Anda di halaman 1dari 20

TUGAS 2 PKN UNIVERSITAS TERBUKA

MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MKDU4111.279
TENTANG
TRADISI PERKAWINAN DI DAERAH LAMPUNG PEPADUN

DOSEN / TUTOR : RINI PUJI SUSANTI, M.Pd

OLEH :

NAMA : RESA AMILIA

NIM : 855722024

UNIVERSITAS TERBUKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

S1 PGSD

TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Penelitian Sebagai bangsa yang multikultur Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari berbagai macam perbedaan budaya, agama, ras, gender, dan adat
istiadat yang lahir dan dianut dalam kehidupan masyarakat. Keberagaman dan
kekayaan budaya bangsa itu merupakan anugerah dan harus disyukuri, dijaga, dan
diberdayakan demi kejayaan bangsa Indonesia.
Kebudayaan suatu bangsa merupakan indikator dan mencirikan tinggi atau
rendahnya martabat dan peradaban suatu bangsa. Kebudayaan tersebut dibangun
oleh berbagai unsur seperti bahasa, sastra, dan aksara, kesenian dan berbagai
sistem nilai yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa. Kebudayaan
Nasional kita dibangun atas berbagai kebudayaan daerah yang beragam warna dan
corak, sehingga merupakan satu rangkaian yang harmonis dan dinamis. Oleh
karena itu tidak disangkal bahwa, bahasa, sastra, aksara daerah, kesenian dan
nilai-nilai budaya daerah merupakan unsur-unsur penting dari kebudayaan yang
menjadi rangkaian Kebudayaan Nasional.
Nilai-nilai dan ciri kepribadian bangsa merupakan faktor strategis dalam
upaya mengisi dan membangun jiwa, wawasan dan membangun bangsa Indonesia
sebagaimana tercermin dalam Nilai-Nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar
1945. Di Indonesia pentingnya adat istiadat diatur di dalam undang-undang dasar
1945 untuk menjamin keberlangsungan dari hukum adat yang berlaku. Pasal 18 B
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”. Pasal 32 “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Daerah provinsi Lampung ditetapkan sebagai daerah provinsi yang berdiri
sendiri, berdasarkan undang-undang Nomor 14 Tahun 1964. Sebelumnya
merupakan daerah keresidenan yang termasuk dalam wilayah provinsi Sumatera
Selatan. Sebagaimana provinsi-provinsi lainnya yang mempunyai adat istiadat
tersendiri, provinsi Lampung juga mempunyai adat istiadat yang khas dan tidak
dimiliki oleh daerah lain yang menunjukkan identitas asli masyarakat Lampung.
Suku Lampung terbagi atas dua golongan besar yaitu Lampung Saibatin dan
Lampung Pepadun. Dapat dikatakan Saibatin dikarenakan orang yang tetap
menjaga kemurnian darah dalam kepunyimbangannya. Sedangkan ciri orang
Lampung Pepadun yaitu masyarakatnya banyak yang pendatang. Orang Lampung
Pepadun merupakan suatu kelompok masyarakat yang ditandai dengan upacara
adat naik tahta dengan menggunakan adat upacara yang disebut “Pepadun”
(Iskandar, 2013).
Ditinjau dari kebudayaannya, Lampung memiliki kebudayaan dan adat
istiadat yang unik. Sebagaimana masyarakat lainnya, Lampung juga memiliki
kebudayaan yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga
menjadi jati dirinya sebagai suku bangsa. Salah satu kebudayaan yang terdapat di
provinsi Lampung khususnya bagi masyarakat adat Lampung Pepadun pada
perkawinan adat. Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang
paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu
masyarakat, terlebih di dalam kehidupan Bangsa Indonesia yang terdapat berbagai
macam kebudayaan serta adat istiadat, yang secara pasti juga melahirkan berbagai
bentuk adat pelaksanaan perkawinan dari setiap suku bangsa. Adat Lampung
Pepadun dengan begawi , Adat Bali dengan Wiwaha, Adat Dayak dengan Singkup
Paurung Hang Dapur dan masih banyak lagi sebutan upacara adat perkawinan dari
masing-masing daerah atau suku bangsa. Adat istiadat yang berbeda dari masing-
masing daerah atau suku bangsa inilah yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia
dengan ragam kebudayaan nasional dan harus dijaga serta dilestarikan.
Akan tetapi perkembangan globalisasi menimbulkan berbagai masalah
dalam bidang kebudayaan, salah satu contohnya yaitu hilangnya budaya asli suatu
daerah atau suatu Negara, terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa
nasionalisme dan patriotisme, hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong rayong,
hilangannya kepercayaan diri, gaya hidup kebarat-baratan. Massey, Allen dan Pile
(dalam Alviansyah 1999, hlm. 20) globalisasi adalah faktor utama yang membuat
keadaan berbeda dari masa yang lampau. Thomas L. Friedman (dalam Soemardjan
2009, hlm. 31) menyatakan bahwa pengertian globalisasi adalah memiliki dimensi
ideologi dan teknologi. Didalam dimensi teknologi, berupa teknologi informasi yang
telah menyatukan dunia dan pada dimensi ideologi seperti kapitalisme dan pasar
bebas. Globalisasi adalah suatu proses dalam sosial yang mempunyai akibat adanya
pembatasan secara geografis sehingga kondisi sosial budaya sudah tidak penting
lagi dan sudah tidak menjadi didalam alam kesadaran orang. (Malcom Waters,
2004).
Bahwa pengaruh globalisasi membuat masyarakat menyatu dengan dunia
terutama di bidang ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan media komunikasi
massa. Akan tetapi pengaruh globalisasi juga memberikan perubahan berbeda dari
masa ke masa yang berpengaruh dari kebudayaan asing yang telah menyentuh pada
setiap lapisan masyarakat dan semua orang, seperti adanya suatu perubahan dari
pola perilaku lalu salah satunya seperti saat ini nilai-nilai pada perkawinan adat
Lampung Pepadun yang sudah mulai memudar karena pengaruh globalisasi
tersebut. Globalisasi juga menyebabkan tekanan pada kota di suatu wilayah menjadi
lebih keras daripada sebelumnya. Nilai-nilai budaya yang memudar pada tata cara
perkawinan adatnya pun sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat khususnya
