Anda di halaman 1dari 15

MODUL KECERDASAN SPIRITUAL

DAFTAR ISI

1. Konsep Budaya
a. Pengertian Budaya
b. Karakteristik Kebudayaan
c. Komponen Budaya
d. Fungsi Budaya
2. Konsep Spritualitas
a. Pengertian Spritualitas
b. Aspek Spiritualitas
3. Teori Kebutuhan Abraham Maslow
a. Teori kebutuhan Abraham Maslow
b. Serta kebutuhan spiritualitasnya
4. Agama Kepercayaan terhadap Tuhan YME, atheisme serta iman dalam islam
5. Kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ)
6. Kecerdasan spiritual
7. Kecerdasan spiritual dalam perspektif Islam
8. Pengembangan kecerdasan Spiritual

Konsep Budaya
a. Pengertian Budaya
Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu diantaranya
adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (2000:
181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat
mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan
kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang membedakan
antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi
daya, yang berarti daya dari budi. Pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan
singkatan dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan atau
dising kat budaya, menurut Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar.
Lebih lanjut, Taylor dalam Liliweri (2002: 62) mendefinisikan kebudayaan tersusun
oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang disebut adat istiadat yang mencakup
teknologi, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, estetika, rekreasional dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai
anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semua yang didapatkan
atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Hawkins (2012) mengatakan bahwa budaya adalah suatu kompleks yang meliputi
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta kemampuan dan kebiasaan lain
yang dimiliki manusia sebagai bagian
masyarakat.
b. Karakteristik budaya
1. Budaya bukan bawaan, tetapi dipelajari.
2. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok dan dari
generasi ke generasi.
3. Budaya berdasarkan simbol.
4. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang tersu berubah sepanjang waktu.
5. Budaya bersifat selektif, merepresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia
yang jumlahnya terbatas.
6. Berbagai unsur budaya saling berkaitan.
7. Merupakan budaya sendiri yang berada di daerah tersebut dan dipelajari 8. Dapat
disampaikan kepada setiap orang dan setiap kelompok serta diwariskan dari setiap
generasi
8. Bersifat dinamis, artinya suatu sistem yang berubah sepanjang waktu
9. Bersifat selektif, artinya mencerminkan pola perilaku pengalaman manusia secara
terbatas
10. Memiliki unsur budaya yang saling berkaitan
11. Etnosentrik artinya menggangap budaya sendiri sebagai budaya yang terbaik atau
menganggap budaya yang lain sebagai budaya standar

c. Komponen Budaya
Terdapat beberapa pendapat ahli mengenai komponen atau unsur kebudayaan atau budaya
yaitu sebagai berikut:
a) Melville J. Herkovits, menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok yaitu:
1. Alat-alat teknologi
2. sistem ekonomi
3. keluarga
4. kekuasaan politik
b) Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi :
a. sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam yang ada disekelilingnya
b. organisasi ekonomi
c. alat-alat, dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama)
d. organisasi kekuatan (politik)
c) C. Kluckhohn, mengemukakan terdapat 7 unsur budaya atau kebudayaan yang sifatnya
secara universal yaitu :
a. bahasa
b. sistem pengetahuan
c. sistem teknologi, dan peralatan
d. sistem kesenian
e. sistem mata pencaharian hidup
f. sistem religi

d) Menurut Koentjaraningrat, istilah universal menunjukkan bahwa unsur-unsur


kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua
bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsurkebudayaan tersebut
adalah
1. sistem bahasa
2. sistem pengetahuan
3. sistem sosial
4. sistem peralatan hidup dan teknologi
5. sistem mata pencaharian hidup
6. sistem religi
7. kesenian

e) Unsur-Unsur Budaya Secara Umum, Berdasarkan dari beberapa unsur budaya yang
dikemukakan oleh para ahli maka dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur
kebudayaan adalah sebagai berikut :
a. Perilaku-perilaku tertentu
b. Gaya berpakaian
c. Kebiasaan-kebiasaan
d. Adat istiadat

d. Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat.
Berbagai macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya
seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri
tidak selalu baik baginya. Selain itu, manusia dan masyarakat memerlukan juga kepuasaan,
baik di bidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas
unutk sebagai besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu
sendiri. Dikatakan sebagian besar karena kemampuan manusia terbatas, sehingga
kemampuan kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas di dalam
memenuhi segala kebutuhan. Adapun fungsi – fungsi kebudayaan adalah :
1. Mempersatukan masyarakat.
2. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
3. Mendorong terjadinya perubahan masyarakat.
Spiritualitas

