Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL

ANALISIS HUKUM STATUS GENDER KOMUNITAS BISSU PANGKEP


DITINJAU MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

ARDI

I0119306

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Seminar Proposal Pada

Program Studi Hukum

KONSENTRASI HUKUM
PERDATA PROGRAM STUDI
HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
MAJENE
2023
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : ANALISIS HUKUM STATUS GENDER KOMUNITAS


BISSU PANGKEP DITINJAU MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM

NAMA : ARDI

NIM : I0119306

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada seminar proposal skripsi.

Majene, 15 Maret 2023

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Drs.H Andi Tamaruddin, S.Ag.,M.H S. Muchtadin Al Attas, S.H.,M.H


NIDN: 0912107403 NIDN: 198911052019032020

Mengesahkan:

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Dr.H.Burhanuddin,M.Si
Nip.19620919198903

i
HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : ARDI

Nim : I0119306

Program studi : Ilmu Hukum

Menyatakan bahwa karya ini merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan

merupakan karya plagiasi atau karya orang lain. Jika dikemudian hari ditemukan

bahwa saya terbukti plagiat atau membuat karya ini bukan hasil usaha sendiri,

maka saya bersedia menerima konsekuensi yang telah ditentukan, termasuk

dicabut gelar kesarjanaan yang t elah saya peroleh dan diajukan kemuka hukum.

Majene, 17 Juni 2023

ARDI
Nim: I0119306
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUl ..........................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN..................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................6

1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................7

1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................7

BAB II: KAJIAN PUSTAKA..................................................................................9

2.1 Tinjaun Umum Tentang Hukum adat......................................................9

2.1.1 Masyarakat Adat............................................................................9

2.1.2 Pengertian Hukum Adat.................................................................14

2.2 Teori Hukum adat....................................................................................18

2.3 Identitas Bissu..........................................................................................19

2.3.1 Sejarah Bissu..................................................................................19

2.3.2 Peran Bissu Dalam Adat Mapalili..................................................20

2.4 Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam..................................................22

2.5 Teori Kompilasi Hukum Islam (KHI)......................................................29

BAB III: METODE PENELITIAN........................................................................32

3.1 Jenis Penelitian.........................................................................................32


3.2 Pendekatan Penelitian..............................................................................32

3.3 Lokasi Penelitian......................................................................................33

3.4 Jenis dan Sumber Data.............................................................................33

3.5 Teknik Pengumpulan data........................................................................34

3.6 Teknik Analisis Data................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan dihuni oleh bermacam-macam suku,

agama, ras, adat dan kebudayaan yang berbeda. Budaya merupakan identitas

dari suatu kelompok bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang

dihasilkan oleh berbagai kelompok masyarakat. Setiap daerah memiliki

kebudayaan, adat istiadat dan nilai-nilai leluhur yang bersifat turun menurun

dengan ribuan hukum adat yang dipandu oleh ratusan sistem kepercayaan dan

agama.

Sebagai negara yang berpenduduk padat, tantangan bagi pemerintah di

Indonesia baik di pusat maupun di daerah cukup besar yaitu seberapa jauh

mereka mampu mempraktekkan tata pemerintahan yang baik (good

governance) terhadap rakyatnya yakni menggunakan kearifan lokal (adat

istiadat) dalam praktek pemerintahan. Komunitas adat atau sering disebut

masyarakat tradisional yang dimaksud adalah komunitas masyarakat tradisional

yang terasingkan dari kehidupan modernitas secara umum, karena terikat pada

nilai-nilai leluhur dan kepercayaan mereka masing-masing. .

Salah satu komunitas adat di Sulawesi Selatan adalah komunitas adat

Bissu di Kabupaten Pangkep, secara turun menurun hidup mendiami Kampung

Bontomate‟ne Kecamatan Segeri yang jaraknya sekitar 70 km arah utara kota

2
1
Makassar. Untuk mencapainya, dapat ditempuh dengan melalui jalur trans-

Sulawesi,.

Komunitas Bissu telah lama mendiami di Kabupaten Pangkep yaitu

sebelum masuknya ajaran agama Islam (pra-Islam) di daerah tersebut.

Komunitas Bissu sebagai salah satu budaya Bugis silam yang masih bertahan

saat ini. Sistem kepercayaan Bugis di masa silam itu dijalankan sesuai dengan

konsep dewa tertinggi atau To Palanroe. Sistem kepercayaan ini disebut

Atturiolong, yang secara harfiah mengikuti tata cara leluhur.

Bissu yang menggambarkan adanya pembagian gender di dalam

lingkungan masyarakat etnis di Indonesia khususnya di Sulawesi selatan, yang

diakui adalah laki-laki dan perempuan. Hal ini berbeda dengan pembagian

gender di lingkungan suku Bugis. Menurut Davies dalam (Suliyati, 2018: 54)

menjelaskan bahwa gender dalam masyarakat suku Bugis yang diakui ada lima

kategori, yakni;oroane, makkundrai, calalai, calabai, bissu. Bissu dipahami

golongan yang tidak memiliki gender, bukan laki-laki, bukan perempuan,

bukan lesbian maupun banci. Penampilan bissu dianggap istimewa, karena ia

berpakaian tidak seperti laki-laki dan tidak pula seperti perempuan. Komunitas

bissu memakai pakaian khusus, yang hanya dipakai oleh bissu itu sendiri.1

Bugis merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Indonesia tepatnya

di Sulawesi Selatan, bugis pula satu-satunya yang memiliki konsep unik terkait

1
Andi Misdayanti. Fungsi Dan Peran Sosial Komunitas Bissu Di Kabupaten Bone .Pendidikan
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar. HAL 2

2
gender. Tidak hanya terdapat dua jenis kelamin yang kita kenal, tetapi

kebuadayaan Bugis sendiri mengakui adanya lima gender, yaitu “Oroane”

(laki-laki); “Makkunrai” (perempuan); “Calabai” (laki-laki yang berpenampilan

seperti layaknya perempuan); “Calalai” (perempuan yang berpenampilan

seperti layaknya laki-laki); dan golongan Bissu.2

Bissu merupakan kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut yang

mengambil peran gender laki-laki dan perempuan. Mereka berperilaku

layaknya perempuan dan terkadang berpenampilan dengan pakaian dan tata rias

feminine, namun mereka tetap memakai atribut maskulin dan bukan hanya itu,

Bissu memiliki keahlian seperti perempuan dalam hal tata rias. Bissu juga

disebut sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam, dan berperan sebagai

penasehat raja sehingga pada zaman kerajaan kedudukan raja khususnya

kerajaan Bugis tidaklah sempurna tanpa kehadiran Bissu.