masyarakat Lampung Pepadun.
Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman, Pada zaman modern seperti
sekarang ini di mana dunia sudah serba praktis dan ekonomis, teknologi modern
yang telah masuk ke Indonesia dan menjadi kenyataan sosial. Dengan adanya
penemuan baru, berubah pula pendapat dan penilaian orang terhadap segala
sesuatunya. Kemudian terjadi kemungkinan bahwa nilai kehidupan yang dulu
dianggap sebagai nilai yang memang mutlak harus ada kini meluntur atau dianggap
sebagai nilai yang sudah sepatutnya dihilangkan. Penemuan teknik yang baru akan
selalu membawa perubahan pada pola hidup kemasyarakatan, di samping merubah
pula mental manusia dan berdampak pada bergesernya tata nilai budaya yang
selama ini dianut oleh suatu masyarakat.
Salah satu contoh bergesernya tata nilai budaya yang dianggap tidak sesuai
lagi dengan budaya-budaya leluhur seperti, (1) Upacara begawi dalam perkawinan
adat Lampung pepadun tersebut dianggap terlalu rumit dan memakan waktu yang
cukup lama. Hal ini tentu sangat menyedihkan bagi kita, budaya leluhur yang
diajarkan secara turun temurun malah dengan mudahnya kita tinggalkan tanpa ada
upaya untuk melestarikannya. (2) Pengaruh globalisasi, lambat laun akan mengikis
kebudayaan dalam hal upacara perkawinan masyarakat adat Lampung pepadun. (3)
perkawinan yang salah satu pengantinnya bukan asli suku Lampung pepadun tidak
lagi diadakan upacara adat perkawinan. (4) Dekorasi panggung sudah jarang yang
memakai asli pelaminan adat Pepadun itu sendiri. (5) Mereka lebih memilih
penyewaan jasa, dari pada menyiapkan acara perkawinan bersama-sama, hal ini
akan memudarkan nilai-nilai gotong royong. (6) Prosesi sebelum dan sesudah
perkawinanya yang mulai dikurangi. Di masyarakat perkotaan sudah jarang yang
memakai tata cara perkawinan seperti ini, namun tentu ada saja orang yang tetap
melaksanakannya sesuai dengan tata cara perkawinan adat Lampung pepadun.
Menurut Subekti (dalam Prawirohamidjojo, 2000, hlm. 8) perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu
yang lama. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah
tangga agar menjadi keluarga sejahtera yang bahagia. Ukuran kebahagiaan dapat
dilihat ketika suami istri mampu memikul amanah dan tanggung jawab terhadap
keduanya dan anak-anak mereka. Berlakunya hukum adat perkawinan tergantung
pada pola susunan masyarakat adatnya. Oleh karenanya tanpa mengetahui
bagaimana susunan masyarakat adat yang bersangkutan, maka tidak mudah
diketahui hukum perkawinannya. Menurut Abdurrahman (2001, hlm. 9) tata cara
perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu dengan yang
lainnya oleh karena di Indonesia adanya bermacam-macam agama dan
kepercayaan, yang tata caranya berbeda.
Hal yang demikian dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan
beragama. Chakim (2012, hlm 7) dalam pelaksanaan perkawinan warga masyarakat
di Indonesia cenderung dilakukan dengan adat dan budaya daerah setempat. Hal
tersebut terjadi karena masyarakat yang beranekaragam suku, sudah pasti
beranekaragam pula adat-istiadat di masyarakat. Salah satunya adalah perkawinan
adat Lampung Pepadun yang masih memegang erat adat istiadat Lampung Pepadun
dalam hal upacara adat perkawinan. Perkawinan adat Lampung Pepadun
merupakan salah satu aspek budaya yang harus tetap dilestarikan. Karena prosesi
perkawinan tersebut menjadi identitas dan jati diri orang Lampung Pepadun di
Kecamatan Bunga Mayang. Akan tetapi seiring perkembangan zaman dan pengaruh
dari globalisasi pelestarian nilai-nilai budaya pada perkawinan adat Lampung
Pepadun mulai pudar. Demikian yang membedakan perkawinan di setiap daerah itu
adalah tata cara dan adat perkawinannya, upacara adat perkawinan yang berbeda-
beda dan unsur kepercayaan pada setiap prosesi itupun berbeda-beda, itulah yang
menjadikan beraneka ragam budaya di Indonesia, yang harus kita lestarikan.
Menurut Wignjodipoere (1988, hlm. 55) sebelum lahirnya UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, mengenai ketentuan, tata cara dan sahnya suatu perkawinan bagi
orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat
masing-masing. Perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara
adat dan agamanya dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun
kerabat. (Djojodegoeno, 2000). Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah banyak disinggung mengenai hal
kekeluargaan yang berhubungan erat dengan suatu dasar perkawinan sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 1, yaitu : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Menurut Hadikusuma (1990, hlm. 23) perkawinan dalam hukum adat adalah
suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk
rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dengan melibatkan keluarga kedua
belah pihak, saudara maupun kerabat. Jadi, terjadinya suatu ikatan perkawinan
bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan
saja, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak
dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat
kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggaan serta menyangkut
upacara-upacara adat dan keagamaan. Makna dan arti dari perkawinan menjadi
lebih dalam karena selain melibatkan kedua keluarga, juga untuk melanjutkan
keturunan, karena keturunan merupakan hal penting dari gagasan melakukan
perkawinan. Salah satunya adalah perkawinan adat Lampung pepadun yang masih
memegang erat adat istiadatnya dalam hal upacara adat perkawinan. Perkawinan
adat Lampung pepadun merupakan salah satu aspek budaya Provinsi Lampung
yang harus tetap dilestarikan, karena prosesi perkawinan tersebut menjadi
identitas dan jati diri orang Lampung. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Hadikusuma (1990, hlm. 142) berikut.
“Perkawinan bagi orang Lampung bukan semata-mata urusan pribadi,
