Anda di halaman 1dari 59

PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH WNA

BERDASARKAN PERSPEKTIF KUHP

LISDAYANTI

NPM : 1610122065

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

2022
PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH WNA BERDASARKAN PERSPEKTIF KUHP

OLEH :

LISDAYANTI

NPM. 16.10.12.20.65

Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL, .. .......... 2022

Pembimbing I

Dr. I Nyoman Gede Sugiartha, SH., MH.


NIK. 230 330 116

Pembimbing II

A.A Sagung Laksmi Dewi, SH., MH.


NIK. 230 330 126

Mengetahui :
Fakultas Hukum
Universitas Warmadewa
Dekan,

Prof. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH., MH.


NIP. 195912311992031007
SKRIPSI INI TELAH DIUJI DAN DINYATAKAN TELAH LULUS
PADA TANGGAL, .. ...... 2022

Ketua, Sekretaris,

Dr. I Nyoman Gede Sugiartha, SH., MH. A.A Sagung Laksmi Dewi, SH., MH.
NIK. 230 330 116 NIK. 230 330 126

Anggota :

Prof. Dr. I Nyoman Putu Budiarta, SH.,MH.


NIK. 19591231 199203 1 007

I Made Minggu Widyantara, SH.,MH.


NIK. 230 330 119

I Nyoman Subamia, SH,M.Fils


NIP. 230 330 082
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa sepanjang pengetahuan saya, di

dalam naskah ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk

memperoleh gelar akademik di suatu perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah di tulis dalam naskah ini dan diterbitkan oleh orang lain, kecuali

secara terang dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar

bacaan.

Apabila ternyata di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan,

saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana

Hukum) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Denpasar, 2022
Yang membuat pernyataan,

Lisdayanti
NPM. 1610122065
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang

Widhi Wasa, karena atas anugerah dan karunia-Nya Skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan

judul : PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH WNA BERDASARKAN PERSPEKTIF

KUHP.

Skripsi ini merupakan kajian normatif yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah

dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa Strata 1 (satu) dalam menyelesaikan

masa belajarnya dan untuk membongkar masalah dalam bidang hukum serta memberikan

solusinya demi implementasi hukum yang berkeadilan, berkepastian dan bermanfaat.

Adapun keberhasilan di dalam penyusunan skripsi ini, tidak akan terwujud tanpa adanya

bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesepatan ini, penulis

mengucapkan rasa hormat dan terimakasih kepada :

• Bapak Prof. Dr. I Dewa Putu Widjana, DAP&E., Sp.ParK, selaku Rektor Universitas

Warmadewa Denpasar.

• Bapak Prof. Dr. I Nyoman Budiartha, SH., MH., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Warmadewa.

• Bapak Dr. I Nyoman Gede Sugiartha, SH., MH., selaku Wakil Dekan I, sekaligus selaku

dosen Pembimbing I (satu), terimakasih atas bimbingan, arahan dan saran yang

diberikan.

• Ibu A.A Sagung Laksmi Dewi, SH., MH., selaku Wakil Dekan II, sekaligus dosen

pembimbing II (dua), terimakasih atas bimbingan, arahan dan saran yang diberikan.

• Bapak I Nyoman Sutama, SH.,MH., selaku dosen pembimbing akademik, terimakasih

atas bimbingan, arahan dan saran yang diberikan.


• Bpk/Ibu Dosen beserta staf Fakultas Hukum Universitas Warmadewa terimakasih atas

ilmu dan bimbingannya selama ini.

• Kedua Orang Tua (Bapak dan Ibu) serta keluarga yang penulis sayangi yang telah

memberikan doa, serta dukungan baik moral dan material.

• Seluruh sahabat yang selama ini turut serta membantu dan memberikan semangat

selama proses penyusunan Skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan penulis, demikian juga skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, sehingga segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan

penulis guna kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga karya tulis ilmiah

skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi aktifitas akademik dan pengembangan ilmu

hukum khususnya. Atas perhatian dan kerjasamanya penulis ucapkan terima kasih.

LISDAYANTI
NPM. 1610122065
ABSTRAK

Era Globalisasi menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang terbuka bagi masuknya
warga negara asing untuk beraktivitas baik di bidang industri, wisata maupun perdagangan
lainnya di Indonesia. Semakin berkembangnya ilmu teknologi, memungkinkan masyarakat
untuk lebih konsumtif dalam menggunakannya. Dilihat berdasarkan perspektif psikologi, kerap
ditemukan para wisatawan asing yang memiliki perilaku menyimpang dari norma hukum yang
ada di Indonesia. Salah satunya dari perbuatan menyimpang yaitu tindak pidana penganiayaan
yang dilakukan oleh seorang warga negara asing kepada warga negara Indonesia di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada pun rumusan masalah. (1) Bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana
penganiayaan ? (2) Bagaimanakah sanksi pidana yang diberikan kepada warga negara asing
yang melakukan tindak pidana penganiayaan ? Penelitian ini menggunakan metode normatif
dikarenakan masih terdapat norma yang kabur, dengan bersumber pada pendapat para sarjana
hukum dan Undang-Undang. Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila
suatu hal atau perbuatan yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang
dapat hilang sifat bertanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang
menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang.

Kata Kunci : WNA, Tindak Pidana Penganiayaan


ABSTRACT

The globalization Era makes Indonesia an open country for the inclusion of foreign
nationals to do activities in the field of industry, tourism and other trade in Indonesia. The
growing technology science, allows the community to be more consumptive in using it. Viewed
based on a psychology perspective, often found foreign tourists who have deviated behaviour
from the legal norm in Indonesia. One of them is a criminal act of persecution committed by a
foreign citizen to an Indonesian citizen in the territory of the unitary Republic of Indonesia.
There is no problem formulation. (1) How is a criminal liability for foreign nationals who
commit a criminal act of persecution? (2) How is the criminal sanction given to a foreign citizen
committing a criminal act of persecution? This research uses the normative method because
there is still a vague norm, by being sourced to the opinion of the law scholars and the law. A
person will have the nature of a criminal liability if a thing or deed is done by him or herself is
against the law, but one can be lost in his responsibility when he is found an element that
causes One's own loss of responsibility.

Keywords : Foreigners, Criminal Acts of Persecution


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................ii

HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................iii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................iv

PERNYATAAN ORISINALITAS...........................................................v

KATA PENGANTAR.............................................................................vi

ABSTRAK...........................................................................................viii

ABSTRACT.........................................................................................ix

DAFTAR ISI.......................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................7

1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................7

1.3.1 Tujuan Umum..........................................................................7

1.3.2 Tujuan Khusus.........................................................................8

1.4 Kegunaan Penelitian..........................................................................8

1.4.1 Kegunaan Teoritis....................................................................8

1.4.2 Kegunaan Praktis.....................................................................8

1.5 Tinjauan Pustaka..............................................................................9

1.6 Metode Penelitian..............................................................................17

1.6.1 Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah....................................17

1.6.2 Sumber Bahan Hukum..............................................................18

1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum..........................................19

1.6.4 Analisis Bahan Hukum..............................................................20


BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP WARGA

NEGARA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN

..............................................................................................

21

• Pengaturan tentang Pertanggungjawaban Pidana terhadap warga negara

asing yang melakukan tindak pidana penganiayaan.........................21

• Bentuk Pertanggungjawaban Pidana..............................................29

BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN.....................37

• Pengaturan sanksi pidana terhadap warga negara asing yang melakukan

tindak pidana penganiayaan..........................................................37

• Sanksi pidana terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana

penggelapan ...............................................................................45

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN...........................................................51

• Simpulan......................................................................................51

• Saran...........................................................................................52

DAFTAR BACAAN...................................................................................xii
BAB I

PENDAHULUAN

• Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1

ayat (3) UUD NRI Th 1945. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan

perlindungan hukum bagi rakyatnya. Perlindungan hukum yang dimaksud yaitu perlindungan

terhadap serangkaian tindakan pemerintah yang berlandaskan pada 2 (dua) prinsip, yaitu

prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terletak di Asia Tenggara.

Jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebanyak 17.508 pulau dengan keseluruhan

wilayahnya adalah sebesar 1,904,569 km 2, selain itu Indonesia juga merupakan negara hukum.

Indonesia memiliki warga negara yang dapat dikatakan terbanyak di Asia Tenggara, dimana

warga negaranya memiliki kedudukan secara bersamaan di dalam hukum, tiap - tiap warga

negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan berhak

untuk mendapat pengajaran. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran untuk mengusahakan

dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang - Undang.

Adanya suatu perkembangan zaman, ditandai dengan kemajuan teknologi disebut dengan

istilah lain dari Globalisasi. Globalisasi adalah produk perkembangan ilmu pengetahuan, daya

inovasi, dan teknologi yang semakin mengecilkan arti tapal batas politik dan geografi. Arus

globalisasi yang telah terjadi, menimbulkan berbagai macam bentuk masalah dimana hampir

terjadi pada seluruh aspek kehidupan manusia meliputi bidang budaya, sosial, politik, ekonomi,

ilmu pengetahuan, dan teknologi sehingga terdapat suatu perubahan - perubahan secara

mendasar dalam kebiasaan masyarakat sehari-hari seperti perubahan terhadap pola pikir dan
tingkah laku masyarakat sehari-harinya. Dapat dikatakan bahwa hukum tidak bersifat boleh

statis, melainkan harus bersifat dinamis, serta selalu diadakan perubahan sejalan dengan

perkembangan zaman dan dinamika kehidupan sosial dalam masyarakat.