Bissu adalah sekelompok orang yang memiliki hubungan dengan dunia

mistik. Peran Bissu dalam masyarakat Bugis sangat penting dan mereka

memiliki status yang tinggi. Masyarakat Bugis mempercayai bahwa Bissu

memiliki kekuatan supranatural dan dianggap sebagai manusia sakti. Tugas dan

peran Bissu dalam setiap upacara adat Bugis adalah sebagai pendeta atau

pemangku adat.3

2
Sharyn Graham, Sex, Gender, and Priests in south Sulawesi Selatan (pdf). International
Institute For Asian studies, 2007, hal. 27.
3
Titiek Suliyati. “Bissu:Keistimewaan Gender dalam Tradisi Bugis”.Jurnal Ilmiah Kajian
Antropologi. Vol.2 No.1, Desember 2018, hal.52.

3
Kaum Bissu merupakan peninggalan sejarah dalam kitab I La Galigo dari

masa Bugis Kuno yang begitu mencuri perhatian para wisatawan untuk

mengenal dan mengetahui perjalanan sejarah para kaum Bissu baik dari segi

adat, budaya dan ritual-ritual yang dilakukan oleh kaum Bissu. Bissu adalah

waria yang berbeda dengan kebanyakan yang dijumpai dalam lingkungan sosial

masyarakat Indonesia. Kaum Bissu dahulu mendapat perlakuan khusus dalam

eksistensinya, sebagaimana peranan mereka yang turut menentukan hajat hidup

masyarakat Bugis.

Menariknya untuk menjadi seorang Bissu bukanlah pilihan yang mudah,

menurut epos La Galigo zaman Bugis kuno, kelahiran Bissu sama tuanya

dengan keberadaan manusia di bumi. Bissu inilah yang kemudian mengatur

segala hal di dunia dimulai dari penciptaan bahasa, adat istiadat dan segala

sesuatu yang dibutuhkan di dunia baru. Para Bissu dianggap sebagai pendeta

suci yang mewakili manusia dan memiliki gender sendiri yang mewakili laki-

laki dan perempuan. Meski komunitas Bissu dapat beradaptasi di zaman

sekarang ini, Bissu telah mengalami kemunduran eksistensinya disebabkan

kurangnya peran lembaga pemerintah setempat dalam melestarikan komunitas

tersebut.

keberadaan negara yang pada dasarnya mewadahi seluruh keberadaan

masyarakatnya seperti masyarakat adat. Kehidupan masyarakat adat seharusnya

tidak dapat diubah dalam tatanan adat yang telah dianutnya. Keberadaan

masyarakat adat dengan tatanan tradisionalnya dapat bersinergi dengan sistem

4
kenegaraan. Negara seharusnya melakukan perlindungan khusus, sebaliknya

kehadiran masyarakat adat ditengah-tengah negara harus tetap berada dalam

jalur kesatuan.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri

memberikan perlindungan baik kepada setiap penduduk maupun setiap warga

negara Republik Indonesia. Artinya UUD 1945 juga menjamin perlindungan

bagi setiap penduduk tanpa melihat apakah dia warga negara atau orang asing.

Misalnya, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.4 Hal ini

menunjukkan bahwa negara menjamin akan memberikan perlindungan dalam

masalah agama terhadap setiap orang yang ada di wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Sejalan hal tersebut, kedudukan komunitas adat yang berada di negara

Indonesia telah tercantum secara konstitusi dalam Pasal 18b ayat (2) UUD 1945

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam Undang-undang”.5 Dengan demikian negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan komunitas adat yang masih hidup di dalam

4
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
5
Pasal 18b ayat 2 UUD 1945.

5
masyarakat. Sehingga komunitas adat memiliki kesempatan untuk memiliki dan

melestarikan adat tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dengan adanya komunitas Bissu yang terdapat di masyarakat Segeri

Kabupaten pangkep ini tentunya perlu mengetahui bagaimana status gender,

status keperdataan maupun status hukumnya (status kedudukannya) yang tidak

jelas dari Bissu tersebut. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan hukum,

salah satu contohnya yaitu dalam hal ini permasalahan tentang kewarisannya,

apakah seorang Bissu akan mendapatkan bagian warisan berdasarkan jenis

kelaminnya sebagai perempuan atau laki-laki bila ditinjau dari hukum Islam.

Walaupun dalam pandangan KUHPerdata tidak mempermasalahkan perbedaan

jenis kelamin terhadap jumlah pembagian warisan. Tetapi didalam al-Qur’an

dan Kompilasi Hukum Islam jenis kelamin berpengaruh dalam jumlah

pembagian harta warisan.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis berinisiatif untuk

melakukan penelitian dengan judul “Analisis Hukum Status Gender Komunitas

Bissu Pangkep Ditinjau Menurut Kompilasi Hukum Islam”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah berikut:

6
1. Bagaimana status gender?

2. Bagaimana status dan hak hukum Bissu segeri, Kab. Pangkep menurut pada
Kompilasi Hukum Islam.

1.3 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui Bagaimana keabsahan status gender bissu segeri, Kab. Pangkep

ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui bagaimana hak-hak hukum Bissu segeri, Kab. Pangkep bila

dihadapkan pada Kompilasi Hukum Islam.

1.4 Manfaat penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai analisis hukum status

gender komonitas bissu pangkep ditinjau menurut kompilasi kukum islam.

2. Menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin lebih jauh mengkaji mengenai analisis

hukum status gender komonitas Bissu Pangkep Ditinjau Menurut Kompilasi Hukum

Islam.