melainkan juga urusan keluarga, kerabat dan masyarakat adat.
Perkawinan menentukan status keluarga, terlebih lagi bagi keluarga
anak tertua laki-laki, dimana keluarga rumah tangganya akan menjadi
pusat pemerintahan kerabat bersangkutan, sehingga perkawinannya
harus dilaksanakan dengan upacara adat besar dan dilanjutkan
dengan upacara adat Begawi.”
Dimyati (2014, hlm. 17) mengatakan perkawinan adat orang Lampung
adalah satu aspek budaya Lampung yang harus dilestarikan kebudayaannya, karena
prosesi perkawinan tersebut menjadi identitas dan jati diri orang Lampung.
Berbagai tata cara adat istiadat yang berkaitan dengan prosesi perkawinan yang
berkembang di tengah tengah masyarakat Lampung khususnya di desa Negara
Tulang Bawang upaya mempelajari tata kehidupan adat perkawinan masyarakat
Lampung pepadun sejak dulu sampai sekarang. Demikian yang membedakan
perkawinan di setiap daerah itu adalah tata cara adat perkawinannya, upacara adat
perkawinan yang berbeda-beda dan unsur kepercayaan pada setiap prosesi itupun
berbeda-beda, itulah yang menjadikan beraneka ragam budaya di Indonesia, yang
harus kita lestarikan. Oleh sebab itu, perkawinan tersebut selalu ditandai oleh
sifatnya yang khas dan unik yang merupakan suatu tata tradisional bagi setiap suku.
Dalam peristiwa selalu terjalin dengan harmonis ketentuan menurut agama dan
adat istiadat sebagai lembaga tak tertulis yang dipatuhi tanpa pertentangan-
pertentangan antara satu dengan yang lainnya dalam strata masyarakat adat.
Kebudayaan juga harus dilandaskan kepada pengetahuan warga negara
mengenai budaya yang terdapat disekitarnya dan dapat mempertahankan sebuah
kebudayaan dan kearifan lokal dengan membentuk sebuah jati diri dan karakter
bangsa dengan mengedepankan pembentukan sebuah identitas bangsa. Pada
dasarnya, setiap warga negara yang ada didalam sebuah negara mempunyai sebuah
budaya yang berbeda-beda, sehingga diperlukan pendidikan untuk mempersatukan
perbedaan-perbedaan budaya dengan cara memberikan pengetahuan mengenai
budaya-budaya lokal yang terdapat dalam negaranya.
Upaya pengembangan kembali nilai kearifan lokal salah satu bidang ilmu
yang mengkaji tentang budaya daerah atau nilai kearifan lokal yang terdapat di
dalam warga negara adalah civic culture. Menurut Winataputra (2006, hlm. 58)
bahwa “identitas warga Negara yang bersumber dari civic culture perlu
dikembangkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan
latar belakang”. Kemudian menurut Winataputra juga (2012, hlm 60) civic culture
merupakan “budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan separangkat
ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk
tujuan pembentukan identitas warganegara.” Perkawinan adat Lampung Pepadun
dari konsep budaya kewarganegaraan (civic culture) merupakan bagian dari jati diri
bangsa, karakter bangsa, suku bangsa, dan budaya nasional.
Sebagai warga negara seharusnya bekerja keras melestarikan warisan
budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu
menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk
waktu yang sangat lama. Jadi upaya pelestarian warisan budaya lokal berarti upaya
memelihara warisan budaya lokal untuk waktu yang sangat lama. Karena
pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka
perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan. Jadi bukan
pelestarian yang hanya mode sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis
(tanpa akar yang kuat di masyarakat). Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan
berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian
nyata dari kehidupan kita. Para pakar pelestarian harus turun dari menara
gadingnya dan merangkul masyarakat menjadi pecinta pelestarian yang bergairah.
Dari penelitian saat ini adalah dimana peneliti ingin mengkaji perspektif
budaya kewarganegaraan pada perkawinan adat Lampung Pepadun khususnya
dalam hal perkawinan adat, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap
lestari dan dapat diteruskan oleh generasi berikutnya. Dan membentuk identitas
bangsa dalam rangka membentuk bangsa yang berkerakter yang memiliki nilai-nilai
civic culture. Dapat diketahui bahwa pelestarian budaya lokal juga mempunyai
muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah
dan identitas sebagai penumbuh kepedulian masyarakat untuk mendorong
munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama diantara anggota komunitas (Smith,
1996).
Perkawinan adat Lampung Pepadun juga dapat dikembangkan dengan upaya
para budayawan, masyarakat sekitar di desa dan dari cerminan budaya
kewarganegaraan. Hal ini sangat penting agar ciri khas perkawinan adat Lampung
Pepadun tersebut dapat terpelihara secara lestari dan dapat memakna nilai-nilai
dalam kandungan yang terdapat pada nilai-nilai kearifan lokal budaya Lampung,
karena upacara adat begawi tersebut menjadi identitas dan jati diri orang Lampung
Pepadun sehingga keberadaannya perlu dilestarikan dan dibudayakan melalui
kacamata budaya kewarganegaraan. Agar dapat menjadi pengetahuan luas yang
bermanfaat bagi generasi muda khususnya upaya mempelajari tata kehidupan adat
perkawinan masyarakat Lampung Pepadun sejak waktu dulu sampai sekarang.
Dengan berangkat dari kerisauan permasalahan di atas pentingnya
penelitian ini untuk mengkaji perspektif budaya kewarganegaraan pada
perkawinan adat Lampung Pepadun khususnya dalam hal perkawinan adat, agar
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap lestari dan dapat diteruskan oleh
generasi berikutnya. Dan membentuk identitas bangsa dalam rangka membentuk
bangsa yang berkerakter yang memiliki nilai-nilai civic culture. Apabila tidak diteliti,
maka masyarakat Lampung Pepadun lama kelamaan akan kehilangan jati diri,
kehilangan identitas, serta kehilangan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di
dalam kehidupan.

