Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MEREVIEW

BUKU BUMI DAN MANUSIA MAMASA

BAB 4 “BERTAHAN ATAU KELUAR (TURUN GUNUNG )

OLEH :

KELOMPOK 4:
1. EKKY BUDIMAN TIMANG- B20120034
2.FHADYA HUSNUL CHANDRA RANIA B20120035
3.KETUT NGURAH PUTRAYASA B20120036
4.AGRI B20120037
5.SARIPIANA ASWIATI B20120038
6.ISMAIL B20120039
7.RAHYANI NUR PRATIWI B20120040
8.ADINDA SITI NUR ANNISA KASIM B20120041
9. MOH. AAN HARDIANSYAH B20120042
10. ASMIRA NUR FALIDAH B20120043
11. SARIFUL B20120169
IV
Bertahan atau Keluar (Turun Gunung)

Kopi Mamasa Untuk Siapa?

Penanaman kopi di Mamasa secara intensif baru berlangsung sejak tahun


1980-an. Ketika itu hanya tumbuh beberapa kopi jenis arabika dalam jumlah kecil
di tengah volume besar jenis kopi robusta. Toraja yang sejak abad ke-19 sudah
memainkan peranan produksi yang sangat signifikan di jazirah Sulawesi
Selatan. Penanaman kopi di Mamasa dibuka tahun 1937, Belanda membuka
onderneming perkebunan kopi di Tamalantik.
Mereka kemudian mencari nama-nama orang yang pernah mengasuh mereka
pada saat mereka masih kecil. Tamalantik inilah kemudian bibit-bibit kopi
menyebar ke kampungkampung. Sebelum dijadikan area perkebunan
kopi, Tamalantik adalah ladang orang-orang Malakbo’. Bernama demikian karena
‘rumah kaca’ dan pasanggrahan, dikelilingi oleh taman yang dipenuhi bunga-
bunga dan sumber air panas yang dijadikan tempat permandian.
Sebelum perkebunan kopi dibuka, Belanda terlebih dulu melakukan
survei. Sebelum dikembangkan, kopi masih ditanam sebagai bibit. Selama tiga
tahun, sambil menunggu berbuah, lahan-lahan baru dibuka untuk bibit kopi yang
akan ditanam. Lubang itu dibiarkan terisi dengan daun-daun kering agar menjadi
humus sampai kopi yang dibibitkan berbuah. Dari buah kopi yang berbuah
tersebutlah bibit kopi baru diambil dan ditanam. Pada lahan-lahan yang cukup
datar, yang ditanam adalah bibit kopi robusta. Sementara di lahan yang agak tinggi
buruh akan menanam kopi arabika. Pada saat tumbuh, kopi tidak bisa dipangkas.
Setelah kopi sudah berbuah baru boleh diambil oleh masyarakat untuk
ditanam di kampung-kampung. Buah kopi hanya dipetik apabila sudah matang
semua. Buah kopi yang jatuh dilarang bagi siapa pun untuk memungutnya, sebab
dibiarkan tumbuh menjadi bibit lagi. Setelah semua pohon dipetik, buah-buah kopi
langsung dibawa ke pabrik untuk dikupas kulitnya. Biji kopi dikeringkan dengan
cara diasapi di atas para-para . Bertahan atau Keluar yang sudah dikeringkan
kemudian diangkut turun ke Polewali. Nantinya setelah jalan poros Polewali-
Mamasa dibuka dengan kerja paksa, pengangkutan kopi kemudian sudah
menggunakan mobil.
Bekas perkebunan kopi kemudian digarap oleh masyarakat. Masyarakat
tetap membudidayakan kopi. Bibit kopi yang tumbuh dibawah pohon-pohon yang
sudah tua dicabuti untuk ditanam di lahan-lahan baru yang dibuka di hutan. Pada
tahun 1980-an, harga kopi naik dan produksinya banyak di Tamalantik.

