Anda di halaman 1dari 48

ESENSI PENYELESAIAN SENGKETA BUDAYA SIRI

MASYARAKAT HUKUM ADAT BUGIS MAKASSAR DI


KOTA JAYAPURA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Studi


Pada Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih

Oleh :

DINDA LESTARI DEWI


NIM.20180299014149

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui

Pada Tanggal …………2022

Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Frans Reumi, S.H., M.A., M.H Daniel Tanati, S.H., M.H
NIP. 19600713 198903 1 002 NIP. 19730429 200212 1 001

Mengetahui

Ketua Bagian Hukum Perdata

Daniel Tanati, S.H., M.H


NIP. 19730429 200212 1 001
PELAKSANAAN UJIAN

Skripsi ini telah diuji

Pada tanggal ……….


ABSTRAK

Penelitian dengan judul “esensi penyelesaian sengketa budaya siri suku bugis
makssar di kota jayapura” dilakukan untuk mengetahui ataupun mendapatkan gambaran
jelas mengenai apa saja tahap penyelesaian sengketa budaya siri atau budaya malu suku
bugis makassar di kota jayapura.
Dalam pengumpulan data, maka diperlukan metode penelitian yuridis dan
empiris yang memberikan penekanan pada data lapangan dan didukung terlebih dahulu
dengan mempelajari dari berbagai pengalaman mengingat esensi dan penyelesaian ini
lebih dominan diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan adanya sumber dari aturan
hokum baik tertulis maupun tidak tertulis dan pendapat dari para tokoh adat dan agama.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tahap penyelesaian sengketa budaya
merupakan duduk antar tokoh adat dan agama dengan musyawarah untuk mencapai
mufakat sehingga menemukan titik terang, adapun sanksi yang dijatuhkan berupa
pemulangan ke tempat asal dan juga denda apa bila yang disangka mengalami kerugian,
namun apa bila dalam suatu musyawarah tidak didapati mufakat makan akan berlanjut
dan diproses secara hokum yang berlaku di Indonesia.

Kata kunci : Budaya Siri’ Bugis Makassar, Penyelesaian Sengketa.


MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR

Allhamdullillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat

dan Hidayah-Nya skripsi yang berjudul “ESENSI PENYELESAIAN SENGKETA BUDAYA SIRI’

BUGIS MAKASSAR DI KOTA JAYAPURA” dapat terselesaikan tepat pada waktunya yang

disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaiakan pendidikan dalam memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih. Terselesaikannya

tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan yang diberikan oleh banyak pihak. Dengan

segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Lante dan Ibu Fitri selaku orang tua yang tak henti-hentinya memberikan doa,

dukungan, semangat, material, dalam menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini.

2. Muhammad Ilyas selaku kakak kandung yang selalu menyemangati.

3. Bapak Frans Reumi, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas hukum, dosen wali, serta sebagai

dosen pembimbing I

4. bapak Daniel tanati, S.H., M.H selaku pembimbing II

5. kepada Polisi Negara Indonesia selaku instansi tempat saya bekerja

6. kepada sahabat-sahabat saya yang berjuang untuk mengejar sarjana

ruth,mega,dwiyanti,ita,dwi,charisma,tania,dandi,momo,fajar.

7 . Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam penyelesaian tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh

dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat

membangun demi kesempurnaan tugas akhir ini


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN...............................................................................

PELAKSANAAN UJIAN...................................................................................

ABSTRAK..........................................................................................................

MOTTO DAN PERSEMBAHAN......................................................................

KATA PENGANTAR........................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................

B. Rumusan Masalah...................................................................................

C. Tujuan Penelitian....................................................................................

D. Manfaat Penelitian..................................................................................

E. Metode Penelitian....................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Budaya Indonesia.......................................................

B. Tinjauan Tentang Adat Indonesia...........................................................

C. Tinjauan Penyelesaian Sengketa Secara Umum.....................................

D. Budaya Bugis Makassar..........................................................................


E. Tinjauan Budaya Siri’ Bugis Makassar...................................................

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Nilai-Nilai Budaya Siri’ Dalam Membentuk Kesadaran Masyarakat Bugis

Makassar di Kota Jayapura

B. Penyelesaian Sengketa Budaya Siri’ Bugis Makassar di Kota Jayapura

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal,

maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia

sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Budaya Indonesia dapat juga

diartikan bahwa Indonesia memiliki beragam suku bangsa dan budaya yang

beragam seperti tarian daerah, pakaian adat, dan rumah adat. [1] Budaya Indonesia

tidak hanya mencakup budaya asli bumiputera, tetapi juga mencakup budaya-

budaya pribumi yang mendapat pengaruh budaya Tionghoa, Arab, India, dan

Eropa. Budaya pun tak lepas dari adat.

Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya,

norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur tingkah laku

manusia antara satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu kelompok

masyarakat. Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat sedangkan

yang tidak memiliki sanksi disebut dengan kebiasaan. Adat istiadat merupakan

tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan

terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Pelanggaran

terhadap adat istiadat ini akan menerima sanksi yang keras dari anggota lainnya.

Adat berasal dari bahasa Melayu dan tradisi berasal dari bahasa Inggris

mengandung pengertian sebagai kebiasaan yang bersifat magis religius dari

kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma


hukum dan aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau

peraturan tradisional. Menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang

berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh) dalam tulisannya pada tahun 1660.

"Adat" berasal dari bahasa Arab ‫عادات‬, bentuk jamak dari ‫( عادَة‬adah), yang berarti

"cara", "kebiasaan". Di Indonesia, kata "adat" baru digunakan pada sekitar akhir

abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah

pertemuan budayanya dengan agama Islam pada sekitar abad 16-an. Kata ini

antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri Melayu.

Budaya sering menjadi alasan untuk menciptakan perdamaian, ketertiban,

kenyamanan masyarakat. Budaya penuh akan makna dan berharga. Budaya bisa

berfungsi sebagai sumber penentu perilaku dan aspirasi masyarakat, yakni di

politik dan hukum. Budaya hanya akan menjadi aksesoris ketika ditempatkan atau

hanya

dijadikan warisan tanpa melibatkan kesadaran budaya dalam unsur-unsur hukum

untuk pembuatan peraturan daerah. Bugis adalah satu suku yang memiliki dan

menanamkan nilai-nilai budaya yang sangat tinggi di setiap gerakan, perilaku,

tindakan dan kata-kata. Pemerintah harus memperkenalkan budaya sebagai salah

satu pertimbangan dalam pembuatan peraturan lokal. Salah satu daerah di

Sulawesi selatan memiliki adat istiadat yang hanya dimiliki oleh daerah tersebut.

Suku Bugis (Lontara: ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ; Jawi: ‫وݢيس‬NN‫ )اورڠ ب‬merupakan kelompok

etnik pribumi yang berasal dari provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Sejak tahun

1605 banyak orang bugis yang memeluk agama Islam dari Animisme. Sehingga

Islam menjadi agama utama yang dianut oleh orang bugis, namun terdapat pula
kelompok minoritas lain yang menganut agama Kristen atau kepercayaan asli pra-

Islam yang disebut Tolotang. Meskipun populasinya hanya sekitar enam juta,

orang Bugis berpengaruh dalam politik di Indonesia modern, dan secara historis

berpengaruh di Semenanjung Malaysia dan bagian lain kepulauan tempat mereka

bermigrasi, dimulai pada akhir abad ketujuh belas. Mantan Wakil Presiden

Indonesia, Jusuf Kalla, adalah orang Bugis. Di Malaysia, Perdana Menteri

keenam, Najib Razak, dan mantan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin memiliki

darah keturunan Bugis. Orang Bugis berbicara bahasa daerah yang berbeda selain

bahasa Indonesia, yang disebut Bugis (Basa Ugi), dengan beberapa dialek yang

berbeda. Bahasa Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Sulawesi Selatan;

anggota lainnya termasuk Makassar, Toraja, Mandar, dan Massenrempulu. Nama

Bugis adalah eksonim yang mewakili bentuk lama dari nama tersebut; (To) Ugi

adalah endonimnya.

Siri’ dalam pengertian masyarakat Suku Bugis adalah menyangkut sesuatu

yang paling peka dalam diri mereka pribadi. Siri’ bukan hanya sekadar rasa malu

sebagaimana halnya yang berada pada masyarakat suku lain. Bagi masyarakat

Suku Bugis, Siri’ sama derajatnya dengan martabat, nama baik, harga diri,

reputasi, dan kehormatan diri maupun keluarga, yang semuanya itu harus dijaga

dan dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Oleh karena

itu, Siri’ diperkenalkan secara turun temurun oleh anggota masyarakat Suku

Bugis dan mengetahui arti hidup dan apa arti harga diri bagi manusia.

