Anda di halaman 1dari 16

PSIKOLOGI AGAMA

Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan

Oleh:

Lituhayu Leilani

(20101157510020)

Dosen Pengampu : Andhika Anggawira, M.Psi, Psikolog

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA YPTK

PADANG 2022
HASIL WAWANCARA:

Dari hasil wawancara saya kepada 2 narasumber dengan pertanyaan :

1. Menurut saudara, bagaimana pengaruh budaya terhadap jiwa keagamaan?


2. Menurut saudara, apa pengaruh globalisasi dengan sikap keagamaan?
3. Menurut saudara, apa pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan?

Dan berikut jawaban dari Narasumber

Narasumber 1:

1. Budaya sangat berpengaruh terhadap jiwa keagamaan seseorang, karena budaya sangat
mudah untuk dimasuki dan budaya juga mengikuti perkembangan zaman sehingga mudah
untuk diterima.
2. Globalisasi identik dengan perkembangan zaman, maka perkembangan ini tentu akan disertai
dengan beberapa sikap lainnya sehingga diperlukan pembatas agar sikap kita tetap sesuai
dengan agama yang kita percayai
3. Dengan adanya pendidikan, maka jiwa keagamaan kita akan terus muncul dan menjadikannya
sebagai kebiasaan kita sehari-hari

Narasumber 2:

1. Masuknya budaya dapat merusak moral bangsa dan berdampak pada remaja atau anak yang
dibawah umur. Contohnya: pergaulan bebas, narkoba, kejahatan seksual, dll
2. Munculnya globalsasi berdampak pada kehidupan kita, seperti hilangnya rasa menolong
sesama. Hal ini dikarenakan pada masa sekarang, orang-orang lebih suka dengan dunia
mereka sendiri tanpa memerhatikan orang lain.
3. Pendidikan sangat berpengaruh dalam jiwa keagamaan seseorang. Contohnya saja seperti
sekokah, tanpa sekolah kita tidak akan tau bagaimana cara belajar ngaji dan shalat yang
benar, bagaimana kita menolong sesama, dll.

TEORINYA:

A. PENGARUH BUDAYA TERHADAP JIWA KEAGAMAAN


budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang
berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam
bahasa Indonesia.
Herskouits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain. Sementara, menurut Andreas Eppink kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain.
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan
segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebaga aspek – aspek dar kebudayaan itu sendiri yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem
nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan
tersebut.
Menurut Parsudi Suparlan Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan
atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, adalah perangkat-perangkat acuan yang berlaku
umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan terdapat
perangkat-perangkat dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan
tersebut. Perangkat-perangkat pengetahuan itu sendiri membentuk sebuah system yang terdiri
atas satuan-satuan yang berbeda-beda secara bertingkat-tingkat yang fungsional hubungannya
satu sama lainnya secara keseluruhan.

