Anda di halaman 1dari 31

Makalah Tentang Keterkaitan Budaya yang di Anggap Menyimpang dari

Agama (Musyrik)

Adat Tari Seblang Olehsari

Makalah disusun untuk memenuhi tugas


Agama yang dibimbing oleh Ust.Waliyun Arifudin,S.Ag

Oleh :

Lufianti Amelinda (2016.02.019)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi

Progam Studi S1 Keperawatan

Banyuwangi

Juli 2017
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Tentang keterkaitan Budaya yang di
Anggap Menyimpang dari Agama (Musyrik) Adat Tari Seblang Olehsari.

Dalam pembuatan makalah ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini dan kami juga mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Anita selaku dosen pembimbing seminar.

Akhir kata kami berharap semoga Makalah Tentang keterkaitan Budaya yang di Anggap
Menyimpang dari Agama (Musyrik) Adat Tari Seblang Olehsari dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Penyusun

Banyuwangi.16 Juli 2017


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat
wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.Fenomena agama
adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang
menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama.
Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak
berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu
akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam
masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai
salah satu faktornya.

Islam adalah Agama yang diturunkan Allah kepada manusia sebagai Rahmat semesta
alam.Ajaran-ajaran nya selalu membawa kemaslahatan bagi manusia didunia ini.Allah SWT
telah menyatakan hal ini dalam fiirmannya yaitu Surah Toha: 2 yang artinya“ Kami tidak
menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah “ arti dari ayat tersebut adalah
Allah SWT menjamin bagi umat manusia yang menjalani hidup ini sesuai dengan syari’at islam
maka hidupnya akan bahagia dan selalu diberi kemudahan, namun sebaliknya barang siapa yang
membangkang dan melanggar syari’at islam dalam hidup ini maka ia akan mengalami hidup
yang sempit dan penuh dengan penderitaan.

Ajaran-ajaran islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentu
mencangkup dalam aspek-aspek kehidupan.Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan
manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturan dalam ajaran islam ini.Kebudayaan
merupakan sisi penting dalam kehidupan manusia, manusia memiliki kecendrungan untuk
berbudaya.Manusia diberikan kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berfikir dan
menciptakan suatu kebudayaan.

Agama dan kebudayaan memiliki keeratan satu sama lain,banyak sekali yang salah
mengartikan bagaimana cara menempatkan posisi suatu budaya dan suatu agama dalam
kehidupan.Kita masih sering menyaksikan sebagian masyarakat yang mencampurkan nilai-nilai
agama dengan nilai kebudayaan, padahal hal tersebut tidak bisa selalu disamakan.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu agama dan budaya ?


1.2.2 Apa keterkaitan antara agama dan kebudayaan ?
1.2.3 Apa itu kebudayaaan seblang Olehsari ?
1.2.4 Apa faktor yang menjadikan kebudayaan seblang di anggap syirik dalam agama ?

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Untuk mengetahui pengertian agama dan budaya
1.3.2 Untuk mengetahui keterkaitan antara agama dan kebudayaan
1.3.3 Untuk mengetahui apa itu seblang Olehsari
1.3.4 Untuk mengetahui faktor yang menjadikan seblang di anggap syirik dalam agama
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Agama dan Budaya

Arti hakikat kebudayaan dan agama islam

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal.149, disebutkan bahwa “ budaya “ adalah
pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.Ahli sosiologi
mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan(adat, akhlak, kesenian , ilmu dll).
Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi.Bahkan ahli Antropogi
melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.Definisi-definisi tersebut
menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas.Untuk memudahkan
pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek :

1. Aspek Kehidupan Spiritual


2. Aspek Bahasa dan Kesastraan
3. Aspek Kesenian
4. Aspek Sejarah
5. Aspek Ilmu Pengetahuan

Definisi yang lainnya dikemukakan oleh Koentjoreningrat,bahwa kebudayaan adalah


keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus
didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.[1]

Endang Saifuddin Anshari, merumuskan bahwa ‘kebudayaan (kultur) adalah hasil karya
cipta (pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh) manusia dengan kekuatan
jiwa (pikiran, perasaan, kemauan,dll) dan raganya, yang menyatakan diri dalam berbagai
kehidupan dan penghidupan manusia,sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan
dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju ke arah terwujudnya
kebahagian dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik individu maupun
masyarakat, ataupun individu dan masyarakat.[2]

Adapun pengertian Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama yang
ajaran-ajarannya diwahyukan Allah SWT kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad
saw sebagai Rasul.Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran dalam semua aspek
kehidupan.Berdasarkan keterangan tersebut, Islam menurut istilah mengacu kepada agama yang
bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT,bukan berasal dari manusia/Nabi
Muhammad saw.Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai orang yang ditugasi Allah untuk
menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada umat manusia.Dalam proses penyebaran agama
Islam,nabi terlibat dalam memberi keterangan,penjelasan,uraian,dan tata cara
ibadahnya.Keterlibatan nabi ini pun berada dalam bimbingan wahyu Allah swt.
Memahami penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa Islam merupakan suatu agama yang
bersumber dari Allah SWT yang ajaran-ajarannya diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ,
sedangkan Budaya merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang di
hasilkan dari cipta, rasa dan karsa manusia.

2.2 Keterkaitan Agama dan Budaya

Hubungan Islam dengan Kebudayaan

Sebagian ahli kebudayaan memandang kecendrungan berbudaya merupakan dinamik


ilahi.Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum,
tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain dari pada proses realisasi diri dari roh ilahi. Sebaliknya
sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan
bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama
merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi.
Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan
merupakan karya manusia.Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan.Adapun menurut para ahli
Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama
merupakan salah satu unsur kebudayaan.Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan
bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan
untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama.Pemahaman manusia sangat
terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing
agama.Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang
ada.[3]

Para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang


hubungan antara agama dan kebudayaan. [4]

1. Kelompok pertama menganggap bahwa agama merupakan sumber kebudayaan atau


dengan kata lain kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat
tersebut diwakili oleh Hegel.
2. Pendapat kedua yang diwakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan
tidak ada hubungan nya sama sekali dengan agama.
3. Kelompok ketiga menganggap bahwa kebudayaan merupakan bagian dari agama itu
sendiri.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, islam juga mendorong manusia untuk berbudaya.
Tetapi seperti yang sudah kita ketahui, sebelum islam datang sudah ada kebudayaan yang telah
berkembang. Tentunya kebudayaan tersebut ada yang mengandung kebaikan dan ada yang
mengandung keburukan atau kebatilan.

Adat istiadat dan tradisi ada kalanya yang dapat mewujudkan kebaikan bagi umat
manusia pada salah satu sisi kehidupan manusia, yang tidak ada nash agamanya, kecuali
pengarahan terhadap tujuan yang umum. Ketika itulah peran akal melakukan ijtihat untuk
mencari kehendak ilahi, dalam segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Mungkin
bisa dikatakan bahwa adat istiadat atau kebudayaan ataupun tradisi yang kebaikannya Nampak
(mengandung kebaikan) adalah kehendak Ilahi. ia dapat dianggap sebagai hukum agama yang
disandingkan dengan tatanan agama secara menyeluruh, meliputi berbagai bidang kehidupan.
Pada saat itulah kenyataan hidup berperan dalam memahami agama berdasarkan tradisi yang
baik. Ia dianggap sebagai bagian agama ketika tidak ada nash yang berkaitan dengannya, dan
ketika tidak bertentangan dengan nash yang ada.[9]

Islam dan kebudayaan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Ajaran
islam memberikan aturan-aturan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, sedangkan
kebudayaan adalah realitas keberagamaan umat Islam tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
wujud nyata dari pengamalan ajaran agama islam itu mampu dilihat dari kebudayaan dan
kehidupan nyata para pemeluk agama Islam tersebut.

Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran
agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama
yang terdapat di masyarakat tersebut adalah hasil penalaran para penganut agama dari sumber
agama yaitu wahyu. Salah satu contohnya yaitu ketika kita membaca kitab fiqih, kitab fiqih
tersebut merupakan pelaksanaan dari nash Al-quran maupun hadist yang melibatkan penalaran
dan kemampuan manusia. Pelaksanaan fiqih dalam kehidupan sehari-hari itu berkaitan dengan
kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama tersebut berkembang. Dengan
pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mangamalkan ajaran agama
tersebut.[5]

Misalnya dalam kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Unsur


agama ikut berinteraksi dalam kebudayaan tersebut. Pakaian model jilbab, kebaya dapat
dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan
sulit dilihat sosoknya secara jelas.

Kebudayaan Dalam Pandangan Islam

Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan
yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya
yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam
menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat
dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab
dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.

Ada tiga jenis kebudayaan dalam pandangan Islam[6] :

1. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam.