3. Manfaat praktis

7
a. Bagi penulis diharapakan penelitian ini dapat mengembangkan kemampuan dan

penguasaan ilmu-ilmu yang diperoleh peneliti selama mengikuti pendidikan pada

program studi ilmu hukum Universitas Sulawesi Barat.

b. Penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan referensi bagi pembaca dan

peneliti selanjutnya.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Hukum Adat

2.1.1 Masyarakat Adat

Konsep masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan

kebudayaan.6 Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang

berasal dari kata latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal

dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah

ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai

prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Masyarakat

merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup

lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat, masyarakat menurut Selo

Soemardjan adalah orangorang yang hidup bersama yang menghasilkan

kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai

kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.7

Menurut Emile Durkheim keseluruhan ilmu pengetahuan tentang

masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial

6
Lapse Nonton Boruto. 2014. Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan
masyarakat Indonesia. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol.23.No.2,Hal.17
7
Noname, BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Masyarakat", diakses pada tanggal 24
Mei 2021, pukul 02.20. hal.18-20

9
dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial

dalam bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi

kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat

sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya

manusia sebagai tujuan bersama.8

Masyarakat adat Indonesia memang salah satunya kelompok masyarakat

yang paling rentan.Kerentanan yang dimaksud adalah perlawanan masyarakat

adat untuk mempertahankan kedaulatan, otonomi dan identitas.Kerentanan ini

disebabkan oleh adanya tekanan dan kelemahan eksternal dan internal.

Kerentanan masyarakat adat mempertahankan hak-haknya dapat

dikelompokkan menjadi adanya upaya pelemahan dan penghancuran yuridis.

Pelemahan dan penghancuran yuridis adalah tindakan penegasian dan

peniadaan hak-hak masyarakat adat melalui pemberlakuan berbagai hukum

nasional oleh negara dan penerapan berbagai kebijakan pembangunan oleh

pemerintah. Oleh karena itu untuk melindungi komunitas adat/lokal,

setidaktidaknya diperlukan langkah-langkah strategis dengan

pendekatanpendekatan:

1. Mengenali dan memahami masyarakat adat setempat. Pada langkah ini

perlu dicari informasi-informasi yang terkait dengan : (a) mengenali

budaya, adat istiadat, hukum, kebiasaan, agama dan kepercayaan. Dalam

masyarakat adat terdapat berbagai kebiasaan, adat istiadat, hukum dan


8
Ibid, hal. 21

10
sebagainya, yang harus dihormati dan dihargai, meskipun mungkin pihak

luar menganggap bahwa hal-hal itu salah.

2. Tranformasi timbal balik. Langkah ini dilakukan untuk pertukaran ilmu,

keahlian dan teknologi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan seperti

kegiatan pelatihan-pelatihan seperti ,pendidikan hukum, pemetaan teritori

adat, dan sebagainya.

3. Penggalangan dukungan. Langkah ini dilakukan untuk pengakuan dan

penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat terhadap pihak lain di

luar masyarakat adat.9

Saat ini keberadaan masyarakat adat sudah diakui dan dijamin

perlindungannya berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan yang ada,

dalam kenyataan empirik banyak bermunculan berbagai permasalahan yang

dihadapi masyarakat adat di Indonesia. Masalah masalah tersebut telah

menyebabkan terjadinya berbagai sengketa yang menimpa masyarakat adat

terutama sengketa yang bersifat vertikal/ struktural. Konflik ini terjadi antara

masyarakat adat berhadapan dengan negara atau hukum adat berhadapan

dengan hukum positip. Konflik yang melibatkan masyarakat adat tersebut pada

umumnya berupa sengketa mengenai penguasaan sumber-sumber ekonomi dan

pangkalan budaya yang sehari-hari diyakini dan dijamin sebagai hak-hak

9
Syamsudin, "Beban masyarakat adat menghadapi hukum negara." Jurnal hukum ius quia
iustum 15.3 (2008): 338-351. Hal.348,

11
tradisional masyarakat adat berhadapan dengan kepentingan-kepentingan

investor melalui sarana hukum negara.10

Istilah adat istiadat seringkali diganti dengan adat kebiasaan, namun

padadasarnya artinya tetap sama, jika mendengar kata adat istiadat biasanya

aktivitas individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas selalu berulang dalam

jangka waktu tertentu. Pandangan bahwa agama memberi pengaruh dalam

proses terwujudnya hukum adat, pada dasarnya bertentangan dengan konsepsi

yang diberikan oleh Van den Berg. Jika mendengar kata adat istiadat biasanya

aktivitas individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas ini selalu berulang

kembali dalam jangka waktu tertentu , sehingga membentuk suatu pola tertentu.

Adat istiadat suatu masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama dan

kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Biasanya diikuti

atau diwujudkan oleh banyak orang. Dapat disimpulkan bahwa adat istiadat

adalah aktivitas perilaku-perilaku, tindakan-tindakan individu satu terhadap

yang lain yang kemudian menimbulkan reaksi, sehingga menghasilkan suatu

interaksi sosial Perilaku dan tindakan manusia pada dasarnya adalah gerak

tubuh manusia.11

Menurut Emile Durkheim, konsentrasi agama yang paling utama dari

masyarakat adalah aspek sakral. Namun ia juga memberikan peringatan kepada

orang-orang agar tidak salah mengartikan bahwa yang sakral adalah sesuatu

10
Ibid.
11
Ibid.

12
yang benar dan positif sedangkan profan adalah sesuatu yang salah dan negatif.

Karena pada dasarnya di dalam hal yang sakral dan profan juga terkandung

kebaikan dan keburukan. Sesuatu yang sakral biasanya merupakan bentuk

aktivitas kelompok sosial yang memiliki aktivitas dan tujuan yang sama.

Sedangkan sesuatu yang profan identic dengan aktivitas individu seseorang

yang bukan mewakili kesatuan masyarakat.12

Akulturasi agama dan budaya terkadang memberikan kesulitan kepada

masyarakat dalam memahami mana yang bersumber dari kemurnian agama dan

mana yang bersumber dari interpretasi agama. Emile Durkheim kemudian

mengungkapkan bahwa agama adalah sesuatu yang memiliki dua kategori yaitu

sakral dan profane. Klaim ini kemudian diperkuat dengan pernyataan bahwa

agama bisa dipahami dengan adanya sistem sosial yang bisa menyatukan

masyarakat yang disadarkan terhadap bentuk ritual dan kepercayaan yang

sama.13

Sama halnya dengan Bissu sebagai suatu kelompok sosial dalam

masyarakat dan sebagai wujud kebudayaan, Bissu sebagai kelompok

masyarakat adat yang memiliki ketertarikan budaya yang istimewa. Walaupun

ritual dalam tradisi Bissu sangat bertolak belakang dengan agama, namun jika

dilihat dari aspek lain bahwa negara tetap menerima dan mengakui keberadaan

12
Ahmad ZaenalMustofa. Konsep Kesakralan Masyarakat Emile Durkheim: Studi Kasus Suku
Aborigin Di Australia. Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan. Vol.12 No.3, Desember 2020,
hal.274
13
Ibid.