B. HUBUNGAN ANTARA BUDAYA DENGAN TRADISI KEAGAMAAN


Wuryo mengatakan bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan system
nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan
tersebut.. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka
kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang
sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Menurut
Prof. Dr. Kasmiran wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk norma yang terbentuk dari
bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber asalnya. Oleh karena itu, tampaknya tradisi
sudah terbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat.
Tradisi menurut Parsudi Suparlan, Ph.D merupakan unsur sosial budaya yang telah
mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah (Parsudi Suparlan, 1987: 115).
Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat
kaitannya dengan mitos dan agama. Menurut Parsudi Suparlan, para sosiolog
mengidentifikasikan adanya pranata primer. Menurut Rodaslav A. Tsanoff, pranata
keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan,
keagamaan, perasaan yang bersifat mistik (Mc Guire, 1984: 4). .Dengan demikian, tradisi
keagamaan sulit berubah karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah
unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat.
Tradisi keagamaan (bagi agama samawi bersumber dari norma-norma yang termuat
dalam kitab suci. Bila kebudayaan sebagai cetak biru bagi kehidupan (Kluckhohn) atau
sebagai pedoman bagikehidupan masyarakat (Parsudi Suparlan). Dengan demikian, hubungan
antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin
kuat tradisi keagamaan, makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam
kebudayaan. Sebaliknya, makin sekuler suat umasyarakat maka pengaruh tradisi keagamaan
dalam kehidupan masyarakat akan kian memudar.
Dari sudut pandang sosiologi, tradisi merupakan suatu pranata sosial, karena tradisi
dijadikan kerangka acuan norma ini ada yang bersifat sekunder dan primer. Pranata sekunder
ini bersifat fleksibel mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan, sedangkan pranata
primaer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, serta kelestarian masyarakatnya,
karena pranata ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu pranata ini tidak dengan mudah dapat berubah begitu
saja.
Mengacu pada penjelasan di atas, tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata
primer, karena tradisi keagamaan ini mengadung unsur-unsur yang berkaitan dengan
ketuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan – perasaan yang bersifat mistik,
penyembahan kepada yang suci, dan keyakinan terhadap nilai – nilai yang hakiki. Dengan
demikian, tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga
memuat sejumlah unsur – unsur yang memiliki nilai – nilai luhur yang berkaitan dengan
keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengadung nilai-nilai yang sangat penting yang
berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat, atau pribadi – pribadi pemeluk agama
tersebut.
Dalam suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara
umum pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan yang ada di masyarakat
tersebut. Dalam konteks seperti ini terlihat hubungan antara tradisi keagamaan dengan
kebudayaan masyarakat tersebut. Bila kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan
masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama perangkat – perangkat yang berlaku
umum dan menyeluruh sebagai norma – norma kehidupan akan cenderung mengandung
muatan keagamaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, hubungan antara kegamaan dengan kebudayaan
terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu
masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan.
C. HUBUNGAN ANTARA TRADISI KEAGAMAAN DENGAN SIKAP
KEAGAMAAN
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan
mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai
lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan
kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam
membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan
pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi.
a) Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu (Koentjaningrat, 1986: 80-90):
1) Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem kebudayaan berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai budaya,
norma-norma,pandangan-pandangan yang bentuknya abstrak serta
beradadalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan yang
bersangkutan.
2) Sistem sosial (Social system)
Sistem sosial berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-
upacara serta ritus- ritus yang wujudnya lebih konkret. Sistem Sosial adalah
bentuk kebudayaan dalam wujud yang lebih kongkret dan dapat diamati.
3) Benda-benda budaya(Material culture)
Benda-benda budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan
material. Benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku
kebudayaan yang bersangkutan.

Selanjutnya, isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri atas tujuh unsur, yaitu:
bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan religi, dan
kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 75). Dengan demikian, dilihat dari bentuk dan isi,
kebudayaan pada dasarnya merupakan suatu tatanan yang mengatur kehidupan suatu
masyarakat. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-
nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai serta norma-norma yang
menjadi pedoman hidup itu kemudian berkembang dalam berbagai kebutuhan masyarakat,
sehingga terbentuk dalam satu sistem sosial. Dari sistem selanjutnya terwujud pula benda-
benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.

Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan


mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai
lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan
kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam
membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan
pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari
pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan
ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, tradisi keagamaan dalam pandangan Robert C.
Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda. Yaitu bagi masyarakat
maupun individu. Fungsi yang pertama adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat
kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua yaitu
tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau diri individu,
bahkan dalam situasi terjadinya konfilik sekalipun.
Sikap dan keberagamaan seseorang atau sekelompok orang bisa berubah dan
berkembang sejalan dengan perkembangan budaya dimana agama itu hidup dan berkembang.
Demikian pula budaya mengalami perkembangan dan tranformasi. Transformasi budaya
merupakan perubahan yang menyangkut nilai-nilai dan struktural sosial. Proses perubahan
sturuktur sosial akan menyangkut masalah-masalah disiplin sosial, solidaritas sosial, keadilan
sosial, system sosial, mobilitas sosial dan tindakan-tindakan keagamaan. Tranformasi budaya
yang tidak berakar pada nilai budya bangsa yang beragam akan mengendorkan disiplin sosial
dan solidaritas sosial, dan pada gilirannya unsur keadilan sosial akan sukar diwujudkan.

