Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan mencangkup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan

merupakan hasil kreatifitas manusia yang sangat komplek. Di dalamnya berisi

struktur-struktur yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang

berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan. Artinya kebudayaan merupakan

satu kesatuan dari rangkaian wujud dan unsur yang saling berkaitan satu sama

lain (Tri Widiarto, 2009: 10).

Koentjaraningrat, (1974: 19) mendefinisikan kebudayaan sebuah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata

belajar memberi pengertian bahwa tidak sedikit tindakan kehidupan manusia di

tengah-tengah masyarakat yang tidak dilakukan dengan belajar. Memang

“kebudayaan” dan “tindakan kebudayaan” adalah segala perbuatan yang harus

dilakukan oleh manusia dengan belajar.

Pengertian kebudayaan itu sendiri secara etimologi berasal dari bahasa

sansekerta: “buddayah”, yaitu bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti

“budi atau akal”, dalam konteks ini “ke-budaya-an” dapat diartikan sebagai

perbuatan atau hal-hal yang berlandaskan/berkaitan dengan akal budi. Ada tokoh

lain berpendapat bahwa kata budaya suatu perkembangan dari kata majemuk

budi-daya yang berarti “daya dari budi”. Oleh karena itu mereka membedakan

1
2

“budaya” dan “kebudayaan”. Maka “budaya” berarti daya dari budi yang berupa:

cipta, karsa, dan rasa itu. Dalam istilah antropologi budaya, kata budaya di sini

merupakan singkatan dari kata kebudayaan sehingga yang benar mestinya ditulis

antropologi kebudayaan. Kata kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut

”culture” berasal dari bahasa Latin: “colere” berarti mengolah atau

mengerjakan tanah dengan kata lain bertani. Jadi culture atau kebudayaan secara

sederhana berarti segala upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan

merubah alam (Koentjaraningrat, 1985: 181-182).

Menurut Koentjaraningrat, (1982: 5) budaya manusia itu mempunyai

paling sedikit 3 (tiga) wujud, yaitu:

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dan ide-ide, gagasan-gagasan,


nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya, wujud ini berada pada
alam pikiran dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan,
karangan-karangan warga masyarakat yang bersangkutan.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat, wujud ini berupa sistem sosial dan masyarakat
yang bersangkutan.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, ia berupa
kebudayaan fisik yang berbentuk nyata yang merupakan hasil karya
masyarkat yang bersangkutan.

Dari ketiga wujud kebudayaan itu jelas bahwa wujud pertama dan wujud

kedua adalah buah dari akal budi manusia, sedangkan wujud yang ketiga adalah

buah dan karya manusia. Selanjutnya Koentjaraningrat menganalisis bahwa isi

sebenarnya dari budaya manusia yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur, yang

disebutnya sebagai unsur-unsur universal dari kebudayaan (Koentjaraningrat,

1982: 2).
3

Unsur-unsur itu yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada

di dunia ini, yaitu:

1) Sistem religi dan upacara keagamaan.

2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan.

3) Sistem pengetahuan.

4) Bahasa.

5) Kesenian.

6) Sistem mata pencaharian penduduk.

7) Sistem teknologi dan peralatan.

Kebudayaan juga memiliki karya yang disebut dengan tradisi, yang di

dalamnya juga mengandung ide gagasan dari sekelompok pendukungnya.

Sebagai ide gagasan, sekarang ini “ungkapan tradisi” sudah banyak yang tidak

dipahami oleh generasi muda penerus cita-cita bangsa. Mereka banyak yang

belum memahami apa yang tersirat dari apa yang tersurat pada ungkapan tradisi

tersebut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 1).

Hubungan masyarakat terhadap lingkungan di sekitarnya dan hubungan

pergaulan dengan individu-individu dapat dilihat dari prosesi-prosesi upacara

tradisi yang diselenggarakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.

Masyarakat tradisional Jawa memandang bahwa upacara-upacara tradisi penting

untuk dilakukan karena mengandung pesan-pesan dan nilai-nilai serta norma-

norma yang harus diturunkan dari leluhur atau nenek moyang kepada generasi

berikutnya. Sekaligus dapat diketahui identitas keluhuran nilai-nilai dan norma-

norma yang terkandung di dalam upacara tradisi agar selalu dilestarikan.