Hasil kopi digunakan untuk membangun rumah, membuka sawah, membeli


kerbau. Di tahun-tahun 1980-an itu juga, kopi Mamasa mulai dibawa ke Tana
Toraja. Sehingga yang muncul hanya nama kopi Toraja.
Bersamaan dengan proyek tersebut, penyuluh pertanian yang khusus tentang
kopi juga dikirim ke DTM. Mereka bertugas mengajarkan warga tentang
pengetahuan dan cara-cara budidaya tanaman kopi yang baru. Ketika pertama kali
ditanam, bibit kopi yang dalam istilah warga tondok disebut «kopi Jember»
tersebut banyak yang mati karena kemarau panjang melanda. Banyak masyarakat
yang awalnya tidak tahu bahwa «kopi Jember» adalah jenis kopi arabika. Malah
ada warga Mamasa yang baru tahu bahwa «Jember» sebenarnya merupakan nama
sebuah daerah di bagian timur pulau Jawa sewaktu ia berada di terminal Pasar Turi
Surabaya tahun 2000-an.
«Jember…Jember...Jember» untuk memanggil penumpang tujuan Surabaya-
Jember.
Pohon kopi yang selamat dari kekeringan mulai belajar berbuah dua tahun
kemudian, yakni 1983. Seorang petani kopi tondok di lembah sungai Mamasa
mengakui bahwa memang hasil panen kopi Arabika jauh berbeda dengan kopi
robusta. Pada saat panen perdana «kopi Jember» yang ia tanam sebanyak seratus
kilogram. Data tahun 2012 menyebutkan luas areal tanaman kopi robusta dan
arabika di Kabupaten Mamasa mencapai 7.143 ha dan 11.983 ha. Untuk kopi
robusta terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 1. 494 ha dan
tanaman menghasilkan seluas 2.997 ha. Selain itu terdapat penanaman kopi robusta
yang baru ditanam yang mencapai 685 ha. Tanaman kopi robusta ditanam hamper
di semua kecamatan di Kabupaten Mamasa. Untuk kopi arabika terdiri atas
tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 2.969 ha dan tanaman menghasilkan
4.825 ha. Selain terdapat penanaman kopi arabika yang baru ditanam yang
mencapai 1.108 ha. Tanaman kopi arabika banyak ditanam di Kecamatan Nosu dan
Sumarorong.130 Meskipun dalam perkembangannya varietas kopi arabika sudah
banyak ditanam di seluruh Mamasa.
Sebagaimana di Ballapeu’ di mana penanaman kopi sudah ada sejak
lama. Masuknya kopi secara intensif baru dimulai sejak tahun 1990-an di mana
masyarakat mulai menanam kopi jenis robusta. Kebanyakan penduduk di
Ballapeu’ menanam kopi jenis robusta di Tamalantik tidak jauh dari
Malakbo’. Sedangkan penanaman kopi jenis arabika yang dikenal dengan kopi
Jember baru dimulai di tahun 1990-an dan secara intensif ditanam di pertengahan
tahun 1990-an. Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur. Kopi jenis ini dijadikan
model dan komoditas yang penting untuk tanaman dagang. Diceritakan, bibit kopi
arabika diperkenalkan dari Dinas Pertanian di mana ketika pertama kali bibit
datang banyak orang memperebutkannya dan terbilang mahal.
Penanaman kopi baik robusta dan arabika masih dilakukan di kebun milik
sendiri. Belum ada penanaman kopi di kebun baru. Lokasi penanaman antara kopi
arabika dan robusta ditanam dalam satu lokasi tetapi ada pembagian
lokasinya. Rencananya, sebagaimana dikataka Plt. Kepala Desa, akan dibuka lahan
baru untuk penanaman kopi di lahan hutan lindung. Mekanismenya adalah dengan
hak pinjam pakai. Mantan kepala desa di Ballapeu’131 menunjukkan jenis pohon
kopi arabika yang tumbuh bersama pohon mecadamia atau tumuka dan pinus.
Panen kopi arabika di Ballapeu’ biasanya di bulan April dan puncaknya di
bulan Juni. Musim panen kopi robusta berlangsung di bulan Agustus-September.
Luas lahan penanaman kopi di Ballapeu’ umumnya 0,5 hektar dan jarang sekali
penduduk yang mempunyai luas lahan sampai 1 hektar. Penanaman kopi di satu
lokasi yang sama. Pun lahan sawah juga demikian, umumnya lahan sawah milik
penduduk di bawah 0,5 hektar. Di Ballapeu’ ada istilah tomabungkak dalam
penghitungan satuan, 1 tomabungkak = 1 are. Dalam prosesnya kopi robusta
dijemur beberapa hari sedangkan kopi arabika cukup seharian saja dijemur dan
setelah itu langsung dikupas kulit arinya. Setelah dipanen kopi arabika biasanya
dijual ke Mamasa dan Pasar Malakbo. Harga per liter untuk kopi arabika dijual
kisaran Rp13.000/liter-Rp15.000/liter. Untuk kopi robusta sendiri dijual Rp
20.000/liter-Rp 25.000 liter. Harga jual ditentukan oleh seorang pasambu’.132
Selisih Rp 1.000 untuk keuntungan petani kopi. Rata-rata panen sekitar 200-2000
liter/tanam. Jika dihitung panen 200 liter maka petani memperoleh Rp 2.800.000.
Kebanyakan petani membawa kopi mereka sendiri ke salah satu dari tiga pasar
utama yang diadakan setiap minggu di kawasan lembah: di Mamasa, Tamalantik,
dan Malakbo’.