13
Bissu dengan mengingat bahwa Bissu adalah salah satu peninggalan sejarah

Bugis Kuno dan menjadi salah satu kekayaan budaya yang harus dilestarikan,

kaum Bissu sudah ada terlebih dahulu sebelum agama masuk, dari aspek politik

dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sangat berpengaruh

terhadap eksistensi dan keberlangsungan kelompok maupun kebudayaan.

Pemerintahan Pangkep pastinya sudah memiliki kebijakan tersendiri untuk para

kaum Bissu dengan melihat keberadaanya hingga pada saat ini.

2.1.2 Pengertian Hukum Adat

Hukum adat berasal dari istilah ‘adah’ dari bahasa Arab yang apabila

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti kebiasaan adat atau kebiasaan

telah meresap ke dalam bahasa Indonesia sehingga hampir semua bahasa daerah

di Indonesia telah mengenal dan menggunakan istilah tersebut.14

1. Adanya tingkah laku seseorang;

2. Dilakukan terus-menerus;

3. Adanya dimensi waktu; dan

4. Diikuti oleh orang lain

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti

oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu

luasnya pengertian tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki

kebiasaan sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama. Dengan

14
Dick,R,Van Soehardi,A,R.Pengertian Hukum Adat Indonesia, (Bandung:van Hoeve,1954.).Hal.6

14
demikian hal tersebut dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan

merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban,

cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau

kebiasaan yang hidup dan berakar dalam masyarakat. Adat selalu menyesuaikan diri

dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu tetap kekal, karena adat selalu

menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat dan kehendak zaman. Adat-istiadat

yang hidup di dalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan

ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat. Menurut Prof. Kusumadi

Pudjosewojo, adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Aturan-aturan

tingkah laku yang merupakan kebiasaan di dalam masyarakat ini adalah aturan hidup

dan merupakan adat, apabila disertai sanksi yang tegas.15Berikutnya di bawah ini

dikemukakan 13 pengertian hukum adat yang dikemukakan para ahli dan satu

pengertian dari hasil seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional yang

diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 15 17 Januari 1957 yang memberikan kejelasan

apa yang dimaksud dengan hukum adat16

1. Menurut Cornelis Van vollenhoven hukum adat adalah himpunan peraturan tentang

perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak

mempunyai saksi karena bersifat hukum dan pada pihak lain berada dalam

keadaan tidak dikondifikasikan karena adat

15
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, 2012
16
Dewi Wulandari, Hukum adat Indonesia, 2014 Bandung P.T Refika aditama Hal.3

15
2. Menurut B.Ter Haar Bzn hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma

dari keputusan-keputusan para fungsionalris hukum( dalam arti luas) yang

memiliki kewibawaan serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku

serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati

3. Menurut j.h.p bellevoine hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun

tidakndiundangkan oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan

keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum

4. Menurut Hardjito Notopuro Hukum adat adalah hukum tak tertulis, hukum

kebiasaan dengan khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam

menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat

kekeluargaan."

5. Menurut Raden Soepomo Hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak

tertulis di dalamperaturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di bada

badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi, dan sebagainy hukum yang

hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup,

baik di kota maupun di desa-desa.

6. Menurut Sockanto Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak

dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan memiliki sanksi

(dari hukum itu)

7. Menurut Hazairin Hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam adat sebagai

bag integralnya, sebagai bagian kelengkapannya. Adat selengkap ialah seluruh

kebudayaan yang berkaidah sebagaimana tumbuh dikenal dalam masyarakat

hukum

16
adat seperti desa di bawa, nagar Minangkabau, kuria di Tapanuli, Wanua di

Sulawesi dan selagam.

8. Menurut Bushar Muhammad Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah

laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan

keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di

masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu,

maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi

atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat (mereka

yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memben keputusan dalam

masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan lural, penghulu, wali tanah. kepala

adat dan hakim.

9. Menurut M.M. Djojodigoeno Hukum atat adalah hukum yang tidak bersumber

kepada peraturan peraturan seperti peraturan-peraturan desar dan peraturan-

peraturan

10. Menurut Soediman Kartohadiprodjo Hukum adat adalah suatu jenis hukum tidak

tertulis yang tertentu yang memiliki dasar pemikiran yang khas yang prinsipil

berbeda van hukum tertulis lainnya. Hukum adat bukan hukum adat karena

bentuknya tidak tertulis, melainkan hukum adat adalah hukum adat karena

tersusun dengan dasar pemikiran tertentu yang prinsipil berbeda dari dasar

pemikiran hukum barat

11. Menurut R.M. Socripto Hukum adat adalah semua aturan-aturan/peraturan-

peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala segi kehidupan orang

Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat17

17
Ibid 4-6
17
2.2 Teori Hukum Adat
Teori Reception in Coplexu dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg, yaitu suatu

masyarakat itu memeluk agama tertentu maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan

adalah hukum agama yang dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada

hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian, Teori

ini dikritik oleh beberapa sarjana, antara lain:

I. Van Vollenhoven menyatakan Teori Reception in Comlexu ini sebenarnya

bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum adat terdiri atas

hukum asli ȋMelayu PolenesiaȌ dengan ditambah dari ketentuan-ketentuan dari

hukum agama. Ada tidaknya atau besar kecilnya pengaruh hukum agama dalam

bidang-bidang hukum adat sukar dipastikan karena:

a. Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat bervariasi dan

tidak sama terhadap suatu masyarakat.

b. Tebal dan tipisnya bidang yang dipengaruhi hukum agama juga bervariasi.

c. Hukum adat ini bersifat lokal.

d. Dalam suatu masyarakat terdiri atas wargawarga masyarakat yang agamanya

berlainan.

II. Soerojo Wignjopdipoero dalam bukunya pengantar dan asas asas hukum adat

adalah : Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan menurut ajaran ini, hukum

pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti

hukum2 agama itu dengan setia. (bahwa kalau dalam suatu masyarakat memeluk

agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum

agama yang dipeluknya itu).

