penelitian ini, penulis lebih mendalami tentang sanksi yang diterapkan atau
berlaku bagi warga negara asing yang melakukan tindak penganiayaan, dimana apakah sanksi
tersebut diperlakukan sama dengan sanksi tindak pidana yang diperbuat warga negara
Indonesia. Selain itu juga karena belum ada yang meneliti dengan permasalahan yang sama,
membuat penulis ingin mengkaji lebih dalam terkait permasalahan yang telah dijabarkan.
Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis mengajukan judul proposal penelitian,
• Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut diatas. Maka dapat
• Bagaimanakah sanksi pidana yang diberikan kepada warga negara asing yang
• Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai bagi
seorang peneliti. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini memiliki dua tujuan,
yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Untuk lebih jelas, kedua tujuan tersebut dapat
• Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya dalam bidang penelitian
Terdapat dua tujuan khusus berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan
dalam penelitian ini, adapun tujuan khusus dalam penelitian ini, sebagai berikut :
• Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi warga negara asing yang melakukan
• Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap warga negara asing yang melakukan tindak
Dalam penelitian ini terdapat dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.
hukum di Indonesia terutama dalam bidang pendidikan, serta dapat juga sebagai bahan dalam
• Sebagai masukan bagi pemerintah untuk mengkaji ulang dari adanya ketentuan sanksi
Sebagai landasan di dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis
akan berpijak kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disamping itu pula
akan dipakai sebagai pegangan adalah pendapat - pendapat dari para sarjana terkait dengan
Hukum sebagai sebuah istilah yang kemudian didefinisikan berdasar pada sudut pandang
setiap orang sebenarnya memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga dapat diartikan apa
saja sesuai dengan paradigma hukum ataupun pemahaman hukum oleh masyarakat itu sendiri.
”Fungsi hukum yang diharapkan setelah diciptakan atau diubah melalui peraturan
perundang-undangan dengan menggunakan instrumen-instrumen, antara lain :
• Standard of Conduct : merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati
oleh setiap orang dalam bertindak, dalam melakukan hubungan satu dengan yang lain;
• As a Tool of Social Engineering : sebagai saran atau alat untuk mengubah masyarakat ke
arah yang lebih baik lagi, baik secara pribadi maupun dalam hidup masyarakat;
• As a Tool of Social Control : sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan perbuatan
manusia, agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma hukum, agama,
dan kesusilaan;
• As Facility on Human Interaction : yakni hukum berfungsi tidak hanya menciptakan
ketertiban, tetapi juga menciptakan perubahan.
Secara umum dapat dilihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa
norma dan atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan
menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat
" Hukum dapat didefinisikan secara luas sebagai suatu standar sistem dan aturan yang ada
dalam masyarakat..."
Untuk memperdalam pengertian hukum, terdapat beberapa pendapat para ahli hukum
• Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika
dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu;
• Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk
tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana
seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-
tama, hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang telah dipilih oleh masyarakat tempat
hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.
Pada ketentuan norma hukum, terdapat suatu ketentuan peraturan yang khusus mengatur
mengenai sanksi-sanksi pidana terkait perilaku masyarakat yang tidak berdasar pada norma
hukum yang ada, disebut dengan hukum pidana. Hukum pidana adalah bagian dari hukum
yang paling sulit. Ruang lingkup pengertian hukum pidana dapat bersifat luas dan dapat pula
bersifat sempit. Hukum pidana sebagai bentuk hukum yang "memaksakan" sanksi dalam
"Menurut metodenya, maka hukum pidana dapat dibedakan menjadi ilmu hukum pidana
normatif, ilmu hukum pidana berdasarkan kenyataan (fakta), filsafat hukum pidana yang
bukan ditujukan pada diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakkan tertib hukum,
melindungi masyarakat hukum".
Terdapat suatu istilah Deterrence, berarti menjera atau mencegah sehingga baik pelaku
tindak pidana sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera
atau takut melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Pada ketentuan hukum pidana, terdapat asas-asas yang menentukan bahwa tiap-tiap
peristiwa pidana (delik/tindak pidana) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-
undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum
orang itu melakukan perbuatan, asas tersebut dinamakan asas legalitas. Menurut ketentuan
"Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang terlebih dahulu dari perbuatan itu".
Menurut Anselm von Feuerbach, seorang Sarjana Hukum Pidana Jerman, merumuskan asas
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena
sine praevia lege poenali. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa
ketentuan undang-undang terlebih dahulu. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang
mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
Menurut ketentuan KUHP, tindak pidana dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
atau perbuatan pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Pompe merumuskan
"Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja
ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum".
Untuk dapat dipidananya si pelaku yang melakukan tindak pidana, diharuskan tindak
pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur - unsur delik yang telah ditentukan dalam
sebagai berikut:
• Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan ( liability without fault). Ini
berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana, jika ia telah melakukan perbuatan
sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap
batinnya.
• Vicarious Liability adalah dimana orang bertanggungjawab atas perbuatan orang lain.
Namun, dalam Naskah Rancangan KUHP baru telah dirumuskan dalam Pasal 35 dan Pasal
36 sebagai pengecualian asas kulpabilitas.
Pada saat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana
yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 1
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang - Undang No. 1 Tahun 1960 tentang perubahan
KUHP, Undang-Undang No. 16 prp Tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP,
Undang-Undang No. 18 prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP.