Di Ballapeu’ kopi yang dijadikan konsumsi sehari-hari adalah jenis kopi


robusta sementara jenis kopi arabika umumnya dijual. Dalam mengkonsumsi kopi
biasanya orang meminum kopi tidak puas hanya satu gelas sehari. Dalam sehari
dapat dirinci, pagi gelas besar yang biasanya untuk 2-3 cangkir, siang satu
gelas dan sore satu gelas. Apalagi sehabis makan, meminum kopi adalah ibadat
wajib yang tak boleh ditinggalkan. seperti umumnya hasil perkebunan, kopi pun
bukanlah komoditas yang harganya ditentukan sendiri oleh petani. Harga kopi
adalah sesuatu yang berada di luar kuasa mereka, para petani kopi tondok.
Begitulah maka sejak tahun 1980-an pula, harga kopi mulai kembang-kempis tidak
menentu. Bahkan pada tahun 1990-an turun drastis sampai ada istilah ‘seribu tiga’
dari masyarakat karena harganya hanya lebih dari tiga ratus rupiah per
kilogram saja.
Pasambu’ Para petani menduga, para pasambu’ lah yang mengatur dan
memainkan harga kopi di pasar. Sebab jika belum “panen besar” harga kopi
akan naik. Sebaliknya pada saat “panen besar” berlangsung harga malah
turun dengan adanya dugaan bahwa para pedagang berkompromi untuk
mengatur harga kopi. Di samping itu, para pasambu’ sering menentukan harga
secara sepihak setelah memeriksa kopi yang akan mereka beli. Sementara para
pasambu’ beralasan, bukan mereka yang mengatur harga kopi di pasaran.
Seorang pasambu’ bercerita bahwa yang memainkan dan menentukan harga
kopi sebenarnya adalah para pedagang besar dan eksportir.
Pasar Global Bagi pembeli besar atau eksportir, selain rasa, aroma kopi juga
sangat menentukan. Kopi yang tidak punya aroma otomatis tidak akan diekspor.
Dan di antara arabika dan robusta, aroma dan rasa arabika lebih harum dan enak
dibandingkan robusta.
Rantai Tata Niaga Kopi
Para pasambu’ merupakan “tangan pertama” dalam rantai tata niaga kopi
di Mamasa. Mereka mendapatkan kopi, baik jenis robusta maupun arabika, dari
pasar-pasar tondok. Sebab, mereka juga akan menjual kembali kopi yang mereka
beli dari petani kepada pedagang sedang dan besar. Nielson (2004) dalam
temukan penelitiannya menandaskan bahwa “miskinnya sirkulasi kapital di
jaringan pasar lokal merefleksikan ketiadaan mesin penggilingan atau sistem
perdagangan tingkatan desa di Mamasa.
Intervensi Pemerintah Dalam Tata Niaga Kopi Bagi para petani, dalam
situasi seperti ini seharusnya pemerintah ikut terlibat untuk mengurusi
perdagangan kopi. Malah sebaliknya, seluruh proses tata niaga kopi sepenuhnya
diatur oleh “pasar”. Meskipun harga kopi ditekan, tidak ada intervensi dan proteksi
sama sekali dari pemerintah. Sekarang pemerintah menganjurkan kepada
masyarakat untuk menanam kopi. Sehingga dua tahun belakangan ini banyak
masyarakat kembali menanamnya. Masyarakat juga diberikan bantuan bibit kopi
dari Bogor, namanya Sigararutang, yang sedang dikembangkan di Tamalantik
Menurut salah seorang kepala balai pertanian kecamatan di Mamasa, “bibit
yang dibagikan adalah bibit yang jelek kualitasnya. Tidak mungkin bibit seperti
itu bisa dikembangkan oleh petani. Mendingan petani mengambil bibit kopi
lokal yang sudah ada untuk dibudayakan. intervensi pemerintah memang sedang
gencar dilakukan—jika sebelumnya kurang serius—untuk mendongkrak pasar kopi