Budaya Siri’ merupakan tuntutan budaya terhadap setiap individu dalam

masyarakat Sulawesi Selatan untuk mempertahankan kesucian mereka sehingga


keamanan, ketertiban dan kesejahteraan tetap terjamin. Dengan demikian, Siri’

pada diri manusia Bugis dapat muncul dari berbagai realitas sosial dan kehidupan

sehari-hari. Jika seseorang telah dibuat tersinggung oleh kata-kata atau tindakan

orang lain yang dianggap tidak sopan, maka seluruh anggota keluarganya akan

ikut merasa tersinggung dan melakukan pembalasan terhadap orang itu demi

menegakkan harga diri, terutama harga diri keluarga.

Salah satu realitas sosial yang paling banyak berhubungan dalam

masalah Siri’ adalah perkawinan. Jika seseorang telah dibuat malu, misalnya anak

gadisnya telah dibawa lari ( silariang)  oleh seorang pemuda, maka seluruh pihak

keluarga laki-laki dan gadis itu merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku

demi menegakkan Siri’ yang merupakan budaya Bugis Makassar.

Untuk orang bugis tidak ada tujuan atau alasan hidup lebih tinggi atau

lebih penting daripada menjaga sirinya kalua merasa tersinggung atau

dipermalukan merasa lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan

sirinya dari pada hidup tanpa siri, dan memang orang bugis di masyarakat terkenal

di mana-mana di Indonesia karena dengan mudah mereka suka berkelahi kalua

diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal dengan siri dikatakan

mate ri gollai, mate ri santange, artinya mati diberi gula dan santan artinya mati

untuk sesuatu yang berguna sudah berkaar dalam masyarakat Sulawesi selatan

budaya rasa malu atau siri’ lebih besar dari pada budaya rasa bersalah. Merupakan

suatu hukum yangf tidak tertulis dan sangat dijunjung tinggi oleh msaysarakat dan

di sisi lain merupakan sangsi moral yang diberikan kepada pelaku yang melanggar

nilai dan norma yang berlaku, dari pada pengamatan penulis dalam masayarakat
Ketika seseorang melakukan tindakan kawin lari (sillariang) tanpa restu orang tua.

Tindakan sillariang ini akan menimbukan siri’ dari pihak keluarga laki-laki

maupun perempuan. Maka keluarga yang merasa dipermalukan akan menjadi

menjatuhkan sangsi yang berupa tidak di akui sebagai keluarga dan tidak berhak

mendapatkan harga warisan atau anak dianggap sudah meninggal. Orang tua

diperlakukan di luar batas wajar ia harus memperjuangkan dan mengembalikan

kehormatan yang rampas oleh orang lain. Kalua orang tua tersebut berjuang

mengembalikan harta martabatnya, ia akan disebut manusia mati siri’ yaitu

manusia yang hilang harkat dan martabatnya masyarakat menjadikan siri’

sebagaai alasan dan tujuan hidup mereka karena mereka lebih senang mati

memperjuangkan siri’ nya dari pada hidup tanpa memiliki siri’.

Seringnya terjadi konflik yang berhubungan dengan harga diri dalam

masyarakat bugis yang berujung ke masalah social dan juga pelanggaran hukum,

maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “ESENSI

PENYELESAIAN SENGKETA BUDAYA SIRI MASYARAKAT HUKUM

ADAT BUGIS MAKASSAR DI KOTA JAYAPURA”


1.2 Rumusan Masalah

Berdasakan latar belakang yang telah dibahas di atas, maka menggunakan

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana nilai-nilai budaya siri’ dalam membentuk kesadaran masyarakat

Bugis Makassar di Kota Jayapura terhadap hukum ?

2. Bagaimana tahap-tahap penyelesaian sengketa masalah secara adat yang

terjadi di tanah rantau ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi:

1. Untuk mengetahui nilai-nilai budaya siri’ dalam membentuk kesadaran

masyarakat Bugis Makassar di Kota Jayapura terhadap hukum ?

2. Untuk mengetahui tahap-tahap penyelesaian sengketa masalah secara adat

yang terjadi di tanah rantau ?

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan akademis dan informasi bagi pembaca dibidang hukum pada

umumnya, juga dapat menambah wawasan pengetahuan dan memberikan

sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum.

2. Secara Praktis , menambah pengetahuan mengenai tahapan-tahapan

penyelesaian setiap permasalahan yang terjadi di tanah rantau berdasarkan

adat suku Bugis Makassar.


3. Adapun manfaat dari segi positif yaitu, diharapkan menjadi pembelajaran

dimana Indonesia merupakan negara hukum dan setiap warga negara

Indonesia harus mematuhi segala peraturan hukum yang berlaku, baik itu

hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya Indonesia

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh

sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk

dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat

istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,

sebagaimana juga budaya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri

manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara

genetis. Seseorang bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya

dan menyesuaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka, sehingga membuktikan

bahwa budaya bisa dipelajari.

Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat

kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku

komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan

sosial manusia.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi

dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu

perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung

pandangan atas keistimewaannya sendiri. "Citra yang memaksa" itu mengambil

bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar"


di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang, dan "kepatuhan

kolektif" di Tiongkok.

Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-

anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan

dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling

bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren

untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan

perilaku orang lain.

Selama masa Ord e Baru, empat perspektif utama berkembang dalam

penelitian Indonesia tentang kebijakan budaya Indonesia. Perspektif pertama

tumbu h melalui penelitian ke dalam praktik masyarakat lokal dan seni

pertunjukan. biasanya diidentifikasi sebagai ritual-ritual yang terhubung ke cara

hidup. 1 0 Dalam perspektif penelitian seperti ini, intervensi negara telah

ditafsirkan sebagai hal yang membawa pemahama n yang berbeda atas praktik-

praktik budaya ke dalam sebuah komunita s atau, dalam kata-kata Greg Acciaioli

dalam salah satu dari artikel-artikel pertama yang mengangkat masalah ini,

"budaya telah menjadi seni" sebagai akibat dari kebijakan negara (1985: 162).

Penilaian Philip Yampolsky tentang dampa k negara terhadap seni pertunjukan

daerah memberikan analisis yang lebih rinci tentang kebijakan budaya resmi

(1995) yang untuk sebagian besar sejalan dengan penilaian Acciaioli yaitu bahwa

intervensi negara mematahkan hubunga n antara komunitas-komunita s daerah

dengan seni komunita s mereka mereka karena "rancang ulang" bentuk-bentuk


seni untu k "konsumsi eksternal" (1995: 714). Namu n demikian, ia juga

memberikan conto h berbagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah,

khususnya karena kebingungan tentang dan ketidaktepatan pelaksanaan kebijakan,

sehingga membuka kemungkinan individu-individu yang memanfaatkan

kebijakan pemerintah dengan cara yang memperkua t hubunga n antara komunita

s dan seni mereka (1995).

2.2 Adat Indonesia

Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma,

kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur tingkah laku manusia

antara satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu kelompok masyarakat. Adat

yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat sedangkan yang tidak memiliki

sanksi disebut dengan kebiasaan. Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang

paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat

terhadap masyarakat yang memilikinya. Pelanggaran terhadap adat istiadat ini

akan menerima sanksi yang keras dari anggota lainnya. Adat berasal dari bahasa

Melayu dan tradisi berasal dari bahasa Inggris mengandung pengertian sebagai

kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli, yang

meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan yang saling berkaitan

dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional. Menurut Jalaluddin

Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh) dalam

tulisannya pada tahun 1660. "Adat" berasal dari bahasa Arab ‫عادات‬, bentuk jamak

dari ‫( عادَة‬adah), yang berarti "cara", "kebiasaan". Di Indonesia, kata "adat" baru
digunakan pada sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada

masyarakat Melayu setelah pertemuan budayanya dengan agama Islam pada

sekitar abad 16-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri

Melayu

2.3 Sengketa

Persengketaan di satu sisi merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan

masyarakat, tetapi di sisi lain menciptakan ketidakharmonisan dan ketidak

seimbangan kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat yang komunal dan

dan didasari pada prinsip-prinsip. kebersamaan maka keharmonisan, dan

keseimbangan hidup merupakan tatanan ideal yang selalu ingin dipertahankan.

Gangguan terahadap hal tersebut, seperti terjadinya persengketaan harus segera

diakhiri.