Upaya menghadirkan suatu perangkat hukum yang sesuai dengan perkembangan dunia
pendidikan menjadi suatu yang harus segera diwujudkan oleh pemerintah. Dengan
penegak hukum dalam permasalahan tingkah laku serta perbuatan sangat penting, hal ini dapat
• bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta
peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam
Pancasila dan Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• bahwa kebebasan melalukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud
berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia;
• bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang
dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab
dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai - nilai agama, budaya yang hidup
dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional;
• bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan
kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global;
• bahwa Undang - Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan tidak sesuai lagi
dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan sehingga perlu diganti;
• bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang - Undang tentang Kepariwisataan;
Dalam proses wisata, seorang wisatawan asing dituntut untuk dapat mengikuti serta
mentaati setiap peraturan perundang - undangan yang berlaku di negara Indonesia. Strategi
para wisatawan asing dalam rangka berlibur serta menikmati keindahan alam yang berada di
Indonesia. Pariwisata sebagai suatu sistem mengacu pada pengertian sebagai seperangkat
komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Selaku suatu sistem,
kegiatan pariwisata meliputi suatu komponen antara lain tujuan, bahan, wisatawan asing,
guide, kuliner, situasi dan evaluasi. Agar tujuan tercapai, maka semua komponen yang ada
harus diorganisasikan sehingga antar sesama komponen terjadi kerja sama, karena itu seorang
guide tidak boleh hanya memperhatikan komponen tertentu saja, tetapi harus
Saat proses pariwisata berlangsung, dewasa ini masih ditemukan tindak kekerasaan yang
dilakukan oleh wisatawan asing kepada para warga negara lokal saat sedang berlibur. Dimana,
dapat dikatakan hal tersebut sebagai suatu tindak kejahatan yang diibaratkan sebagai pengisap
energi suatu bangsa. Kejahatan kekerasan digolongkan menjadi beberapa kejahatan, salah
satunya kejahatan penganiayaan menurut ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP, menyatakan:
"Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
Definisi "Penganiayaan" menurut ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP, maka orang tersebut
Tindak pidana penganiayaan yang terjadi, merupakan satu bentuk pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia seseorang. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (selanjutnya disebut UU HAM) menyatakan :
"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".
wenang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU HAM, menyatakan :
"Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah
dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis kepada Komnas
HAM".
Tindak penganiayaan yang terjadi dalam dunia kepariwisataan merupakan salah satu
bentuk kesewenang - wenangan dan atau tindakan menyimpang dari norma - norma hukum
yang telah ada, dimana kewajiban dari seorang wisatawan asing yaitu mentaati segala
peraturan yang ada baik peraturan perundang - undangan maupun peraturan yang terkait
dalam hal itu, akan tetapi terdapat tindak kekerasan penganiayaan dari seorang wisatawan
asing terhadap penduduk lokal. Dalam hal ini seorang wisatawan asing terancam sanksi pidana
sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP, apakah penerapan sanksi
pidana yang diterapkan kepada warga negara asing dapat berlaku sama terhadap sanksi pidana
yang diterapkan kepada warga lokal, agar kedepannya seorang warga negara asing tidak
diskriminatif.
• Metode Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah, maka tipe penelitian yang digunakan dalam
"Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka".
asas-asas hukum. Pada penelitian normatif mengkaji mengenai analisis pengertian - pengertian
dalam hukum atau konsep-konsep dalam hukum, analisis asas dan sistem hukum, analisis
(Statue approach), karena aspek yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Penelitian yang penulis lakukan dalam penulisan
ini akan melihat berbagai peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU Imigrasi dan
peraturan - peraturan yang lainnya yang terkait seperti KUHP serta peraturan lain yang terkait
dengan tindak pidana penganiayaan baik di dalam Pasal 351 KUHP dan ketentuan peraturan
UUD 1945.
menentukan berhasil tidaknya penelitian ini sehingga dianggap perlu oleh penulis agar
terciptanya keterkaitan yang saling menunjang satu demi satu dengan lainnya. Berdasarkan
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan atau aturan hukum yang mengikat dan diurut
secara sistematik. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks yang berisi mengenai prinsip-
prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana. Disamping buku teks,
bahan hukum lainnya dapat berupa tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku atau
pun jurnal-jurnal. Bahan Hukum Sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku teks yang
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder seperti kamus hukum,
encyclopedia, dan lain-lain. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI), Kamus Hukum, media massa, dan
Teknik memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi tiga studi,
sebagai berikut:
• Studi Dokumentasi, yaitu studi yang diperoleh dari dokumen negara seperti Peraturan Per
Undang-Undangan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah UUD NRI Th 1945, KUHP
• Studi Kepustakaan, yaitu teknik mengumpulkan bahan hukum dengan melakukan studi
penelaahan terhadap buku, catatan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang
hendak dipecahkan;
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder penelitian ini diperoleh dari
Universitas Warmadewa, Perpustakaan Daerah Kota Denpasar yang berkaitan dengan adanya
Metode yang digunakan dalam pengolahan maupun dalam analisis bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu suatu metode analisis data deskriptif yang
mengacu pada suatu permasalahan tertentu dan dikaitkan dengan pendapat para pakar hukum
namun tetap sistematik terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permasalahan
yang akan diajukan dalam penelitian ini. Analisis Interpretasi Hukum merupakan suatu tafsiran,
penjelasan, makna, arti, kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap suatu objek yang
dihasilkan dari pemikiran mendalam dan sangat dipengaruhi oleh latar belakang dalam
penelitian ini.
