1.1.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan suatu bangsa yang terdiri dari beribu-ribu suku
bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan telah ada sejak ratusan
bahkan ribuan tahun yang lalu. Jaspan (dalam Soekanto 2001:21)
mengklasifikasikan suku bangsa Indonesia dengan mengambil patokan kriteria
bahasa, kebudayaan daerah serta susunan masyarakat, dengan rincian yaitu (1)
Sumatera, 49 suku bangsa; (2) Jawa, 7 suku bangsa; (3) Kalimantan, 73 suku
bangsa; (4) Sulawesi, 117 suku bangsa; (5) Nusa Ternggara, 30 suku bangsa;
(6) Maluku-Ambon, 41 suku bangsa; (7) Irian Jaya, 49 suku bangsa. Selama
ratusan bahkan ribuan tahun itu pula mereka telah menumbuhkan, memelihara
dan mengembangkan tradisi. Masing-masing suku bangsa tersebut memilki
tradisi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Hal inilah yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang
majemuk akan kebudayaan, baik itu dalam bentuk bahasa sehari-hari maupun
tradisi-tradisi lainnya. Bentuk-bentuk tradisi yang dilakukan oleh berbagai
suku bangsa antara lain perkawinan, pesta adat, kematian, dan lain sebagainya.
Masing-masing bentuk upacara tersebut dilakukan dengan cara-cara tertentu
yang menjadi ciri khas dari masing-masing suku bangsa tersebut. Ciri khas
tersebut di satu pihak ada yang masih dipertahankan oleh masyarakat dan
tidak mengalami perubahan sama sekali, dilain pihak ada yang mengalami
perubahan atau malah hilang sama sekali sebagai suatu tradisi yang menjadi
bagian dari masyarakat. Sehingga pada makalah ini saya akan membahas
mengenai tradisi, adat, dan budaya yang ada pada daerah saya yaitu daerah
bali pada umumnya. Sehinga dapat memahami dan mengetahui bagaimana
keadaan tradisi, adat, dan budaya yang masih bertahan, rapuh dan bahkan
yang sudah ilang.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa pengertian dari tradisi adat dan budaya?
1.2.2 Tradisi, adat, dan budaya apa saja yang sudah rapuh?
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.3.
TUJUAN
1.3.1 sebagai mahasiswa ilmu hukum yang ikut sebagai bagian dari
masyarakat adat agar dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan
1.3.2
1.3.3
1.3.4
BAB II PEMBAHASAN
dari
kehidupan
suatu
kelompok masyarakat,
biasanya
dari
suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi
ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini,
suatu tradisi dapat punah. Hal yang paling mendasar dari
tradisi adalah
Subak
di
Bali
Rapuh
akibat
alih
fungsi.
Salah satu tantangan yang dihadapi subak adalah menciutnya lahan sawah
beririgasi sebagai akibat adanya alih fungsi untuk kegiatan non-pertanian.
Di Bali dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah
beralih fungsi diduga mencapai 1000 ha per tahun. Penciutan areal sawah
ini sungguh pesat, lebih-lebih di lokasi yang dekat kota karena dipicu oleh
harga yang cenderung membubung tinggi. Nampaknya petani pemilik
sawah di daerah sekeliling kota cenderung tergoda oleh tawaran harga
tanah yang tinggi. Sebab, jika dibandingkan dengan mengusahakan sendiri
untuk usahatani hasilnya sungguh tidak seimbang. Petani mungkin lebih
memilih mendepositokan uang hasil penjualan tanahnya itu di bank dan
tinggal menerima bunganya tiap bulan yang bisa jadi jauh lebih besar
dibandingkan dengan hasil usahataninya. Andaikata penyusutan areal
persawahan di Bali berlanjut terus separti sekarang ini dikhawatirkan
organisasi subak akan terancam punah. Jika subak hilang apakah
kebudayaan Bali dapat bertahan karena diyakini bahwa subak bersama
lembaga sosial tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan
tulang punggung kebudayaan Bali. Dalam kaitan ini para petani anggota
subak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut masalah pengalih fungsian lahan sawah yang berada dalam
wilayah subak mereka.
3. Ketersediaan air semakin terbatas. Meningkatnya pendapatan masyarakat
dan jumlah penduduk serta pembangunan di segala bidang terutama
pemukiman dan industri pariwisata di Bali menuntut terpenuhinya
kebutuhan air yang terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya. Ini mengisyaratkan bahwa air menjadi sumber daya yang
khususnya
pencemaran
sumber
daya
air.
seiring
dengan
meningkatnya
jumlah
industry
yang
sebagai
petani.
kemasan
yang
sarat
dengan
seni
budaya
Bali,
namun
areal
hunian
menjadi
tiga
yaitunista,
pada jaman ini dibuat secara praktis, ekonomis dan kalau seandainya bisa,
mengerjakan bangunan ingin dapat diselesaikan dalam waktu semalam.
