Anda di halaman 1dari 15

PSIKOLOGI AGAMA

Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan

Oleh:

Lituhayu Leilani

(20101157510020)

Dosen Pengampu : Andhika Anggawira, M.Psi, Psikolog

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA YPTK

PADANG 2022
HASIL WAWANCARA:

Dari hasil wawancara saya kepada 2 narasumber dengan pertanyaan :

1. Menurut saudara, bagaimana perkembangan jiwa keagamaan pada dewasa dan lansia?
2. Menurut saudara, apa sikap keagamaan pada dewasa dan lansia?
3. Menurut saudara, apa pandangan islam mengenai lansia?

Dan berikut jawaban dari Narasumber

Narasumber 1:

1. Menurut saya, pada saat dewasa remaja masih mencari jati dirinya sehingga kebanyakan
remaja masih bersikap labil. Perkembangan jiwa keagamaan pada masa ini masih dipengaruhi
oleh lingkungannya dalam bergaul
2. Terdapat banyak sikap, salah satu nya yaitu semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan di dalam
diri orang tersebut
3. Di islam, mengajarkan kita bahwa selalu menghormati yang tua, sehingga untuk lansia kita
sebagai yang muda sewajibnya menjaga yang sudah tua

Narasumber 2:

1. Perkembangan jiwa pada remaja masih belum stabil dan masih memerlukan bimbingan, untuk
lansia jiwa keagamaan pada diri mereka sudah melekat sehingga kebanyakan orang tua lebih
mengejar amal untuk bekal di akhirat nanti
2. Pada anak remaja, sikap nya yaitu dapat menghormati yang tua dan menghargai yang kecil,
sedangkan untuk lansia mereka lebih mencoba untuk mendekatkan diri dengan allah, artinya
lebih mencari amal seperti melakukan sedekah, dll
3. Islam mengajarkan kita untuk menghargai yang sudah tua, sehingga hendaknya ketika orang
tua kita telah menuju usia tua, kita seharusnya menjaganya, tidak malah mengirimnya ke panti
jompo.

TEORINYA:

A. DEFINISI PENDIDIKAN KEAGAMAAN


Pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk mengembangkan potensi sumber daya
manusia dengan adanya proses pembelajaran. Pendidikan juga merupakan sarana yang
paling efektif dalam menghadapi globalisasi dunia, pendidikan baik di rumah, sekolah,
dalam lingkungan masayarakat, dengan berbagai metode, cara dan geraknya, guna untuk
mencegah pengaruh negatif yang bakal terjadi dari globalisasi.
Menurut Sujana (2019, p. 29) mengatakan “Pendidikan adalah upaya untuk
membantu jiwa anak-anak didik baik lahir maupun batin, dari sifat kodratnya menuju
Kearah peradaban manusiawi yang lebih baik, sebagai contoh dapat dikemukakan; anjuran
atau arahan untuk anak duduk lebih baik, tidak berisik agar tidak mengganggu orang lain,
mengetahui badan bersih seperti apa, rapih pakaian, hormat pada orang yang lebih tua dan
menyayangi yang muda, saling peduli satu sama lain, itu merupakan sebagian contoh proses
pendidikan untuk memanusiakan manusia.” Adapun pengertian lain yaitu pendidikan
merupakan proses berkelanjutan yang tidak pernah berhenti (never ending proces), sehingga
dapat menghasilkan yang berkesinambungan, yang diperlihatkan pada manusia masa depan,
yang berpedoman nilai-nilai budaya dan pancasila.
Dalam Undang-Undang Dasar RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I Pasal 1 Pendidikan di definisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia serta keterampilan terhadap
dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha
dalam mengembangkan potensi jasmani dan rohani ke arah kesempurnaan.
Pendidikan keagamaan adalah komponen penting dari pendidikan yang luas dan
seimbang, serta merupakan titik fokus dalam kurikulum yang berkaitan dengan
pengembangan spiritual, moral, nilai sosial dan budaya, dan nilai-nilai. Hal tersebut
memungkinkan pertumbuhan literasi agama, penting untuk kehidupan di Inggris modern dan
dunia yang lebih luas. Pendidikan kegamaan berkaitan dengan makna mendalam yang
dibuat oleh individu dan kelompok dari pengalaman mereka dan bagaimana ini membantu
mereka memberikan tujuan hidup mereka. Ini memberikan kesempatan untuk
mengeksplorasi, membuat dan menanggapi makna dari pengalaman tersebut dalam
kaitannya dengan keyakinan dan pengalaman orang lain serta pengalaman sendiri.
Adapun definisi pendidikan keagamaan menurut para ahli, antara lain:
1) UU No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan,
Pasal 1 Ayat 2, Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan
mengamalkan ajaran agamanya.
2) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan
Pendidikan Keagamaan, Definisi pendidikan agama adalah sebagai lembaga
pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan.
3) Collins Dictionary, Pendidikan keagamaan adalah pendidikan di sekolah yang
memberikan penekanan kuat pada kepercayaan yang terkait dengan agama tertentu.
4) Merriam Webster, Pendidikan keagamaan adalah pelajaran agama sebagai mata
pelajaran pendidikan umum yang instruksi dalam prinsip-prinsip keyakinan agama
tertentu.
5) Wikitionary, Pendidikan keagamaan adalah ajaran agama tertentu, dan doktrin,
kepercayaan, dan lain-lain. Dimana ajaran tentang berbagai agama, yang disebut juga
dengan ilmu agama.