D. PENGARUH GLOBALISASI DENGAN SIKAP KEAGAMAAN


Globalisasi menurut Wikipedia adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan
peningkatan keterkaitan, ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia
melalui perdangangan, investasi, perjalanan, budaya popular dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu Negara menjadi bias.
Globalisasi menurut afandi kusuma adalah proses penyebaran unsur-unsur baru
khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa globalisasi adalah suatu proses atau tindakan yang menjadikan
sesuatu mendunia, baik lingkup maupun aplikasinya. Pada era ini, telah terjadi perubahan-
perubahan cepat dalam berbagai bidang. Dunia menjadi sangat transparan, hubungan jauh
menjadi dekat, jarak waktu seakan tidak terasa dan seakan pula tanpa batas. Globalisasi
berarti pula suatu suatu tindakan atau proses menjadikan sesuatu mendunia (universal), baik
dalam lingkup maupun aplikasinya
Era globalisasi merupakan suatu masa di mana semua hal menjadi serba canggih. Dan
karena kecanggihannya itu, belum tentu semua kalangan dapat mengimbanginya. Ketika
globalisasi sudah masuk ke dalam suatu negara, sudah dapat dipastikan tidak hanya
keseharian suatu negara tersebut yang berubah, akan tetapi semua komponen dalam negara itu
juga ikut berubah. Agama memiliki peranan penting dengan adanya globalisasi. Sebab, agama
dituntut untuk bisa menjawab semua persoalan yang terjadi setelah munculnya era globalisasi.
Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kamajuan IPTEK terutama
dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini
mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia
semakin transparan. Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh
(permissiveness). Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami proses perubahan sistem
nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya.
Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat
dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh
Osgood dan Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada
diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh
globalisasi dengan segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka
mereka akan menerimanya.
Dalam situasi pengaruh kebudayaan, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan.
Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa
teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih
meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan
mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan
gejolak dalam jiwanya.

E. PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN


Menurut Jalaluddin, Jiwa agama biasa juga disebut dengan psikologi agama.
Sedangkan secara umum psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa
manusia yang normal, dewasa dan beradab. Sedangkan menurut Robert H. Thouless,
psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan
pengalaman manusia. Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan
dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur
secara tepat dan rinci. Akan tetapi Harun Nasutiaon mengemukankan pendapat tentanf
pengertian agama, yaitu undang-undang atau hukum. Dengan demikian psikologi agama
menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Adalah mempelajari kesadaran agama pada seseorang
yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara “pendidikan berarti daya upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti” (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-
anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan
dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi
dalam diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam
mengarahkan proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam,
tentu akan mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu
ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Pendidikan agama memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia,
oleh karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan
umat islam kepada perkembangan rasa agama. Umat islam akan lebih memahami dan
terinternalisasi esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan; rasa bertuhan ini
meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas dirinya dan alam semesta,
ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa dekat, rasa rindu, rasa kagum dan lain-lain.
Kedua yaitu rasa taat; rasa taat ini meliputi ada rasa ingin mengarahkan diri pada kehendak-
Nya dan ada rasa ingin mengikuti aturan-aturan-Nya.
Pendidikan agama adalah bentuk pendidikan nilai, karena itu maksimal dan tidaknya
pendidikan agama tergantung dari faktor yang dapat memotivasi untuk memahami nilai
agama. Semakin suasana pendidikan agama membuat betah maka perkembangan jiwa
keagamaan akan dapat tumbuh dengan optimal. Jiwa keagamaan ini akan tumbuh bersama
dengan suasana lingkungan sekitarnya. Apabila jiwa keagamaan telah tumbuh maka akan
terbentuk sikap keagamaan yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya.

