Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia
belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial didalam hubungan interaksi dan
kelompoknya. Keluarga mempunyai peran penting dalam pertumbuhan remaja karena di
dalam keluarga anak belajar banyak hal, anak lebih meniru yang ada dalam keluarganya.
Suasana keluarga dan apa yang dihayati di dalam keluarga sangat berpengaruh pada
perkembangan jiwa anak.
Lingkungan keluarga adalah lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam
keluarga inilah, anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan
lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam
keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.
Keluarga merupakan pihak terdekat dengan keseharian anak, sehingga pembentukan karakter
Islami pada anak merupakan tanggung jawab bagi setiap keluarga. Keluarga yang mengasuh
anak secara langsung dengan waktu yang sedemikian lama dibandingkan dengan pihak lain
seperti sekolah.
Keluarga dalam hal ini adalah tempat yang sangat menentukan terhadap masa depan
perkembangan anak dari lingkungan keluarga perkembangan anak sudah dimulai semenjak
masih dalam kandungan, anak yang belum lahir sebenarnya sudah bisa merasakan dan
merespon di dalam kandungan seorang ibu yang dilakukan oleh orang tuanya. Kasih sayang
itu perlu dibina dalam kehidupan keluarga, sehingga setiap anggota keluarga merasa
terpuaskan, kebutuhan akan kasih sayang. Dukungan keluarga sangat berpengaruh bagi
perkembangan fisik, psikis dan spiritual anak.
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan
hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang
tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya

1
untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan
bermasyarakat.1 Firman Allah dalam Q.S. Maryam / 19:59.
Tak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya keluarga adalah salah satu organisasi sosial
yang paling penting dalam kelompok masyarakat, karena orang tua sama-sama memegang
posisi kunci atau peranan penting terhadap pendidikan putra-putrinya dengan segala
perlakuan yang diterimanya. Dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadi sang anak itu sendiri.
Dalam lingkungan keluargalah sang anak menerima tuntunan dan bimbingan yang pertama
kali dari kedua orang tuanya.
Peran orang tua selaku pendidik dalam keluarga adalah bersifat kodrat dan hanya ibu
dan bapaklah yang meletakkan arah dan orieantasi kedepan anakanaknya. Anak dapat
diibaratkan sebagai kertas putih polos, maka orang tualah sebagai pembimbing utama dan
pertama yang dapat menentukan warna tinta dan bentuk tulisan (gambar) yang ditulis.
Kefitraan anak dapat saja bertahan menjadi suci jika orang tua membimbing sejak dini,
namun kefitraan dapat bersifat sementara saja apabila orang tua tidak memperhatikan atau
tidak membimbing, secara fitrah pula yakni berdasarkan nilai-nilai Islam. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Abdulah Nashih Ulwan adalah: Orang pertama dan terakhir yang
bertanggung jawab membimbing anak dengan keimanan dan akhlak, membentuknya dengan
kematangan intelektual dan keseimbangan fisik maupun psikisnya serta mengarahkannya
kepada pemilikan ilmu yang bermanfaat dan bermacam-macam kebudayaan adalah orang
tua.
Manusia sebagai mahluk Allah yang paling sempurna dianugrahi kemuliaan dan
kelebihan dengan berbagai potensi yang dibawa sejak lahir. Salah satu yaitu fitrah adalah
kecenderungan beragama, salah satu fitrah adalah manusia menerima Allah sebagai Tuhan.
Dengan kata lain manusia mempunyai kecenderungan beragama, sebab agama itu melekat
dalam fitrahnya, sehingga pengakuan terhadap Allah sebagai Tuhan sudah tertanam kuat
dalam jiwa manusia. Dengan demikian anak yang baru lahir sudah memiliki potensi untuk
menjadi manusia yang percaya terhadap keberadaan Allah, tetapi potensi dasar ini perlu
dikembangkan agar manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah swt dan menjalankan
ajaran beragama yang baik.

1
Hendi dan Rahmadani Wahyu Suhendi, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga (Bandung: Pustaka Setia,
2000), hlm. 41.

2
Manusia senantiasa hidup dalam suatu lingkungan, baik lingkungan fisik, psikis atau
spritual. Di dalam lingkungan hidup manusia mengadakan hubungan timbal balik dalam
lingkungan pada umumnya, ketika manusia dilahirkan yang pertama dihadapi adalah
keluarga.
Peningkatan kesadaran beragama remaja dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-
nilai religius dalam keluarga melalui metode keteladanan dan pendekatan psikologis agar
anak remaja mau mendengarkan arahan atau bimbingan yang diberikan orang tua. Hal ini
disebabkan anak pada masa remaja sangat sensitif terhadap kepincangan sosial karena dapat
menimbulkan ketegangan emosional dan kegelisahan dalam diri remaja untuk menyesuaikan
diri terhadap lingkungan. Selain itu pada masa remaja, seorang sedang mengalami peralihan
tahapan kehidupan dari masa kanakkanak menuju tahapan kedewasaan.
Secara umum tingkah laku remaja sering mengarah pada tendensi negatif terutama
dalam memenuhi tuntunan kebutuhan psikis yang dirasakan akibat adanya perubahan dalam
fase perkembangannya. Adapun hal yang memengaruhi perkembangan remaja dapat berasal
dalam dirinya yang disebut sebagai watak dasar dan disekitar remaja yang disebut
lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan teman sebaya, maupun lingkungan
sekolah.
Remaja sering digambarkan sebagai usia dimana manusia dapat ditolerir untuk
melakukan banyak pelanggaran terhadap norma dalam masyarakat, pada akhirnya tanpa pikir
panjang mereka bebas mencoba hal-hal yang melanggar aturan walaupun nampak negatif.
Dengan adanya kebebasan pers, media massa dengan bebasnya menanyakan sesuatu yang
dapat memberi rangsangan negatif bagi perilaku remaja saat ini. Media seperti televisi,
internet dan merupakan media memberi akses besar terhadap perilaku.
Faktor yang terlihat pula dalam masyarakat sekarang ialah suasana hidup dalam rumah
tangga yang kurang terjamin. Tidak nampak adanya saling pengertian, saling menerima,
saling menghargai, saling mencintai diantara suami istri, sehingga dengan ketidak
makmuran, orang tua menyebabkan gelisahnya anak-anak, mereka menjadi takut, cemas dan
gelisah berada ditengah-tengah orang tua maka kepada generasi muda akan mudah terdorong
kepada perbuatan yang tidak menentramkan orang lain.
Fenomena-fenomena diatas muncul tidak terlepas dari adanya pemahaman yang
kurang benar tentang agama dan keberagamaan (religiusitas). Agama seringkali dimaknai

3
secara dangkal, tekstual dan cenderung eksklusif. Nilai – nilai agama hanya dihafal sehingga
hanya berhenti pada wilayah kognisi, tidak sampai menyentuh aspek afektif dan
psikomotorik.
Agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Agama
menjadi petunjuk sekaligus pedoman dalam kehidupan di dunia dan akhirat kelak, maka
penanaman nilai keagamaan dalam kehidupan semua umat manusia hendaknya dilaksanakan
secara berkelanjutan terutama kepada anak remaja.2
Berdasarkan pengamatan dan informasi yang diperoleh peneliti, di Desa Batahan
Kecamatan Batahan, kesadaran beragama sangat kurang bahkan remaja di daerah ini
berdasarkan peneliti sebagai salah satu warga di Desa Batahan dapat ditemukan bahwa
perilaku remaja rata-rata kurang bersifat positif seperti malas solat, mengaji.
Selain itu, berdasarakan realita dan observasi peneliti di Desa Batahan Kecamatan
Batahan, terdapat remaja yang kurang baik akhlaknya. Hal ini dilihat dari bahwa adanya
perilaku remaja yang mengucapkan kata-kata kotor, perilaku remaja yang kurang sopan
berbicara terhadap orang yang lebih tua, hingga kurang bersemangatnya para remaja untuk
berpartisipasi pada kegiatan keagamaan. Maka dalam upaya mengontrol dan mengendalikan
perilaku remaja di Desa Batahan Kecamatan Batahan, maka penanaman nilai-nilai religius
bagi remaja sangat penting sekali di lakukan di dalam keluarga, khusus orang tua yang
memiliki tanggung jawab untuk perkembangan anak.
Berdasarkan hal inilah peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
“Penanaman Nilai-nilai Religius dalam Keluarga untuk Meningkatkan Kesadaran
Beragama Remaja di Desa Batahan”
B. Fokus Masalah
Karena terbatasnya waktu, dana dan tenaga serta melihat luasnya cakupan penelitian,
maka peneliti membatasi penelitiannya hanya pada penanaman nilai-nilai religius di dalam
keluarga di Batahan, khususnya desa Kuala Batahan.
C. Batasan Istilah

2
Asmaun Sahlan, Religiusitas Perguruan Tinggi: Potret Pengembangan Tradisi Keagamaan di Perguruan
Tinggi Islam (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 38.

4
Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman tentang istilah yang digunakan, maka
beberapa istilah berikut perlu didefinisikan secara operasional, istilah-istilah tersebut antara
lain:
1. Penanaman nilai religius merupakan nilai yang sudah melekat dalam diri dan memiliki
dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang lainnya. Nilai ini
bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan dan ruang lingkup nilai
ini sangat luas dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.3
2. Keluarga adalah lembaga kesatuan sosial terkecil yang secara kodrati berkewajiban
mendidik anaknya. Lambat atau cepatnya kemajuan yang dilakukan keluarga dalam
mendidik anak, sangat bergantung kepada kemampuan keluarga itu menerima pengaruh
dari lingkungannya dan dari masyarakatnya.4
3. Kesadaran beragama merupakan suatu kondisi sadar, peduli dan mau tau dengan
nilainilai luhur agama, diyakini benar dengan mendasarkan pada aspek sistem nilai, sikap
dan perilaku, dan diimplementasikan dalam praktik ritualitas ibadah sesuai aturan nilai
norma ajaran agama.5
4. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa
kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan biologis
dan psikologis. Secara biologis ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya seks primer
dan seks sekunder sedangkan secara psikologis ditandai dengan sikap dan perasaan,
keinginan dan emosi yang labil atau tidak menentu.6
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diuraikan berdasarkan latar belakang masalah di
atas, yaitu:
1. Mengapa orang tua harus berperan dalam menanamkan nilai-nilai religius untuk
meningkatkan kesadaran beragama remaja di Desa Batahan Kecamatan Batahan?

3
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam Peningkatan Mutu Pendidikan (Yogyakarta: Kalimedia, 2015),
hlm. 58.
4
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Jakarta: PT.Rineka, 2007), hlm. 146.
5
Hasyim Hasanah,” Peran Strategis Aktivis Perempuan Nurul Jannah Al Firdaus dalam Membentuk
Kesadaran Beragama Perempuan Miskin Kota”( Semarang: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo), Vol.
7, No. 2, Desember 2013, hlm. 475.
6
Khoirul Bariyyah Hidayati dan M. Farid, “Konsep Diri, Adversity Quotient dan Penyesuaian Diri pada
Remaja” (Surabaya: Universitas 17 Agustua 1945), Vol. 5, No. 2, Mei 2016, hlm. 137.

5
2. Mengapa penanamkan nilai-nilai religius dalam keluarga untuk meningkatkan kesadaran
beragama remaja harus ditingkatkan di Desa Batahan Kecamatan Batahan?
3. Bagaimana penanamkan nilai-nilai religius dalam keluarga untuk meningkatkan
kesadaran beragama remaja harus ditingkatkan di Desa Batahan Kecamatan Batahan?
E. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan penelitian yang diharapkan dapat sejalan dengan rumusan masalah
yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu:
1. Untuk mengetahui peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai religius untuk
meningkatkan kesadaran beragama remaja di Desa Batahan Kecamatan Batahan.
2. Untuk mengetahui peningkatan dari penanamkan nilai-nilai religius dalam keluarga untuk
meningkatkan kesadaran beragama remaja di Desa Batahan Kecamatan Batahan.
3. Untuk mengetahui penanamkan nilai-nilai religius dalam keluarga untuk meningkatkan
kesadaran beragama remaja harus ditingkatkan di Desa Batahan Kecamatan Batahan.
F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya
yaitu:

1. Manfaat secara teoritik


a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, sekurang-
kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan dunia
pendidikan.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang
besarnya pengaruh peran keluarga khususnya orang tua dalam penanamkan nilai-nilai
religius dalam keluarga untuk meningkatkan kesadaran beragama remaja.
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi peneliti, peneliti dapat mengambil ilmu pengetahuan terutama di bidang ilmu
pengetahuan yang dapat digunakan sebagai bahan kajian.
b. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan agar orang tua mampu memberikan arahan
atau kesadaran kepada anak remaja.
c. Bagi remaja, penelitian diharapkan mampu dijadikan sebagai wadah guna
meningkatkan pengalaman beragama dan kesadaran akan pentingnya nilai religius.

6
d. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
meningkatkan kesadaran beragama melalui penanaman nilai-nilai religius terutama
bagi masyarakat yang masih awam.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Nilai-nilai Religius
a. Pengertian Nilai
Nilai sesungguhnya tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia
memasukkan nilai kedalamnya. Jadi, barang mengandung nilai karena subjek yang
tahu dan menghargai nilai itu. Tidak ada ukuran yang objektif tentang nilai, oleh
karena itu nilai tidak dapat dipastikan secara kaku. Menurut Hoffmeister, nilai adalah
implikasi hubungan yang diadakan oleh manusia yang sedang memberi nilai antara
satu benda dengan satu ukuran.7
Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu hal tersebut berguna, berharga dan
bermanfaat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,
diinginkan, berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan. 8 Nilai adalah
konsepsi abstrak didalam diri manusia mengenai hal-hal yang dianggap baik-buruk
atau benar-salah. Nilai yaitu suatu keyakinan atau kepercayaan yang diyakini sebagai
identitas yang memberikan ciri khas yang khusus kepada pemikiran, keyakinan dan
perasaan maupun perilaku.
Dari banyaknya pengertian mengenai nilai, dapat disimpulkan bahwa nilai
adalah suatu pedoman bagi manusia untuk menentukan suatu hal yang diukur
berdasarkan agama, tradisi, etika, moral dan kebudayaan yang berlaku dalam
masyarakat. Setiap orang berperilaku sesuai dengan nilai baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Oleh karena itu dalam kehidupan manusia akan menimbulkan aksi dan
reaksi, sehingga setiap orang akan ada yang menerima maupun menolaknya.
b. Pengertian Nilai-nilai Religius
Secara hakiki sebenarnya nilai religius merupakan nilai yang memiliki dasar
kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang lainnya. Nilai ini
bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan dan ruang lingkup
nilai ini sangat luas dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.9
7
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 114.
8
Sjakarwi, Pembentukan Kepribadian Anak Peran Moral Intelektual, Emosioanl, dan Sosial Sebagai Wujud
Integritas Membangun Jati Diri ( Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 29.
9
M. Faturrohman, Budaya Religius…., (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 58.