B. BENTUK-BENTUK PENDIDIKAN KEAGAMAAN


1. Pendidikan Keluarga
Sering kali dikatakan sulit sekali mengabaikan peran lingkungan dan pendidikan
keluarga dalam kaitannya dengan pengaruh terhadap jiwa seseorang, hal itu dikarenakan
sejak lahir sampai usia sekolah seorang manusia mempunyai lingkungan pendidikan
tunggal yaitu keluarga. Makanya tak heran jika ilmuwan menyatakan bahwa kebiasaan
seorang anak sebagian besar dibentuk oleh lingkungan keluarga. Karena sejak bangun
sampai tidur kembali anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan
keluarga.
Menurut Walter Houston Calrk, perkembangan bayi tak mungkin berlangsung secara
normal tanpa adanya intervensi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi
bawaan. Pendapat ini menunjukkan bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang
teratur, bayi akan kehilangan kemampuan berkembang secara normal, walaupun ia
memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang serta potensi-potensi lainnya.
Bahkan menurut W.H. Clark, para psikolog pada umumnya berpendapat, bayi yang baru
lahir keadaannya lebih mendekati binatang ketimbang manusia. Malahan anak kera yang
tumbuh dengan baik dalam hal-hal tertentu lebih banyak memperlihatkan sifat-sifat yang
lebih menyerupai sifat manusia dibandingkan dengan bayi manusia yang baru lahir, jika
bayi manusia itu semata-mata dilihat dari segi tubuhnya bukan dari esensinya. Jika bayi
manusia dilihat dari esensinya maka bayi tersebut lebih mirip binatang, akan tetapi
terdapat yang membedakan yaitu bahwa bayi manusia atau boleh dikatakan manusia
diciptakan dalam bentuk akhsani taqwim (bentuk yang paling baik).
Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan,
pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan
perkembangannya dapat berjalan secara baik dan benar. Manusia memang bukan
makhluk instinktif secara utuh, sehingga ia tidak mungkin tumbuh dan berkembang
secara instinktif sepenuhnya. Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan
pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Maka dari itu mereka
dapat disebut sebagai pendidik secara kodrati, bahkan mereka oleh Tuhan diberi naluri
untuk menyayangi kepada anak-anak mereka, sehingga mereka merasa terbebani untuk
memelihara dan membimbing anak-anak mereka.
Pendidikan dalam keluarga memiliki fungsi dan peranan, antara lain: merupakan
pengalaman pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, tempat
menanamkan dasar pendidikan moral, memberikan dasar pendidikan sosial, dan sebagai
peletak dasar-dasar keagamaan. Maka dari itu pendidikan keluarga mempunyai peran
yang sangat penting sekali bagi kelangsungan perkembangan jiwa seseorang.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark berjalin dengan unsur-unsur
kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang
menyangkut kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian
melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan
telibat didalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama
itu berkembang. Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam
menanamkan jiwa keagamaan pada anak.
Maka dari itu rasul memerintahkan untuk mendidik seorang anak sebaik mungkin,
bahkan ia mengatakan orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam
menentukan masa depan dan jiwa keagamaan seorang anak, seperti yang telah dijelaskan
pada hadits di atas. Walaupun pada dasarnya manusia sudah mempunyai fitrah (potensi
dasar) yang ada pada dirinya, namun bentuk keyakinan yang akan ia anut selanjutnya
bergantung kepada peran dan pemeliharaan kedua orang tuanya.
2. Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak
umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan
secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan
belum ada. Dan juga karena kehidupan masih bercorak homogen, maka kemampuan
profesional diluar tradisi yang diwariskan turun temurun tidak mungkin dapat