Dalam kaidah fiqh disebutkan “ al adatu muhkamatun “ artinya “adat kebiasaan dapat
dijadikan sebagai hukum” bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang
perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya
dalam syareat.
Salah satu contoh kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam seperti kadar besar
kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita
biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gr emas. Dalam Islam budaya itu syah-
syah saja, karena islam tidak menentukan besar kecilnya mahar. Menentukan bentuk bangunan
Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun Jawa yang berbentuk Joglo.

Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka
adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai
contoh adalah menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam karena nikah antar agama
sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas.
Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita
muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir. Dijelaskan dalam al-qur’an Surah
Al-Mumtahana Ayat 10.

2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam. kemudian di


rekonstruksi sehingga menjadi Islami.

Contohnya, kebudayaan masyarakat yang melaksanakan upacara tujuh hari orang


meninggal ataupun empat puluh hari orang meninggal. Upacara semacam itu tidak ada
tuntunannya dalam Islam, tetapi Islam mencoba merekonstruksi upacara-upacara tersebut agar
menjadi lebih Islami, yaitu dengan pembacaan kitab suci Alquran pada saat pelaksanaan
upacara-upacara tersebut. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut menjadi bentuk
“ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya.

“Dari Abu Hurairah r.a. katanya: Abu Bakar Siddik ditugaskan oleh Rasulullah SAW sebelum
haji wada untuk memimpin satu kaum pada hari Nahar melakukan haji, kemudian
memberitahukan kepada orang banyak, suatu pemberitahuan: Ketahuilah! Sesudah tahun ini
orang-orang Musyrik tidak boleh lagi haji dan tidak boleh thawaf di Ka’bah dalam keadaan
telanjang. Sebelum Islam, orang-orang musyrik Arab telah melakukan juga pekerjaan haji
menurut cara mereka sendiri. Antara lain ialah thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang bulat
sambil bertepuk tangan.” (Hadits Shahih Bukhari no. 843). Sebelum Islam datang tawaf
dilakukan oleh orang-orang kafir secara telanjang, namun setelah kedatangan Islam hal tersebut
di rekonstruksi menjadi lebih islami.

3. Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.

Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara
pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan
secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal
supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat
besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya
“tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman
jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya,
jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau
lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar
, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja,
untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut
digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang
dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng
Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain
yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan
penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).Dan salah satu adat di Banyuwangi yang
bertentangan dengan islam yaitu seblang,sebuah ritual yang di lakukan 7 hari setelah hari raya
dan dilakukan oleh penari yang dirasuki oleh makhluk halus menurut kepercayaan orang sekitar
sebagai wujud penghormatan kepada roh leluhur yang sudah meninggal.

Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran
Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena
kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan
persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan.

2.3 Sejarah Kebudayaan Seblang

Awal Keberadaan Seblang di Olehsari

Ritual adat Seblang yang ada di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, memiliki latar
belakang sejarah tersendiri. Sebelum dilaksanakan pertamakalinya di desa ini pada tahun 1930,
ritual ini sebelumnya berada dan selalu dilaksanakan secara rutin setiap tahun di Desa Kemiren,
yang terletak tepat di sebelah utara Desa Olehsari. Tercatat ada nama Mbah Danah, kemudian
Mbah Sapuah, yang merupakan penari seblang terakhir di Desa Kemiren. Pada masa seblang
Mbah sapuah inilah, ada seorang penduduk Desa Kemiren yang bernama Mbah Tompo,
membeli seperangkat alat kesenian Barong lengkap dengan gamelannya kepada Mbah Sukip,
warga Kampung Dandang Wiring (sekarang termasuk wilayah Kelurahan Penganjuran,
Kecamatan Kota Banyuwangi). Beberapa waktu setelah Mbah Tompo memiliki perangkat
kesenian Barong tersebut, tiba-tiba Mbah Sapuah yang kala itu masih berstatus sebagai penari
seblang, mengalami kesurupan atau masyarakat menyebutnya kejiman. Jin yang menyusup ke
raga Mbah Sapuah ini menghendaki agar ritual seblang dipindahkan ke sebelah selatan desa,
yaitu ke Desa Olehsari, karena di Desa Kemiren sudah ada kesenian Barong. Saat itu terjadi
dialog langsung antara Mbah Tompo yang memiliki perangkat kesenian Barong, dengan Mbah
Sapuah yang sedang kejiman. Dalam dialog tersebut, sang Jin yang berada di raga Mbah Sapuah
berpesan dengan wanti-wanti pada Mbah Tompo dan para sesepuh Desa Kemiren lainnya,
dengan mengatakan : “Dik, riko saiki wis ngedegaken Barong, mula iku Seblang iki sun elih
nyang Uli-ulian (Olehsari). Mulai saiki, Barong ojo dimainaken ring Uli-ulian, sebab uwong
bisa mati kabeh. Lan sebalike, ojo ana maning Seblang main ring Kemiren, sebab uwong bisa
lara kabeh,” (Dik, kamu sekarang sudah mendirikan kesenian Barong, sebab itu Seblang ini ku
pindahkan ke Uli-ulian. Mulai sekarang, Barong jangan dimainkan di Uli-ulian, sebab orang
bisa mati semua. Dan sebaliknya, jangan ada lagi Seblang main di Kemiren, sebab orang bisa
sakit semua). Demikian bunyi pesan penting sang Jin, yang hingga saat ini tetap ditaati oleh
masyarakat di kedua desa (Kemiren dan Olehsari). Tak ada satupun warga desa yang berani
melanggar pesan gaib tersebut, yang seakan sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis.
Begitu taatnya masyarakat terhadap peraturan dari alam gaib tersebut, hingga sampai
sekarang ini tak satupun warga Desa Olehsari yang berani mengundang kesenian Barong, baik
untuk keperluan acara hajatan keluarga maupun untuk acara-acara lainnya. Kesenian Barong
telah menjadi sesuatu yang termasuk dalam kategori illok-illok (hal yang tabu dan tak boleh
dilanggar), bagi seluruh masyarakat di wilayah Desa Olehsari. Kalaupun ada rombongan
kesenian Barong yang terpaksa harus melintasi wilayah desa Olehsari, seperti misalnya ketika
acara karnaval tujuh-belas agustusan yang berangkat dari lapangan Kecamatan Glagah menuju
ke Kelurahan Bakungan dengan melewati jalan raya yang membelah Desa ini, maka rombongan
kesenian Barong yang sedang ikut dalam karnaval tersebut tidak akan melakukan aktivitas
apapun, kecuali hanya berjalan dengan tenang dan tanpa berisik. Semua gamelan dan bunyi-
bunyian yang dibawa, tak satupun berani menabuhnya, dan sang Barong yang sebelumnya
menari-nari dengan lincahnya, seakan kehilangan energi dan daya magisnya, sehingga hanya
berjalan seperti biasa tanpa gerakan-gerakan tari apapun. Baru setelah keluar dari wilayah
terlarang bagi Barong ini, kembali sang Barong menari-nari dengan iringan gamelan, dengan
lincah dan bersemangat.

Para Leluhur Seblang

Dalam ritual adat Seblang Olehsari, dikenal adanya empat tokoh penting yang dikalangan
masyarakat Olehsari dianggap sebagai para leluhur dan sesepuh Seblang, yang membawa dan
mengajarkan ritual ini di wilayah desa mereka.Ke empat tokoh leluhur atau sesepuh Seblang
tersebut adalah: Buyut Ketut, Buyut Cili, Buyut Jalil, dan Buyut Mailang atau Buyut Sukma
Ilang.

Para tokoh leluhur Seblang ini dimakamkan di empat tempat yang berbeda, yang
kesemuanya berada di pinggiran Desa Olehsari. Makam Buyut Ketut berada di pekuburan
umum yang terletak di sebelah selatan Desa Olehsari. Buyut Jalil, makamnya terletak di sebelah
timur Desa Olehsari, tepatnya berada di wilayah Petahunan, yang berbatasan langsung dengan
Kelurahan Banjarsari. Buyut Cili, dimakamkan di sebelah utara Desa Olehsari, yang berbatasan
langsung dengan Desa Kemiren. Sedangkan makam Buyut Mailang atau Buyut Sukma Ilang,
berada di sebelah barat Desa Olehsari, disebuah wilayah yang disebut juga dengan wilayah
Mailang, yang berbatasan dengan Desa Glagah.