dan membenahi tata niaganya di Mamasa melalui program komoditas unggulan.
Kopi bersama kakao menjadi tanaman komoditas unggulan Kabupaten
Mamasa. Namun kendala sebagai tanaman komoditas unggulan masih banyak
terganjal baik harga penjualan maupun dampak ekologi yang menyertainya.
Dalam catatan Bappeda Kabupaten Mamasa dan PSPPP IPB mencatat
bahwa potensi komoditas hasil kopi di Mamasa mengalami f luktuasi dari
tahun 2008-2011 dengan luas lahan sekitar 19.026 ha (BPS Sulawesi Barat,
2013). Dalam catatan BPS tersebut disebutkan, hasil komoditas kopi di
Mamasa tahun 2008 sebesar 9.762 ton, kemudian agak lebih rendah di tahun
2009 dan 2010 (7.447 ton dan 8.718 ton) dan menurun drastis 3.852 ton
pada tahun 2011. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh program Gernas
kakao yang menjadi program unggulan di Kabupaten Mamasa.
Petani Tondok Dalam Pasang-Surut Kopi
Pada tahun 1970-1980-an, dataran tinggi Mamasa mendapatkan berkah dari
naiknya harga kopi di pasaran. Pun bersamaan dengan masa panen besar saat itu.
Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh para petani kopi tondok untuk membuka
persawahan, membeli kerbau, dan sebagainya. Ternak: Dari Subsistensi Ke
Pasar Bagi warga tondok, memelihara ternak merupakan salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan kultural mereka. Dalam hal ini, ternak
ditaruh sebagai tabungan sehingga apabila dalam situasi mendesak bisa dijual
untuk digunakan dalam keperluan yang dimaksud
Selain kerbau, sapi pun demikian. Meskipun tidak dipotong dalam
ritual kematian, orang DTM (khususnya yang beragama Islam), mulai banyak
memelihara sapi untuk kebutuhan internalnya seperti acara pernikahan serta
hajatan-hajatan lainnya. Di samping itu, mulai banyak juga permintaan dari
“bawah” menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Babi juga
merupakan binatang yang penting bagi warga DTM, baik yang masih
menganut aluk todolo maupun yang sudah memeluk agama Kristen. Babi banyak
dibutuhkan pada saat kedukaan, natal dan acara-acara gereja yang lain.
Sehingga beternak babi juga sama dengan menabung saja
Akan tetapi memelihara babi pun tidak mudah perawatannya.
Kandangnya harus selalu dibersihkan dan setiap hari harus diberi makan. Babi
akan kurang makan jika pakannya hanya rumput saja. Hal ini akan membuat
berat badan babi akan berkurang, sementara yang paling pertama dicari oleh
pembeli adalah babi yang gemuk badannya. Bagi warga Ballapeu’ dan
masyarakat DTM pada umumnya, beternak babi memiliki manfaat ekonomi dan
juga memiliki fungsi sosial tertentu. Secara ekonomi, babi dapat dijual untuk
keperluan uang kontan rumah tangga
Di Desa Tabulahan penduduk juga menggiatkan pemeliharaan ternak
kerbau, sapi, ayam dan perikanan tangkap di sungai. Usaha mereka hanya tidak
dipakai untuk usaha sendiri-sendiri. Jumlah kerbau di Desa Tabulahan
berjumlah 23 ekor, harga kerbau dijual kisaran Rp 15-30 juta, jenis kerbau
yang ada kerbau hitam dan kerbau putih (tedong bulang dan tedong malote’),
harga tedong bulang yang mahal dijual Rp 25 juta. Sedangkan jumlah sapi di
Desa Tabulahan berjumlah 70 ekor. Seperdua KK di Desa Tabulahan
memiliki sapi. Harga jual sapi dari Rp 5 juta-15 juta. Yang kecil harganya