18
III. Suroyo Wignjodipuro menilai bahwa pandangan Van Volltenhoven ini sudah

memenuhi dua unsur hukum adat yaitu unsur psikhologis dan unsur kenyataan.

a. Unsur psikhologis artinya terdapat keyakinan pada anggota masyarakat bahwa

norma hukum adat dimaksud memiliki kekuatan hukum yaitu kekuatan

memaksa sehingga anggota masyarakat itu tidak memiliki kemampuan untuk

menolak. Mereka tunduk kepada hukum adat itu, baik karena wibawa hukum itu

dan terutama kesadaran hukum masyarakat itu untuk tunduk dan menaatinya.

b. Unsur kenyataan artinya norma hukum adat itu dalam keadaan yang sama

selalu diindahkan dan ditaati oleh anggota masyarakat, serta diperlakukan oleh

petugas hukum.

c. Secara sosiologis yaitu dikatakan bahwa hukum adat lahir dari kebutuhan

masyarakat akan ketertiban, keteraturan, dan harmoni.

d. Secara antropologis yaitu hukum adat lahir oleh karena memang hukum adat itu

adalah hasil konstruksi budaya yang dibangun dan dihargai seperti mereka

menghargai diri dan komonitas mereka.

18
Khoiruddin Buzama, PEMBERLAKUAN TEORI-TEORI HUKUM ISLAM DI INDONESIA,
diakses pada tanggal 15 juni 2023. Pada pukul 23.04 WITA

19
2.3 Identitas Bissu

Identitas gender merupakan suatu konsep diri individu tentang keadaan

dirinya sebagai laki-laki atau perempuan atau bukan keduanya yang dirasakan

dan diyakini secara pribadi oleh individu. Identitas gender ini ditampilkan

individu dalam bentuk kepribadian dan prilakunya, yang mengarahkan individu

tersebut bagaimana prilaku yang seharusnya ia tampilkan sebagai laki-laki atau

perempuan.20

2.3.1 Sejarah Bissu

Bissu merupakan peninggalan pra-Islam kebudayaan Bugis di wilayah

Sulawesi selatan. Kata Bissu itu sendiri mungkin berasal dari kata Biksu atau

pendeta Buddha. Mereka tinggal didaerah Luwu,bone, pare-Pare, Sidrap,

Wajo, Soppeng,
19
ibid
20
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan feminisme, 2016 Yogyakarta: Garudhawaca, hal.2

20
Pinrang, Pangkep, dan Kota Makassar Bissu adalah kelompok pendeta Bugis

yang hingga saat ini masih mempraktikkan ritual mistis dan perdukunan. 21

Para Bissu juga dianggap oleh masyarakat sebagai “orang sakti” karena

tidak mempan senjata tajam dan mampu berkomunikasi dengan dewa-dewa

leluhur atau roh nenek moyang. Cerita mengenai Bissu dan sejarahnya dimuat

dalam Risalah Bugis kuno I La Galigo. Menurut cerita kemunculan atau

kehadiran Bissu pertama bersamaan dengan diturunkannya manusia pertama ke

dunia (Sulawesi) dari langit yang bernama Batara Guru dan We Nyilik Timo

sebagai permaisurinya yang dimunculkan dari dunia bawah. Dua Bissu

diturunkan oleh dewata untuk mendampingi Batara Guru dan juga menciptakan

bahasa, kebudayaan, adat, dan hal- hal lainnya yang dibutuhkan oleh dunia.

Cerita di dalam La Galigo menggambarkan Sawerigading dan Bissu sebagai

penyempurna keberadaan tokoh-tokoh utamanya (kitab La Galigo).

Menurut kisah dalam kitab, Bissu dimintai tolong oleh Batara Guru untuk

memohon kepada dewa agar dia diberi keturunan. Bissu kemudian melakukan

ritual sebagai penghubung ke dewa untuk memohon keturunan bagi Batara Guru.

Setelah itu, istri Batara Guru hamil dan melahirkan anak laki-laki yang diberi

nama Sawerigading yang menjadi inti dari cerita epik La Galigo. Dalam kisah,

selanjutnya diceritakan bahwa Sawaregading meminta tolong Bissu untuk

memotong pohon, dimana dari batang pohon tersebut akan dibuat perahu oleh

Saweragading untuk

21
http://alpha-i.or.id diakses pada tanggal 15 juni 2023. Pada pukul 23.18 WITA

21
menjemput dan menikahi We Cudai. Dari kisah tersebut-lah Bissu mendapatkan

posisi penting di dalam masyarakat Bugis serta merupakan awal mula tradisi

Bissu berasal dan menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan.22

2.3.2. Peran Bissu dalam adat Mappalili

Peran Bissu yang sangat istimewa tampak dari namanya, yaitu Bissu

berasal dari kata “bessi” yang artinya bersih dalamarti yang luas. Ia tidak

berdarah, suci, tidak mengalami menstruasi dan tidak menyusui (Ad’ham,

2009). Hasil penelitian dari segi bahasa Mappalili artinya menjaga susuatu yang

akan mengganggu atau menghancurkannya. Dalam ritual adat Mappalili ada

benda pusaka yang dicuci atau dibersihkan selama setahun sekali, yakni berupa

bajak sawah yang digunaka dalam ritual adat Mappalili. Ritual adat ini

dilakukan selama sekali dalam setiap tahun, dan perayaan dilakukan di rumah

adat Arajang (tempat menyimpan benda benda pusaka) hal ini dimaksudkan

untuk menghormati dan menghargai para Dewata yang diyakini sebagai benda

pusaka tersebut.23

Ritual adat Mappalili memiliki tahapan tahapan yang telah terintegrasi

dengan perkembangan modern, antara lain adanya perubahan waktudalam

proses ritual adat Mappalili, dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap

ritual adat yang sejak dulu ada. Dalam Wawancara ANR 10 Maret 2019

22
ibid
23
Ibid.

22
Sebagaimana diketahui bahwa Mappalili (mapplili) atau komando turun sawah

telah menjadi agenda kegiatan atau tradisi rutin masyarakat setiap tahunnya.

Pada setiap memasuki masa tanam atau memasuki musim penghujan,

senantiasa memberikan harapan bagi masyarakat, kuhususnya para petani.

Selalu dinanti dan senantiasa memberikan harapan baru bagi masyarakat.