a. Pengertian Spiritualitas
Secara terminologis, spiritualitas berasal dari kata “spirit”. Dalam literatur agama dan
spiritualitas, istilah spirit memiliki dua makna substansial, yaitu:
a) Karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-masing saling berkaitan,
serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut yang merupakan dasar
utama dari keyakinan spiritual. “Spirit” merupakan bagian terdalam dari jiwa, dan
sebagai alat komunikasi atau sarana yang memungkinkan manusia untuk
berhubungan dengan Tuhan.
b) “Spirit” mengacu pada konsep bahwa semua “spirit” yang saling berkaitan
merupakan bagian dari sebuah kesatuan (consciousness and intellect) yang
lebih besar.
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin
„Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas.
Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya
memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal
yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau
material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai
makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari
keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (dalam Tamami, 2011:19)
Spiritualitas kehidupan adalah inti keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas
adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan
nasib. (Hasan, 2006:294)
Pada penelitian-penelitian awal, baik spiritualitas maupun agama sering dilihat
sebagai dua istilah yang memiliki makna yang hampir sama. Apa yang dimaksud
dengan spiritualitas dan apa yang dimaksud dengan agama sering dianggap sama
dan kadang membingungkan. Namun kemudian, spiritualitas telah dianggap sebagai
karakter khusus (connotations) dari keyakinan seseorang yang lebih pribadi, tidak
terlalu dogmatis, lebih terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru dan beragam
pengaruh, serta lebih pluralistik dibandingkan dengan keyakinan yang dimaknai atau
didasarkan pada agama-agama formal.
Transendensi spiritual merefleksikan kemampuan individu berdiri tegak dalam
rasa terhadap waktu dan tempat dan memandang hidup dari pandangan lebih
jamak, perspektif yang berbeda.ini merefleksikan sebuah realiasasi bahwa ada
makna lebih dalam dan tujuan hidup yang termasuk dalam sebuah hubungan lebih
abadi atau lama, hubungan dengan yang di atas. (Piedmont, 2009:5) Transendensi
merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi
transendental terhadap kehidupan di atas diri seseorang (Hasan, 2006:289).
Sedangkan, menurut Wigglesworth (dalam Schreurs:2002), spiritualitas
memiliki dua komponen yaitu vertikal dan horizontal
a) Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu,
sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan
untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.
b) Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet secara
keseluruhan.
Ahli lain menyebutkan definisi lain terkait spiritualitas, yakni spiritualitas
merupakan pencarian terhadap sesuatu yang bermakna (a search of the sacred).
(Synder&Lopez,2005). Spiritualitas merupakan terjemahan dari kata ruhaniyah.
Ruhaniyah itu sendiri secara kebahasaan berasal dari kata ruh. Al Qur‟an
menginformasikan bahwa ruh manusia ditiupkan langsung oleh Allah setelah fisik
terbentuk dalam rahim. (Aman, 2013:22).
. Menurut perspektif Piedmont (1999:988), sebagai manusia erat menyadari
kefanaan diri sendiri. Secara eksplisit, Piedmont memandang spiritualitas sebagai
rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional umum
yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu.
(Piedmont, 2001:7). Lebih jauh, Piedmont mendefinisikan spiritualitas sebagai usaha
individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi dalam
konteks kehidupan setelah mati (eschatological). Hal ini berarti bahwa sebagai
manusia, kita sepenuhnya sadar akan kematian (mortality). Dengan demikian, kita
akan mencoba sekuat tenaga untuk membangun beberapa pemahaman akan tujuan
dan pemaknaan akan hidup yang sedang kita jalani. (Piedmont, 2001:5). Piedmont
(2001) melihat spiritualitas sebagai sifat motivasi, adanya kekuatan afektif
nonspesifik yang mendorong, mengarahkan, dan memilih perilaku.
Transendensi spiritual merefleksikan kemampuan individu berdiri tegak dalam
rasa terhadap waktu dan tempat dan memandang hidup dari pandangan lebih
jamak, perspektif yang berbeda.ini merefleksikan sebuah realiasasi bahwa ada
makna lebih dalam dan tujuan hidup yang termasuk dalam sebuah hubungan lebih
abadi atau lama, hubungan dengan yang di atas. (Piedmont, 2009:5

b. Aspek Spiritualitas
Piedmont (2001:7) mengembangkan sebuah konsep spiritualitas yang
disebutnya Spiritual Transendence. Yaitu kemampuan individu untuk berada di luar
pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan dari
perspektif yang lebih luas dan objektif. Perspektif transendensi tersebut merupakan
suatu perspektif dimana seseorang melihat satu kesatuan fundamental yang
mendasari beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep ini terdiri atas tiga
aspek, yaitu:
a) Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira dan
bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transeden.
sebuah pengalaman perasaan berbahagia dan bersukacita serta keterlibatan diri
yang dialami prayer. Prayer memiliki rasa kekuatan pribadi. Prayer mengambil
manfaat atas ibadah yang dilakukan.
b) Universality (universalitas), yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan kehidupan
alam semesta (nature of life) dengan dirinya. Atau dengan kata lain suatu
keyakinan terhadap kesatuan dan tujuan hidup, sebuah perasaan bahwa
kehidupan saling berhubungan dan hasrat berbagi tanggungjawab pada
makhluk ciptaan lainnya
c) Connectedness (keterkaitan), yaitu suatu hasrat tanggungjawab pribadi terhadap
yang lain yang meliputi hubungan vertikal, komitmen antar generasi, dan
hubungan horizontal serta komitmen terhadap kelompoknya.