1.2 Identifikasi Masalah


Suatu penelitian harus mengacu kepada permasalahan-permasalahan yang
jelas, selain itu diperlukan adanya penentuan identifikasi masalah sehingga masalah
yang hendak dikaji akan sesuai dengan permasalahan dilapangan. Adapun
identifikasi permasalahan pada penelitian ini, yaitu terkait “Kajian Perspektif
Budaya Kewarganegaraan Pada Perkawinan Adat Lampung Pepadun.” Bentuk
identifikasi masalah pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Keunikan perkawinan adat Lampung Pepadun, termasuk makna dari setiap
proses perkawinan adat Lampung Pepadun tersebut.
2. Tata cara perkawinan adat Lampung Pepadun sudah mulai bergeser. Hal ini
disebabkan oleh perkembangan zaman, yang otomatis dianggap tidak sesuai
lagi dengan budaya budaya leluhur seperti contohnya upacara adat Begawi
yang proses rangkaian acaranya membutuhkan waktu cukup lama.
3. Upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal pada perkawinan adat Lampung
Pepadun, dan kesadaran tentang kandungan nilai-nilai budaya didalamnya
yang sudah mulai bergeser.

1.3Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka
permasalahan pokok dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana mengenal dan mengetahui cara-cara perkawinan adat lampung
pepadun?
2. Bagaimanakah prosesi/upacra perkawinan adat Lampung Pepadun dalam
konteks budaya Lampung?

1.4Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
perspektif budaya kewarganegaraan pada perkawinan adat Lampung Pepadun.
Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses perkawinan adat Lampung Pepadun
dalam konteks budaya Lampung.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal perkawinan adat Lampung
Pepadun penting bagi pengembangan budaya kewarganegaraan.
3. Untuk mengkaji budaya kewarganegaraan yang tercermin dalam perkawinan
adat Lampung Pepadun.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang tata cara
upacara perkawinan adat Lampung Pepadun.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi
prodi PKn dalam mengkaji nilai budaya dalam perkawinan adat Lampung
Pepadun. Secara praktis Penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan
kontribusi:
BAB II
PEMBAHASAN

