Anda di halaman 1dari 9

ESENSI PENYELESAIAN SENGKETA BUDAYA SIRI

MASYARAKAT HUKUM ADAT BUGIS MAKASSAR DI


KOTA JAYAPURA

PROPOSAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Surat Ijin Penelitian Dan
Penyusunan Skripsi

Oleh :
DINDA LESTARI DEWI
NIM.20180299014149

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan ini telah disetujui


Pada Tanggal …………2022

Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Frans Reumi, S.H., M.A., M.H Daniel Tanati, S.H., M.H
NIP. 19600713 198903 1 002 NIP. 19730429 200212 1 001

Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Perdata

Daniel Tanati, S.H., M.H


NIP. 19730429 200212 1 001
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN...............................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

A. Judul.............................................................................................................

B. Latar Belakang Masalah...............................................................................

C. Rumusan Masalah........................................................................................

D. Tujuan Penelitian.........................................................................................

E. Manfaat Penelitian.......................................................................................

F. Tunjauan Pustaka.........................................................................................

G. Metode Penelitian........................................................................................

H. Waktu dan Biaya..........................................................................................

I. Sistematika Penulisan........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional,
kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di
Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Budaya Indonesia
dapat juga diartikan bahwa Indonesia memiliki beragam suku bangsa dan
budaya yang beragam seperti tarian daerah, pakaian adat, dan rumah
adat. [1] Budaya Indonesia tidak hanya mencakup budaya asli bumiputera,
tetapi juga mencakup budaya-budaya pribumi yang mendapat pengaruh
budaya Tionghoa, Arab, India, dan Eropa. Budaya pun tak lepas dari adat.
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai
budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur
tingkah laku manusia antara satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu
kelompok masyarakat. Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum
adat sedangkan yang tidak memiliki sanksi disebut dengan kebiasaan.
Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya
karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat
terhadap masyarakat yang memilikinya. Pelanggaran terhadap adat istiadat
ini akan menerima sanksi yang keras dari anggota lainnya.
Adat berasal dari bahasa Melayu dan tradisi berasal dari bahasa
Inggris mengandung pengertian sebagai kebiasaan yang bersifat magis
religius dari kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi nilai-nilai
budaya, norma-norma hukum dan aturan yang saling berkaitan dan
kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional. Menurut
Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal
di Aceh) dalam tulisannya pada tahun 1660. "Adat" berasal dari bahasa
Arab ‫عادات‬, bentuk jamak dari ‫( عادَة‬adah), yang berarti "cara", "kebiasaan".
Di Indonesia, kata "adat" baru digunakan pada sekitar akhir abad 19.
Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah
pertemuan budayanya dengan agama Islam pada sekitar abad 16-an. Kata
ini antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri Melayu.
Budaya sering menjadi alasan untuk menciptakan perdamaian,
ketertiban, kenyamanan masyarakat. Budaya penuh akan makna dan
berharga. Budaya bisa berfungsi sebagai sumber penentu perilaku dan
aspirasi masyarakat, yakni di politik dan hukum. Budaya hanya akan
menjadi aksesoris ketika ditempatkan atau hanya
dijadikan warisan tanpa melibatkan kesadaran budaya dalam unsur-unsur hukum
untuk pembuatan peraturan daerah. Bugis adalah satu suku yang memiliki dan
menanamkan nilai-nilai budaya yang sangat tinggi di setiap gerakan, perilaku,
tindakan dan kata-kata. Pemerintah harus memperkenalkan budaya sebagai salah
satu pertimbangan dalam pembuatan peraturan lokal. Salah satu daerah di
Sulawesi selatan memiliki adat istiadat yang hanya dimiliki oleh daerah tersebut.
Suku Bugis (Lontara: ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ; Jawi: ‫وݢيس‬KKKKKKKKKKKK‫)اورڠ ب‬
merupakan kelompok etnik pribumi yang berasal dari provinsi Sulawesi
Selatan, Indonesia. Sejak tahun 1605 banyak orang bugis yang memeluk
agama Islam dari Animisme. Sehingga Islam menjadi agama utama yang
dianut oleh orang bugis, namun terdapat pula kelompok minoritas lain
yang menganut agama Kristen atau kepercayaan asli pra-Islam yang
disebut Tolotang. Meskipun populasinya hanya sekitar enam juta, orang
Bugis berpengaruh dalam politik di Indonesia modern, dan secara historis
berpengaruh di Semenanjung Malaysia dan bagian lain kepulauan tempat
mereka bermigrasi, dimulai pada akhir abad ketujuh belas. Mantan Wakil
Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, adalah orang Bugis. Di Malaysia, Perdana
Menteri keenam, Najib Razak, dan mantan Perdana Menteri Muhyiddin
Yassin memiliki darah keturunan Bugis. Orang Bugis berbicara bahasa
daerah yang berbeda selain bahasa Indonesia, yang disebut Bugis (Basa
Ugi), dengan beberapa dialek yang berbeda. Bahasa Bugis termasuk dalam
kelompok bahasa Sulawesi Selatan; anggota lainnya termasuk Makassar,
Toraja, Mandar, dan Massenrempulu. Nama Bugis adalah eksonim yang
mewakili bentuk lama dari nama tersebut; (To) Ugi adalah endonimnya.