Dalam kehidupan bernegara sekarang ini tersedia beberapa alternative cara

penyelesaian sengketa, bisa melalui lembaga peradilan formal (litigasi) dan

memungkinkan diselesaiakan di luar pengadilan (no-litigasi). Dalam realitas

kehidupan masyarakat sering ditemui penyelesian sengketa atau perkara diluar

pengadilan. Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan

adalah melelui pendekatan adat. Penyelesaian melalui pendekatan adat dimaksud

kan adalah penyelesian sengketa dengan mekanisme adat dan oleh lembaga adat.

Dalam hukum adat tidak dikenal pembedaan atau pembagian hukum ke dalam

hukum perdata atau hukum pidana sebagaimana kita bedakan dalam konteks

hokum formal. Dengan demikian, sengketa yang dimaksudkan dalam konteks

penyelesaian sengketa secara adat ini adalah semua bentuk. Pelangaran hukum
adat dan semua baik yang bersifat perdata maupun pidana. Apapun bentuk atau

sifatnya sengketa, penyelesaiannya dimaksudkan untuk mewujudkan

keharmonisan masyarakat. Tujuam inilah yang ingin dicapai dalam setiap

penyelesaian sengketa secara adat.

2.4 Budaya Bugis Makassar

Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaal dari suku-bangu


BugisMakassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari
pulau Sulawesi. lazfuah itu merupakan suatu propinsi, ialah propinsi
Sulawesi Selatan, yang sekarang terdiri atas 23 kabupaten, di antaranya dua
buah kota-madya. Adapun penduduknya berjumlah lebih dari 5.600.000
orangl) pada tahun 1969. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari
empat sukubangsa ialah: Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Orang Bugis
yang berjumlah kira-kira 3tA juta, orang, mendiami kabupaten-kabupaten
Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Didenreng-Rappang, Pinreng,
Polewah-Mamasa, Enrekeng, Luwu, Pare-pare, Bartru, Pangkajenen
Kepulauan dan Maros. Kedua kabupaten tersebut terakhir, merupakan
daerah-daerah peralihan yang penduduknya pada umumnya mempergunakan
baik pahasa Bugh maupun bahasa Makassar. Kabupaten Enrekang
merupqkan daerah peralihan Bugis-Toraja dan pendudukiiya yang sering
dinamakan orang Duri (Massenrengpulu), mempunyai suatu dialek yang
khusus, ialah bahasa' Duri. Orang Makassar, yug berjumlah kira-kira llL juta
orang mendiami kabupaten-kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,
Maros dan Pangkajene yang terakhir seperti tersebut di atas, merupakan
daerah peralihan antara daerah Bugis dan Makassar). Penduduk kepulauan
Selayar, walaupun mengucapkan suatu dialek yang khusus biasanya masih
dianggap orang Makassar juga. Orang Toraja, ialah penduduk Sulawesi
Tengah, untuk sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan, ialah
wilayah dari kabupatenkabupaten Tana-Toraja dan Mamasa. Mereka itu
biasanya disebut orang Toraja Sa'dan dad berjumlah kira-kira % juta orang.
l) Angka itu yang secara lebih tepat adalah 5.543.067, merupakan suatu
petkiraan untuk akhir tahun 1969 oleh Bagian Statistik dan Sensus dari
Kantor Gubemur Propinsi Sulawesi Selatan di Makassar. Orang Mandar,
yang berjumlah kira-kira la juta orang' mendiami kabupaten Majene dan
Mamuju. Walaupun suku-bangsa ini mempunyai bahasa yang khusus ialah
bahasa Mandar, tetapi kebudayaan mer€ka pada dasarnya tidak amat
berbeda dengan orang Bugis'Makassar. Sebenarnya juga kebudayaan Toraja
Sa'dan, walaupun menunjukkan beberapa unsur yang khusus, pada dasarnya
sama dengan kebudayaan BugisMakassar. Perbedaan dari kebudayaan'
Toraja Sa'dan dengan yang lain di' disebabkan karena letak dari Tana-Toraja
yang terpencil sejak beberapa abad lamanya. Di kalangan kaum bangsawan
Bugis-Makassar, ada kepercayaan bahwa mereka itu merupakan keturunan
dari orang Sangalla (=Toraja).
2. BAHASA, TULISAN DAN KESUSASTERAAN Orang Bugis
mengucapkan bahasa Ugi dan orang Makassar bahasa Mangasara. Kedua
bahasa tersebut pernah dipelajari dan diteliti secara' mendalam oleh seorang
ahli bahasa Belanda B'F' Matthes, dengan mengambil sebagai sumber,
kesusasteraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang Bugis dan Makassar
itu sejak berabad-abad lamanya. Mattires pernah mengumpulkan banyak
sekali naskah-naskah kesusasteraan dalam bentuk lontai 2), maupun dalam
bentuk buku-buku kertas. Naskah-naskah itu ada yang disimpan
diperpustakaan dari yayasan Matthes di Makassar, tetapi banyak juga yang
disimpan dalam perpustakaan Universitas Leiden di Negeri Belanda dan di
dalam beberapa perpustakaan lain di Eropa 3)' Matthes sendiri pernah
menerbitkan beberapa bdnga rampai (chrestomatie) yangme' muat seleksi
dari kesusasteraan Bugis-Makassar itu dan sebagai hasil' dari penelitian
bahasanya ia pernah menerbitkan sebuah kamus BugisBelanda dan sebuah
kamus Makassar-Belanda yang tebal-tebal. Huruf yang dipakai dalam
naskah'naskah Bugis-Makassar kuno adalah aksara lontara, sebuah sistem
huruf yang asal dari huruf Sanskerta. Katanya dalam abad ke-16, sistem
aksara lontara itu disederhanakan oleh Syahbandar kerajaan Goa, Daeng
Pamatte dan dalam naskah'naskah sejak zaman itu, sistem Daeng Pamatte
itulah yang dipakai. Sejak permulaan abad ke-17 waktu agama Islam dan
kesusasteraan Islam mulai mempenga' ruhi Sulawesi Selatan, maka
kesusasteraan Bugis dan Makassar ditulis dalam
huruf Arab, yang disebut akvra serwtg 4). Adapun naskah-naskah kuno yang
ditulis di daun lontar sekarang sudah sukar untuk didapat. Sekarang naskah-
naskah kuno dari orang Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang ditulis
di atas kertas dengan pena atau lidi ijuk (lcailand dalam alcsara lontara atau
dalam alcsara serang. Di antara buku terpenting dalam kesusasteraan Bugis
dui Makassar adalah buku Srre Galigo, suatu hi4punan amat besar dari
mitologi yang bagi banyak orang Bugis dan Makassar masih mempunyai
nilai yang keramat. Kecuali itu ada juga lain-lain himpunan kesusasteraan
yang isinya mempunyai fungsi sebagai pedoman dan tata kelakuan bagi
kehidupan orang, seperti misalnya buku himpunan amanat-amanat dari
nenek moyang (fusend, buku himpunan undang-undang, peraturan-peraturan
dan keputusan-keputusan pemimpin-pemimpin tdal. (Rapang) dan
sebagainya. Kemudian ada juga himpunan-himpunan kesusasteraan yang
mengandung bahan sejarah, seperti silsilah raja-raja (Attorialong) dan
ceritera*eritera pahlawan yang sungguhpun pernah ada tetapi yang dibubuhi
sifat-sifat; legendaris (Pau-pau). Akhirnya ada juga banyak buku-buku yang,
mengandung dongeng-dongeng rakyat (seperti roman, ceritera-ceritera lucu,
ceritera-ceritera binatang yang berlaku seperti manusia dan sebagainya),
bu$u-buku yang mengandung catatantatatan tentang ilmu.gaib (Kotilu) dan
buku-buku yang berisi syair, nyanyian-nyanyian, teka-teki dan sebagai' nya.