F. BENTUK-BENTUK PENDIDIKAN TERHADAP PEMBENTUKAN JIWA


KEAGAMAAN
1) Pendidikan Keluarga
Barang kali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak
pada masa bayi sampai sekolah memiliki lingkungan tunggal, Yaitu keluarga. Makanya
tidak mengheran kan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki
anank-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak bangun dari tidur
hingga saat akan tidur kembali, Anak-anak kenerima pengaruh dan pendidikan keluarga
(Gilbert Highest, 1961:78).
Bayi yang baru lahir merupakan mahluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali
oleh bebagai kemampuan yang bersifat bawaan, Disini terlihat oleh berbagai aspek
yang kontradiktif. Disatu pihak bayi bayi berada dalam kondisi tanpa daya, Sedang
dipihak lain bayi mempunyai kemampuan untuk berkembang (exploratif). Tetapi
menurut Walter Houston Clark, Perkembangan bayi tidak dapat berlangsung secara
normal tanpa adanya interfensi dari luar, Walaupun secara alami ia memiliki potensi
bawaan. Seandai nya bayi dalam pertumbuhan dan perkembangan nya hanya
diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, Maka ia memerlukan berbagai
persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W.H.CLrak,1964:2).
Dua ahli psikologi prancis bernama Itar dan sanguin pernah meniliti anak-anak
asuhan srigala. Mereka menemukan dua oarang bayiyang dipelihara oleh seklompok
srigala disebuah gua, Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudahberusia kanak-
kanak. Namun, Kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan yang seharus nya
dimiliki manusia pada usia kanak-kanak. Tak seorangpun diantara keduanya mampu
mengucapakan kata-kata, kecuali aungan sekor srigala. Keduanya juga berjalan
merangkak dan makan dngan cera menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya
paling pinggir lebih runcing menyrupai taring srigala. Setelah dikembalikan
kelingkungan masyarakat mnusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan srigala tak
dapat menyesuikan diri, dan akhir nya mati.
Contoh diatas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, Baik dalam bentuk
pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap massa depan perkembangan
seorang anak. Meskipun seorang anak /bayi manusia yang dibekali sebuah potensi
kemanusiaan, Namun dilingkungan pemeliharaan srigala tersebut potensi tidak
berkembang.
Kondisi seperti itu tampak nya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan,
Pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan
perkembangan dapat berjalan baik dan benar. Manusia memang bukan mahkluk yan
instintik secara utuh, Sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara
instingtif sepenuh nya. Makanya menurut W.H. Clrak, bayi memerlukan persyaratan-
persyaratan tertentupengawasan serta pemeliharaan terus menerus sebagai latihan dasar
dalam pembentukan dasar dalam pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar
ia memiliki kemungkinanuntuk berkembang secara wajar dalam kehidupan dimassa
depan.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama
dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalh pendidik kodrati. Mereka
pendidik bagi ank-anaknya karena secara kodrat ibu dan ayah diberikan anugrah oleh
tuhan penciptaberupa naluri orang tua. Karena naluri ini,timbul kasih sayangpara orang
tua terhadap anak mereka, sehingga secara moral kedua nya merasa terbeban tanggung
jawab untuk memelihara, mengawasi ,melindungi, serta membimbing keturunan
mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur
kejiwaan sehingga sulit di identifikasisecara jelas, karena masalh menyangkut
kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-
fungsi jiwa yang masih sederhana tersebut, Agama terjalin dan terlibat didalam nya.
Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang.
Dalam kaitan pula itulah terlihat peran pendidikan keluarga,dalam menanamkan jiwa
keagamaan pada anak, Maka. Tak mengheran kan jika rosul menekan kan tanggung
jawab itu pada kedua orang tua.
2) Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak
umumnya dididik dilingkungan keluarga dan masyarakat lingkungan nya. Pendidik
secara kelembagaan memang belom diperlukan, karena fariasi profesi dalam kehidupan
belom ada. Jika anak dilahirkan dilingkungan keluarga tani, Maka dapat dipastikan ia
akan menjadi petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungan nya. Demikian pula
anak seorang nelayan, Ataupun anak seorang pemburu.
Sebaliknya, dimasyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti
itu tak mungkin dipertahankan. Untuk menyeleraskan diri dengan perkembangan
kehidupan masyarakatnya, Seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan
kepentingan itu, Maka dibentuk lembaga khusus yang menylenggarakn tugas-tugas
kependidikan dimaksud. Dengan demikian, Secara kelembagaan maka sekolah-sekolah
pada hakikat nya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja
dibuat).
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan peranan nya, maka sekolah sebagai
kelembagaan pendidikan adalah pelajud dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan
orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahakn kesekolah-
sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan massa depan anak-anak, terkadang para orang
tua sangat efektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga taat beragam akan
memasukkan anak-anak nya kesekolah agama. Sebalik nya, para oarang tua lain lebih
mengarahkan anak mereka kesekolah umum. Ataau sebalik nya orang tua yang
mengendalikan anak nya sulit bisa juga para orang tua memasukkan anak nya
kesekolah Agama dengan tujuan pembentukan kepribadian yang lebih baik.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk
jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam
keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya
agar menerima pendidikan agama yang dibarikannya.
Menurut Mc Guire proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima
berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya
perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan (Djamaluddin
Ancol: 40-41). Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam
pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sengat tergantung dari kemampuan para
pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang
diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu,
maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang
menungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya.
Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak
didik tentang materi pendidikan yang diberkannya. Pemahaman ini akan lebih mudah
diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Jadi tidak terbatas plada kegiatan yag bersifat hafalan semata. Ketiga, penerimaan
siswa terhadap meteri pendidikan agama yang diberikan. Plenerimaan ini sangat
tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan
anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh
sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahllian dalam bidang agama dan
memiliki sifat-sifatyang sejalan dengan ajaran agama, seperti jujur dan dapat dipercaya.
Kedua ciri ini akan sangat menetukan dalam mengubah sikap para anak didik.
3) Pendidikan Masyarakat
. Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik
umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan
anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidiklan dan lingkungan masyarakat.
Kerasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi
perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahi bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi
sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup
fisik,psikis,moral dan spritual (M.Buchori: 155). Maka menurut Wetherington, untuk
mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi, menurutnya adaenam aspek dalam
mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1. Fakta-fakta asuhan;
2. Alat-alatnya;
3. Regularitas;
4. Perlindungan; dan
5. Unsur waktu (M.Buchori: 156).
Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhana yanng diberikan kepada
anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan
bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya
ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan
sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tidak dapat disangkal.
Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat
menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam perubahan psikis (kejiwaan)
dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam
itu akan lebih banyak lagi (M.Buchori: 156).
Selanjutnya karena asuhan terhadap perumbuhan anak harus berlangsung secara
teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberikan
dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan mberhenti
saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur
hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah)
hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan
berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini ada pula terlihat besarnya pengaruh
masyarakat terhadap pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma
kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson,
norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada
orang lain. (M.Buchori: 157).
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-
nilaikesopanan atau nilai-nilai yang erkaitan dengan aspek-aspek spritual akan lebih
afektif jika seseorang beradadalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul
kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan
sukap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah (Djamaluddin Ancok:
27). Kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang
menentang pola hidup seperti itu.
Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sukap masyarakat terhadap nilai-
nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi
pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang
memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian,
fungsi dan peran masyarakat dalam pembenukan.