Rp 5-10 juta. Yang besar di atas Rp 10 juta-15 juta. Siasat Bertahan Hidup
Oleh karena situasi-situasi seperti diceritakan tersebut di atas, mengakibatkan tidak
sedikit orang pergi meninggalkan tondoknya untuk merantau ke daerah lain.
Massaro
Biasanya, dan terutama, yang dilakukan oleh mereka adalah mencari pekerjaan-
pekerjaan upahan (massaro), baik menjadi buruh tani sawah, buruh petik kop.
Tukang Ojek dan Sopir Sedangkan bagi sebagian anak-anak muda, tukang ojek
maupun sopir menjadi pekerjaan yang dipilih. Setelah betonisasi jalan poros
Polewali-Mamasa dikerjakan, ojek, misalnya, mulai ramai di dataran tinggi
Mamasa. Pekerjaan yang pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang tondok
yang pulang dari kota ini bisa menembus wilayah-wilayah yang cukup jauh
jaraknya. Masalahnya, semakin banyaknya tukang ojek saat ini menyebabkan
pendapatan dari ojek sendiri malah semakin berkurang.
Masolle (Riwayat Merantau Orang DTM) Riwayat merantau orang DTM
mungkin sudah sejak lama yang ditandai dengan sebuah petuah orang-orang
tua dulu jika seorang anak atau kerabatnya merantau. Petuah tersebut berisi
anjuran bagi si perantau agar dapat berlaku sesuai adat-istiadat setempat dan
selalu bersikap rendah hati. Petuah yang disampaikan adalah sebuah pesan yang
berbunyi “‘ma’mane’ biha dio tonda’ na tau” yang berarti ”Harus jadi ayam
betina di kampungnya orang. Jangan jadi ayam jantan atau jangan sok jagoan”.
Demikian pula di Desa Tabulahan. Mereka yang merantau biasanya memberikan
sumbangan dalam bentuk uang dan barang. Terlebih ketika hari raya Natal dan
Paskah, banyak perantau yang pulang kampung. Umumnya orang Tabulahan
banyak yang merantau ke Jakarta, Manado, Makassar, Ambon dan
Kalimantan.
Terikat Baku-Balas
Dalam banyak cerita, sejarah merantau umumnya dilakukan oleh orang-
orang yang berasal dari «golongan bawah» dalam struktur sosial lama di
DTM. Tujuan mereka merantau tak lain semata-mata merupakan usaha mengubah
nasibnya. Sehingga apa pun pekerjaan yang dilakoni, akan mereka lakukan dengan
prinsip «mande dio tondok na tau, si tai dio tondok ta» atau makan di kampung
orang, berak di kampung sendiri. Prinsip sekaligus tujuan tersebut secara harfiah
berarti bekerja di kampung orang untuk membawa pulang hasil ke kampung
sendiri. Biasanya binatang , barang-barang kebutuhan dapur serta uang yang
dijadikan sebagai sarana baku-balas.
Namun, hal yang dahulu didasarkan atas rasa kepedulian dan tolong
menolong ini, kini telah jauh berubah. Setiap binatang, barang atau uang yang
diantarkan adalah «hutang» yang harus dibayar kembali suatu saat nanti. Dalam
acara yang dilaksanakan sangat sederhana tersebut, seekor kerbau dan 36 ekor babi
diantarkan. Belum termasuk barang dan amplop . Karena jika semakin lama di-
alun, semakin banyak pula binatang, barang-barang dan uang yang akan
diantarkan. Sampai saat ini, keluarganya masih melakukan baku-balas atas apa
yang mereka terima.
Di satu sisi, orang tidak mau pergi ke acara kedukaan misalnya karena malu
jika tidak ma’bawa sesuatu. Tanggal 11 berencana mengambil kayu ke hutan, beras
sudah dibawa, atau bawa uang atau bawa ayam. Nanti waktu menentukan membuat
kue, pada saat mau membuat kue bawa beras lagi, atau bawa terigu, dsb. Kalau