3. ANGKA-ANGKA DAN DATA.DAhA DEMOGRAFIS Ilas dari seluruh


Sulawesi Selatan adalah kira'kira 100.457 I(m2 dan wilayahnya terdiri darj
23 kabupaten, dari 165 kecamatan, dengan ll58 desa gaya-baru, sedangkan
penduduknya dalam tahun 196l ber' jumlah lebih dari 5.600.000 orang (lihat
tabel XVIII). Kecuali di propinsi Sulawesi Selatan, ada pula orang
Bugis'Ma' kassar yang tinggal di luar daerah itu. Perantauan itu sudah
berlangsung sejak abad ke-16. Dalam zarnan itu ada suatu rangkaian
peperangan antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, yang disambung
dengan peperanganpeperangan melawan Belanda dalam abad ke'19.
Demlkian telah ada suatu keadaan tak aman sejak lebih dari tiga abad
lamanya.
Menurut dugaan kata seran! asal dari Seram. Dulu katanya orang Muslimin
Bugis pada mula-mulanya banyak hubungan dengan orang Seram yang lebih
dahulu menerirna agama lslam. Di Seram sendiri memang huruf Islam itulah
yang biasanya dtpakai sebagai tulisan dalam hubungan dengan penyebaran
agama Islam. perantar'n irl,-T*dl{. ke daerah-daerah pantai timur dan utara
Sumatra'), pantai barat Malayaor, pantai barat dan selatan Kalimantan (orang
Bugis Pagatan).
Dalam abad ke-17 orang Makassar, menguasai perairan Nusani tara bagian
Timur. Itulah sebabnya bahwa di Ternate, Maluku Barat, Sumbawa dan
Flores Barat, ada banyak orang Makassar sampai -tlk**g' Adapun migrasi
secara besar-besaran dari orang Bugis'Makassar yang terakhir, terjadi sekitar
tahun 1950, karena adanya kekacauan berhubung dengan mengganasnya
tentara Belanda, kemudian pemberontakan Kahar Muzakar terhadap negara
Republik Indonesia. Dalam migrasi itu kecuali ke Sumatra, Malaya dan
Kalimantan, ada juga banyak yang pindah ke Jawa. Perkampungan-
perkampungan orang Bugis ili daerah tersebut mempertahankan identitas
kebudayaan asli. Demikian halnya dengan perkampungan nelayan orang
Bugis di Pelabqhan Ratu di Jawa Barat dan, di Jambi.
4. BENTUK DESA Desa-desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan
kesatuan-kesatuan administratif, gabungan-gabungan sejumlah
kampung'kampung lama, yan! disebut desa-desa gaya baru 7). Suatu
kampung lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami
di antara l0 sampai 200 rumah' Rumah' rumah itu biasanya terletak
berderet, menghadap ke selatan atau barat. Kalau ada sungai di desa,
maka akan diusahakan agar rumah-rumah di. bangun dengan
membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu
tempat keramat (possi tana)dengan suatu pohon waringin yang besar,
dan kadang-kadang dengan suatu nimah pemujaan atau saukang.
Kecuali tempat keramat tiap kampung iielalu ada langgar atau
masjidnya' Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang matowa (atat
jannang, lompo', toddo') dengan kedua pembantunya yang disebut
sariung atav Wrennung. Suatu gabungan kampung dalam struktur asli
disebut wanua dalan bahasa Bugis dan pa'rasangan atau boi' dalam
bahasa Makassar. Pemimpin wanua dliv disebut arung palili' atau
sullewatang dalam bahasa Bugis dan galhrang atau learaeng dalarn
bahasa Makassar. Pada masa sekarang dalam struktur tata
pemerintahan negara Republik Indonesia, wanua menjadi svatv
kecamatan Rumah dan masjid. Rumah di dalam kebudayaan Bugis-
Makassar, dibangun di atas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang
masing'mastng memfunyai fungpinya yang khusus ialah; (a) Rakkeang
dalam birhasa nugis aiau pammakkang dalam bahasa Makassar, adalah
bagian atas
5. rumah di bawah atap, yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain
persediaan pangan dan juga untuk menyimpan benda-benda pusaka;
(b) Ale-bola dalam bahasa Bugis atau kalle-balla' dalam baha'sa
Makassar, adalah ruang-ruang di mana orang tinggal, yang terbagi-
bagi ke dalam ruang' ruang khusus, untuk menerima tamu, untuk tidur,
untuk makan dan untuk dapur; (c) Awasao dalam bahasa Bugis atau
passiringang dalarr, bahasa Makassar, adalah bagian di bawah lantai
panggung, yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan
untuk kandang ayam, kambing dan sebagainya. Pada zaman sekarang,
bagian di bawah rumah ini sering ditutup dengan dinding, dan sering
dipakai untuk tempat tinggal manusia pula. Rumah orang Bugis-
Makassar juga digolong-golongkan menurut lapisan sosial dari
penghuninya. Berdasarkan hal itu, maka ada tiga macam rumah ialah:
(a) Sao-raja dalam bahasa Bugis atau balla, lompo dalam bahasa
Makassar, adalah rumah besar yang didiami oleh keluarga kaum
bangsawan. Rumah-rumah ini biasanya mempunyai tangga dengan
alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (saparw),
dan mempunyai bubungan yang bersusun tiga atau lebih; (b) Sao-piti'
dalam bahasa Bugis, atau tarata'dalam bahasa Makassar, bentuknya
lebih kecil, tanpa sapana dan mempunyai bubungan yang bersusun
dua;(c) Bola dalam bahasa Bugis, atau balla' dalam bahasa Makassar,
merupakan rumah buat raky'at pada umumnya. Semua rumah Bugis-
Makassar yang berbentuk adat, mempunyai, suatu panggung di depan
pintu masih di bagian atas dari tangga. Panggung itu yang disebut
tamptng, adalah tempat bagi para tamu untuk menunggu sebelum
dipersilahkan oleh tuan rumafr'untuk masuk ke dalam ruang tamu.
Pada permulaan membangun rumah seorang ahli adat dalam hal
membangun rumah (panrita-bohl menentukan tanah tempat rumah itu
akan didirikan. Beberapa macam r:rmuan diletakkan pada tempat tiang
tengah akan didirikan. Kadang-kadang ditanam kepala kerbau di
tempat itu. Setelah kerangka rumah didirikan, maka di bagian atas dari
tiang tengah digantungkan juga ramuan-ramuan dan sajian-untuk
menolak malapetaka yang mungkin dapat menimpa rumah itu.
6. 5. MATA PENCARIAN HIDUP Penduduk Sulawesi Selatan, adalah
pada umumriya petani seperti penduduk dari lain-lain daerah di
Indonesia. Mereka ittr menanam padi bergiliran dengan palawija di
sawah. Teknik bercocok tanamnya juga seperti di lain-lain tempat di
Indonesia masih bersifat tradisionel berdasarkan cara-cara intensif
dengan tenaga manusia. Di berbagai tempat di pegunung' an, di
pedalaman dan tempat-tempat terpencil lainnya di Sulawesi-Selatan,
seperti di daerah orang Toraja, banyak penduduk masih melakukan ber'
cocok tanam dengan teknik peladangan. Adapun pada orang Bugis dan
Makassar yang tinggal di desa' desa di daerah pantai, mencari ikan
merupakan suatu mata pencarian hidup yang amat penting. Dalam hal
ini orang Bugis dan Makassar menangkap ikan dengan perahu-perahu
layar sampai jauh di laut. Memang orang Bugis dan Makassar terkenal
sebagai suku-bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan
suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Perahu-
perahu layar mereka yang dari tipe penisi dan tambo telah mengarungi
perairan Nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke
Srilangka dan Filipina untuk berdagang. Kebudayaan maritim dari
orang Bugis-Makassar itu tidak hanya mengembangkan perahu' perahu
layar dan kepandaian berlayar yang cukup tinggi, tetapi juga me' , l'
ninggalkan suatu hukum niaga dalam pelayaran, yang disebut
Ade'Allopiloping Bicamnru Pabbalu'e dan yang tertulis pada lontar
oleh Amanna Gappa dalam abad ke-17 8). Bakat berlayar yang rupa-
rupanya telah adg pada orang Bugis dan Makassar, akibat kebudayaan
maritim dariabad-abad yang telah lampau itu. Kecuali berlayar untuk
mencari ikan menyuzur pantai'pantai Sulawesi Selatan, atau berdagang
ke berbagai tempat di Nusantara orang Bugis-Makassar juga banyak
menangkap teripang, seekor binatang lrrut (Holothurioidea) yang
dijual kepada tengkulak'tengkulak untuk diexport ke Cina. Untuk
menangkap teripang mereka berlayar sampai jauh ke daerah kepulauan
Tanimbar, ke dperah pantai Irian Barat dan ke Australi Utara 9),
Terutama dalam abad ke-19 yang lalu export teripang itu maju sekali
sampai permulaan abad ke-20 ini kira 1920, waktu usaha itu mdlai
mundur. Sebelum Perang Dunia ke-II, daerah Sulawesi Selatan
merupa' kan daerah surplus bahan makanan, yang mengexport beras
dan jagung ke lain-lain tempat di Indonesia. Adapun kerajinan rumah-
rangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera
dari Mandar dan Wajo dan tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba.