Aspek di atas senada dengan Elkins, dkk (dalam Adami, 2006:33) menjelaskan
spiritualitas sebagai bentuk multidimensi yang dibangun dari sembilan aspek utama,
yaitu:
1) Dimensi transendental (transcendent dimension), yakni meyakini secara lebih
dalam dari apa yang dilihat dan dirasakan. Hal ini mungkin atau mungkin juga
tidak terkait kepercayaan kepada Tuhan, serta meyakini bahwa keinginan diri
sendiri ditentukan melalui hubungan harmonis dengan dimensi ini.
2) Makna dan tujuan dalam hidup (meaning and purpose in life), yakni setiap orang
memiliki tujuan hidup yang muncul dari sebuah proses pencarian makna secara
terus menerus.
3) Misi dalam hidup (mission of life), yakni memiliki rasa tanggungjawab terhadap
hidup dengan memahami bahwa eksistensi dirinya terdiri dari beragam
kewajiban yang harus dijalani.
4) Kesucian dalam hidup (sacredness of life), yakni meyakini bahwa semua
kehidupan dan semua hal di dalamnya adalah suci.
5) Nilai-nilai kebendaan (material values), yakni menyadari bahwa kepuasan dan
kebahagiaan tertinggi berasal dari nilai-nilai spiritual, bukan berasal dari hal-hal
yang bersifat kebendaan.
6) Altruism (altruism) yakni meyakini keadilan sosial, dan menyadari bahwa tidak
ada seorang pun yang dapat hidup tanpa adanya interaksi sosial dengan orang
lain.
7) Idealisme (idealism), yaitu menghormati potensi-potensi positif dalam semua
aspek kehidupan seseorang.
8) Kesadaran akan kemampuan tinggi untuk berempati (awareness of high
emphatic capacity), yakni kesadaran yang mendalam untuk mengambil makna
dari rasa sakit, penderitaan, serta kematian, bahwa hidup itu bernilai.
9) Manfaat spiritualitas (fruits of spirituality), yakni nilai-nilai spiritualitas bisa
diwujudkan dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan alam.

Menurut Holt, dkk (dalam Adami, 2006:31), sedikitnya ada dua bentuk dimensi dari
spiritualitas, yaitu:
a. Dimensi keimanan (the beliefs dimension) yang melibatkan keyakinan spiritual
dari aktifitas yang tak kasat mata. Misalnya, merasakan hubungan yang dekat
dengan Tuhan
b. Dimensi perilaku atau amal (the behavioral dimension) yang dicirikan dengan
aktifitas-aktifitas spiritual yang bisa diamati serta melibatkan materi-materi
religius atau menghadiri peribadatan agama

Dyson dalam Young (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan dengan
spiritualitas, yaitu:
a. Diri sendiri Jiwa
seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi
atau penyelidikan spiritualitas.
b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri.
Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah
lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawi.
c. Tuhan
Pemahaman tentang tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa ini
telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami
sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat Tuhan
mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna yang
berbeda bagi satu orang dengan oranglain.

Spiritualitas dalam Perspektif Islam


Dalam terminologi Islam, konsep spiritualitas berhubungan langsung dengan Al
Qur‟an dan Sunnah Nabi. Nasr (1994) menyatakan bahwa ayat-ayat Al Qur‟an dan
perilaku Nabi Muhammad mengandung praktik-praktik serta makna-makna spiritual.
Al Qur‟an maupun Sunnah Nabi mengajarkan beragam cara untuk meraih
kehidupan spiritual yang tertinggi.
Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan ini adalah
dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya yang dimiliki
oleh sumbernya, yaitu Allah. Dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal
dalam diri manusia yang akan mewujud secara actual sebagai khalifah Allah.
(Baharuddin, 2004:136)
Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna yang dciptakan untuk menjadi
khalifah Allah di muka bumi dengan tujuan semata-mata beribadah kepada-Nya.
Allah berfirman
“Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin :
4)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS.Al Baqarah:30)