Era Globalisasi menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang terbuka bagi masuknya

warga negara asing untuk beraktivitas baik di bidang industri, wisata maupun perdagangan

lainnya di Indonesia. Semakin berkembangnya ilmu teknologi, memungkinkan masyarakat

untuk lebih konsumtif dalam menggunakannya. Pada dewasa ini di dalam lingkungan

masyarakat, banyak terdapat para wisatawan asing diberbagai belahan dunia yang

menghabiskan waktu berliburnya ke Indonesia. Dikarenakan Indonesia tidak hanya kaya akan

sumber daya alamnya yang terdiri dari hutan, laut, dan sungai menghasilkan pula potensi

wisata alam yang luar biasa. Hampir setiap jengkal tanah negeri ini memiliki potensi wisata

alam yang memukau. Tidak heran jika hampir rata – rata setiap wilayah di bumi Nusantara ini

memiliki objek wisata. Alam pegunungan dan segala sesuatu yang menjadi habitat pegunungan

bisa menjadi objek wisata yang sangat diminati. Apalagi bagi orang kota yang mendambakan

kesejukan udara pegunungan objek wisata pegunungan menjadi sarana wisata bagi seluruh

keluarga. Demikian juga pesona alam lainnya seperti danau atau sumber – sumber mata air

panas yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Menurut soerjono soekanto :

“Psikologi hukum di satu pihak menelaah tentang faktor-faktor psikologis yang mendorong
orang untuk mematuhi hukum. Selain itu, psikologi hukum meneliti faktor-faktor yang
mungkin mendorong orang untuk melanggar hukum”.

Jika dilihat berdasarkan perspektif psikologi, kerap ditemukan para wisatawan asing yang

memiliki perilaku menyimpang dari norma hukum yang ada di Indonesia. Salah satunya dari

perbuatan menyimpang yaitu tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh seorang warga

negara asing kepada warga negara Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Warga negara asing atau WNA dalam hal ini merupakan warga yang menetap di suatu negara

namun bukan merupakan warga negara tersebut. Seperti halnya di Indonesia, WNA merupakan

warga negara luar atau luar negeri yang menetap di Indonesia karena adanya keperluan

tertentu seperti liburan, bisnis, edukasi, dan lain – lain. Dimana yang disebut dengan

Penganiayaan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang

mengakibatkan luka memar, luka parah dan tidak menyebabkan kematian terhadap korban.

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut sebagai “Penganiayaan”.

Penganiayaan memang sering terjadi di masyarakat. Mulai penganiayaan ringan sampai

penganiayaan yang menyebabkan kematian. Hal tersebut dikarenakan adanya berbagai faktor

diantaranya seperti faktor ekonomi, lingkungan, dan dalam kehidupan sehari – hari telah

banyak terjadi tindak penganiayaan yang biasanya dilakukan oleh laki – laki dan perempuan.

Dalam kehidupan manusia sering kali ditemukan adanya bentuk kekerasan terhadap sesama.

Berdasarkan ketentuan pasal 351 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut

dengan KUHP), menyatakan :

• Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
• Jika perbuatan mengakibatkan luka – luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
• Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
• Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
• Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Peraturan hukum yang berlaku di negara Indonesia merupakan suatu peraturan yang

harus ditaati oleh warga negara Indonesia. Menurut ketentuan pasal 26 ayat (1) Undang –

Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945), menyatakan :

“Yang menjadi warga negara ialah orang – orang bangsa Indonesia asli dan orang – orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang – undang sebagai warga negara”.
Selain warga negara Indonesia, peraturan yang berlaku juga harus ditaati bagi para

pendatang atau warga negara asing yang bertempat tinggal di negara Indonesia. Apabila

seorang warga negara asing yang melakukan suatu perbuatan menyimpang dan atau

perbuatan melawan hukum, dimana hal tersebut dilakukan diwilayah negara kesatuan republik

Indonesia, maka wajibnya tunduk pada peraturan hukum yang berlaku diwilayah negara

tersebut. Dalam hal ini, apabila seseorang yakni warga negara asing yang melakukan suatu

perbuatan melawan hukum, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 71 Undang – Undang No 6

Tahun 2011 tentang Imigrasi, menyatakan :

“Setiap warga negara asing yang berada diwilayah Indonesia wajib :


• Memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau
keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganergaraan,
pekerjaan, penjamin, atau perubahan alamatnya kepada kantor imigrasi setempat; atau
• Memperlihatkan dan menyerahkan dokumen perjalanan atau izin tinggal yang dimilikinya
apabila diminta oleh pejabat imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan
keimigrasian.”

Berdasarkan ketentuan pasal diatas, bahwa warga negara asing harus mengikuti atau

mentaati segala tata cara prosedur yang terdapat di negara dimana ia sedang berlibur, agar

apabila terjadi suatu perbuatan melawan hukum maka hal tersebut akan segera diproses. Suatu

tindak penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang melanggar Hak Asasi Manusia yang

dimiliki oleh seseorang, dimana pada dewasa ini di dalam dunia pariwisata banyak dijumpai

adanya suatu perbuatan tersebut dari warga negara asing. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat

1 Undang – Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut dengan

UU HAM), menyatakan :

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dalam hal ini Hak Asasi Manusia yang dimiliki seseorang haruslah dihormati berdasarkan

pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang

merupakan Anugerah-Nya. Segala perbuatan yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang - undangan belum dapat dikatakan efektif, dikarenakan masih banyak terdapat

suatu perbuatan melawan hukum, dimana perbuatan ini dilakukan oleh warga negara asing.

Pernyataan tersebut merupakan suatu kendala yang akan dialami oleh warga negara Indonesia

selaku penduduk asli diwilayah tersebut, ketentuan sanksi pidana yang memikat dapat

dikatakan masih kurang cukup untuk diterapkan bagi warga negara asing yang melakukan

tindak pidana penganiayaan di wilayah negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, sanksi yang

berlaku bagi warga negara asing bersifat ringan dari pada sanksi tindak pidana yang dilakukan

oleh warga negara Indonesia.

Dalam hal ini warga negara asing merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas

pariwisata di Indonesia. Namun demikian, posisi strategis warga negara asing untuk

meningkatkan mutu dari hasil kepariwisataan sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi, faktor

kesejahteraannya, dan lain sebagainya. Dalam perspektif psikologi, jiwa manusia bersama

raganya merupakan satu kesatuan (entitas) yang tidak dapat dipisahkan. Apa yang terjadi di

dalam jiwa itu akan tampak di dalam raganya, selain itu kecepatan reaksi jiwa manusia dapat

diukur pada kecepatan reaksi dalam gerak – gerik badannya.

Sehingga dalam penelitian ini, penulis lebih mendalami tentang sanksi yang diterapkan atau

berlaku bagi warga negara asing yang melakukan tindak penganiayaan, dimana apakah sanksi

tersebut diperlakukan sama dengan sanksi tindak pidana yang diperbuat warga negara

Indonesia. Selain itu juga karena belum ada yang meneliti dengan permasalahan yang sama,

membuat penulis ingin mengkaji lebih dalam terkait permasalahan yang telah dijabarkan.
Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis mengajukan judul proposal penelitian,

yakni : Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh WNA Berdasarkan Perspektif KUHP.

• Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut diatas. Maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

• Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi warga negara asing yang melakukan

tindak pidana penganiayaan ?

• Bagaimanakah sanksi pidana yang diberikan kepada warga negara asing yang

melakukan tindak pidana penganiayaan ?

• Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai bagi

seorang peneliti. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini memiliki dua tujuan,

yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Untuk lebih jelas, kedua tujuan tersebut dapat

dipaparkan sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dalam penelitian ini, sebagai berikut :

• Untuk melatih mahasiswa dalam penulisan karya tulis ilmiah;

• Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya dalam bidang penelitian

yang dilakukan oleh mahasiswa;

• Untuk mengembangkan pribadi mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat;


1.3.2 Tujuan Khusus

Terdapat dua tujuan khusus berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan

dalam penelitian ini, adapun tujuan khusus dalam penelitian ini, sebagai berikut :

• Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi warga negara asing yang melakukan

tindak pidana penganiayaan di Indonesia;

• Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap warga negara asing yang melakukan tindak

penganiayaan di wilayah negara Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.

Adapun kegunaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu

hukum di Indonesia terutama dalam bidang pendidikan, serta dapat juga sebagai bahan dalam

kajian serta penelitian-penelitian mendatang yang relevan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Agar penulis memiliki wawasan terkait suatu tindak pidana penganiayaan;

• Agar masyarakat mengetahui sanksi pidana yang berlaku terhadap WNA;

• Sebagai masukan bagi pemerintah untuk mengkaji ulang dari adanya ketentuan sanksi

pidana dalam KUHP.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sebagai landasan di dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis

akan berpijak kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disamping itu pula
akan dipakai sebagai pegangan adalah pendapat - pendapat dari para sarjana terkait dengan

permasalahan tersebut di atas.

Hukum sebagai sebuah istilah yang kemudian didefinisikan berdasar pada sudut pandang

setiap orang sebenarnya memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga dapat diartikan apa

saja sesuai dengan paradigma hukum ataupun pemahaman hukum oleh masyarakat itu sendiri.