G. HUBUNGAN MASALAH SOSIAL DENGAN AGAMA


Tumbuh dan kesadaran agama (religions cons ciausness) dan pengalaman Agama
(religions experince), ternyata melalui proses yang gradul, tidak sekaligus. Pengaruh luar
sangat berperan dalam menumbuh kembangkan nya, khususnya pendidikan. Adapun
pendidikan yang berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila dalam
lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit
memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah mengatakan :”Bila anak tidak dididik oleh oarang tuanya, maka ia akan
dididik oleh siang dan malam.” Maksud nya pengaruh lingkungan nya akan mengisi dan
memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan dikota-kota basar, Anak-anak
kehilangan dari hubungan dengan orang tua cukup banyak, mungkin dikarenakan faktor
ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karena mereka yatim piatu.
Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
Dalam kesehariaan nya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok
pengamen, pemulung, pengemis,dan sebagainya. Mengamati linkungan pergaulan nya
sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus anak jalalan selain dapat
menimbulkan kerawanan sosial,juga kerawanan dalam nilai-nilai keagamaan. Selain latar
belakang sosial ekonomi, mereka ini tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh
bimbingan keagamaan. Bahkan, dikota-kota besar, mereka ini seakan sudah terbentuk
menjadi golongan tersendiri dalm masyarakat, Yakni masyarakat rentan.
Sebagai masyarakat rentan, golongan ini seakan berada diluar lingkaran budaya
dan tradisi masyrakat umum. Boleh dikatakan mereka mempunyai “budaya” sendiri yang
terbentuk diluar kaidah-kaidah dan nilai yang berlaku atau pola fikir,kehidupan yang
cenderung permisif (serba boleh).
Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap
fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat
terjadi karena kosong nya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini,
tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-
nilai yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif.dengan
demikian, mereka akan mudah terprofokasi oleh sebagi isi yang berkembang.
Dalam kontes ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan. Demikian
organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan semua kepada
pemerintah, bagai manapun bukan sifat yang arif. Kasus anak jalanan napak nya memang
memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga
menjadi bagian dari masalh keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.
DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin.(2021).Psikologi Agama Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-