2.1Mengenal Perkawinan Adat Lampung Pepadun


Perkawinan atau pernikahan ialah menyatukan dua insan berbeda jenis
kelamin serta dua keluarga yang berbeda pula. Karena itu, bagi masyarakat
Lampung secara umum yang sebagian besar memeluk agama Islam, maka upacara-
upacara adat perkawinan yang dilakukan masyarakat pendukungnya cenderung
bercorak Islam. Dengan kata lain bahwa agama yang dianut penduduknya telah
menjadi satu kesatuan dengan budaya mereka. Oleh karena itu, bertalian dengan
upacara perkawinan adat Lampung memiliki tata cara tersendiri dalam
melaksanakan upacara. Artinya tidak terlepas dari aturan-aturan yang berlaku atau
budaya masyarakat Lampung itu sendiri.
Bagi masyarakat Lampung perkawinan atau pernikahan merupakan bagian
dari kehidupan yang penting dan disakralkan. Perkawinan tidak sekedar menjadi
urusan pribadi, melainkan juga urusan keluarga, kerabat, dan masyarakat adat pada
umumnya. Menurut anggapan masyarakat pendukungnya, perkawinan dapat
menentukan status keluarga terlebih bagi anak laki-laki tertua. Karena itu,
pelaksanaan perkawinan harus dilaksanakan dengan upacara adat secara besar atau
“hibal serba” yang dilanjutkan dengan “begawi balak cakak pepadun”.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa perkawinan merupakan bagian dari
kehidupan yang penting dan disakralkan, di samping sebagai media untuk
mempublikasikan status sosialnya, karena itu pula, mereka tidak menyukai dan
kerap menghindari adanya pelaksanaan perkawinan dilakukan secara mendadak,
tidak terang, dan tidak melibatkan kerabat.
Pada sistem perkawinan adat Lampung terdapat perkawinan yang
dilaksanakan secara sederhana, yaitu menyerahkan dan melepaskan anak gadisnya
(muli) kepada bujang (menghanai) yang dilakukan pada malam hari dan tanpa
sepengetahuan orang banyak, yang disebut “Cakak Manuk” (naik ayam). Upacara ini
disebut dengan “Tar Selep” atau “Tar Manem”. Tar atau intar artinya dilepas atau
diantarkan. Selep berarti diam-diam sedangkan manem berarti malam. Tahapan ini
biasanya, calon mempelai wanita berangkat dari rumahnya dengan berpakaian
sederhana (biasanya berkebaya dan berkerudung) bersama anggota keluarga pria.
Setelah perundingan di antara dua keluarga berlangsung dan pelaksanaan
perkawinan yang dihadiri oleh keluarga kedua calon mempelai beserta ketua adat
setempat berlangsung. Biasanya ritual perkawinan secara sederhana ini dilakukan
oleh pasangan yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Sistem perkawinan masyarakat adat Lampung Pepadun menganut asas
“Ngejuk-Ngakuk” (member-mengambil). Orang tua akan memberikan dan
merelakan anak gadisnya (muli) untuk diambil oleh bujang
(menghanai). Ngejuk dalam arti yang luas ialah memberikan anak gadis untuk
diambil atau dikawinkan dan dijadikan anggota keluarga yang lain. Artinya
pemberian anak gadis tersebut diketahui oleh para orang tua mereka (kedua belah
pihak). Sementara itu, ngakuk memiliki arti mengambil anak gadis tertentu tanpa
diketahui oleh orang tua keluarga muli. Proses pengambilan ini dapat dilakukan
dengan cara sebambangan atau dibambang.
Bagi masyarakat Lampung Pepadun, Buay Nuban adat
sebambangan atau dibambang masih tetap dijalankan, karena sesungguhnya
“perkawinan lari” ini bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem
pelamaran, oleh karena itu kejadian perkawinan lari dapat berlaku bentuk
perkawinan jujur, semenda atau bebas/mandiri, bergantung pada keadaan dan
perundingan kedua belah pihak.
1) Sebambangan
Sebambangan atau Ngebambang, Ninjuk atau Nakat, dan
Nunggang ialah istilah yang digunakan “kawin lari” oleh masyarakat
Lampung Pepadun. Secara harfiah Sebambangan berasal dari kata “se”
(saling) dan “bumbang” (bawa atau pergi). Sebambangan berarti sebuah
perkawinan tanpa melalui proses lamaran dan merupakan inisiatif yang
kemudian diusahakan dan diperjuangkan oleh pasangan laki-laki dan
perempuan yang akan menikah. Dengan kata lain seorang laki-laki membawa
seorang perempuan untuk diajak menikah.
Istilah lain Sebambangan ialah Ninjuk atau Nakat (dipandang dari
sudut keluarga si gadis) atau ngebambang (sudut pandang keluarga laki-laki
yang melarikannya). Gadis yang dilarikan kemudian dibawa ke rumah orang
tua laki-laki yang melarikannya, kemudian melaporkan pelariannya kepada
kepala adat (penyimbang).
Istilah sebambangan, menunjukan lebih dekat kepada selarian atau
kedua kekasih lari bersama dari lingkungan keluarga masing-masing
menuju suatu tempat (biasanya salah seorang kerabat pria), karena tempat
tinggal keduanya berdekatan. Hal tersebut dilakukan dimaksudkan untuk
menghindari kemungkinan pihak kerabat perempuan menyusul dan
bersikap emosi atas dilarikannya anak gadis mereka. Setelah situasi
dianggap aman, kedua sejoli itu disusul oleh kerabat laki-laki untuk dibawa
ke rumah kedua orangtuanya.
Sebambangan merupakan langkah awal bagi bujang dan gadis untuk
membina kehidupan rumah tangga dengan mengedepankan tata cara serta
dasar kemufakatan. Apabila kedua belah pihak sepakat (mulie-menghanai),
maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
 Waktu dan tempat untuk sebambangan;
 Adanya tengepik (besaran biaya yang diminta kenilu si gadis
kepada si bujang sebagai tanda bahwa si gadis sudah diboyong si
bujang.
Adapun sebambangan pada masyarakat Lampung Pepadun, meliputi:
a. Melayangkan Tenepik
Pasangan mulie-menghanai sebelum pergi bersama, terlebih
dahulu meninggalkan surat penerang (tenepik) dan uang peninggalan
(seserahan) yang diletakan di suatu tempat dimana gadis tinggal
(biasanya di kamar gadis) atau di sebuah lemari pakaian dengan
harapan mudah dicari dan ditemukan oleh orang tua atau keluarga
setelah mengetahui anaknya tidak ada.
Tenepik yang ditinggalkan berisi tentang kepergiaan si gadis dan
kekasihnya untuk berumahtangga. Surat tersebut biasanya ditulis
sendiri oleh si gadis atau kekasihnya dengan isi surat yang sudah
disepakati bersama.