berkembang dengan baik. Maka dari itu pendidikan pada masa itu masih menyatu dengan
pewarisan budaya masyarakat dan juga masih menyatu dengan kehidupan keluarga.
Sebaliknya di masyarakat modern, tradisi seperti itu sudah tidak mungkin dapat
dipertahankan lagi. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan
masyarakat, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan tersebut
maka dibentuklah lembaga yang namanya sekolah, yang tujuannya untuk
mengembangkan pendidikan.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh
pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa
keagamaan pada anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar
belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan
jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan
ikut berpengaruh terhadap pembentukan jiwa keagamaan anak. Contohnya yaitu banyak
sekali tokoh-tokoh keagamaan yang dilahirkan atau dihasilkan oleh kelembagaan seperti
pondok pesantren.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh
bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian besar kecilnya pengaruh
yang dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk
memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan
pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititikberatkan bagaimana
membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan pembentukan kebiasaan ini
menurut Wetherington melalui dua cara. Pertama dengan pengulangan den kedua dengan
disengaja dan direncanakan. Jika pada lembaga keluarga jiwa keagamaan dapat dibentuk
dengan cara pengulangan dan menjadi kebiasaan, maka pada pendidikan kelembagaan
dibentuk dengan cara yang sudah disengaja dan direncanakan. Dengan demikian
pengaruh pendidikan kelembagaan terhadap jiwa keagamaan tergantung dari
perencanaan pendidikan agam yang diberikan sekolah.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama dilingkungan keluarga atau membentuk
jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga.
Proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga
tahap perubahan sikap. Proses pertama adanya perhatian, kedua pemahaman, dan ketiga
adanya penerimaan. Caranya yaitu pertama pendidikan agama harus dapat menarik
perhatian peserta didik. Kedua pendidik harus mampu memberikan pemahaman tentang
materi pendidikan yang diberikannya kepada anak didik. Ketiga yaitu penerimaan siswa
terhadap materi yang diberikan.
3. Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik pada
umumnya sepakat bahwa masyarakat juga ikut mempengaruhi perkembangan anak didik.
Keserasian antara ketiga lembaga pendidikan yang sudah disebutkan tadi akan
memberikan dampak yang positif bagi perkembangan anak didik, terlebih lagi yaitu
perkembangan jiwa keagamaannya.
Menurut Wetherington ada enam aspek dalam mengsuh pertumbuhan itu, yaitu:
1) fakta-fakta asuhan
2) alat-alatnya
3)regularitas
4) perlindunga
5) unsur waktu.
Fakta menunjukkan bahwa lingkungan sekitar mempengaruhi perkembangan jiwa
kegamaan pada anak didik. Hal itu dapat dikarenakan, jika pertumbuhan fisik akan
berhenti saat anak mencapai usia tertentu, namun pertumbuhan psikis tidak demikian.
Pertumbuhan psikis berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
di sekolah hanya berlangsung saat tertentu saja, sedangkan pendidikan di masyarakat
berlangsung seumur hidup. Maka dari itu pendidikan di lingkungan memberikan
kontribusi dalam rangka membentuk jiwa keagamaan.
Jiwa keagamaan yang memuat nilai-nilai, termasuk di dalamnya nilai kesopanan dan
lainnya, tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja, tetapi harus diamalkan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan
jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut
menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri. Karena dalam agama sudah terdapat
norma kegamaan yang harus dijunjung sebagaimana mestinya.