7. SISTEM KEKERABATAN Perkawinan. Dalam hal mencari jodoh


dalam kalangan masyarakat desanya sendiri, adat Bugis-Makassar
menetapkan sebagai perkawinan yang ideal: (l) perkawinan
yang .disebut assiohng marola (atau passialleang baji'rw dalam bahasa
Makassar) ialah antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari fihak
ayah maupun ibu; (2) 'perkawinan yang disebut assialanrw memang
(atau passialleanna dalam bahasa Makassar), ialah perkawinan antara
saudara sepupu serajat kedua, baik dari fihak ayah maupun ibu; (3)
perkawinan antara ripoddeppe' mabelae (atau nipakambani beilaya
dalam bahasa Makassar) ialah perkawinan antara saudara sepupu
derajat ketiga juga dari kedua belah fihak. Perkawinan antara saudara-
saudara sepupu tersebut, walaupun dianggap ideal, bukan suatu hal
yang diwajibkan, sehingga banyalc pemuda dapat saja kawin dengan
gadis-gadis yang bukan saudara-saudara sepupunya. Adapun
perkawinan-perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang
(salimara') adalah: (l) pgrkawinan antara anak dengan ibu atau ayah;
(2) antara saudara-saudara sekandung; (3) antara menantu dan mertua;
(4) antara paman atau bibi dengan kemanakannya; (5) antara kakek
dan nenek dengan cucu. Perkawinan yang dilangsungkan secara adat
melalui deretan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (l) Mappuce-puce
(akkusl'ssl'ng dalam bahasa Makassar), ialah kunjungan dari keluarga
si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk memeriksa kemungkinan
apakah'peminangan dapat dilakukan. Kalau kemungkinan itu tampak
ada, maka diadakan. (2) Massuro (assuro dalam' bahasa Makassar),
yang merupakan kunjurgan dari utusan fihak keluarga laki-laki kepada
keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis
sunreng atau mas-kawiurya, balanja atau belanja perkawinan,
penyelenggaraan pestanya dan sebagainya. Setelah tercapai
persepakatan maka masing-masing keluarga melakukan; (3) Madduppa
(ammunruli dalant bahasa Makassar), ialah pemberian tahu kepada
semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang. Hari
pernikahan dimulai dengan mappaenre' balanja (apparai leko' dalam
bahasa Makassar), ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai
rombongan dari kaum kerabatnya pria-wanita, tua-muda, dengan
membawa macam-macam makanan, pakaian wanita dan maskawin.
Sampai di rumah mempelai wanita maka dilangsungkan upacara
pernikahan, yang dilanjutkan dengan pesta perkawinan atau aggaukeng
(pa'gaukang dalam bahasa Makassar). Pada pesta itu para tamu yang di
luar diundang memberi 267 kado atau uang sebagai sumbangan
(sotoreng) lol. Beberapa hari senrdah hari pemikahan, penganten baru
mengunjungi keluarga si suami dan ttnSEal beberapa lama di sana'
Dalam kunjungan itu si isteri baru harus membawa pemberian-
pemberian untuk semua anggauta keluarga si suami. Kemudian ada
kunjungan ke keluarga si isteri, juga dengan pemberian-pemberian
untuk sernua mereka. Penganten baru juga harus tinggal untuk;
beberapa lama di rumah keluarga itu. Barulah mereka dapat
menempati rumah mereka sendiri sebagai nsl^oanni aleru
(ruentengommi lcalenru dalam bahasa Makassar). Hal itu berarti
bdrwa mereka sudah membentuk rumah'tangga sendiri. Perkawinan
yang tidak dilakukan mehurut adat terurai di atas' disebut silariang.
Dalam hal itu si laki-laki membawa lari si gadis. Kawin lari semacam
ini biasanya terjadi karena pinangan dari fihak laki-laki ditolak, atau
karena belanja perkawinan yang ditentukan oleh keluarga si gadis
terlampau tinggi. Hal yang terakhir ini sebenarnya juga suatu
penolakan pinangan secara halus. Fara kerabat si gadis yang mengejar
kedua pelarian itu disebut tomasiri' dan kalau mereka berhasil
menemukan para pelarian, maka ada kemungkinan bahwa si laki-laki
dibunuh. Dalam keadaan bersembunyi, yang sering bisa berlangsung
berbulan-bulan lamanya, si laki-laki kemudian akan berusaha mencari
perlindungan pada seorang terkemuka dalam masyarakat. Orang ini
kalau ia sudi, akan mempergunakan kewibawaannya untuk meredakan
kemarahan dari kaum kerabat si gadis dan menyarankan mereka untuk
menerirqa baik kembali kedua mempelai baru itu sebagai kerabat.
Kalau memang ada tanda'tanda kerabat si gadis itu mau menerima
mereka kembali, maka teluarga si laki-laki akan mengambil inisi' atif
untuk menguqjungi kehrarga si gadis. Penarimaan fihak koluarga si
gadis untuk berbaik kembali disebut dalam bahasa Bugis, maddeceng,
ata! abbadii dalam bahasa Makassar. Kawin lari biasa tidak terjadi
karena wntpc (Bugis) atau xtnrang (Makassar) ialah maskawin yang
tinggi, melainkan oleh belanja perkawinan yang tinggi. Sompa atau
suwang l'ta besar kecilnya, sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang
dipinang dan dihitung dalam rulu rella (= reaD ialah nominal Rp. 2,-.
Mas kawin yang diberi iilai nominal menurut jumlah rella tertentu
dapat saja teidiri atas sawth, kebun, keris pusaka, perahu dan
sebagainya yang semuanya manpunyai makna penting dalam
perkawinan.
8. 7. SISTEM KEMASYARAKATAN Stratifikasi Sosial Lama. H.J.
Friedericy pernah menulis sebuah disertasi, di mana ia
menggambarkan pelapisan masyarakat orangr Bugis-Makassar dari
zaman sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai langsung
daerah Sulawesi Selatan tl). Salah satu sumber yang dipakai untuk
melakukan rekonstruksinya adalah buku kezusasteraan Bugis-
Makassar asli La Galigo. Menurut Friedericy dulu ada tiga lapisan
pokok, ialah: (l) Anakarung (ana' karaeng dalam bahasa Makassar)
ialah lapisan kaum kerabat raja-raja; (2) Tomamdelw T*-trura-deka
dalam bahasa Makassar) ialah lapisan orang merdeka yang merupakan
sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan; dan (3) Ata ialah lapisan
orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang
yang tidak dapat membayar.hutang, atau oran! yang melanggar
pantangan adat. Dalam usahanya untuk mencari latar belakang
terjadinya pelapisan masyarakat itu, Friedericy berpedoman kepada
peranan tokohtokoh yang disebut dalam La Galigo dan ia
berkesimpulan bahwa masyarakat orang BugisMakassar itii pada
mula-mulanya hanya terdiri dari dua lapisan dan bahwa lapisan ata itu
merupakan suatu perJ kembangan kemudian yang terjadi dalam zaman
perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan.
Pada permulaan abad ke-20, lapisan ata mulai hilang, karena larangan
dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama. Sesudah Perang
Dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan aru korung dan to
numdeka dalam kehidirpan masyarakat juga mulai berkurang dengan
cepat. Adapun gelar-gelar aru karung seperti Karamta, htatta, Andi dan
Daeng, walaupun memang masih dipakai, toh tidak lagi mempunyai
arti seperti dulu dan sekarang malahan sering dengan sengaja
diperkecilkan artinya dalam proses perkembangan sosialisasi dan
dalam demokratisasi dari masyarakat Indonesia. stratifikasi sosial lama
sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan; namun
zuatu stratifikasi sosial yang baru yang condong untuk berkembang
atas dasar tinggi-rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi
kepegawaian, atau atas dasar pendidik' an sekolahan, belum juga
berkembang dan mencapai wujud yang mantap. Suatu hal yang nyata
adalah bahwa sikap ketaatan lahir terhadap penguasa itu, masih ada
sebagai akibat suatu rasa takut dan curiga terhadap tindakantindakan
kekerasan militer yang telah diderita oleh rakyat SulawesiSelat. an
sejak zarnan Jepang sampai sekarang. Yang perlu ditumbuhkan
secepat' cepatnya adalah suatu sikap ketaatan, baik lahir maupun batin,
yang ber' sumber dari rasa kepercayaan kepada penguasa, yang sejauh
mungkin menghindarkan tindakan-tindakan kekerasan dan tekanan
kepada rakya
9. ADAT YANG KERAMAT DAN AGAMA Orang Bugis-Makassar,
yang terutama hidup di luar kota, dalam kehidupannya sehari-hari,