b. Nganttak Salah
Setelah beberapa hari dilakukan sebambangan, kedua belah
pihak keluarga melaksanakan kegiatan yang disebut Ngarau
Muwariyan, Ngarau Bubidang Suku. Hal tersebut dilakukan sebelum
pihak laki-laki datang menyatakan bahwa telah melakukan perbuatan
salah dan memohon maaf kepada keluarga pihak si gadis (Nganttak
Salah) atas perintah pimpinan adat si laki-laki yang ngebambang si
gadis. Kemudian beberapa orang tua-tua buay bujang segera datang
ke rumah pimpinan adat si gadis untuk memberitahukan bahwa si
gadis berada pada buay bujang, mohon dicermati dengan baik.
Selanjutnya tua-tua buay bujang menyerahkan senjata (keris). Apabila
senjata dimaksud diterima oleh pimpinan adat si gadis, berarti
“damai” dan pernikahan bujang dan gadis sebambangan segera
dilaksanakan melalui musyawarah mufakat (ghasan dandanan) tua-
tua kedua belah pihak.
c. Anjau Sabai dan Mengiyan
Anjau Sabai ialah ajang silaturahmi untuk saling mengenal kedua
belah pihak calon besan, biasanya dilakukan atas permintaan keluarga
laki-laki dengan membawa makanan dan minuman yang kemudian
dimakan secara bersama (mengan pujama). Kegiatan tersebut dilakukan
pula oleh pihak perempuan dengan mendatangi pihak laki-laki
(mengiyan atau begiyan) dengan tujuan mengantarkan perkakas atau
pakaian sehari-hari si kebayan atau manjau. Namun, apabila kunjungan
balasan tersebut tidak dilakukan, maka perkakas atau pakaian tersebut
akan dititipkan saat anjau sabai atau cuwak mengan.

2) Ittar Terang
Ittar terang atau diittar ialah diantar secara berterang.
Biasanya pengitaran dapat diketahui oleh orang tua keluarga gadis (muli).
Semakin banyak rombongan yang mengantar atau mengetahui proses
pemboyongan si gadis (muli) oleh menghanai, maka semakin tinggi atau
besar proses pelaksanaan adat yang harus dilakukan. Proses
perkawinan Ittar terang ini terdapat 3 upacara, yaitu : Bambang Batin,
Bambang Haji, dan Payu di Paccah.

3) Begawai Cakak Pepadun


Begawai Cakak Pepadun merupakan rangkaian upacara perkawinan
Lampung Pepadun Jurai Abung yang dirangkaikan dengan upacara
pemberian gelar bagi mempelai pria dan mempelai wanita dengan naik
tahta kepenyimbangan dan memperoleh gelar serta kedudukan yang tinggi
dalam adat. Pelaksanaan upacara perkawinan dimaksud biasanya
dilaksanakan oleh masyarakat adat yang mampu secara materi dan masih
memegang adat istiadat.

2.2 Upacara Pernikahan Adat Lampung Pepadun


Lampung dikenal dengan sebutan “Sai Bumi Khua Jukhai”, secara Bahasa
artinya Satu Bumi Dua Cabang. Sedangkan berdasarkan Makna yaitu “Sai Bumi (satu
Bumi)” bermakna suku bangsa yang mendiami satu wilayah yang berasal dari
keturunan yang sama, dan “Khua Jukhai (Dua Cabang)” bermakna dua jenis adat
istiadat yang dikenal di masyarakat.
Dari semboyan diatas kita mengenal dua adat istiadat yang ada di
masyarakat Lampung yaitu Sai Batin dan Pepadun. “Sai Batin” berarti Satu Penguasa
(Raja) sedangkan “Pepadun” berarti Tempat Duduk Penobatan Penguasa.
Dalam tata cara masyarakat Lampung Pepadun, pernikahan bisa di lakukan
dalam dua cara yaitu cara pernikahan biasa (yang berlaku secara umum) atau
pernikahan semanda yaitu pihak laki-laki tidak membayar uang jujur tetapi suami &
anak-anaknya kelak akan menjadi anggota keluarga garis istri. Dengan demikian
ketika ayah si istri meninggal, sang menantu dapat menggantikan kedudukan
mertuanya sebagai kepala keluarga. Hal ini bisa terjadi disebabkan karena sang istri
adalah anak tunggal dalam keluarganya atau alasan lainnya. Secara prinsip,
masyarakat Lampung mengikuti garis keturunan patrilinier.
Untuk lebih mengenal kebudayaan masyarakat lampung pepadun, terutama
mengenai tata cara adat perkawinannya, berikut akan dijelaskan rangkaian prosesi
adat pernikahannya yang memiliki keunikan tersendiri dibanding daerah lain.
1. Nindai/ Nyubuk
Ini merupakan proses dimana pihak keluarga calon pengantin pria
akan meneliti atau menilai apakah calon istri anaknya. Yang dinilai adalah
dari segi fisik & perilaku sang gadis. Pada Zaman dulu saat upacara begawei
(cacak pepadun) akan dilakuakn acara cangget pilangan yaitu sang gadis
diwajibkan mengenakan pakaian adat & keluarga calon pengantin pria akan
melakuakn nyubuk / nindai yang diadakan dibalai adat.

2. Be Ulih – ulihan (bertanya)


Apabila proses nindai telah selesai dan keluarga calon pengantin pria
berkenan terhadap sang gadis maka calon pengantin pria akan mengajukan
pertanyaan apakah gadis tersebut sudah ada yang punya atau belum,
termasuk bagaimana dengan bebet, bobot, bibitnya. Jika dirasakan sudah
cocok maka keduanya akan melakukan proses pendekatan lebih lanjut.

3. Bekado
Yaitu proses dimana keluarga calon pengantin pria pada hari yang
telah disepakati mendatangi kediaman calon pengantin wanita sambil
membawa berbagai jenis makanan & minuman untuk mengutarakan isi hati
& keinginan pihak keluarga.