Abdul Manan menyatakan :

”Fungsi hukum yang diharapkan setelah diciptakan atau diubah melalui peraturan
perundang-undangan dengan menggunakan instrumen-instrumen, antara lain :
• Standard of Conduct : merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati
oleh setiap orang dalam bertindak, dalam melakukan hubungan satu dengan yang lain;
• As a Tool of Social Engineering : sebagai saran atau alat untuk mengubah masyarakat ke
arah yang lebih baik lagi, baik secara pribadi maupun dalam hidup masyarakat;
• As a Tool of Social Control : sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan perbuatan
manusia, agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma hukum, agama,
dan kesusilaan;
• As Facility on Human Interaction : yakni hukum berfungsi tidak hanya menciptakan
ketertiban, tetapi juga menciptakan perubahan.

Secara umum dapat dilihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa

norma dan atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan

menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat

berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.

Grolier menyatakan, bahwa :

" Hukum dapat didefinisikan secara luas sebagai suatu standar sistem dan aturan yang ada
dalam masyarakat..."
Untuk memperdalam pengertian hukum, terdapat beberapa pendapat para ahli hukum

yang telah memberikan definisi yang antara lain, sebagai berikut:

• Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika
dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu;
• Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk
tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana
seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-
tama, hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang telah dipilih oleh masyarakat tempat
hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.

Pada ketentuan norma hukum, terdapat suatu ketentuan peraturan yang khusus mengatur

mengenai sanksi-sanksi pidana terkait perilaku masyarakat yang tidak berdasar pada norma

hukum yang ada, disebut dengan hukum pidana. Hukum pidana adalah bagian dari hukum

yang paling sulit. Ruang lingkup pengertian hukum pidana dapat bersifat luas dan dapat pula

bersifat sempit. Hukum pidana sebagai bentuk hukum yang "memaksakan" sanksi dalam

pelanggaran atau perbuatan kejahatan. Pompe menyatakan bahwa :

”Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-


perbuatan yang dapat di hukum dan aturan pidananya".

Menurut Ch. J. Enschede - M. Bosch menyatakan bahwa :

"Menurut metodenya, maka hukum pidana dapat dibedakan menjadi ilmu hukum pidana
normatif, ilmu hukum pidana berdasarkan kenyataan (fakta), filsafat hukum pidana yang
bukan ditujukan pada diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakkan tertib hukum,
melindungi masyarakat hukum".
Terdapat suatu istilah Deterrence, berarti menjera atau mencegah sehingga baik pelaku

tindak pidana sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera

atau takut melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.

Pada ketentuan hukum pidana, terdapat asas-asas yang menentukan bahwa tiap-tiap

peristiwa pidana (delik/tindak pidana) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-

undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum

orang itu melakukan perbuatan, asas tersebut dinamakan asas legalitas. Menurut ketentuan

Pasal 1 ayat (1) KUHP, menyatakan :

"Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang terlebih dahulu dari perbuatan itu".

Menurut Anselm von Feuerbach, seorang Sarjana Hukum Pidana Jerman, merumuskan asas

legalitas dalam bahasa Latin, yaitu :


• Nulla poena sine lege : tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;
• Nulla poena sine crimine : tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
• Nullum crimen sine poena legali : tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang.

Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena

sine praevia lege poenali. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa

ketentuan undang-undang terlebih dahulu. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan

kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.

Menurut ketentuan KUHP, tindak pidana dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam

kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat

undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana

atau perbuatan pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Pompe merumuskan

Strafbaarfeit dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai:

"Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja
ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum".

Untuk dapat dipidananya si pelaku yang melakukan tindak pidana, diharuskan tindak

pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur - unsur delik yang telah ditentukan dalam

ketentuan Undang-Undang. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku

dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka

dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana. Pemahaman kemampuan

bertanggungjawab menurut beberapa pandangan adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini,

sebagai berikut:

Van Hamel berpendapat, bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan


normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga macam kemampuan :
• Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri;
• Untuk menyadari perbuataannya sebagai suatu yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat,
dan;
• Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.
Terdapat suatu konsep terkait pertanggungjawaban pidana di dalam hukum pidana, yakni:

• Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan ( liability without fault). Ini
berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana, jika ia telah melakukan perbuatan
sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap
batinnya.
• Vicarious Liability adalah dimana orang bertanggungjawab atas perbuatan orang lain.
Namun, dalam Naskah Rancangan KUHP baru telah dirumuskan dalam Pasal 35 dan Pasal
36 sebagai pengecualian asas kulpabilitas.

Pada saat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana

yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 1

Tahun 1964 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya

sebagaimana yang ditentukan dalam Undang - Undang No. 1 Tahun 1960 tentang perubahan

KUHP, Undang-Undang No. 16 prp Tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP,

Undang-Undang No. 18 prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP.

Upaya menghadirkan suatu perangkat hukum yang sesuai dengan perkembangan dunia

pendidikan menjadi suatu yang harus segera diwujudkan oleh pemerintah. Dengan

dikeluarkannya UU Kepariwisataan, maka era peraturan perundang-undangan dunia pariwisata

di Indonesia dapat berkembang. Tujuan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan terhadap

penegak hukum dalam permasalahan tingkah laku serta perbuatan sangat penting, hal ini dapat

dicermati dalam konsiderat menimbang UU Kepariwisataan, menyatakan :

• bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta
peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam
Pancasila dan Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• bahwa kebebasan melalukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud
berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia;
• bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang
dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab
dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai - nilai agama, budaya yang hidup
dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional;
• bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan
kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global;
• bahwa Undang - Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan tidak sesuai lagi
dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan sehingga perlu diganti;
• bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang - Undang tentang Kepariwisataan;

Berdasarkan Ketentuan Umum UU No.10 Tahun 2009 dimana ditetapkan berbagai


ketentuan yang terkait dengan kepariwisataan, menyatakan sebagai berikut :
"Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang
dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau
mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu tertentu".

Dalam proses wisata, seorang wisatawan asing dituntut untuk dapat mengikuti serta

mentaati setiap peraturan perundang - undangan yang berlaku di negara Indonesia. Strategi

dari kepariwisataan aktualisasinya berwujud serangkaian dari keseluruhan tindakan strategis

para wisatawan asing dalam rangka berlibur serta menikmati keindahan alam yang berada di

Indonesia. Pariwisata sebagai suatu sistem mengacu pada pengertian sebagai seperangkat

komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Selaku suatu sistem,

kegiatan pariwisata meliputi suatu komponen antara lain tujuan, bahan, wisatawan asing,

guide, kuliner, situasi dan evaluasi. Agar tujuan tercapai, maka semua komponen yang ada

harus diorganisasikan sehingga antar sesama komponen terjadi kerja sama, karena itu seorang

guide tidak boleh hanya memperhatikan komponen tertentu saja, tetapi harus

mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.

Saat proses pariwisata berlangsung, dewasa ini masih ditemukan tindak kekerasaan yang

dilakukan oleh wisatawan asing kepada para warga negara lokal saat sedang berlibur. Dimana,

dapat dikatakan hal tersebut sebagai suatu tindak kejahatan yang diibaratkan sebagai pengisap

energi suatu bangsa. Kejahatan kekerasan digolongkan menjadi beberapa kejahatan, salah

satunya kejahatan penganiayaan menurut ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP, menyatakan:
"Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Definisi "Penganiayaan" menurut ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP, maka orang tersebut

harus memenuhi unsur-unsur kesengajaan (Opzetelijk) untuk :

• Menimbulkan rasa sakit pada orang lain;


• Menimbulkan luka pada tubuh orang lain;
• Merugikan kesehatan orang lain.

Tindak pidana penganiayaan yang terjadi, merupakan satu bentuk pelanggaran terhadap

Hak Asasi Manusia seseorang. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (selanjutnya disebut UU HAM) menyatakan :

"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".

Apabila di dalam kehidupan sehari-hari seseorang mendapat perlakuan tidak sewenang -

wenang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU HAM, menyatakan :

"Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah
dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis kepada Komnas
HAM".

Tindak penganiayaan yang terjadi dalam dunia kepariwisataan merupakan salah satu

bentuk kesewenang - wenangan dan atau tindakan menyimpang dari norma - norma hukum

yang telah ada, dimana kewajiban dari seorang wisatawan asing yaitu mentaati segala

peraturan yang ada baik peraturan perundang - undangan maupun peraturan yang terkait

dalam hal itu, akan tetapi terdapat tindak kekerasan penganiayaan dari seorang wisatawan

asing terhadap penduduk lokal. Dalam hal ini seorang wisatawan asing terancam sanksi pidana

sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP, apakah penerapan sanksi

pidana yang diterapkan kepada warga negara asing dapat berlaku sama terhadap sanksi pidana

yang diterapkan kepada warga lokal, agar kedepannya seorang warga negara asing tidak

berbuat sesukanya dimana tempat ia sedang berkunjung. Dengan demikian, diperlukannya


suatu kepastian hukum agar terdapat suatu keadilan bagi masyarakat lokal tanpa adanya tindak

diskriminatif.

• Metode Penelitian

• Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah

Mengacu pada perumusan masalah, maka tipe penelitian yang digunakan dalam

penulisan ini yaitu penelitian normatif. Soerjono Soekanto, menyatakan:

"Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka".