Kedua ayat di atas menggambarkan komponen atau aspek spiritualitas


Piedmont pengalaman ibadah (prayer fulfillment) sebagai bentuk keintiman antara
hamba dan Tuhannya (hubungan transenden), connectedness (keyakinan antara
keterakitan diri sendiri dengan generasi lain lintas waktu) dan universality yang mana
manusia merupakan satu kesatuan dengan alam di sekitarnya.
Pemikiran Piedmont juga termaktub dalam ayat lain yang menandakan
kedekatan Allah SWT dengan hamba-hamba-Nya, yaitu

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,


maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan
beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS: Al-Baqarah:186)

Spiritualitas manusia di dalam Islam disebutkan banyak dalam Al Qur‟an seperti di


atas yang kemudian diperkuat oleh firman Allah SWT sebagai berikut:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku.” (QS. AdzZaariyat:56)

Menurut Rasulullah SAW, setiap muslim hendaklah selalu menjalin hubungan


yang intim dengan tuhannya setiap saat. Sebab, bagi muslim, setiap gerak anggota
badan, panca indera dan bahkan hati, adalah rangkaian pemenuhan kewajiban
ibadah kepada-Nya. (Tamami, 2011:25

Dalam konsep Piedmont yang lebih mengarahkan pada kesadaran makna


hidup dan kehidupan setelah mati selaras dengan firman Allah SWT tentang
kembalinya makhluk hidup pada-Nya melalui proses kematian, yaitu
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah SWT, dan sesungguhnya kami kepada-Nya
akan kembali.” (QS.AlBaqarah:156)

Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali sang
Pemilik Kekuatan Tak Terbatas yakni Allah SWT. Manusia diajarkan untuk terus
berkesadaran bahwa ada kehidupan lain setelah kematian. Dan, sebagai manusia
seharusnya terus meningkatkan spiritualitas selama hidup agar memenuhi ketiga
aspek spiritualitas menurut konsep Piedmont.

Agama, kepercayaan dan atheisme

Menurut Nico Syukur (dalam Tamami, 2013:20-21), apakah ada perbedaan


antara spiritual dan religius, spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran
individu tentang asal, tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak dari
kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek
prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh
institusi tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh
institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian
iman , komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban
siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) , sedangkan agama
memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan).
Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu, namun memiliki spiritualitas. Orang–
orang dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan
atau tingkat spiritualitas yang sama.
Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu “a”
yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau
(teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang
mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi
pekerti dan pergaulan hidup bersama.
Cliffort Geertz mengistilahkan agama sebagai (1) sebuah system simbol-simbol
yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat,
yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan
konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus
konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati
dan motivasi-motivasi itu tampak realistis.
Sebagai apa yang dipercayai, agama memiliki peranan penting dalamhidup
dan kehidupan manusia baik secara pribadi maupun secara kelompok. Secara
umum agama berfungsi sebagai jalan penuntun penganutnya untuk mencapai
ketenangan hidup dan kebahagian di dunia maupun di kehidupan kelak. Durkheim
menyebut fungsi agama sebagai pemujaan masyarakat; Marx menyebut sebagai
fungsi ideologi; dan Weber menyebut sebagai sumber perubahan sosial.
Menurut Hendro Puspito, fungsi agama bagi manusia meliputi:
a. Fungsi Edukatif
Manusia mempercayakan fungsi edukatif pada agama yang mencakup tugas
mengajar dan membimbing. Keberhasilan pendidikan terletak pada pendayagunaan
nilai-nilai rohani yang merupakan pokok-pokok kepercayaan agama. Nilai yang
diresapkan antara lain: makna dan tujuan hidup, hati nurani, rasa tanggung jawab
dan Tuhan.
b. Fungsi Penyelamatan
Agama dengan segala ajarannya memberikan jaminan kepada manusia
keselamatan di dunia dan akhirat.
c. Fungsi Pengawasan Sosial
Agama ikut bertanggung jawab terhadap norma-norma sosial sehingga agama
menyeleksi kaidah-kaidah sosial yang ada, mengukuhkan yang baik dan menolak
kaidah yang buruk agar selanjutnya ditinggalkan dan dianggap sebagai larangan.
Agama juga memberi sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang
melanggar larangan dan mengadakan pengawasan yang ketat atas
pelaksanaannya.
d. Fungsi Memupuk Persaudaraan
Persamaan keyakinan merupakan salah satu persamaan yang bisa memupuk rasa
persaudaraan yang kuat. Manusia dalam persaudaraan bukan hanya melibatkan
sebagian dari dirinya saja, melainkan seluruh pribadinya juga dilibatkan dalam suatu
keintiman yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercaya bersama.
e. Fungsi Transformatif
Agama mampu melakukan perubahan terhadap bentuk kehidupan masyarakat lama
ke dalam bentuk kehidupan baru. Hal ini dapat berarti pula menggantikan nilai-nilai
lama dengan menanamkan nilai-nilai baru. Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai
adat yang kurang manusiawi. Sebagai contoh kaum Qurais pada jaman Nabi
Muhammad yang memiliki kebiasaan jahiliyah karena kedatangan Islam sebagai
agama yang menanamkan nilai-nilai baru sehingga nilai-nilai lama yang tidak
manusiawi dihilangkan.
Kecerdasan Spiritual