4. Nunang (melamar)
Pada hari yang disepakati kedua belah pihak, calon pengantin pria
datang melamar dengan membawa berbagai barang bawaan secara adat
berupa makanan, aneka macam kue, dodol, alat untuk merokok, peralatan
nyireh ugay cambia (sirih pinang). Jumlah dalam satu macam barang bawaan
akan disesuaikan dengan status calon pengantin pria berdasarkan tingkatan
marga(bernilai 24), tiyuh (bernilai 12), dan suku (berniali 6). Dalam
kunjungan ini akan disampaikan maksud keluarga untuk meminang anak
gadis tersebut.

5. Nyirok (ngikat)
Acara ini biasa juga dilakukan bersaman waktunya dengan acara
lamaran. Biasanya calon pengantin pria akan memberikan tanda pengikat
atau hadiah istimewa kepada gadis yang ditujunya berupa barang perhiasan,
kain jung sarat atau barang lainnya. Hal ini sebagai symbol ikatan batin yang
nantinya akan terjalin diantara dua insan tersebut.
Acara nyirok ini dilakukan dengan cara orang tua calon pengantin pria
mengikat pinggang sang gadis dengan benang lutan (benang yang terbuat
dari kapas warna putih, merah, hitam atau tridatu) sepanjang satu meter. Hal
ini dimaksudkan agar perjodohan kedua insane ini dijauhkan dari segala
penghalang.

6. Menjeu (Berunding)
Utusan keluarga pengantin pria datang kerumah orang tua calon
pengantin wanita untuk berunding mencapai kesepakatan bersama
mengenai hal yang berhubungan denagn besarnya uang jujur, mas kawin,
adat yang nantinya akan digunakan, sekaligus menentukan tempat acara
akad nikah dilangsungkan. Menurut adat tradisi Lampung, akad nikah biasa
dilaksanakan di kediaman pengantin pria.

7. Sesimburan (dimandikan)
Acara ini dilakukan di kali atau sumur dengan arak-arakan dimana
calon pengantin wanita akan di payungi dengan paying gober & diiringi
dengan tabuh-tabuhan dan talo lunik. Calon pengantin wanita bersama gadis-
gadis lainnya termasuk para ibu mandi bersam sambil saling menyimbur air
yang disebut sesimburan sebagai tanda permainan terakhirnya sekaligus
menolak bala karena besok dia akan melaksanakan akad nikah.

8. Betanges (mandi uap)


Yaitu merebus rempah-rempah wangi yang disebut pepun sampai
mendidih lalu diletakkan dibawah kursi yang diduduki calon pengantin
wanita. Dia akan dilingkari atau ditutupi dengan tikar pandan selama 15-25
menit lalu atasnya ditutup dengan tampah atau kain. Dengan demikian uap
dari aroma tersebut akan menyebar keseluruh tubuh sang gadis agar pada
saat menjadi pengantin akan berbau harum dan tidak mengeluarkan banyak
keringat.

9. Berparas (cukuran)
Setelah bertanges selesai selanjutnya dilakukan acra berparas yaitu
menghilangkan bulu-bulu halus & membentuk alis agar sang gadis terlihat
cantik menarik. Hal ini juga akan mempermudah sang juru rias untuk
membentuk cintok pada dahi dan pelipis calon pengantin wanita. Pada
malam harinya dilakukan acara pasang pacar (inai) pada kuku-kuku agar
penampilan calon pengantin semakin menarik pada keesokan harinya.

10.Upacara Akad Nikah


Walau menurut adat, akad nikah dilakukan di kediaman pengantin
pria tetapi sesuai perkembangan Zaman dan kesepakatan keluarga, akad
nikah banyak dilakukan di rumah pengantin wanita. Rombongan pengantin
pria dan pengantin wanita akan diwakili oleh utusan yang disebut Pembareb.
Kedua rombongan ini akan disekat atau di halangi oleh appeng (selembar
kain sebagai rintangan yang harus di lalui).
Jika sudah terjadi Tanya jawab antar pembareb, pembareb pihak pria
akan memotong appeng dengan alat terapang dan kemudian masuk kedalam
rumah dengan membawa barang seserahan berupa dodol, urai cambai (sirih
pinang), juadah balak (lapis legit), aneka kue dan Uang adat. Lalu akad nikah
pun dilakukan dan kedua pengantin menyembah sujud pada orang tua.

11. Upacara Ngurukken Majeu / Ngekuruk


Hal yang tak kalah menarik dalam rangkaian upacara adat perkawinan
masyarakat lampung Pepadun adalah upacara adat ngurukken majeu yaitu
saat pengantin wanita secara resmi akan dibawa ke rumah pengantin laki-
laki dengan naik rato yaitu kereta beroda empat atau ditandu. Pengantin laki-
laki berada di belakang dibagian depan sambil memegang tombak. Sampai di
rumah pengantin pria, mereka akan disambut dengan tabuh-tabuhan dan
seorang ibu akan menaburkan beras kunyit dan uang logam. Di depan rumah
juga tersedia pasu yaitu wadah dari tanah liat berisi air dan tujuh jenis
kembang sebagai lambing agar dalam rumah tangga keduanya dapat
berdingin hati.
Selanjutnya kedua kaki pengantin wanita akan di celupkan dalam wadah
tersebut lalu kedua mempelai didudukan dengan kaki suami menindih kaki istrinya
sebagai lambang agar istri berlaku patuh pada suaminya. Lalu ibu pengantin laki-
laki menyuapi keduanya dengan nasi campur dan memberi minum lalu kedua
mempelai saling memeakan sirih.
Setelah itu dilakukan upacara pemberian gelar dengan menekan telunjuk
tangan secara bergantian. Sesudahnya kedua pengantin akan menaburkan kacang
goreng dan aneka permen kepada gadis-gadis lajang agar mereka segera
mendapatkan jodoh. Mereka juga akan saling berebut lauk-pauk, terutama dengan
anak-anak kecil. Maknanya agar keduanya segera memiliki keturunan.