puncak acara bawa beras lagi lebih dari 10 liter ditambah dengan uang. Sekali
hajatan 3 kali bawa beras. Di acara kematian, perempuan bawa beras, laki-laki
biasanya bawa uang. Di sisi lain, kalau tidak memiliki apa-apa untuk
ma’bawa, maka orang yang pernah menerima ma’bawa harus berupaya agar dapat
menunaikan baku-balas itu. Sebaliknya orang-orang yang ma’bawa juga akan
melakukan hal yang sama, mencatat apa pun yang telah mereka bawa tersebut.
Memang, sebagaimana dalam ajaran Aluk Tomatua atau Aluk Todolo di
DTM, ketika ada orang yang meninggal keluarganya wajib menyembelih
binatang, khususnya kerbau. Jumlah kerbau yang disembelih bisa sebanyak
delapan sampai dua belas ekor. Malah lebih dari itu, dari puluhan sampai ratusan
ekor. Ada yang memotong empat ekor, ada yang dua ekor dan ada yang hanya satu
ekor saja. Bahkan ada yang tidak sama sekali. Karena kerbau diyakini sebagai
binatang yang akan mengantarkan arwah orang yang meninggal ke «dunia
seberang». Seolah malu yang sangat jika acara kematian dilaksanakan secara
sederhana saja. Hingga pada akhirnya sawah yang luas dan ternak yang banyak
habis dijual hanya untuk membayar baku-balas yang mereka laksanakan. Ada
keturunan para para bangsawan yang dahulu memiliki sawah luas, hari ini semakin
banyak yang dijual.
Keberhasilan anak-anak golongan bawah di perantauan kemudian menggeser
posisi sosial-ekonomi golongan atas yang dahulunya memiliki banyak sumber
daya.Anak-anak golongan bawah bermetamorfosis menjadi golongan sosial baru di
DTM. Maka dengan kesuksesan tersebut, anak-anak golongan bawah pun
melaksanakan acara kematian orang tua atau keluarganya dengan mewah. Hal yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Pertanyaannya, apakah dengan cara tersebut
golongan bawah mau menampilkan status sosial barunya di dalam masyarakat
tondok? Bisa jadi lebih dalam dari itu.
Prinsip mendasar dari upacara rambu solo’ adalah ekonomi baku balas. Inti dari
fungsi ekonomi baku balas tersebut adalah pengikat kebersamaan dan mempererat
kohesi sesama orang tondok bahkan di rantau. Baik pelayat dan keluarga yang
berduka saling mendukung dan menguatkan satu sama lain melalui rambu solo’.
Pemberian babi adalah bentuk solidaritas antar keluarga dan sesama. Pemberian
babi adalah jaminan dan investasi bagi si pelayat yang akan ditebus oleh si
keluarga duka. Jika sebelumnya ada keluarga yang membawa babi meninggal,
maka itu yang dibayar. Yang jelas masing-masing orang yang datang
membawakan babi, maka si penerima babi harus membalas dengan
mengembalikan babi itu kepada yang bersangkutan ketika mereka meninggal
dunia. Dari situ muncul etos dan tindakan tolong menolong dan bentuk
kebersamaannya.
Kini sudah banyak yang berubah dalam penyelenggaraan upacaranya. Yang
berubah memang bukan aspek ritualnya melainkan motivasi orang datang ke
upacara rambu solo’ yang justru banyak berubah. Salah seorang tokoh di lembah
Nosu menceritakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini telah terjadi
kemajuan dan peningkatan secara ekonomi di masyarakat Nosu baik di tondok
maupun di rantau. Bumi dan Manusia Mamasa orang-orang Nosu membangun
rumahnya sendiri-sendiri tidak seperti dulu di mana masih bersama-sama
bergotong royong membangun rumah.