masih banyak terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adatnya
yang keramat dan sakral yang keseluruhannya. mereka sebut
panngadeneng (atau panngadaktung dalam bahasa Makassar): Sistem
adat keramat dari orang Bugis-Makassar itu berdasarkan'atas lima
unsur pokok ialah: (l) Ade' (ada'dalam Makassar); (2)
Bicara;Q)Rapang; (4) llari'dan (5) Sara' l2). Unsur-unsur pokok
tersebut dari adat keramat tadi terjalin satu sama lain sebagai suatu
kesatuan organis dalam alam pikir' an orang Bugis-Makassa{, yang
memberi rasa sentimen kewargaan masyarakat dan identitet sosial
kepadanya, dan juga martabat dan rasa harga diri yang terkandung
semuanya dalam konsep sm'(tentang konsep ini dalam seksi lain di
bawah nanti ada keterangan lebih lanjut). Ade' adalah unsur bagian
dari panngadeneng yang secara khurls terdiri lagi dari: (l) Ade'
akkalabinengeng, atau norma mengenai hal' ihwal perkawinan serta
hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah
perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan
kewajiban warga rumah-tangga' etika dalam hal berumah-tangga dan
sopan santun pergaulan antara kaum kerabat; (2) Ade' tana, atav not
ma-norma mengenai hal-ihwal bernegara dan memerintah negara dan
berwujud sebagai hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan
pembina' an insan politik. Pengawasan dan panbinaan ade' dalam
masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh beberapa pejabat
adat seperti: paklw-tenni ade', puang ade', pampawa ade' dan parewa
ade'. Bicara adalah unsur bagian dat'r panngadefteng, yarL1 mengenai
semua aktivitet dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan peran
dilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara, m.enentukan
prosedurenya, serta hk-hak dan kewajiban seorang yang mengajukan
kasusnya di muka pengadilan atau yang mengajukan penggugatan.
Roryng berarti contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Se' bagai
unsur bagian dafi panngadeneng, rapang menjaga kepastian dan
kontinuitet dari suatu keputusan hukum tak-tertulis dalam masa yang
lampau sampai sekarang, dengan membuat analogi antara kasus dari
masa yang lampau itu dengan kasus yang sedang digarap. Rapang iuga
berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang menganjurkan
kelakuan ideal dan etika dalam lapangan-lapangan hidup yang tertentu,
seperti lapangan kehidupan kekerabatan, lapangan kehidupan
berpolitik dan memerintah negara dan sebagainya. Kecuali itu rapang
rupa-rupanya juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat
untuk mencegah tindakan'tindakan yang bersifat gangguan terhadap
hak milik, serta ancaman terhadap keamanan seorang warga
masyarakat. llori' adalah unsur bagian da:'i panngadenenS, yang
melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan aktivitetnya
dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya 13).
Misalnya: untuk memelihara tata-susunan dan tata-penempatan hal-hal
dan benda'benda dalam kehidupan masyarakat; untuk memelihara jalur
dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial; untuk
memelihara hubungan kekerabatan antara raja sesuatu negara dengan
raja-raja dari negara-negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang
tua dan mana yang muda dalam tata upacara kebesar' an. Sara' adalah
unsur bagian dari'panngadefteng, yang mengandung pranata-pranata
dan hukum Islam dan yang melengkapkan keempat' unsurnya menjadi
lima. Religi orang Bugis-Makassar dalam zaman pra-Islam, seperti
yang tampak dari Sure' Galigo, sebenarnya telah mengandrurg suatu
keper' cayaan kepada satu dewa yang tunggal yang disebut dengan
beberapa nama seperti: futotoe (= Dia yang menentukan nasib),
Dewata Seuws'e (= dewa yang tunggal), Turie a'rana (= kehendak yang
tertinggi)' Sisa' sisa kepercayaan lama seperti ini masih tampak jelas
misalnya pada orang To Lotang di kabupaten Sidenreng'Rappang dan
pada orang Amma-Towa di Kajang, kabupaten Bulukumba Waktu
agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17,
maka ajaran Tauhid dalam Islam, mudah dapat difahami oleh
penduduk yang telah percaya kepada dewa yang iunggal dalam La
Galigo. Demikian agama Islam dapat 'mudah diterima dan proses itu
dipercepat dengan dan oleh kontak terus-menerus dengan pedagang'
pedagang Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun de'
ngan kunjungan-kunjungan orang Bugis-Makassar ke negeri'negeri
lain yang sudah beragama Islam. Hukum Islam atau syari'ah
diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi sara' sebagai suatu
unsur pokok darinya dan kemudian malahan menjiwai keseluruhannya.
Unsur'unsur dari kepercayaan lama seperti pernujaan dan upacara
bersaji kepada ruh nenek moyang atau attoriolong, pemeliharaan
tempat keramat atav saukung, upacara turun ke sawah, upacara
mendirikan dan meresrnikan rumah dan sebagainya, semuanya dijiwai
oleh konsep-konsep dari agama Islam. Dalam sistem kerajaan Bugis-
Makassar, sampai zaman kerajaan-kerajaan itu menjadi swapraja-
swapraja (atau Zeflbesturentle Landschappen/ di bawah kekuasaan
pemerintah jajahan Hindia-Belanda, sara' itu disusun menurut
brganisasi ade' dan berkembanglah suatu pembagian lapangan di mana
sara' me' ngatur kehidupan kerohanian dan ade' mengatur kehidupan
keduniawiin dan politik dari negara. Demikian dalam tiap-tiap negara
swaparja diadakan seorang pejabat sara' tertinggi yang disebut Kadhi,
Dalam abad ke-20 ini, terutama karena pengaruh gerakan'gerakan
pemurnian ajaran-ajaran agama Islam, seperti misalnya gerakan
Muham' madiyah, maka ada kecondongan "untuk menganggap banyak
bagianbagian dari panngadeneng itu sebagai syirk, Iindakan yang tak
3e' suai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan.
Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses
pemumian.
10. PENDIDIKAN Sampai tahun 1965, karena keadaan kekacauan terus-
menerus sejak zaman Jepang, zaman Revolusi dan zaman
pemberontakan Kahar Mu' zakkar, maka perkembangan pendidikan di
Sulawesi Selatan amat ter' belakang kalau dibandingkan dengan
lain'lain daerah di Indonesia. Walaupun demikian di kota-kota, usaha
memajukan pendidikan berjalan juga dan sesudah pemulihan kembali
keadaan aman, maka di samping rehabilitasi dalam sektor-sektor
ekonomi, sarana dan kehidupan kemasya' rakatan pada umumnya,
usaha dari lapangan pendidikan mendapat perhatian yang khusus.
Hasilnya tampak pada tabel XIX di mana tergambar pertambahan
jumlah berbagai sekolah umum dan kejuruan, pemerintah maupun
swasta, selama 20 tahun terakhir ini. Di samping sekolah-sekolah .
tercantum dalam tabel XIX ada pula sekolah agama, tersebar luas di
Sulawesi Selatan. Sekolah-sekolah agama ini banyak yang diasuh oleh
yayasan'yayasan pendidikan swasta dari organisasi-organisasi seperti
Muhammadiyah, Darudda'wah al Irsjad Assa'diah, Misbah, Jamiatul
Islamiah, perguruan Islam dan Badan pendidikan Islam. Di dalam
lingkungan masyarakat desa, sejak dahulu kala pondokpo4dok mengaji
Al Qur'an yang diselenggarakan oleh guru-guru mengaji, sudah
mendapat kedudukan yang penting. pada masa sekarang
diselenggarakan pesantren-pesantren baru yang di samping pelajaran
mengaji dan pendidikan agama diberi juga mata-mata pelajaran.lain,
selperti misalnya Madrasah Drasah Islamiah wa-Arabiah. Pendidikan
agama-agama lainnya, juga. diselenggarakan oleh organi' sasi-
organisasi Kristen hotestan ddn Katolik dalam sekolah-sekolah seperti
Sekolah-sekolah Teologia Menengah, Seminari Katolik dan
sebagainya. . Pendidikan Tinggi sudah ada di Makassat sejak
permulaan zaman Kemerdekaan. universitas Negeri Ha5anuddin,
sampai sekarang telah menghasilkan ratusan sarjana dalam berbagai
bidang, sedangkan di samping IKIP negeri di Makassar ada juga
beberapa universitas swasta lainnya dan kira' kira 20 akademi untuk
berbagai macam pendidikan keahlian.