C. AGAMA DAN MASALAH SOSIAL


Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciousness) dan
pengalaman agama (religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak
sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya
pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh yakni pendidikan dalam keluarga.
Apabila dalam lingkungan keluarga anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit
untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman beragama yang memadai tanpa hidayah
langsung dari Tuhan.
Kita dapat mengambil contoh disini yaitu masalah anak jalanan, mereka seakan-akan
mempunyai dunia sendiri yang serba membolehkan dan mempunyai pengaruh buruk.
Walaupun jika kita melihat mereka, mereka dari golongan yang mempunyai latar belakang
yang berbeda-beda. Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena
sikap fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini mungkin sebaliknya. Konflik
dapat terjadi karena kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini,
tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-
nilai agama yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku negatif. Dengan demikian
mereka akan mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang berkembang. Meskipun anak-
anak jalanan ini sering digolongkan sebagai kelompok masyarakat yang termarginalisasikan,
namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan pengaruh lingkungan yang
membawa mereka ke dalam kehidupan yang demikian. Semuanya menjadikan mereka
kehilangan alternatif dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Oleh karena itu
tanggung jawab terbebankan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks ini sebenarnya institusi keagamaan dan kependidikan dapat berperan.
Kasus ini memerlukan penanganan yang serius dari seluruh lapisan masyarakat, agar kasus
ini tidak menjadi masalah sosial yang berkepanjangan dan itu merupakan aplikasi dari
kesadaran beragama. Semoga Allah memberikan jalan kepada kita untuk selalu saling
tolong-menolong sesama.

Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat


mencerminkan dua tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
1) Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya
menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan
dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok
aktivitas yang lain.
Sifat-sifatnya: agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem
masyarakat secara mutlak, nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan
menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama
pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga
yang belum berkembang.
2) Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan
ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat,pada saat yang sama, lingkungan
yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi
dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan
sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap
adat-istiadat.

Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan


mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis
dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih
banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di
luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat,
dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya
tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Agama melalui wahyu
atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan
mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh
lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan
fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok
kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan. Adanya organisasi
keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga
memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.

D. HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DENGAN KEBUDAYAAN DALAM


JIWA KEAGAMAAN
Menurut Parsudi Suparlan Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan atau
pedoman bagi kehidupan masyarakat, adalah perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan
menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan warga
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan terdapat perangkat-perangkat
dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan tersebut. Perangkat-
perangkat pengetahuan itu sendiri membentuk sebuah system yang terdiri atas satuan-satuan
yang berbeda-beda secara bertingkat-tingkat yang fungsional hubungannya satu sama lainnya
secara keseluruhan.
Sedangkan Wuryo mengatakan bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan
system nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan
tersebut.. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka
kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang sulit
berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Menurut Prof. Dr.
Kasmiran wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk norma yang terbentuk dari bawah,
sehingga sulit untuk diketahui sumber asalnya. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah
terbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat.
1) Tradisi Keagamaan Dan Kebudayaan
Tradisi menurut Parsudi Suparlan merupakan unsur social budaya yang telah
mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith Mc Guire melihat
bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besar tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut
dengan pranata. Pranata ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetetif dan
konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi,
dan pasar, berbagai pranata hokum dan keterkaitan social dalam masyarakat yang
bersangkutan. Para ahli sosiologi menyebutnya sebagai pranata sekunder. Pranata ini dapat
dengan mudah diubah struktur dan peranan hubungann antar perannya maupun norma-norma
yang berkaitan dengan itu, dengan perhitungan rasional yang menguntungkan yang dihadapi
sehari-hari. Pranata sekunder tampaknya bersifat fleksibel, mudah berubah sesuai dengan
situasi yang diinginkan oleh pendukungnya.
Sebaliknya, menurut Parsudi Suparlan, para sosiolog mengidentifikasikan adanya
pranata primer. Pranata primer ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan
haqiqi dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pranata primer berhubungan dengan kehormatan
dan harga diri, jati diri serta kelestarian masyarakatnya. Karena itu, pranata ini tidak dengan
mudah dapat berubah begitu saja. Melihat struktur dan peranan serta fungsinya, pranata
primer lebih mengakar pada kehidupan masyarakat. Pranata primer bercorak menekankan
pada pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi, seperti
pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan pertemanan atau persahabatan. Mengaju
pada penjelasan tersebut, tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer. Hal ini
dikarenakan antara lain menurut Rodaslav A. Tsanoff, pranata keagamaan ini mengandung
unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan, tindak keagamaan, perasaan-
perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan
terhadap nilai0nilai yang haqiqi. Dengan demikian tradisi keagamaan sulit berubah, karena
selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsure-unsur yang memiliki nilai-
nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengandung
nilai-nilai yang sangat penting (pivotal values) yang berkaitan erat dengan agama yang dianut
masyarakat, atau pribadi-pribadi pemeluk agama tersebut.
2) Tradisi Keagamaan Dan Sikap Keagamaan
Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata keagamaan yang sudah
dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, tradisi keagamaan sudah
merupakan kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi
keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk berubah, karena
keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranat tersebut menyangkut kehormatan,
harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya.
Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut bentuknya
kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu (Koentjaraningrat, 1986 : 80-90):
1. Sistem kebudayaan (cultural system ), Sistem kebudayaan berwujud gagasan,
pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan-pandangan yang
bentuknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang
bersangkutan.
2. Sistem Sosial (Social system ), Sistem social berwujud aktivitas, tingkah laku
berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkret.
Sistem social adalah bentuk kebudayaan dalam wujud yang lebih konkret dan dapat
diamati.
3. Benda-benda budaya (material culture), Benda-benda budaya disebut juga
sebagai kebudayyan fisik atau kebudayyan material. Benda budaya merupakan hasil
tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan

Isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri atas tujuh unsure, yaitu: bahasa,
system teknologi, system ekonomi, organisasi social, system pengetahuan, religi, dan
kesenian. Dengan demikian, dilihat dari bentuk dan isi, kebudayaan dasarnya merupakan
suatu tatanan yang mengatur kehidupan suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan
lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat
pendukungnya. Nilai-nilai serta norma-norma yang menjadi pedoman hidup berkembang
dalam berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk dalam satu system social. Dari
system ini selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.
Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan secara konkret, pernyataan
Koentjaraningrat dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu
komunitas keagamaan. Contoh, masuknya agama-agama ke Nusantara sejak abad keempat
(hindu Budha), ketujuh (Islam), dan k e-16 (Kristen). Meskipun keempat agama disiarkan ke
Nusantara dalam kurun waktu yang berbeda, namun pengaruhnya terhadap perilaku
masyarakat pendukungnya di Indonesia masih terlihat nyata.
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan
mendukung terbentuknya tradisi keagamaan sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan
kehidupan turut member nila-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada
seseorang. Dengan demikian tradisi keagamaan member pengaruhdalam membentuk
pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri
seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
3) Kebudayaan Dalam Era Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Jiwa Keagamaan
Era globalisasi umumnya digambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang
menyatu. Karena kemajuan teknologi, manusia antar Negara menjadi mudah berhubungan
baik melalui kenjungan secara fisik, karena alat transportasi sudah bukan merupakan
penghambat bagi manusia untuk melewati keberbagai tempat di seantero bumi ini, ataupun
melalui pemanfaatan perangkat komunikasi.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, dampak globalisasi dapat dilihat melalui
hubungannya dengan perubahan sikap. Prof. Dr. Mar’at mengemukakan beberapa teori
tentang perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannen-baum
perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau
masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan
segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan
menerimanya. Selanjutnya, menurut teori Festinger, bahwa perubahan seakan terjadi apabila
terjadi keseimbangan(consonance) kognitif(Pengetahuan) terhadap lingkungannya. Dengan
demikian, perubahan sikap dari seseorang atau masyarakat akan terjadi apabila menurut
pengetahuan mereka kemajuan teknologi yang dialaminya di era globalisasi sejalan dengan
pengetahuan dan pemikirannya. Hal ini akan member dampak penerimaan pengaruh yang
dating. Sedangkan, menurut teori Reactance, manusia akan menerime sesuatu dengan
mengubah sikap yang sebelumnya menentang, apabila menurut penilaiannya sesuatu itu akan
mengarah kepada aktivitas yang lebih aktif. Teori ini menyiratkan bahwa penerimaan
terhadap sesuatu didasarkan atas manfaat pada aktivitas seseorang. Sebaiknya dalam teori
fungsional dikemukakan bahwa perubahan sikap tergantung dari pemenuhan kebuutuhan.
Perubahan sikap ini dalam pendekatan psikolodi adalah berupa kecenderungan yang besar
untuk menyenangi sesuatu. Jadi, apabila seseorang merasa sependapat dengan sesuatu maka
akan timbul simpati. Pada garis besarnya, proses perubahan sikap tersebut dapat digambarkan
melalui dua jalur, yaitu proses rasional dan proses emosional. Proses rasional diawali adanya
perhatian, pemahaman, penerimaan, dan berakhir pada keyakinan. Sedangkan proses
emosional berawal dari perhatian, simpati,menerima dan berakhir pada minat.
Era globalisasi memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh
dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Era global ditandai
oleh proses kehidupan mendunia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam
bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung
terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia. Mobilitas menjadi cepat oleh adanya
kemajuan bidang transportasi. Kemdian dengan dukungan teknik kimunikasi yang canggih,
manusia dapat dengan mudah berhubungan dan memperoleh informasi.
DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin.(2021).Psikologi Agama Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-


