Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA

“ AGAMA DAN MASYRAKAT”

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 5

1. YANI SULISTIANI B 201 20 027


2. ELSA B 201 20 028
3. ARDIANSYAH B 201 20 029
4. NURUL MAGFIROH B 201 20 033
5. EKKY BUDIMAN B 201 20 034
6. FHADYA HUSNUL CHANDRA RANIA B 201 20 035

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan ini terdapat dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu agama
dan masyarakat. Agama sebagai suatu budaya dan identitas dalam kehidupan
bermasyarakat erat kaitannya dengan suku, agama, ras, dan antargolongan. Semuanya
hidup berdampingan dengan adanya toleransi, saling menghormati antara satu dengan
yang lainnya. Tetapi dengan hidup berdampingan itu juga akan memicu perseteruan
atau konflik dalam agama, baik itu konflik yang muncul dari internal maupun dari
agama yang lain.
Perlu kita ketahui agama dalam kehidupan mencerminkan kepribadian
seseorang yang menganutnya, jika diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari serta
kehidupan yang bermasyarakat sangatlah kuat kebersamaan, pengorbanan dan banyak
hal yang masih terkandung didalamnya. Maka dari itu penulis membuat makalah ini
yang berjudul Agama dan Masyarakat, sebagai tambahan referensi bagi pembaca.
B. PEMBAHASAN 1. Agama dan Budaya
Dalam bahasa Arab, agama berasal dari kata al-din. Kata al-din mengandung
berbagai arti diantaranya al-mulk (kerajaan), al-ibadat (pengabdian), al-izz
(kejayaan), al-tadzallul wa al-khudhu (tunduk dan patuh) dan sebagainya.
Sedangkan pengertian al-din yang memiliki makna agama adalah nama yang bersifat
umum artinya tidak ditujukan kepada salah satu agama saja, ia adalah nama untuk
setiap kepercayaan yang ada. Islam juga menggunakan kata agama sebagai
terjemahan dari kata al-din hal ini terdapat dalam QS. 3: 19.
Menurut sudut pandang kebahasaan lain agama berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”. Jadi pengertian agama
adalah “tidak kacau”. Dalam pengertiannya agama adalah suatu peraturan yang
mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Kata agama dapat disamakan dengan
kata religion dalam bahasa Inggris ataupun religie dalam bahasa Belanda keduanya
berasal dari bahasa Latin religio dari akar kata religare yang berarti mengikat. Maka
Pemahaman sosiologi atas agama tidak diambil dari pewahyuan yang datang dari
dunia luar, tetapi diangkat dari pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan
dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian sekarang. Jadi definisi agama
menurut sosiologi adalah definisi yang empiris.
Aliran fungsionalisme melihat agama dari fungsinya. Agama dipandang sebagai
suatu institusi yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan
baik. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan adalah daya guna dan pengaruh
agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita
masyarakat dapat terwujud.
Adapun pengertian budaya secara bahasa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
budhayyah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Ada pendapat lain
yang mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi yang merupakan
unsur rohani sedangkan daya adalah unsur jasmani manusia. Dengan demikian,
budaya merupakan hasil budi dan daya manusia. Adapun pengertian budaya menurut
Soerjono Soekanto adalah hasil karya, rasa, dan cipta manusia yang didasarkan pada
karsa (kebudayaan, kultur).
Dalam sudut pandang kebahasaan lain kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut
dengan culture, yang berasal dari bahasa Latin colere yang artinya mengolah atau
mengerjakan. Dalam bahasa Belanda cultuur yang berarti sama dengan culture
dapat diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani. Dengan demikian kata
“budaya” ada hubungannya dengan kemampuuan manusia dalam mengolah sumber-
sumber kehidupan, seperti dalam hal pertanian. Menurut ahli antropologi modern
dan ahli ilmu sosial mengartikan kebudayaan sebagai seperangkat pengetahuan yang
dimiliki bersama oleh suatu masyarakat, yang dijadikan pedoman untuk bertindak
untuk memahami lingkungan serta menafsirkannya.
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap alam. Kehidupan beragama
menyebabkan berkembangnya suatu tradisi keagamaan atau sistem kepercayaan asli
yang diwariskan sejak zaman nenek moyang seperti upacaraupacara agama yang
bercampur dengan upacara adat atau budaya masyarakat yang merupakan
penonjolan kegiatan keagamaan.
Menurut Kuntowijoyo, agama dan budaya adalah dua hal yang saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi, baik dalam mengambil bentuk, simbol,
maupun isi/nilai. Misalnya proses penerimaan islam dalam penerimaan masyarakat
tradisonal di Jawa, akulturasi antara agama dan budaya lokal cukup kuat.
Masyarakat Jawa berhasil mengembangkan kebudayaannya dengan menyerap unsur-
unsur agama dan kebudayaan Hindu-Budha dengan menyesuaikan dengan tradisi
Kejawen.
Bila para teolog melihat agama dala kerangka truth or false (benar atau salah)
maka para sosiolog melihat agama sebagai bagian inherent dari proses
perkembangan budaya manusia. Bahkan, agama itu sendiri dinilai sebagai gejala
budaya dan gejala sosial. Gejala agama bukanlah gejala ilmu kealaman, seperti air
yang mengalir dari atas ke bawah. Melainkan agama didefinisikan sebagai
kepercayaan akan adanya sesuatu yang Mahakuasa dan hubungan dengan sesuatu
yang Mahakuasa. Karena agama adalah kepercayaan, maka agama adalah gejala
budaya. Sedangkan interaksi antara sesama pemeluk agama dan agama lain yaitu
gejala sosial.
Dengan melihat agama sebagai sistem budaya, maka agama dapat diteliti sacara
ilmiah. Agama sebagai sistem budaya akan senantiasa bergerak secara dinamis,
sehingga dalam kurun waktu tertentu wajah agama akan senantiasa berubah.
Agama dan kebudayaan merupakan suatu konsep, tergantung dari sudut mana
kita memahami. Contohnya dengan mengibaratkan bahwa agama dan kebudayaan
sebagai wadah atau isi. Kebudayaan adalah suatu wadah, sedangkan agama adalah
isinya. Sehingga keduanya dijadikan pedoman untuk bertindak dan menghasilkan
tindakan dan benda-benda dari hasil tindakan.
Fluiditas (kelenturan) budaya-agama terlihat saat budaya ataupun agama
dianggap sebagai manusia yang terlahir di dunia mau tidak mau harus menerima
sebuah warisan ide-ide, tingkah laku maupun artefak yanng telah ada sebelumnya.
Berbeda ketika budaya ataupun agama dimaknai sebagai proses, keduanya
dipandang dalam bentuk kontinyuitas perkembangan, kebangkitan, dan keruntuhan
suatu kebudayaan. Kebudayaan dan agama sebagai proses adalah realitas yang
tidak terhenti satu jejak saja.

2. Agama dan Identitas


Identitas adalah pembeda antara satu kelompok dengan kelompok sosial lainnya.
Ada beberapa hal yang menjadi penanda bagi identitas diantaranya simbol-simbol,
budaya, perilaku, dan agama. Dalam konteks global agama menjadi penguat simbol
identitas sebuah kelompok. Misalnya, Islam merupakan identitas yang melekat bagi
suku Minangkabau maka otomatis orang yang tidak beragama Islam bukanlah
termasuk etnis Minangkabau. Dalam hal ini Islam berhasil membangun identitas
etnis Minangkabau sebagai etnis muslim, ini berarti agama telah menjadi suatu alat
penentu yang menyatakan ke-minangkabau-an seseorang. Contoh lainnya, pada
masyarakat Dayak. Seorang masyarakat Dayak yang kemudian memeluk agama
Islam tidak dapat lagi dikatakan sebagai bagian dari etnis Dayak.
Identitas merupakan hal yang mendasar dalam kehidupan bermasyarakat.
Identitas yang dimaksud dapat berupa identitas agama, nasionalitas, ideologi, dan
lain sebagainya. Dengan adanya identitas, setiap individu bisa berinteraksi dengan
baik karena setiap individu mengatahui identitas individu lain. Menurut Larry A.
Samovar apabila seseorang terlalu fanatik terhadap identitasnya maka akan
mengakibatkan stereotip, prasangka, rasisme, dan etnosentrisme. Dan ia juga
menjelaskan bahwa perlu adannya pendalaman materi keagamaan yang benar akan
identitas agar terlaksananya kehidupan plural yang harmonis. Karena jika seseorang
telah memahami identitas agamanya, ia akan berperilaku sesuai dengan ajaran yang
ia dalami. Sehingga dalam kehidupan modern seseorang tidak kehilangan
identitasnya.
Identitas terbentuk berawal dari pengelompokan individu yang hanya
berdasarkan prasangka tanpa landasan atau dasar yang kuat, kemudian membuat
stereotip yang tidak tepat dan akhirnya menjadi diskriminasi.

3. Konflik Antar Umat Beragama a. Makna Konflik


Konflik berasal dari kata latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih dan bisa juga kelompok, dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik
merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih, pertentangan pendapat antara
orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi. Dan konflik
berkaitan dengan perbedaan, ketidaksesuaian, oposisi atau pertentangan.
Konflik dilatarbelakangi karena perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
berinteraksi. Perbedaan tersebut menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya. Dengan membawa ciri-ciri tersebut
dalam berinteraksi sosial maka terajadilah konflik. Konflik dapat memberikan
akibat yang merusak baik dalam diri seorang, terhadap anggota kelompok
lainnya, maupun terhadap masyarakat.
Konflik terjadi karena adanya komunikasi. Maksudnya apabila kita ingin
mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dalam perilaku
berkomunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua
konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, jika komunikasi
adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu
secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu,
pasti ada konflik. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal, tapi juga
diungkapkan secara non-verbal, seperti dalam bentuk raut wajah, gerak badan,
yang mengekspresikan pertentangan. Konflik juga tidak selalu terjadi baku
hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi di identifikasi sebagai “perang
dingin” antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata-kata
mengandung amarah.
Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber
pengalaman positif, maksudnya bahwa konflik dapat menjadi sarana
pembelajaran dalam suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya
membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah dibalik
perseteruan pihak-pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara
menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali dimasa yang akan
datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu
terjadi kembali.

b. Hubungan Agama dengan Konflik Sosial


Manusia sebagai makhluk sosial tentu akan selalu berinteraksi dengan sesama
manusia. Ketika adanya interaksi akan selalu diwarnai dua hal, yaitu konflik dan
kerja sama. Dengan itu konflik maupun kerjasama merupakan bagian dari
kehidupan manusia. Rubin menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai
situasi sosial, baik terjadi dalam diri seorang, antar individu, kelompok,
organisasi, maupun antarnegara. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai
macam ragam, bentuk, dan jenisnya. Berikut adalah faktor penyebab konflik
sosial, yaitu:

1) Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antarindividu dapat menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik
adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu
yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan itulah yang menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seorang
tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung
pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan tiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, ada juga yang
merasa terhibur.

2) Perbedaan latar belakang kebudayaan


Perbedaan latar belakang kebudayaan dapat membentuk
kepribadian, pola pikir dan pendirian yang berbeda-beda pada setiap individu.
Perbedaan tersebut dapat menjadi pemicu konflik ditengah kelompok
(masyarakat).

3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok


Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,
masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda.
Terkadang orang dapat melakukan hal yang sama tapi dengan tujuan yang
berbeda.

4) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat


Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, jika perubahan itu
berlangsung dengan cepat dan mendadak, maka perubahan itu dapat
menimbulkan konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang
mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan mucul konflik sosial
sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak
pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.

c. Isu-isu Keagamaan
Berikut beberapa isu-isu keagamaan yang menjadi penyebab munculnya
konflik keagamaan, yaitu :
1) Isu Moral, didalamnya melingkup isu-isu mengenai perbuatan asusila,
prostitusi, pornografi/ pornoaksi, perjudian, minuman keras, dan narkoba.

2) Isu Sektarian, Ialah isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi


atau pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama ataupun status
kepemimpinan dalam suatu kelompok keagamaan. Contohnya dalam Islam
yaitu kasus Ahmadiyah, Lia Eden dan Al-Qiyadah AlIslamiyah. Kelompok
ini merupakan kelompok keagamaan yang sering memicu protes dan
kekerasan oleh kelompok keagamaan lainnya ataupun masyarakat umum.
Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah salah satu kasus yang mewakili isu
sektarian.

3) Isu Komunal, adalah isu-isu yang melibatkan perseteruan antarkomunitas


agama. Contohnya seperti konflik pendirian rumah ibadah oleh beberapa
agama lain, perseteruan antara kelompok agama dan kelompok masyarakat
lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi berasal dari kelompok agama
tertentu.

4) Isu Terorisme, yaitu isu-isu yag berhubungan dengan aksi serangan teror
terhadap kelompok keagamaan tertentu maupun warga asing. Contohnya
kasus pengeboman di Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra
dan berbagai serangan bom di Jakarta.

5) Isu Politik Keagamaan, adalah isu-isu yang melibatkan sikap anti terhadap
kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing dan sikap kontra ideologi
atau kebudayaan Barat atau asing lainnya. Contohnya isu penerapab syariat
Islam atau Islamisme, serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah
indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu.

6) Isu lainnya, melingkup isu subkultur keagamaan mistis, seperti santet,


tenung, dan isu lainnya yang tidak termasuk dalam lima kategori
sebelumnya.

Jika dilihat dari jenisnya, kekerasan yang berkaitan dengan konflik


keagamaan yaitu:
1) Penyerangan terhadap orang atau kelompok;

2) Penyerangan terhadap properti milik orang atau kelompok orang;

3) Penyerangan terhadap aparat pemerintah atau properti milik pemerintah;

4) Penyerangan terhadap warga asing/ properti milik pemerintah asing;

5) Bentrok antara warga atau kelompok keagamaan versus aparat keamanan;

6) Bentrok antar kelompok warga, kerusuhan atau amuk massa berdampak;


pada korban jiwa atau kerusakan properti milik kelompok agama.
4. Penyebab dan Penyelesaian Konflik antar Umat Beragama a. Penyebab
Salah satu penyebab lahirnya konflik agama disebabkan oleh stereotip
satu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda agama. Begitu juga dengan
tendensi-tendensi umat beragama dalam menyebarkan pesan agama tanpa
memperdulikan agama lain. Beberapa kasus yang disebabkan oleh hal tersebut
diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah
ibadah maupun tempat-tempat yang bernilai bagi masingmasing pemeluk
agama.
Menurut Zaenuddin, konflik agama memiliki sebab-
sebab diantaranya :
1) Ketertutupan
Kesalahan persepsi terhadap agama dapat menyebabkan konflik antar
umat beragama. Hasyim Muzadi mengungkapkan "Salah penggunaan
agama ini bisa berwujud ketertutupan (eksklusifisme) sehingga
menimbulkan rawan konflik atau liberalisasi yang menumbuhkan rawan
peniadaan terhadap pelaksanaan agama itu sendiri." Manusia perlu
menanamkan kesadaran dalam dirinya bahwa agama adalah sebuah
kesucian, sedangkan pemeluk agama bukanlah orang yang suci. Hasyim
menambahkan " Dengan demikian, klaim seseorang bahwa dia mewakili
keseluruhan kesucian agama sukar dimengerti. Yang sama dan sebangun
antara ajaran agama dengan pelakunya hanyalah para Nabi”.

2) Anggapan agamanya paling benar (truth claim)


Muhammad Iqbal menyampaikan bahwa "religion is an expression of
the whole man", yaitu agama merupakan ekspresi manusia. Wajar saja jika
ada pemeluk agama yang begitu fanatik terhadap agama yang dianutnya,
bahkan sampai menganggap bahwa hanya agamanya sajalah yang paling
benar.

3) Sikap Fanatisme yang berlebihan


Setiap pemeluk agama perlu memiliki sifat fanatik mutlak yang
berarti menunjukkan kecintaan pemeluk agama terhadap keyakinannya.
Akan tetapi, yang menjadi permasalahannya adalah jika sudah berlebihan
dan menyebabkan kebutaan dalam sikap kecintaan terhadap keyakinan yang
dianutnya.
4) Agama dipolitisasi
Kita tidak boleh mempolitisasi agama, akan tetapi kita perlu
mendepolitisasi agama. Melihat dari pendapat az-Zarnuji bahwa "Banyak
orang bermaal dunia, tapi bernilai akhirat, karena baiknya niat; dan begitu
pula banyak orang beramal akhirat, tetapi bernilai dunia, karena buruknya
niat".
Sedangkan menurut Hendropuspito ada beberapa bentuk konflik sosial
yang bersumber dari agama, antara lain :

1) Perbedaan doktrin dan sikap mental


Sebagian umat beragama yang terlibat dalam konflik, bahkan
perbedaan doktrin, itulah yang menjadi penyebab utama dari konflik itu.
Setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya,
membandingkan dengan ajaran agama lainya, memberikan penilaian atas
agama sendiri dan agama lainnya.
Agama pada umumnya membentuk sikap yang baik, seperti
persaudaraan, cinta kasih, kesatria, yang sangat membantu ketentraman dan
keamanan masyarakat. Akan tetapi, ada juga sikap mental yang negatif,
yang menyebabkan konflik antar golongan beragama, seperti kesombongan
religius, prasangka, dan intoleransi.