8
Religius adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan menunjukan
bahwa pikiran, perkataan, dan perbuatan seseorang di upayakan selalu berdasarkan
pada ketuhanan atau ajaran agamanya. 10 Religius merupakan sistem kepercayaan
yang mengalami perubahan dan perkembangan sesuai tingkat kemampuan seseorang.
Nilai-nilai religius adalah nilai yang di dalamnya terdapat suatu pedoman bagi
manusia untuk menentukan suatu hal yang diukur berdasarkan agama.
Penanaman nilai-nilai agama (religius) adalah suatu proses memasukan nilai
agama secara penuh ke dalam hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan
ajaran agama. Internalisasi nilai agama terjadi melalui pemahaman ajaran agama
secara utuh, dan diteruskan dengan kesadaran akan pentingnya ajaran agama, serta
ditemukannya posibilitas untuk merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari.11
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa hendaknya penanaman nilai- nilai
religius dibiasakan sejak dini kepada anak, baik yang diajarkan dilakukan oleh orang
tua di rumah ataupun tenaga pendidikan di sekolah. Sebagaimana yang di jelaskan
oleh Rasulullah Saw:12
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه‬:‫ عن جده رضي هللا عنه قال‬،‫ عن أبيه‬،‫عن عمرو بن شعيب‬
‫ وَفِّر ُقوا‬، ‫ وهم َأْبَناُء َع ْش ٍر‬،‫ واْض ِر ُبوُهْم عليها‬، ‫ ُم ُروا أوالَدكم بالصالِة وهم َأْبَناُء َس ْبِع ِس ِنيَن‬: ‫وسلم‬

‫َبْيَنُهْم في الَم َض اِج ِع‬


Artinya: Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah
Saw Bersabda “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat bagi yang sudah berumur
tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika telah berumur 10
tahun. Serta pisahkanlah mereka dalam tempat tidur mereka (H.R Abu Dawud).
Pada fase ini sangat cocok untuk orangtua atau pun pendidik mengoptimalkan
seluruh potensi yang dimiliki anak.Potensi-potensi ini dapat berkembang apabila
seluruh kegiatan anak mendapatkan arahan dan bimbingan dari orang tua atau pun
guru. Mendidik dan mengarahkan anak bisa dilakukan dengan banyak cara, bisa
melalui pemberian keteladanan, pembiasaan, atau pun pengajaran secara langsung.

10
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan ( Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2014), hlm. 1.
11
Mumammad Alim, Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdyakarya, 2011), hlm. 10.
12
Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2012), hlm.
47.

9
Melihat banyak fenomena atau tren masa sekarang bahwa banyak anak yang nakal,
melawan pada orang tua, bahkan ada anak yang membunuh orang tuanya.
Dari gambaran di atas, maka penanaman nilai-nilai religius adalah suatu
proses, cara, atau nilai luhur yang diadopsi ke dalam diri manusia yang berhubungan
dengan tuhan Yang Maha Esa untuk membentuk sikap dan kepribadian sehingga
seseorang akan terbimbing pola pikir, sikap dan segala tindakan maupun perbuatan
yang diambilnya.
c. Sumber Nilai Religius
Nilai religius merupakan bagian dari salah satu klasifikasi nilai di antaranya
nilai ibadah, nilai tauhid, kesatuan, perjuangan, keteladanan, dan persaudraan. Nilai
religius bersumber dari agama dan masuk ke dalam jiwa. Agama merupakan
keseluruhan perilaku manusia yang terpuji, hal itu dilakukan sematamata memperoleh
ridho Allah.
Pada dasarnya, nilai religius dalam Islam disandarkan pada dua sumber pokok
ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian ukuran baik dan
buruknya dalam karakter Islam memiliki ukuran standar, yaitu baik dan buruk
menurut Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan baik dan buruk menurut pandangan
manusia pada umumnya.
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua sumber pokok ajaran Islam yang tidak
diragukan kebenarannya. Melalui kedua sumber tersebut dapat diketahui bahwa
perbuatan ikhlas, qonaah, tawakal, sabar, syukur dan lain sebagainya merupakan
sifat-sifat yang baik dan mulia yang harus ditanamkan kedalam diri manusia. Dengan
ditumbuhaknnya sifat-sifat baik tersebut perlahan pasti akan menghilangkan sifat-
sifat yang buruk dan tercela yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.13
Al-Qur’an dan Sunnah juga merupakan sumber yang hidup, dinamis, dan siap
untuk berinteraksi secara lintas ruang dan waktu.Perjalanan hidup Rasulullah yang
mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah dapat menyesuaikan dengan perkembangan
zaman, sehingga dapat dijadikan panutan bagi generasi sesudahnya.Untuk memahami
Al-Qur’an dan Sunnah harus secara total, baik sebagai mashadir (sumber) maupun
manahij (metodologi) Islam, dan tidak mengabaikan pemahaman antropologi,

13
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), hlm. 28.

10
sosiologi, psikologi dan semacamnya dari kehidupan Rasulullah. Sebab, kehidupan
Rasulullah adalah eksperimentasi sejarah manusia yang ideal sebagai khairan ummah
atau umat yang baik.14
d. Macam-macam Nilai Religius
Menurut M. Faturrahman, macam-macam nilai religius adalah sebagai
berikut:
1) Nilai Ibadah
Ibadah merupakan bahasa indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu
dari masdar ‘abada yang berarti penyembahan. Sedangkan secara istilah berarti
khidmat kepada Tuhan, taat mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya. Jadi ibadah adalah ketaatan manusia kepada Tuhan yang di implementasikan
dalam kegiatan sehari-hari misalnya shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
Ibadah yang dimaksud adalah pengabdian ritual sebagainya yang
diperintahkan dan diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Aspek ibadah disamping
bermanfaat bagi kehidupan duniawi, tetapi yang penting adalah sebagai bukti dari
ketaatan manusia memenuhi perintah Allah. Nilai ibadah mengajarkan manusia
agar dalam setiap perbuatannya senantiasa dilandasi dengan hati yang ikhlas guna
mencapai ridha Allah.15
2) Nilai Ruhul Jihad
Ruhul jihad artinya jiwa yang mendorong manusia untuk bekerja atau
berjuang dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ini didasari adanya tujuan hidup
manusia yaitu hablum minallah, hablum minannas dan hablum min al-alam.
Dengan adanya nilai ruhul jihad ini, maka akulturasi diri dan unjuk kerja selalu
didasari sikap ikhtiyar dan berjuang dengan bersungguh-sungguh.16
3) Nilai Akhlak dan Kedisiplinan
Arti dari akhlak adalah perangai, tabiat, rasa malu, dan adat kebiasaan.
Secara terminologis terdapat berbagai pengertian mengenai akhlak. Menurut Ibn
Miskawaih, sebagaimana dikutip oleh zahruddin AR dan Hasanudin Sinaga,
akhlak adalah kesadaran jiwa seseorang yang mendorong melakukan perbuatan

14
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama…., hlm. 28.
15
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam…., hlm. 60.
16
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam…., hlm. 62.

11
tanpa melalui pertimbangan terlebih dahulu. Sementara menurut Bachtiar Afandi
menyatakan bahwa akhlak adalah ukuran segala perbuatan manusia untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk, benar dan salah, yang halal dan
haram.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah
keadaan jiwa manusia yang membentuk perilaku tanpa melalui pemikiran dan
pertimbanngan terlebih dahulu. Berarti akhlak adalah cerminan keadaan jiwa
seseorang, apabila akhlaknya baik maka perilakunya akan baik pula. Dan apabila
akhlaknya buruk, maka perilakunya akan ikut buruk juga.
Sedangkan kedisiplinan adalah bentuk dari kebiasaan manusia ketika
melaksanakan ibadah setiap hari. Semua agama mengajarkan amalan yang
dilakukan sebagai rutinitas para penganutnya yang merupakan sarana untuk
berhubungan dengan pencipta-Nya. Hal ini dilakukan secara sistematis, dan
apabila manusia melaksanakan ibadah secara tepat waktu maka akan tercermin
nilai-nilai religius dalam dirinya.17
4) Nilai Keteladanan
Keteladanan merupakan hal yang penting dalam proses penanaman nilai-
nilai religius. Nilai keteladanan tercermin pada seorang pendidik, mereka menjadi
contoh untuk peserta didik. Pendidik diharapkan mampu dijadikan sebagai teladan
yang baik bagi peserta didiknya. Dalam menanamkan nilai-nilai religius, teladan
merupakan faktor utama penggerak motivasi.18
5) Nilai Amanah dan Ikhlas
Secara etimologi amanah berarti dapat dipercaya. Dalam konsep
kepemimpinan amanah disebut juga dengan tanggung jawab. Sedangkan dalam
konsep pendidikan, nilai amanah harus dipegang oleh seluruh masyarakat. Niai
amanah harus ditanamkan pada peserta didik melalui berbagai kegiatan. Apabila
proses penanaman nilai religius dapat dilaksanakan dengan baik maka akan
terbentuk akhlak yang baik, jujur dan dapat dipercaya. Selain itu, dapat juga
terbentuk budaya religius melalui praktek penanaman nilai-nilai religius.

17
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam…., hlm. 63.
18
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam…., hlm. 65.

12
Nilai yang tidak kalah pentingnya dari nilai akhlak adalah nilai ikhlas. Kata
ikhlas berasal dari bahasa arab yaitu khalasa yang berarti membersihkan dari
kotoran. Secara umum, ikhlas berarti hilangnya rsa pamrih atas segala sesuatu
yang diperbuat. Menurut Dzum Al-Nun AlMisri mengatakan tiga ciri orang yang
ikhlas yaitu seimbang sikap dalam menerima pujian dan celaan orang lain, lupa
melihat perbuatan dirinya, dan lupa menuntut balasan di akhirat nanti. Jadi dapat
disimpulkan bahwa, ikhlas merupakan keadaan yang sama dari sisi batin dan sisi
lahir. Dengan kata lain semata-mata hanya mengharap ridha Allah.19
2. Penanaman Nilai-nilai Religius
a. Pengertian Penanaman Nilai-nilai Religius
Menurut Chabib Thoha dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Penanaman nilai adalah suatu tindakan, perilaku atau proses menanamkan suatu tipe
kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang
bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau
tidak pantas dikerjakan.20
Jadi penanaman nilai-nilai religius adalah proses atau caranya, perbuatan
menanamkan konsep mengenai peghargaan tertinggi yang diberikan masyarakat
kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keragaman yang bersifat suci
menjadi pedoman tingkah laku keagamaan masyarakat .
Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada nilai-nilai agama dalam siswa. Menurut pendekatan ini, tujuan
pendidikan nilai adalah diterimanya nilai-nilai agama tertentu oleh siswa dan
berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang
diinginkan. Menurut pendekatan ini, metode yang digunakan dalam proses
pembelajaran antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi,
permainan peranan, dan lain-lain.21
Adapun yang dimaksud dengan penanaman nilai-nilai religius adalah suatu
proses memasukan nilai-nilai agama secara penuh kedalam hati, sehingga ruh dan
jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama. Penanaman nilai religius melalui

19
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam…., hlm. 66.
20
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2000), hlm. 61.
21
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 46.

13
pemahaman ajaran agama secara utuh, dan diteruskan dengan kesadaran akan
pentingnya ajaran agama, serta ditemukannya kemungkinan untuk
merealisasikannnya dalam kehidupan.
b. Tujuan Penanaman Nilai-nilai Religius
Tujuan dari adanya penanaman nilai-nilai religius ini yaitu untuk
menumbuhkan sikap individu yang memikili moral dan sikap yang produktif dalam
berkehidupan dan mau melakukan hal-hal tebaik dan melakukan hal-hal yang benar
dalam kehidupannya. Dalam pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengemmbangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak yang mulia.22
Menurut DR. Mohammad Fadlil Al-Jammaly yang dikutip dari buku Khoiron
Rosyadi menjelaskan mengenai tujuan penanaman nilai religius yang diambil dari Al-
Qur’an ada enam poin, yaitu:23
1) Mengangkat taraf akhlak manusia berdasarkan pada agama islam yang diturunkan
untuk membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang telah dibuat Allah
baginya.
2) Memupuk rasa cinta tanah air pada diri manusia, berdasarkan pada agama islam
yang diturunkan untuk membimbing masyarakat ke arah yang di ridhai Allah
baginya.
3) Mewujudkan ketentraman di dalam jiwa dan aqidah dalam pengabdian semata-
mata bentuk kepatuhan yang ikhlas kepada Allah.
4) Memelihara bahasa dan kesusastraan arab sebagai bahasa Al-Qur’an, sebagai
wadah kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaan islam yang paling menonjol, dan
sebagai jalan bagi orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan mempelajari
syariah dan hukum-hukumnya.
5) Menghapuskan khurafat yang bercampur dengan hakikat agama, menyebarkan
kesadaran islam yang sebenarnya dan menunjukan hakikat agama atas kebersihan
dan kecemerlangannya.
6) Meneguhkan perpaduan tanah air dan menyatukan barisan melalui usaha
menghilangkan perselisihan, bergabung dan bekerja sama dalam rangka prinsip-
22
Nana Sutarna, Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar ( Yogyakarta: Pustaka Diniyah, 2018 ), hlm.19.
23
Khoiron Rosyadi, Pendidikan…., hlm. 164.