Prinsip Psikologi Edisi Revisi 2021. Depok: Rajawali Pers.

Dosen, Sosiologi.(2021).Pengertian Pendidikan Keagamaan, Ciri, Tujuan, Fungsi, dan


Contohnya.Diakses pada 16 April 2022, dari https://dosensosiologi.com/pendidikan-keagamaan/

Daffa, Gandhi.(2012).Definisi Pendidikan Agama, Pedidikan Keagamaan, dan Pendidikan


Islam.Diakses pada 16 April 2022, dari https://zonependidikan.blogspot.com/2012/06/definisi-
pendidikan-agama-pedidikan.html

Sudrajat, Akhmad.(2010).Definisi Pendidikan Menurut UU No. 20 Tahun 2003.Diakses


pada 16 April 2022, dari https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/12/04/definisi-pendidikan-
definisi-pendidikan-menurut-uu-no-20-tahun-2003-tentang-sisdiknas/ \

Munib, A.(2020).5 Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli.Diakses pada 16 April 2022,
dari https://www.journalextract.com/2020/09/5-pengertian-pendidikan-menurut-ahli.html

Langeveld.(2013). Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli.Diakses pada 16 April 2022, dari
https://definisi.org/definisi-pendidikan-menurut-para-ahli

Rohman, Fathur.(2012).Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 16


April 2022, dari https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/28/pengaruh-pendidikan-
terhadap-jiwa-keagamaan/

Zuhri.(2013).Makalah Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 16


April 2022, dari https://psikologiagama-pengaruhpendidikan.blogspot.com/2013/12/makalah-
pengaruh-pendidikan-terhadap.html

Haya, Dairy.(2014).Kumpulan Makalah:Psikologi Agama Pengaruh Pendidikan Terhadap


Jiwa Keagamaan.Diakses pada 16 April 2022, dari
https://ayanericha.blogspot.com/2014/02/pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa.html

Hannah, Al-Irma.(2015).Ilmu Jiwa Agama:Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa


Keagamaan.Diakses pada 16 April 2022, dari
https://irmaalhanaah.wordpress.com/2015/04/11/ilmu-jiwa-agama-pengaruh-pendidikan-
terhadap-jiwa-keagamaan/

Perdana, Gunawan.(2013).Psikologi Agama (Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa


Keagamaan).Diakses pada 16 April 2022, dari
https://gunawanperdana15.blogspot.com/2013/08/psikologi-agama-pengaruh-pendidikan.html

Johny.(2013).Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 16 April 2022,


dari https://gudangmakalahku.blogspot.com/2013/04/pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa.html

Barus, Fauzan.(2015).Agama dan Masyarakat.Diakses pada 16 April 2022, dari


https://fauzanbrs94.wordpress.com/2015/11/24/agama-dan-masyarakat/

Ainu, Sarinah.(2015).Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan.Diakses pada 16


April 2022, dari https://dzakysyuja1.blogspot.com/2015/06/pengaruh-kebudayaan-terhadap-
jiwa.html

Richa, Ayane.(2014).Kumpulan Makalah:Psikologi Agama Pengaruh Pendidikan Terhadap


Jiwa Keagamaan.Diakses pada 16 April 2022, dari
https://ayanericha.blogspot.com/2014/02/pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa.html
DOKUMENTASI

Narasumber 1: Annisa Fikri Sovia

Narasumber 2: Ridwan

Anda mungkin juga menyukai