BAB II
soal hukum semata – mata melainkan juga menyangkut soal nilai – nilai moral atau kesusilaan
umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok – kelompok dalam masyarakat, hal ini
tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dengan kata lain pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk yang menentukan apakah
yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk
dapat dipidana karena perbuatannya itu. Apa yang dimaksud dengan celaan objektif adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang dilarang,
perbuatan dilarang yang dimaksud disini adalah perbuatan yang memang bertentangan atau
dilarang oleh hukum baik hukum formil maupun hukum materil. Sedangkan yang dimaksud
dengan celaan subjektif merujuk kepada sipembuat perbuatan terlarang tersebut, atau dapat
dikatakan celaan yang subjektif adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau
bertentangan dengan hukum. Apabila perbuatan yang dilakukan suatu perbuatan yang dicela
atau suatu perbuatan yang dilarang namun apabila didalam diri seseorang tersebut ada
pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau perbuatan
yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang sifat
Menurut Chairul Huda bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan
dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal ini berarti bahwa seseorang akan
mampunya pertanggungjawaban pidana bila ia telah melakukan perbuatan yang salah dan
bentuk mekanisme yang diciptakan untuk berekasi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu
pengertian perbuatan tindak pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban pidana, perbuatan
pidana hanya menunjukan kepada apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau dilarang
oleh hukum, mengenai apakah seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian
dipidana tergantung kepada apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut
Pertanggungjawaban pidana dalam common law system selalu dikaitkan dengan mens rea
disini memiliki fungsi control sisosial sehingga didalam masyarakat tidak terjadi tindak pidana.
Selain hal itu pertanggungjawaban pidana dalam common law system berhubungan
dengan mens rea, bahwa pertanggungjawaban pidana dilandasi oleh keadaan suatu mental
yaitu sebagi suatu pikiran yang salah ( a guilty mind). Guilty mind mengandung arti sebagai
suatu kesalahan yang subjektif, yaitu seseorang dinyatakan bersalah karena pada diri
pembuatan dinilai memiliki pikiran yang salah, sehingga orang tersebut harus
pembuat pidana harus dipidana. Tidak adanya pikiran yang salah ( no guilty mind) berarti tidak
Kesalahan sebagai bagian mens rea juga diartikan sebagai kesalahan karena melanggar
hukum, atau melanggar tata peraturan perundang – undangan. Setiap orang yang melakukan
pelanggaran terhadap undang – undang maka orang tersebut wajib bertanggungjawab atas
apa yang telah dilakukan. Kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban dalam pandangan ini
menjadikan suatu jaminan bagi seseorang dan menjadikan control terhadap kebebasan
seseorang terhadap orang lain. Adanya jaminan ini menjadikan seseorang akan terlindung dari
perbuatan orang lain yang melakukan pelanggaran hukum, dan sebagai suatu control karena
pidana.
Kitab Hukum Undang – Undang Pidana tidak menyebutkan secara jelas mengenai system
pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal dalam KUHP sering menyebutkan
kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan, namun sayangnya mengenai pengertian
kesalahan kesengajaan maupun kealpaan tidak dijelaskan pengertiannya oleh Undang – undang
tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai keselahan kesengajaan maupun kealpaan,
namun berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum mengenai pasal – pasal yang ada
dalam KUHP dapat simpulkan bahwa dalam pasal – pasal tersebut mengandung unsur – unsur
kesalahan kesengajaan maupun kealpaan yang harus dibuktikan oleh pengadilan, sehingga
untuk memidanakan pelaku yang melakukan perbuatan tindak pidana, selain telah terbukti
melakukan tindak pidana maka mengenai unsur keselahan yang disengaja ataupun kealpaan
juga harus dibuktikan. Artinya dalam hal pertanggungjawaban pidana ini tidak terlepas dari
peranan hukum untuk membuktikan mengenai unsur – unsur pertanggungjawaban pidana itu
sendir sebab apabila unsur – unsur tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya maka
Ada dua istilah menunjuk pada pertanggungjawab dalam kamus hukum, yaitu liability dan
responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua
karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi
semua karakter hak dan kewajiban secara actual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang – undang.
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan
bertanggung jawab atas undang – undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan
tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah
Dalam hukum pidana terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran atau suatu
perbuatan tindak pidana maka dalam pertanggungjawaban diperlukan asas – asas hukum
pidana. Salah satu asas hukum adalah asas hukum nullum delictum nulla poena sine pravia lege
atau yang sering disebut dengan asas legalitas, asas ini menjadikan dasar pokok yang tidak
tertulis dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana “tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan”. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya
seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Artinya seseorang baru dapat diminta
perbuatan yang melanggar peraturan perundang – undangan. Asas legalitas ini mengandung
pengertian, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang – undangan. Maksud dari hal
tersebut adalah seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila perbuatan itu
memang telah diatur, tidak dapat seseorang dihukum atau dimintakan pertanggungjawabannya
apabila peraturan tersebut muncul setelah adanya perbuatan pidana. Untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan kata kias, serta aturan – aturan hukum
Dalam hal ini pertanggungjawaban pidana terhadap WNA yang melakukan penganiayaan
harus memenuhi unsur – unsur antara lain, adanya suatu tindak pidana, dimana unsur
perbuatan merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggungjawaban pidana, karena
seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu perbuatan dimana perbuatan
yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang – undang hal itu sesuai
dengan asas legalitas yang kita anut. Asas legalitas nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali artinya tidak dipidana suatu perbuatan apabila tidak ada undang – undang atau
aturan yang mengatur mengenai larangan perbuatan tersebut. Dalam hukum pidana Indonesia
mengendalikan perbuatan yang konkret atau perbuatan yang tampak, artinya hukum
menghendaki perbuatan yang tampak keluar, karena didalam hukum tidak dapat dipidana
seseorang karena atas dasar keadaan batin seseorang, hal ini asas cogitationis poenam nemo
patitur, tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam fikirannya saja. Selanjutnya Unsur
Kesalahan, dimana kesalahan dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan
psikologi seorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang sedemikian rupa
sehingga berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku dapat dicela atas
perbuatannya. Pengertian kesalahan di sini digunakan dalam arti luas. Dalam KUHP kesalahan
digunakan dalam arti sempit, yaitu dalam arti kealpaan sebagaimana dapat dilihat dalam
rumusan bahasa Belanda yang berada dalam pasal 359 dan 360.
Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologi maupun dalam arti normative.
Kesalahan psikologis ini adalah kesalahan yang ada dalam diri seseorang, kesalahan psikologis
ini sulit untuk dibuktikan karena wujudnya tidak dapat diketahui. Dalam hukum pidana di
Indonesia sendiri yang digunakan adalah kesalahan dalam arti normative. Kesalah normative
adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain mengenai suatu perbuatan seorang. Kesalah
normative merupakan kesalahan yang dipandang dari sudut norma – norma hukum pidana,
yaitu kesalahan kesengajaan dan kesalahan kealpaan. Dari suatu perbuatan yang telah terjadi
maka orang lain akan menilai menurut hukum yang berlaku apakah terhadap perbuatan
tersebut terdapat kesalahan baik disengaja maupun karena suatu kesalahan kealpaan.
Dalam tindak pidana kebanyakan di Indonesia memiliki unsur kesengajaan atau opzettelijik
bukan unsur culpa. Hal ini berkaitan bahwa orang yang lebih pantas mendapatkan hukuman
adalah orang yang melakukan hal tersebut atau melakukan tindak pidana dengan unsur
kesengajaan. Mengenai unsur kesalahan yang disengaja ini tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku
dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupaka perbuatan yang bersifat
“jahat”. Sudah cukup dengan membuktikan bahwa pelaku menghendaki perbuatannya tersebut
dan mengetahui konsekuensi atas perbuataannya. Hal ini sejalan dengan adagium fiksi, yang
menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui isi undang-undang, sehingga di anggap
bahwa seseorang mengetahui tentang hukum, karena seseorang tidak dapat menghindari
aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui hukum atau tidak mengetahui bahwa hal itu
dilarang. Kesengajaan telah berkembang dalam yurisprudensi dan doktrin sehingga umumnya
• Sengaja sebagai maksud Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku
benar-benar menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan dan akibat
dari perbuatan yang pelaku perbuatan;
• Sengaja sebagi suatu keharusan Kesengajaan semacam ini terjadi apabila sipelaku dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat dari perbuatannya, tetapi ia
melakukan perbuatan itu sebagai keharusan untuk mencapai suatu tujuan yang lain Artinya
kesengajaan dalam bentuk ini, pelaku menyadari perbuatan yang ia kehendaki namun
pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatan yang telah ia perbuat;
Seorang yang melakukan tindak pidana baru boleh di hukum apabila si pelaku sanggup
erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang
menyatakan dengan tegas “Tidak dipidana tanpa ada kesalahan” untuk menentukan apakah
seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan
dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.
Secara doktriner tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan
perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela
pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur – unsur yang
telah ditemukan oleh undang – undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia
akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari
sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang
atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk
tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru
objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif
kepada pembuat yang memenuhi syarat – syarat dalam undang – undang (pidana) untuk dapat
dikenai pidana karena perbuatanya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban
pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan
adalah ditereskannya celaan yang objektif yang ada pada tindakan berdasarkan hukum yang
berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat undang – undang yang dapat
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, didalam Pasal 34 memberikan definisi
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban
pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus
pidana lahir dengan diteruskannya celaan ( vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan
yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat
tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terapat padanan
toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan
pemilihan dari berbagai alternative. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional
sebagai berikut antara lain “Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”
dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosofi besar dalam bidang hukum pada abad ke-20,
pendapatnya “I…. Use the simple word”liability” for the situation whereby one exact legally and
other is legally subjected to the exaction". Bertitik tolak pada rumusan tentang
“pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang
filosofi dan system hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan
perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan
sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari
seseorang yang telah “dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang –
undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya
keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi”
bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu
“kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus
“dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan
pelaku yang bersangkutan. Dalam hal ini pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana
tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis
sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan
dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau
kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang –
undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan
lebih lanjut dalam KUHP. Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal –
pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas
(strict liability). Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian
pidana diluar KUHP, seperti contoh dalam perundang – undangan dibawah ini :
KUHPP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan
undang – undang tersebut dapat dianalisis kecendrungan legislatif dalam menetapkan system
berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik negara – negara civil law maupun common
law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law sistem lainnya, undang – undang justru
dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal – hal yang
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam
hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan
pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus
hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi
meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat
suatu tindak pidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas
kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Asas kesalahan yaitu tiada pidana
tanpa kesalahan. Walaupun asas ini tidak secara tegas tercantum dalam KUHP maupun
peraturan lainnya, namun berlakunya asas tersebut sudah tidak diragukan lagi. Jadi
pertanggungjawaban pidana itu yaitu menyangkut pada diri “orang atau pelaku”.
tindak pidana dan memenuhi unsur – unsur yang telah ditentukan oleh undang – undang.
Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila
perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing juga dengan teorekenboardheid atau criminal
responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan
apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi
menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab antara lain yaitu kemampuan untuk
membeda – bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang
negara kepada seseorang yang hendak melanggar larangan. Pidana itu sebagai reaksi atas delik
yang dijatuhkan dan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
orang yang baik dan berguna. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan
Pidana merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan negara kepada seseorang yang
hendak melanggar larangan. Pidana itu sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan dan harus
berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang
dilakukan dalam hal ini terdapat perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan antara lain
pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan perkecualian perampasan
barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan pemerintah tetapi
hanya mengenai barang-barang yang disita. Sehingga pidana tambahan itu ditambahkan pada
tindakan, bukan pada pidana pokok. Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim
yakin mengenai tindak pidana dan kesalahan terdakwa, hakim tersebut tidak harus
PIDANA PENGANIAYAAN
Istilah pidana adakalanya disebut juga dengan istilah hukuman yang dalam bahasa
Belanda dikenal dengan satu istilah umum yaitu straf. Istilah pidana lebih tepat dari istilah
hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana didefinisikan
sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah
melanggar hukum pidana. Secara khusus larang dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak
pidana (strafbaar felt). Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukuman sedangkan
“pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu
hal alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah
berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Pidana
• Pidana itu pada hakikatnya adalah penjatuhan penderitaan atau nestapa atau
akibat – akibat lain yang yang tidak menyenangkan;
• Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang yang memiliki kekuasaan;
• Pidana itu dikenakan pada orang yang telah melakukan tindak pidana menuntut
undang – undang.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sanksi pidana adalah sanksi yang tajam,
karena bisa mengenai harta benda, kehormatan badan bahkan nyawa seseorang. Sanksi pidana
dikatakan sebagai sanksi yang mengandung “tragic” (tragis), sehingga pidana dikatakan
mengiris dagingnya sendiri, atau sebagai “pedang bermata dua”. Maknanya, hukum pidana
selain melindungi benda hukum juga mengadakan perlakukan terhadap pelanggar. Berdasarkan
beberapa pendapat para ahli Hukum Pidana diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dapat
dipertanggungjawabkan, yang mana perbuatan tersebut melanggar apa yang dilarang atau
Tujuan mencantumkan pidana pada setiap larangan dari hukum pidana ( strafbaar felt:
tindak pidana), disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi
kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk
melanggar hukum pidana. Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok,
yaitu sebagai termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dana kemudian
ditambah dengan golongan teori gabungan. Adapun teori – teori sebagai berikut Teori Absolut
atau Teori Pembalasan membenarkan pemidanaan Karena sesorang telah melakukan tindak
pidana. Penganjur teori ini antara lain Immanuel Kant yang mengatakan “Flat Justitia ruat
coelom” yang berarti walaupun besok dunia akan kiamat, namun penjahat terakhir harus
menjalankan pidananya. Teori absolute atau teori pembalasan ini terbagi dalam dua macam,
yaitu Teori Pembalasan yang Objektif, yang berorientasi pada pemenuhan kepuasan dari
perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam hal ini tindakan ini si pembuat kejahatan
harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu kerugian yang seimbang dengan
kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan. Teori pembalasan subjektif, yang
berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus
mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan
yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan. Teori
Relatif atau Teori Tujuan, teori ini mendasarkan pandangan bahwa dasar hukum pidana adalah
terletak pada tujuan pidana itu sendiri, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan
Penganjur teori ini antara lain Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan hanya dengan
mengadakan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan
pidana kepada si penjahat. Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan teori
absolut atau teori pemalasan. Jika dalam teori absolute tindak pidana dihubungkan dengan
kejahatan, maka dalam teori relative ditujukan kepada hari – hari yang akan datang, yaitu
dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat tadi, agar menjadi baik kembali.
Selain itu terdapat teori Gabungan disamping teori absolut dan teori relatif tentang
pemidanaan, muncul teori ketiga yang merupakan gabungan antara keduanya yang disebut
dengan teori gabungan. Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan bukan saja
sebagai pembalasan terhadap perbuatan penjahat tetapi juga untuk memperbaiki penjahat.
Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga
psikologis terhadap pelaku kejahatan, juga yang terpenting adalah memberikan pembinaan dan
pendidikan.
Menurut Soedarto, hukum pidana adalah hukum yang memuat aturan – aturan hukum
yang mengikat kepada perbuatan – perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu suatu
akibat pidana. Menurut Pompe, hukum pidana adalah semua aturan – aturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan – perbuatan apa sebenarnya dijatuhi pidana dan apakah
macamnya itu. Definisi hukum pidana diatas hanya mendefinisikan hukum pidana dalam arti
sempit saja, yaitu terbatas pada hukum pidana materiil saja yang menyangkut perbuatan –
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno, hukum pidana
adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar –
• Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
penganiayaan, tidak dikenakan hukuman . Hal ini dapat dimengerti sebab, jika tidak demikian ,
maka baru saja mengacungkan tangan sudah dapat dianggap melakukan percobaan melakukan
penganiayaan.
Menurut Dr. Wijono Prodjodikoro, S.H., apabila seseorang hanya mengaku mencoba
melukai biasa orang lain dengan menembak orang lain itu, tetapi karena menembak hampir
selalu mengakibatkan luka berat atau matinya orang lain itu. Maka meskipun hanya mengaku
mencoba melakukan penganiayaan biasa tanpa ada tanda – tanda lain si pelaku dapat saja
hukuman.
Didalam KUHP, penganiayaan merupakan istilah yang dipakai untuk tindak pidana terhadap
tubuh. Namun, Undang – undang tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai apa yang
penganiayaan yaitu “dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa
sakit, atau luka.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti penganiayaan adalah
perlakuan yang wewenang. Pengertian dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pengertian dalam arti luas, yakni yang menyangkut “perasaan” atau “batinlah”. Sedangkan
penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana yang berkenaan dengan tubuh
manusia.