Baju Tradisional Pepadun


Hasil budaya dari suku yang mempunyai simbol kayu tersebut memiliki
bentuk dan juga aksesori yang hampir sama dengan jenis Saibatin. Dengan corak
masyarakat khas dataran atas, coraknya memiliki rupa yang menarik dan juga
warna tersendiri yang membuat siapapun menjadi terpesona. Namun, terdapat
perbedaan antara pakaian pria dan juga wanitanya. Berikut penjelasannya:
 Busana Perempuan
Hampir seperti busana dari masyarakat pesisir Provinsi Lampung,
bentuknya juga menutup seluruh anggota tubuh. Hal tersebut mencermin
sebuah penghormatan dan juga norma kesopanan yang ada di masyarakat.
Warna yang paling banyak menguasai adalah putih bersih dengan beberapa
bagian yang mempunyai unsur kuning mengkilat seperti emas.
Terdapat beberapa variasi atasan yang bisa dipilih saat
mengenakannya. Salah satunya yaitu Bebe yang merupakan rajutan dari baju
tradisional tersebut hingga membentuk seperti lotus. Bunga yang hidup di air
tersebut juga berwarna sama dengan dominasi pakaiannya sehingga
memang sering dipakai oleh mereka.
Selain itu, ada juga baju selappai yang merupakan atasan yang tidak
menutupi hingga ke lengan. Biasanya perempuan menggunakan baju
tambahan ketika memakainya. Selain itu, terdapat kain khas masyarakat
melayu yaitu rumbai ringgitan. Mereka mengenakannya pada sisi bawahnya.
Ada juga jenis tapis dewa sano yang bisa menjadi alternatif manakala
menggunakan baju tradisional. Sebenarnya ini hampir sama dengan kain
unik masyarakat melayu, akan tetapi bahannya saja yang membuatnya
berbeda. Bahan yang mendasarinya bernama sama dengan sebutannya.
 Busana Laki-Laki
Peran warna putih memang menjadi ciri tersendiri dari baju jenis ini.
Bagi para lelaki di sana, mereka menggunakan semacam kemeja sebenarnya
terdapat pilihan warna lainnya, yaitu hitam. Pemakaiannya juga melibatkan
sebuah selendang persegi yang digantungkan pada bahu dan menjulur pada
dada.
Untuk bawahannya, memakai beberapa gabungan. Pertama, para
lelaki di sana harus memakai celana putih dan dilanjutkan dengan
melingkarkan sebuah kain tenunan yang berwarna kuning mengkilat. Setelah
itu, baru diberikan sebuah aksesoris tambahan yang berupa unting untingan
khas masyarakat melayu.
BAB III
PENUTUP

3.1Kesimpulan
Suku Lampung adalah suku yang menempati berbagai daerah di Provinsi
Lampung. Walaupun terdiri dari berbagai suku, namun mereka menamai diri dalam
satu kesatuan masyarakat Lampung dengan nama “Ulun Lampung”. Dari berbagai
pembahasan yang telah dijabarkan dalam makalah ini, kita bisa menarik kesimpulan
bahwa suku Lampung memiliki kebudayaan yang begitu beragam dan patut untuk
dibanggakan dan dilestarikan. Pembahasan mengenai kebudayaan suku Lampung
dalam makalah ini telah dapat menjawab rumusan masalah yang disebutkan.

3.2 Saran
Penulis menyarankan kepada para pembaca bahwa sebagai bangsa Indonesia
yang satu kita harus bangga dengan kebudayaan yang kita miliki. Kita harus mampu
melestarikannya agar tidak punah dan agar tidak diakui oleh negara lain seperti
kebudayaan lain yang pernah dicuri sebelumnya. Kita harus bersyukur kepada
Tuhan akan keindahan budaya yang ada dan tidak lupa untuk mempelajari
kebudayaan tersebut. Dan kita sebagai warga negara Indonesia tidak harus malu
akan kebudayaan negara sendiri hanya karena kebudayaan luar yang lebih modern
dantidak lupa untuk saling toleran serta menjaga persatuan & kesatuan. 
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Internet :
Abdul Syani, 2014. “Falsafah Hidup Masyarakat Lampung, Sebuah Wacana Terapan”
http://staff.unila.ac.id/abdulsyani/2013/04/02/falsafah-hidup-
masyarakatlampung-sebuah-wacana-terapan
di akses Tanggal 16 Mei 2020
http://lampost.co/berita-ilmu-kunjungi-bunga-mayang.com
diakses pada tanggal 17 Oktober 2020
Ahmad Muzaki. 2014. “Mengenal perkawinan adat lampung pepadun”
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/mengenal-perkawinan-adat-
lampung-pepadun
diakses pada 17 Mei 2020 pukul 10.27
http://malahayati.ac.id/?p=20205
diakses pada 17 Mei 2020 pukul 12.35

Anda mungkin juga menyukai