14
prinsip dan kepercayaan Islam yang disetujui dan terkandung dalam Al-Qur’an
dan Hadits, menanamkan toleransi terhadap penganut agama Allah, menanamkan
kepercayaan agama yang benar. Sebab perpaduan tanah air tidak akan kokoh
tanpa kepercayaan agama yang baik.24
c. Indikator Nilai-nilai Religius
Untuk mengukur seseorang itu menunjukan nilai-nilai religius atau tidak,
dapat dipahami dari karakteristiknya. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan
indikator nilai-nilai religius seseorang, diantaranya:
1) Komitmen terhadap perinah dan larangan agama.
2) Bersemangat mengkaji ajaran agama.
3) Aktif dalam kegiatan keagamaan.
4) Menghargai simbol-simbol keagamaan.
5) Akrab dengan kitab suci.
6) Mempergunakan pendekatan agama dalam menetukan pilihan.
7) Ajaran agama dijadikan sebagai sumber pengembangan ide.
Dari tujuh indikator nilai-nilai religius di atas, dapat dijadikan sebagai acuan
untuk mengukur berhasil atau tidaknya pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius
karena tujuan utamanya yaitu membina kepribadian siswa agar menjadi manusia yang
taat melaksanakan ajaran agama. Dengan adanya indikator nilai-nilai religius di atas
dapat dilakukan dengan beberapa prilaku di bawah ini:25
1) Taat dan tunduk kepada Allah serta menjalankan peirntah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
2) Ikhlas dengan melakukan perbuatan secara tulus tanpa pamrih, menolong
siapapun tanpa berharap imbalan dan melakukan perbuatan hanya mengharap
ridha Allah SWT.
3) Percaya diri, yaitu merasa yakin akan kemampuan yang dimiliki dengan berani
melakukan sesuatu karena merasa mampu dan tidak selalu menggantungkan
kepada orang lain.
4) Kreatif, yaitu memiliki kemampuan kreatifitas yang baik. Dengan trampil
mengerjakan sesuatu dan tidak tergantung pada karya orang lain.
24
Khoiron Rosyadi, Pendidikan…., hlm. 165.
25
Muhammad Alim, Pendidikan Agama…., hlm. 12.

15
5) Bertanggungjawab dengan melaksanakan tugas secara sungguhsungguh serta
berani menanggung konsekuensi dari sikap, perkataan dan perilakunya.
6) Cinta ilmu dengan memiliki kegemaran untuk memperluasan dan memperdalam
ilmu.
7) Jujur dengan menyampaikan sesuatu secara terbuka, apa adanya dan sesuai hati
nurani.
8) Disiplin dengan taat pada peraturan dan tata tertib.
9) Torelansi dengan menghargai dan membiarkan pendirian yang berbeda atau
bertentangan dengan diri sendiri.
10) Menghormati orang lain.26
d. Tahapan Penanaman Nilai-nilai Religius
Ada beberapa tahapan penanaman nilai-nilai religius, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap Pengenalan
Tahap pertama dalam penanaman nilai-nilai religius adalah pengenalan.
Dalam proses pengenalan, anak mulai mengenal berbagai nilai-nilai religius yang
ada disekitarnya baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam
tahap ini anak akan sangat mudah mengingat sesuatu. Perilaku yang dia lihat dari
lingkungan sekitarnya akan masuk dalam memorinya. Seperti sikap disiplin, sikap
mandiri, taat melaksanakan kewajiban, jujur, bertanggung jawab dan
menghormati antar sesama.
2) Tahapan Pemahaman
Tahap penanaman nilai-nilai religius yang kedua adalah pemahaman.
Pemahaman yang dimaksud di sini adalah memberikan pengarahan atau
pengertian tentang perbuatan baik yang sudah dikenal anak. Tujuannya agar anak
paham dan melakukan perbuatan baik dikehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat. Proses pemahaman ini sangat penting,
karena tingkat pemahaman setiap anak berbeda-beda. Sehingga diperlukan
perlakuan yang khusus untuk anak yang belum paham.
3) Tahap Penerapan

26
Muhammad Alim, Pendidikan Agama…., hlm. 13.

16
Tahap penanaman nilai-nilai religius yang ketiga adalah penerapan.
Penerapan yang dilakukan disini adalah dengan memberikan kesempatan kepada
anak untuk menerapkan perbuatan baik yang telah dipelajarinya. Pada awlanya,
anak hanya sekedar menirukan saja. anak belum memahami dan menyadari nilai-
nilai religius yang diterapkan.
4) Tahap Pengulangan
Tahap penanaman nilai-nilai religius yang keempat yaitu pengulangan.
Pengulangan dilakukan setelah anak paham dan menerapkan perbuatan baik
sesuai dengan nilai-nilai religius. Kemudian dilakukan pembiasaan, dengan cara
melakukan perbuatan baik tersebut secara berulang-ulang. Proses ini bertujuan
agar anak terbiasa melakukan perbuatan baik dalam kegiatannya sehari-hari.
5) Tahap Pembudayaan
Tahap penanaman nilai-nilai religius yang kelima yaitu pembudayaan.
Dalam proses pembudayaan bukan hanya keluarga dan sekolah saja yang ikut
berperan, tetapi masyarakat juga ikut peran serta dalam mendukung penanaman
nilai-nilai religius. Dengan begitu anak akan merasa malu atau tidak nyaman
ketika berperilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai religius. Selain itu, hukuman
juga perlu agar anak yang melanggar menjadi jera dan secara perlahan mengubah
kebiasaan buruknya menjadi lebih baik.27
e. Metode Penanaman Nilai-nilai Religius
Upaya untuk mencapai tujuan dari penanaman nilai--nilai religius, maka
pendidik atau dalam hal ini orang tua maupun seorang guru perlu menggunakan
metode pembelajaran yang baik. Menurut Abdullah Nashih Ulwan metode dalam
penanaman nilai-nilai religius terbagi menjadi lima yaitu keteladanan, pembiasaan,
nasehat, pengawasan, dan hukuman. Adapun penjelasannya sebagai berikut:28
1) Metode Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan adalah cara yang paling efektif dan berhasil
dalam mempersiapkan anak dari segi akhlak, membentuk mental, dan sosialnya.
Dari sini keteladanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada baik buruknya
anak.
27
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam…., hlm. 236-237.
28
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam (Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2015), hlm. 516.

17
Pendidikan keteladanan ini mencakup: keteladanan orang tua, keteladanan
teman yang shalih, keteladanan guru, keteladanan llingkungan. Pendidikan ini
termasuk salah satu faktor yang paling mempengaruhi dalam membuat anak
menjadi lebih baik dan mempersiapkannya untuk menjadi generasi yang baik pula
dalam menjalani hidup.29
Metode keteladanan ini sebenarnya menekankan kepada keteladanan Nabi
Muhmmad Saw sebagai teladan yang terbaik seperti keteladanan Nabi yang
disebut dengan ash-shadiqal-amin (jujur dan dapat dipercaya) dan juga
keteladanan Rasul dalam hal akhlak dan ibadah, seorang anak harus mengikuti
keteladanan beliau. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al- Ahzab ayat
21:
Pendidik terutama orang tua diharapkan mampu untuk bersikap hati-hati dan
bisa menjadi tauladan dimata anak-anak. Keteladanan yang diberikan orang tua
akan sangat membekas pada diri anak. Keteladanan ini juga harus selalu
dipelihara dengan baik agar dapat berfungsi dengan maksimal, untuk itu seluruh
keluarga harus memberi dukungan dan memberi contoh perbuatan yang baik.
Metode keteladanan adalah suatu metode yang cocok, efektif, dan
meyakinkan keberhasilannya dan mempersiapkan anak dalam tumbuh
kembangnya dari segi agama, moralitas, maupun sosial anak.
2) Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan seccara berulng-ulang
agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan ini berintikan
pengalaman. Dengan adanya pembiasaan, akan mendorong dan memberikan
ruang kepada anak pada teori yang membutuhhkan aplikasi secara langsung,
sehingga teori tersebut dapat menjadi lebih mudah dipahami karena sering
dilaksanakan secara berulang-ulang.30
Dengan adanya metode ini anak akan belajar shalat dan menekuninya jika
dia sudah dewasa, mengajarkan perbuatan baik, berkata jujur dan sopan terhadap
orang lain. Baik kepada orang tua maupun pendidik, hal ini didapatkan dari

29
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak…., hlm. 516.
30
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teori dan Pemikiran Tokoh ( Jakarta: PT Remaja Rodaskarya,
2014), hlm.267.

18
kebiasaan perbuatan orang tua dan pendidik ketika berintraksi dengan anak
tersebut.31
Metode pembiasaan ini sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dalam
memberikan materi secara bertahap, dalam hal ini termasuk mengubah kebiasaan-
kebiasaan negatif. Metode ini sangat efektif diterapkan pada anak untuk
meningkatkan daya ingat dan ketrampilan mereka, sehingga mereka terbiasa
dengan kebiasaankebiasaan yang mereka lakukan setiap hari. Dalam proses
penanaman nilai-nilai religius, metode pembiasaan akan membantu anak
meningkatkan nilai-nilai religiusnya di dalam diri mereka dengan baik.
3) Metode Nasehat
Menurut Abdul Hamid Ash-shaid al-Jindani menyebutkan bahwa diantara
metode pendidikan yang banyak memberikan pengaruh dalam mengarahkan
manusia ialah metode nasihat atau al-mau’idzhah al-hasanah dan metode
bimbingan. Nasihat sangat memiliki pengarauh terhadap jiwa manuisa, terlebih
apabila nasihat itu keluar dari seseorang yang dicintainya. Oleh karena itu, Nabi
Muhammad Saw sangat memfokuskan terhadap pentingnya metode nasihat dan
bimbingan ini dalam proses pendidikan para sahabatnya.32
Nasihat merupakan metode yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai
religius. Hal ini dikarenakan nasihat memiliki pengaruh yang besar untuk
membuat peserta didik mengerti tentang hakikat sesuatu dan memberinya
kesadaran tentang prinsip-prinsip islam.33
Metode nasihat akan berjalan dengan baik apabila seseorang yang
memberi nasihat juga melaksanakan apa yang disampaikannya dibarengi dengan
teladan. Jika tersedia teladan yang baik maka nasihat akan sangat berpengaruh
dalam proses penanaman nilai-nilai religius.
4) Metode Pengawasan atau Perhatian
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, bahwa yang dimaksud dengan perhatian
adalah mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan
anak dalam pembiasaan akidah dan moral, persiapan spiritual dan sosial,
31
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak…., hlm. 542,
32
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian…., hlm. 270.
33
Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012),
hlm. 140.

19
disamping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan daya hasil
ilmiahnya.
Dengan menggunakan metode ini dapat membantu peserta didik untuk
menunaikan tanggungjawab dan kewajibannya secara sempurna. Metode ini
merupakan asas yang sangat berpengaruh dalam penanaman nilai-nilai religius
sebagai dasar untuk membentuk pondasi ajaran islam yang kokoh.34
5) Metode Hukuman
Hukuman diberikan manakala metode-metode yang lain sudah tidak
dapatmerubah tingkah laku anak, atau dengan kata lain cara memberi hukuman
merupakan cara terakhir yang ditempuh oleh pendidik, apabila ada perilaku anak
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hukuman merupakan tindakan tegas untuk
mengembalikan persoalan ditempat yang benar.
Adapun beberapa Metode hukuman yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a) Lemah lembut dan memberikan kasih sayang.
b) Menjaga perlakuan yang kurang baik dalam memberi hukuman.
c) Dalam upaya memberi kesadaran, hendaknya dilakukan secara bertahap.35
f. Penanaman Nilai-nilai Religius di dalam Keluarga
Sebelum anak mengenal mengenal masyarakat yang lebih luas dan mendapat
bimbingan disekolah, anak lebih dahulu memperoleh bimbingan dari keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, serta peletak
pondasi dari kepribadian dan pendidikan setelahnya.
Menurut Abu Ahmadi dalam buku Psikologi Pendidikan, keluarga adalah
wadah yang sangat penting diantara individu dan group, dan merupakan kelompok
sosial yang pertama dimana anak-anak yang menjadi anggotanya. Dan keluarga sudah
barang tentu yang pertama-tama menjadi tempat untuk mengadakan sosialisasi
kehidupan anak-anak. Ibu, ayah dan saudara-saudaranya serta keluarga-keluarga yang
lain adalah orang-orang yang pertama dimana anak-anak mengadakan kontak dan

34
Abdullah Nashih Ulwah, Pendidikan Anak Dalam Islam ( Jakarta: Khatulistiwa Press, 2013), hlm. 421.
35
Abdullah Nashih Ulwah, Pendidikan Anak…., hlm. 439.