Sampai sekarang, keberadaan empat makam para leluhur Seblang tersebut masih tetap
dianggap keramat dan bertuah oleh masyarakat.Makam Buyut Cili, misalnya, masih banyak di
ziarahi oleh masyarakat warga Desa Kemiren maupun Olehsari, khususnya mereka yang hendak
melaksanakan hajatan, punya nadzar, ataupun yang punya niatan-niatan lain. Disekitar cungkup
makam yang berpagar anyaman bambu ini, sering digelar selamatan kecil oleh mereka yang
punya niatan-niatan tersebut. Sementara tentang makam Buyut Ketut, adalah merupakan tempat
keramat yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam rentetan ritual Seblang.Di atas makam
Buyut Ketut inilah, pada pelaksanaan ritual di hari ke tujuh, sang Seblang melakukan prosesi
khusus sebagai penghormatan pada leluhurnya.Sang Seblang yang masih dalam keadaan
kesurupan, menari-nari dipinggiran makam dengan iringan gamelan dan gending-gending yang
dibawakan oleh para pesinden.Makam Buyut Ketut ini merupakan tempat pertama yang
disinggahi rombongan arak-arakan Seblang dalam perjalanan Ider Bumi keliling Desa.Usai
singgah dan berziarah di makam leluhurnya tersebut, rombongan Seblang kembali melanjutkan
perjalanan.

Menurut Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, keberadaan empat tokoh yang


disebut sebagai sesepuh Seblang tersebut mempunyai kaitan khusus dengan masing-masing ritual
yang dilaksanakan untuk menghormati masing-masing Sang Hyang. Buyut Ketut merupakan
tokoh yang khusus menguasai masalah ritual Seblang, yang sebenarnya adalah bentuk
penghormatan bagi Sang Hyang Widari. Buyut Cili adalah tokoh yang khusus menguasai ritual
untuk menghormati Sang Hyang Barong. Sementara dua tokoh lainnya, masing-masing juga
menguasai ritual khusus yang ditujukan untuk menghormati Sang Hyang lainnya, yang
kemungkinan besar dulunya juga dilaksanakan sebagaimana halnya ritual Seblang. Namun
masyarakat Olehsari tetap menganggap empat tokoh tersebut kesemuanya adalah para leluhur
dan sesepuh Seblang.

Ritual Adat dan Sugesti Masyarakat

Ketaatan masyarakat Desa Olehsari dalam melaksanakan ritual Seblang bukannya tanpa
alasan yang jelas. Ritual ini menjadi demikian penting dan telah dianggap sebagai bagian dalam
kehidupan sehari-hari. Banyaknya kejadian-kejadian aneh yang dialami warga Desa Olehsari,
semakin mengukuhkan kepercayaan mereka bahwa pelaksanaan ritual ini tidak boleh diabaikan.
Ada sebuah peristiwa mengerikan yang pernah dialami seorang warga desa, yang mereka yakini
ada hubungannya dengan ritual ini.

Berawal pada tahun 1943, bersamaan dengan masuknya penjajahan Jepang ke wilayah
Blambangan. Peralihan kekuasaan dari penjajah Belanda ke penjajah Jepang waktu itu
menimbulkan pergolakan di beberapa tempat, dan suasana kacau meliputi seluruh warga di
pelosok-pelosok desa, termasuk Desa Olehsari. Dengan alasan itulah, pada tahun tersebut ritual
Seblang tidak lagi diselenggarakan sebagaimana biasanya. Hingga beberapa lama, masyarakat
masih juga belum berani menyelenggarakan kembali ritual ini. Sampai pada suatu ketika,
seluruh warga Desa Olehsari mengalami sebuah peristiwa mengerikan yang mereka sebut
pageblug. Saat itu seluruh warga desa dicekam rasa ketakutan yang luar biasa, karena hampir
setiap hari selalu ada orang yang meninggal dunia. Bahkan pada puncaknya, pernah terjadi
dalam satu hari ada orang meninggal dunia dalam jumlah yang cukup banyak, hingga untuk
menangani proses pemakamannya, penguasa kala itu terpaksa mengerahkan orang-orang penjara
(narapidana) untuk membantu masyarakat menguburkan warga yang meninggal. Peristiwa
sebenarnya yang sedang terjadi adalah berjangkitnya wabah penyakit menular yang menyebar
dengan cepat ke seluruh kawasan desa. Keadaan seperti itu terus berlangsung dalam waktu
cukup lama, sehingga memakan banyak korban jiwa. Sebagian besar masyarakat waktu itu
percaya bahwa terjadinya pageblug tersebut disebabkan karena tidak dilaksanakannya ritual
Seblang. Maka pada akhirnya seluruh warga masyarakat sepakat untuk menyelenggarakan
kembali ritual yang selama kurun waktu 13 tahun tidak pernah dilaksanakan. Tepatnya pada
tahun 1957 ritual Seblang kembali diselenggarakan di Desa Olehsari.

Yang ditunjuk sebagai penari Seblang pada tahun 1957 tersebut adalah Enah, anak dari
Marwiyah (Seblang tahun 1937 – 1939). Waktu ditunjuk sebagai penari, anak ke empat dari
lima bersaudara ini sedang dalam keadaan hamil 4 bulan. Dan kehamilan Enah ini adalah yang
ke lima kalinya, setelah empat kehamilan sebelumnya selalu mengalami keguguran kandungan.
Menurut kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat kala itu, keguguran kandungan
sampai empat kali yang dialami oleh Enah, karena dia ini sedang dalam keadaan ‘menanggung
keturunan’, yaitu suatu keadaan dimana ada sebuah tanggung jawab sebagai penari Seblang yang
seharusnya sudah dilaksanakan namun sempat tertunda karena alasan keadaan. Baru pada tahun
1957 itulah Enah dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penari Seblang.
Dan beberapa bulan setelah melaksanakan tugasnya yang sempat tertunda itu, Enah dapat
melahirkan anaknya dengan selamat dan sehat. Bayi perempuan Enah ini kemudian diberinya
nama: Asemah, yang kemudian juga ditunjuk sebagai penari Seblang ketika berusia 12 tahun
(1969 – 1971).

Apa yang dialami Enah dan juga tentang terjadinya pageblug yang telah menimpa
seluruh warga desa, semakin membuat masyarakat percaya dan yakin akan pentingnya
pelaksanaan ritual Seblang. Kepercayaan masyarakat ini juga semakin meningkat seiring dengan
munculnya hal-hal aneh yang sering terjadi pada saat dilangsungkannya ritual. Beberapa
kejadian aneh itu antara lain seperti yang dialami oleh beberapa orang anak yang tiba-tiba
“burung”nya sudah dalam keadaan di khitan, tanpa anak tersebut merasakan apapun.
Masyarakat Olehsari menyebut bahwa anak tersebut telah ‘di sunati Jin’. Semua kejadian-
kejadian tersebut, semakin memperkuat sugesti di kalangan masyarakat Desa Olehsari.

Ritual Adat Bernilai Seni Tinggi

Dibalik tampilannya yang sakral dan penuh dengan nuansa mistis, ritual Seblang ini
memiliki dan menyimpan nilai-nilai seni budaya yang tinggi, yang muncul dan mengakar kuat di
kalangan masyarakat. Sebagai sebuah bentuk kesenian yang berlatar belakang kepercayaan
masyarakat, Seblang cukup mampu bertahan dari gempuran-gempuran budaya luar yang terus-
menerus masuk dan menggelontor dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Seblang secara utuh
memunculkan gambaran keseharian masyarakat di lingkungannya, dan nyaris tak tersentuh
modernisasi.

Tampilan tari Seblang yang terkesan monoton, bila diamati dengan teliti dan seksama,
merupakan bentuk dasar tari yang ada pada tari Gandrung tradisional. Walaupun tari gandrung
tradisional terus mengalami perubahan dalam perkembangannya selama ini, namun tetap
berpatokan pada pakem yang ada pada tari Seblang. Atas dasar-dasar inilah lalu muncul
perdebatan panjang di kalangan para seniman dan budayawan Banyuwangi. Ada anggapan yang
mengatakan bahwa gandrung tradisional adalah bentuk kesenian yang terlahir dari ritual adat
Seblang. Tarian Seblang, yang karena memiliki daya tarik artistik yang luar biasa, lalu ‘dilepas’
sebagai bentuk seni tari yang bisa dinikmati tersendiri, lepas dari kesakralan, yang bisa
disuguhkan sewaktu-waktu. Beberapa alasan yang mendukung anggapan tersebut antara lain
dapat dilihat dari bentuk pakaian, omprog (mahkota), dan gending-gending yang digunakan, baik
oleh Seblang maupun gandrung. Namun ada beberapa yang menolak anggapan tersebut.
Mereka meyakini bahwa keduanya (Seblang dan Gandrung) adalah bentuk kesenian yang
berbeda satu sama lain. Hanya saja, keduanya berasal dari latar belakang budaya yang sama.