BUDAYA SIRI’

budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana Toraja) ada
sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identititas serta watak
orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce. Secara lafdzhiyah Siri’ berarti :
Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse
yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti
semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau
kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan
Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”.
Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori,
yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri
(Bugis: Teddeng Siri’), dan (4) Siri’ Mate Siri’.
Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau
Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter)
yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.
Budaya Siri’ Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat
Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri’ na pacce tidak
dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang,
sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga
hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya. Istilah siri’ na
pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan
karena siri’ na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi
masyarakat Bugis-Makassar, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang
berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan
manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri’
adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat
manusia, siri’ adalah sesuatu yang ‘tabu’ bagi masyarakat Bugis-Makassar
dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan
golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar
mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih
dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah
dalam bahasa Indonesia “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul”
Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini senantiasa
akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis
Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan
berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran
tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan
eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah
satu kekhawatiran banyak pihak termasuk penulis sendiri, sehingga harus
diluruskan agar kedepannya nilai falsafah ini tetap bisa menjadi pedoman,
pegangan serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar.
Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat Bugis-
Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain
adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap
manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian,
pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya
maka setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis-Makassar memiliki
orientasi yang mampu menghadapi apapun.
Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat Bugis-Makassar
yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” (dua bagian
yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan).
Apabila kita mengamati pernyataan nilai siri’ ini atau lebih konkritnya
mengamati kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan atau tingkah laku
yang katanya dimotivasi oleh siri’, maka akan timbul kesan bahwa nilai siri’ itu
pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan sentimental atau
sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak kepada melihat kejadian-
kejadian yang timbul akibat penafsiran siri’, misalnya: malu-malu, aib, iri hati,
kehormatan dan harga diri, dan kesusilaan. Cara pandang seperti ini jelas
merupakan sebuah cara pandang yang kurang lengkap terutama apabila hendak
mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan. Sebab hal tersebut
merupakan sebuah nilai yang bukan hanya sebuah nilai kebudayaan akan tetapi
juga merupakan sebuah nilai/falsafah hidup manusia.
Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap
tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Sebagai
seorang masyarakat Sulawesi Selatan, penulis melihat, disintegrasi semacam ini
sudah lama terjadi. Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat
semestinya, mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam
memahami suatu permasalahan. Jika berkaca pada peristiwa-peristiwa yang
terjadi di daerah ini, mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan
kerusuhan, sampai kepada perilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada
konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan
ketidakstabilan dalam kehidupan sosial bermasyarakat di masa yang akan
datang.
Apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap permasalahannya,
antara lain dapat diketahui dari lontara’ La Toa. Dimana dalam lontara ini berisi
pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakn kumpulan petuah untuk
dijadikan sebagai suri tauladan. Kata La Toa sendiri sejatinya memiliki arti
petuah-petuah, dimana juga memiliki hubungan yang erat dengan peranan siri’
dalam pola hidup atau adat istiadat masyarakat Bugis-Makassar. Misalnya dapat
dilihat pada beberapa point dalam lontara’ tersebut: Siri’ sebagai harga diri
ataupun kehormatan, Mapappakasiri’ artinya menodai kehormatannya,
Ritaroang Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya, Passampo Siri’ yang
artinya penutup malu, Siri’ sebagai perwujudan sikap tegas demi sebuah
kehormatan hidup.

Kata siri’ dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah dan
sebuah prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar. Ungkapan-ungkapan seperti : siri’
na ranreng (siri’ dipertaruhkan demi kehormatan), palaloi siri’nu (tegakkan siri’mu),
tau de’ siri’na (orang tak memiliki malu tak memiliki harga diri) merupakan
semboyan-semboyan falsafah hidup masyarakat Bugis-Makassar.

Dari aspek ontologi (wujud) budaya siri’ na pacce mempunyai hubungan yang sangat
kuat dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa
dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri’ na pacce
mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri’ na
pacce merupakan jati diri dari orang-orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah
dan ideologi siri’ na pacce maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan
menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep
siri’ na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi
juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi seperti, suku
Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi
falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.

Ungkapan sikap masyarakat Bugis-Makassar yang termanifestasikan lewat


kata-kata taro ada’ taro gau (satu kata satu perbuatan), merupakan tekad atau
cita-cita dan janji yang telah diucapkan pastilah dipenuhi dan dibuktikan dalam
perbuatan nyata. Hal tersebut juga sejalan dengan prinsip-prinsip abattireng
ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa di junjung tinggi, semuanya ku
abadikan demi keagungan leluhurku).
Berdasarkan jenisnya siri’ terbagi yaitu:

Siri’ Nipakasiri’

Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat
dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk
dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka,
pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh
pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari)karena telah membuat malu
keluarga.
Contoh lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan
dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na)
wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh.
Utang darah harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.

Dalam keyakinan orang Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena
menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate
Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat
kematian yang terbalut santan atau gula. Dan, itulah sejatinya Kesatria.

Tentang ini hal ini, oleh Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman penjajahan
dahulu tidak bisa mengerti mengapa orang Bugis/Makassar begitu bangga dan secara
kesatria mengakui di depan persidangan pidana bahwa dia telah melakukan
pembunuhan berencana, meski diketahuinya bahwa ancaman pidananya sangat berat
jika dibandingkan dengan pembunuhan biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan
sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP). Secara logika, memang orang lain tidak
dapat mengerti hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan makna Siri’
yang sesungguhnya.

Agar dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Siri’ untuk kategori Siri’
Ripakasiri’, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa,
punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka. Artinya,
hanya karena Siri’.

kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi
hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.

Siri’ Mappakasiri’siri’

Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis)


Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika
seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang
berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya
sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang
telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah
mempermalukan dirinya sendiri.

Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’,
ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri
untuk membayarnya.

Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta hubungannya dengan etos kerja
yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar
di perantauan.

Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang
Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi
tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan
kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik
tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau,
sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau
harapan.

Selain itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu
sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’ siparampe,
malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau “Pada idi pada
elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat
tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau
seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka
keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
Siri’ Masiri’

Siri’ masiri’ yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan,


meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh
dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri’ itu sendiri.
Seperti sebuah penggalan syair sinrili’ “Takunjunga’ bangung turu’.. Nakugunciri’
gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia” yang berarti “Layarku telah
kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada
melangkah surut”. Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-
Makassar memiliki tekad dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan
ini.

Siri’ Mate Siri’

Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar,
orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa
malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa
malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.

Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma
busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan,
bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi,
kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-
mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya.
Nauzubillahi min-dzalik.

Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat
Bugis/Makassar. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’ (malu). Contoh,
apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga) maka si
anak yang telah membuat malu (siri’) tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar
keluarga. Namun, jika suatu saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat
anaknya menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu
dan tidak tega melihat anaknya menderita.

Punna tena siri’nu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah karena si anak telah
membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat anakmu menderita. Jika Anda
tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu (Paccenu). Anak adalah amanah Allah,
jangan engkau sia-siakan.

Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce
berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu,
humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang
terbit dari dalam kalbu yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan
etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’
diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan
pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-
hari sebagai “ motor “ penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan
sistem sosialnya.

Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya siri’ na pacce terbagi atas 3 yaitu:

Nilai Filosofis.

Nilai Filosofis siri’ na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup orang-orang
Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan yang meliputi watak
orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani dan
konstruktif.

Nilai Etis.

Pada nilai-nilai etis siri’ na pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi: teguh pendirian,
setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan, cinta dan empati.
Nilai Estetis

Nilai estetis dari siri’ na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani yang terdiri atas
benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda alam hewani, Kemudian,
satu hal yang perlu diperhatikan disini yakni manakala harga diri masyarakat Bugis-
Makassar tersebut ternodai, yang karenanya melahirkan aspek-aspek siri’, maka
semestinya bagi yang terkena siri’ tersebut untuk melakukan upaya penghapusan
noda (siri’) tersebut. Hal tersebut dapat berupa upaya musyawarah atau
membicarakan duduk persoalannya atau jika sudah melewati batas kemanusiaan dan
ketentuan yang ada, barulah dilakukan upaya dengan bentuk kekuatan (baik secara
hukum maupun perorangan), tergantung nilai siri’ yang timbul dari permasalahan
yang ada. Sehingga bagi pihak yang terkena siri’ kemudian bersikap bungkam tanpa
ada upaya sama sekali, maka akan dijuluki sebagai orang yang tak punya rasa malu
(tau tena siri’na).