Pada bagian awal abad kedua puluh, IQ pernah menjadi isu besar. Kecerdasan
intelektual atau rasional adalah kecerdasan yang digunakan untk memecahkan
masalah logika maupun strategis. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk
mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat memilah manusia ke dalam berbagai
tingkatan kecerdasan, yang kemudian dikenal dengan istilah IQ, yang katanya dapat
menunjukkan kemampuan mereka. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ semakin
tinggi pula kecerdasannya.
Pada pertengahan 1990-an, daniel goleman mempopuleran penelitian banyak
neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, sama
pentingnya dengan IQ. EQ memberikan kita kesadaran mengenai perasaan milik
sendiri dan juga perasaan milik orang lain. EQ memberi kita rasa empati, cinta,
motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara
tepat. Sebagaimana dinyatakan goleman, EQ merupakan persyaratan dasar untuk
menggunakan IQ secara efektif. Jika bagian-bagian otak untuk merasa telah rusak,
kita tidak dapat berpikir efektif.
Saat ini, pada akhir abad kedua puluh, serangkaian data ilmiah terbaru, yang
sejauh ini belum dibahas, menunjukkan adanya ‘Q” jenis ketiga. Gambaran utuh
kecerdasan manusia dapat dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan
spiritual—disingkatt SQ. SQ disini adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan
untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandigkan orang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan
IQ dan EQ secara efektif. Bahkan, SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.
Kamus webster mendefinisikan ruh (spiritual) sebagai “prinsip yang
menghidupkan atau vital, hal yang memberi kehidupan pada organisme fisik dan
bukan pada unsur materinya, napas kehidupan pada organisme fisik dan bukan
pada unsur materinya. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk spiritual karena
selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar atau
pokok. Mengapa saya dilahirkan? Apakah makna hidup buat saya? Buat apa saya
melanjutkan hidup saat saya lelah, depresi, atau merasa terkalahkan? Apakah yang
dapat membuat semua ini berharga ? kita diarahkan, bahkan ditentukan, oleh
kerinduan yang sangat manusiawi untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang
kita perbuat dan alami. Kita merasakan suatu kerinduan untuk melihat hidup kita
dalam konteks yang lebih lapang dan bermakna, baik dalam keluarga, masyarakat,
dan alam semesta itu sendiri. Kita merasakan kerinduan akan sesuatu yang bisa kita
capai, sesuatu yang membuat kita melampaui diri kita dan keadaan saat ini, sesuatu
yang membuat kita dan perilaku kita bermakna.
SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif , mengubah aturan dan situasi. SQ
memungkinkan kita bermain dengan batasan, memainkan permainan tak terbatas.
SQ memberi kita kemampuan untuk membedakan. SQ memberikan kita rasa moral,
kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan
cinta serta kemampuan serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan
pemahaman sampai pada batasannya. Kita menggunakan SQ untuk bergulat
dengan hal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum
terwujud—untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri kita dari kerendahan.
Perbedaan SQ dan EQ terletak pada daya ubahnya, sebagaimana dijelaskan
oleh Goleman, kecerdasan emosional memungkinkan saya untuk memutuskan
dalam situasi apa saya berada lalu bersikap secara tepat di dalamnya. Ini berarti
bekerja di dalam batasan situasi dan membiarkan situasi tersebut mengarahkan
saya. Akan tetapi , kecerdasan spiritual memungkinkan saya bertanya apakah saya
memang ingin berada pada situasi tersebut. Apakah saya lebih suka mengubah
situasi tersebut, memperbaikinya? Ini berarti bekerja dengan batasan situasi saya,
yang memungkinkan saya untuk mengarahkan situasi tersebut.
SQ mengintegrasikan semua kecerdasan kita, menjadikan kita mahluk yang
benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual.
Tanda-tanda dari SQ
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan
holistik)
8. Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa?” atau bagaimana jika?
Untuk mencari jawaban-jawaban mendasar
9. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai bidang mandiri