Ada teori yang menjelaskan bahwa jenis kesenian tradisional yang bernuansa magis-
mistis dibagi menjadi dua macam. Pertama, seni tradisional yang tergolong sakral dan hanya
ditampilkan pada acara dan waktu-waktu khusus, serta hanya ada di satu tempat, seperti
Seblang. Jenis kesenian ini disebut In-Situ, yang tidak bisa dibawa atau ditampilkan di lain
tempat. Kedua, jenis seni tradisional yang masih sarat dengan nuansa mistis, tapi tidak sakral,
dan dapat ditampilkan diberbagai tempat sesuai kebutuhan, seperti halnya seni tradisional
Jaranan atau Kuda Lumping. Jenis kesenian ini disebut Ex-Situ, dan kesenian tradisional
gandrung termasuk diantaranya.

Sebagai sebuah bagian dalam ritual, sosok Seblang menampilkan banyak sisi yang
menarik secara artistik. Omprog yang dipakai oleh penari seblang, misalnya, yang terbuat dari
bahan-bahan yang diambil dari lingkungan sekitar seperti pupus daun pisang, pupus daun pinang,
dan kembang aneka warna, yang dibentuk sedemikian rupa, nampak lebih menonjolkan sisi seni
yang essensial dan maknawi. Barangkali banyak orang yang bisa membuat dan merangkai
omprog, namun hasilnya tak akan dapat menyamai hasil karya orang yang secara khusus
bertugas sebagai pembuat omprog seblang.

Secara keseluruhan, ritual seblang memunculkan nilai-nilai estetika seni yang utuh dan
kompleks. Selain seperti yang tampak dari penampilan, seperti bentuk tarian, pakaian, omprog,
dan dekorasi pentas yang khas dan unik, yaitu menggunakan hasil-hasil pertanian atau yang
disebut dengan poro-bungkil sebagai hiasannya, serta segala pernak-pernik perlengkapan
lainnya, ternyata Seblang secara intens mampu merawat dan melestarikan syair-syair kuno
melalui lantunan gending-gending pengiringnya.

Sebagian besar syair dalam gending-gending pengiring Seblang, adalah syair-syair kuno
yang diperkirakan ditulis pada masa-masa perang gerilya yang berlangsung setelah perang
Puputan Bayu berakhir tahun 1772. Diantara beberapa gending tersebut, terdapat syair kuno
yang sangat terkenal seperti: syair Podho Nonton, Seblang Lokento, Sekar Jenang, Layar
Kemendhung, dan sebagainya.

Salah satu dari syair tersebut, yaitu syair Seblang Lokento, menurut budayawan
Banyuwangi, Mas Fatkhurrahman, seperti tertulis dalam buku “Sayu Wiwit Srikandi
Blambangan” yang disusun oleh Sri Adi Oetomo (1987), diperkirakan penciptanya adalah
Tumenggung Jekso Negoro, mantan Adipati Blambangan yang rela melepaskan takhtanya demi
untuk bergabung dengan rakyat di pedesaan guna melakukan perang gerilya melawan penjajah.
Syair Seblang Lokento secara lengkap sebagai berikut:

Seblang Lokento

Wis wayahe bang-bang wetan

Kakang-kakang ngeliliro

Wis wayahe sawung kukuruyuk

Lawang gedhe wonten hang njagi

Medalo lawang butulan


Wis biasae momong adhine

Sak tinjak balio mulih……

Bila diterjemahkan secara bebas, adalah sebagaimana berikut ini:

Seblang Lokento

Saat mentari memerah di ufuk timur

Bangunlah dari tidurmu

Saatnya ayam berkokok

Pintu gerbang ada yang menjaga

Lewatlah pintu belakang

Sudah biasa mengasuh adik

Selangkah keluar lentas kembalilah

Sejarawan dan Budayawan Banyuwangi, Hasan Ali, mengatakan bahwa syair Seblang
Lokento ini berisi ajakan untuk bergerilya melawan penjajah Belanda. Dalam syair tersebut jelas
tergambar sebuah tak-tik perang gerilya, yang sengaja disamarkan dan disampaikan melalui
gending, sebagai komando perlawanan. “Keluar lewat pintu belakang, kala pintu gerbang ada
yang menjaga. Dan setelah menyerang, segera mundur kembali. Kira-kira begitu maksudnya,”
kata Hasan Ali.

Selain syair Seblang Lokento yang dengan jelas menggambarkan perlawanan masyarakat
terhadap penjajah, pada beberapa syair lainnya juga ada penggambaran perjuangan dan
pemberontakan masyarakat. Ini terlihat jelas dari makna-makna yang mencuat seperti yang
terdapat pada syair Podho Nonton, Layar Kemendhung, Sekar Jenang, Seblang-seblang, dan
lainnya. Sementara itu ada pula yang berpendapat bahwa syair-syair dalam gending pengiring
seblang tidak dapat dengan mudah ditafsirkan. Ada kemungkinan juga, syair-syair itu
mengandung atau mempunyai makna-makna lain dibalik simbol-simbol yang digambarkan pada
setiap syair.

Seblang sebagai Tolak Balak

Jauh sebelum Islam dan Hindu masuk ke tanah Jawa, sebagian besar masyarakat masih
menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap adanya kekuatan-
kekuatan magis dari benda-benda atau tempat-tempat tertentu, yang dipercayai sangat
berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Kepercayaan-kepercayaan seperti itu begitu
mengakar pada masyarakat, sehingga tidak begitu saja bisa dihapus atau digantikan dengan
kepercayaan atau agama yang masuk kemudian.
Dengan masuknya Hindu, kepercayaan masyarakat tersebut justru semakin kokoh dan
kuat. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan-kesamaan dalam beberapa hal menyangkut perilaku
dalam menjalankan kepercayaannya, seperti mengadakan persembahan,melakukan ritual
pemujaan, dan sebagainya.

Begitu mengakarnya kepercayaan masyarakat akan adanya kekuatan-kekuatan magis


yang ada di sekitarnya, sebagaimana halnya pada masa animisme-dinamisme, hingga kini masih
banyak masyarakat yang tetap melaksanakan kebiasaan-kebiasaan seperti membuang bunga di
perempatan jalan, membakar kemenyan dan dilengkapi selamatan kecil pada malam Jum’at, dan
sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini masih sangat kuat tertanam dikalangan masyarakat,
khususnya masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Using.

Berdasarkan hal tersebut diatas, ritual adat Seblang adalah merupakan bagian dari
kepercayaan masyarakat, yang dimaksudkan sebagai tolak-balak atau upaya untuk mengusir dan
mencegah datangnya mara-bahaya, bencana, atau penyakit yang diakibatkan oleh gangguan alam
dan mahluk-mahluk lain yang ada disekitarnya, dengan melakukan persembahan-persembahan
dan upacara yang ditujukan bagi alam lingkungan dan para mahluk lelembut yang ada disekitar
kehidupan mereka agar tak mengganggu pada kehidupan manusia.

Berbeda dengan awal munculnya ritual seblang yang diperkirakan terjadi sekitar tahun
1770-an, ritual seblang seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini, sudah banyak mengalami
sentuhan-sentuhan dan berbagai perubahan seiring dengan masuknya ajaran Islam yang dibawa
para Wali ke tanah Jawa. Dilihat dari kenyataan yang ada, tampaknya ritual ini telah pula
dimanfaatkan sebagai sarana dakwah para Wali, dengan mengganti beberapa unsur dalam ritual,
seperti penggunaan doa-doa dalam selamatan saat sebelum dan sesudah pelaksanaan Seblang,
atau pada penentuan waktu upacara yaitu beberapa hari sesudah hari raya Idul Fitri untuk
Seblang Olehsari, dan sesudah hari raya Idul Adha untuk Seblang Bakungan. Prosesi ritual
inipun tidak lagi berdiri sendiri, namun sudah menjadi bagian dan disesuaikan dengan format
rangkaian kegiatan besar dalam masyarakat, yaitu acara Selametan Desa atau Bersih Desa.

Rangkaian acara Bersih Desa itu sendiri sebenarnya merupakan kegiatan yang
melibatkan seluruh warga desa dalam rangka mengadakan gerakan kebersihan umum, yang
diakhiri dengan acara selamatan dan tasyakuran untuk memohon kehadlirat Tuhan Yang Maha
Esa atas keselamatan seluruh warga desa, serta sebagai bentuk rasa syukur atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya.

Kebiasaan menyelenggarakan acara Bersih Desa ini sebenarnya cukup dikenal luas oleh
masyarakat Banyuwangi, dan hampir setiap desa selalu melaksanakannya. Cuma bedanya, bagi
masyarakat Desa Olehsari kegiatan ini tidak terbatas dilaksanakan oleh masyarakat (manusia)
saja, tapi juga melibatkan mahluk Tuhan yang lain, yang tidak kasat mata, yaitu mahluk lelembut
yang disebut dengan Dhanyang. Untuk itulah, maka diperlukan suatu upacara khusus sebagai
sarana interaksi antara manusia dengan para lelembut yang juga menghuni Desa Olehsari.

