Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGARUH BUDAYA DALAM PSIKOLOGI AGAMA

Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Psikologi Agama

Dosen Pengampu : Asriyanti Rosmalina, M.Ag.

Disusun Oleh :

Khoirotunnisa 2284110092
Fatimah Syabani Nur 2284110111
Moh. Hardyansyah Lazuardi 2284110093

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengaruh Budaya Dalam Psikologi
Agama” ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Rosulalloh SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Psikologi Agama.

Oleh karena itu, kami menyampaikan terima kasih kepada semua yang telah
berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Dengan terselesaikannya penyusunan makalah
ini semoga dapat memberi manfaat bagi kami selaku penulis dan semua pembaca pada
umumnya.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.
Maka, untuk kesempurnaan makalah selanjutnya kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca, baik segi isi makalah maupun penggunaan bahasa (kosa kata, EYD dan fungtuasi).

Cirebon, 7 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................4
C. Tujuan................................................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
A. Hubungan Agama dan Kebudayaan dalam Masyarakat....................................................5
B. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan........................................................................6
C. Pengaruh Budaya Masyarakat dan Psikologi Agama........................................................7
D. Agama dan Pembangunan Kebudayaan Masyarakat.......................................................10
BAB III....................................................................................................................................13
PENUTUP...............................................................................................................................13
Kesimpulan...........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan cerminan dari
pola pikir, perilaku, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Tirandis (1994)
mendefinisikan budaya sebagai seperangkat buatan manusia yang terdiri dari elemen objektif
dan subjektif yang pada masa lalu mampu meningkatkan peluang untuk survival dan berhasil
dalam menghadapi lingkungan ekologis, dan oleh karenanya buatan itu dipakai bersama-
sama oleh mereka yang bisa saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa umum, dan
mereka yang hidup dalam tempat dan waktu yang sama. Budaya subjektif adalah norma,
peran dan nilai-nilai, dan cara manusia mengkategorisasi dan mengasosisasi informasi dalam
menghadapi lingkungannya. Budaya objektif adalah hasil karya manusia berupa benda
objektif misalnya alat-alat sehari-hari yang kita pakai, radio, jalan, dan stasiun.

Menurut ilmu sosiologi, kebudayaan merupakan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak,


kesenian, ilmu, dan lain-lain) yang dimiliki oleh manusia sebagai subjek dalam
masyarakatnya. Dalam sorotan ilmu sejarah, kebudayaan merupakan tradisi yang diturunkan
dari generasi ke generasi berikutnya. Ada keberlanjutan pada kebudayaan. Filsafat memahami
budaya secara normatif. Sedangkan antropologi budaya memandang aspek tingkah laku
manusia sebagai makhluk sosial. Psikologi memperhatikan budaya pada proses penyesuaian,
belajar serta pembentukan kebiasaan manusia sebagai subjek yang hidup di tengah
lingkungannya. Sedangkan ilmu bangsa-bangsa mengatakan bahwa kebudayaan merupakan
bangunan ideologi yang mencerminkan pertentangan antar kelas. Menyaksikan beragamnya
definisi “budaya” yang mustahil diseragamkan, Mudji Sutrisno menuliskan “apapun isi dari
definisi kebudayaan, para ahli sepakat bahwa kebudayaan merupakan gejala khas
manusiawi”, yakni adanya hubungan timbal balik antara manusia sebagai pribadi-individual,
manusia sebagai komunitas kolektif. Dengan adanya hubungan itulah, maka gejala
kebudayaan dihasilkan.

B. Rumusan Masalah
1. Hubungan Agama dan Kebudayaan dalam Masyarakat
2. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan
3. Pengaruh Budaya Masyarakat dan Psikologi Agama
4. Agama dan Pembangunan Kebudayaan Masyarakat

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hubungan Agama dan Kebudayaan dalam Masyarakat
2. Untuk mengetahui Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan
3. Untuk mengetahui Pengaruh Budaya Masyarakat dan Psikologi Agama
4. Untuk mengetahui Agama dan Pembangunan Kebudayaan Masyarakat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Agama dan Kebudayaan dalam Masyarakat