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian terhadap

asas-asas hukum. Pada penelitian normatif mengkaji mengenai analisis pengertian - pengertian

dalam hukum atau konsep-konsep dalam hukum, analisis asas dan sistem hukum, analisis

norma hukum, dan analisis keberlakuan hukum.

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang - undangan

(Statue approach), karena aspek yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi

fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Penelitian yang penulis lakukan dalam penulisan

ini akan melihat berbagai peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU Imigrasi dan

peraturan - peraturan yang lainnya yang terkait seperti KUHP serta peraturan lain yang terkait

dengan tindak pidana penganiayaan baik di dalam Pasal 351 KUHP dan ketentuan peraturan

UUD 1945.

• Sumber Bahan Hukum


Pada karya ilmiah ini, faktor bahan hukum merupakan hal yang sangat penting untuk

menentukan berhasil tidaknya penelitian ini sehingga dianggap perlu oleh penulis agar

terciptanya keterkaitan yang saling menunjang satu demi satu dengan lainnya. Berdasarkan

jenis bahan hukum dalam penelitian ini adalah:

• Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan atau aturan hukum yang mengikat dan diurut

secara sistematik. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Adapun yang

menjadi bahan hukum primer dari penelitian ini adalah :

• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Pasal 351 ayat (1);

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

• Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks yang berisi mengenai prinsip-

prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana. Disamping buku teks,

bahan hukum lainnya dapat berupa tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku atau

pun jurnal-jurnal. Bahan Hukum Sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku teks yang

terkait dengan tindak pidana penganiayaan.

• Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder seperti kamus hukum,

encyclopedia, dan lain-lain. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI), Kamus Hukum, media massa, dan

lain-lain sebagai penunjang.

• Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi tiga studi,

sebagai berikut:

• Studi Dokumentasi, yaitu studi yang diperoleh dari dokumen negara seperti Peraturan Per

Undang-Undangan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah UUD NRI Th 1945, KUHP

dan UU Kepariwisataan, UU Keimigrasian, dan UU Hak Asasi Manusia;

• Studi Kepustakaan, yaitu teknik mengumpulkan bahan hukum dengan melakukan studi

penelaahan terhadap buku, catatan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang

hendak dipecahkan;

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder penelitian ini diperoleh dari

penelusuran kepustakaan dari berbagai buku-buku, literatur, makalah yang menunjang

penelitian, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Perpustakaan Pusat

Universitas Warmadewa, Perpustakaan Daerah Kota Denpasar yang berkaitan dengan adanya

hak membela diri dan sanksi pidana kekerasan tindak penganiayaan.

• Analisis Bahan Hukum

Metode yang digunakan dalam pengolahan maupun dalam analisis bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu suatu metode analisis data deskriptif yang

mengacu pada suatu permasalahan tertentu dan dikaitkan dengan pendapat para pakar hukum

maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Deskriptif adalah


pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh

namun tetap sistematik terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permasalahan

yang akan diajukan dalam penelitian ini. Analisis Interpretasi Hukum merupakan suatu tafsiran,

penjelasan, makna, arti, kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap suatu objek yang

dihasilkan dari pemikiran mendalam dan sangat dipengaruhi oleh latar belakang dalam

penelitian ini.
BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING YANG


MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

• Pengaturan tentang Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Warga

Negara Asing Yang Melakukan Tindak Pidana Penganiayaan

Dalam Bahasa Inggris pertanggungjawaban pidana disebut sebagai responbility, atau

criminal liability. Konsep pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut

soal hukum semata – mata melainkan juga menyangkut soal nilai – nilai moral atau kesusilaan

umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok – kelompok dalam masyarakat, hal ini

dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dicapi dengan memenuhi keadilan.

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seoarang

tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.

Dengan kata lain pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk yang menentukan apakah

seseorang tersebut dibebaskan atau dipidana.

Menurut Roeslan Saleh pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan

yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk

dapat dipidana karena perbuatannya itu. Apa yang dimaksud dengan celaan objektif adalah

perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut merupakan perbuatan yang dilarang,

perbuatan dilarang yang dimaksud disini adalah perbuatan yang memang bertentangan atau

dilarang oleh hukum baik hukum formil maupun hukum materil. Sedangkan yang dimaksud

dengan celaan subjektif merujuk kepada sipembuat perbuatan terlarang tersebut, atau dapat

dikatakan celaan yang subjektif adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang atau

bertentangan dengan hukum. Apabila perbuatan yang dilakukan suatu perbuatan yang dicela
atau suatu perbuatan yang dilarang namun apabila didalam diri seseorang tersebut ada

keselahan yang menyebabkan tidak dapat bertanggungjawab maka pertanggungjawaban

pidana tersebut tidak mungkin ada.

Dalam pertanggungjawaban maka beban pidana pertanggungjawaban dibedakan kepada

pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau perbuatan

yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang sifat

bertanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang menyebabkan

hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang.

Menurut Chairul Huda bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan

dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal ini berarti bahwa seseorang akan

mampunya pertanggungjawaban pidana bila ia telah melakukan perbuatan yang salah dan

bertentangan dengan hukum. Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah suatu

bentuk mekanisme yang diciptakan untuk berekasi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu

yang telah disepakati.

Unsur kesalahan merupakan unsur utama dalam pertanggungjawaban pidana. Dalam

pengertian perbuatan tindak pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban pidana, perbuatan

pidana hanya menunjukan kepada apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau dilarang

oleh hukum, mengenai apakah seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian

dipidana tergantung kepada apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut

memiliki unsur kesalahan atau tidak.

Pertanggungjawaban pidana dalam common law system selalu dikaitkan dengan mens rea

dan pemidanaan (punishment). Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan denga

kemasyarakat yaitu hubungan pertanggungjawaban dengan masyarakat sebagai fungsi, fungsi


disini pertanggungjawaban memiliki daya penjatuhan pidana sehingga pertanggungjawaban

disini memiliki fungsi control sisosial sehingga didalam masyarakat tidak terjadi tindak pidana.

Selain hal itu pertanggungjawaban pidana dalam common law system berhubungan

dengan mens rea, bahwa pertanggungjawaban pidana dilandasi oleh keadaan suatu mental

yaitu sebagi suatu pikiran yang salah ( a guilty mind). Guilty mind mengandung arti sebagai

suatu kesalahan yang subjektif, yaitu seseorang dinyatakan bersalah karena pada diri

pembuatan dinilai memiliki pikiran yang salah, sehingga orang tersebut harus

bertanggungjawab. Adanya pertanggunjawaban pidana dibebankan kepada pembuat maka

pembuat pidana harus dipidana. Tidak adanya pikiran yang salah ( no guilty mind) berarti tidak

ada pertanggungjawaban pidana dan berakibat tidak dipidananya pembuat.

Kesalahan sebagai bagian mens rea juga diartikan sebagai kesalahan karena melanggar

hukum, atau melanggar tata peraturan perundang – undangan. Setiap orang yang melakukan

pelanggaran terhadap undang – undang maka orang tersebut wajib bertanggungjawab atas

apa yang telah dilakukan. Kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban dalam pandangan ini

menjadikan suatu jaminan bagi seseorang dan menjadikan control terhadap kebebasan

seseorang terhadap orang lain. Adanya jaminan ini menjadikan seseorang akan terlindung dari

perbuatan orang lain yang melakukan pelanggaran hukum, dan sebagai suatu control karena

setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana dibebani pertanggungjawaban

pidana.

Kitab Hukum Undang – Undang Pidana tidak menyebutkan secara jelas mengenai system

pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal dalam KUHP sering menyebutkan

kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan, namun sayangnya mengenai pengertian

kesalahan kesengajaan maupun kealpaan tidak dijelaskan pengertiannya oleh Undang – undang

tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai keselahan kesengajaan maupun kealpaan,
namun berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum mengenai pasal – pasal yang ada

dalam KUHP dapat simpulkan bahwa dalam pasal – pasal tersebut mengandung unsur – unsur

kesalahan kesengajaan maupun kealpaan yang harus dibuktikan oleh pengadilan, sehingga

untuk memidanakan pelaku yang melakukan perbuatan tindak pidana, selain telah terbukti

melakukan tindak pidana maka mengenai unsur keselahan yang disengaja ataupun kealpaan

juga harus dibuktikan. Artinya dalam hal pertanggungjawaban pidana ini tidak terlepas dari

peranan hukum untuk membuktikan mengenai unsur – unsur pertanggungjawaban pidana itu

sendir sebab apabila unsur – unsur tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya maka

seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Ada dua istilah menunjuk pada pertanggungjawab dalam kamus hukum, yaitu liability dan

responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua

karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi

semua karakter hak dan kewajiban secara actual atau potensial seperti kerugian, ancaman,

kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang – undang.

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan

termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban

bertanggung jawab atas undang – undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan

penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu

tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah

responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.