Prinsip Psikologi Edisi Revisi 2021. Depok: Rajawali Pers.

Al-Shirazy.(2015).Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 23 April


2022, dari https://dzakysyuja1.blogspot.com/2015/06/pengaruh-kebudayaan-terhadap-jiwa.html

Hasan, Amir.(2020).Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 23


April 2022, dari
https://www.academia.edu/33275924/PENGARUH_KEBUDAYAAN_TERHADAP_JIWA_KEAG
AMAAN

Apriliani.(2012).Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Beragama.Diakses pada 23 April


2022, dari https://iinapriliyani.blogspot.com/2012/05/pengaruh-kebudayaan-terhadap-jiwa.html

Basri, Adi Hasan.(2012).Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 23


April 2022, dari https://wahanakreasi4.blogspot.com/2012/11/pengaruh-kebudayaan-terhadap-
jiwa.html

Husein, Ahmad Abu.(2014).Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada


23 April 2022, dari https://pipingchupu.wordpress.com/2014/06/14/pengaruh-kebudayaan-terhadap-
jiwa-keagamaan/

Mandrill.(2018).Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 23 April


2022, dari https://www.coursehero.com/file/84928296/Pengaruh-kebudayaan-terhadap-jiwa-
keagamaan-1docx/

Yulianti, Rifqoh.(2020). Pengaruh Arus Globalisasi Terhadap Keagamaan dan


Masyarakat.Diakses pada 23 April 2022, dari https://santritulen.com/pengaruh-arus-globalisasi-
terhadap-keagamaan-dan-masyarakat/

Santoso, Dwi.(2013).Pengaruh Globalisasi Terhadap Umat Islam,.Diakses pada 23 April


2022, dari http://blog.umy.ac.id/santosodwi99/2013/04/02/pengaruh-globalisasi-terhadap-umat-islam/

Aulia, Sabrina.(2017).Dampak Globalisasi Dalam Moral dan Beragama.Diakses pada 23


April 2022, dari https://sabrinadeauliapsycholova.wordpress.com/dampak-globalisasi-dalam-moral-
dan-beragama/
Zuhri, Ahmad Syaifudin.(2013).Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses
pada 23 April 2022, dari https://psikologiagama-pengaruhpendidikan.blogspot.com/2013/12/makalah-
pengaruh-pendidikan-terhadap.html

Richa, Ayane.(2014).Kumpulan Makalah: Psikologi Agama Pengaruh Pendidikan Terhadap


Jiwa Keagamaan.Diakses pada 23 April 2022, dari
https://ayanericha.blogspot.com/2014/02/pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa.html

Kholid, Achmad.(2013). Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 23


April 2022, dari https://achmadkholid14.wordpress.com/2013/05/28/pengaruh-pendidikan-terhadap-
jiwa-keagamaan/

Alhannah, Irma.(2015). LMU JIWA AGAMA “Pengaruh Pendidikan terhadap Jiwa


Keagamaan”.Diakses pada 23 April 2022, dari https://irmaalhanaah.wordpress.com/2015/04/11/ilmu-
jiwa-agama-pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa-keagamaan/

Candra, Sukron.(2011).Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 23


April 2022, dari https://sukroncandra.wordpress.com/2011/04/27/pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa-
keagamaan/

Perdana, Gunawan.(2013).Psikologi Agama (Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa


Keagamaan).Diakses pada 23 April 2022, dari
https://gunawanperdana15.blogspot.com/2013/08/psikologi-agama-pengaruh-pendidikan.html
DOKUMENTASI

Narasumber 1 : Muhammad Fharhan Putra

Narasumber 2: Syahrani Eka Putri

Anda mungkin juga menyukai