Menurut Parsudi Suparlan unsur sosial budaya telah mengakar dalam kehidupan
masyarakat dan sulit berubah. Meredith Mc Guire menyatakan bahwa dalam masyarakat
pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama. Secara garis besar tradisi
sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut dengan pranata. Pranata ada yang
bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetetif dan konflik yang menekankan legalitas,
seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar, berbagai pranata hokum
dan keterkaitan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Para ahli sosiologi menyebutnya
sebagai pranata sekunder. Pranata ini dapat dengan mudah diubah struktur dan peranan
hubungan antar perannya maupun norma-norma yang berkaitan dengan itu, dengan
perhitungan rasional yang menguntungkan yang dihadapi sehari-hari.
Pranata sekunder tampaknya bersifat fleksibel, mudah berubah sesuai dengan situasi yang
diinginkan oleh pendukungnya. Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan
dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbale balik. Makin kuat tradisi keagamaan
dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam
kebudayaan. Sebaliknya, makin secular suatu masyarakat maka pengaruh tradisi dalam
kehidupan masyarakat akan kian memudar. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat
tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran.
Misalnya kita membaca kitab fikih, maka fikih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-
Qur’an maupun hadist sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan
demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat.
Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan
yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman
terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama. Misalnya
manusia menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul bermasyarakat, dan sebagainya. Ke
dalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi. Dalam pakaian model
jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengalaman agama. Sebaliknya tanpa
adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Dipandang dari
segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama
untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Setiap individu hidup di lingkungan kebudayaannya, masing- masing budaya punya ciri
khasnya tersendiri. Kebudayaan orang Madura akan berbeda dengan budaya Makassar,
budaya orang Jawa berbeda dengan budaya orang Bali, demikian juga budaya orang Irian
akan berbeda dengan kebudayaan orang Bugis. Sekalipun demikian, kebudayaan itu bisa
dipelajari, dibentuk dan dirubah.
Kebudayaan dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya itu, selalu diturunkan dan
diajarkan oleh generasi tua kepada generasi muda, bisa melalui pendidikan (baik pendidikan
formal, informal maupun non formal), atau melalui kesenian (tarian, lukisan, gambar hidup
atau patung, cerita, nyanyian, sandiwara, dan lain-lain), bisa pula lewat ajaran agama,
pameran secara seremonial, adat istiadat, tradisi, dan lain-lain.
Seiring dengan proses transformasi budaya, baik langsung maupun tidak langsung,
terbawa dan terbentuklah kognisi dalam artian pengertian, pengalaman, pemahaman,
pengetahuan, kepercayaan dan keyakinan, yang selanjutnya diikuti oleh berbagai bentuk
afeksi (perasaan) yaitu, senang, gembira, rindu, sedih, takut, marah, benci, dan bentuk emosi
lainnya yang pada akhirnya semua digiring kepada kesiapan untuk menerima atau menolak.
Bila menerima artinya mereka siap untuk mendukung baik dengan perkataan, perbuatan
maupun dengan perilaku lainnya, demikian juga sebaliknya. Jika ketiga unsur ini berjalan
secara seimbang maka akan terbentuklah sikap seseorang (individu) dan bila hal ini terjadi
secara bersamaan terhadap suatu objek maka terbentuklah sikap sosial.
Dengan membedakan manusia dan hewan dalam hal “kebudayaan”, Mudji Sutrisno
mengingatkan bahwa dulu yang dimaksud dengan kebudayaan adalah suatu perwujudan
hidup manusia yang berbudi luhur dan bersifat rohani, seperti agama, seni, filsafat, ilmu tata
negara. Budaya religius dalam ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya
organisasi dapat mengembangkan dan melahirkan kreativitas, bakat, dan minat serta mengacu
tingkatan umum kecerdasan yaitu: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan
rohani, dan kecerdasan sosial.
Jadi, kebudayaan dengan berbagai macam ragamnya masing- masing akan membentuk,
memperkuat sekaligus merubah sikap dan perilaku baik secara individu maupun secara sosial
yang berada di lingkungan kebudayaan yang bersangkutan. Misalnya lewat pendidikan, guru
sebagai pelaksana pendidikan formal berfungsi sebagai perantara dalam suatu proses
pewarisan kebudayaan. Melalui guru aspek-aspek kebudayaan diwariskan dari satu generasi
ke generasi lain dalam suatu masyarakat. Beberapa keterampilan dan kecakapan.
B. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan
Moh. Arifin (dalam Anwar) berpendapat perilaku keagamaan berasal dari dua kata,
perilaku, dan keagamaan. Perilaku adalah gejala (fenomena) dari keadaan psikologis yang
terlahirkan dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Keagamaan
(agama) adalah segala yang disyariatkan oleh Allah dengan perantaraan Rasul-Nya berupa
perintah dan larangan serta petunjuk kesejahteraan dalam hidup. Secara defenisi dapat
diartikan bahwa perilaku beragama adalah “bentuk atau ekspresi jiwa dalam berbuat,
berbicara sesuai dengan ajaran agama”. Defenisi tersebut menunjukkan bahwa perilaku
beragama pada dasarnya adalah suatu perbuatan seseorang baik dalam tingkah laku maupun
dalam berbicara yang didasarkan dalam petunjuk ajaran agama Islam.

Tradisi keagamaan merupakan kerangka acuan norma yang sudah dianggap baku dalam
kehidupan dan perilaku masyarakat. Tradisi keagamaan sebagai pranata primer dari
kebudayaan memang sulit untuk berubah, karena keberadaannya didukung oleh kesadaran
bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat
pendukungnya. Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut
bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu: sistem kebudayaan, sistem sosial, dan benda-
benda budaya. Sedangkan isinya terdiri atas tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi,
sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.
Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai
yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Kemudian nilai dan norma tersebut
berkembang dalam berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk suatu sistem sosial.
Dari sistem ini selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.
Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara konkret, dapat digambarkan
melalui proses penyiaran agama hingga terbentuk suatu komunitas keagamaan. Sebagai
contoh, masuknya agama-agama ke Nusantara. Pada tahap pertama, penyebar agama datang
dan para pemimpin agama menyampaikan ajaran kepada penduduk setempat. Ajaran tersebut
berisikan konsep-konsep agama yang disebut sistem kebudayaan (cultural system). Dalam hal
ini terjadi proses transfer ilmu yang dalam psikologi pendidikan disebut aspek kognitif (yang
menyangkut pengetahuan agama). Pada tahap kedua, masyarakat diarahkan kepada
bagaimana melaksanakan ajaran agama. Ilmu yang telah diperoleh diharapkan mampu
dilakukan dengan baik dalam keseharian. Pada tahap ini terlihat bahwa agama sudah
mencapai tingkat sistem sosial (social system). Di tahap selanjutnya, terciptalah benda-benda
keagamaan baik dalam bentuk bangunan maupun karya-karya para penganut agama. Tahap
ini merupakan tahap akhir dan telah terwujud suatu bentuk kebudayaan fisik (material
culture) suatu agama.
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan
mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai
lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan
kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam
membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk sikap keagamaan pada diri
seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu. Bagaimana pengaruh
tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini dapat dilihat dari contoh berikut. Seorang
muslim dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat akan menunjukkan sikap yang menolak
ketika diajak masuk ke Kelenteng, Pure, atau Gereja. Sebaliknya, hatinya akan tentram saat
menjejakkan kakinya di masjid. Demikian pula seorang penganut agama Kristen, Katolik,
Budha maupun Hindu akan mengalami hal yang serupa.
Salah satu cara yang dapat digunakan ialah dengan memadukan pengaruh budaya religius
dan self regulated. Adapun makna suasana keagamaan menurut Muntasir adalah suasana yang
memungkinkan setiap anggota keluarga beribadah, kontak dengan Tuhan dengan cara-cara
yang telah ditetapkan agama, dengan suasana tenang, bersih, dan hikmat.
C. Pengaruh Budaya Masyarakat dan Psikologi Agama
Psikologi agama dan budaya lahir tidak lain untuk bisa mengakomodir segala bentuk
gejala yang bersifat destruktif. Dalam konteks Indonesia, negara yang mempunyai kuantitas
penduduk muslim tidak kurang dari 220 juta jiwa, yang sering dicap sebagai negara
demokrasi dengan cara pandang yang moderat. Apalagi dapat hidup berdampingan dengan
kalangan yang plural, baik dari segi agama, ras, suku, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain.
Psikologi agama mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya
dengan keyakinan beragama seseorang. Dimana manusia berupaya menyembuhkan gangguan
kejiwaannya melalui ajaran-ajaran agama, karena agama menawarkan suatu hubungan
transendental terhadap sesuatu melalui pemujaan dan upacara-upacara keagamaan yang
memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat di tengah
ketidakpastian, ketidakmungkinan dan kelengkapan yang dialami manusia dalam hidup dan
kehidupannya. Psikologi dan agama merupakan dua unsur yang berbeda, namun keduanya
saling berhubungan dan mempengaruhi manusia dalam bersikap dan bertingkah laku.
Disebabkan cara bersikap, berfikir dan tingkah laku seseorang tidak dapat dipisahkan dari
keyakinannya, karena keyakinan yang dimiliknya itu termasuk kedalam konstruksi
kepribadian.
Secara historis pengobatan jiwa melalui agama telah lahir semenjak manusia primitif,
dalam sejarah tercatat betapa besarnya pengaruh kepercayaan terhadap penyembuhan suatu
penyakit. Mereka mempercayai bahwa segala sesuatu datang dari alam gaib, termasuk
penyakit yang dialami sesorang yang disebabkan oleh syaitan, hantu, dan roh-roh jahat,
karena menurut mereka sakitnya seseorang sakit bukanlah bakteri penyakit yang
menyerangnya, sebagaimana kepercayaan dan pengalaman masyarakat modern. Untuk
penyembuhanya masyarakat primitif mempergunakan cara- cara yang bersifat tradisional atau
bentuk-bentuk gaib, yaitu melalui kepercayaannya dengan minta bantuan kepada dukun-
dukun. Berbeda dengan manusia dewasa ini, mereka telah menghubungkan agama dengan
kesehatan, agama tidak hanya membicarakan segala sesuatu nyang berkenaan dengan hal-hal
yang gaib misalnya, surga, neraka, dosa, pahala, maut, roh dan sebagainya.
Mahmud Yusuf mengutip pendapat Norman Vincent Peale bahwa agama adalah dapat
memberikan rasa keimanan dan rasa keyakinan kepada individu untuk pasrah dan memohon
pertolongan kepada Tuhan dari segala hal yang tidak menyenangkan dan dari masalah-
masalah kehidupan yang dihadapinya. Maka terapi agama adalah sejenis perawatan dan
penyembuhan penyakit dengan menggunakan metode psikologi yang dipadukan dengan
ajaran agama terhadap permasalah-permasalah yang bersumber dari kehidupan emosional
untuk dikembalikan kepada kesehatan dan keseimbangan jiwa seseorang. Dalam Islam,
perkembangan ilmu pengetahuan sejalan dengan agama, bahkan Islam mendorong umatnya
menuntut dan mempelajari ilmu pengetahuan sebagaimana terdapat dalam al- Qur’an dan as-
Sunnah. Sehingga dalam Islam terdapat perpaduan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi
dalam diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam
mengarahkan proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam,
tentu akan mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu
ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan
agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik
keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya
terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul
Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman bersilaturahmi kepada yang lebih
tua adalah sebuah bukti dari keterkaitan antara nilai agama dan kebudayaan.
Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak
berada dalam realitas yang vakum. Mengingkari keterkaitan agama dengan realitas budaya
berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang
pasti dilingkari oleh budayanya. Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa
perkembangan agama dalam sebuah masyarakat baik dalam wacana dan praktis menunjukkan
adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama
semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara
konstruksi Tuhan. Seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci dan konstruksi manusia dan
interpretasi dari nilai-nilai agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan.
 Agama Atas Problematika Psikis Manusia
Setiap tingkah laku manusia merupakan manifestasi dari beberapa kebutuhan yang
ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan kata lain bahwa setiap tingkah
laku manusia selalu terarah pada obyek atau tujuan yang hendak dicapainya, tingkah laku
adalah satu kesatuan perbuatan yang berarti bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki manusia merupakan pendorong untuk berbuat sesuatu
dalam memenuhi kebutuhannya.
Agama dan moral merupakan dua unsur yang penting dalam menjaga kesusilaan dan
ketertiban masyarakat. Nilai-nilai moral itu bersifat otonom, artinya nilai-nilai seperti
keadilan, kejujuran, kesadaran, keteguhan hati. Manusia sebagai makhluk selalu memberikan
arti pada hidupnya, dan tanpa adanya arti dalam kehidupan manusia tidak bisa hidup dalam
taraf kemanusiaan. Oleh sebab itu, orang mencari penyelesaiannya dengan bantuan norma-
norma dan kepercayaan agama. Dengan demikian, seseorang tidak bisa hidup disisi Tuhan
bila kenyataannya bahwa hidupnya tidak sesuai dengan norma-norma agama. Manusia wajib
hidup bermoral menjaga kesusilaan demi untuk Allah dan dirinya sendiri yaitu dengan
mendengar atau perantaraan suara hatinya sendiri, karena suara hati itu tidak pernah bohong.