Siri’ dalam pengertian masyarakat Suku Bugis adalah menyangkut


sesuatu yang paling peka dalam diri mereka pribadi. Siri’ bukan hanya
sekadar rasa malu sebagaimana halnya yang berada pada masyarakat suku
lain. Bagi masyarakat Suku Bugis, Siri’ sama derajatnya dengan martabat,
nama baik, harga diri, reputasi, dan kehormatan diri maupun keluarga,
yang semuanya itu harus dijaga dan dijunjung tinggi dalam kehidupan
sosial mereka sehari-hari. Oleh karena itu, Siri’  diperkenalkan secara turun
temurun oleh anggota masyarakat Suku Bugis dan mengetahui arti hidup
dan apa arti harga diri bagi manusia. Budaya Siri’ merupakan tuntutan
budaya terhadap setiap individu dalam masyarakat Sulawesi Selatan untuk
mempertahankan kesucian mereka sehingga keamanan, ketertiban dan
kesejahteraan tetap terjamin. Dengan demikian, Siri’ pada diri manusia
Bugis dapat muncul dari berbagai realitas sosial dan kehidupan sehari-hari.
Jika seseorang telah dibuat tersinggung oleh kata-kata atau tindakan orang
lain yang dianggap tidak sopan, maka seluruh anggota keluarganya akan
ikut merasa tersinggung dan melakukan pembalasan terhadap orang itu
demi menegakkan harga diri, terutama harga diri keluarga.
Salah satu realitas sosial yang paling banyak berhubungan dalam
masalah Siri’ adalah perkawinan. Jika seseorang telah dibuat malu,
misalnya anak gadisnya telah dibawa lari ( silariang)  oleh seorang
pemuda, maka seluruh pihak keluarga laki-laki dan gadis itu merasa
berkewajiban untuk membunuh pelaku demi menegakkan Siri’ yang
merupakan budaya Bugis Makassar.
Untuk orang bugis tidak ada tujuan atau alasan hidup lebih tinggi atau
lebih penting daripada menjaga sirinya kalua merasa tersinggung atau
dipermalukan merasa lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan
sirinya dari pada hidup tanpa siri, dan memang orang bugis di masyarakat terkenal
di mana-mana di Indonesia karena dengan mudah mereka suka berkelahi kalua
diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal dengan siri dikatakan
mate ri gollai, mate ri santange, artinya mati diberi gula dan santan artinya mati
untuk sesuatu yang berguna sudah berkaar dalam masyarakat Sulawesi selatan
budaya rasa malu atau siri’ lebih besar dari pada budaya rasa bersalah. Merupakan
suatu hukum yangf tidak tertulis dan sangat dijunjung tinggi oleh msaysarakat dan
di sisi lain merupakan sangsi moral yang diberikan kepada pelaku yang melanggar
nilai dan norma yang berlaku, dari pada pengamatan penulis dalam masayarakat
Ketika seseorang melakukan tindakan kawin lari (sillariang) tanpa restu orang tua.
Tindakan sillariang ini akan menimbukan siri’ dari pihak keluarga laki-laki
maupun perempuan. Maka keluarga yang merasa dipermalukan akan menjadi
menjatuhkan sangsi yang berupa tidak di akui sebagai keluarga dan tidak berhak
mendapatkan harga warisan atau anak dianggap sudah meninggal. Orang tua
diperlakukan di luar batas wajar ia harus memperjuangkan dan mengembalikan
kehormatan yang rampas oleh orang lain. Kalua orang tua tersebut berjuang
mengembalikan harta martabatnya, ia akan disebut manusia mati siri’ yaitu
manusia yang hilang harkat dan martabatnya masyarakat menjadikan siri’
sebagaai alasan dan tujuan hidup mereka karena mereka lebih senang mati
memperjuangkan siri’ nya dari pada hidup tanpa memiliki siri’.
Seringnya terjadi kasus kawin lari (sillariang) dalam masyarakat bugis
yang berujung tidak di akui sebagai keluarga dan tidka berhak mendapatkan harta
warisan, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “ESENSI
PENYELESAIAN SENGKETA BUDAYA SIRI MASYARAKAT HUKUM
ADAT BUGIS MAKASSAR DI KOTA JAYAPURA”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasakan latar belakang yang telah dibahas di atas, maka
menggunakan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam perencanaan biaya dan waktu pada
pembangunan gedung parkir vertikal di Kota Jayapura yang akan dicapai
yaitu:
1.

A. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara menghadapi masalah adat/budaya dalam suatu
perhimpunan di era modern
2.
B. TUJUAN PENELITTIA
UNTUK MENGETAHUI RUMUSAN MSLH
C. MANFAAT = SEGI SEGI POSOTIF DAN NEGATIF
D. TINJAUAN PUSTAKA = TINJAUAN TTG SENGKETA, BUDAYA,
ADAT
E. METODE = EMPIRIS (LAPANGAN) + NORMATIF (BUKU-INTRNET)
F. WAKTU DAN BIAYA =
a. Thp persiapan
b. Thp pengumpulan data
c. Thp pengolahan dan analisis data
d. Thp penulisin laporan
Total
a. Pengumpulan data
b. Alat tulis dan kertas
c. Penjilitan dan penggadaan
d. Ujian/seminar ujian
e. Revisi
f. Biaya terduga
g. Total
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis dan secara
berurutan sehingga dapat diperoleh gambaran yang terarah dan jelas.
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A.D
B.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai