Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

MANAJEMEN SHELTER (TEMPAT PENGUNGSIAN)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Pada Mata Kuliah Keperawatan Intensif Yang
Diampu Oleh Bapak Rudiyanto,M.Kep.,Ns.

DISUSUN OLEH :

LUFIANTI AMELINDA

201602019

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
Manajemen Shelter (Tempat Pengungsian).

Dalam pembuatan makalah ini saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini dan kami saya
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rudiyanto selaku dosen pengajar.

Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang Manajemen Shelter (Tempat
Pengungsian) dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Banyuwangi 26 Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...............................................................................................................

Kata Pengantar.................................................................................................................i

Daftar Isi..........................................................................................................................ii

Bab 1 Pendahuluan..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1


1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.3 Manfaat...........................................................................................................3
Bab 2 Tinjauan Pustaka..................................................................................................4

2.1 Sejarah Shelter................................................................................................4


2.2 Pengertian Shelter.........................................................................................10
2.3 Standar Shelter..............................................................................................12
2.4 Shelter Vs Penyedia Shelter..........................................................................14
2.5 Bantuan Shelter Harus Disasar Berdasarkan Kebutuhan..............................16
2.6 Fungsi Dan Manfaat Shelter.........................................................................18
2.7 Jenis Shelter..................................................................................................20
2.8 Merancang Shelter........................................................................................27

Bab 3 Penutup................................................................................................................35

3.1 Kesimpulan...................................................................................................35
3.2 Saran ............................................................................................................35

Daftar Pustaka...............................................................................................................36

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang sering dilanda becana alam yang
mana penyebab utama hal tersebut yaitu letak geografis Indonesia. Menurut teori
Lempeng Tektonik, Indonesia berada di pertemuan 3 lempeng utama dunia, yaitu
Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Pergerakan pada
lempeng tersebut sering kali menyebabkan terjadinya gempa bumi bahkan dapat
diiringi oleh tsunami. Hal ini sangat berdampak pada daerah sepajang tepian pantai
didaerah rawan tsunami.
Salah satu catatan gempa besar yang pernah terjadi di Indonesia yaitu gempa
aceh pada tahun 2004 sebesar 9.1 Skala Richter sehingga menyebabkan sunami dan
pada 30 September 2009 terdapat gempa sebesar 7,6 Skala Richter di lepas pantai
Sumatera Barat yang mana getarannya terasa di beberapa wilayah di Sumatera Barat
seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota
Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok,
dan Kabupaten Pasaman Barat. Besarnya dampak dari gempa tersebut dapat dilihat
dari insfrastruktur kota yang surak dan korban jiwa yang berjatuhan.
Dampak lain yang berkemungkinan terjadi yaitu tsunami di sepanjang pesisir
pantai Pulau Sumatera dan membahayakan masyarakat sekitarnya. Untuk itu
dibangunlah shelter sebagai bangunan untuk evakuasi saat terjadinya tsunami dan
saat masyarakat susah untuk menjangkau daerah ketinggian untuk berlindung.
Bangunan shelter adalah fasilitas umum yang apabila terjadi bencana (gempa bumi,
banjir, tsunami, angin topan, dll), digunakan untuk evakuasi pengungsi, namun bisa
digunakan pula untuk fasilitas umum yang lain misalnya untuk tempat rekreasi atau
ibadah atau yang lainnya, apabila tidak terjadi bencana. Luasnya daerah sepanjang
tepi pantai di Sumatera menyebabkan belum meratanya pembangunan shelter
mandiri pada tiap daerah salah satunya di daerah Kelurahan Pasie Nan Tigo.
Untuk melakukan pembangunan shelter agar tepat sasaran maka dibutuhkan
manajemen perencanaan yang matang. Manajemen yang dibutuhkan mencakup
manajemen fasilitas yang harus dimiliki oleh shelter itu sendiri dan sistem evakuasi
pengarahan masyarakat saat terjadi bencana maupun pasca bencana.
Manajemen fasilitas yang dimaksudkan yaitu pertimbangan-pertimbangan
fasilitas yang ada pada shelter yang diperlukan oleh masyarakat yang sedang

1
menempati shelter mandiri dikala keadaan darurat. Hal ini diperlukan karena
masyarakat akan menempati shelter untuk beberapa waktu kedepan sampai keadaan
kembali normal setelah terjadi bencana, sehingga dibutuhkan fasilitas yang memadai
dan tepat untuk masyarakat tersebut. Manajemen fasilitas ini mencakup dari
tersedianya fasilitas yang dibutuhkan masyarakat, pengelolaannya, dan tindak lanjut
dari proses perawatan shelter mandiri tersebut.
Manajemen fasilitas ini akan memiliki andil yang besar pada saat masyarakat
mulai menggunakan shelter di keadaan darurat, mulai dari perencanaan fasiltas yang
memadai hingga sistem perawatannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terbengkalainya shelter yang telah dibangun namun belum digunakan. Kejadian ini
dapat dilihat pada shelter yang terbengkalai tanpa adanya perawatan. Menurut
peneliti Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Aceh, Syamsidik,
shelter tsunami diberikan perawatan rutin tiap 5 tahun sekali karena lokasinya dekat
dengan laut sehingga bangunannya lebih mudah mengalami korosi. Untuk itu
disusunlah manajemen penataan fasilitas agar dapat menjaga daya guna dari shelter
tersebut.
Sistem evakuasi yang dimaksud adalah sistem evakuasi mandiri yang dapat
diterapkan pada masyarakat setempat. Menurut Buku Pedoman Latihan
Kesiapsiagaan Bencana, Membangun Kesadaran, Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan
dalam Menghadapi Bencana oleh Badan Nasional Pencegahan Penanggulangan
Bencana tahun 2017, evakuasi mandiri adalah kemampuan dan tindakan
individu/masyarakat secara mandiri, cepat, tepat, dan terarah berdasarkan langkah-
langkah kerja dalam melakukan penyelamatan diri dari bencana. Dengan adanya
sistem evakuasi ini, masyarakat dapat bertindak cepat untuk menyelamatkan diri
sampai adanya instruksi selanjutnya dari pemerintah atapun instansi yang
berwenang.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan tugas ini yaitu untuk dapat merencanakan
manajemen evakuasi yang terdiri dari sistem evakuasi pada shelter yang dapat
diterapkan pada masyarakat pasca bencana.

2
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan tugas ini yaitu :
1.3.1 Bagi Mahasiswa

Bagi mahasiswa diharapkan makalah tentang manajemen shelter dapat


menambah wawasan mahasiswa dalam mencari literatur tentang
shelter/tempat pengungsian pasca bencana.

1.3.2 Bagi Institusi

Dapat memberi manfaat dan bisa dijadikan sebagai salah satu literatur
yang ada dalam institusi ini.

1.3.3 Bagi Pembaca

Dengan penulisan tugas ini diharapakan agar dapat memberikan manfaat


bagi pembaca tentang apa itu shelter serta konsepnya sehingga dapat
diterapkan dan dikembangkan untuk daerah di Indonesia khususnya daerah
yang rawan bencana.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Shelter


1. Jaman Batu

 
Gua yang terbentuk di dalam batu gunung.

Di era prasejarah paling awal, sebelum Man tahu bagaimana membangun


tempat perlindungan, mereka memanfaatkan lingkungan alam untuk memberi
mereka tempat berlindung. Bentuk tempat perlindungan paling awal adalah yang
ada di pohon, di mana itu akan memberikan perlindungan minimal terhadap panas
matahari yang membakar dan dinginnya hujan. Juga, pohon melindungi manusia
terhadap binatang yang tidak bisa memanjat pohon. Bentuk alami lain dari tempat
berlindung adalah gua, yang memberikan perlindungan lebih besar terhadap cuaca
buruk, meskipun menawarkan perlindungan yang lebih sedikit terhadap hewan liar.

Tempat perlindungan buatan manusia pertama diyakini terbuat dari batu dan
ranting pohon. Batu-batu ditempatkan di dasar struktur untuk menahan ranting-
ranting di tempatnya. Manusia perlahan-lahan belajar membuat alat sederhana yang
memungkinkan mereka membangun struktur yang lebih baik, dan kemudian
struktur ini berangsur-angsur berevolusi dalam bentuk dan bentuk. Bahan lain
seperti lempengan batu besar, tulang, dan bahkan kulit binatang digunakan untuk
membangun struktur, yang kemudian memberikan lebih banyak stabilitas,
keamanan dan kenyamanan. Akhirnya, bumi diambil dari tanah dan dikeringkan di
4
bawah sinar matahari untuk membentuk blok tanah liat, yang mengarah pada
penggunaan batu bata sebagai blok bangunan dasar tempat penampungan.

2. Peradaban kuno
 
Batu bata yang dikeringkan dengan matahari.

Orang Mesir kuno mulai membangun rumah-rumah datar yang terbuat


dari bata kering sekitar 3100 SM. Rumah-rumah domestik Mesir elit dan biasa
dibangun menggunakan bahan yang mudah rusak seperti batu bata tanah liat
dan kayu. Petani tinggal di rumah sederhana, sedangkan istana elit adalah
struktur yang lebih rumit. Struktur terkenal seperti piramida dan kuil dibangun
untuk menekankan kontrol dan kekuatan Firaun.

Gagasan tentang bata yang dikeringkan dengan matahari diperbaiki oleh


orang-orang Asyur hampir 600 tahun kemudian, ketika mereka menemukan
bahwa memanggang batu bata dalam api membuat mereka lebih keras dan lebih
tahan lama. Mereka juga mulai memasang batu bata untuk menguatkan mereka
dan meningkatkan ketahanan mereka terhadap air, yang berguna pada saat
badai.

Orang Yunani kuno tinggal di rumah batu yang dibuat dengan baik
dengan atap miring yang membiarkan salju dan hujan bergeser. Sebagian besar
dinding dalam struktur Yunani dibangun menggunakan batu bata tanah liat
kering atau kerangka kayu yang diisi dengan bahan berserat seperti jerami atau
rumput laut yang ditutupi dengan tanah liat atau plester. Selain membangun
rumah, orang-orang Yunani membangun bentuk-bentuk tempat perlindungan
lain seperti kuil dan bangunan umum, yang memiliki struktur yang anggun dan

5
ramah yang dibangun untuk menekankan kemakmuran budaya dan ekonomi
masyarakat mereka. Teater-teater terbuka yang dimaksudkan untuk pertemuan
umum dan juga pertunjukan budaya juga dibangun, dengan beberapa masih
berdiri hari ini.

Bangsa Romawi memperbaiki teknik orang-orang Yunani, dan


memperkenalkan konsep pemanas sentral untuk mengantar mereka melalui
cuaca dingin. Mereka meletakkan deretan pipa gerabah di bawah atap dan lantai
dan mengalirkan air panas atau udara melalui mereka untuk memanaskan.
Sebagian besar rumah dibangun di sekitar atrium, atau pengadilan pusat,
dengan kamar-kamar di luar pengadilan.

3. Arsitektur Cina

Pagoda Songyue, salah satu dari beberapa pagoda abad keenam yang
masih hidup, terbuat dari batu bata.

Arsitektur Cina Kuno didasarkan pada tiga komponen: landasan


platform, kerangka kayu, dan atap dekoratif. Selain itu, fitur yang paling
mendasar dari setiap tempat hunian Cina kuno adalah rumah segi empat segi
empat, dengan dinding yang dibentuk dengan sudut yang tepat satu sama lain.
Serupa dengan peradaban di tempat lain, orang Cina menggunakan bumi padat
serta batu bata tanah liat kering dalam konstruksi strukturnya. Ini biasanya
digunakan dalam bingkai kayu dan membentuk fondasi struktur. Atap dan
langit-langit dari Cina tradisional dibangun tanpa paku, hanya disatukan melalui

6
pelapisan potongan-potongan yang berbeda dalam set bracket yang saling
mengunci.

Dari Dinasti Tang (618 - 907 AD) dan seterusnya, penggunaan kayu
pada bangunan umumnya digantikan oleh penggunaan batu dan batu bata. Ini
memastikan bahwa bangunan atau tempat perlindungan akan bertahan lebih
lama dan tidak rentan terhadap pelapukan, kebakaran dan pembusukan.

4. Abad Pertengahan

Vieux-château, dibangun pada abad ke-14


Ketika Kekaisaran Romawi runtuh sekitar AD400 dan dikuasai Jerman dan
Skandinavia, perbaikan yang mereka buat dalam pembangunan dan
pembangunan tempat perlindungan hilang selama beberapa ratus tahun.
Bangunan-bangunan yang dibangun oleh orang Jerman dan Skandinavia
didukung oleh kerangka kayu berat atau kayu, dan ruang-ruang di antara kayu
dipenuhi tanah liat.

Beberapa dari struktur ini berkembang menjadi benteng-benteng yang


diperkaya pada Abad Pertengahan, dengan dinding batu tebal, parit-parit yang
diisi air, dan drawbridges. Di dalam dinding, orang membangun kandang kuda,
barak tentara, toko alat dan senjata, dapur, ruang makan, dan bahkan penjara
untuk musuh yang ditangkap di masa perang
kayu Pada abad ke-15, orang Eropa mulai membangun rumah-rumah setengah
kayu, dengan fondasi batu atau batu bata. Batang pohon ditempatkan di sudut
rumah, dan balok kayu yang kuat digunakan untuk menopang rumah.
Kemudian mereka memasang palang di bagian atas dan bawah balok dan

7
menambahkan kawat gigi miring. Mereka menutupi dinding dengan reng, atau
potongan-potongan kayu tipis, ditempeli dengan campuran tanah liat dan
jeramii

5. Periode Modern Awal

Periode Modern Awal meliputi periode Renaisans akhir serta Era


Industri Awal. Banyak inovasi teknologi terjadi pada periode ini, beberapa di
antaranya membentuk fondasi untuk membangun tempat penampungan di
zaman modern. Kaca digunakan secara luas pada periode ini, dan mengubah
detail fasad dan konstruksi jendela secara signifikan. Teknik ini banyak
digunakan dalam pembangunan struktur publik agung. Konstruksi pada periode
Renaissance juga banyak berfokus pada desain dan arsitektur bangunan,
daripada bahan yang digunakan untuk proses konstruksi. Ini sebagian besar
disebabkan oleh peningkatan apresiasi estetika dan desain, serta emansipasi
berbagai bentuk seni lainnya, yang mengarah pada reformasi budaya yang
meluas.

Munculnya Masa Industri Awal membawa produksi massal


menggunakan proses teknologi yang ada, serta peningkatan inovasi teknologi.
Tingkat pembangunan tempat penampungan meningkat secara eksponensial
setelah meluasnya penggunaan mesin uap, dan besi yang diperbolehkan ini
dapat dibuat dengan mudah dalam skala besar. Banyak bentuk yang berbeda
dapat diproduksi massal di pabrik-pabrik, dan balok besi segera menjadi
dukungan standar untuk seluruh struktur.

8
Bata juga diproduksi massal di pabrik-pabrik dengan menggunakan
kiln, daripada harus menggunakan metode kuno membiarkannya di bawah
sinar matahari untuk dikeringkan. Dengan demikian, biaya batu bata berkurang
dan menyebabkan penggunaannya yang luas di gedung-gedung. Munculnya
penggergajian bertenaga uap dan air juga memungkinkan kayu untuk
diproduksi dalam ukuran standar pada skala besar. Kuku-kuku buatan mesin
juga tersedia, dan kombinasi kedua bahan ini disediakan untuk bentuk
penampungan cepat dan murah dalam bentuk kerangka balon (metode
konstruksi kayu). Biaya rendah dan kemudahan konstruksi membuat framing
balon sangat menarik, karena orang-orang tidak lagi membutuhkan tukang
kayu yang sangat terampil dan dapat membangun gedung mereka sendiri tanpa
kurva belajar yang memakan waktu. Ini adalah jawaban atas masalah .

6. Era Kontemporer

Salah satu faktor dominan ditampilkan dalam pembangunan tempat


penampungan di Era Kontemporer. Tempat penampungan bukan lagi struktur
yang sederhana, tetapi menjulang tinggi bangunan yang biasanya dibangun
dengan beton atau baja. Inovasi utama adalah pengembangan rangka baja
sebagai elemen struktural. Batu bata masih digunakan dalam bangunan, dan
kaca telah digunakan secara luas untuk memberikan tampilan dan nuansa
modern pada bangunan.

Beton ringan juga meningkatkan kekuatan beton, dan penggunaan


pompa untuk menghantarkan beton ke tingkat atas berarti beton dapat
digunakan dalam pembangunan gedung-gedung tinggi juga. Beton bertulang, di
mana batang baja dikombinasikan dengan beton, juga dikembangkan.
Perkembangan mutlifaceted selama periode ini telah mengarah pada praktik

9
yang telah menjadi standar industri untuk pembangunan gedung dan tempat
penampungan, dan akan terus melakukannya.

2.2 Pengertian Shelter


Bangunan shelter adalah fasilitas umum yang apabila terjadi bencana
(gempa bumi, banjir, tsunami, angin topan, dll), digunakan untuk evakuasi
pengungsi, namun bisa digunakan pula untuk fasilitas umum yang lain misalnya
untuk tempat rekreasi atau ibadah atau yang lainnya, apabila tidak terjadi bencana.
Syarat bangunan shelter adalah bangunan satu lantai atau tingkat yang tahan
gempa, tahan cuaca, dan bisa menampung banyak orang. Bangunan shelter
mempunyai fungsi sekunder saat tidak terjadi bencana, selain mempunyai fungsi
utama sebagai shelter untuk hunian dalam keadaan darurat.

Istilah ‘shelter' memang sangat luas, mencakup semuanya dari tempat


berlindung sementara dari badai, misalnya di bawah pohon, hingga ke tenda,
gubuk, gedung publik, atau rumah.Hampir semua objek fisik yang dapat digunakan
untuk berlindung dari marabahaya dapat disebut sebagai shelter. Yang paling
penting juga, shelter adalah sebuah proses, dan seringnya disebut sebagai proses
penyediaan 'shelter' (sheltering), hal ini sama pentingnya dengan objek shelter itu
sendiri.
Dalam konteks kemanusiaan istilah shelter merujuk secara khusus pada
ruang fisik yang dapat ditinggali oleh orang yang menjadi pengungsi akibat
bencana. Ruang fisik yang digunakan untuk shelter kemanusiaan sangat beragam
bergantung pada faktor-faktor seperti konteks budaya dan politik, ketersediaan
struktur dan bahan, serta profil bencana.

Shelter Dalam Konteks Kemanusiaan


Yang dimaksud profesional dalam bidang kemanusiaan adalah semua
tindakan harus berpedoman pada prinsip-prinsip kemanusiaan secara global dan
universal, dengan menghormati hak asasi dan martabat manusia, dan menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlaku atas individu dan komunitas di
seluruh dunia. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan tersebut tercantum dalam
Kode Etik Palang Merah, yang didasarkan pada 10 prinsip:
1. Kepentingan kemanusiaan harus didahulukan.

10
2. Bantuan diberikan tanpa memandang ras, kepercayaan, atau kebangsaan penerima
tanpa membeda-bedakan. Prioritas bantuan diatur semata berdasarkan kebutuhan.
3. Bantuan tidak akan digunakan untuk memaksakan pandangan politik atau
kepercayaan tertentu.
4. Kita harus berupaya agar tindakan kita tidak menjadi alat kebijakan politik luar
negeri pemerintah mana pun.
5. Kita harus menghormati adat dan kebiasaan setempat.
6. Kita harus berusaha membangun kapasitas tanggap bencana lokal.
7. Kita harus mencari cara melibatkan penerima bantuan program dalam pengelolaan
bantuan.
8. Bantuan harus dapat mengurangi kerentanan akibat bencana di masa mendatang
sekaligus memenuhi kebutuhan dasar.
9. Kita bertanggung jawab kepada penerima bantuan sekaligus kepada pemberi
bantuan.
10. Di dalam kegiatan informasi, penerbitan, dan periklanan, kita harus memandang
korban bencana sebagai manusia yang bermartabat, bukan sebagai objek tanpa
daya.
Penerapan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dalam proses penyediaan shelter
harus dipertimbangkan dengan seksama. Faktor-faktor berikut ini harus disertakan
dalam pertimbangan ketika menerapkan program shelter:
 Shelter dan perlindungan; memenuhi kebutuhan kelompok paling rentan.
 Permukiman dan lingkungan
 Partisipasi dan akuntabilitas
 Koordinasi dan pengelolaan informasi

Beberapa poin yang diperlukan dalam desain shelter:

1. Mudah diangkut, dilipat dan dapat dikirim datar atau dalam paket.
2. Dibangun dari bahan daur ulang dan memiliki kemampuan untuk digunakan
kembali.
3. Mudah dibangun dan disatukan dengan beberapa alat atau tidak.
4. Dapat dibangun secara individu atau secara berkelompok/kompleks
5. Dapat diproduksi secara massal.

11
Peletekan dan Material Bangunan Shelter :

Peletakan : Di atas tanah, Rumah panggung, Rumah terapung, Kombinasi/multifungsi.


Material : Metal/besi/baja, Kayu, Tenda, Bahan setempat yg mudah di dapat.

2.3 Standar Shelter

Menyediakan standar dasar untuk program bantuan, dengan tujuan


meningkatkan kualitas implementasi program dan akuntabilitas.Standar
kemanusiaan internasional untuk aktor kemanusiaan. Dalam sektor kemanusiaan,
Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimal dalam Tanggap Bencana (Proyek
Sphere) diakui secara universal sebagai kerangka kerja untuk tindakan dan prinsip-
prinsip inti panduan tanggap shelter dan permukiman. Standar Inti Kemanusian
(The Core Humanitarian Standard-CHS) akan segera diintegrasikan dengan buku
Pedoman Sphere , mengganti buku pedoman 6 Prinsip Int. CHS adalah kode
kerelawanan yang menggambarkan elemen-elemen prinsip, akuntabilitas dan
kualitas aksi kemanusiaan.
Terbagi dalam empat bab, standar minimal tersebut dibuat berdasarkan
bukti, menjelaskan kondisi yang harus diperjuangkan oleh penyedia shelter
kemanusiaan dalam bentuk tanggap darurat apapun sehingga masyarakat terdampak
bencana dapat bertahan dan pulih dalam kondisi stabil secara bermartabat. Salah
satu bab tersebut berpusat pada shelter, permukiman dan bantuan non-pangan,
mencantumkan daftar tindakan penting, indikator penting, dan catatan panduan
untuk program shelter, monitoring dan evaluasi hasil. Departemen Shelter dan
Permukiman (SDD/Shelter and Settlement Department) IFRC telah
mengembangkan serangkaian panduan untuk shelter, yang didasarkan pada standar
yang diakui dengan pengalaman yang teruji, mencakup:
 Sustainable Reconstruction in urban areas: a Handbook (Rekonstruksi
Berkelanjutan dalam area urban: sebuah Buku Pegangan)
 Assisting host families and Communities After Crisis and Disaster: A Step by
Step Guide (Bantuan kepada keluarga dan Masyarakat Induk Semang Setelah
Krisis dan Bencana: Sebuah Panduan Langkah demi Langkah)
 Post-Disaster Settlement Planning Guidelines (Panduan Perencanaan
Permukiman Pascabencana)

12
 Owner-Driven Housing Reconstruction (ODHR) Guidelines (Panduan
Rekonstruksi Perumahan Berdasar Kebutuhan Pemilik (ODHR)
 Cash Transfer Guidelines (Panduan Transfer Tunai)
Komunitas yang mencari shelter sesudah terjadi bencana mungkin akan
ditampung oleh keluarga dan teman, mungkin akan mengungsi ke bangunan publik,
dalam tenda-tenda yang tersebar atau kompleks penampungan, atau bahkan di
puing-puing rumahnya sendiri. Bantuan shelter dapat berbentuk aneka ragam,
termasuk: shelter sementara, pusat penampungan kolektif, rumah sewa, intervensi
pasar, pelatihan, bahan bangunan, dll.
Yang tetap sama adalah hak atas shelter yang layak dan memadai,
memastikan keluarga terdampak dapat hidup dengan bermartabat dan selamat
semenjak rumah/shelter mereka tidak dapat dihuni hingga saat mereka dapat
kembali atau berpindah ke rumah yang permanen dan aman.
Hampir semua struktur fisik dapat digunakan untuk shelter, tetapi apa yang
membuat sebuah struktur dianggap sesuai untuk ditinggali manusia sementara yang
lain dianggap tidak sesuai atau tidak layak? Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat
terdampak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat memberikan
panduan bagi upaya penyediaan yang kita lakukan.

13
Dari tabel di atas, sudah jelas bahwa tugas penyediaan shelter untuk
masyarakat terdampak bukan sekadar penyediaan ruang fisik, akan tetapi lebih
pada kerja bersama dengan komunitas terdampak untuk membantu mereka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini berlaku bagi shelter perorangan
dan keluarga, seiring dengan lingkungan dan komunitasnya (pertimbangan
permukiman). Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. tidak selalu dapat
dipenuhi sebuah program shelter itu sendiri, sehingga program shelter yang efektif
harus selalu dirancang sebagai komponen yang terintegrasi dalam tindak tanggap
kemanusiaan yang lebih luas. Kebutuhan khusus dapat didukung oleh sektor atau
aktor yang berbeda. Ketika kebutuhan-kebutuhan di atas tidak terpenuhi,
masyarakat tetap membutuhkan bantuan shelter.

2.4 Shelter vs Penyediaan Shelter


Badan kemanusiaan secara tradisional memandang shelter pascabencana
sebagai proses tiga tahap, antara lain shelter darurat, shelter sementara, dan shelter
permanen. Meskipun proses tiga tahap ini mungkin sering diterapkan oleh badan

14
dan donor dalam operasinya, akan tetapi proses tersebut tidak menunjukkan proses
pemulihan yang dijalani oleh sebagian besar keluarga terdampak. Alih-alih proses
tiga tahap yang rapi, keluarga menjalani peningkatan yang bertahap, mulai dari
shelter darurat yang tidak layak dan tidak aman setelah bencana, diikuti
serangkaian perbaikan yang berjalan lamban hingga akhirnya mereka mendapatkan
rumah permanen yang layak dan aman.Peningkatan yang bertahap ini sangat
bervariasi pada tiap keluarga, bergantung pada besarnya dampak bencana,
kemampuan bertahan, dan dukungan yang tersedia bagi mereka. Beberapa keluarga
mungkin memiliki sumber daya pribadi untuk memulai rekonstruksi di Hari
Pertama setelah bencana, sedangkan keluarga yang lebih rentan mungkin
menghadapi hambatan yang lebih besar dan penundaan yang lebih lama, membuat
mereka lebih bergantung kepada bantuan dari organisasi kemanusiaan.Pada
tingkatan-tingkatan sepanjang perjalanan tersebut, keluarga terdampak mungkin
akan berpaling kepada bantuan dari badan kemanusiaan.

Penyediaan shelter bukan sekadar produk siap pakai yang didistribusikan


dalam tiga tahapan khusus, penyediaan shelter adalah sebuah proses bekerja sama
dengan komunitas, mendampingi mereka dalam perjalanannya, sejalan dengan
efisiensi dan pembiayaan yang efektif. Proses tersebut melibatkan konsultasi
dengan komunitas, analisis kebutuhan, dan dari sana, sebuah pemahaman atas arah
yang dituju oleh bagian-bagian dari komunitas tersebut.
Hal tersebut memberikan informasi bagi badan kemanusiaan, melalui
koordinasi dengan pemerintahan dan badan-badan lainnya, cara memberikan
bantuan terbaik bagi kelompokkelompok yang berbeda melalui penyediaan shelter
yang layak dan pantas untuk memastikan bahwa keluarga dapat hidup bermartabat
dan selamat.
Shelter sebagai jalur
Saat merancang intervensi shelter, penting untuk memahami bahwa sebelum
bencana terjadi, masing-masing keluarga telah menjalani sebuah perjalanan
penyediaan shelter. Perjalanan tersebut dipengaruhi oleh 3 jalur yang terpisah
(tetapi saling berkaitan), yaitu:
1. Jalur masing-masing keluarga
Kita memulai hidup dengan tinggal bersama keluarga atau wali kita.
Seiring waktu berjalan hal ini berubah. Sebagian besar keluarga menjalani

15
proses perbaikan rumah tinggal, pindah, atau perluasan rumah, untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang bertumbuh. Ketika bencana terjadi, masing-masing
keluarga sedang berada di tengah-tengah jalur tersebut. Titik tempat mereka
berada, dan arah tujuan mereka, akan memengaruhi kebutuhan penyediaan
shelter mereka.
2. Jalur masing-masing masyarakat
Sama seperti keluarga dalam perjalanan shelternya, dalam skala yang
lebih besar, komunitas juga menjalani perjalanan penyediaan shelter. Ini dapat
berupa perjalanan dari perumahan tradisional menjadi perumahan sesuai
keinginan, atau perubahan dalam perspektif sosial, ekonomi, politik,
keagamaan, dan kebudayaan masyarakat tersebut. Untuk dapat diterima oleh
suatu masyarakat, intervensi shelter harus secara kontekstual sesuai dan
menghormati jalur masyarakat yang dimaksud. Meski sebuah masyarakat
bersedia tinggal dalam shelter sementara dari bambu selama proses
rekonstruksi, masyarakat lain mungkin akan menganggapnya merendahkan dan
tidak layak.
3. Jalur shelter nasional
Masing-masing negara juga berada dalam perjalanan penyediaan shelter,
dipandu oleh pemerintah dan rakyatnya. Kebijakan dan peraturan pembangunan
dibuat untuk menjadi panduan konstruksi mulai dari bentuk arsitektur
tradisional, hingga bangunan yang memenuhi standar dan peraturan
pembangunan modern. Seringkali tipologi bangunan baru tersebut masih
memiliki kaitan dengan akar arsitektur tradisionalnya, memperkuat agar lebih
bebas dari bahaya, dan menambahkan kebutuhan modern. Salah satu bagian
penting dari jalur ini adalah vertikal. Seiring dengan meningkatnya urbanisasi
di dunia1, lebih banyak dibangun bangunan bertingkat, dan blok multi hunian.
Selama tanggap bencana, program shelter biasanya mendukung kerja
pemerintah dalam membantu komunitas mencapai standar nasional minimal
untuk perumahan, sambil sekaligus mendukung komunitas terdampak untuk
kembali ke jalur pilihannya masing-masing.

2.5 Bantuan Shelter Harus Disasar Berdasarkan Kebutuhan


Sama halnya dengan penyediaan bantuan lainnya, bantuan shelter
didasarkan pada kajian kebutuhan. Kajian kebutuhan shelter kerap membutuhkan

16
penggunaan format kajian shelter dengan konteks khusus. Kebutuhan teridentifikasi
masyarakat terdampak harus menjadi pusat dari sebuah program shelter. Dalam
bencana berskala besar, sering tak tersedia sumber daya pendukung shelter bagi
tiap keluarga terdampak. Dukungan shelter mungkin harus memprioritaskan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan kelompok paling rentan, mereka yang paling
tidak mampu memulihkan dirinya sendiri, atau yang menghadapi ancaman
berkonteks khusus. Organisasi kemanusiaan harus memutuskan keluarga mana
yang menjadi target pemberian bantuan, berdasarkan kebutuhan aktual dan
kerentanan khusus.

Misalnya, hal tersebut bisa mencakup disabilitas yang disandang oleh


anggota keluarga yang mungkin menghambat keluarga tersebut memenuhi
kebutuhan shelter-nya sendiri. Beberapa kerentanan umum yang teridentifikasi
telah terdaftar dalam isu-isu lintas sektoral, namun daftar tersebut tidak panjang,
dan dalam tiap upaya tanggap bencana akan muncul satu set tantangan baru untuk
pemulihan.
Kebutuhan shelter akan berbeda-beda dalam masyarakat terdampak
Komunitas yang mengungsi akibat bencana mungkin butuh waktu berminggu-
minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sebelum dapat kembali ke
rumah permanen yang layak dan aman. Beberapa orang mungkin hanya mengungsi
sementara, sementara yang lain mungkin tidak akan bisa kembali ke daerah
asalnya. Sifat dan lamanya waktu pengungsian sebuah keluarga bervariasi
berdasarkan beberapa faktor.
1. Jenis bencana
Tipe bencana yang berbeda akan memiliki dampak yang berbeda kepada
masyarakat.Banjir akan membuat keluarga-keluarga mengungsi, tetapi dapat
kembali dengan aman ke rumah setelah beberapa pekan. Sedangkan letusan
gunung berapi atau tsunami dapat menghancurkan tanah yang ditinggali
keluarga tersebut, sehingga mereka kehilangan ruang fisik tempat tinggal
mereka untuk selamanya. Dalam hal konflik bersenjata, atau ancaman
kekerasan, waktu yang dibutuhkan dapat mencapai bertahun-tahun sebelum
sebuah keluarga dapat kembali ke tempat asal mereka.
2. Tipe perumahan dan status penghuni sebelum bencana

17
Tipe perumahan yang berbeda (shelter tunggal, rumah gandeng, rumah
bertingkat, dll.) dan hak pengelolaan lahan (HPL) penghuni akan menentukan
kemungkinan jalur pemulihan bagi masyarakat terdampak. Keluarga yang
tinggal di gedung bertingkat, atau yang menyewa/menumpang mungkin tidak
dapat kembali ke tempat tinggal asal sebelum bencana dan membangun ulang
rumahnya. Mereka yang memiliki lahan, mungkin dapat memperbaiki rumah
aslinya, atau membangun rumah baru di atas tanahnya.
3. Kapasitas Bertahan Sebuah Keluarga, Komunitas, dan Pemberi Bantuan.
Dalam beberapa kasus, bencana mungkin menimpa komunitas dengan
kesiapan yang baik, dan hanya mengakibatkan pengungsian sementara. Dalam
kasus lainnya, bencana mungkin menimpa tanpa diduga atau memengaruhi
komunitas dengan kesiapan yang buruk dan menyebabkan lebih banyak
kerusakan dan mengakibatkan pemulihan yang lamban.Bahkan dalam
komunitas dengan kesiapan yang baik, beberapa keluarga mungkin memiliki
akses yang lebih mudah atas sumber daya dana tunai mereka sendiri, atau
tenaga kerja untuk perbaikan atau pembangunan ulang, dibandingkan keluarga
lain dalam komunitas yang sama.
Mekanisme bertahan adalah sebuah aset yang positif bagi sebuah
komunitas terdampak bencana untuk pulih, hal ini harus menjadi pertimbangan
utama bagi semua pemrograman pascabencana. Kajian yang dilaksanakan
dalam komunitas harus berfokus pada yang dapat dicapai komunitas itu sendiri,
sama halnya dengan kebutuhan shelter dan kesenjangan dalam bantuan.
4. Kebijakan Pemerintah
Setelah bencana terjadi, kebijakan dan tanggap bencana pemerintah
sangat bervariasi, memberikan bantuan instan atau bantuan tunda, mendukung
relokasi atau rekonstruksi.Variasi ini sangat memengaruhi waktu dan jenis
pengungsian.Bantuan shelter hendaknya mempertimbangkan juga profil
bencana dan kebutuhan serta kapasitas perseorangan dalam bagian-bagian yang
berbeda pada komunitas. Program shelter berdiri sendiri dan berukuran besar
kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat terdampak.
Untuk mengakomodasi hal ini, program shelter akan dibagi menjadi sub-
program yang masing-masingnya dirancang secara khusus untuk menyasar
kebutuhan satu bagian dalam masyarakat terdampak. Masing-masing sub-
program dapat terdiri atas rentang jenis bantuan shelter yang diberikan selama

18
jangka waktu tertentu melalui kisaran modalitas pelaksanaan. Dalam beberapa
bencana di dunia akhir-akhir ini, pemerintah telah memberlakukan kebijakan
'zona bebas bangunan' pascabencana untuk memastikan masyarakat tidak
membangun kembali di area yang risiko bencananya terlalu tinggi (baik berupa
banjir, tsunami atau longsor). Akan tetapi, kebijakan semacam ini berarti
keluarga yang tinggal di area berisiko tinggi tersebut kini harus mengungsi
secara permanen, dan akan membutuhkan dukungan yang lebih besar dan
meluas agar dapat membangun kembali kehidupannya di lokasi baru.

2.6 Fungsi Dan Manfaat Shelter


1. Fungsi Shelter
a. Struktur atau bangunan yang memberikan perlindungan atau perlindungan
b. Perlindungan terhadap ancaman alam, seperti cuaca ekstrem dan makhluk
berbahaya
c. Kebutuhan fisik
d. Tempat penampungan dapat menentukan status sosial
e. Kebutuhan Sosial
f. Makhluk berbahaya seperti serangga, hewan, individu yang mengancam
seperti musuh serta perlindungan terhadap pengamatan musuh
g. Cuaca ekstrem seperti badai, angin, hujan, salju, suhu panas atau dingin
h. Kebutuhan fisiologis
i. Ini bisa memberi Anda perasaan nyaman
j. Ini dapat membantu Anda mempertahankan keinginan Anda untuk bertahan
hidup
k. Individualitas
l. Dapat memberikan suasana hati dan emosi seperti
m. kenyamanan, relaksasi dan kepemilikan
n. Kebutuhan Ekonomi
o. Tempat penampungan bervariasi tergantung pada status ekonomi penghuni
(Status ekonomi buruk)
(Status ekonomi kaya)
(Pembuat tembikar India)
p. Tempat penampungan yang berfungsi sebagai tempat berlindung sementara
atau tempat tinggal bagi orang-orang tunawisma

19
q. Rumah penampungan bagi mereka dengan status ekonomi yang sangat
miskin atau bagi para tunawisma

2. Maanfaat Shelter Di Tempat Pengungsian

1. Kepada pemerintah:
Dengan adanya shelter lebih berfungsi untuk kesejahteraan masyarakat
disekitarnya dalam prosess pemulihan pasca bencana.

2. Kepada masyarakat pengungsian:


Bermanfaat dalam hal positif untuk kemajuan masyarakat dalam proses pemulihan
serta sebagai tempat tinggal sementara.

20
2.7 Jenis Shelter
1. Skyli

Perusahaan arsitektur yang berbasis di Stockholm, Utopia Arkitekter


telah merancang Skýli, mereka adalah kabin biru terang yang bermunculan di
salah satu lanskap terindah di dunia. Ide itu datang dari keinginan untuk
mengembangkan struktur yang dapat dengan mudah ditempatkan di sepanjang
beberapa jalur trekking paling terkenal di Islandia. Tidak hanya pondok-pondok
yang mencolok dan indah itu sendiri, mereka dapat dengan mudah dibangun
dan dibangun untuk menahan kondisi cuaca paling keras.
2. Guard House

Bangunan modular ini yang telah dirakit sangat ideal untuk digunakan
sebagai rumah penjaga untuk memberikan keamanan perimeter dan / atau
kontrol akses. Unit-unit ini dapat berfungsi ganda sebagai penjaga bilik atau

21
stasiun kasir dan dapat dilengkapi dengan berbagai pilihan termasuk lampu
sorot dan laci transaksi untuk memenuhi kebutuhan spesifik Anda.

3. Emergency Shelter

Arsitek Kosta Rika César Oreamuno telah merancang kapsul modular


yang mengakomodasi untuk kebutuhan dasar dari suatu komunitas yang
menawarkan keadaan darurat atau bencana. Unit-unitnya mudah beradaptasi
dan mudah dirakit untuk mempertanggungjawabkan berbagai situasi dan
meresponnya serangkaian fungsi unik, meskipun tema utama proyek
difokuskan pada peningkatan kualitas perhatian terhadap kebutuhan dasar
korban krisis, serta mendorong pengembangan komunitas

4. Homeless Shelter

22
Tempat penampungan tunawisma adalah jenis agen layanan tunawisma
yang menyediakan tempat tinggal sementara bagi individu dan keluarga
tunawisma. Tempat penampungan ada untuk menyediakan keselamatan dan
perlindungan bagi warga dari paparan cuaca sekaligus mengurangi dampak
lingkungan pada masyarakat. Mereka mirip dengan, tetapi dapat dibedakan
dari, berbagai jenis tempat penampungan darurat, yang biasanya dioperasikan
untuk keadaan dan populasi tertentu - melarikan diri dari bencana alam atau
keadaan sosial yang kasar. Kondisi cuaca ekstrim menciptakan masalah serupa
dengan skenario penanggulangan bencana, dan ditangani dengan pusat
pemanasan, yang biasanya beroperasi untuk jangka waktu pendek selama cuaca
buruk.

5. Teantive Shelter

23
Perancang desain Turki Designnobis menyusun konsep penampungan
dijuluki Tentative Perancang desain Turki, Designnobis membuat konsep
penampungan yang dijuluki Tentatif yang dapat disampaikan secara datar, dan
hanya muncul sekali, membutuhkan sangat sedikit perakitan di lapangan.
Tentatif memiliki atap dan lantai fiberglass, dan dinding kain yang tahan
cuaca. Desain ini akan berarti bahwa tinggi Tentatif berkurang dari 2,5 m (8
kaki) menjadi hanya 30 cm (1 kaki) ketika siap untuk diangkut, sehingga
memungkinkan hingga 24 unit untuk masuk ke dalam truk semi-trailer tunggal.

Saat digunakan, Tentatif akan berukuran 4 x 2 x 2,5 m (13 x 6,5 x 8 kaki), dan
interiornya bisa muat dua orang dewasa dan dua anak. Tempat perlindungan akan
diangkat dari tanah dengan panggung kecil, cahaya alami akan masuk melalui
jendela atap kecil dan jendela. Designnobis mengatakan kepada Gizmag bahwa
mereka berharap untuk mengomersialkan Tentatif
6. Modul Penyebaran Cepat

24
RDM dimasukkan melalui langkahnya selama tumpahan minyak Deepwater
Horizon.Perusahaan yang berbasis di Massachusetts, Visible Good, telah
mengembangkan tempat perlindungan darurat yang dikatakannya dapat dirakit
dalam waktu sekitar 25 menit oleh beberapa orang tanpa alat apa pun.
Secara cerdik, Rapid Deployment Module (RDM) memanfaatkan kotak
yang dikirimkan sebagai dasar untuk strukturnya. Atapnya, sementara itu, terbuat
dari kain, dan jendela dan pintu dapat dikunci. Setiap RDM dinilai sesuai untuk
10 tahun.
Di dalam, dinding RDM dapat berfungsi sebagai papan tulis dan 30 sq-ft
(12 sq-m) dari ruang lantai yang tersedia dapat dilengkapi dengan tempat tidur
susun dan meja, atau bahkan peralatan medis untuk melayani sebagai klinik.
RDM telah melalui langkahnya di dunia nyata selama tumpahan minyak
Deepwater Horizon, dan Angkatan Darat AS sangat terkesan sehingga
menginvestasikan dana R & D ke dalam perusahaan dalam upaya untuk
menciptakan versi yang lebih kuat yang cocok untuk iklim ekstrem.

7. Hush 2

25
Hush2 dapat dirakit dalam beberapa jam dan dibangun dari kayu lapis laut
The Hush2, oleh Extremis Technology, adalah tempat perlindungan bencana yang
dirancang untuk menahan angin tingkat badai hingga 200 mph (322 km / jam),
atau Kategori 5. Ini dapat dirakit dalam beberapa jam dan dibangun dari kayu
lapis laut. Untuk menghentikannya terbang, Hush2 diadakan di tempat dengan
sistem pengaturan tanah sederhana yang juga memungkinkannya untuk
dipindahkan dengan relatif mudah.
Huntara ini berukuran 4,3 x 4,4 x 2,4 m (14,1 x 14,4 x 7,9 kaki) dan terdiri
dari dua bagian, yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal dan tidur. Secara
kasar berbentuk persegi panjang, dapat dengan cepat dikonfigurasi ulang menjadi
"posisi aman-badai" yang lebih aerodinamis jika angin kencang menyerang.
Empat bagian dari tempat penampungan dilipat secara diagonal ke dalam dan sisi
tempat penampungan juga dilipat ke dalam untuk menciptakan bentuk kira-kira
segitiga.
Semua bilik dikirimkan sepenuhnya dilengkapi dan siap untuk digunakan
instan. Mereka dapat dipasang hampir di mana saja dan dapat dengan mudah
dipindahkan jika kebutuhan Anda berubah.
Ukuran model standar mulai dari 3 'x 4' hingga 8 'x 16' dan memiliki pintu
geser dan jendela untuk memudahkan komunikasi dengan pengunjung. Overhang
atap dapat dikonfigurasi untuk memenuhi hampir semua spesifikasi.

8. Shelter Di Gunung

26
 Dalam suatu pendakian, keberadaan pos berfungsi sebagai tempat singgah
maupun petunjuk jalan. Bagi Anda yang berencana mendaki Gunung Gede via
Jalur Cibodas weekend ini, kenali dulu setiap posnya.
Pos atau shelter dalam pendakian adalah suatu hal yang harus tersedia,
karena bangunan ini bisa bermanfaat untuk beristirahat bagi para pendaki. Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango sudah membangun shelter yang cukup lengkap
bagi para pendaki.
9. Shelter Di Pesisir

Bicara soal wisata laut, tanpa melibatkan tim penyelamat pantai, rasanya
tidaklah lengkap. Sebab keduanya memiliki hubungan sinergis. Wisatawan
membutuhkan ketenangan dan keamanan selama berpariwisata, khususnya ketika
bermain atau berenang di laut yang merupakan perhatian utama wisata
27
pantai. Sedangkan tim penyelamat (life guard) atau sekarang lebih dikeren dengan
sebutan Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) bertugas memberikan rasa
aman. 

2.8 Merancang Shelter


a. Syarat Merancang Shelter
Pemilihan Tapak
Secara umum panas, kelembaban tinggi disebabkan adanya angin dari
arah utara dan selatan hemisphere mengumpul dan naik pada pertemuan
permukaan tropis, menyebar kemudian dingin pada saat bersamaan.
Karakteristik antara lain :
 Kelembaban dan curah hujan tinggi sepanjang tahun
 Temperatur tinggi sepanjang tahun
 Temperatur diurnal bervariasi sekitar 8 der cel.
 Sedikit variasi dalam temperatur
 Lahan datar dan angin laut mempunyai peranan utama wilayah pantai
 Intensitas radiasi matahari bervariatif dengan kondisi berawan

Dalam memilih tapak atau lahan yang akan digunakan untuk tempat
membangun bangunan yang akan didesain sangat ditentukan oleh faktor
ekonomi, kelayakan dan harga dari tanah tersebut dan jika pada area pinggiran
kota aksesibilitas dan daya dukung inrastruktur. Permasalahan tentang iklim
mikro menjadi penting agar konsumdi energi untuk pemanasan ataupun
pendinginan yang lebih efisien. Kebutuhan akan rancangan yang mempunyai
karakteristik berkelanjutan terhadap masalah transportasi menuju lokasi. Dan
isu tersebut mengangkat masalah desain arsitektur bioklimatik yang sangat
sensitif dengan urursan “Physical Characteristics” dari sebuah site; mengenai
arah angin dan sinar matahari, kelayakan dari “shelter” (keterlindungan) atau
permukaan lahan.
1. Insolation
Pembayangan diakibatkan adanya topografi lahan, kondisi eksisting
dan bangunan serta vegetasi. Penataan bangunan dan vegetasi menjadi
faktor yang menentukan dalam mengatur akses sinar matahari untuk

28
mendapatkan panas. Dengan menempatkan bangunan yang lebih tinggi
berada pada deretan belakan bangunan lebih rendah maka akan
memperbesar peluang untuk mendapatkan pemanasan terhadap bangunan. 

2. Wind
Pertimbangan terhadap aspek ini adalah untuk mendapatkan
pembayangan pada situasi panas dan untuk mendapatkan ventilasi udara
segar pada saat pendinginan.
Pada kondisi panas, aliran angin dingin akan meningkatkan proses
heat loss sehingga lingkungan jadi lebih terasa dingin. Aliran angin
tersebut akan bekerja untuk mendinginkan beberapa permukaan elemen
bangunan dan juga meningkatkan infiltrasi melalui bukaan bangunan.
Tanaman sebagai pelindung (shelter) mempunyai fungsi untuk
pembayangan terhadap bangunan. Namun hal tersebut dapat menjadi
masalah untuk proses aliran angin menuju bangunan. Terlalu banyak dan
padat tanaman yang melindungi bangunan juga akan mengurangi infiltrasi
menuju bangunan. Desain juga harus mempertimbangkan terhadap arah
datang aliran angin beserta jarak antar bangunan dan tanaman sendiri.Pada
kondisi pendinginan, sangat penting untuk mengatur arah aliran angin
dengan menggunakan susunan tanaman yang terdapat disekitarnya dan
juga melalui topografi atau permukaan tanah.

29
3. Cooling
Kebutuhan terhadap proses pendinginan pada bagian belahan Utara
dan Selatan berbeda. Pada daerah tropis menuntut penggunaan bahan yang
ringan, termal inersia bangunan rendah, penggunaaan vegetasi, topografi,
natural ventilasi, reduksi terhadap insolasi pada saat kondisi dingin.
Di bagian Selatan orientasi Barat dihindari. Sangat sulit untuk membuat
pembayangan sebab altitude rendah saatsore hari dan temperatur yang
sangat tinggi pada siang hari

Peletekan dan Material Bangunan Shelter :

Peletakan : Di atas tanah, Rumah panggung, Rumah terapung,


Kombinasi/multifungsi.

Material : Metal/besi/baja, Kayu, Tenda, Bahan setempat yg mudah di


dapat.

b. Merancang Shelter
Meneteapkan Tujuan Desain
Dari tujuan utama yang terkait dengan shelter sementara unit, tujuan
desain dikembangkan secara sistematis. Dalam menetapkan desain
objectives, masukan data dari tiga sumber digunakan. Sumber penting

30
adalah masukan data yang dikumpulkan dari pengalaman masa lalu.
Terutama dari era besar terakhir rthquake, yang melanda Semenanjung
Anatolia pada tahun 1999. Sumber lain adalah rese pekerjaan lengkungan
pada yang ada sistem penampungan sementara. Juga persyaratan pengguna
umum digunakan dalam mengembangkan tujuan desain.
Kebutuhan Pengguna Dalam mengembangkan tujuan desain juga
biologi, physiologis, budaya, psikologis, persyaratan pengguna spasial
diambil memperhitungkan. Itu persyaratan dikompilasi dari sumber yang
berbeda

1. Tujuan Desain
Tujuan desain dikumpulkan dan diorganisasi dari pengalaman,
penelitian bekerja pada sistem penampungan sementara yang ada dan
dari pengguna Persyaratan. Tujuan utama dapat terdaftar sebagai
berikut:
 tujuan terkait dengan teknologi, konstruksi danbahan-
bahan,
 tujuan ekologi,
 tujuan terkait dengan biaya,
 tujuan yang terkait dengan fisika bangunan,
 tujuan yang terkait dengan organisasi spasial,
 tujuan sosiologis,
 tujuan yang berkaitan dengan estetika