Sebagai sebuah produk budaya lokal yang memiliki corak atau warna tersendiri

yang menggambarkan karakteristik masyarakat Segeri.24

Bissu dalam pelaksanaannya memiliki aturan atau tatacara yang berbeda

dengan upacara adat lainnya. Tentu ada alasan mengapa masyarakat di Segeri

Kabupaten Pangkep tetap melaksanakan ritual adat Mappalili alasannya yaitu

karena mereka masih menganggap tradisi Bissu adalah kepercayaan dari

warisan nenek moyang mereka, dan mereka mempertahankan adat istiadat yang

sudah ada sejak dulu yang dilakukan oleh para leluhur mereka sebagai bentuk

budaya.25

Salah satu perubahan yang terjadi pada peran Bissu dalam tardisi Mapalili

adalah bajak itu telah dianggap keramat dengan menempatkan benda tersebut

sebagai sumber kesematan hidup, hal ini tercermin pada kondisi tertentu

masayarakat setempat harus membawa sesajian berupa makanan dan buah

sebagai syarat keselamatan dan terhindar dari petaka atau musibah, hal ini

24
Ibid.
25
Ibid.

23
diungkap oleh informan ANR, bahwa peran bissu terdahulu tidak mengada

mensyaratkan masyarakat untuk melakukan sesembahan atau meminta kepada

benda tersebut, apalagi mengkramatkan untuk terhindar dari bahaya dan sebagai

bentuk upacara khusus menyambut musim panen sebagai bentuk rasa syukur

kepada tuhan, bukan menjadikan mappalili dan bajak sawah tersebut sebagai

sumber keselamatan, proses ritual adat Mappalili inilah yang dianggap

melenceng dengan nilai nilai budaya Bissu terdahulu.26

2.4 Tinjauan umum tentang Hukum Islam

Sebelum dikaji bagaimana pandangan hukum Islam tentang wanita, ada baiknya

terlebih dahulu dikaji secara singkat gambaran umum tentang hukum Islam. Untuk

memahami hukum Islam secara singkat, akan diuraikan pada bagian ini pengertian beberapa

istilah yang terkait dengan hukum Islam, seperti syariah, fikih, dan hukum Islam sendiri,

serta hubungan antar berbagai istilah tersebut. Di samping itu, pada bagian ini akan diuraikan

juga sumber-sumber hukum Islam dan ruang lingkupnya. Semua permasalahan itu akan

diuraikan satu persatu seperti di bawah ini.

1. Pengertian syariah, fikih, dan hukum islam istilah syariah, fikih, dan hukum Islam sangat

populer di kalangan para pengkaji hukum Islam di Indonesia. Namun demikian, ketiga istilah

ini sering dipahami secara tidak tepat, sehingga ketiganya terkadang saling tertukar. Untuk

26
Ibid.

24
itu, di bawah ini akan dijelaskan masing-masing dari ketiga istilah tersebut dan hubungan

antara ketiganya, terutama hubungan antara syariah dan fikih.27

a. Syariah Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab

alsyarī’at ( ‫( ريعةالش‬yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti,

yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syara’a

berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air. Dalam

pemakaiannya yang bersifat religius, kata syariah mempunyai arti jalan kehidupan

yang baik, yaitu nilainilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam

makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia.1 Alquran

menggunakan kata syir’at dan syarī’at (QS. al-Māidat (5): 48 dan QS. al- Jāsiyat (45):

18) dalam arti dīn atau agama dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan

bagi manusia atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia.

Syariah disamakan dengan jalan air

b. Fikih Secara etimologis kata ‘fikih’ berasal dari kata berbahasa Arab: al- fiqh (‫(هالفق‬,

yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu.8 Dalam hal ini kata

‘fiqh’ identik dengan kata ‘fahm’ (‫( مفھ‬yang mempunyai makna sama. Kata fikih pada

mulanya digunakan orang-orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan

onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang

sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan ‘pengetahuan dan

pemahaman yang

27
Dr. Marzuki, M.Ag. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM ISLAM.di akses pada tanggal 15
juni 2023.pukul 23.28 WITA

25
mendalam tentang sesuatu hal’. Alquran menggunakan kata ‘fiqh’ atau

yang berakar kepada kata ‘faqiha’ (‫ ( هفق‬dalam 20 ayat. Dalam pengertian

memahami, kata fiqh secara umum berada di lebih dari satu tempat dalam

Alquran. Ungkapan Alquran ‘liyatafaqqahū fi al-dīn’ ( ‫ال يف‬e ‫( ( واليتفقھ دين‬QS.

al-Taubat (9): 122) yang artinya ‘agar mereka melakukan pemahaman

dalam agama’ menunjukkan bahwa di masa Rasulullah istilah fiqh tidak

hanya dikenakan dalam pengertian hukum saja, tetapi juga mempunyai arti

yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam, yaitu aspek teologis,

politis, ekonomis, dan hukum. Istilah lain yang searti dengan fiqh adalah

‘ilm. Jadi, kata fiqh dan ‘ilm pada masa-masa awal digunakan dalam

lingkup yang lebih luas. Alasan penggunaannya secara umum di masa-masa

awal, menurut Ahmad Hasan, adalah bahwa yang ditentukan adalah

landasan-landasan pokok agama.28

Adapun secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang

hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-

dalil terperinci.11 Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian

bahwa: 1) fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’. Kata hukum di

sini menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak terkait dengan hukum seperti zat

tidak termasuk ke dalam pengertian fikih. Penggunaan kata syara’ (syar’i)

dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut ketentuan

syara’, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata syara’ ini juga

menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘aqli seperti ketentuan satu

28
ibid

25
ditambah satu sama dengan dua, atau yang bersifat hissi seperti ketentuan

bahwa api itu panas bukanlah cakupan ilmu fikih; 2) fikih hanya

membicarakan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis). Kata

‘amaliyah’ menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak-tanduk

manusia yang bersifat lahiriah. Karena itu, hal-hal yang bersifat bukan

amaliyah seperti keimanan (aqidah) tidak termasuk wilayah fikih; 3)

pemahaman tentang hukum-hukum syara’ tersebut didasarkan pada dalil-

dalil terperinci, yakni Alquran dan Sunnah. Kata terperinci (tafshīli)

menjelaskan dalil-dalil yang digunakan seorang mujtahid (ahli fikih) dalam

penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam

dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam

pengertian fikih; 4) fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para

mujtahid. Kata digali dan ditemukan mengandung arti bahwa fikih

merupakan hasil penggalian dan penemuan tentang hukum. Fikih juga

merupakan penggalian dan penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak

dijelaskan oleh dalil-dalil (nash) secara pasti. Ilmu yang diperoleh para

malaikat dan para Rasul Allah melalui wahyu tidak dapat disebut fikih,

karena tidak diperoleh melalui proses penggalian, penganalisisan, dan

pengambilan keputusan (sering disebut ilmu ladunni). Karena, itu dalam

fikih peran nalar mendapat tempat dan diakui dalam batasbatas tertentu.29

c. Hukum Islam Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu

‘hukum’ dan ‘Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’

29
ibid

26
diartikan dengan 1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap

mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2) undang-

undang, peraturan, dsb. untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3)

patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb.) yang tertentu;

dan 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam

pengadilan); vonis.13 Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai

peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku

manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa

kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun

peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh

penguasa.14 Dalam ujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk

undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak

tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.

Hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah Barat yang

berbahasa Inggris, yaitu Islamic law. Kata Islamic law sering digunakan

para penulis Barat (terutama para orientalis) dalam karya-karya mereka.

Sebagai contoh dari buku-buku mereka yang terkenal adalah Islamic Law in

Modern World (1959) karya J.N.D. Anderson, An Introduction to Islamic

Law (1964) karya Joseph Schacht, dan A History of Islamic Law (1964)

karya N.J. Coulson. Para pakar hukum Islam yang menulis dengan bahasa

Inggris juga menggunakan istilah itu dalam tulisan-tulisan mereka. Kata

Islamic law sering digunakan untuk menunjuk istilah Arab fikih Islam.

Ahmad Hasan menggunakan istilah Islamic law untuk fikih dalam karya-

27
karyanya seperti dalam buku The Early Development of Islamic

Jurisprudence (1970) dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994).

Istilah inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi

hukum Islam. Istilah ini kemudian banyak digunakan untuk istilah-istilah

resmi seperti dalam perundang-undangan, penamaan mata kuliah, jurusan,

dan lain sebagainya. Adapun untuk padanan syariah, dalam literatur Barat,

ditemukan kata shari’ah. Untuk padanan syariah terkadang juga digunakan

Islamic law, di samping juga digunakan istilah lain seperti the revealed law

atau devine law. Istilah lain terkait dengan hukum Islam yang juga

digunakan dalam literatur Barat adalah Islamic Jurisprudence. Istilah ini

digunakan untuk padanan ushul fikih. Ada beberapa buku yang ditulis

dalam bahasa Inggris terkait dengan istilah ini, di antaranya adalah dua

buku tulisan Ahmad Hasan seperti di atas, The Origins of Muhammadan

Jurisprudence (1950) karya Joseph Schacht, The Principles of

Muhammadan Jurisprudence (1958) karya Abdur Rahim, dan juga dua

karya Ahmad Hasan seperti di atas.

d. Hubungan antara hukum Islam, syariah, dan fikih Di atas sudah dijelaskan

bahwa hukum Islam merupakan istilah yang lahir sebagai terjemahan dari

istilah berbahasa Inggris Islamic law. Namun, kalau dikaji dari bentukan

kata hukum Islam itu sendiri, yakni gabungan dari kata ‘hukum’ dan kata

‘Islam’, maka dapat dipahami bahwa hukum Islam itu merupakan hukum

yang bersumber dari ajaran Islam.

28
Istilah hukum Islam tidak ditemukan dalam Alquran, Sunnah, maupun

literatur Islam. Untuk itu perlu dicari padanan istilah hukum Islam ini

dalam literatur Islam. Jika hukum Islam itu dipahami sebagai hukum yang

bersumber dari ajaran Islam, maka sulit dicari padanan yang dalam literatur

Islam yang persis sama dengan istilah tersebut. Ada dua istilah yang dapat

dipadankan dengan istilah hukum Islam, yaitu syariah dan fikih. Dua istilah

ini, sebagaimana sudah diuraikan di atas, merupakan dua istilah yang

berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sangat terkait erat.

Dengan memahami kedua istilah ini beserta berbagai karakteristiknya

masing-masing, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama

persis dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi

juga tidak berarti bahwa hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan

syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan adalah pengertian hukum Islam itu

mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum Islam yang dipahami

di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam

bentuk fikih, sehingga kalau seseorang mengatakan hukum Islam, harus

dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah

yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar

bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga hukum

Islam terkadang dipahami dengan kurang tepat, bahkan salah.30

30
ibid

29
2.5 Teori Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Istilah Kompilasi di ambil dari perkataan “Compilare” yang mempunyai

arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-

peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Istilah ini kemudian

dikembangkan menjadi “Compilation” dalam Bahasa inggris atau “Compilatie”

dalam Bahasa belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam Bahasa

Indonesia menjadi “Kompilasi” yang berarti terjemahan langsung dari dua

perkataan yang tersebut terakhir.31 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia

kompilasi berarti kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar

informasi, karangan dan sebagainya)32.

Bila dilihat dari proses pembuatannya yang mana menghimpun bahan-

bahan hukum dari berbagai kitab fiqih yang mu’tamad (dapat dipertanggung

jawabkan dan diakui ulama-ulama) serta yang sering dijadikan rujukan oleh

hakim dalam menjatuhkan putusan perkara. Maka kompilasi hukum Islam nya

dapat ditafsirkan sebagai rangkuman dari berbagai hal yang mengenai hukum

Islam. Kompilasi hukum Islam diolah, dikembangkan serta di susun secara

sistematis dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal-pasal yang

umum dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan.

31
Mahkamah Agung, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan Kompilasi
Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam Pembahasannya (Jakarta : Mahkamah Agung RI,2011),Hal.
2
32
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai Pustaka,2002),Hal.
584

30
Maka dari itu tujuan utama diciptakannya kompilasi hukum Islam adalah

untuk mempositifkan hukum Islam di Indonesia. Dengan mempositifkan hukum

Islam secara terumus dan sistematik dalam kitab hukum, terdapat beberapa

sasaran pokok yang hendak dicapai ataupun dituju, Yaitu:

1. Melengkapi Pilar Peradilan Agama.

a) Peradilan agama secara legalistic berdasarkan pasal 10 UU. No. 14 Tahun

1970, telah diakui secara resmi sebagai salah satu pelaksanaan judicial

power dalam negara hukum RI. selain itu, kedudukan, kewenangan atau

yurisdiksi, dan organisatoris telah diatur dan dijabarkan dalam uu no.7

tahun 1989.asal-pasal yang umum dipergunakan dalam peraturan

perundang-undangan.

b) Adanya organ atau pejabat pelaksana yang berfungsi melaksanakan jalan

peradilan.

c) Adanya sarana hukum positif yang pasti dan berlaku secara unifikasi.33

2. Menyamakan Persepsi Penerapan Hukum.

Dengan lahirnya kompilasi hukum Islam, telah jelas dan pasti nilai-

nilai tata hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan

warisan. Bahasa dan nilai nilai hukum yang dipertarungkan di dalam forum

pengadilan agama oleh masyarakat pencari keadilan, sama kaidah dan

rumusannya dengan apa yang harus diterapkan oleh para hakim di seluruh

nusantara.
33
https://www.Dpr.go.id/dokjdih/document/UU/597.pdf

31
3. Mempercepat Proses Taqriby Bainal Ummah.