Kecerdasan spiritual dalam islam


Tokoh lain yang memberikan definisi kecerdasan spiritual adalah Ary Ginanjar
Agustin. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan dalam diri manusia untuk bisa
merasakan bahwa yang saya lakukan itu karena ibadah dan Allah semata. Seperti
yang tertulis dalam bukunya: “Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang
memberi kan makna terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah
dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan
memiliki pola pikiran tauhidi (integral-realistik)serta bersifat hanya kepada Allah.
Kecerdasan spiritual akan dapat dijadikan landasan untuk mengfungsikan
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional sehingga dapat bekerja secara
efektif. Bahkan menurut Danah Zohar dan Ian Marshall kecerdasan spiritual
merupakan kecerdasan yang tertinggi. Berhubungan dengan nilai-nilai kecerdasan
spiritual, surat al-Muzammil merupakan salah satu dari sekian surat yang
mengandung nilai-nilai kecerdasan spiritual. Dilihat dari sisi kandungan ayatnya,
surat al-Muzammil mempunyai kandungan yang kompleks diantaranya adalah nilai-
nilai spiritual, pesan-pesan praktis dalam usaha pembentukan moral dan mental
manusia secara islami. Secara umum, surat al-Muzammil mencakup beberapa
pokok masalah, antara lain tentang shalat malam, membaca al-Qur’an dengan tartil,
berdzikir kepada Allah Swt, bersabar, berjihad, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan beristighfar kepada Allah Swt.
Sehingga kecerdasan spiritual dalam psikologi islam adalah kecerdasan
manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan
keruhanian, yaitu suatu usaha untuk dapat menyibak tabir misteri manusia,
khususnya dimensi ruhaniah berdasarkan petunjuk islam, sehingga akan
memunculkan kecerdasan spiritual yang berlandaskan dengan nilai-nilai kepada
illahi. Manusia insan kamil adalah manusia yang memiliki kepribadian seimbang dan
sempurna. Hal tersebut terwujud di dalam pribadi Rasulullah Saw yang memiliki
perilaku dan sifat-sifat terpuji seperti Shidiq, Amanah, Tabliq,dan Fathonah. Selain
itu juga tercermin di dalam 5 rukun islam dan 6 rukun iman.
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah pada
setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat
fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid
(integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah.

Menurut Toto Tasmara indikator kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut:


Memiliki Visi; Merasakan kehadiran Allah; Berzikir dan berdoa kepada Allah setiap
saat; Memiliki kualitas sabar; Cenderung kepada kebaikan; Memiliki empati; Berjiwa
besar; Bahagia melayani. Suharsono (dalam Tasmara, 2001) mengatakan
kecerdasan spritual dari sudut pandang keagamaan ialah suatu kecerdasan yang
berbentuk dari upaya menyerap kemahatahuan Allah dengan memanfaatkan diri
sehingga diri yang ada adalah Dia Yang Maha Tahu dan Maha Besar. Spiritual
merupakan pusat lahirnya gagasan, penemuan, motivasi, dan kreativitas yang paling
fantastik.
Sementara Tasmara (2001). Mengatakan kecerdasan ruhaniah adalah
kecerdasan yang paling sejati tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan
Ilahi. Kecerdasan ini dapat menimbulkan kebenaran yang sangat mendalam
terhadap kebenaran, sedangkan kecerdasan lainya lebih bersifat pada kemampuan
untuk mengelola segala hal yang berkaitan dengan bentuk lahiriah (duniawi).

Langkah selanjutnya untuk menjadi seorang yang paripurna atau sempurna melalui ESQ
menurut Ari Ginanjar adalah dengan melakukan 6 asas pembangunan mental. 6 asas ini
merupakan pemaknaan dari 6 rukun iman yang merupakan bagian dari ajaran Islam. 6 asas
pembangunan mental tersebut antara lain:

i. Prinsip Bintang (Iman Kepada Allah)


Asas yang pertama ini merupakan penjabaran dari makna iman kepada Allah dalam rukun
iman. Menurut Ari Ginanjar, prinsip seorang bintang adalah memiliki rasa aman intrinsik,
kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, bersikap bijaksana, dan memiliki motivasi
yang tinggi, semua dilandasi dan dibangun karena iman kepada Allah. Penjelasan ini
merupakan didasarkan kepada prinsip makna iman kepada Allah dengan dihubungkan dengan
realita yang ada sehingga makna iman kepada Allah menjadi hidup dalam kehidupan
manusia.

ii. Prinsip Malaikat (Iman Kepada Malaikat)


Asas yang kedua ini merupakan penjabaran dari makna iman kepada malaikat dalam rukun
iman. Menurut Ari Ginanjar, orang yang berprinsip seperti malaikat akan menghasil orang
yang sebagai berikut yakni seseorang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang
kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap
saling percaya. Dengan demikian, Ari Ginanjar menyatakan bahwa untuk menjadi seorang
seperti malaikat, maka dia harus bisa mempraktekkan kebaikan dan ciri-ciri yang malaikat
punya di dalam kehidupan sehingga orang tersebut akan menjadi manusia yang paripurna.