31
2. Kriteria Dan Evaluasi Desain
Tingginya tingkat kualitas perkotaan dan keberlanjutan pemukiman
penampungan sementara sendiri dijamin dalam pengaturan kriteria
desain dan evaluasi untuk suatu tujuan dan evaluasi sistematis proses
dalam tahap analisis, perencanaan dan desain.Dalam menggunakan
desain dan kriteria evaluasi, tahap perencanaan dan desain tidak hanya
memiliki karakter arbitrer dan institusional, tetapi juga rational,
sistematis, dan terbuka prosedur pengambilan keputusan akan
dipastikan.Produksi dan penyimpanan sistem hunian sementara di pra
bencana periode akan menjadi tindakan penghematan waktu yang sangat
besar untuk manajemen bencana ditahap pemulihan pascabencana.
Dalam menggunakan design dan kriteria evaluasi sepanjang tahap
analisis, perencanaan dan desains juga akan memastikan penggunaan
rasional dari sumber daya terbatas di pos periode bencana. Ini akan
menghemat biaya, peralatan konstruksi, peralatan dan pengerjaan
mungkin. Melalui perencanaan dan desain yang tepat disebelum masa
bencana, juga dampak berbahaya dari tempat penampungan sementara
pemukiman ke perkotaan daerah akan dihindari dan tingkat tertentu dari
sustainability tercapai. Menggunakan hasil evaluasi yang ada sementara
diasistem lter di dalam perencanaan dan desain sistem penampungan
sementara untuk Istanbul juga memastikan kinerja keseluruhan sistem

32
yang lebih tinggi elf dan urban yang lebih tinggi kualitas secara umum,
sejajar dengan keselamatan bencana

3. Menetapkan Kriteria Dan Evauasi Desain


Sebelumnya Karena hampir tidak mungkin untuk sistem atau
desain alternatif untuk memenuhi semua kriteria pada tingkat yang
sama, peringkat pembobotan kriteria diperlukan. Dalam kepentingan
relatif dari kriteria diberi peringkat according untuk "penilaian
spesialis". Pengetahuan spesialis dan pengalaman terkait bidang seperti,
perencanaan kota; desain dan technology dan bencana manajemen
digunakan dalam perangkingan desain dan evaluasi kriteria.sebuah skala
peringkat dikembangkan, mulai dari 1 hingga 5, where nilai ditafsirkan
dari "kurang penting" menjadi "sangat penting" untuk proses judging.
Kriteria peringkat dalam urutan skor preferensial mereka, menurut
preferensidari para spesialis.Kepentingan relatif dari 145 sub kriteria
adalah peringkat menurut perkotaan perencanaan, desain dan teknologi
dan penanganan bencana spesialis ahli pertimbangan. Sub kriteria
peringkat tertinggi untuk desain dan evaluasi pasca penampungan
sementara bencana dan penyelesaian pemukiman dapat terdaftar sebagai
berikut:
 “Kebutuhan ruang terkaittindakan dasar ”
 “Kenyamanan iklim interior”
 "Privasi akustik dan visual"
 “Kenyamanan visual”

33
 "keamanan"
 "Lingkungan yang higienis"
 "kualitas udara"
 "komunikasi Visual"
 "hubungan sosial"
 "Aksesibilitas untuk orang cacat danpengguna lansia ”
 “Optimasi dalam ruang aksiinteraksi"
 “Fleksibilitas dalam ruang dan bentuk”
 “Preferensi estetika pengguna”
 "Memungkinkanindividualisme / personalisasi ”
 "Gambar akrab"
 "Akses ke sistem layanan"
 “Efisiensi energi dalam produksi danmenggunakan"
 “Menghindari pencemaran lingkunganapapun"
 “Tidak ada emisi berbahaya terkaitbahan-bahan ”
 “Menggunakan bahan yang dapat didaur ulang”
 "Keberlanjutan"
 "Interaksi sementara unit dantanah"
 “Produksi dan konstruksi yang mudah”
 "Berkumpul dalam beberapa langkah"

34
4. Desain Akhir
Langkah terakhir dari proses desain terdiri dari keduanya desain akhir;
sistematis pendekatan metodologis dan "lompatan kreatif" enga
melepaskan satu sama lain.Keputusan desain "terwujud" untuk posting
dipenampungan sementara sementara unit yang tercantum di atas
diambil bersama dengan akumulasi pengetahuan ulated diperoleh dari
studi analisis dari "terbaik" yang ada sistem helter ke dalam
pertimbangan. Dua sub proses desain paralel dieksekusi pada saat yang
sama waktu; yaitu desain detail dan spasial atau desain ganization &
form.Rincian dikembangkan untuk setiap kayu prefabrikasi panel dan
majelis proses secara terpisah dalam interaksi dengan unit tersebut
organisasi & bentuk spasial secara keseluruhan. Menggunakan hasil
evaluasi study dari sistem yang ada dan mempertimbangkan kondisi asli
Istanbul's environment, berbeda alternatif desain dikembangkan. Alt
desain iniernatives juga dievaluasi, menggunakan sub-kriteria untuk
menghasilkan hunian pasca bencana pola hunian sementara dan
permukiman sementara

35
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
konsep mengenai shelter sangat dibutuhkan dan harus disampaikan
kepada semua masyarakat apa itu shelter, tujuan, manfaat, prisipnya,
standartnya, maupun cara pembangunannya agar di saat ada bencana semua
masyarakat dapat berpatisipasi untuk membangun shelter pasca bencana agar
kondisi cepat pulih dan keadaan semakin membaik.

3.2 Saran

Bagi masyarakat diharapkan mau belajar tentang konsep shelter


supaya tidak hanya mengandalkan tim yang sudah terlatih saja, dan untuk kita
mahasiswa keperawatan diharapkan mampu menguasai teori maupun
praktiknya tentang konsep shelter ini karena kita sebagai tenaga kesehatan
diharapkan mampu menolong korban pasca bencana.

36
DAFTAR PUSTAKA

IFRC, 2018. Kode Etik Gerakan dan Organisasi Non-Pemerintah Palang Merah
dan Sabit Merah Internasional dalam Bantuan Terhadap Bencana
Referensi - Standar shelter
International Development Law Organisation (IDLO), 2009. International laws and
standards applicable in natural disasters
International Development Law Organisation (IDLO), 2009. Natural Disaster
Manual
IFRC, 2012. Assisting host families and Communities After Crisis and Disaster: A
Step by Step Guide
IFRC, 2012. Post Disaster Settlement Planning Guidelines
IFRC/SKAT, 2012. Sustainable Reconstruction in Urban Areas
The Sphere Project, 2011. The sphere handbook: humanitarian charter and
minimum standards in humanitarian response.
Gender Based Violence (GBV) risk reduction in shelter programmes Core
Humanitarian Standard, 2018
Şener, S. M., & Altun, M. C. (2009). Design of a post disaster temporary shelter
unit. A| Z ITU Journal of the Faculty of Architecture, 6(2), 58-72.

https://en.wikipedia.org/wiki/Homeless_shelter

https://sites.google.com/a/gsbi.org/gvc1416/types-of-shelters

https://dokumen.tips/documents/shelter-hunian-darurat-galeri-

https://newatlas.com/disaster-emergency-relief-shelter-best/40699/

kemensos dan PMI. (2019). Panduan Shelter Untuk Kemanusiaan. Jakarta : Kementerian
Sosial Republik Indonesia.

37
38

Anda mungkin juga menyukai