 Agama Sebagai Sarana Pemuas Intelektual


Manusia sebagai makhluk berakal memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi, tapi
kadang-kadang akal manusia tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan atas
pertanyaan yang menyelimuti pemikirannya. Pertanyaan-pertanyaan mendasar bagi manusia
adalah Dari mana manusia datang? Apa tujuan manusia hidup di dunia ini? Mengapa manusia
itu ada? Dan kemana akhirnya manusia kembali setelah mati? Ditengah kebimbangan itu
manusia mencari agama untuk memperoleh jawaban untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
intelektual kognitif ini, sejauh disebabkan kesukaran itu dilatarbelakangi dan diresapi oleh
keinginan eksistensial dan psikologis. Menurut Nico Syukur bahwa keinginan dan kebutuhan
manusia akan orientasi dalam kehidupan, untuk dapat menempatkan diri secara berarti dan
bermakna di tengah-tengah kejadian semesta alam.
Dalam hal ini, manusia harus memiliki orientasi mempertahankan hidupnya di dunia dan
di akhirat, karena itu manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang fundamental akan nila-
nilai metafisis dan norma-norma keagamaan untuk mengatasi konflik, ketegangan,
kegelisahan yang membawa kepada trustrasi. Keberadaan agama bagi manusia merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi problematika kejiwaan dan mendapatkan
pengobatan kejiwaan atau kesehatan mental, yaitu :
 Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan atau kebutuhan pokok yang
bersifat organis (fisis dan psikis) kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan itu
menuntut kepuasan. Dalam pencapian kebutuhan itu timbullah ketegangan-
ketegangan, namun ketegangan akan menurun jika kebutuhannya terpenuhi.
Sebaliknya ketegangan akan meningkat jika mengalami frustrasi atau hambatan-
hambatan untuk memperolehnya.
 Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang
bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang, aman, terlindung, ingin puas dalam
seksnya, ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya. Lalu timbulah sence of
impottancy dan sence of matery (kesadaran arti dirinya dan kesadaran pengusaan).
 Setiap individu selalu berusaha mencari posisi dan status dalam lingkungan sosialnya.
Setiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati
menumbuhkan rasa dari rasa aman/ assurance dan menumbuhkan harapan-harapan di
masa mendatang.

 Agama Sebagai Sarana Mengatasi Ketakutan


Secara umum tidak tenteram atau takut adalah pengalaman emosional yang dialami oleh
seseorang ketika merasa takut, risau atau merasa terancam oleh sesuatu yang tidak mudah
ditentukan penyebab terjadinya. Perasaan-perasaan yang dirasakan itu berawal dari perasaan
takut (fear) yang muncul dari dalam dirinya.
D. Agama dan Pembangunan Kebudayaan Masyarakat
 Peranan Agama Dalam Pembangunan
Prof. Dr. Muti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
 Sebagai etos pembangunan
Sebagai etos pembangunan adalah bahwa agama yang menjadi panutan
seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu
memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap. Nilai moral tersebut akan
memberikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai
dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama
dijauhinya dan sebaliknya selalu giat dalam menerapkan perintah agama, baik
dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak. Dari tingkah
laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis.
Penerapan agama lebih menjurus kepada perbuatan yang bernilai akhlak mulia
dan bukan untuk kepentingan lain. Segala bentuk perbuatan individu maupun
masyarakat selalu berada dalam suatu garis yang serasi dengan peraturan dan
aturan agama, hingga pada akhirnya akan terbina suatu kebiasaan yang agamis.
 Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong
seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik.
Pengalaman ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam
peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan.
Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan
ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan
material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan akhirat lebih
didambakan oleh penganut agama yang taat.