4

Tradisi yang telah menjadi budaya merupakan kegiatan rutin yang

dilakukan oleh sekelompok masyarakat di mana kebudayaan itu tumbuh. Tradisi

dan budaya erat kaitannya dengan ritual yang urutan tindakannya telah

ditentukan dan secara periodik diulang ketika mengadakan upacara yang sama,

ritual tersebut memberikan arti religi dan sosial yang meliputi penggunaan

simbol-simbol budaya. Tradisi budaya bukan sekedar kebiasaan yang dilakukan

seseorang atau sekelompok masyarakat, tetapi tradisi ini dilakukan dengan serius

dan formal yang memerlukan pemahaman mendalam dari masyarakat

pendukungnya (Clifford Geertz, 1992b: 51).

E. B. Tylor mengungkapkan kebudayaan adalah,

keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu


pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat (I Gede A.B. Wiranata, 2002: 95).

Kepercayaan atau agama/religi sebagai salah satu unsur dari kebudayaan

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sistem atau prinsip

kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama

lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian

dengan kepercayaan tersebut.

Kata "agama" berasal dari bahasa sansekerta yang berarti "tradisi".

Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari

bahasa latin “religio” dan berakar pada kata kerja “re-ligare” yang berarti

"mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya

kepada Tuhan.
5

Dalam bahasan pokok antropologi mengenai kepercayaan atau religi

dikatakan bahwa kepercayaan atau religi tidak bisa lepas dari unsur gaib yang

menggerakkan jiwa, karena semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan

religi berdasarkan atas getaran jiwa yang biasanya disebut emosi keagamaan

(religious emotion). Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan

tindakan-tindakan yang bersifat religi dan menjadi tradisi yang membudaya

(Koentjaraningrat, 2015: 294-295).

Dalam kaitan ini harus ditegaskan lagi bahwa aliran fungsionalisme

sebagai prinsip memberikan sorotan tersendiri serta tekanan khusus atas apa

yang dilihat dari agama. Agama dipandang sebagai suatu bentuk yang lain, yang

mengemban tugas (fungsi), agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam

lingkup lokal, regional, nasional maupun internasional. Maka dalam tinjauannya

yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat,

sehingga eksistensi dan fungsi agama dalam masyarakat akan keadilan,

kedamaian, kesejahteraan, jasmani dan rohani dapat terwujud.

Menurut William James, agama dipandang dari segi keadaan manusianya

adalah gejala yang begitu sering “terdapat di mana-mana”. Agama berkaitan

dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari

keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri

untuk memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya dan

lingkungannya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting

dalam suatu religi. Bersama dengan unsur-unsur lain yaitu:


6

1. Sistem keyakinan.

2. Sistem ritual upacara keagamaan.

3. Suatu umat yang menganut religi itu.

Adapun sistem kepercayaan, gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng

suci tentang riwayat dewa-dewi (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu

himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.

Setiap kepercayaan memiliki ritual yang menjadi tradisi dan secara turun-

temurun dijaga kelestariannya oleh masyarakat pendukungnya, yang

kesemuannya itu memiliki berbagai tujuan baik. Ritual adalah rangkaian prosesi

upacara adat yang berisi tentang berbagai bentuk simbolis yang

mengekspresikan emosi dan cita-cita masyarakat, misalnya sebagai rasa syukur

atau terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa telah dianugrahi panen yang

melimpah, memperingati hari-hari besar, bulan, bahkan tahun yang dianggap

penting dalam agama maupun negara, dan dilakukanlah suatu prosesi tradisi

tersebut dengan berbagai sarana prasarana pendukung upacara yang sebelumnya

telah dirancang sedemikian rupa oleh masyarakat pendukungnya. Baik dalam

ritual selamatan yang bersifat religi atau ritual yang bersifat sosial kebudayaan,

masyarakat beranggapan jika mereka melakukan ritual itu akan selalu

mendapatkan keberuntungan atau berkah. Diantara sekian banyak tradisi yang

ada di Jawa, tradisi memperingati datangnya tahun baru Islam Hijriah (bulan

Muharram) yang disebut bulan Sura dalam masyarakat Jawa, memiliki makna

khusus, mereka menyambutnya dengan berbagai kegiatan religi yang dibalut

dengan suatu kebudayaan setempat sehingga menciri khaskan daerah tersebut.