20
yang pertama pula untuk mengajar pada anak-anak itu sebagaimana dia hidup dengan
orang lain.36
Di dalam keluarga muslim sebagaimana tuntutan agama, ayah berstatus
sebagai pemimpin keluarga dan ibu berstatus sebagai pemimpin di dalam rumah
tangga. Masing-masing punya tugas dan tanggung jawab, karena akan dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah SWT.
Peranan ibu dalam keluarga amat penting. Dialah yang mengatur, membuat
rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang
saling menyayangi dengan suaminya. Sebagai istri hendaknya ia bijaksana, tau hak
dan kewajibannya yang telah ditentukan oleh agamanya. 37 Sebagaimana Firman Allah
SWT dalam QS.Ar-Ruum ayat 21 sebagai berikut :
Tidak perlu dipertanyakan lagi seberapa besar peran ibu dalam keluarga dan
dalam mendidik anak-anaknya. Walau masih bersifat tidak langsung
(inderecteducation), ibu telah memainkan peran yang sangat penting ketika sang anak
masih berada di dalam kandungan.
Selanjutnya adalah ayah. Sebagai pemimpin keluarga, sosok ayah harus
menghadirkan nuansa kedamaian, ketenangan, dan kasih sayang bagi setiap anggota
keluarga. Ayah dianggap sebagai orang yang paling memiliki kewajiban untuk
mengatasi masalah yang berkaitan dengan pemenuhan materi karena dinilai paling
memiliki kekuatan atau kemampuan lahiriah yang berguna untuk menggali setiap
sumber kekayaan yang berada di sekitarnya.
Sementara itu, ibu lebih menonjol pada kelembutan dan kekuatan perasaan
yang bersifat batiniah. Dua hal ini merupakan senjata yang sangat ampuh untuk
mendidik dan mengasihi anak-anaknya. Oleh karenanya, ia sangat cocok mendapat
peran sebagai madrasah bagi keluarganya. Dengan kelebihan kasih sayang yang
dimilikinya, diharapkan si anak akan tumbuh dalam balutan kedamaian dan
memahami rasanya dicintai dan disayangi.38
Tugas dan tanggung jawab utama orang tua adalah menanamkan keimanan
kepada diri anak nya. Nabi mengajarkan bahwa pendidikan keimanan itu pada
36
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2007), hlm. 108.
37
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: Ruhama, 2015), hlm.47.
38
Muhammad Zaairul Haq dan Sekar Dina Fatimah, Cara Jitu Mendidik Anak Agar Saleh dan Salehah
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), hlm. 35-39.

21
dasarnya dilakukan oleh orang tuanya. Caranya, melalui peneladanan dan
pembiasaan. Yang meneladankan dan membiasakan tentulah kedua orang tua anak
tersebut.
Orang tua adalah orang yang menjadi panutan anaknya. Setiap anak, mula-
mula mengagumi kedua orang tuanya. Semua tingkah orang tuanya ditiru oleh anak
itu. Karena itu, peneladanan sangat perlu. Misalnya, ketika akan makan ayah
membaca basmalah, anak-anak menirukan itu. Tatkala orang tuanya salat, anak juga
diajak salat, sekalipun mereka belum mengetahui cara dan bacaannya.39
Secara garis besar, bila dibutiri maka tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya adalah bergembira menyambut kelahiran anak, memberi nama yang baik,
memperlakukan dengan lemah lembut dan kasih sayang, menanamkan rasa cinta
sesama anak, memberikan pendidikan akhlak, menanamkan akidah tauhid, melatih
anak mengerjakan shalat, berlaku adil, memperhatikan teman anak, menghormati
anak, memberi hiburan, mencegah perbuatan bebas, menempatkan dalam lingkungan
yang baik, memperkenalkan kerabat kepada anak, mendidik bertetangga dan
bermasyarakat.40
Orang tua memiliki kewajiban untuk menjalankan peranannya di dalam
membimbing pelaksanaan ibadah shalat pada anak agar kelak menjadi orang yang
senantiasa memelihara shalatnya dengan baik. Kewajiban orang tua tidak hanya
sekedar memelihara eksistensi anak untuk menjadikannya kelak sebagai seorang
pribadi, tetapi juga memberikan pendidikan anak sebagai individu yang tumbuh dan
berkembang.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidak cukup hanya menyediakan
harta secara berkecukupan atau bahkan berlimpah ruah, akan tetapi di prioritaskan
kepada masa depan pendidikan anak-anak terutama pendidikan karakter melalui
penanaman nilai-nilai religiusitas.41
3. Keluarga
a. Pengertian Keluarga

39
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), hlm. 6-7.
40
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta: Rineka Cipta:
2014), hlm. 28-29.
41
Samsul Munir Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami (Jakarta: Amzah, 2017), hlm. 7.

22
Keluarga adalah unit yang kecil di dalam masyarakat yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak dan mempunyai peranan penting.42 Keluarga merupakan unit yang
terkenal peranannya sangat besar karena keluarga mempunyai fungsi yang sangat
penting dalam kelangsungan kehidupan bermasyarakat, proses untuk mengetahui
nilai-nilai yang di anut untuk pertamakalinya diperoleh dalam keluarga.43
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, perkembangan
seorang anak dalam keluarga ditentukan oleh situasi dan kondisi keluarganya dan
pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orangtuanya. Karena dalam keluarga
terdapat saling interaksi secara kodrati yang di dasari oleh tanggung jawab sehingga
akan tampak suatu kesatuan yang utuh dan kokoh.
Dari keluarga inilah akan terbentuk masyarakat, dan baik buruknya
masyarakat sangat ditentukan oleh keharmonisan dan keserasian dalam keluarga.
keluarga adalah ikatan laki-laki dengan perempuan berdasarkan hukum dan undang-
undang perkawinan yang sah.pendidikan keluarga mengarahkan agar menuntut ilmu
yang benar karena membawa anak ke arah amal shaleh.44
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang
pertama dan pendidiknya adalah orang tua. Orang tua (ayah dan ibu) adalah pendidik
kodrati. Peran ayah dan ibu sangat menentukan, karena merekalah yang memegang
tanggung jawab seluruh keluarga dan mereka jugalah yang menentukan kemana
keluarga itu akan dibawa ditentukan oleh mereka.45
Menurut Soelaeman, dalam pengertian psikologis, keluarga adalah
sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-
masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling
mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.
Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan
hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang

42
Hasbullo, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2013), hlm. 87.
43
Mahmud, Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga (Jakarta : Akademia Permata 2013), hlm. 139.
44
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2019), hlm. 29.
45
Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian (Jakarta: Aksara Baru, 2014), hlm. 9.

23
dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri
itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua.46
Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka
anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan terhambatlah pertumbuhan
anak tersebut. Peranan ibu dalam keluarga amat penting. Dialah yang mengatur,
membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra
sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya.47
b. Fungsi Keluarga
Dalam Nadeak yang dikutip oleh Nisfiannoor & Eka Yulianti ada beberapa
fungsi keluarga, yaitu:
1) Tempat bernaung yang teduh
Merupakan tempat yang dirasa aman dan tentram bagi anggota keluarga
untuk berteduh. Di dalam keluarga yang dihuni orang tua dan anak unsur kasih
sayang perlu dikembangkan. Kasih sayang dapat diwujudkan dalam bentuk
perhatian terhadap anggota keluarga.
2) Tempat Belajar
Sebagai tempat belajar, keluarga adalah tempat pertama anak-anak belajar.
Dalam segala aspek kehidupan, anak bergantung kepada orangtua, baik dalam
soal berbicara, berjalan, dan tingkah laku. Dari orang tua, anak belajar mengasihi
Tuhan, mengasihi orang tua, dan mengasihi sesamanya.
3) Sumber Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama,
karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-
tama dari orangtua dan anggota keluarga sendiri. Keluarga juga merupakan
tempat menjalin komunikasi. Komunikasi merupakan unsur paling penting dalam
keluarga. Tanpa adanya komunikasi hubungan antar anggota keluarga tidak akan
harmonis.
4) Tempat Kesenjangan

46
Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri (Jakarta:
Rineka Cipta, 2018), hlm. 17-18.
47
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam…., hlm. 47.

24
Sebagai tempat kesenjangan, di dalam keluarga sering terjadi kesenjangan
antar orang tua dan anak-anak atau antar anak dengan saudara-saudaranya.
Khususnya pada anak yang menjelang usia remaja, mereka mulai membeda-
bedakan dirinya dengan saudarasaudara yang lain. Dalam situasi inilah
kadangkala mereka mengadakan pemberontakan. Orang tua perlu memperhatikan
kesenjangan ini sebab anak memerlukan tempat bernaung yang aman dan orang
tua seyogianya mengenal sikap anak remajanya dan memperlakukan secara wajar.
5) Tempat Belajar Ibadah
Sebagai tempat belajar beribadah, seorang anak yang menginjak akal balik
perlu pengetahuan, pengenalan, dan penghayatan atas Tuhan. Pengajaran moral
dan kehidupan beribadah sejak dini merupakan modal yang tidak ternilai
harganya. Upaya ini merupakan fondasi bagi kehidupan remaja dimasa
mendatang.48
Sementara Samsul Nizar yang dikutip oleh Helmawati menyatakan bahwa
dalam memberdayakan pendidkan keluarga sangat relevan untuk dibahas beberapa
fungsi keluarga. Selanjutnya ia membagi fungsi keluarga menjadi delapan fungsi,
yaitu:
1) Fungsi keagamaan.
2) Fungsi cinta kasih.
3) Fungsi reproduksi.
4) Fungsi ekonomi.
5) Fungsi pembudayaan.
6) Fungsi perlindungan.
7) Fungsi pendidikan dan sosial.
8) Fungsi pelestarian lingkungan.49
c. Lingkungan Keluarga
Biasanya orang mengartikan lingkungan secara sempit, seolah-olah
lingkungan hanyalah alam sekitar di luar diri manusia/individu. Lingkungan itu
sebenarnya mencakup segala material dan stimulus di dalam dan diluar diri individu,

48
M. Nisfiannoor & Eka Yulianti, Perbandingan Perilaku Agresif antara Remaja yang Berasal dari
Keluarga Bercerai dengan Keluarga Utuh, Dalam Jurnal Psikologi, Vol. 3 No. 1, Juni 2005.
49
Helmawati, Pendidikan Keluarga Teoritis dan Praktis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 44.

25
baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosial kultural.Dengan demikian
lingkungan dapat diartikan secara fisiologis, secara psikologis dan secara sosio-
kultural.
M.Dalyono dalam Buku Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati
mengartikan lingkungan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1) Secara Fisiologis
Lingkungan meliputi segala kondisi dan material jasmaniah di dalam tubuh
seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu, sistem saraf, peredaran darah,
pernapasan, pencernaan makanan, sel-sel pertumbuhan, dan kesehatan jasmani.
2) Secara Psikologis
Lingkungan mencakup segenap stimulasi yang diterimaoleh individu mulai
sejak dalam konsesi, kelahiran sampai kematiannya. Stimulasi ini misalnya
berupa: sifat-sifat “genes”, interaksi “genes”, selera keinginan, perasaan, tujuan-
tujuan, minat, kebutuhan, kemauan, emosi dan kapasitas intelektual.
3) Secara Sosio Kultural
Lingkungan mencakup segenap stimulasi, interaksi dan kondisi dalam
hubungannya dengan perlakuan atau pun karya orang lain. Pola hidup keluarga,
pergaulan kelompok, pola hidup masyarakat, latihan, belajar, pendidikan,
pengajaran, bimbingan dan penyuluhan adalah termasuk lingkungan ini.50

Uraian dari ketiga lingkungan diatas dapat di simpulkan bahwa ketiga


lingkungan diatas tidak dapat di pisahkan karna ketiga lingkunga tersebut saling
berkaitan di dalam kehidupan manusia.
Di dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan
dengan anak adalah orangtuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua (kalau ada), serta
mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah si anak
mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari.
Melalui lingkungan itulah anak mengalami proses sosialisasi awal.
Orang tua, saudara, maupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan
perhatiannya untuk mendidik anak supaya anak memperoleh dasardasar pola
50
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Satu Pengantar (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2013), hlm. 391.

26
pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan
serta penyerasiannya. Pada sat ini orangtua, saudara maupun kerabat (secara sadar
atau setengah sadar) melakukan sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih
sayang.51
Dari uraian diatas Peran orangtua, saudara maupun kerabat terdekat sangat
dibutuhkan dalam pembentukan akhlak atau moral seorang anak. Baik dalam
lingkungan keluarga maupun diluar lingkungan keluarga.
Dalam Islam, lingkungan keluarga yang baik paling tidak memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anak seperti
perasaan senang, bahagia, disayangi dan dilindungi. Suasana yang demikian dapat
tercipta apabila suasana keluarga senangtiasa diliputi kebahagiaan yang dirasakan
anak sehingga dapat menimbulkan rasa percaya diri, ketentraman, ketenangan dan
menjauhkan anak dari kegelisahan dan kesedihan.
2) Mengetahui dasar-dasar pendidikan, terutama berkenaan dengan tanggungjawab
orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya, dengan pengetahuan orangtua
berkewajiban mempelajari dan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
pendidikan anak-anaknya.52
Dari beberapa penjelasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa keluarga
adalah lingkungan pertama dalam pendidikan anak karena dalam keluarga inilah anak
pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Keluarga disebut sebagai
lingkungan pendidikan yang utama karena sebagian besar hidup anak berada dalam
keluarga, maka pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam
keluarga.
d. Pendidikan Keagamaan dalam Keluarga
Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga memang tidak bisa di
lepaskan dari pendidikan sebelumnya yakni alam kandungan, saat kelahiran, dan
setelah kelahiran. Dengan demikian kewajiban orangtua adalah merawat dan
memelihara anaknya sebagai generasi penerus dalam keluarga, bila dikaitkan dengan
pendidikan, maka pendidikan anak merupakan serangkaian yang masih ada
51
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Satu…., hlm. 392.
52
Alisuf Sabir,Pisikologi Pendidikan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,2005), hlm.43.