Layaknya sebuah pesta, yang menandai telah dilaksanakannya acara Bersih Desa, para
lelembut pun turut bersuka-cita, dengan menari-nari yang diiringi lantunan gending-gending
kuno, dengan cara meminjam raga seorang gadis belia yang telah dipilihnya. Pesta bersama
antara manusia dan para mahluk lelembut yang berbentuk ritual Seblang ini, adalah acara
seremonial sakral, yang oleh masyarakat Olehsari dipercaya sebagai ajang silaturrahmi dengan
para mahluk yang hidup di dimensi lain, untuk saling mengerti dan memahami, serta saling
menjaga dan menghormati keberadaan masing-masing. Karenanya, setiap tahun masyarakat
Olehsari dengan sukarela secara bersama-sama menyelenggarakan ritual ini, dengan cara
menanggung seluruh biaya penyelenggaraan melalui urunan yang disebut Mupu.

Jadi bila pada awalnya ritual ini lebih mengarah pada sebuah permintaan atau
permohonan dengan memberikan berbagai sesaji yang dipersembahkan sebagai imbalan, maka
pada perkembangannya sekarang telah mengalami perubahan yang sangat drastis. Pelaksanaan
ritual ini sekarang sudah mengarah pada hal-hal yang lebih rasional dan dapat diterima oleh
akal. Hal ini nampak dari adanya pemahaman masyarakat tentang adanya mahluk lain yang juga
sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Para mahluk lelembut itu adalah bangsa Jin, yang hidup dan
memiliki alamnya sendiri.

Seiring dengan pemahaman atas ajaran Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Desa
Olehsari, maka bentuk-bentuk ritual seblang secara drastis telah berubah, dari bentuk-bentuk
persembahan dalam rangka menyampaikan permohonan, ke bentuk-bentuk penghormatan dan
penghargaan sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan, dengan harapan tidak ada yang saling
mengganggu dan tetap menjaga terjalinnya hubungan yang baik. Masyarakat yakin, dengan
keberadaan dan kekuatannya, bangsa Jin mampu merusak apa yang ada di alam manusia. Dan
sebaliknya, manusia pun dapat merusak dan mengganggu apa yang ada di alam bangsa Jin,
meski dilakukan tanpa sengaja. Maka dilaksanakannya ritual ini dimaksudkan sebagai sarana
untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi.

Seblang sebagai sarana komunikasi dan ajang silaturrahmi

Fungsi seorang penari seblang dalam ritual ini pada intinya adalah meminjamkan
raganya, untuk dipergunakan oleh bangsa lelembut sebagai sarana atau media dalam mengadakan
komunikasi dan menjalin hubungan secara interaksi dengan masyarakat (manusia), melalui pesta
yang sakral, yang disebut dengan upacara atau ritual Seblang.

Pada saat prosesi ritual berlangsung, ‘kesadaran’ atau ‘jiwa’ atau ‘ruh’ si penari untuk
sementara dipindahkan atau dikeluarkan dari raganya, sampai saatnya dikembalikan seperti
semula dengan cara menyadarkan si penari dengan bacaan mantra-mantra oleh sang pawang.
Proses hilangnya kesadaran si penari saat dimulainya upacara, adalah berkat jasa sang pawang,
yang oleh masyarakat Olehsari disebut sebagai Tukang Kutug, atau juga disebut Dewa Seblang.
Dengan kemampuan dan keahliannya, sang pawang berupaya menghadirkan dan mengundang
mahluk lelembut atau dhanyang untuk masuk dan manjing di raga penari. Pada tahapan ini,
seluruh penonton yang hadir di arena upacara dapat menyaksikan langsung detik-detik
merasuknya si mahluk lelembut kedalam raga penari, yang ditandai dengan jatuhnya nyiru yang
dipegang oleh penari. Dalam hal ini, kemampuan sang pawang sangat menentukan keberhasilan
pelaksanaan ritual. Sebab, bila ia gagal mengundang atau menghadirkan si mahluk lelembut,
berarti pelaksanaan upacara juga akan gagal.
Setelah sang mahluk lelembut benar-benar telah manjing di raga penari, tugas sang
pawang berikutnya adalah menjaga keselamatan dan kenyamanan sang mahluk yang ada di raga
penari, dengan cara terus memberinya santapan berupa aroma wewangian kembang dan kepulan
asap kemenyan. Sesekali sang pawang berjalan mengelilingi pentas upacara, sambil tetap
menjaga agar prapen tempat pembakaran kemenyan terus mengepulkan asapnya.

Selama pelaksanaan ritual yang berlangsung sekitar 3 jam, dengan menggunakan raga si
penari para bangsa lelembut mengikuti dan menikmati pesta yang khusus diselenggarakan untuk
menghormatinya, dengan menari-nari mengelilingi pentas sambil dipandu seorang wanita yang
bertugas sebagai tukang momong serta seorang lelaki setengah baya yang bertugas sebagai
pengudang. Menurut penjelasan Mbah Enah, mantan penari Seblang tahun 1957–1959, juga Pak
Asnan selaku pawang, pada saat yang bersamaan, anak-anak para lelembut yang turut hadir di
tempat tersebut juga ikut menari-nari mengelilingi pentas bersama sang Seblang, sementara para
‘orang tua’ mereka menyaksikan dari luar pentas. Karena itulah, pada saat ritual berlangsung,
tidak semua orang bisa naik pentas, kecuali bagi yang berkepentingan atau sudah mendapat ijin
dari pawang. “Kalau terlalu banyak orang di pentas, mereka akan terganggu dan marah,” kata
Pak Asnan.

Bila ada hal-hal yang kurang berkenan atau tidak dikehendaki, para penonton dapat
melihat langsung ‘protes’ sang mahluk melalui gerakan-gerakan seperti yang ditunjukkan penari
seblang, yaitu dengan berhenti menari sambil memberi kode dengan tangan. Pernah terjadi tiba-
tiba sang Seblang berhenti menari lalu melompat ke tepi pentas. Dengan menunjukkan jari
kelingkingnya, ternyata sang Seblang memprotes keadaan pentas yang dianggapnya terlalu
sempit dan sederhana. Untuk menjawan protes-protes seperti itu, biasanya si tukang momong
lalu membisikkan kata-kata ke dekat telinga sang Seblang, baru kemudian dia mau meneruskan
tariannya.

Ada bagian dalam ritual yang secara khusus merupakan saat-saat mendebarkan bagi para
penonton yang berada di sekitar pentas. Saat itu, sang Seblang tengah menari diatas sebuah
meja, sambil tangannya memegang sebuah sampur atau selendang merah yang di gulung-gulung
dalam tangannya, lalu dilemparkan kearah penonton. Bagi siapapun yang terkena lemparan
sampur merah tersebut, harus mau naik ke pentas dan bersedia diajak menari. Kebanyakan para
penonton saat itu mulai agak menjauh dari pentas, karena takut terkena lemparan sampur. Sebab
begitu terkena lemparan sampur, sulit bagi penonton untuk menolak kehendak sang Seblang.
Bila ada penonton yang menolak karena takut atau malu, sang Seblang akan marah dan jengkel.
Umumnya bagi penonton yang terkena, walau tidak bisa menari, mereka tetap bersedia naik
pentas untuk memenuhi kehendak sang Seblang, sampai ia menyuruhnya turun kembali.

Pada tahapan inilah sang mahluk lelembut secara langsung dapat berinteraksi dengan
manusia (penonton). Sebelum mengajaknya menari dan bersenang-senang, sang Seblang akan
lebih dulu meraba-raba wajah si penonton yang dipilihnya melalui lemparan sampur, baru
kemudian mengajaknya menari. Setelah merasa cukup, sang Seblang lalu menarik tangan si
penonton tersebut untuk disalami atau dijabat tangannya, kemudian menyuruhnya turun dari
pentas.
Hubungan interaksi semacam ini, merupakan gambaran terjalinnya hubungan baik antara
bangsa lelembut dengan masyarakat sekitar. Dengan tetap menjaga hubungan baik semacam itu,
diharapkan antara mereka dapat saling menjaga, saling menghargai, dan menghormati
keberadaan masing-masing.

Bagi masyarakat Desa Olehsari, pelaksanaan ritual Seblang ini mengandung makna yang
sangat dalam tentang arti sebuah hubungan antar sesama mahluk ciptaan Tuhan, yang
divisualisasikan secara simbolis dalam bentuk penyelenggaraan ritual adat, yang secara sugestif
mampu mengikat masyarakat untuk tetap berada dalam kebersamaan, kegotong-royongan, dan
saling menghargai satu dengan yang lain.