Dengan demikian, dapatlah dikatakan betapa besar pengaruh nilai-nilai siri’ ini bagi
sikap hidup masyarakat Bugis-Makassar dan masyarakat Sulawesi Selatan secara
umum. Sehingga nilai siri’ ini bagi masyarakat Bugis-Makassar, sebagaimana yang
telah diuraikan diatas adalah sebuah falsafah hidup, dimana secara garis besar dapat
ditarik sebuah benang merah berdasarkan analisa-analisa diatas, bahwa sesungguhnya
peranan siri’ yang merupakan alam bawah sadar masyarakat Bugis-Makassar ini
merupakan nilai falsafah dan sikap yang menjadi perwujudan dari manusia Bugis-
Makassar.

Budaya siri’ na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk
menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan sosok-sosok muda yang
memiliki jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah calon pemimpin dan
pemiliki bangsa ini. Mereka harus memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka, dengan
adanya budaya siri’ na pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka
terhadap segala macam persoalan yang sedang melanda bangsa ini.
Nilai adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan dalam
konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi landasan atau acuan dalam
penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup
dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat
dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.

Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah
dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan
masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’
na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.

Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-
Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce ( Bahasa Makassar )
atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari
karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu
sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga
Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan
orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e ( seperti
binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo ( karena malu kita hidup ).

Seorang pemimpin yang memiliki budaya siri’ na pacce dalam dirinya akan menjadi
seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana
dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan membawa
bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka
terhadap lingkungan, mampu mendengarkan aspirasi-aspirasi orang-orang yang
mereka pimpin karena itu sejalan dengan konsep negara kita yaitu Demokrasi.

Sumber : disadur dari tulisan :

Abdi eL_Machete : “SIRI’ SEBAGAI SIKAP DAN FALSAFAH HIDUP


MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR ” (akademia edu)
Muh. Abdi Goncing : “SIRI’ NA PACCE SEBAGAI FALSAFAH HIDUP
MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR Dalam Perspektif Filsafat Sejarah”
(akademia edu).

Budaya siri' sebagai nilai dan norma ini dijadikan pola tingkah laku dalam

berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun

dirinya menjadi seorang manusia bagi masyarakat bugis. Juga dalam hubungan

sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ terjalin hubungan yang

tidak bisa dipisahkan antara keduanya, saling terkait dan berhubungan.

Nilai-nilai dalam Siri' tersebut senantiasa dipertahankan dalam tatanan

kehidupan masyarakat Bugis, bukan hanya di Sulawesi Selatan tetapi di seluruh

Indonesia, dan bahkan di negara lain pun tetap dijaga.

Nilai-nilai yang terkandung dalam adat Siri' tentu mengarah kepada hal yang

positif dan cenderung berdampak dalam kehidupan sosial masyarakat suku bugis,

maka dari itu sejak dulu sampai sekarang nilai-nilai tersebut masih di jaga dan di

junjung tinggi. Adapun faktor yang mendasari sehingga menjadikan nilai-nilai siri'

di masyarakat terjaga, adalah sebagai berikut :

A. Dari sistem budaya, siri' itu sebagai benteng pertahanan harga diri,

pengimplementasian norma kesusilaan, penegakan hukum serta tetap

mengutamakan agama sebagai nilai yang utama guna merefleksikan alam

pikiran, perasaan dan kemauan manusia.


B. Dalam kehidupan sosial atau sistem sosial, siri' merupakan alat untuk

menjaga keseimbangan hubungan antara individu-kelompok di dalam

masyarakat hingga berjalan dinamis.

C. Dalam nilai kepribadian individu, siri' yang terhubung dengan harga diri

tentu menrefleksikan jiwa yang senantiasa menjaga harkat dan martabat

manusia, yang kemudian menjadi konkret pada akal budi manusia.

Terpelihara nya nilai-nilai Siri' ini, masyarakat kemudian secara tidak

langsung sudah meningkatkan integritas setiap individu maupun kelompok.

Tujuannya yakni agar setiap orang dalam masyarakat selalu berusaha mengamati

perilaku yang baik kemudian mengamalkan perbuatan baik tersebut agar menjadi

orang yang terhormat dengan perilaku terpuji.

2.5 Hukum Adat

Hukum adat adalah adat yang di terima dan harus dilakasanakan/ patuhi oleh

masyarakat yang bersangkutan.Hukum adat dimulai dari manusia melalui pikiran,

kehendak, dan perilakunya, kemudian berkembang menjadi adat dan selanjutnya

menjadi hukum adat.

Menurut “Ter Haar” d

alam pidato Dies Natalies Rechtshogeschool, Batavia1937, yang berjudul

Het Adat recht van Nederlandsch Indie in wetenschap, pracktijk en onderwijs,

menurutnya hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam

keputusan-keputusan yang penuh wibawa yang dalam pelaksanaannya “diterapkan


begitu saja”, artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya

dinyatakan mengikat sama sekali.

Sedangkan Soekanto dalam bukunya meninjau hukum adat di Indonesia,

mengemukakan bahwa “kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak

dikitabkan, tidak dikodifikasikan (ongecodiceerd) dan bersifat paksaan (dwang),

mempunyai sanksi (dari hukum itu), jadi mempunyai akibat Hukum

(rechtsgevolg), kompleks ini disebut hukum adat (adat recht).

Dengan demikian hukum adat itu merupakan keseluruhan adat (yang tidak

tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman

yang mempunyai akibat hukum.

2.6 Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah suatu bentuk kehidupan bersama, yang

warga-warganya hidup secara bersama dalam jangka waktu yang sangat lama,

sehingga membentuk suatu kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu kesatuan

dari sistem sosial, yang menjadi wadah dari berbagai pola-pola interaksi sosial

atau hubungan interpersonal ataupun hubungan antar kelompok sosial.

Menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan

masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri

sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, penguasa dan kesatuan lingkungan

hidup berdasarkan hak atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang

menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat

tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin

yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan ke dalam), dan

memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.

Bab 3 isi
D. METODE PENELITIAN= EMPIRIS (LAPANGAN) + NORMATIF

(BUKU-INTRNET)

Dalam rangka mencapai tujuan penelitian ini dengan tetap mengacu pada standar

lmiah sebuah karya penelitian, maka penulis menggunakan metode sebagai

berikut

1. METODE EMPIRIS

Penelitian impiris merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan

menggunakan bukti-bukti empiris. Bukti empiris inilah sebagai informasi

yang diperoleh melalui observasi atau eksperimen. Dilakukan dengan cara

merekam dan menganalisis data, kemudian bukti empiris ini dikumpulkan

menggunakan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif.

Metode penelitian impiris ini juga merupakan sebuah penelitian hokum

yang berfungsi melihat hokum sebagai arti yang nyata Dan meneliti cara

kerja hokum dalam lingkungan masyarakat.

2. METODE NORMATIF
Penelitian hokum normatif atau penelitian perpustakaan merupakan

penelitian yang mengkaji studi dokumen, dengan menggunakan berbagai

data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan

pengadilan, teori hokum, dan dapat juga berupa pendapat para sarjana.

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan

data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-

angka.

E. WAKTU DAN BIAYA

1. WAKTU PENELITIAN

a. Tahap persiapan……………………………….10 hari

b. Tahap pengumpulan data…………………….15 hari

c. Tahap pengolahan dan analisis data………….15 hari

d. Tahap penulisan laporan………………………20 hari


Total…………………………………………….60 hari

2. Biaya penelitian

a. Pengumpulan data……………………………rp. 1.000.000

b. Alat tulis dan kertas………………………….rp. 500.000

c. Penjilidan dan penggandaan…………………rp. 1.500.000

d. Ujian atau seminar akhir……………………..rp.1.000.000

e. Revisi……………………………………………rp. 1.000.000

f. Biaya tak terduga………………………………rp. 1.000.000

Total……………………………………………..rp. 6.000.000

F. WAKTU DAN BIAYA =

Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis dan secara

berurutan sehingga dapat diperoleh gambaran yang terarah dan jelas.

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. budaya Indonesia

2. adat

3. hokum adat

4. masyarakat adat

5. sengketa adat

6. suku bugis makassar

7. budaya siri’ suku bugis makasssar

8. perkawinan adat

9. perkawinan menurut undang-undang perkawinan

10. perjanjian perkawinan

B.

C.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

B.

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

B.

C.
D.

E.

F.

G.

H. Saran

Anda mungkin juga menyukai