iii. Prinsip Kepemimpinan (Iman Kepada Rasul Allah)


Asas yang ketiga ini merupakan makna penjabaran dari iman kepada rasul atau utusan Allah
dalam rukun iman. Pemimpin sejati menurut Ari Ginanjar adalah seorang yang selalu
mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga ia dicintai. Memiliki integritas
yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mempelajari
pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Memimpin berdasarkan atas
suara hati yang fitrah. Dengan meneladani sifat-sifat dari rasul, maka akan membuat kita
memiliki prinsip kepemimpinan yang menentramkan masyarakat.

iv. Prinsip Pembelajaran (Iman Kepada Kitab Allah)


Asas yang keempat ini merupakan makna penjabaran dari iman kepada kitab-kitab Allah
dalam rukun iman. Menurut Ari Ginanjar, hasil dari proses pembelajaran antara lain:
• Memiliki kebiasaan membaca buku dan situasi dengan cermat.
• Selalu berpikir kritis dan mendalam.
• Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali.
• Bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan.
• Memiliki pedoman yang kuat dalam belajar yaitu berpegang hanya kepada Allah.
Hasil dari proses pembelajaran di atas merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan
konteks yang harus dilakukan oleh semua orang dalam mempraktekkan iman kepada kitab-
kitab Allah, sehingga kitab-kitab Allah menjadi lebih membumi di dalam kehidupan manusia.

v. Prinsip Visi ke Depan (Iman Kepada Hari Akhir)


Asas yang kelima ini merupakan makna penjabaran dari iman kepada hari akhir (kiamat)
dalam rukun iman. Hasil dari prinsip masa depan menurut Ari Ginanjar yakni selalu
berorientasi kepada tujuan akhir dalam setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah
secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki
kesadaran akan adanya hari kemudian, memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki
ketenangan batiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyakinannya akan adanya hari
pembalasan.
Dengan kesadaran visi akan hari akhir tersebut, akan mendorong manusia terus berbuat dan
berjuang dengan sebaik-baiknya di muka bumi hingga akhir hayat tanpa perlu diri merasa
berhenti.

vi. Prinsip Keteraturan (Iman Kepada Qadha dan Qadar)


Asas yang keenam ini merupakan penjabaran dari iman kepada qadha dan qadar dalam rukun
iman. Menurut Ari Ginanjar, hasil dari prinsip keteraturan akan memiliki kesadaran,
ketenangan dan keyakinan dalam berusaha karena pengetahuan akan kepastian hukum alam
dan hukum sosial, memahami akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu
berorientasi kepada pembentukan sistem dan selalu berupaya menjaga sistem yang telah
dibentuk. Inilah yang akan didapat oleh orang yang menjalankan prinsip keteraturan,
sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna karena sadar bahwa hidup ini sudah ada
keteraturannya dari Allah.

c. 5 Prinsip Ketangguhan
Setelah melakukan 6 asas pembentukan mental, langkah selanjutnya untuk menjadi manusia
yang paripurna menurut ESQ Ari Ginanjar yakni dengan melakukan 5 prinsip ketangguhan. 5
Prinsip Ketangguhan ini merupakan penjabaran makna dari 5 rukun Iman yang ada dalam
ajaran Islam. Ari Ginanjar membagi 5 prinsip ketangguhan ini menjadi dua bagian yakni 3
prinsip ketangguhan pribadi dan 2 prinsip ketangguhan sosial.

a) 3 Prinsip Ketangguhan Pribadi


Menurut Ari Ginanjar, ketengguhan pribadi adalah seseorang yang telah memiliki prinsip 6
asas pembentukan mental. Kemudian untuk menjadi pribadi yang sukses, ditambah dengan 3
langkah sukses yaitu:
i. Prinsip Penetapan Misi (Syahadat)
Prinsip ketangguhan pribadi yang pertama ini merupakan penjabaran makna dari syahadat
dalam rukun Islam. Menurut Ari Ginanjar, penetapan misi melalui syahadat akan
menciptakan suatu dorongan kekuatan untuk mencapai keberhasilan. Hasil dari penetapan
misi ini menurut Ari Ginanjar antara lain bahwa syahadat akan membangun suatu keyakinan
dalam berusaha, syahadat akan menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai suatu
tujuan, syahadat akan membangkitkan suatu keberanian dan optimisme sekaligus
menciptakan ketenangan batiniah dalam menjalankan misi hidup.

ii. Prinsip Pembangunan Karakter (Shalat)