Dengan adanya kompilasi, dapat diharapkan sebagai jembatan

penyebrangan kearah memperkecil pertentangan dan perbantahan khilafiyah,

sekurang kurangnya di bidang hukum yang menyangkut perkawinan, hibah,

wasiat, wakaf, dan warisan dapat disatukan pemahaman yang sama.

32
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe atau jenis penelitian Normatif-Empiris.

Tipe penelitian ini disesuaikan dengan rumusan masalah yang diajukan sebagai

konsekuensi logis dari isu hukum penelitian dalam latar belakang masalah

tentang Analisis Hukum Status Gender Komonitas Bissu Pangkep Ditinjau

Menurut Kompilasi Hukum Islam.

3.2 Pendekatan Penelitian

1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Suatu pendekatan normatif, tentulah harus menggunakan pendekatan

perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hokum

yang menjadi fokus dan merupakan tema sentral suatu penelitian.34

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-

kelas fenomena dalam suatu bidang studi, yang kadang kala menunjukkan pada

hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal particular. Salah satu fungsi

logis dari konsep ialah memunculkan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu,

34
Jonaedi Efendi & Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2020. Hal.
132.

33
objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut

pengetahuan.35

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pangkajene, Provinsi Sulawesi

Selatant. Peneliti melakukan penelitian ditempat ini dengan alasan, bahwa

terdapat komunitas Bissu dan menganalisis tentang bagaiamana status gender

Komonitas Bissu Pangkep Ditinjau Menurut Kompilasi Hukum Islam.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Data adalah rekaman atau deskripsi dari suatu hal atau fakta. Sumber data

adalah tempat data penelitian diperoleh. Data dalam penelitian ini

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diambil langsung dilapangan berupa

wawancara dengan informan kunci yakni Kepala/Tokoh Adat dan

masyarakat.

2. Data Sekunder

a. Bahan hukum primer

35
Ibid.

34
Sumber hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat antara lain, UUD 1945, KUH-Perdata, dan Kompilasi

Hukum Islam.

b. Bahan hukum sekunder

Terdiri bahan bacaan yang ditulis para ahli hukum serta refrensi

lainnya yang ada hubungannya dengan pokok bahasan atau objek

pembahasan dari tulisan ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Terdiri kamus seperti kamus besar bahasa Indonesia, jurnal-jurnal,

buku-buku, ensiklopedia, maupun skripsi yang berkaitan dengan status

gender Komonitas Bissu Pangkep Ditinjau Menurut Kompilasi Hukum

Islam.

3.5 Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu:

1) Observasi, artinya peneliti melakukan pengamatan awal untuk memudahkan

dalam proses pengumpulan data selanjutnya.

2) Wawancara dan dialog, artinya tanya jawab dan dialog dengan orang-orang

yang diangggap mempunyai kualifikasi dan dianggap atau akan

permasalahan yang diangkat.

35
3) Menelaah bahan hukum, artinya mengumpulkan fakta-fakta hukum

kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian

ini.

3.6 Teknik Analisis Data

Upaya menjawab permasalahan yang diajukan dilatar belakang masalah

dalam penelitian ini digunakan analisis kualitatif dengan metode berfikir

deduktif-induktif. Metode ini merupakan metode analisis kualitatif yaitu

analisis yang menggunakan kesimpulan, karena hasil kesimpulan berdasarkan

data yang diolah dan dianalisis melalui teknik analisis induktif.

36
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Alfian Rokhmansyah, (2016) Pengantar Gender dan feminisme, Yogyakarta:


Garudhawaca.

Andi Misdayanti. Fungsi Dan Peran Sosial Komunitas Bissu Di Kabupaten Bone.
Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar.

Departemen Pendidikan Nasional, (2002) Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta:Balai Pustaka.

Jonaedi Efendi & Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2020.

Mahkamah Agung, (2011) Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang


Berkaitan Dengan Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam
Pembahasannya Jakarta : Mahkamah Agung RI.

Sharyn Graham, (2007) Sex, Gender, and Priests in south Sulawesi Selatan (pdf).
International Institute For Asian studies.

Dick,R,Van Soehardi,A,R.Pengertian Hukum Adat Indonesia, Bandung:van


Hoeve,1954.

B. UNDANG-UNDANG

Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

C. JURNAL/ SKRIPSI

37
Ahmad Zaenal Mustofa. (2020) Konsep Kesakralan Masyarakat Emile
Durkheim: Studi Kasus Suku Aborigin Di Australia. Jurnal Politik dan
Sosial Kemasyarakatan. Vol.12 No.3.

Hukom, S. (2022). Eksistensi Masyarakat Adat Bissu Di Pangkep Dalam


Kajian Sosiologi Politik = The Existence of Bissu Customs in the Study
of Political Sociology (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

Kasim, S., Ramli, A. T., & Muhammad, S. (2021). Identitas Bissu Ditengah
Modernitas Di Desa Bontomatene Kecamatan Segeri Kabupaten
Pangkep. Hasanuddin Journal of Sociology, 29-39.

Lapse. (2014). Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan


masyarakat Indonesia. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol.23.No.2.

Syamsudin, (2008) "Beban masyarakat adat menghadapi hukum negara."


Jurnal hukum ius quia iustum 15.3:338-351.

Titiek Suliyati. (2018) “Bissu: Keistimewaan Gender dalam Tradisi


Bugis”.Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. Vol.2 No.1.

Dr. Marzuki, M.Ag. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM ISLAM 2025

Khoiruddin Buzama, PEMBERLAKUAN TEORI-TEORI HUKUM ISLAM DI

INDONESIA, diakses pada tanggal 15 juni 2023.

D. SUMBER LAINNYA

https://www.Dpr.go.id/dokjdih/document/UU/597.pdf

Noname, Bab II Kajian Teori A. Tinjauan tentang Masyarakat", diakses pada


tanggal 24 Mei 2021.

http://alpha-i.or.id diakses pada tanggal 15 juni 2023. Pada pukul 23.18 WITA

38
39

Anda mungkin juga menyukai