 Fungsi Agama Dalam Masyarakat


 Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis
berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini
mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya
menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-
masing.
 Penyelamat
Manusia selalu menginginkan dirinya selamat di mana pun dia berada.
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan
oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah
keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat. Dalam mencapai
keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada
masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
Pelaksanaan pengenalan kepada unsur (zat supernatural) bertujuan agar dapat
berkomunikasi baik secara langsung maupun dengan perantara langkah menuju ke
arah tersebut secara praktis dan dilaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan
ajaran agama itu sendiri, diantaranya: mempersatukan diri dengan Tuhan
(panthaisme), pembebasan dan pensucian diri (penebus dosa) dan kelahiran
kembali (reinkarnasi).
 Transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok
menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan
baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya tersebut
terkadang mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan
yang dianut sebelumnya.
 Pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai
kedamaian batin melalui tuntutan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan
segera hilang dari batinnya jika seseorang yang bersalah atau berdosa tersebut
telah menebus dosanya melalui taubat, pensucian atau penebusan dosa.
 Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para menganutnya untuk bekerja
produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan
orang lain. Penganut agama bukan saja diperintahkan bekerja secara rutin dalam
pola hidup yang sama, tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan
penemuan.
 Sublimatif
Ajaran agama memperbolehkan segala usaha manusia, bukan hanya yang
bersifat ukhrawi, tetapi juga yang bersifat duniawi.Segala usaha manusia selama
tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang
tulus karena dan untuk Allah merupakan ibadah.
 Sikap Keagamaan
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama. Sikap
keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama
sebagai komponen kognitif, dan persamaan terhadap agama sebagai komponen aktif, serta
perilaku agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen
kognitif, afektif, dan konatif saling berintegrasi secara kompleks. Pendidikan agama yang
bersifat drissur, dan menggugah akal serta perasaan memegang peranan penting dalam
pembentukan sikap keagamaan.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan merupakan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan
lain-lain) yang dimiliki oleh manusia sebagai subjek dalam masyarakatnya.
Kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan cerminan
dari pola pikir, perilaku, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.
Psikologi dan agama merupakan dua unsur yang berbeda, namun keduanya saling
berhubungan dan mempengaruhi manusia dalam bersikap dan bertingkah laku.
Disebabkan cara bersikap, berfikir dan tingkah laku seseorang tidak dapat dipisahkan
dari keyakinannya, karena keyakinan yang dimiliknya itu termasuk kedalam
konstruksi kepribadian.
DAFTAR PUSTAKA

Husein Muhammad, Sang Zahid (2012). Mengarungi Sufisme Gus Dur.


Yogyakarta: LKis.
Peran Budaya dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukmana) Vol. 03,
No. 02, November 2014.
Muhammad Fathurrohman. (2015). Budaya Religius dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan. Yogyakarta: Kalimedia.
Nurhidayah dan Adi Atmoko (2014). Landasan Sosial Budaya dan Psikologi
Pendidikan. Malang: Gunung Samudera.
Mahmud Yusuf, Perkembangan Jiwa Agama serta Peranan Psikoterapi Agama
dalam Kesehatan Mental. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.
Ashraf M. Zedan, Mohd Yakub Zulkifli Bin Mohd Yusof, dan Mr. Roslan Bin
Mohamed. (2015). An Innovative Teaching Method in Islamic Studies: the Use of
Powerpoint in University of Malaya As Case Study.
Jurnal Edueksos Vol I No 1, Januari-Juni 2012.

Anda mungkin juga menyukai