Pada dasarnya pengertian penganiayaan memang tidak dimuat dalam KUHP, namun ada
beberapa penjelasan yang dapat dijadikan acuan untuk memahami apa yang dimaksud dengan
penganiayaan, yaitu dari segi tata bahasa dan pendapat para ahli. Menurut Tata Bahasa,
penganiayaan berasal dari kata “aniaya”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
“aniaya” diartikan sebagai perbuatan bengis seperti penyiksaan, penindasan. Sedangkan makna
Demikianlah pula apabila seseorang menusuk orang lain dengan pisau tetapi luput. Bahkan
apabila seseorang hanya memukul dengan kepalan tangan tetapi luput, jika yang memukul itu
misalnya seorang juara tinju, maka dapat dinyatakan orang itu melakukan tindak pidana
mencoba menganiaya berat. Jadi dapat dihukum. Secara umum tindak pidana terhadap tubuh
pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiyaan tersebut
banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiyaan diartikan
sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka
pada tubuh orang lain. Adapula yang memahami penganiayaan adalah dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan,
Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan) unsur kedua dan ketiga berupa
unsur objektif.
Jadi kesimpulannya untuk penganiayaan itu harus ada kesengajaan, yaitu maksud untuk
melukai atau menyebabkan sakit sebagai tujuan lain. Kalau tidak ada maksud demikian,
misalnya seorang dokter ahli bedah yang memotong lengan pasiennya atau seorang bengkong
menyunati anak, maka tidaklah dapat dikatakan sebagai penganiayaan meskipun operasi itu
Hukum pidana merupakan salah satu perangkat atau kaedah hukum yang telah
terkodefikasi didalam KUHP, dimana hukum di Indonesia yaitu mengatur hubungan antara
anggota masyarakat satu dengan yang lainnya, dan hubungan masyarakat dengan negara.
Maka dari itu, dapat dikatakan hukum pidana merupakan hukum publik.
Walaupun didalam KUHP memberikan suatu keabsahan dengan adanya delik aduan akan
tetapi tidak memberikan penjelasan yang memuaskan serta memadai, sejauh mana dari potensi
delik aduan memberikan suatu perlindungan terhadap kepentingan individu dan atau dengan
arti lain apakah tidak adanya pengaduan yang menyebabkan penuntutan tidak dapat
terlaksana, atau sebaliknya apakah dari delik aduan ini tidak diperdulikan oleh penegak hukum.
Dalam kondisi saat itu, maka akan ditemui semakin banyaknya bentuk penyimpangan –
penyimpangan norma hukum jika tidak dibarengi dengan amandemen undang – undang yang
selaras terhadap perubahan sosial kehidupan masyarakat, maka dalam suatu upaya penegak
hukum dapat kehilangan fungsi yang dapat mengakibatkan rendahnya kualitas hukum. Dengan
demikian, sebagai penegak hukum hendaknya tegas dalam menegakkan suatu keadilan, agar
• Nyawa manusia, bagi yang melanggar kepentingan hukum ini yaitu menghilangkan nyawa
orang lain akan diancam dengan antara lain pasal 338 KUHP. Manakala perbuatan tersebut
dilakukan dengan perencanaan, akan diancam dengan ketentuan pasal 340 KUHP. Demikian
juga manakala perbuatan atau tindakan dilakukan karena kelalaiannya, sehingga
menyebabkan matinya orang lain, maka akan diancam dengan pasal 359 KUHP;
• Badan atau tubuh manusia, yaitu ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan
perbuatan atau tindakan yang dapat membahayakan badan atau tubuh orang lain, akan
diancam antara lain dengan pasal 351 KUHP;
• Sanksi pidana terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana
penganiayaan
Setiap perbuatan seseorang yang melanggar, tidak mematuhi perintah – perintah dan
larangan – larangan dalam undang – undang pidana disebut dengan tindak pidana. Dari
batasan – batasan tentang tindak pidana itu kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk
terwujudnya suatu tindak pidana atau agar seseorang dapat dikatakan tindak pidana, haruslah
• Harus ada perbuatan manusia, jadi perbuatan manusia yang dapat mewujudkan tindak
pidana dengan demikian pelaku atau subjek tindak itu adalah manusia, hal ini tidak
hanya terlihat dari pernyataan “barangsiapa”. Didalam ketentuan undang – undang
pidana ada perkataan “seorang ibu”, “seorang dokter”, “seorang nahkoda” dan lain
sebagainya. Juga dari ancaman pidana dalam pasal 10 KUHP tentang macam – macam
pidana, seperti adanya pidana mati, pidana penjara diluar KUHP subjek tindak pidana itu
tidak hanya manusia juga suatu korporasi (kejahatan yang dilakukan korporasi, seperti
dalam Undang – undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang – undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang – Undang Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Undang – Undang Tindak
Pidana Pidana Pencucian Uang dan sebagainya).
• Perbuatan ini haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan undang –
undang, maksudnya adalah kalau seseorang itu dituduh atau disangka melakukan suatu
tindak pidana tertentu, misalnya melanggar ketentuan Pasal 362 KUHPidana, maka
unsur – unsur Pasal tersebut haruslah seluruhnya terpenuhi. Salah satu unsurnya tidak
terpenuhi maka perbuatan tersebut bukanlah melanggar Pasal 362 KUHPidana (tentang
pencurian).
“barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, degan maksud untuk dimiliki secara hukum, diancam karena pencurian dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Adanya kesengajaan atau kealpaan menjadi keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya
kesalahan. Haruslah dipahami bahwa kesalahan berkaitan dengan perbuatan – perbuatan yang
tidak patut dan tercela, artinya melakukan sesuatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakuka
atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kesalahan berarti mengetahui yang
menghendaki. Pengertian kesalahan disini adalah syarat utama untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan disamping adanya sifat melawan hukum, jadi kesalahan disini sebagai sifat yang
dapat dicela (can be blamed) dan tidak patut. Secara umum tindak pidana terhadap tubuh
dalam KUHP disebut penganiyaan. Dari segi tata bahasa, penganiyaan adalah suatu kata jadian
atau kata sifat yang berasal dari kata dasar “aniaya” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran
“an” sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata benda yang berasal dari kata aniaya
ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orag lain. Akan tetapi suatu perbuatan
yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebaga penganiayaan
kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan. Dalam kamus Bahasa
penindasan, dan sebagai). Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan
penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki kesengajaan dalam melakukan suatu
kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau
luka pada tubuh orang lain atau pun orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang
lain. Didalam KUHP yang disebut dengan tindak pidana terhadap tubuh disebut dengan
panganiayaan, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan
diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain”.
Pelaku tindak pidana yakni barang siapa yang melaksanakan semua unsur – unsur tindak
pidana sebagaimana unsur – unsur tersebut dirumuskan didalam undang – undang. Dalam
rangka melindungi serta kesejahteraan masyarakat, hukum pidana mempunyai posisi sentral
untuk menyelesaikan suatu konflik atau kejahatan yang terjadi. Salah satu perbuatan pidana
yang sering ditemukan serta mengundang perdebatan ditengah lingkungan masyarakat pada
Pada ketentuan KUHP tindak pidana penganiyaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian
yaitu tindak pidana penganiayaan biasa, tindak pidana penganiayaan ringan, tindak pidana
penganiayaan berencana, tindak pidana penganiayaan berat, tidnak pidana penganiayaan berat
berencana. Penganiayaan biasa yakni disebut sebagai penganiayaan pokok atau bentuk standar
terhadap pada ketentuan Pasal 351 dimana dalam hakikatnya semua penganiayaan yang bukan
penganiayaan berat serta bukan penganiayaan ringan. Berdasarkan ketentuan Pasal 351 KUHP
• Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan
dihukum dengan hukuman penjara paling selama – selamanya dua tahun delapan bulan
atau denda sebanyak – banyaknya tiga ratus rupiah;
• Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara
selama – lamanya lima tahun;
Perbuatan yang dilarang merupakan suatu perbuatan yang dilakukan “dengan sengaja”
untuk melanggar dari adanya hak yakni HAM seseorang. Dengan demikian, unsur – unsur delik
• Adanya kesengajaan;
• Adanya perbuatan;
• Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada
tubuh;
Selain itu, tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
352 KUHP. Penganiayaan ringan ini diancam dengan ketentuan maksimum hukuman penjara
tiga bulan dan atau denda tiga ratus rupiah, apabila tidak termasuk kedalam rumusan Pasal 353
dan 356, dan atau tidak menyebabkan rasa sakit atau halangan untuk menjalankan suatu
jabatan atau pekerjaan. Dimana hukuman ini biasanya ditambah dengan sepertiga bagi
seseorang yang melakukan tindak penganiayaan ringan terhadap orang yang sedang bekerja
Tindak penganiayaan tersebut berdasarkan pada ketentuan Pasal 352 ayat (1) KUHP yakni
suatu tindak penganiayaan tidak menjadikan kondisi sakit atau menjadikan terhalang untuk
melakukan jabatan atau suatu pekerjaan keseharian. Adapun unsur – unsur dari delik tindak
pidana penganiayaan ringan antara lain bukan penganiayaan biasa, serta bukan penganiayaan
yang dilakukan terhadap ayah atau ibu yang sah, serta istri atau anak, terhadap pegawai negeri
yang sedang dan atau karena menjalakan tugasnya yang sah dengan memasukan bahan
berbahaya bagi nyawa untuk dimakan atau diminum, serta tidak menimbulkan suatu penyakit
dahulu yaitu bahwa terdapat suatu jangka waktu berapapun singkatnya untuk memikirkan dan
mempertimbangkan dengan tenang. Dalam hal suatu perencanaan, tidak memerlukan tenggang
waktu lama antara waktu merencanakan serta waktu untuk melakukan tindak penganiayaan
berat atau sampai menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Sebaliknya meskipun terdapat
tenggang waktu yang tidak begitu singkat, belum tentu dapat dikatakan terdapat rencana
terlebih dahulu secara tenang, dimana hal tersebut bergantung pada keadaan konkrit dari
setiap peristiwa yang terjadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 353 KUHP yang menyatakan :
• Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum
dengan hukuman penjara paling lama empat tahun;
• Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum dengan hukuman paling
lama tujuh tahun;
• Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan hukuman paling
lama sembilan tahun.