2) Perbedaan suku dan ras pemeluk agama


Konflik sosial yang terkait dengan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) sangat potensial dan mudah menjadi anarkis,
sehingga masalahnya jadi perhatian semua pihak terutama politisi dan
agamawan.
Pluralisme agama, etnis, dan budaya menjadi penyebab terjadinya
konflik ditengah kehidupan bermasyarakat. Contoh konflik di Bosnia
Herzegivina, Kosvo, yang karena perseteruan etnis dan agama, seluruh
tatanan sosialnya kacau.

3) Perbedaan tingkat kebudayaan


Agama sebagai bagian dari budaya Bangsa, perbedaan agama disuatu
tempat atau daerah, salah satu faktor pendorong terciptanya konflik
antarkelompok agama.

4) Masalah mayoritas dan minoritas golongan agama


Dalam masyarakat yang memiliki agama plural masalah terdekatnya
adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Dalam mayoritas
keagamaan kepentingan kebudayaan dan kepentingan politik dalam satu
kesatuan. Dimana akan tumbuh suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas
inilah yang dipanggil sebagai suatu kekuatan yang tak terkalahkan dan
berkuasa untuk menentukan dan menjaga jalannya masyarakat. Semua
minoritas harus tunduk kepada kepentingan mayoritas.

b. Penyelesaian

1) Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu yang terlibat konflik.

2) Dominasi/subjugation, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan


terbesar atas pihak lain untuk mentaatinya.

3) Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan
menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.

4) Minority concent, yaitu kelompok mayoritas yang menang namun kelompok


minoritas tidak merasa dikalahkan, dan menerima keputusan serta sepakat
untuk melakukan kegiatan bersama.
5) Compromise, yaitu kedua atau semua sub kelompok yang terlibat di dalam
konflik berusaha mencari atau mendapatkan jalan tengah.

6) Integration, yaitu mendiskusikan, menelaah dan mempertimbangkan


pendapat-pendapat yang bertentangan hingga menemukan satu keputusan
yang dapat diterima semua pihak.

C. PENUTUP
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan
individu dan masyarakat, bahkan terhadap alam. Kehidupan beragama menyebabkan
berkembangnya suatu tradisi keagamaan atau sistem kepercayaan asli yang diwariskan
sejak zaman nenek moyang. Seperti upacara-upacara agama yang bercampur dengan
upacara adat atau budaya masyarakat yang merupakan penonjolan kegiatan keagamaan.
Ada beberapa peran yang bisa dilakukan dalam beragama. Bukan berarti agama
adalah pribadi yang bisa melakukan sesuatu, melainkan peran yang dilakukan oleh
institusi agama atau umat beragama, terutama mereka yang berfungsi sebagai pemimpin
agama, karena banyak peran agama dan umat beragama dalam lingkup agamanya serta
pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Hanani, S. (2011). Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Bandung: Humaniora.

Haryanto, J. T. (2015). Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam.
Jurnal SMART (Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi), 1(1).

Hendropuspito. (1983). Sosiologi Agama.Yogyakarta: Kanisius.

Jamaludin, A. N. (2015). Agama dan Konflik Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia.

Lubis, R. (2017). Sosiologi Agama. Jakarta: Kencana.

Mushodiq, M. A. (2017). Teori Identitas dalam Pluralisme Agama dan Identitas


(Fenomena Pluralisme dan Toleransi Beragama Desa Jrahi, Gunungwungkal, Pati,
Jawa Tengah). Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya, 2(2), 379406.

Rumangit, S. K. (2013). Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di Indonesia.


Lex Administratum, 1(2).

St Aisyah, B. M. (2014). Konflik Sosial dalam Hubungan antar Umat Beragama. Jurnal
Dakwah Tabligh, 15(2)

Wahyuni. (2018). Agama dan Pembentukan Struktur Sosial. Jakarta: Prenadamedia


Grup.

Yunus. F. M. (2014). Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi Pemecahannya.


Substantia. 16(2). 217-228

Anda mungkin juga menyukai