Dalam hukum pidana terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran atau suatu

perbuatan tindak pidana maka dalam pertanggungjawaban diperlukan asas – asas hukum

pidana. Salah satu asas hukum adalah asas hukum nullum delictum nulla poena sine pravia lege

atau yang sering disebut dengan asas legalitas, asas ini menjadikan dasar pokok yang tidak
tertulis dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana “tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan”. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya

seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Artinya seseorang baru dapat diminta

pertanggungjawabannya apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau melakukan

perbuatan yang melanggar peraturan perundang – undangan. Asas legalitas ini mengandung

pengertian, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu

terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang – undangan. Maksud dari hal

tersebut adalah seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila perbuatan itu

memang telah diatur, tidak dapat seseorang dihukum atau dimintakan pertanggungjawabannya

apabila peraturan tersebut muncul setelah adanya perbuatan pidana. Untuk menentukan

adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan kata kias, serta aturan – aturan hukum

pidana tersebut tidak berlaku surut.

Dalam hal ini pertanggungjawaban pidana terhadap WNA yang melakukan penganiayaan

harus memenuhi unsur – unsur antara lain, adanya suatu tindak pidana, dimana unsur

perbuatan merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggungjawaban pidana, karena

seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu perbuatan dimana perbuatan

yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang – undang hal itu sesuai

dengan asas legalitas yang kita anut. Asas legalitas nullum delictum nulla poena sine praevia

lege poenali artinya tidak dipidana suatu perbuatan apabila tidak ada undang – undang atau

aturan yang mengatur mengenai larangan perbuatan tersebut. Dalam hukum pidana Indonesia

mengendalikan perbuatan yang konkret atau perbuatan yang tampak, artinya hukum

menghendaki perbuatan yang tampak keluar, karena didalam hukum tidak dapat dipidana

seseorang karena atas dasar keadaan batin seseorang, hal ini asas cogitationis poenam nemo

patitur, tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam fikirannya saja. Selanjutnya Unsur
Kesalahan, dimana kesalahan dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan

psikologi seorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang sedemikian rupa

sehingga berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku dapat dicela atas

perbuatannya. Pengertian kesalahan di sini digunakan dalam arti luas. Dalam KUHP kesalahan

digunakan dalam arti sempit, yaitu dalam arti kealpaan sebagaimana dapat dilihat dalam

rumusan bahasa Belanda yang berada dalam pasal 359 dan 360.

Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologi maupun dalam arti normative.

Kesalahan psikologis ini adalah kesalahan yang ada dalam diri seseorang, kesalahan psikologis

ini sulit untuk dibuktikan karena wujudnya tidak dapat diketahui. Dalam hukum pidana di

Indonesia sendiri yang digunakan adalah kesalahan dalam arti normative. Kesalah normative

adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain mengenai suatu perbuatan seorang. Kesalah

normative merupakan kesalahan yang dipandang dari sudut norma – norma hukum pidana,

yaitu kesalahan kesengajaan dan kesalahan kealpaan. Dari suatu perbuatan yang telah terjadi

maka orang lain akan menilai menurut hukum yang berlaku apakah terhadap perbuatan

tersebut terdapat kesalahan baik disengaja maupun karena suatu kesalahan kealpaan.

Dalam tindak pidana kebanyakan di Indonesia memiliki unsur kesengajaan atau opzettelijik

bukan unsur culpa. Hal ini berkaitan bahwa orang yang lebih pantas mendapatkan hukuman

adalah orang yang melakukan hal tersebut atau melakukan tindak pidana dengan unsur

kesengajaan. Mengenai unsur kesalahan yang disengaja ini tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku

mengetahui bahwa perbuatannya diancam oleh undang-undang , sehingga tidak perlu

dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupaka perbuatan yang bersifat

“jahat”. Sudah cukup dengan membuktikan bahwa pelaku menghendaki perbuatannya tersebut

dan mengetahui konsekuensi atas perbuataannya. Hal ini sejalan dengan adagium fiksi, yang

menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui isi undang-undang, sehingga di anggap
bahwa seseorang mengetahui tentang hukum, karena seseorang tidak dapat menghindari

aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui hukum atau tidak mengetahui bahwa hal itu

dilarang. Kesengajaan telah berkembang dalam yurisprudensi dan doktrin sehingga umumnya

telah diterima beberapa bentuk kesengajaan, yaitu :

• Sengaja sebagai maksud Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku
benar-benar menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan dan akibat
dari perbuatan yang pelaku perbuatan;

• Sengaja sebagi suatu keharusan Kesengajaan semacam ini terjadi apabila sipelaku dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat dari perbuatannya, tetapi ia
melakukan perbuatan itu sebagai keharusan untuk mencapai suatu tujuan yang lain Artinya
kesengajaan dalam bentuk ini, pelaku menyadari perbuatan yang ia kehendaki namun
pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatan yang telah ia perbuat;

• Sengaja Sebagi kemungkinan Dalam sengaja sebagai kemungkinan, pelaku sebenarnaya


tidak menghendaki akibat perbuatanya itu, tetapi pelaku sebelumnya telah mengetahui
bahwa akibat itu kemungkinan juga dapat terjadi, namun pelaku tetap melakukan
perbuatannya dengan mengambil resiko tersebut Scaffrmeister mengemukakan contoh
bahwa ada seorang pengemudi yang menjalankan mobilnya kearah petugas polisi yang
sedang memberi tanda berhenti.

• Bentuk Pertanggungjawaban Pidana

Seorang yang melakukan tindak pidana baru boleh di hukum apabila si pelaku sanggup

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban

erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang

menyatakan dengan tegas “Tidak dipidana tanpa ada kesalahan” untuk menentukan apakah

seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan

dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.

Secara doktriner tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan

perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela

karena, melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada

pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur – unsur yang

telah ditemukan oleh undang – undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia
akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari

sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang

dapat diminta petanggungjawaban.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenboardheid

atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk

menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu

tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru

(1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawban pidana adalah diteruskannya celaan yang

objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif

kepada pembuat yang memenuhi syarat – syarat dalam undang – undang (pidana) untuk dapat

dikenai pidana karena perbuatanya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban

pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan

atau kealpaan. Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana

adalah ditereskannya celaan yang objektif yang ada pada tindakan berdasarkan hukum yang

berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat undang – undang yang dapat

dikenai pidana karena perbuatannya itu.

Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, didalam Pasal 34 memberikan definisi

pertanggungjawaban pidana sebagai berikut antara lain didalam penjelasannya dikemukakan

Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban

pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus

dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban

pidana lahir dengan diteruskannya celaan ( vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan

yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat

tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terapat padanan

katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbar. Orangnya yang aansprakelijk

atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang

dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah

toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan

orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar. Kebijakan menetapkan suatu system

pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan menetapkan suatu system

pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan

pemilihan dari berbagai alternative. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem

pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional

dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat.

Sehubungan dengan masalah tersebut diatas maka Romli Atmasamita menyatakan

sebagai berikut antara lain “Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”

dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosofi besar dalam bidang hukum pada abad ke-20,

Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law , telah mengemukakan

pendapatnya “I…. Use the simple word”liability” for the situation whereby one exact legally and

other is legally subjected to the exaction". Bertitik tolak pada rumusan tentang

“pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang

filosofi dan system hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan

perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan

sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari

seseorang yang telah “dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang –

undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya

keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi”
bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu

“kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus

“dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan

pelaku yang bersangkutan. Dalam hal ini pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana

tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis

sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan

“pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.

KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit system pertanggungjawaban pidana yang

dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau

kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang –

undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan

lebih lanjut dalam KUHP. Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal –

pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas

(strict liability). Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian

terhahap asas kesalahan, terutama terhadap pasal – pasal pelanggaran.

Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban

pidana diluar KUHP, seperti contoh dalam perundang – undangan dibawah ini :

a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;

b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika;

c.UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

d. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Undang - undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan

KUHPP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan

pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari masing – masing

undang – undang tersebut dapat dianalisis kecendrungan legislatif dalam menetapkan system

pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang

berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik negara – negara civil law maupun common

law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam

hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law sistem lainnya, undang – undang justru

merumuskan keadaan – keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak

dipertanggungjawabkan. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat

dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal – hal yang

dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.

Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam

hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan

demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat – syarat yang diperlukan

untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Pertanggungjawaban

pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus

terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi

hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang

sejak awal dipahami oleh pembuat. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawabkan

orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang

dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu


mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas

“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi

meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat

suatu tindak pidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas

kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Asas kesalahan yaitu tiada pidana

tanpa kesalahan. Walaupun asas ini tidak secara tegas tercantum dalam KUHP maupun

peraturan lainnya, namun berlakunya asas tersebut sudah tidak diragukan lagi. Jadi

pertanggungjawaban pidana itu yaitu menyangkut pada diri “orang atau pelaku”.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu

tindak pidana dan memenuhi unsur – unsur yang telah ditentukan oleh undang – undang.

Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila

perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka

hanya yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing juga dengan teorekenboardheid atau criminal

responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan

apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana

yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi

preventif hukum pidana.

Yang memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang

menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab antara lain yaitu kemampuan untuk

membeda – bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang

melawan hukum. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang


baik dan buruknya perbuatan tadi. Pidana merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan

negara kepada seseorang yang hendak melanggar larangan. Pidana itu sebagai reaksi atas delik

yang dijatuhkan dan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas

terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan. Pemidanaan bertujuan untuk mencegah

dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

Selain itu memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikan

orang yang baik dan berguna. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan

membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan

dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Pidana merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan negara kepada seseorang yang

hendak melanggar larangan. Pidana itu sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan dan harus

berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang

dilakukan dalam hal ini terdapat perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan antara lain

pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan perkecualian perampasan

barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan pemerintah tetapi

hanya mengenai barang-barang yang disita. Sehingga pidana tambahan itu ditambahkan pada

tindakan, bukan pada pidana pokok. Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim

yakin mengenai tindak pidana dan kesalahan terdakwa, hakim tersebut tidak harus

menjatuhkan pidana tambahan.