27
keterkaitannya untuk mewujudkan generasi unggul, dan pendidikan itu memang
merupakan sebuah kebutuhan dalam kehidupan manusia.
Islam memandang keluarga sebagai lingkungan yang pertama bagi individu
dan dalam keluargalah pendidikan pertama kali dapat dilangsungkan. Setiap orangtua
tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna.
Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itukelak menjadi orang yang soleh, sehat,
kuat, berketerampilan, cerdas, pandai dan beriman. Bagi orang Islam beriman adalah
beriman secara Islami.53
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan. Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam
menanmkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tak mengherankan jika Rasul
menekankan tanggung jawab itu pada orangtua.
Fungsi dan peran orangtua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan
anak-anak mereka. Setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk
beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya
tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orangtua. Memang
anak lahir dalam keadaan fitrah, suci, sedangkan jika tidak beragama tauhid
(menyimpang dari fitrah), itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan terutama dalam
lingkungan keluarga.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa orangtua mempunyai
tanggung jawab besar dalam mendidik, khususnya didalam melindungi keluarga dan
memelihara keselamatan keluarga.Tetapi jika dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan
begitu saja, maka anak itu akan celaka dan binasa. Maka yang menjadi ukuran dari
ketinggian anak itu ialah terletak pada yang bertanggung jawab (pendidik) dan
walinya. Oleh karena itu, keluarga harus merealisasikan peranan atau tanggungjawab
dalam mendidik anaknya.
4. Kesadaran Beragama
a. Pengertian Kesadaran Beragama

53
Alisuf Sabir,Pisikologi Pendidikan…., hlm. 47.

28
Secara bahasa kesadaran berasal dari kata “sadar” yang berarti insaf, ingat
kembali, dan bangun. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kesadaran
adalah keadaan atau hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang.54
Sedangkan agama, berasal dari kata “al-Din”, menurut Quraish Shihab, dalam
bahasa arab terdiri dari huruf dal, ya, dan nun. Dari huruf-huruf ini bisa dibaca
dengan dain yang berarti hutang, dan dengan Din yang mengandung arti agama,
menguasai, menundukkan, patuh, kebiasaan, dan hari kiamat. Ketiga arti tersebut
sama-sama menunjukkan adanya dua pihak yang berbeda. Pihak pertama
berkedudukan lebih tinggi, berkuasa, ditakuti, dan disegani oleh pihak kedua. Dalam
agama, Tuhan adalah sebagai pihak utama yang lebih tinggi daripada manusia.55
kesadaran beragama adalah aspek mental dari aktivitas agama. Aspek ini
merupakan bagian atau segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji
melalui intropeksi. Dengan adanya kesadaran agama dalam diri seseorang yang akan
di tunjukkan melalui aktifitas keagamaan, maka munculah pengalaman beragama.
Adapun yang di maksud dengan pengalaman beragama ialah unsur perasaan dalam
kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan
dalam tindakan (alamiyah) nyata.56
Kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan,
keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental
dari kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa raga manusia, maka
kesadaran beragamapun mencapai aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan motorik.
Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat didalam pengalaman ke-
Tuhanan, rasa keagamaan dan rindu kepada Tuhan. Aspek kognitif nampak dalam
keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam
perbuatan dan gerakan tingkah laku dan keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari,
berbagai aspek tersebut sukar dipisahkan karena merupakan suatu sistem kesadaran
beragama yang utuh dalam pribadi seseorang.

54
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet.
Ke-2, hlm. 975.
55
Achmad Gholib, Studi Islam (Pengantar Memahami Agama AlQur’an, Al-hadis, Dan Sejarah Peradaban
Islam) (Jakarta: Faza Media, 2006), cet Ke-2, hlm. 4.
56
Ramayulis, Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia,2009), Cet. Ke-9, hlm. 8.

29
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kesadaran beragama yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan sadar seorang hamba terhadap
penciptanya sehingga keberadaan Tuhannya tercipta didalam dirinya yang dengan
keadaan tersebut ia melaksanakan segala perintah Tuhannya dan menjauhi larangan-
Nya.
b. Ciri-ciri Kesadaran Beragama
1) Diferensisasi yang baik
Pemikiran semakin kritis dalam memecahkan berbagai permasalahan yang
dihadapi dengan berlandaskan pada Tuhan. Penghayatan kepada Tuhan semakin
mendalam, selalu merasakan rindu dengan Tuhan dan setiap kali melihat
keindahan alam akan merasakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Kesadaran
beragama yang terdeferensisasi dengan baik yaitu dimulai dari identifikasi
kehidupan kejiwaan orang tua, sosialisasi dengan masyarakat, munculnya
pemikiran melalui pengalaman beragama akhirnya bercabang dan beranting
menjadi kesadaran beragama.
2) Motivasi kehidupan beragama yang dinamis
Tanda kesadaran beragama yang matang adalah motif kehidupan beragama
berasal dari kebutuhan akan rasa kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan akan rasa harga diri, kebutuhan akan rasa bebas, kebutuhan akan rasa
sukses dan kebutuhan akan rasa ingin tahu. Derajat motivasi beragama
dipengaruhi oleh pemuasan yang diberikan oleh kehidupan beragama, makin
besar derajat kepuasan yang diberikan makin kokoh dan otonom pula motif
tersebut.
3) Pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan produktif
Ciri kesadaran beragama ketiga yaitu melaksanakan ajaran agama secara
konsisten, stabil, mantap dan bertanggung jawab dengan dilandasi warna
pandangan agama yang luas.
4) Pandangan hidup yang komprehensif
Orang yang memiliki kesadaran beragama yang komprehensif dan utuh
dalam bersikap dan bertingkah laku akan memiliki pandangan hidup yang
berbeda. Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek

30
kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan
untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan khaliq-nya.
Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia
sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini.
5) Pandangan hidup yang integral
Ciri kesadaran beragama yang matang disamping pandangan hidup yang
komprehensif, pandangan hidup itu juga harus integral. Integrasi tersebut
tercermin pada keutuhan pelaksanaan ajaran agama yaitu keterpaduan iman, ihsan
dan amal.
6) Semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan
Ciri kesadaran beragama yang ini senantiasa menguji keimanan melalui
pengalaman-pengalaman keagamaan sehingga menemukanm keyakinan yang
mantap. Selain itu, juga mampu mengintropeksi, mengevaluasi dan meningkatkan
ibadahnya sehingga menemukan penghayatan akan kehadiran Tuhan.57
Berdasarkan ciri-ciri sikap keagamaan tersebut, diperoleh suatu kematangan
dalam kehidupan beragama. Adapun kriteria kematangan dalam kehidupan beragama
itu adalah sebagai berikut:
1) Memilliki kesadaran bahwa setiap perilakunya (yang tampak maupun
tersembunyi) tidak terlepas dari pengawasan Allah SWT. Kesadaran ini terefleksi
dalam sikap dan perilakunya yang jujur, amanah, istiqomah dan merasa malu
untuk berbuat yang melanggar aturan Allah SWT.
2) Mengamalkan ibadah ritual secara ikhlas dan mampu mengambil hikmah dari
ibadah tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
3) Memiliki pemahaman secara positif akan irama/romantika kehidupan yang
ditetapkan oleh Allah.
4) Bersyukur pada saat mendapatkan anugrah.
5) Bersabar pada saat mendapatkan musibah.
6) Menjalin dan memperkokoh “Ukhuwah Islamiyah” (tali persaudaraan dengan
sesama muslim) dan “Ukhuwah Insaniah” (tali persaudaraan dengan manusia
lainnya dengan tidak melihat latar belakang agama, suku, ras, maupun status

57
Abdul Aziz, Psikologi Agama (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2005), hlm. 44-45.

31
sosial ekonominya) jalinan persaudaraan itu diwujudkan dalam bentuk saling
tolong-menolong dalam kebaikan dan saling berwasiat dalam kebenaran dan
kesabaran.
7) Senantiasa menegakkan “amar ma’ruf nahi munkar”, mempunyai ruhul jihad
fisabilillah, menebarkan mutiara nilai-nilai Islam dan mencegah atau membrantas
kemusyrikan, kekufuran, dan kemaksiatan.58
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesadaran Beragama
Kesadaran beragama pada diri seseorang secara garis besar berasal dari dua
faktor yaitu faktor internal (dari dalam atau pembawaan) dan faktor eksternal (dari
luar atau lingkungan).
1) Faktor Internal
Menurut Jalaluddin faktor internal, yaitu faktor dari manusia itu sendiri,
karena manusia adalah homo religius (makhluk beragama) yang sudah memiliki
fitrah untuk beragama.59 Di sumber lain dikatakan bahwa secara garis besar
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara
lain adalah sebagai berikut:
a) Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan
yang diwariskan secara turun temurun, melainkan terbentuk dari berbagai
unsur lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan konatif. Menurut Sigmund
Freud perbuatan buruk dan tercela jika dilakukan akan menimbulkan rasa
bersalah (sense of guilt) dalam diri seseorang.
Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka dalam
diri pelakunya akan timbul rasa berdosa dan perasaan seperti ini barangkali
yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai
unsur hereditas.
b) Tingkat Usia

58
Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004),
hlm. 146.
59
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 53.

32
Meskipun tingkat usia bukan merupakan satusatunya faktor
perkembangan jiwa keagamaan seseorang, tetapi kenyataan ini dapat dilihat
dari perbedaan pemahaman agama dari tingkat usia yang berbeda.
c) Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu
unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas
dan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian, dan setiap
manusia memiliki kepribadian yang unik dan berbeda-beda, sehingga
perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan seseorang.
d) Kondisi Jiwa Seseorang
Bagaimanapun juga kondisi jiwa seseorang akan berpengaruh pada
pandangan tentang agama, seseorang yang mengidap phobia akan dicekam
rasa takut yang irrasional sehingga pandangannya terhadap agama akan
dipengaruhi oleh hal yang demikian juga. Sedangkan seseorang yang normal
akan memandang agama secara sadar dan dapat berfikir sehat.60
2) Faktor Eksternal
Lingkungan yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan
seseorang, karena lingkungan merupakan tempat dimana seseorang itu hidup dan
berinteraksi, lingkungan disini dibagi menjadi tiga yaitu keluarga, instuisi, dan
masyarakat.
a) Lingkungan Keluarga
Dalam kehidupan manusia lingkungan keluargalah yang menjadikan
dasar pembentukan prilaku seseorang, juga memberikan andil yang banyak
dalam memberikan bimbingan dan pendidikan keagamaan.
b) Lingkungan Institusional
Jalaluddin mengemukakan bahwa “pendidikan agama di lembaga
pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukkan jiwa
keagamaan pada anak didik”. Karena pendidikan agama pada hakikatnya

60
Jalaluddin, Psikologi Agama…., hlm. 241-246.

33
merupakan pendidikan nilai, sehingga pendidikan agama lebih dititikberatkan
pada pembentukkan kebiasaan yang selaras dengan tuntutan agama.
c) Lingkungan Masyarakat
Dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari orang lain,
karena manusia adalah makhluk sosial yang dalam hidupnya saling
membutuhkan satu sama lain. Untuk itu, lingkungan masyarakat merupakan
salah satu faktor yang juga ikut mempengaruhi perkembangan sikap dan
prilaku seseorang.61
d. Cara Meningkatkan Kesadaran Beragama pada Remaja
Sejalan dengan jiwa remaja yang berada dalam masa transisi dari fase anak-
anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama fase remaja berada dalam fase
peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama.
Disamping keadaan jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya
pemikiran abstrarak, logic dan kritik mulai berkembang, motifasinya mulai tidak
dikendalikan oleh dorongan semata. Hal ini yang membuat keadaan jiwa remaja yang
mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan dan konflik batin. Selain itu remaja
mulai menemukan pengalaman dan penghayatan ketuhanan yang bersifat individual
dan sukar digambarkan kepada orang lain.
Kesadaran beragama pada remaja dapat dipengaruhi oleh tumbuhnya hati
nurani keagamaan, baik kualitasnya pada akhir usia anak maupun perkembangannya
pada usia remaja. Selanjutnya kesadaran beragama, akan dipengaruhi oleh aspek-
aspek jiwa yang lain, serta keadaan lingkungan remaja.
Kesadaran beragama merupakan hasil proses mengenai motivasi yang
berpengaruh terhadap penilaian, keputusan dan interaksi dengan orang lain.
Sedangkan pengalaman beragama merupakan perasaan yang membawa keyakinan
yang dihasilkan oleh tindakan, pengalaman tersebut biasanya terjadi dalam keinginan
seseorang manusia untuk menyembah tuhan untuk berdoa.
Pembinaan kehidupan moral manusia dan penghayatan beragama dalam
kehidupan seorang dilakukan secara terus menerus sehingga dapat mengarahkan
kesadaran beragama bersifat positif. Kesadaran beragama remaja dilakukan dengan
61
Jalaluddin, Psikologi Agama…., hlm. 247.

34
menumbuhkan rasa agama dalam keperibadian anak dan terbentuknya dasar nilai
moral yang baik. Kegiatan meningkatkan kesadaran beragama dalam keluarga
dilakukan lebih banyak bersifat pengenalan dan pembiasan.62
Hal ini terjadi karena sikap remaja dapat terbentuk melalui penanaman
pengalaman yang dilaluinya. Penanaman nilai-nilai beragama kepada remaja dapat
menggunakan beberapa metode dan salah satunya adalah metode pembiasan yang
merupakan sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang, sesuatu itu dapat
menjadi kebiasaan untuk di amalkan.
Metode ini sangat efektif dalam rangka pembinaan krakter dan keperibadian
anak. Dalam dunia psikologi, metode pembiasaan dikenal dengan teori Operan
Conditioning yakni membiasakan remaja untuk berperilaku terpuji, disiplin, ikhlas,
dan tanggung jawab atas segala tugas yang dilakukan. Metode ini dilakukan untuk
membiasakan remaja melakukan perilaku terpuji (ahlak mulia).
5. Remaja
a. Pengertian Remaja
Remaja adalah seseorang individu yang baru beranjak selangkah dewasa dan
baru mengenal mana yang benar dan mana yang salah, mengenal lawan jenis,
memahami peran dalam dunia sosial, menerima jati diri apa yang telah dianugerahkan
Allah SWT pada dirinya, dan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada
dalam diri individu.63
Remaja saat ini dituntut harus siap dan mampu dalam menghadapi tantangan
kehidupan dan pergaulan. Usia remaja adalah usia yang paling kritis dalam kehidupan
seseorang, rentang usia peralihan dari masa kanak-kanak menuju remaja dan akan
menentukan kematangan usia dewasa.
Remaja adalah Priode peralihan perkembangan dari anak–anak ke masa
dewasa, yang di mulai sekitar usia 10–12 tahun dan berakhir pada usia 18–21
tahun.remaja memiliki keragaman yang sangt tinggi . variasi etnis, kultur, sejarah,
dan jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan gaya hidup mencirikan perjalann hidup
mereka.
62
Abdul Rahman, Pembangunan Agama dan Watak Bangsah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
58.
63
Miftahul Jannad, Remaja dan Tugas-tugas Perkembangannya dalam Islam, dalam Jurnal Psikoislamedia,
Vol. 1, No. 1, April 2016.