Pengerjaan bangunan tanpa memandang lagi pakem yang sudah pernah
ada, semua dihantam rata. Tidak perlu mencari hari baik untuk memulai
pekerjaan, apalagi untuk mencari bahan bangunan.Arsitektur bangunan
sudah tidak mencerminkan Bali, terutama di pusat kota. Kalaupun harus
bercirikan Bali, akan terlihat beberapa tempelan hiasan Bali dibeberapa
sudut bangunan yang berkesan terlalu dipaksakan.Kalaupun Bali masih
peduli dan ingin untuk melestarikan budaya dan arsitekturnya, tentulah
tidak terlambat. Masih dapat diselamatkan, terutama jika ada niat dan
tekad yang kuat dari orang Bali itu sendiri dan juga Pemerintah Daerah
sebagai badan yang memiliki wewenang kontrol dapat melakukan
pekerjaannya dengan konsekuen. Arsitektur Bali dan para undagi
selayaknya juga menyediakan bentuk dan design rumah sederhana
bercirikan Bali, menyediakan ragam gambar yang banyak, sehingga
masyarakat dapat menirunya atau memperoleh ilham dan ide ketika
mereka
membangun.
hiasan
ornamen
atau
bahan
bangunan
yang
Memang
akan
sangat
disayangkan,
namun
itulah
10
2.
yang
dikeramatkan
penduduk
setempat,
tarian
Gebug
11
pandan yang
juga
dikenal
dengan
nama mekare-
kare atau mageret pandan. Tradisi ini dirayakan di Desa Tenganan Dauh
Tukad, lokasinya sekitar 10 km dari objek wisata Candidasa, 78 km dari
Kota Denpasar, bisa ditempuh sekitar 90 menit dengankendaraan bermotor
ke arah timur laut dari Ibu Kota Bali.Sebelum prosesi perang pandan
dimulai, warga Tenganan melakukan ritual berkeliling desa. Selain tradisi
unik perang pandan yang merupakan warisan budaya leluhur, Desa
Tenganan mempunyai hasil karya seni yang sangat cantik dan indah yaitu
kain tenun gringsing yang proses pembuatanya sangat rumit, dibuat
dengan memakan waktu yang cukup lama dan warna alami dari tumbuhan.
Memang Tenganan sampai sekarang masih mempertahankan tradisi-tradisi
yang diwariskan, seperti tata cara kawin harus sesama warga setempat,
besar, bentuk dan letak bangunan serta pekarangan, juga letak pura dibuat
dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan,
sehingga Tenganan akan mejadi objek untuk pengembangandesa wisata.
Prosesi perang pandan atau mekare-kare di Tenganan merupakan
upacara persembahan untuk menghormati para leluhur dan juga Dewa
Indra yang merupakan Dewa Perang, yang bertempur melawan Maya
12
13
dikenal
dengan Mekotek merupakan salah satu tradisi di Bali yang hanya ada di
desa Munggu, kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Lokasinya tidak
begitu jauh dari objek wisata Tanah Lot.Perayaannya tepat pada Hari Raya
Kuningan atau 10 hari setelah Hari Raya Galunagn. Pelaksanaan
upacaraMekotek pada walnya diselenggarakan untuk menyambut armada
perang kerajaan Mengwi yang melintas di daerah Munggu yang akan
berangkat ke medan laga, juga dirayakan untuk menyambut pasukan saat
mendapat kemenangan perang dengan kerajaan Blambangan di Pulau
Jawa. Dulu pada jaman kolonial Belanda tradisi ini pernah ditiadakan, tapi
kemudian terjadi bencana, tiba-tiba 11 orang meninggal di kalangan warga
Munggu, kemudian melalui perundingan yang alot dengan pihak kolonial,
perayaan ini bisa kembali dirayakan sampai sekarang ini.
Perayaan mekotek ini dulunya menggunakan tombak dari besi,
yang memberikan semangat pasukan ke atau dari medan perang, namun
14
memacu
semangat
peserta
upacara.
Walupun
sedikit
Rah Penganngon ini sekitar 30 menit di jalan raya, sehingga arus lalu
lintas sementara dalam waktui 30 menit ditutup, upacara diikuti oleh
warga desa kapal. Tradisi ini memnag unik sehingga banyak disaksikan
wisatawan.