Prinsip pembangunan karakter merupakan makna penjabaran dari rukun Islam yang kedua
yakni shalat. Menurut Ari Ginanjar, shalat sebagai tempat untuk menyeimbangkan dan
menyelaraskan pikiran, dan pelaksanaan shalat juga suatu mekanisme yang bisa menambah
energi baru yang terakumulasi sehingga menjadi suatu kumpulan dorongan dahsyat untuk
segera berkarya dan mengaplikasikan pemikirannya ke dalam alam realita.
Menurut Ari Ginanjar, hasil dari pembangunan karakter: shalat adalah suatu metode relaksasi
untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berpikir fitrah, shalat adalah suatu
langkah untuk membangun kekuatan afirmasi, shalat adalah sebuah metode yang dapat
meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara terus menerus, shalat adalah suatu teknik
pembentukan pengalaman yang membangun suatu paradigma positif, dan shalat adalah suatu
cara untuk terus mengasah dan mempertajam kecerdasan emosi dan spiritual yang diperoleh
dari rukun iman.

iii. Prinsip Pengendalian Diri (Puasa)


Prinsip yang ketiga ini dari ketangguhan pribadi yakni prinsip pengendalian diri merupakan
penjabaran makna dari rukun Islam ketiga yakni shalat. Menurut Ari Ginanjar, puasa adalah
kemampuan menahan dan mengendalikan diri untuk tidak hanya berkeinginan menjadi
seorang pemimpin dengan mengatasnamakan orang lain untuk tujuan pribadi serta
keuntungan tertentu. Akan tetapi menyadari bahwa pemimpin adalah salah satu tugas yang
maha berat untuk membawa umat ke arah kebahagiaan dengan hati nurani.
Ari Ginanjar mengungkapkan, bahwa hasil pengendalian diri: puasa adalah suatu
metodepelatian untuk pengendalian diri, puasa bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati
dan pembebasan belenggu nafsu yang tisak terkendali, puasa yang baik akan memelihara aset
kita yang paling berharga yakni fitrah diri, tujuan puasa lainnya untuk mengendalikan
suasana hati, juga pelatihan untuk mengendalikan suasana hati, juga pelatihan untuk menjaga
prinsip-prinsip yang telah dianut berdasarkan rukun iman.

b) 2 Prinsip Ketangguhan Sosial


Setelah Ari Ginanjar membahas 3 prinsip ketangguhan pribadi, dia menjelaskan bahwa untuk
menjadi manusia sempurna secara kecerdasan emosi dan spiritual juga membutuhkan kepada
sosial. Oleh karena itu, untuk melengkapi ketangguhan diri perlu adanya ketangguhan sosial.
Maka dari itu, Ari Ginanjar membagi 2 prinsip ketangguhan sosial yang merupakan
penjabaran dari prinsip zakat dan haji di dalam rukun Islam.

i. Prinsip Stategi Kolaborasi (Zakat)


Strategi kolaborasi merupakan penjabaran dari rukun Islam keempat yakni zakat. Menurut
Ari Ginanjar, zakat adalah suatu upaya untuk memanggil dan mengangkat ke permukaan
suara hati untuk menjadi dermawan dan untuk memberi rezeki kepada orang lain. Selanjutnya
Ari Ginanjar berpendapat bahwa pada prinsipnya, zakat bukan hanya sebatas memberi 2,5 %
dari penghasilan bersih yang kita miliki. Akan tetapi, prinsip zakat dalam arti luas seperti
memberi penghargaan dan perhatian kepada orang lain, menepati janji yang sudah anda
berikan, bersikap toleran, mau mendengar orang lain, bersikap empati, menunjukkan
integritas, menunjukkan sikap rahman dan rahim kepada orang lain.

ii. Prinsip Aplikasi Total (Haji)


Prinsip ini merupakan penjabaran dari rukun Islam kelima yakni haji. Menurut Ari Ginanjar,
haji adalah suatu wujud kesalarasan antara idealisme dan praktek, keselarasan antara iman
dan Islam. Haji adalah suatu transformasi prinsip dan langkah secara total (thawaf),
konsistensi dan persistensi perjuangan (sa`i), evaluasi dari prinsip dan langkah yang telah
dibuat dan visualisasi masa depan melalui prinsip berpikir dan cara melangkah yang fitrah
(wukuf). Haji juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala tertinggi dan haji adalah
persiapan fisik secara mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar
jumrah).
C. Kesimpulan
Dalam membahas ihsan, rukun iman dan rukun Islam, Ari Ginanjar membahasnya dengan

berbeda dan merefleksikan bagaimana ketiga hal tersebut dapat diterapkan di kehidupan
manusia sehingga manusia menjadi manusia yang memiliki kecerdasan, tidak hanya IQ
(kecerdasan intelektual) akan tetapi memiliki kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ) sehingga menjadi manusia yang sempurna yang dapat mengambil keputusan dalam
hidupnya sesuai dengan kehendak Tuhan, kehendak manusia, dan kehendak alam.

Anda mungkin juga menyukai