BAB III

SANKSI PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA PENGANIAYAAN

• Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Warga Negara Asing Yang Melakukan

Tindak Pidana Penganiayaan.

Istilah pidana adakalanya disebut juga dengan istilah hukuman yang dalam bahasa

Belanda dikenal dengan satu istilah umum yaitu straf. Istilah pidana lebih tepat dari istilah

hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana didefinisikan

sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau

beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah

melanggar hukum pidana. Secara khusus larang dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak

pidana (strafbaar felt). Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukuman sedangkan

“pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu

hal alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah

berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Pidana

menurut Muladi dan Barda Nawawi, antara lain :

• Pidana itu pada hakikatnya adalah penjatuhan penderitaan atau nestapa atau
akibat – akibat lain yang yang tidak menyenangkan;

• Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang yang memiliki kekuasaan;

• Pidana itu dikenakan pada orang yang telah melakukan tindak pidana menuntut
undang – undang.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sanksi pidana adalah sanksi yang tajam,

karena bisa mengenai harta benda, kehormatan badan bahkan nyawa seseorang. Sanksi pidana

dikatakan sebagai sanksi yang mengandung “tragic” (tragis), sehingga pidana dikatakan
mengiris dagingnya sendiri, atau sebagai “pedang bermata dua”. Maknanya, hukum pidana

selain melindungi benda hukum juga mengadakan perlakukan terhadap pelanggar. Berdasarkan

beberapa pendapat para ahli Hukum Pidana diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tindak

pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dapat

dipertanggungjawabkan, yang mana perbuatan tersebut melanggar apa yang dilarang atau

diperintahkan oleh undang – undang dan diberi sanksi pidana.

Tujuan mencantumkan pidana pada setiap larangan dari hukum pidana ( strafbaar felt:

tindak pidana), disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi

kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk

melanggar hukum pidana. Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok,

yaitu sebagai termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dana kemudian

ditambah dengan golongan teori gabungan. Adapun teori – teori sebagai berikut Teori Absolut

atau Teori Pembalasan membenarkan pemidanaan Karena sesorang telah melakukan tindak

pidana. Penganjur teori ini antara lain Immanuel Kant yang mengatakan “Flat Justitia ruat

coelom” yang berarti walaupun besok dunia akan kiamat, namun penjahat terakhir harus

menjalankan pidananya. Teori absolute atau teori pembalasan ini terbagi dalam dua macam,

yaitu Teori Pembalasan yang Objektif, yang berorientasi pada pemenuhan kepuasan dari

perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam hal ini tindakan ini si pembuat kejahatan

harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu kerugian yang seimbang dengan

kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan. Teori pembalasan subjektif, yang

berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus

mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan

yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan. Teori

Relatif atau Teori Tujuan, teori ini mendasarkan pandangan bahwa dasar hukum pidana adalah
terletak pada tujuan pidana itu sendiri, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan

terjadinya kejahatan. Artinya, dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang.

Penganjur teori ini antara lain Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan hanya dengan

mengadakan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan

pidana kepada si penjahat. Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan teori

absolut atau teori pemalasan. Jika dalam teori absolute tindak pidana dihubungkan dengan

kejahatan, maka dalam teori relative ditujukan kepada hari – hari yang akan datang, yaitu

dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat tadi, agar menjadi baik kembali.

Selain itu terdapat teori Gabungan disamping teori absolut dan teori relatif tentang

pemidanaan, muncul teori ketiga yang merupakan gabungan antara keduanya yang disebut

dengan teori gabungan. Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan bukan saja

sebagai pembalasan terhadap perbuatan penjahat tetapi juga untuk memperbaiki penjahat.

Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga

psikologis terhadap pelaku kejahatan, juga yang terpenting adalah memberikan pembinaan dan

pendidikan.

Menurut Soedarto, hukum pidana adalah hukum yang memuat aturan – aturan hukum

yang mengikat kepada perbuatan – perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu suatu

akibat pidana. Menurut Pompe, hukum pidana adalah semua aturan – aturan hukum yang

menentukan terhadap perbuatan – perbuatan apa sebenarnya dijatuhi pidana dan apakah

macamnya itu. Definisi hukum pidana diatas hanya mendefinisikan hukum pidana dalam arti

sempit saja, yaitu terbatas pada hukum pidana materiil saja yang menyangkut perbuatan –

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno, hukum pidana

adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar –

dasar dan aturan – aturan untuk :


• Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.

• Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.

• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Undang - undang tidak memberikan tentang maksud “penganiayaan”. Dengan sengaja

mengganggu kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan. Apabila penganiayaan itu

membawa akibat matinya orang maka hukumannya diperberat. Percobaan melakukan

penganiayaan, tidak dikenakan hukuman . Hal ini dapat dimengerti sebab, jika tidak demikian ,

maka baru saja mengacungkan tangan sudah dapat dianggap melakukan percobaan melakukan

penganiayaan.

Menurut Dr. Wijono Prodjodikoro, S.H., apabila seseorang hanya mengaku mencoba

melukai biasa orang lain dengan menembak orang lain itu, tetapi karena menembak hampir

selalu mengakibatkan luka berat atau matinya orang lain itu. Maka meskipun hanya mengaku

mencoba melakukan penganiayaan biasa tanpa ada tanda – tanda lain si pelaku dapat saja

dinyatakan melakukan percobaan penganiayaan berat, dan karenanya dapat dikenakan

hukuman.

Didalam KUHP, penganiayaan merupakan istilah yang dipakai untuk tindak pidana terhadap

tubuh. Namun, Undang – undang tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai apa yang

dimaksud dengan “penganiayaan” (mishendeling) itu. Menurut yurisprudensi, yang diartikan

penganiayaan yaitu “dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa

sakit, atau luka.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti penganiayaan adalah

perlakuan yang wewenang. Pengertian dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

pengertian dalam arti luas, yakni yang menyangkut “perasaan” atau “batinlah”. Sedangkan
penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana yang berkenaan dengan tubuh

manusia.

Pada dasarnya pengertian penganiayaan memang tidak dimuat dalam KUHP, namun ada

beberapa penjelasan yang dapat dijadikan acuan untuk memahami apa yang dimaksud dengan

penganiayaan, yaitu dari segi tata bahasa dan pendapat para ahli. Menurut Tata Bahasa,

penganiayaan berasal dari kata “aniaya”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata

“aniaya” diartikan sebagai perbuatan bengis seperti penyiksaan, penindasan. Sedangkan makna

penganiayaan diartikan sebagai perlakuan sewenang – wenang (penyiksaan, penindasan, dan

sebagainya). Menurut Para Ahli, antara lain:

• Menurut M. H. Tirtaamidjaja, penganiayaan adalah Dengan sengaja menyebabkan sakit


atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau
luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu
dilakukan untuk menambah keselamatan badan.
• Menurut R. Soesilo, penganiayaan adalah memberikan perasaan tidak enak kepada
seseorang seperti mendorong hingga terjatuh, memberikan rasa sakit seperti menyubit
atau memukul, membuat luka misalnya mengiris atau menusuk pisau, dan merusak
kesehatan seperti membiarkan orang sakit. Semuanya itu harus dilakukan dengan
sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.

Demikianlah pula apabila seseorang menusuk orang lain dengan pisau tetapi luput. Bahkan

apabila seseorang hanya memukul dengan kepalan tangan tetapi luput, jika yang memukul itu

misalnya seorang juara tinju, maka dapat dinyatakan orang itu melakukan tindak pidana

mencoba menganiaya berat. Jadi dapat dihukum. Secara umum tindak pidana terhadap tubuh

pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiyaan tersebut

banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiyaan diartikan

sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka

pada tubuh orang lain. Adapula yang memahami penganiayaan adalah dengan sengaja

menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan,

sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur


sebagai berikut, adanya kesengajaan, adanya perbuatan, adanya akibat perbuatan, yakni rasa

sakit pada tubuh dan luka pada tubuh.

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan) unsur kedua dan ketiga berupa

unsur objektif.

Menurut Yurisprudensi yaitu :

• Arrest Pengadilan Tertinggi tanggal 10 Desember 1902 merumuskan


“penganiayaan” ialah dengan sengaja melukai tubuh manusia atau menyebabkan
perasaan sakit sebagai tujuan, bukan sebagai akal untuk mencapai suatu maksud
yang diperbolehkan seperti memukul dan lain – lain;
• Arrest Pengadilan Tertinggi tanggal 201925 menyatakan penganiayaan ialah
dengan sengaja melukai tubuh manusia. Tidak dianggap penganiayaan jika
maksudnya hendak mencapai suatu tujuan lain, dan didalam menggunakan akal
itu tidak sadar bahwa ia telah melewati batas – batas yang wajar;
• Arrest Pengadilan Tertinggi tanggal 11 Februari 1929 menyatakan penganiayaan
bukan saja menyebabkan perasaan sakit, tetapi juga menyebabkan penderitaan
lain pada tubuh. Menyebabkan rasa tidak enak pada tubuh bagian – bagian dalam
dari tubuh dapat menjadikan penganiayaan.