Ada tradisi yang sama mengenai perang ketupat ini di wilayah
Indonesia di luar pulau Bali. Tradisi perang ketupat ini dirayakan di
Tempilang, Bangka Barat, Bangka Belitung, tujuan dari tradisi tersebut
menggambarkan perang terhadap makhluk-makhluk halus yang jahat,
yang sering mengganggu kehidupan masyarakat. Tujuannya berbeda
dengan yang di Bali, warisan budaya leluhur ini memang masih dirayakan
secara turun-temurun. Tradisi di Bali ini menjadi tontonan unik bagi para
pelancong yang kebetulan dalan perjalanan wisata tour.
Sebelum prosesi ini digelar, peserta yang hanya melibatkan kaum
pria ini melakukan persembahyangan bersama. Seperti namanya perang
ketupat, tentu peluru yang digunakan adalah sebuah ketupat, yang
dikumpulkan dari warga kapal, dan warga dipisah menjadi 2 kelompok
yang nantinya saling serang dengan ketupat, saat perang dimulai semua
saling serang satu-sama lainnya. Dan setelah perang ketupat usai, mereka
saling berjabat tangan, bercerita satu sama yang lain, tidak ada
permusuhan diantara mereka, hanya berupa ungkapan syukur atas karunia
yang mereka peroleh.
7. Ngusaba Bukakak, Upacara Bukakak, salah satu budaya dan tradisi unik
yang hanya ada di Bali Utara, tepatnya di desa Adat Sangsit, Kecamatan
Sawan, Buleleng. Begitu banyaknya budaya warisa leluhur yang masih
terjaga dengan baik di Bali. Tujuan dari Upacara Bukakak ini untuk
melakukan
permohonan
kepada
Sanghyang
Widhi
Wasa
dalam
17
18
berjalan keliling desa sambil membawa air suci (memundut tirta), dengan
mengarak sepasang barong sakral, sambil membunyikan gamelan,
kentongan, ataupun perabotan rumah tangga, daun pohon enau, untuk
kemudian menggelar arak-arakan keliling desa. Setiap melewati ujung
desa sepasang barong tersebut diupacarai. Juga disetiap persimpangan
jalan, para ibu menyambut kedatangan arak-arakan dengan sesajen,
menghaturkan puja-puja untuk pembersihan alam, menetralisir roh-roh
negatif. Karena mereka yakin dunia ini telah kotor oleh ulah manusia,
sehingga perlu dibersihkan.
9. Ritual Agung Briyang, Ritual Agung Briyang di rayakan setiap 3 tahun
sekali pada purnamaning sasih kedasa kalender Hindu Bali, perayaan ini
hanya ada di desa tua Sidetapa Buleleng, lokasi desa ini sekitar 40 km
barat laut kota Singaraja. Tujuan mengadakan upacara Agung Briyang
adalah untuk melawan dan mengusir roh-roh jahat. Peserta ritual ini adalah
laki-laki warga Sidetapa yang menggunakan busana khas tradisional Bali
terbaik. Tradisi unik unik ini masih turun-temurun oleh warga setempat,
pernah suatu hari semestinya ritual ini harus dirayakan, tidak dilakukan
maka terjadi banyak bencana yang terjadi.
Ritual Agung Briyang dilakukan di tengah halaman Pura Agung
Candi, laki-laki berdiri di depan api, dan membersihkan aneka senjata
yang mereka bawa seperti, keris, pedang, tombak, dll dan untuk mengusir
dan melawan roh-roh jahat. Antusiasme warga sangat tinggi dalam
mengukuti upacara ini yang tergolong langka, perempuan membawa
persembahan yang warna-warni di atas kepala, ayah dan anak-anak
membawa perlengkapan lain dalam prosesi ini, perayaan Agung Briyang
atau juga disebut Karya Odalan ulang Ngerebeg candi tujuannya untuk
memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, menyambut
para dewa, dan melawan roh-roh jahat.
Sebelum puncak Agung Briyang dilaksanakan, warga desa
melakukan prosesi melasti ke sungai yang ada di desa Sidetapa,
melibatkan ratusan masyarakat, peserta menari dan ada sampai kerauhan
(trans), dilanjutkan dengan ritual sesayutan untuk menyambut para Dewa.
19
20
telah
mendapat
pengakuan
umum
dalam
kehidupan
penyesuaian
dengan
masa
sekarang; nagata:
pengelihatan
langsung;anumana:
berdasarkan
kesimpulan
21
adat
dianggap
menyebabkan
terganggunya
keseimbangan
pemulihan
itupun
nyata),
yang
berupa sangaskara
danda (hukuman
mencakup
bentuk
pelaksanaan
22
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
23
Hukum
Adat
Bali
selalu
mengusahakan
adanya
24
25