Muatan motif ekonomi dan gengsi sangat dominan dalam upacara rambu
solo’ sekarang ini. Maka tak heran, di lain pihak babi adalah aset ekonomi yang
berharga bagi warga tondok untuk menyuplai kebutuhan ekonomi baku-
balas. Ya, sekali lagi memang motivasi ekonomi baku-balas di upacara rambu
solo’ sudah berubah.
Peran Adat di Mamasa Kini

Jika ada yang bertanya seperti apa dan bagaimana peran dan fungsi adat dalam
kehidupan orang DTM kini? Maka kita akan memperoleh jawaban yang
menghenyakkan.Bagaimana tidak, saat ini adat tidak berfungsi lagi dan tinggal
kenangan saja. Mamasa yang menggambarkan betapa terlucutinya otoritas kultural
kelembagaan adat di DTM. Bila diamati, peran lembaga adat sendiri hanya sebatas
seremonial belaka atau sekurang-kurangnya dijadikan syarat kelengkapan
protokoler dalam setiap agenda pembangunan. Namun demikian adat tetap menjadi
pandangan hidup, pedoman, norma, etika dan kontrol sosial masyarakat DTM.
Sedangkan untuk wilayah kesastraan, dalam tradisi sastra lisan orang DTM
dapat kita temukan ada kata-kata yang diucapkan pada saat menyajikan makanan
itu kepada dewa— yang dinamakan ritual ma’paisung. Ritual ini dikagumi karena
dalam prosesnya orang yang didapuk untuk menjagal terlebih dahulu meminta
maaf kepada hewan yang akan ia sembelih.
Namun sangat disayangkan sejak kedatangan agama Islam dan Kristen ritual
ma’paisung langsung dilarang karena dianggap kafir dan berten- tangan dengan
iman agama Kristen maupun Islam. Alasannya pun tidak diketahui secara persis
mungkin dalam ritual ma’paisung ditemukan unsur-unsur pemberhalaan sehingga
ia tidak sesuai dengan ikonoklasme rumpun agama Ibrahim.
Meskipun ritual ma’paisung ini sudah tidak berlaku lagi, bagi orang DTM
prosesi penyembelihan hewan ternak terutama babi dan kerbau sangat penting
artinya dalam kehidupan adat mereka. Kita bisa ambil contoh dalam hal cara dan
pembagian hewan ternak di upacara sosial mereka. Misalnya untuk menyembelih
babi terlebih dahulu dilakukan dengan cara menusuk jantungnya.
Cara,penyembelihan ini disebut dengan istilah tusuk babi. Cara penyembelihan ini
dimungkinkan karena mayoritas orang DTM beragama non-muslim sehingga
mereka tidak melakukan cara penyembelihannya orang Islam. Kecuali, apabila di
lingkungan rumah mereka ada yang beragama Islam maka si muslim tersebut akan
dipersilakan untuk menyembelih hewan ternak. Khusus untuk kerbau biasanya
akan dicari seorang muslim yang berpengalaman dalam menyembelih
kerbau. Kemudian, dalam pembagian daging otomotis daging babi hanya
dibagikan kepada saudaranya yang non-muslim dan dipisahkan dari daging kerbau.
Di tempat berbeda, seorang kepala adat di Ballapeu’, mempunyai pandangan
tersendiri mengenai adat di tondok-nya. Seperti halnya tempat lain di DTM, ia
mengatakan bahwa di Mamasa kaum tetua adat disebut dengan panggilan nenek.
Meskipun secara gender mereka adalah laki-laki dan tidak dikenal penyebutan
kakek. Hal ini merepresentasikan unsur perempuan amat penting dalam mitologi
dan kosmologi orang DTM sendiri. Tak heran, banyak dijumpai istilah indo dan
puang. Terkait kepercayaan Aluk Todolo ia mengatakan bahwa di Ballapeu’
penyebutan demikian lebih dikenal dengan sebutan to’malilin. Lanjutnya,
penyebutan Aluk Todolo lebih dikenal di Toraja Sa’dan sana ketimbang di
Ballapeu’ atau wilayah Mamasa lainnya namun hakikatnya tetap sama. Di
masingmasing wilayah di Mamasa penyebutan Aluk Todolo bermacammacam,
seperti penyebutan Aluk Tomatua. Penyebutan Aluk Todolo lebih umum digunakan
di daerah Mamasa timur yang berbatasan dengan Toraja. Sedang penyebutan
lainnya adalah Ada’ Mappurondo yang lebih familiar di wilayah PUS.

Anda mungkin juga menyukai