Jadi kesimpulannya untuk penganiayaan itu harus ada kesengajaan, yaitu maksud untuk

melukai atau menyebabkan sakit sebagai tujuan lain. Kalau tidak ada maksud demikian,

misalnya seorang dokter ahli bedah yang memotong lengan pasiennya atau seorang bengkong

menyunati anak, maka tidaklah dapat dikatakan sebagai penganiayaan meskipun operasi itu

melukai tubuh atau menyebabkan perasaan sakit pada tubuh.

Hukum pidana merupakan salah satu perangkat atau kaedah hukum yang telah

terkodefikasi didalam KUHP, dimana hukum di Indonesia yaitu mengatur hubungan antara

anggota masyarakat satu dengan yang lainnya, dan hubungan masyarakat dengan negara.

Maka dari itu, dapat dikatakan hukum pidana merupakan hukum publik.

Walaupun didalam KUHP memberikan suatu keabsahan dengan adanya delik aduan akan

tetapi tidak memberikan penjelasan yang memuaskan serta memadai, sejauh mana dari potensi
delik aduan memberikan suatu perlindungan terhadap kepentingan individu dan atau dengan

arti lain apakah tidak adanya pengaduan yang menyebabkan penuntutan tidak dapat

terlaksana, atau sebaliknya apakah dari delik aduan ini tidak diperdulikan oleh penegak hukum.

Dalam kondisi saat itu, maka akan ditemui semakin banyaknya bentuk penyimpangan –

penyimpangan norma hukum jika tidak dibarengi dengan amandemen undang – undang yang

selaras terhadap perubahan sosial kehidupan masyarakat, maka dalam suatu upaya penegak

hukum dapat kehilangan fungsi yang dapat mengakibatkan rendahnya kualitas hukum. Dengan

demikian, sebagai penegak hukum hendaknya tegas dalam menegakkan suatu keadilan, agar

suatu kepastian hukum dapat terjamin tanpa adanya tindak diskriminatif.

Menurut Satochid kartanegara dan Hermien Hadiati Koeswadji kepentingan hukum

dikatagorikan, sebagai berikut:

• Nyawa manusia, bagi yang melanggar kepentingan hukum ini yaitu menghilangkan nyawa
orang lain akan diancam dengan antara lain pasal 338 KUHP. Manakala perbuatan tersebut
dilakukan dengan perencanaan, akan diancam dengan ketentuan pasal 340 KUHP. Demikian
juga manakala perbuatan atau tindakan dilakukan karena kelalaiannya, sehingga
menyebabkan matinya orang lain, maka akan diancam dengan pasal 359 KUHP;

• Badan atau tubuh manusia, yaitu ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan
perbuatan atau tindakan yang dapat membahayakan badan atau tubuh orang lain, akan
diancam antara lain dengan pasal 351 KUHP;

• Sanksi pidana terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana

penganiayaan

Setiap perbuatan seseorang yang melanggar, tidak mematuhi perintah – perintah dan

larangan – larangan dalam undang – undang pidana disebut dengan tindak pidana. Dari

batasan – batasan tentang tindak pidana itu kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk
terwujudnya suatu tindak pidana atau agar seseorang dapat dikatakan tindak pidana, haruslah

memenuhi unsur – unsur sebagai berikut:

• Harus ada perbuatan manusia, jadi perbuatan manusia yang dapat mewujudkan tindak
pidana dengan demikian pelaku atau subjek tindak itu adalah manusia, hal ini tidak
hanya terlihat dari pernyataan “barangsiapa”. Didalam ketentuan undang – undang
pidana ada perkataan “seorang ibu”, “seorang dokter”, “seorang nahkoda” dan lain
sebagainya. Juga dari ancaman pidana dalam pasal 10 KUHP tentang macam – macam
pidana, seperti adanya pidana mati, pidana penjara diluar KUHP subjek tindak pidana itu
tidak hanya manusia juga suatu korporasi (kejahatan yang dilakukan korporasi, seperti
dalam Undang – undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang – undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang – Undang Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Undang – Undang Tindak
Pidana Pidana Pencucian Uang dan sebagainya).

• Perbuatan ini haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan undang –
undang, maksudnya adalah kalau seseorang itu dituduh atau disangka melakukan suatu
tindak pidana tertentu, misalnya melanggar ketentuan Pasal 362 KUHPidana, maka
unsur – unsur Pasal tersebut haruslah seluruhnya terpenuhi. Salah satu unsurnya tidak
terpenuhi maka perbuatan tersebut bukanlah melanggar Pasal 362 KUHPidana (tentang
pencurian).

Pasal 362 KUHPidana yang berbunyi:

“barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, degan maksud untuk dimiliki secara hukum, diancam karena pencurian dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Adanya kesengajaan atau kealpaan menjadi keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya

kesalahan. Haruslah dipahami bahwa kesalahan berkaitan dengan perbuatan – perbuatan yang

tidak patut dan tercela, artinya melakukan sesuatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakuka

atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kesalahan berarti mengetahui yang

menghendaki. Pengertian kesalahan disini adalah syarat utama untuk dapat dipidananya suatu

perbuatan disamping adanya sifat melawan hukum, jadi kesalahan disini sebagai sifat yang

dapat dicela (can be blamed) dan tidak patut. Secara umum tindak pidana terhadap tubuh

dalam KUHP disebut penganiyaan. Dari segi tata bahasa, penganiyaan adalah suatu kata jadian

atau kata sifat yang berasal dari kata dasar “aniaya” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran
“an” sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata benda yang berasal dari kata aniaya

yang menunjukkan subjek atau pelaku penganiayaan itu.

Mr. M. H Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut, “menganiaya”

ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orag lain. Akan tetapi suatu perbuatan

yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebaga penganiayaan

kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan. Dalam kamus Bahasa

Indonesia disebutkan penganiayaan adalah perlakuan sewenang – wenang (penyiksaan,

penindasan, dan sebagai). Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan

penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki kesengajaan dalam melakukan suatu

kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau

luka pada tubuh orang lain atau pun orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang

lain. Didalam KUHP yang disebut dengan tindak pidana terhadap tubuh disebut dengan

panganiayaan, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan

diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan

yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain”.

Pelaku tindak pidana yakni barang siapa yang melaksanakan semua unsur – unsur tindak

pidana sebagaimana unsur – unsur tersebut dirumuskan didalam undang – undang. Dalam

rangka melindungi serta kesejahteraan masyarakat, hukum pidana mempunyai posisi sentral

untuk menyelesaikan suatu konflik atau kejahatan yang terjadi. Salah satu perbuatan pidana

yang sering ditemukan serta mengundang perdebatan ditengah lingkungan masyarakat pada

saat ini yaitu tindak pidana penganiayaan.

Pada ketentuan KUHP tindak pidana penganiyaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian

yaitu tindak pidana penganiayaan biasa, tindak pidana penganiayaan ringan, tindak pidana
penganiayaan berencana, tindak pidana penganiayaan berat, tidnak pidana penganiayaan berat

berencana. Penganiayaan biasa yakni disebut sebagai penganiayaan pokok atau bentuk standar

terhadap pada ketentuan Pasal 351 dimana dalam hakikatnya semua penganiayaan yang bukan

penganiayaan berat serta bukan penganiayaan ringan. Berdasarkan ketentuan Pasal 351 KUHP

maka terdapat empat jenis penganiayaan biasa antara lain:

• Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan
dihukum dengan hukuman penjara paling selama – selamanya dua tahun delapan bulan
atau denda sebanyak – banyaknya tiga ratus rupiah;

• Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara
selama – lamanya lima tahun;

• Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara


selama – lamanya tujuh tahun;

• Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan.

Perbuatan yang dilarang merupakan suatu perbuatan yang dilakukan “dengan sengaja”

untuk melanggar dari adanya hak yakni HAM seseorang. Dengan demikian, unsur – unsur delik

tindak pidana penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP, antara lain :

• Adanya kesengajaan;
• Adanya perbuatan;
• Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada
tubuh;

• Akibat yang menjadi tujuan satu – satunya.

Selain itu, tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal

352 KUHP. Penganiayaan ringan ini diancam dengan ketentuan maksimum hukuman penjara

tiga bulan dan atau denda tiga ratus rupiah, apabila tidak termasuk kedalam rumusan Pasal 353

dan 356, dan atau tidak menyebabkan rasa sakit atau halangan untuk menjalankan suatu

jabatan atau pekerjaan. Dimana hukuman ini biasanya ditambah dengan sepertiga bagi
seseorang yang melakukan tindak penganiayaan ringan terhadap orang yang sedang bekerja

padanya dan atau yang berada dibawah perintah.

Tindak penganiayaan tersebut berdasarkan pada ketentuan Pasal 352 ayat (1) KUHP yakni

suatu tindak penganiayaan tidak menjadikan kondisi sakit atau menjadikan terhalang untuk

melakukan jabatan atau suatu pekerjaan keseharian. Adapun unsur – unsur dari delik tindak

pidana penganiayaan ringan antara lain bukan penganiayaan biasa, serta bukan penganiayaan

yang dilakukan terhadap ayah atau ibu yang sah, serta istri atau anak, terhadap pegawai negeri

yang sedang dan atau karena menjalakan tugasnya yang sah dengan memasukan bahan

berbahaya bagi nyawa untuk dimakan atau diminum, serta tidak menimbulkan suatu penyakit

untuk menjalankan tugasnya yang sah.