Dalam hal ini, unsur – unsur yang terdapat pada tindak penganiayaan berencana yaitu
dimana segala sesuatu direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Dari
ketentuan 353 KUHP, dapat dikualifikasikan menjadi suatu tindak penganiayaan berencana
• Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak yang dilakukan dalam suasana
batin yang tenang;
b. bagaimana cara dan dengan alat apa saja serta bila mana saat yang tepat untuk
melaksanakan;
Tujuan dari adanya pemidanaan terhadap warga negara asing yang melakukan tindak
penganiayaan di wilayah negara republik Indonesia, guna untuk menghindari terjadinya ketidak
sewenang – wenangan warga negara asing saat berlibur ke Indonesia. Akan tetapi dalam hal ini
warga negara asing yang melakukan tindak pidana penganiayaan di Indonesia mendepatkan
suatu keringanan berupa pengurangan terhadap sanksi pidana yang menjerat, dikarenakan
warga negara asing merupakan salah satu sumber pendapatan di Indonesia dalam bidang
berlaku tidak sepenuhnya diterapkan pada warga negara asing, maka dari itu berdasarkan
ketentuan Pasal 351 KUHP bahwa warga negara asing setidaknya mendapatkan suatu
keringanan berdasarkan sanksi yang diatur dalam Pasal tersebut, agar tidak menyebabkan
• Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian bab di atas, dapat ditarik simpulan untuk menjawab masalah
pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi
pidana. Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau
perbuatan yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang
tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHPP dan KUHAP yang
bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta
proses beracara di pengadilan. Dari masing – masing undang – undang tersebut dapat
perkembangan kejahatan. Baik negara – negara civil law maupun common law, umumnya
demikian , maka baru saja mengacungkan tangan sudah dapat dianggap melakukan
kepentingan hukum ini yaitu menghilangkan nyawa orang lain akan diancam dengan antara
lain pasal 338 KUHP. Berdasarkan ketentuan Pasal 351 KUHP maka terdapat empat jenis
penganiayaan biasa antara lain Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka
berat maupun kematian dan dihukum dengan hukuman penjara paling selama – selamanya
dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak – banyaknya tiga ratus rupiah.
4.2 Saran
Berdasarkan simpulan tersebut diatas, dapat dikemukakan saran kepada para pihak terkait,
sebagai berikut :
• Bagi pemerintah dalam hal ini sebagai pejabat berwenang, maka wajib untuk mengkaji
ulang dari adanya KUHP terkait ketentuan sanksi pidana, agar segala sesuatu bentuk
• Bagi warga negara asing sebagai wisatawan tetap mentaati tata tertib yang berlaku dalam
• Bagi masyarakat hendaknya berperilaku sopan terhadap warga negara asing yang
berkunjung, selain itu segera melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila terjadi lagi
Buku-buku :
Abintoro Prakoso, 2014, Hukum dan Psikologi Hukum, Cetakan Pertama, LaksBang Grafika,
Yogyakarta.
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Rangkang Education,
Yogyakarta.
Arrasjid, Chainur, 2004, Dasar - Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Tiga, Sinar Grafika, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2013, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Sepuluh, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Bertens, K, 1993, Etika, Seri Filsafat Atmajaya: 15, Cetakan Pertama, Pt. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Bambang Waluyo, 2004, Pidana Dan Pemidanaan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Chainur Arrasjid, 2004, Dasar - Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Tiga, Sinar Grafika, Jakarta.
Chazawi, Adami, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
______, 2019, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Cetakan Delapan, Rajawali Pers, Depok.
C.S. T. Kansil, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Cetakan Lima, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Chairul Huda, 2006, Dari Tindak Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawab
Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta.
Diantha, Pasek, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum ,
Cetakan Tiga, Prenadamedia Group, Jakarta Timur.
Endro Purwoleksono, 2016, Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Airlangga University Press,
Surabaya.
Efendi, Widodo, Lutfianingsih, 2016, Kamus Istilah Hukum Populer, Cetakan Pertama,
Prenadamedia Group, Jakarta.
Frans Marimis, 2012, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia , Cetakan Pertama, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Harahap, Zairin, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Edisi Revisi, Cetakan Dua,
Rajawali Pers, Jakarta.
Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia
(Strict Liability dan Vicarious Liability), Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
H.Edi Setiadi dan Kristian, 2017, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan
Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Prenadamedia, Jakarta.
Huda, Choerul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan , Cetakan Pertama, Jakarta: Kencana.
Hanafi Amrani, Mahrus Ali, 2005, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Pertama,
Rajawali Pers, Jakarta.
_____, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Pertama, Rajawali Pers, Jakarta.
Ibrahim, Johni, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Tiga, Bayu Media
Publishing, Malang.
Lamintang, P.A.F., 2016, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia , Cetakan Dua, Sinar Grafika,
Bandung.
Laden Marpaung, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas dan
Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta.
Marzuki, Mahmud, 2016, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan Dua Belas, Prenadamedia
Group, Jakarta.
M. Sudrajatbesar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, CV Penerbit Remadja karya, Bandung.
Moeljalento, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi revisi, Renika Cipta, Jakarta.
Prasetyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, Cetakan Dua, Rajawali Pers, Jakarta.
Ridwan, 2006, hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana , Cetakan Pertama,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Santoso, Muhar Agus, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Averroes Press,
Malang.
Soetopo, Aliefien 2011, Mengenal Lebih Dekat: Wisata Alam Indonesia, Cetakan Pertama, Pacu
Minat Baca, Jakarta.
Sri Mamudji & Soerjono Soekanto, 2018, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat ,
Cetakan Delapan Belas, Rajawali Pers, Jakarta.
Pramana, & Hanief, 2018, Pengembangan Bisnis Pariwisata Dengan Media Sistem Informasi,
Cetakan Pertama, Andi, Yogyakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 2014, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cetakan Enam, Refika
Aditama, Jakarta.
Prakoso, Djoko, 1987, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia , Cetakan Pertama Yogyakarta:
Liberty.
Wolf, Martin, 2007, Globalisasi Jalan Menuju Kesjahteraan , Cetakan Pertama, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3886;
Kamus :
Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Jurnal :
Noviana, Ivo, 2015, "Kekerasan Seksual Terhadap Anak", Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Volume.01, Nomor.1, hal.15.
Suyanto, Sidik, 2013, "Dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Terhadap Perubahan Hukum dan Sosial di Dalam Masyarakat”. Jurnal Ilmiah WIDYA,
Volume.1, Nomor.1, hal.1.