Perjalanan Penari di Alam Bawah Sadar

Pada hakekatnya peran penari Seblang dalam upacara ini adalah sekedar meminjamkan
raganya untuk dipakai sementara oleh mahluk lelembut dalam rangka untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan manusia. Ini berarti ‘ruh’ atau kesadaran si penari harus lepas sementara
dari raganya. Sebagai ‘ruh’ yang memiliki jiwa dan kesadaran, meski telah lepas dari raga
tentunya ia tetap dapat melihat dan merasakan apa yang dialaminya. Kemana saja sang ‘ruh’
berkelana disaat ia lepas dari raga pemiliknya? Sebuah pertanyaan menarik yang tak gampang
memperoleh jawaban, karena tidak semua penari berani menceriterakan pengalamannya.

Konon, ritual Seblang ini dilaksanakan sebagai sarana untuk menjalin hubungan
‘diplomatik’ antara bangsa manusia dengan bangsa lelembut yang hidup dan menghuni alam di
sekitar manusia. Ada semacam pertukaran misi yang sama-sama membawa pesan penting dari
masing-masing dimensi kehidupan. Bangsa lelembut yang menjadi penghuni di alam yang tidak
kasat mata itu, dalam kehidupan sehari-harinya juga membutuhkan sebuah ‘pengertian’ dari
bangsa manusia, untuk tidak semena-mena merusak dan menggusur tempat-tempat tertentu yang
menjadi ‘hak’nya. Setidaknya, bila tempat-tempat mereka itu akan dipakai untuk keperluan
manusia, hendaknya ada niat baik dari bangsa manusia dengan terlebih dahulu meminta ijin pada
bangsa lelembut yang telah lebih dulu tinggal di tempat tersebut. Untuk hal-hal demikianlah
hubungan ‘diplomatik’ seperti itu harus tetap dijaga dan dipertahankan, diantaranya dengan
melaksanakan ritual Seblang. Dalam ritual Seblang, ‘utusan’ bangsa lelembut muncul dihadapan
bangsa manusia melalui penampilan penari Seblang. Dengan meminjam raga si penari, bangsa
lelembut berinteraksi dengan masyarakat, dan mengkomunikasikan keinginannya. Sementara
itu, pada saat bersamaan bangsa manusia juga mengirimkan misi khusus ke alam bangsa
lelembut, dengan mengutus ‘ruh’ si penari.

Apa dan bagaimana pengalaman ‘ruh’ si penari saat berada di alam gaib tersebut?
Menurut pengakuan Rina Astuti, penari Seblang tahun 1999 – 2001, alam tempat tinggal bangsa
lelembut itu begitu aneh dan ganjil. Seperti layaknya kehidupan di alam manusia, di alam para
lelembut itu juga ditemui perkampungan-perkampungan, hewan-hewan piaraan, dan mahluk-
mahluk ganjil yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Di alam yang asing dan
penuh keganjilan itulah, ‘ruh’ si penari harus melakukan perjalanan pengembaraannya. Dengan
didampingi dua sosok mahluk yang memapah di kiri dan kanannya, mulailah ia berjalan
menyusuri sebuah perkampungan yang ramai. Beberapa mahluk berpenampilan ganjil, dengan
telinga lebar dan mata bulat besar, tampak sibuk dengan ternak piaraannya. Sementara beberapa
yang lain tengah membersihkan pekarangan tempat tinggalnya. Selama perjalanan tersebut,
semua yang dilihatnya selalu nampak asing dan ganjil. Namun tanpa memperdulikan semua itu,
ia terus saja melangkah menapaki perjalanannya, tanpa berani bertanya apapun pada sang
pembimbing yang berada di kiri dan kanannya.

Tanpa banyak tanya dan tak tahu kemana arah perjalanannya itu, ia terus melangkah
menyusuri perkampungan demi perkampungan. Sampai suatu saat, ia tiba disebuah tempat,
dimana tinggal sesosok mahluk yang lebih mirip manusia biasa. Dengan tetap dipandu oleh
kedua pembimbingnya, ia menghadap pada sang ‘tokoh’, yang belakangan baru diketahui bahwa
sang tokoh itu adalah salah satu dari 44 dhanyang yang harus ditemuinya selama dalam
pengembaraan dialam lelembut.“Semua jumlahnya 44, tapi saya tidak hafal nama mereka satu
persatu,” tutur Rina.

Demikianlah, setiap selesai menghadap pada salah satu ‘tokoh’, rina kembali meneruskan
perjalanannya, sampai ia bertemu dengan seluruh dhanyang yang berjumlah 44 tersebut. Usai
bertemu dan menghadap pada ‘tokoh’ yang terakhir, perjalanannya sebagai utusan bangsa
manusia di alam para lelembut itu pun berakhir pula, seiring dengan berakhirnya upacara
Seblang yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut.Bersamaan dengan itu, ‘ruh’ si penari pun
kembali menempati raganya seperti semula.

Apa yang dialami oleh ‘ruh’ si penari selama dalam perjalanan di alam lelembut,
sebenarnya merupakan sebuah misi kunjungan yang membawa amanat dan pesan-pesan penting
dalam rangka menjaga tetap terjalinnya hubungan baik antara bangsa manusia dan bangsa
lelembut yang hidup di alam yang berbeda. Dengan tetap menjaga hubungan baik, diharapkan
agar masing-masing dapat saling mengerti dan memahami satu sama lain, serta menghormati
keberadaan masing-masing sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan. Untuk menjaga hubungan
‘diplomatik’ semacam itulah, masyarakat Desa Olehsari tetap dengan setia melaksanakan
upacara Seblang.

Dihadiri Ribuan Mahluk Lelembut

Ritual Seblang,yang hampir seluruh tata cara pelaksanaannya berdasarkan pada


‘komando’ sang dhanyang, merupakan sebuah ‘pesta persahabatan’ antara mahluk ‘kasar’ dan
mahluk ‘halus’ yang tinggal di alam yang berbeda. Maka pada saat dilangsungkan upacara ini,
selain dihadiri oleh banyak anggota masyarakat yang berdatangan dari berbagai tempat, konon
juga dihadiri oleh ribuan mahluk lelembut yang juga berdatangan dari berbagai penjuru.
Kedatangan para mahluk halus tersebut, menurut beberapa tokoh yang menangani ritual Seblang,
adalah atas undangan dari tokoh dhanyang yang tinggal di sebelah selatan Desa Olehsari.
Ribuan mahluk lelembut yang di undang untuk mengikuti upacara ini, berbaur dengan
masyarakat penonton yang memadati sekitar tempat berlangsungnya upacara.

Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat yang cukup paham dengan alam para
lelembut, untuk menjaga agar pelaksanaan upacara berlangsung aman dan lancar, sekaligus
untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para ‘tamu’ bangsa lelembut, selalu dilakukan
semacam penjagaan yang sangat ketat oleh para lelembut yang bertindak sebagai tuan rumah.
Demikian ketatnya penjagaan tersebut, sampai-sampai tak satupun dapat mengganggu jalannya
upacara. Bahkan, bila ada seorang penonton yang kebetulan memiliki atau menguasai sejenis
ilmu hitam yang bisa digunakan untuk mengganggu orang lain, dalam radius 40 meter dari
tempat upacara, ilmu tersebut akan lumpuh dengan sendirinya. Penjagaan yang ketat semacam
ini terus berlangsung hingga upacara berakhir pada hari ke 7.

Tempat dan Tata Letak Pentas Upacara

Selama ini upacara Seblang selalu dilangsungkan disebuah tanah kosong yang terletak
tepat ditengah-tengah perkampungan padat di Dusun Joyosari, Desa Olehsari. Diatas tanah milik
desa seluas 10 x 20 meter persegi ini, pentas upacara berukuran 6 x 6 meter didirikan dengan
menghadap ke arah timur. Pada bagian belakang diatas pentas, dibuat sebuah pondok bambu
sederhana dengan atapnya terbuat dari welit atau anyaman daun kelapa. Dibawah atap pondok,
dipasang bergelantungan aneka hasil bumi yang disebut dengan Polo Pendhem (hasil bumi
yang tumbuh dalam tanah, seperti Ketela Pohon, Ubi Jalar, Kentang, Kacang Tanah, Jahe,
Lengkuas, Kunyit, dan sebagainya) dan Polo Gantung (hasil bumi yang tumbuh diatas pohonnya,
seperti Kelapa, Nanas, Mangga, Jeruk, Durian, Kedondong, Pisang, Salak, Rambutan, Apokat,
Manggis, Cabe, dan sebagainya). Bangunan pondok ini digunakan untuk tempat para pesinden.
Persis di tengah-tengah pentas, dipasang sebuah Payung Agung yang terbuat dari kain putih
berukuran sekitar 2 x 2 meter. Dibawah Payung Agung ini, para Pengrawit atau penabuh
gamelan duduk melingkar diseputar tiang payung.