Tindak penganiayaan berencana merupakan suatu perbuatan yang direncanakan terlebih

dahulu yaitu bahwa terdapat suatu jangka waktu berapapun singkatnya untuk memikirkan dan

mempertimbangkan dengan tenang. Dalam hal suatu perencanaan, tidak memerlukan tenggang

waktu lama antara waktu merencanakan serta waktu untuk melakukan tindak penganiayaan

berat atau sampai menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Sebaliknya meskipun terdapat

tenggang waktu yang tidak begitu singkat, belum tentu dapat dikatakan terdapat rencana

terlebih dahulu secara tenang, dimana hal tersebut bergantung pada keadaan konkrit dari

setiap peristiwa yang terjadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 353 KUHP yang menyatakan :

• Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum
dengan hukuman penjara paling lama empat tahun;

• Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum dengan hukuman paling
lama tujuh tahun;

• Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan hukuman paling
lama sembilan tahun.
Dalam hal ini, unsur – unsur yang terdapat pada tindak penganiayaan berencana yaitu

dimana segala sesuatu direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Dari

ketentuan 353 KUHP, dapat dikualifikasikan menjadi suatu tindak penganiayaan berencana

apabila memenuhi syarat – syarat, sebagai berikut :

• Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak yang dilakukan dalam suasana
batin yang tenang;

• Sejak munculnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan


pelaksanaan suatu perbuatan terdapat tenggang waktu yang cukup sehingga dapat
dipergunakan untuk berpikir mengenai :

a. resiko apa yang akan ditanggung;

b. bagaimana cara dan dengan alat apa saja serta bila mana saat yang tepat untuk
melaksanakan;

c. bagaimana cara menghilangkan jejak.

• Dalam melangsungkan suatu perbuatan yang telah diputuskan, dimana dilakukan


dengan suasana hati yang tenang.

Tujuan dari adanya pemidanaan terhadap warga negara asing yang melakukan tindak

penganiayaan di wilayah negara republik Indonesia, guna untuk menghindari terjadinya ketidak

sewenang – wenangan warga negara asing saat berlibur ke Indonesia. Akan tetapi dalam hal ini

warga negara asing yang melakukan tindak pidana penganiayaan di Indonesia mendepatkan

suatu keringanan berupa pengurangan terhadap sanksi pidana yang menjerat, dikarenakan

warga negara asing merupakan salah satu sumber pendapatan di Indonesia dalam bidang

pariwisata, demi meningkatkan perekonomian di Indonesia maka ketentuan peraturan yang

berlaku tidak sepenuhnya diterapkan pada warga negara asing, maka dari itu berdasarkan

ketentuan Pasal 351 KUHP bahwa warga negara asing setidaknya mendapatkan suatu

keringanan berdasarkan sanksi yang diatur dalam Pasal tersebut, agar tidak menyebabkan

keterpecah belahan antara kedua belah negara.


BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

• Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian bab di atas, dapat ditarik simpulan untuk menjawab masalah

yang terdapat dalam karya tulis ilmiah ini, yakni :

• Dalam pertanggungjawaban maka beban pidana pertanggungjawaban dibedakan kepada

pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi

pidana. Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau

perbuatan yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang

sifat bertanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang

menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang. Undang - undang

tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHPP dan KUHAP yang

bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta

proses beracara di pengadilan. Dari masing – masing undang – undang tersebut dapat

dianalisis kecendrungan legislatif dalam menetapkan system pertanggungjawaban pidana

sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang berdampak pada

perkembangan kejahatan. Baik negara – negara civil law maupun common law, umumnya

pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif.

• Undang - undang tidak memberikan tentang maksud “penganiayaan”. Dengan sengaja

mengganggu kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan. Apabila penganiayaan itu

membawa akibat matinya orang maka hukumannya diperberat. Percobaan melakukan


penganiyaan, tidak dikenakan hukuman . hal ini dapat dimengerti sebab, jika tidak

demikian , maka baru saja mengacungkan tangan sudah dapat dianggap melakukan

percobaan melakukan penganiyaan. Menurut Satochid kartanegara dan Hermien Hadiati

Koeswadji pengaturan pertanggungjawaban dimana nyawa manusia, bagi yang melanggar

kepentingan hukum ini yaitu menghilangkan nyawa orang lain akan diancam dengan antara

lain pasal 338 KUHP. Berdasarkan ketentuan Pasal 351 KUHP maka terdapat empat jenis

penganiayaan biasa antara lain Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka

berat maupun kematian dan dihukum dengan hukuman penjara paling selama – selamanya

dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak – banyaknya tiga ratus rupiah.

4.2 Saran

Berdasarkan simpulan tersebut diatas, dapat dikemukakan saran kepada para pihak terkait,

sebagai berikut :

• Bagi pemerintah dalam hal ini sebagai pejabat berwenang, maka wajib untuk mengkaji

ulang dari adanya KUHP terkait ketentuan sanksi pidana, agar segala sesuatu bentuk

tindakan yang menyimpang tidak terjadi lagi;

• Bagi warga negara asing sebagai wisatawan tetap mentaati tata tertib yang berlaku dalam

suatu negara tempat berkunjung salah satunya Indonesia;

• Bagi masyarakat hendaknya berperilaku sopan terhadap warga negara asing yang

berkunjung, selain itu segera melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila terjadi lagi

suatu tindakan menyimpang yang dilakukan oleh warga negara asing.


DAFTAR BACAAN

Buku-buku :

Abintoro Prakoso, 2014, Hukum dan Psikologi Hukum, Cetakan Pertama, LaksBang Grafika,
Yogyakarta.

Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Rangkang Education,
Yogyakarta.

Arrasjid, Chainur, 2004, Dasar - Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Tiga, Sinar Grafika, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2013, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Sepuluh, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Bertens, K, 1993, Etika, Seri Filsafat Atmajaya: 15, Cetakan Pertama, Pt. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Bambang Waluyo, 2004, Pidana Dan Pemidanaan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Chainur Arrasjid, 2004, Dasar - Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Tiga, Sinar Grafika, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

______, 2019, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Cetakan Delapan, Rajawali Pers, Depok.

C.S. T. Kansil, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Cetakan Lima, Pradnya
Paramita, Jakarta.

Chairul Huda, 2006, Dari Tindak Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawab
Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta.

Diantha, Pasek, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum ,
Cetakan Tiga, Prenadamedia Group, Jakarta Timur.
Endro Purwoleksono, 2016, Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Airlangga University Press,
Surabaya.

Efendi, Widodo, Lutfianingsih, 2016, Kamus Istilah Hukum Populer, Cetakan Pertama,
Prenadamedia Group, Jakarta.

Frans Marimis, 2012, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia , Cetakan Pertama, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Harahap, Zairin, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Edisi Revisi, Cetakan Dua,
Rajawali Pers, Jakarta.

Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia
(Strict Liability dan Vicarious Liability), Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

H.Edi Setiadi dan Kristian, 2017, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan
Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Prenadamedia, Jakarta.

Huda, Choerul, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan , Cetakan Pertama, Jakarta: Kencana.

Hanafi Amrani, Mahrus Ali, 2005, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Pertama,
Rajawali Pers, Jakarta.

_____, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Pertama, Rajawali Pers, Jakarta.

Ibrahim, Johni, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Tiga, Bayu Media
Publishing, Malang.

Lamintang, P.A.F., 2016, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia , Cetakan Dua, Sinar Grafika,
Bandung.

Laden Marpaung, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas dan
Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta.

Marzuki, Mahmud, 2016, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan Dua Belas, Prenadamedia
Group, Jakarta.
M. Sudrajatbesar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, CV Penerbit Remadja karya, Bandung.

Moeljalento, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi revisi, Renika Cipta, Jakarta.

Prasetyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, Cetakan Dua, Rajawali Pers, Jakarta.

Ridwan, 2006, hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana , Cetakan Pertama,
Ghalia Indonesia, Jakarta.

Santoso, Muhar Agus, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Averroes Press,
Malang.

Soetopo, Aliefien 2011, Mengenal Lebih Dekat: Wisata Alam Indonesia, Cetakan Pertama, Pacu
Minat Baca, Jakarta.

Sri Mamudji & Soerjono Soekanto, 2018, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat ,
Cetakan Delapan Belas, Rajawali Pers, Jakarta.

Pramana, & Hanief, 2018, Pengembangan Bisnis Pariwisata Dengan Media Sistem Informasi,
Cetakan Pertama, Andi, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2014, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cetakan Enam, Refika
Aditama, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1987, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia , Cetakan Pertama Yogyakarta:
Liberty.

Wolf, Martin, 2007, Globalisasi Jalan Menuju Kesjahteraan , Cetakan Pertama, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 1969, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Eresco, Bandung-


Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 2009 Nomor 11. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4966;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5216;

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3886;

Kamus :

Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Jurnal :

Noviana, Ivo, 2015, "Kekerasan Seksual Terhadap Anak", Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Volume.01, Nomor.1, hal.15.

Suyanto, Sidik, 2013, "Dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Terhadap Perubahan Hukum dan Sosial di Dalam Masyarakat”. Jurnal Ilmiah WIDYA,
Volume.1, Nomor.1, hal.1.

Anda mungkin juga menyukai