35
Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting,
yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu
bereproduksi. Salzman mengemukakan bahwa remaja merupakan masa
perkembangan sikap tergantung (dependen) terhadap orang tua kearah kemandirian
(independen), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai
estetika dan isu-isu moral.64
Istilah remaja atau kata yang berarti remaja tidak ada dalam Islam. Di dalam
Al-Qur’an ada kata “alfityatu atau fityatun” yang artinya orang muda. Terdapat pula
kata baligh yang menunjukkan seseorang tidak kanak-kanak lagi, misalnya dalam
surah An-nur ayat 59 yang berbunyi:
Pada ayat tersebut terdapat istilah kata baligh yang dikaitkan dengan mimpi
(alhuluma). Kata baligh dalam istilah hukum Islan digunakan untuk penentuan umur
awal kewajiban melaksanakan hokum Islam dalam kehidupan sehari-hari atau dengan
kata lain terhadap mereka yang telah baligh dan berakal, berlakulah seluruh ketentuan
hukum Islam. Tampaknya masa remaja yang mengentarai masa kanak-kanak dan
dewasa tidak terdapat dalam Islam. Dalam Islam seorang manusia bila telah akil
baligh, telah bertanggung jawab atas setiap pertumbuhannya. Jika ia berbuat baik
akan mendapat pahala, dan bila melakukan perbuatan tidak baik akan berdosa.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa remaja dari
sisi psikologis, remaja adalah masa di mana remaja mengalami perubahan usia,
perubahan emosi dan hal-hal yang bersifat abstrak. Dari sisi fisik, remaja adalah usia
di mana remaja mengalami perubahan beberapa organ fisiknya, antara lain perubahan
fisik.
b. Tahapan Masa Remaja
Ada beberapa tahapan masa remaja, yaitu:
1) Masa remaja awal (10-12 tahun)
a) Merasa lebih dekat dengan teman sebaya.
b) Tampak dan merasa ingin bebas.
c) Lebih memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir dan khayal
(abstrak).

64
Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak…., hlm. 184.

36
2) Masa remaja tengah (13-15 tahun)
a) Merasa ingin mencari identitias diri.
b) Adanya keinginan untuk berkencan atau tertarik pada lawan jenis.
c) Timbul perasaan cinta yang mendalam.
d) Kemampuan berfikir abstrak (berkhayal) makin berkembang berkhayal
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksual.
3) Masa remaja akhir (16-1 9 tahun)
a) Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
b) Dalam mencari teman lebih selektif.
c) Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.
d) Dapat mewujudkan perasaan cinta.
e) Memiliki kemampuan berfikir khayal atau abstrak.65
c. Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja
1) Pertumbuhan fisik
Pertumbuhan meningkat cepat dan mencapai puncak kecepatan. Pada fase
remaja awal karakteristik seks sekunder mulai tampak, seperti penonjolan
payudara pada remaja perempuan, pembesaran testis pada remaja laki-laki,
pertumbuhan rambut ketiak, atau rambut pubis. Karakteristik seks sekunder ini
tercapai dengan baik pada tahap remaja pertengahan dan pada tahap remaja akhir
struktur dan pertumbuhan reproduktif hampir komplit dan remaja telah matang
secara fisik.
2) Kemampuan berpikir
Pada tahap awal remaja mencari-cari nilai dan energi baru serta
membandingkan normalitas dengan teman sebaya yang jenis kelaminnya sama.
Sedangkan pada remaja tahap akhir, mereka telah mampu memandang masalah
secara komprehensif dengan identitas intelektual sudah terbentuk.
3) Identitas
Pada tahap awal,ketertarikan terhadap teman sebaya ditunjukkan dengan
penerimaan atau penolakan. Remaja mencoba berbagai peran, mengubah citra
diri, kecintaan pada diri sendri meningkat, mempunyai banyak fantasi kehidupan,

65
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta : Prenadamedia, 2011), hlm. 236.

37
idealistis. Stabilitas harga diri dan definisi terhadap citra tubuh serta peran jender
hampir menetap pada remaja di tahap akhir.66
4) Hubungan dengan orang tua
Keinginan yang kuat untuk tetap bergantung pada orangtua adalah ciri yang
dimiliki oleh remaja pada tahap awal. Dalam tahap ini, tidak terjadi konflik utama
terhadap kontrol orang tua. Remaja pada tahap pertengahan mengalami konflik
utama terhadap kemandirian dan kontrol. Pada tahap ini terjadi dorongan besar
untuk emansipasi dan pelepasan diri. Perpisahan emosional dan dan fisik dari
orangtua dapat dilalui dengan sedikit konflik ketika remaja akhir.
5) Hubungan dengan teman sebaya
Remaja pada tahap awal dan pertengahan mencari afiliasi dengan teman
sebaya untuk menghadapi ketidakstabilan yang diakibatkan oleh perubahan yang
cepat; pertemanan lebih dekat dengan jenis kelamin yang sama, namun mereka
mulai mengeksplorasi kemampuan untuk menarik lawan jenis. Mereka berjuang
untuk mengambil tempat di dalam kelompok; standar perilaku dibentuk oleh
kelompok sebaya sehingga penerimaan oleh sebaya adalah hal yang sangat
penting. Sedangkan pada tahap akhir, kelompok sebaya mulai berkurang dalam
hal kepentingan yang berbentuk pertemanan individu. Mereka mulai menguji
hubungan antara pria dan wanita terhadap kemungkinan hubungan yang
permanen.67
d. Ciri-Ciri Remaja
a. Mengalami kegelisahan dalam hidupnya.
b. Adanya pertentangan dengan orang dewasa.
c. Keinginan untuk mencoba hal yang belumdi ketahuinya.
Keinginan mencoba fungsi organ tubuhnya.
d. Suka berkhayal dan berfantasi tentang prestasi dan karier.
e. Munculnya sifat-sifat khas anak laki-laki dan anak perempuan.68
Adapun sifat-sifat khas tersebut, yaitu:
a) Sifat khas yang terjadi pada laki-laki, meliputi:
66
Ade Wulandari, Karakteristik Pertumbuhan Perkermbangan Remaja dan Implikasinya Terhadap
Masalah Kesehatan dan Keperawatannya, dalam Jurnal Keperawatan Anak, Vol. 2, No. 1, Mei 2014, hlm. 40.
67
Ade Wulandari, Karakteristik Pertumbuhan…., hlm. 41
68
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta : Erlangga, 2003 ), hlm. 207.

38
1. Sifat aktif berbuat.
2. Penampilan tingkah lakunya lebih hebat dan meledak.
3. Rasa bimbang dan takut mulai hilang sedikit demi sedikit dan mulai
timbul rasa keberanian berbuat.
4. Menentukan hak-hak untuk menentukan nasib sendiri dan ikut
menentukan segala keputusan.
5. Ingin memperlihatkan tingkah laku kepahlawanan.
6. Minatnya lebih terarah kepada hal-hal yang abstrak dan intelaktual
b) Sifat khas yang terjadi pada anak perempuan, meliputi:
1. Sifat pasif menerima.
2. Prilakunya tampak lebih terkendali oleh tradisi dan peraturan keluarga.
3. Rasa bimbang dan takut mulai hilang dikit demi sedikit dan timbul
keberanian untuk berbuat.
4. Anak berusaha keras untuk lebih di sayang oleh siapapun juga.
5. Lebih menampakkan kemauan dan rasa kekaguman.69
e. Tugas-tugas Perkembangan Pada Remaja
1) Menerima keadaan fisiknya
Pada masa remaja perubahan fisik berhubungan dengan pertumbuhan dan
kematangan seksual disamping itu tampak perubahan yang pesat mengenai tinggi
badan, perbedaan harapan remaja maupun lingkungan dengan keadaan fisiknya
sendiri dapat menimbulkan masalah penyesuaian diri bagi remaja. Timbul
kesulitan dalam menerima keadaan fisik ini, terutama mengenai ciri-ciri jenis
kelamin dan yang berhubungan dengan tinggi badan. Remaja yang merasakan
rintangan dalam menjalani pertumbuhan yang pesat itu dapat bersikap murung
atau mengurung diri di kamar.
2) Memperoleh kebebasan emosional
Salah satu tugas perkembangan yang harus dijalani pada masa remaja adalah
memperoleh kebiasaan emosional. Hal ini diperlukan agar pada masa dewasa
kelak ia dapat menjadi orang yang mampu mengambil keputusan dengan
bijaksana karena itu remaja perlu mendapatkan pengalaman berupa latihan untuk

69
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan…., hlm. 235.

39
mengambil keputusan secara bertahap ini dilakukan dengan dimulainya
merenggangkan ikatan emosional dengan orang tua agar dapat belajar meneliti
dan mengambil keputusan sendiri.70
Hanya saja dalam proses ini kadangkala disertai dengan perilaku menentang
keinginan orangtua hal ini dapat menimbulkan konflik dengan orang tua atua
keluarga lainnya, terutama bila orangtua tidak memakai kondisi jiwa yang sedang
dialami remajanya reaksi orangtua yang ingin menundukkan anaknya sering kali
mengakibatkan remaja melarikan diri dari suasana konflik itu dengan cara
meninggalkan rumah dan bergabung dengan teman-temannya.
Oleh karena itu orang tua dan orang dewasa seyogyanya dapat memahami
pentingnya kebebasan yang perlu diberikan secara bertahap disertai dengan
bimbingan mengenai yang baik dan yang tidak baik berdasarkan nilai-nilai dan
norma yang diyakini dengan demikian harapan remaja dapat menjalankan tugas
perkembangan selanjutnya dengan baik.
3) Mampu bergaul
Memperluas pergaulan diperlukan bagi mempersiapkan diri menuju masa
dewasa namun tugas perkembangna ini selalu mendapat hambatan yang
bersumber dari diri (remaja). Keadaan fisik yang pada mulanya tidak sesuai
dengan harapan menyebabkan remaja kaku dalam pergaulannya, timbulnya
perhatian untuk bergaul dengan teman lawan jenis menjadi motivasi untuk
meningkatkan penampilan. Setelah remaja merasa terbiasa dengna keadaan
fisiknya barulah timbullah penyesuaian diri dan kemudhaan dalam pengadaan
pendekatan dengan teman-teman.
4) Menemukan model untuk identifikasi
Pada masa terjadi penemuan identitas diri agar pada masa dewasa kelak
dapat menjadi manusia yang mempunyai kepribadian yang khas dengan identitas
pribadi yang khas pula. Proses ini dimulai dengan timbulnya kecenderungan
remaja untuk merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orang tua dan
meninjau kembali landasan hidup yang telah diberikan orangtua sepanjang masa
kanak-kanaknya.
70
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja (Suatu Tinjauan Psikologis), dalam Jurnal Darul ‘Ilmi, Vol. 2,
No. 1, Januari 2014, hlm. 77.

40
Untuk itu remaja perlu mencari seorang tokoh identifikasi yang akan
dijadikan model yang akan dicontoh baik tingkah laku maupun kepribadiannya.
Biasanya seorang yang sukses dalam hidupnya di masyarakat menjadi idola
remaja dan mudah menjadi model identifikasi. Masalah yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana agar remaja dapat memilih model identifikasi yang tepat dalam
upaya menumbuhkan pribadi yang utuh.71
5) Mengetahui dan menerima kemampuan diri
Dengan tumbuhnya kemampuan berfikir abstrak remaja cenderung berfikir
tentang kemungkinan-kemungkinan masa dewasaya, dirinya sering dijadikan
objek pemikiran dan menimbulkan penilaian terhadap dirinya sendiri baik positif
maupun negatif.
Apabila remaja melihat realitas diri dan kemampuannya tidak sesuai dengan
harapan dan angan-angan maka kekecewaan dan putus asa akan timbul. Begitu
pula harapan dan tuntutan masyarakat yang tidak mampu terpenuhi dapat menjadi
sumber penyebab prustasi dan berpengaruh pada perilakunya. Oleh karena itu
perlu adanya bimbingan agar remaja dapat menerima keadaan dirinya dengan
wajar dan menyesuaikan aspirasinya dengan kemampuan dan realitas
kehidupannya.
6) Memperlakukan penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Masa remaja merupakan fase yang paling penting dalam membentuk nilai.
Dalam proses mencari nilai dan pandangan hidup ini khususnya nilai-nilai agama
remaja mengamali kegoncangan karena dia tidak mau lagi terpaut pada sikap dan
pandangan hidup kanak-kanaknya tetapi belum mempunyai padangan hidup baru
yang mantap.
Proses pemantapan nilai dan norma hidup ini melewati tahapantahapan
sebagai berikut:
a) Karena remaja belum mendapat pandangan hidup yang mantap maka ia
merindukan sesuatu yang pantas dipuji sesuatu yang dianggap bernilai.
Sedangkan sesuatu yang dianggap bernilai itu belum mempunyai bentuk

71
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja...., hlm. 78-79.

41
tertentu karena itulah seringkali remaja seperti menginginkan sesuatu yang
sendiri tidak tahu apa yang diinginkannya.
b) Pada tahap berikutnya objek yang dipuja itu sudah menjadi lebih jelas yaitu
pribadi-pribadi yang dipandangnya mendukung suatu nilai (Jadi dalam hal ini
adalah personifikasi daripada nilai) pada tahap ini remaja belum dapat
memisahkan antara person dengan nilai.
c) Pada tahap berikutnya remaja telah daat menghargai nilai-nilai lepas dan
pendukungnya, nilai sebagai hal yang mengikat pandangan atau pendirian
hidupnya, penentuan atas pandangan hidup berdasarkan nilai dan norma ini
tidak dapat terjadi sekaligus tetapi mengalami jatuh bangun. Apalagi bila
remaja melihat realitas hidupnya adanya kesenjangan antara nilai dan perilaku
orang terutama pemimpin masyarakat dapat menimbulkan kebingungan dan
tidak tahu nilai moral mana yang seharusnya dapat menjadi pegangan hidup
untuk itulah diperlukan interaksi sosial yang dapat membantu remaja
menyelesaikan tugas perkembangan ini secara sehat dan wajar.72
7) Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan
Salah satu ciri yang terdapat pada masa kanak-kanak adalah sifat ego sentis
segala sesuatu dipandangnya dari sudut pandang sendiri berpusat pada keinginan
dan kebutuhannya sendiri dan sangat emosional.
Pada masa remaja yang merupakan jembatan menuju masa dewasa sifat ego
sentis secara bertahap akan dihilangkan dan remaja belajar menyesuaikan diri
dengan pola hidup bersama dengan orang lain. Ia harus mempertimbangkan
bahwa orang lain juga mempunyai kebutuhan pendapat dan kebiasaan yang belum
tentu sama dengannya.
Dalam interaksi sosial dengan teman sebaya dan orang dewasa serta
mungkin juga anak-anak remaja harus belajar mengindahkan orang lain tersebut
dalam bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu tidak selamanya kehendak dan
keinginannya saja yang harus dilaksanakan.
Bila remaja telah menemukan identitas diri dan sistem nilai yang mantap,
remaja dapat menyesuaikan diri dan tangguh dalam menghadapi berbagai

72
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja…., hlm. 80.

42
rintangan dan kesulitan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan ini
selanjutnya dengan mudah pula dapat dilaksanakan tugas-tugas perkembangan
pada fase-fase berikutnya.
Uluran tangan dan bimbingan dari orangtua dan orang dewasa memang
sungguh sangat diperlukan sekalipun terkadang remaja seolaholah menolak
bantuan orang dewasa. Namun dengan penuh kesadaran dan pengertian orang tua
hendaknya terus menerus memberikan bimbingan dan pengarahan agar remaja
tidak terpeleset dan salah jalan dalam menjalani tugas-tugas yang kompleks ini.
Dengan demikian berkembangnya pengetahuan dan teknologi informasi dan
berbagai dampak yang timbul dari proes globalisasi maka pengaruh yang melanda
remaja semakin luas bila remaja tidak dibekali dengan prinsip-prinsip hidup dan
nilai agama sulit bagi remaja untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia yang
mempunyai pendirian dan pandangan hidup yang mantap.73
f. Perkembangan Agama Pada Remaja
Perkembangan agama pada remaja tidak terlepas dari faktor-faktor yang turut
berpengaruh pada perkembangannya secara menyeluruh. Pada awal masa remaja anak
merasakan kesepian dan seolah-oleh orang disekitarnya tidak mengerti dan
memahaminya, karena itu reaksi pertamanya adalah proses terhadap lingkungannya.
Pengaruh ini nampak pada kehidupan agama yang mudah goyah, bimbang serta
adanya keraguan dan konflik.
Langkah selanjutnya adalah kebutuhan akan adanya teman yang dapat
memahami dan menolongnya serta dapat merasa suka dukanya. Disinilah mulai
tumbuh dorongan untuk mencari sesuatu yang bernilai pantas dijunjung tinggi yaitu
pedoman hidup. Remaja mulai menemukan pengalaman dan penghayatan Ketuhanan
yang bersifat individual dan sukar digambarkan kepada orang lain. Keimanannya
mulai otonom dan hubungan dengan Tuhan mulai disertai kesadaran.
Perkembangan agama pada remaja yang mengalami gelombang pasang surut
itu dipengaruhi oleh hal-hal yang bersumber dari dalam dirinya sendiri dan juga
faktor dari luar (lingkungan). Disamping pertumbuhan dan perkembangan fisik yang
berjalan cepat, faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi antara lain:74
73
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja…., hlm. 80-81.
74
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja…., hlm. 82.

43
1) Perkembangan fikiran dan mental
Sejalan dengan perkembangan kecerdasan yang semakin meningkat dan
kemampuan berfikir abstrak pada masa ini, sifat kritis terhadap agama mulai
timbul disamping itu remaja juga telah melalui dan mulai dapat memahami dan
menerima simbol-simbol dan hal-hal abstrak.
2) Perkembangan emosi
Emosi erat hubungannya dengan pengalaman agama dalam diri remaja
emosi tidak stabil dan akan terlihat pada perilakunya ibadahnya yang berkaitan
dengan suasana emosinya. Kadang-kadang sangat tekun beribadah, kadang-
kadang menjadi acuh tak acuh.
Ketidak stabilan emosi, kegoncangan dan kegelisahan yang dialaminya
antara lain disebabkan:
a) Pertentangan dan ketidakserasian dalam keluarga.
b) Pertentangan yang dirasakan remaja di sekolah ,terutama bila dirasakannya
seolah-olah ada pertentangan agama dengan ilmu pengetahuan.
c) Konflik bathin karena melihat adanya pertentangan antara nilai agmaa dan
moral dengan nilai agama dan moral dengan perilaku orang terutama
pemiimpin di tengah-tengah masyarakat.
d) Konflik yang berasal dari dorongan seksual bertentangan terjadi dalam jiwa
remaja untuk mempertahankan norma agama disatu sisi dan mengikuti
dorongan itu disisi lain.75
3) Perkembangan Sosial
Kecenderungan yang terlihat pada remaja adalah bergerak menuju ke arah
teman sebaya dan memisahkan diri dari orang tua, karena itu pengaruh teman
sebaya sangat berarti terhadap perkembangan dan pengalaman agama remaja.
Pergaulan dengan teman-teman sebaya/kelompok yang taat beragama akan
mendorong peningkatan aktivitas agama dan ibadahnya, sebaliknya dalam
pergaulan teman-teman yang tidak mengindahkan agama sering kali dapat
menjadi sumber konflik dalam diri remaja. Keinginan agar tidak tersisih dari
teman sebaya sering menyebabkan remaja bimbang apakah akan mengikuti

75
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja…., hlm. 83

44
tingkah laku teman-temannya atau akan mempertahankan nilai-nilai agama yang
diyakininya selama ini.
Sikap mana yang akan berkembang terus kepada remaja sangat tergantung
kepada lingkungan. Pendidikan dan pengalaman remaja baik dalam keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Karena itu perlu diupayakan kondisi yang dapat
mendukung terbinanya sikap positif remaja yang ditandai dengan pengetahuan
dan penghayatan serta keasadaran agama yang lebih mantap dan selanjutnya
disertai dengan menanamkan nilai-nilai religius agar bisa dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.76
g. Upaya Pembinaan Agama Pada Remaja
Pada dasarnya berupaya untuk mendorong, mengusahakan terjadinya
perubahan perilaku. Perilaku adalah manifestasi keadaan mental atau jiwa. Bila kita
menghadapi remaja yang acuh tak acuh atau tidak mau melakukan ajaran agama
tindakan yang merugikan masyarakat maka perhatian tidak cukup hanya ditujukan
kepada perlakuan atau tindakan itu saja tapi yang perlu diperhatikan adalah
penggerak atau pendorong (motivasi) terjadinya perilaku itu.
Suatu tantangan lain adalah bagi remaja yang telah terbiasa dengan penilaian
tertentu terhadap dirinya, maka sekalipun sudah ada perubahan dalam jiwanya artinya
dia sudah dapat menerima ajaran Islam namun untuk merealisasikannya perubahan itu
dalam sikap hidup dan tindakan positif dalam kehidupan sehari-hari masih diperlukan
proses dan dorongan yang lebih kuat baik dari dirinya sendiri maupun lingkungan.
Hal itu disebabkan pada diri remaja ada semacam kekhawatiran akan
ditawarkan atau dikucilkan dari pergaulan dengan teman-teman selama ini. Keadaan
ini berlaku pada remaja karena dalam perkembangannya remaja sangat memerlukan
teman sebaya yang diharapkannya dapat memberikan penghargaan kepadanya. Di
samping itu remaja juga sangat peka dengan penilaian dan kritik yang ditujukan
kepadanya.77
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Berikut ini akan dipaparkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
beberapa diantaranya yaitu:
76
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja…., hlm. 84.
77
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja…., hlm. 84-85.

45
1. Penelitian Merlin Nur Rohmah
Penelitian Merlin Nur Rohmah berjudul Penanaman Nilai-nilai Religius di SD
Alam Baturraden. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengetahui
dan mendeskripsikan penanaman nilai-nilai religius di SD Alam Baturraden.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan dan menggunakan metode
kualitatif untuk mendeskripsikan fakta di lapangan. Metode pengumpulan data yang
digunakan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi, sedangkan metode analisis
datanya terdiri dari penyajian data, reduksi data, danpenarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proses penanaman nilai-nilai religius di
SD Alam Baturraden dilakukan dengan adanya kegiatan secara rutin dan berdampak
positif pada peserta didik. Nilai-nilai religius yang ditanamkan pada peserta didik ada
lima yaitu nilai ibadah, nilai ruhul jihad, nilai akhlak dan kedisiplinan, nilai keteladanan
serta nilai amanah dan ikhlas. Metode yang digunakan yaitu metode keteladanan, metode
pembiasaan, metode nasihat, metode perhatian dan metode hukuman.
Proses pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius ada lima tahapan yang
dilakukan meliputi tahap pengenalan, tahap pemahaman, tahap penerapan, tahap
pengulangan dan tahap pembudayaan. Dalam tahapan ini bukan hanya fasilitator/ guru
saja yang berperan tetapi semua warga sekolah, masyarakat dan juga keluarga.
2. Penelitian Sutrisno
Penelitian Sutrisno berjudul Penanaman Nilai-nilai Religius di Keluarga untuk
Meningkatkan Kemandirian Belajar Siswa di Sekolah MI Al Khoirot dan MI
Cemorokandang kota Malang. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
nilai-nilai religius yang ditanamkan di keluarga pada siswa MI Al Khoirot dan MI
Cemorokandang kota Malang, mengetahui strategi penanaman nilai-nilai religius di
keluarga siswa MI Al Khoirot dan MI Cemorokandang Kota Malang , dan mengetahui
bagaimana implikasi nilai-nilai religius yang ditanamkan di keluarga terhadap
peningkatan kemandirian belajar siswa MI Al Khoirot MI Cemorokandang kota Malang.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis
penelitian studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam,
observasi dan dokumentasi. Adapun informan dalam penelitian ini adalah tujuh keluarga

46
dan enam guru. Untuk mendapatkan data yang relevan terhadap data yang terkumpul,
maka peneliti menggunakan teknik Triangulasi.
Secara ringkas hasil penelitian ini adalah bahwa peranan keluarga terutama orang
tua dalam menanamkan nilai-nilai religius merupakan bagian terpenting pada kehidupan
anak, maka dari itu orang tua dituntut untuk selalu mengawasi, menasehati, menjadi
contoh tauladan yang baik bagi anaknya dan tidak segan menghukum dengan bijak
apabila anak telah melampaui batas-batas norma agama. Hal ini bertujuan agar sikap
religius yang ditunjukan anak dalam masyarakat dapat terlaksana sesuai dengan harapan
para orang tua.
Agar nilai-nilai religius itu dapat terus terlestarikan maka orang tua harus harus
berusaha menerapkan nilai-nilai religius tersebut di aktifitas keseharian anak, baik melaui
mengikutkan anak-anak pada kegiatan keagamaan di kampung maupun kegitan sosial
seperti kerja bakti. Sementara tugas guru disekolah, untuk melestarikan nilai-nilai religius
tersebut bisa dengan program-program keagamaan seperti; sholat dhuha dan dhuhur
berjamaah, berdoa bersama, dan lain-lain. Dengan anakanak terbiasa hidup dengan nilai-
nilai religius di kehariannya, maka implikasi terhadap anak-anak tersebut akan
termotivasi belajarnya sehingga kemandirian belajarnya akan muncul.
3. Penelitian Rian Padli
Penelitian Rian Padli berjudul Peran Bimbingan Orang Tua dalam Meningkatkan
Kesadaran Beragama Remaja di Desa Tulak Tallu Kecamatan Sabbang Kabupaten Luwu
Utara. Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang berbentuk deskriptif kualitatif
memahami fenomena dan menganalisa data secara mendalam tidak berdasarkan angka,
atau bersifat deskriptif yaitu penggambaran, metode kualitatif yaitu diukur dengan cara
observasi, wawancara dan dokumentasi yang dihasilkan dari data lisan dan tertulis.
Hasil penelitian pada penelitian ini menunjukan bahwa Orang tua berperan
penting dalam meningkatkan kesadaran beragama pada anak, sebab madrasah pertama
seorang anak diterima dari kedua orang tuanya. Selain itu, kesadaran beragama bagi
remaja harus ditingkatkan karena rasa keagamaan, pengamalan ketuhanan, keimanan,
sikap dan tingkah laku keagamaan yang terorganisasi dalam sikap mental kepribadian,
maka pentingnya meningkatkan kesadaran beragama remaja karena melihat kondisi
remaja sekarang yang banyak melakukan kenakalan remaja seperti meminum-minuman

47
keras, narkoba, pergaulan bebas itu semua karena akidah, akhlak yang tidak diterapkan
sedini mungkin.
Kemudian, faktor yang paling utama yaitu faktor keluarga apabila seseorang
terlahir dari keluarga yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang keagamaan, maka
melahirkan generasi remaja yang mempunyai kesadaran tentang pentingnya
keberagamaan. Serta faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi karakter seseorang atau
kepribadian lingkungan baik atau tidak, dalam artian lingkungan yang masih menjunjung
tinggi norma-norma keagamaan.
Implikasi dari penelitian ini diharapkan kepada orang tua agar memberikan
pengajaran atau arahan kepada anak/remaja, untuk mengikuti kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti mengajak kepada kegiatan yang memberikan mereka kesadaran dalam
bertindak maupun dalam hal akidah, akhlak yang baik.
Dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas, tentu saja terdapat perbedaan
penelitian dengan yang peneliti teliti. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang
penulis lakukan yaitu berbeda pada variabel bebas dan variabel terikat pada setiap penelitian
yang dilakukan sebelumnya. Selain itu perbedaan juga ada pada hasil penelitian, yang mana
memiliki fokus masalah dan rumusan masalah yang berbeda.