7

Kegiatan itu seperti, pagelaran wayang kulit semalam suntuk, tirakatan,

memandikan pusaka-pusaka (jamasan) seperti keris atau tombak, dan lain

sebagainya. Begitu juga tradisi yang selalu diadakan setiap tahunnya ketika

bertepatan dengan datangnya tahun baru Islam (Hijriyah) dan bulan Muharram

(bulan Sura dalam penanggalan kalender Jawa), yaitu tradisi Suran sendang

Sidukun di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung yang

berlangsung pada hari Sabtu Wage (pasaran Jawa) tanggal 1 (satu) Oktober

2016. Hal ini merupakan suatu bentuk perpaduan antara kebudayaan Islam dan

kebudayaan Jawa yang menghasilkan tradisi baru dengan corak 2 (dua) budaya

yang tentunya tidak lepas dari tradisi sosial budaya masyarakat Jawa salah

satunya yaitu gotong-royong.

Gotong-royong dalam masyarakat Jawa merupakan bentuk kerja sama

yang asasnya timbal balik, bersifat spontan “tanpa pamrih”, dan untuk

memenuhi kewajiban masyarakat. Gotong-royong berlaku diberbagai aspek

kehidupan masyarakat tidak terkecuali dibidang religi atau kepercayaan yang di

dalamnya mengandung nilai-nilai budaya non-material, tetapi berhubungan

dengan kekuatan-kekuatan gaib di luar jangkauan rasio masyarakat desa.

Sesungguhnya obyek kegiatan itu sendiri bersifat fisik yang bisa dilihat, diamati

oleh para peserta kegiatan. Seperti penulis disamping melihat, mengamati juga

berperan sebagai panitia yang ikut berpartisipasi demi kelancaran acara upacara

tradisional Suran sendang Sidukun ini.

Sagimun M. D. Mengemukakan bahwa,

dewasa ini, terutama di daerah perkotaan, gotong-royong baik dalam hal


religi maupun sosial kemasyarakatan dinilai sudah tidak perlu dan dianggap
8

tidak efektif karena orang kota sekarang menganggap lebih baik swadaya
dalam bentuk uang dari pada jasa dalam mengerjakan sesuatu hal dalam
lingkungan sosialnya sebab dengan cara ini dinilai lebih efektif dan efisien
pengerjaannya dalam hal tenaga dan hasil kerja serta lebih hemat waktu
pengerjaannya.

Seperti kutipan dari informan yang diteliti oleh Sagimun M. D. Dalam bukunya

Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Desa Daerah Jawa Tengah (1982:

122), berikut ini:

“.... Ia mengatakan Gotong-royong, tolong-menolong bidang religi


mengenai upacara-upacara adat banyak yang sudah hilang dan mengalami
perubahan-perubahan. Faktor utama dari merosotnya sistem gotong-royong
ini adalah dari aspek ekonomi dan perubahan topologi lingkungan dari desa
ke kota serta masuknya paham baru tentang aliran-aliran kepercayaan yang
menghindari kegiatan semacam ini, khususnya Islam yang menganggap
tidak ada disyariatnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka muncullah ketertarikan penulis

untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Tradisi Suran Sendang Sidukun

dan Nilai Gotong-Royong Pada Masyarakat Desa Traji Kecamatan Parakan,

Kabupaten Temanggung.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil beberapa rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Mengapa diadakan tradisi peringatan malam satu Sura?

2. Bagaimana prosesi tradisi malam satu Sura di Desa Traji?

3. Apa makna yang terkandung dalam tradisi upacara malam satu Sura?
9

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui latar belakang diadakannya peringatan malam satu Sura.

2. Mengetahui prosesi tradisi malam satu Sura di Desa Traji.

3. Mengetahui makna dan keunikan yang terkandung dalam tradisi upacara

malam satu Sura, serta sebagai media belajar, mengenal, mempererat

kebersamaan, dan melestarikan kebudayaan bagi generasi muda khususnya

pelajar dan masyarakat pada umumnya di era globalisasi ini.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Dapat digunakan sebagai media belajar, mengenal, dan melestarikan

kebudayaan bagi masyarakat luas di era kesejagadan ini.

2. Dapat dijadikan sebagai penelitian awal yang mendasari penelitian yang

lebih luas cakupannya dan lebih mendalam kajiannya, serta memberikan

sumbangan materi bagi dunia akademik sosiologi-antropologi pada

khususnya.

b. Manfaat Praktis

1. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam tentang berbagai hal

mengenai kebudayaan dan tradisi Suran sendang yang berkaitan dengan

nilai gotong-royong dalam masyarakat setempat.

2. Terdokumentasikannya tradisi dan kebudayaan lokal masyarakat

Temanggung.

Anda mungkin juga menyukai