Semenjak pertamakali dilaksanakan di Desa Olehsari pada tahun 1930, tatanan pentas
upacara Seblang ini nyaris tak berubah sama sekali, termasuk tempatnya, yang saat ini semakin
terdesak oleh bangunan-bangunan rumah penduduk. Untuk merubah tatanan pentas yang sudah
baku tersebut sepertinya memang tidak mungkin. Namun untuk memindahkan tempat upacara ke
tempat yang lebih luas, sepertinya masih memungkinkan untuk dilakukan, sebagaimana yang
pernah diupayakan oleh Kepala Desa Olehsari, Supriyanto, dan para tokoh masyarakat setempat.
Waktu itu pada tahun 2000, pentas upacara Seblang direncanakan untuk dipindah ke tempat yang
lebih luas dan lapang, agar masyarakat dapat dengan leluasa menonton. Tapi hal tersebut
ternyata tidak mudah dilakukan, karena para dhanyang tidak menyetujuinya. Namun berkat
kemampuan Kepala Desa dalam meyakinkan para dhanyang, akhirnya pelaksanaan upacara pada
tahun tersebut dapat dilangsungkan di tempat yang baru, meski pada tahun-tahun berikutnya
kembali dilaksanakan di tempat semula.

Dalam sebuah dialog yang terjadi pada tahun 2000, antara Kepala Desa Olehsari, yang
diakui oleh para dhanyang sebagai Petinggi masyarakat, dengan beberapa dhanyang yang
menyusup ke dalam raga Mak Sutrani, disebutkan beberapa alasan tentang ketidaksetujuan para
dhanyang bila tempat upacara dipindahkan. Tempat baru yang sudah dipersiapkan oleh Kepala
Desa dan tokoh masyarakat yang terletak persis di pinggir jalan raya Banyuwangi – Licin, dinilai
kurang aman oleh para dhanyang. Lalu-lalang kendaraan bermotor yang melintas di jalan raya
tersebut, dianggap bisa mencelakakan orang-orang yang sedang mengikuti upacara, termasuk
bangsa lelembut yang juga hadir di tempat itu. Karenanya para dhanyang tetap menginginkan
agar upacara dilangsungkan di tempat semula, yaitu ditengah-tengah perkampungan penduduk.
Karena alasan inilah, pada pelaksanaan tahun 2001 sampai sekarang, upacara Seblang kembali
dilaksanakan di tempat semula yang kini semakin terjepit diantara rumah-rumah penduduk. Hal
ini sangat bertentangan dengan rencana Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang menginginkan
agar upacara Seblang dapat dikemas dan dipersiapkan sebagai sebuah objek wisata budaya yang
layak jual. Ini berarti menyangkut tentang penataan tempat yang nyaman dan strategis. Bahkan
untuk ini jajaran Pemkab. Banyuwangi ingin agar segera dibangun sebuah pentas permanen
untuk tempat upacara Seblang, yang representatif sebagai objek wisata budaya. Menanggapi
masalah ini, para tokoh masyarakat berpendapat bahwa semua masih bisa dimusyawarahkan.
“Kita harus bisa memberikan pengertian pada mereka, bahwa tujuan kita baik. Dan tentunya
juga dengan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan, sebagaimana yang mereka
khawatirkan. Toh, kita hanya memindahkan tempatnya saja, tanpa merubah tatanannya,” kata
Kepala Desa Olesari.

Penunjukan Penari

Milah, putri sulung dari tiga bersaudara anak Mbah Isem, adalah penari Seblang pertama
Desa Olehsari sejak ritual ini dipindahkan dari tempat sebelumnya di Desa Kemiren pada sekitar
tahun 1930-an. Setelah Milah usai menjalankan tugasnya, yang kemudian ditunjuk menjadi
penari Seblang berikutnya yaitu adik kandung Milah yang bernama Tiyuk. Pada urutan
selanjutnya yang ditunjuk adalah Marwiyah dan Tinah, anak kedua dan ketiga dari Milah,
menyusul kemudian Enah, anak dari Marwiyah yang merupakan cucu Milah dan cicit dari Mbah
Isem. Demikian seterusnya hingga sekarang ini, yang selalu ditunjuk sebagai penari Seblang
berikutnya merupakan anak-cucu keturunan dari Mbah Isem.

Proses penunjukan penari, termasuk tokoh-tokoh penting lainnya seperti pembuat


Omprog, tukang rias atau tukang paes, tukang momong, pengudang, dan tokoh-tokoh lainnya,
sepenuhnya menjadi hak dan otoritas Mbah Bisu, tokoh lelembut yang menjadi dhanyang dalam
ritual Seblang. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, Mbah Bisu pernah hidup sebagai
manusia biasa dan menjadi salah satu sesepuh ritual Seblang.

Proses penunjukan penari pengganti setelah penari sebelumnya usai menjalankan tugas
tradisi sebagai Seblang, atau juga penunjukan tokoh-tokoh lain serta penentuan hal-hal penting
lainnya terkait dengan pelaksanaan ritual ini, dilakukan oleh Mbah Bisu melalui cara mediasi.
Adalah Mbah Sutrani, seorang warga Desa Olehsari, yang selama ini sering “dipinjam” raganya
oleh Mbah Bisu untuk berkomunikasi dan menyampaikan amanatnya kepada para kru atau
pelaku ritual.

Seorang penari Seblang merupakan tokoh sentral pada ritual adat yang disakralkan ini.
Karena melalui proses penunjukan langsung oleh Mbah Bisu, maka tidak semua orang, meskipun
itu masih keturunan dari penari sebelumnya, yang bisa menjadi penari Seblang. Dan dari sekian
banyak penari Seblang yang pernah ditunjuk, rata-rata memiliki spesifikasi: usia belia, polos,
lugu dan cenderung pendiam.

Pada umumnya, keturunan para penari yang baru ditunjuk untuk mengemban tugas tradisi
nenek-moyangnya itu sangat sulit untuk menolak atau menghindar dari tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya sebagai generasi penerus Seblang. Menurut keyakinan mereka, baik para
penari dan keluarganya sendiri maupun masyarakat Desa Olehsari pada umumnya, dengan
menolak melaksanakan tugas sebagai penari Seblang berarti akan menghadapi hukuman dari
para dhanyang.
Hukuman dari para dhanyang ini berupa berbagai gangguan baik gangguan fisik maupun
gangguan mental. Ini seperti yang dialami oleh Atun. Akibat berani menolak ketika ditunjuk
sebagai penari, Atun kemudian mengalami semacam gangguan mental yang oleh masyarakat
sekitar disebut: kurang waras alias senewen. Selain Atun, ada dua orang lagi yang juga menolak
ditunjuk sebagai penari. Meski tidak sampai parah seperti Atun, namun kedua orang itu juga
pernah mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh Atun. Bahkan, keduanya juga
mengalami kesulitan mendapatkan jodoh.

Menurut penuturan masyarakat sekitar, selain menderita gangguan mental, mereka yang
pernah menolak menjalankan tugas sebagai penari Seblang itu juga seringkali mengalami hal-hal
aneh. Seringkali mereka hilang lenyap tak tentu rimbanya. Menurut pengakuan salah satu dari
mereka setelah ditemukan oleh keluarga dan masyarakat yang terus mencari-carinya, mereka
dibawa secara paksa oleh para dhanyang ke alam para lelembut. Setiap kali hilang, biasanya baru
pada sore hari menjelang maghrib mereka baru dikembalikan oleh para dhanyang yang
menculiknya dan diketemukan kembali oleh keluarga dan masyarakat yang mencarinya.

Kejadian-kejadian seperti yang dialami oleh Atun dan dua orang lainnya itu, semakin
men-sugesti masyarakat sehingga mereka begitu yakin bahwa semua aturan yang terkait dengan
ritual Seblang harus dijalankan sesuai dengan perintah sang dhanyang. Maka untuk menghindari
hukuman dari sang dhanyang, meski diliputi perasaan takut, was-was dan khawatir, mereka yang
ditunjuk sebagai penari Seblang pun lalu dengan terpaksa menjalankan perintah dan kehendak
Mbah Bisu selaku dhanyang. Biasanya, beban perasaan takut dan khawatir itu akan hilang
dengan sendirinya begitu tugas pertama mereka sebagai penari Seblang mulai dijalani. Terlebih,
setelah para sesepuh desa khususnya yang terkait langsung dengan ritual Seblang, sering
memberikan berbagai petunjuk dan nasehat-nasehat untuk meyakinkan mereka.