48
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Batahan, khususnya desa Kuala Batahan Kecamatan
Batahan Kabupaten Mandailing Natal. Peneliti memilih untuk melakukan penelitian ditempat
tersebut karena peneliti ingin mengetahui bagaimana penanaman nilai-nilai religius dalam
keluarga untuk meningkatkan kesadaran beragama Remaja di desa tersebut. Lokasi tersebut
juga dipilih karena memiliki semua aspek pendukung agar penelitian dapat berjalan dengan
baik. Sedangkan waktu yang digunakan peneliti untuk penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Desember 2022 sampai dengan bulan Januari 2023.
B. Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) yaitu
penelitian mendalam mencakup keseluruhan yang terjadi di lapangan, dengan tujuan untuk
mempelajari secara mendalam tentang latar belakang keadaan sekarang. 78
Pada penelitian ini digunakan jenis penelitan kualitatif dengan metode studi kasus.
Penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 79 Penelitian kualitatif berhubungan dengan

78
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grafindo Persada, 2011), hlm. 19.
79
Wina Sanjaya, Penelitian Pendidikan Jenis, Metode Dan Prosedur (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013),
hlm. 73.

49
ide, persepsi, pendapat, atau kepercayaan orang yang diteliti, kesemuanya tidak dapat diukur
dengan angka. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai
suatu hal menurut pandangan yang diteliti.80
Oleh karena itu, pendekatan kualitatif ini dipilih oleh penulis beradasarkan tujuan
penelitian yang ingin mendapatkan gambaran proses penanaman nilai-nilai religius dalam
keluarga untuk meningkatkan kesadaran beragama pada remaja di Desa Batahan.
Dimana untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, penulis mendapatkan data-data
yang diperlukan melalui temuan data dilapangan dengan mencari data-data yang ada yaitu
penulis mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang penulis bahas. Selain
itu, peneliti melakukan penelitian dengan menguraikan fakta-fakta yang terjadi secara
alamiah melalui pendekatan lapangan, dimana usaha pengumpulan data dan informasi secara
intensif disertai analisa atas semua yang data telah dikumpulkan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dimana peneliti
berusaha untuk mengetahui bagaimana penanaman nilai-nilai religius dalam keluarga untuk
meningkatkan kesadaran beragama pada remaja di Desa Batahan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Arikunto, bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang ada dilapangan atau lokasi penelitian. 81
C. Unit Analisis
Unit analisis adalah seluruh hal yang kita teliti untuk mendapatkan penjelasan ringkas
mengenai keseluruhan unit dan untuk menjelaskan berbagai perbedaan diantara unit analisis
tersebut. Penting bagi peneliti untuk menentukan unit analisisnya secara jelas dan tegas.
Ketidakjelasan unit analisis akan mengakibatkan peneliti tidak dapat menentukan siapa atau
apa yang akan diamatinya.
Berdasarkan pengertian unit analis di atas dapat disimpulkan bahwa unit analisis
dalam penelitian ini adalah bagaimana penanaman nilai-nilai religius di dalam keluarga, agar
nantinya penanaman nilai religius dalam keluarga tersebut dapat meningkatkan kesadaran
beragama remaja di desa Batahan.
D. Sumber data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Pada
tahap ini peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai sumber data yang ada
80
Rulam Ahmadi, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 69.
81
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Renika Cipta,2016), hlm. 42.

50
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini terdapat data utama (primer)
dan data pendukung (skunder). Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti dari sumber pertanyaan. Data skunder adalah data yang sudah tersusun dan sudah
dijadikan dalam bentuk dokumen – dokumen.82
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat atau dikumpulkan oleh peneliti dengan
cara langsung dari sumbernya. Data primer biasanya disebut dengan data asli atau data
baru yang mempunyai sifat up to date. Untuk memperoleh data primer, peneliti wajib
mengumpulkannya secara langsung. Cara yang bisa digunakan peneliti untuk mencari
data primer yaitu observasi, diskusi terfokus, wawancara, serta penyebaran quisioner.83
Sumber atau informan penelitian dapat diartikan sebagai orang yang memberikan
informasi kepada peliti guna mendapatkan informasi berkenaan dengan penelitian yang
dilakukan, maka informan dapat dikatakan sama dengan responden. Disini penentuan
orang yang menjadi sumber data dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan
pertimbangan dan tujuan tertentu.
Dalam hal ini yang menjadi subjek dan informan dalam penelitian ini yaitu orang
tua yang berjumlah 12 orang yang memiliki anak remaja untuk mengetahui bagaimana
penanaman nilai-nilai religius dalam keluarga untuk meningkatkan kesadaran beragama
remaja di Desa Batahan Kecamatan Batahan.
2. Data Skunder
Data Sekunder adalah data pendukung dari data primer atau sumber-sumber lain.
Data sekunder yaitu data-data dari hasil karya orang lain sebagai data pendukung dalam
penelitian ini, yang didapatkan dari beberapa sumber bacaan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk mendapatkan data. Tanpa mengetahui
teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi
standar data yang diterapkan. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, peneliti
menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi.

82
Suryosubroto,Manajemen Pendidikan Sekolah (Jakarta :PN Rineka Cipta,2003),hlm. 39.
83
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Citra, 2006), hal.
130.

51
1. Observasi
Observasi adalah suatu teknik dengan menggunakan cara mengadakan pengamatan
terhadap suatu objek penelitian untuk mengetahui kondisi secara langsung dilapangan.
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja
berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui
observasi.84
Observasi ini dilakukan agar peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak
akan terungkap oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin
ditutupi karena dapat merugikan responden.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya dengan si penjawab dengan
menggunakan interview guide (panduan wawancara). Menurut Moleong wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu.85
Wawancara juga merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. 86
Peneliti menggunakan metode wawancara karena dengan metode ini penulis dapat
menggali informasi secara mendalam dari informan.
Dalam hal ini yang menjadi subjek dan informan dalam penelitian ini yaitu orang
tua yang berjumlah 12 orang yang memiliki anak remaja untuk mengetahui bagaimana
penanaman nilai-nilai religius dalam keluarga untuk meningkatkan kesadaran beragama
remaja di Desa Batahan Kecamatan Batahan.
3. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dimana peneliti mencari data tentang
hal-hal atau variebel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, agenda dan lain sebagainya. Dokumentasi ini sebagai pelengkap atas hasil
observasi dan wawancara. Bentuk dari dokumen ini beraneka ragam, seperti tulisan,
gambar ataupun sebuah karya monumental.
F. Teknik Analisis Data
84
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.
226.
85
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 3.
86
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 137.

52
Analisis Data adalah rangkaian kegiatan pengelompokan, sistematis, penafsiran, dan
verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis, alamiah. Peneliti
mengunakan analisis data kualitatif, analisis data kualitatif adalah suatu proses analisis yang
terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan87, yaitu:
1. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada
penyerdehanaan, transformasi dasar “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan. Setelah mendapatkan data-data di lapangan dengan cara observasi dan
wawancara peneliti harus memproses data dengan cara meilih data-data yang dianggap
penting untuk masuk kedalam laporan begitu juga dengan kata-kata dokumentasinya,
harus jelas dan sesuai dengan data yang disajikan.
2. Penyajian data
Penyajian data merupakan proses penusunan informasi secara sistematis dalam
rangka memperoleh kesimpulan sebagai temuan penelitian dan pengambilan tindakan.
Tahap penyajian data dalam penelitian ini meliputi:
a. Menyajikan hasil observasi.
b. Menyajikan hasil wawancara.
Dari hasil penyajian data yang dilakukan analisis kemudian disimpulkan berupa
data temuan, sehingga mampu menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
3. Penarikan kesimpulan
Pada saat kegiatan analisis data yang berlangsung secara terus menerus, baik yang
berlangsung di lapangan maupun setelah selesai di lapangan. Untuk mengarah pada hasil
kesimpulan ini tentunya harus berdasarkan hasil analisis data yang berasal dari observasi,
wawancara maupun dokumentasi sehingga nantinya dapat ditarik kesimpulan terkait
dengan permasalahan yang peneliti teliti.
G. Teknik Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan suatu data memerlukan teknik pemeriksaan. Ada empat kriteria yang
digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferbility), ketergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability).88 Dalam penelitian ini, untuk pengecekan
keabsahan data peneliti menggunakan kriteria derajat kepercayaan (kredibilitas).
87
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kuaitatif (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 241.
88
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian…., hlm, 324.

53
Adapun teknik pemeriksaan data dalam kriteria derajat kepercayaan ini sebagai
berikut:
1. Perpanjangan keikut-sertaan.
2. Ketekunan pengamatan.
3. Triangulasi.
4. Pengecekan sejawat.
5. Kecukupan referensial.
6. Kajian kasus negatif.
7. Pengecekan anggota89
Teknik yang dipakai untuk menguji keabsahan temuan tersebut yaitu teknik
triangulasi. Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan data dengan cara membandingkan
data informasi yang diperoleh dari beberapa sumber sehingga diperoleh data yang absah.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu.90 Data tersebut bisa dipengaruhi oleh kredibilitas informannya, waktu pengungkapan,
kondisi yang dialami dan sebagainya. Maka peneliti perlu melakukan triangulasi yaitu
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu. Sehingga ada
triangulasi dari sumber/ informan, triangulasi dari teknik pengumpulan data, dan triangulasi
waktu.91
Adapun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber. Adapun
langkah-langkah dalam menganalisa triangulasi melalui sumber dapat dicapai dengan jalan:
1. Membandingkan data hasil observasi terstruktur dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang depan umum dengan apa yang dikatakannya
secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang stiuasi penelitian dengan apa
yang dikatakanya sepanjang waktu.
4. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen berkaitan.92

89
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian…., hlm, 327.
90
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian…., hlm, 330.
91
Djam’an Satori & Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 169.
92
Djam’an Satori & Aan Komariah, Metodologi Penelitian…., hlm. 170.

54
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Psikologi Agama, Bandung: Sinar Baru Algensindo,2005.


Abdul Rahman, Pembangunan Agama dan Watak Bangsah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
Abdullah Nashih Ulwah, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Khatulistiwa Press, 2013.
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2015.
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2007.
Achmad Gholib, Studi Islam (Pengantar Memahami Agama AlQur’an, Al-hadis, Dan Sejarah
Peradaban Islam), Jakarta: Faza Media, 2006.
Ade Wulandari, Karakteristik Pertumbuhan Perkermbangan Remaja dan Implikasinya Terhadap
Masalah Kesehatan dan Keperawatannya, dalam Jurnal Keperawatan Anak, Vol. 2, No.
1, Mei 2014.
Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Aksara Baru, 2014.
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta: PT.Rineka, 2007.
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012.
Alisuf Sabir,Pisikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,2005.
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kuaitatif, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Asmaun Sahlan, Religiusitas Perguruan Tinggi: Potret Pengembangan Tradisi Keagamaan di
Perguruan Tinggi Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Grafindo Persada, 2011.
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2000.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini, Jakarta: Kencana Prenada media Group,
2012.
Djam’an Satori & Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2013.

55
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Jakarta : Erlangga, 2003.
Hasbullo, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2013.
Hasyim Hasanah,” Peran Strategis Aktivis Perempuan Nurul Jannah Al Firdaus dalam
Membentuk Kesadaran Beragama Perempuan Miskin Kota”, Semarang: Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Vol. 7, No. 2, Desember 2013.
Helmawati, Pendidikan Keluarga Teoritis dan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Hendi dan Rahmadani Wahyu Suhendi, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka
Setia, 2000.
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teori dan Pemikiran Tokoh, Jakarta: PT Remaja
Rodaskarya, 2014.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Khoirul Bariyyah Hidayati dan M. Farid, “Konsep Diri, Adversity Quotient dan Penyesuaian
Diri pada Remaja”, Surabaya: Universitas 17 Agustua 1945, Vol. 5, No. 2, Mei 2016.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
M. Faturrohman, Budaya Religius dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Yogyakarta: Kalimedia,
2015.
M. Nisfiannoor & Eka Yulianti, Perbandingan Perilaku Agresif antara Remaja yang Berasal
dari Keluarga Bercerai dengan Keluarga Utuh, Dalam Jurnal Psikologi, Vol. 3 No. 1,
Juni 2005.
Mahmud, Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga, Jakarta : Akademia Permata 2013.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2019.
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Miftahul Jannad, Remaja dan Tugas-tugas Perkembangannya dalam Islam, dalam Jurnal
Psikoislamedia, Vol. 1, No. 1, April 2016.
Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri,
Jakarta: Rineka Cipta, 2018.
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2014.
Muhammad Zaairul Haq dan Sekar Dina Fatimah, Cara Jitu Mendidik Anak Agar Saleh dan
Salehah, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015.
Mumammad Alim, Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosdyakarya, 2011.

56
Nana Sutarna, Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar, Yogyakarta: Pustaka Diniyah, 2018.
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010.
Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia,2009.
Rulam Ahmadi, Metodologi Penelitian Kualitatif , Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2016.
Sahadir Nasution, Perkembangan Remaja (Suatu Tinjauan Psikologis), dalam Jurnal Darul ‘Ilmi,
Vol. 2, No. 1, Januari 2014.
Samsul Munir Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami, Jakarta: Amzah, 2017.
Sjakarwi, Pembentukan Kepribadian Anak Peran Moral Intelektual, Emosioanl, dan Sosial
Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Satu Pengantar, Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada, 2013.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D, Bandung: Alfabeta, 2012.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Renika Cipta,2016.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Citra,
2006.
Suryosubroto,Manajemen Pendidikan Sekolah, Jakarta :PN Rineka Cipta,2003.
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga, Jakarta:
Rineka Cipta: 2014.
Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004.
Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2012.
Wina Sanjaya, Penelitian Pendidikan Jenis, Metode Dan Prosedur, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2013.
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, Jakarta : Prenadamedia, 2011.
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 2015.

57

Anda mungkin juga menyukai