Silsilah Penari Seblang Desa Olehsari

Mbah Isem

1. Milah 12. Surati


2. Tiyuk 13. Adiyul
3. Marwiyah 14. Tuhaiyah
4. Tinah 15. Tatik
5. Enah 16. Ariyah
6. Sanipah 17. Salwati
7. Tanil 18. Lasianah
8. Junik 19. Astutik
9. Tuyah 20. Rina
10. Asemah 21. Irawati
11. Suni’ah
22. Wahyuni

2.4 Faktor yang Menjadikan Kebudayaan Seblang di Anggap Syirik Dalam Agama

1. Seblang sebagai selametan bersih desa


2. Sebalng pengundang kesuburan
3. Seblang sebagai sarana pengobatan penyakit
4. Seblang sebagai penghormatan leluhur
5. Seblang sebagai hiburan roh halus

Faktor-faktor diatas merupakan faktor yang menjadikan kebudayaan seblang di anggap


syirik oleh kalangan orang tertentu khususnya kita sebagai umat muslim yang selalu
menjalankan kebudayaan berdasarkan sunah rasul yang telah ada bukan dari asumsi masyarakat
atau nenek moyang terdahulu kita yang sudah meninggal.Faktor itu semua sangat bertentangan
dengan ajaran umat muslim,karena sepatutnya sebagai umat muslim kita mempercayai semua
nikmat itu datang dari Allah bukan dari yang lain apalagi dari suatu kebudayaan yang di anggap
magis atau berasal dari kekuatan gaib supranatural diluar nalar manusia.Sampai sekarang pun
pemikiran yang tidak benar tersebut masih ada dalam benak warga sekitar yang mempercayai hal
tersebut terutama para tetua yang sangat lekat dengan kepercayaan tersebut bahkan saat saya
melakukan wawancara di desa Olesari di mana tempat seblang itu sendiri dilaksanakan,ketua
adat desa Olesari sendiri mengatakan bahwa ada masyarakat setempat yang masih percaya
terutama para tetua seblang akan tetapi itu semua tergantung pada kepercayaan masyarakatnya
sendiri dalam menilai kebudayaan seblang,itulah yang di jawab tetua seblang saat saya
menanyakan tentang kepercayaan masyarakat sekitar kepada seblang.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian tentang “Hubungan Islam dan Kebudayaan” yang telah dipaparkan diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa Islam adalah mutlak ciptaan Allah SWT yang hakiki oleh
karena itu Islam dijamin akan kefitrahannya, kemurniannya, kebenarannya, kekekalannya, dan
konstanta atau tidak dapat dirubah oleh manusia sampai kapanpun. Sedangkan kebudayaan
adalah hasil cipta, karya, rasa, karsa dan akal buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan
hidupnya, dimana kebudayaan itu sendiri akan mengalami perubahan sejalan dengan
perkembangan jaman.Dan kebudayaan sendiri tidak boleh kita anggap sebagai cara kita
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang salah hingga menjadi sesat apalagi sampai
menjadi penyimpangan pada agama itu sendiri dan bagaimanapun juga agama tidak bisa di
jadikan dan di modifikasikan dengan agama lain apalagi sampai merubahnya. Oleh karena itu,
penulis menekankan kepada pembaca bahwa antara Islam dan kebudayaan memiliki hubungan
namun tidak semua dapat diadobsi

3.2 Saran

Sebagai umat islam khususnya kita harus bisa membedakan mana kebudayaan yang
benar dan mana kebudayaan yang bersifat menyimpang dari agama serta dapat memberi tahu
masyarakat mana cara yang benar dan mana cara yang salah.
Hasil Wawancara

P : “Assalamualaikum Wr.Wb”

N : “Waalaikumsallam Wr.Wb”

P : “Disini saya Lufianti dan teman saya Muniroh akan melakukan wawancara tentang
seblang kepada Bapak Ansori selaku ketua adat seblang ,pertama-tama saya akan
bertanya kepada Bapak bagaimana sih asal usul seblang itu sendiri ?”

N : “Seblang merupaka adat tradisi yang ada di desa Olehsari dan menjadi kalender
tahunan,manfaat bagi desa dan warga olehsari sendiri yaitu sebagai bersih desa atau
keselamatan desa.”

P : “Lalu kapan seblang itu sendiri dilaksanakan ?.”

N : “Untuk pelaksanaannya itu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yaitu pada hari ke-
3 atau hari ke-7 setelah idul fitri tepatnya pada bulan syawal,tapi biasanya hari ke-7.”

P : “Bagaimana kalau seblang itu sendiri tidak dilaksanakan,apa ada dampak bagi masyarakat
sekitar ?.”

N : “Kalau menjurus kesitu menurut saya adalah menurut keyakinan setiap warga saja
bagi,mungkin untuk orang yang yakin tentang itu ya mungkin bisa saja terjadi karena
itu semua hanya tuhan yang mengkhendaki jadi sebagai warga kita hanya
melaksanakannya saja.”

P : “Lalu siapa siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan tari seblang itu sendiri ?.”

N : “Yang terlibat yaitu orang-orang adat termasuk pemerintah setempat dan juga warga.”

P : “Dan untuk penari seblang itu sendiri apa ada kriteria khusus ?.”

N : “Untuk penari seblang itu sendiri harus berdasarkan keturunan dari mulai mbh buyut
terdahulu,jadi orang awam yang bukan keturunan seblang tidak bisa dijadikan penari
seblang.”

P : “Apa sebelum mengadakan ritual seblang harus ada ritual yang diharus laksanakan
terlebih dahulu ?.”

N : “Ada,sebelum itu memang diadakan ritual berupa sesajen yang diantar di petilasan buyut
sebagai bentuk izin akan diadakannya tari seblang.”

P : “Berapa hari seblang itu sendiri diadakannya ?.”

N : “Selama 7 hari mulai jam 13.30-16.30.”


P : “Kegiatan seblang itu sendiri dimulai dai kegiatan apa ?.”

N : “Seblang sendiri dimulai dengan acara ider bumi dengan mengelilingi desa,karena
seblang sendiri pemainnya baru diganti setiap 3 tahun sekali.Dalam tari seblang
sendiri juga ada suwuk yaitu lagu atau nyanyian yang digunakan untuk memanggil roh
leluhur agar seblang itu menari dan setiap 3 putaran selesai menari maka akan diganti
lagu lain,seblang sendiri sudah 28 generasi dan diadakan mulai tahun 1930.”

P : “Apa penari seblang itu harus muda atau tua ?.”

N : “Penari seblang sendiri tidak memandang tua ataupun muda,tapi kebanyakan yang jadi
seblang masih muda dan belum menikah.Kita juga tidak berani menunjuk seseorang
untuk menjadi seblang kalau belum saatnya.”

P : “Bapak tadi kan bilang kalau seblang sebagai bersih desa dan keselamatan desa lalu kalau
melihat kalimat tersebut apa ada kaitannya seblang dengan agama.? “

N : “Ada,karena seblang itu sendiri sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah karena
pada saat itu panen didesa Olehsari sendiri itu gagal dan banyak warga yang menderita
sakit sehingga sebagai permintaan masyarakat terdahulu agar diridhai maka
dimunculkanlah tari seblang,Tari seblang sendiri merupakan cikal bakal lahirnya tari
gandrung artinya sebelum tari gandrung itu muncul tari seblang sudah ada bahkan pada
zaman penjajahan Belanda dahulu.? “

P : “Jadi seperti itu ya Pak cerita tentang seblang itu sendiri dengan begitu saya ucapkan
terima kasih atas waktu yang Bapak berikan,kami mohon maaf apabila ada salah
kata.Wassalamualaikum Wr.Wb.”

N : “Iya,waalaikumsallam wr.wb.”

Ket : P =Penanya saya sendiri Lufianti Amelinda

N=Narasumber Bapak Hansori ketua adat seblang


Lampiran Foto 1

Saat Melakukan Wawancara


Lampiran Foto 2

Gambar Panggung Seblang


Lampiran Foto 3

Penari Seblang
Daftar Pustaka

Al-majid, Pemahaman Islam antara rakyu dan wahyu,PT Remaja Rosdakarya,Bandung,1997

Muhaimin, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Cet.I, Surabaya: Karya Abditama,1994

Nata Abdullah, Metodologi Studi Islam,Jakarta,PT Raja Grafindo Persadaa,2004

Tri Prasetya Joko, Ilmu Budaya Dasar,Cet 3,Jakarta: PT.Rineka Cipta,2009

Wismulyani Endar, Jejak Islam di Nusantara, Cet 1,Klaten: Cempaka Putih,2008


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………………


KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………….
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………...
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………...
BAB II PEMBAHASAN………. …………………………………………………………………
2.1 Definisi Agama dan Budaya………………………………………………………………….
2.2 Keterkaitan Antara Agama dan Budaya………………………………………………………
2.3 Sejarah Kebudayaan Seblang…………………………………………………………………
2.4 Faktor yang Menjadikan Seblang dianggap Syirik dalam Agama……………………………
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………………
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………………..
3.2 Saran …………………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………......
LAMPIRAN HASIL WAWANCARA dan FOTO………………………………………………..

Anda mungkin juga menyukai