Anda di halaman 1dari 11

Tetapi dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif berhenti

menjadi manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan kreatif sangat
menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran peradaban disebabkan
oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan karena lenyapnya kesatuan
sosial dalam masyarakat sebagai
satu kesatuan (dalam Sorokin, 1966: 200).
Faktor tambahannya adalah pemberontakan proletariat eksternal, yakni barbarian
yang tidak mau lagi menerima perlakuan sebagai orang taklukan segera setelah
peradaban mulai mengalami keruntuhan. Nasib kebanyakan peradaban memang selalu
berakhir dengan keruntuhan meski masih mampu bertahan dalam keadaan merosot
dalam periode cukup panjang. Di antara peradaban besar, tidak kurang dari 16 buah kini
sudah mati dan terpendam.
D. TEORI SOSIOLOGI TENTANG PERUBAHAN MELINGKAR
Teori umum tentang perubahan melingkar kebanyakan dikemukakan oleh filsuf, sejarawan,
atau filsuf-sejarah. Sosiolog, meskipun jarang, ada juga yang mengemukakan teori perubahan
sosial melingkar. Dua contohnya adalah Pareto dan Sorokin.
1. Vilfredo Pareto: Sirkulasi Elite
Pareto (1848-1923) mengemukakan analisis klasik mengenai perubahan sosial melingkar
berdasarkan skala lebih kecil dalam masyarakat tertentu ketimbang dalam peradaban besar.
Pareto memandang masyarakat sebagai sebuah sistem sosial. Baik masyarakat sebagai satu
kesatuan maupun unsur-unsur yang membentuknya (politik, ekonomi, ideologi) berkembang
melalui proses melingkar: seimbang–tidak stabil–tidak seimbang–keseimbangan baru. Ada
satu lingkaran sosial menyeluruh dan ada pula beberapa lingkaran bagian-bagian khusus.
Politik-militer, ekonomi-industri dan ideologi-agama semuanya mengikuti pola serupa. Untuk
memahami cara beroperasi proses melingkar itu perlu menyimak pandangan Pareto mengenai
anatomi sistem sosial. Sistem sosial terdiri dari tiga jenis unsur abstrak (variabel) yang saling
berhubungan:
(1) Residu, yakni kecenderungan bawaan;
(2) Kepentingan, yakni kondisi objektif yang melayani kebutuhan manusia; dan
(3) Derivasi, yakni pembenaran dan rasionalisasi yang dimaksudkan untuk melegitimasi
kecenderungan dan kepentingan diri.
2. Sorokin: Irama Perubahan Kultur
Teori lingkaran yang lebih baru dikemukakan oleh Sorokin. Bukunya, Social and Cultural
Dynamic (1937), menekankan pada kultur. Menurutnya kultur adalah segala sesuatu yang diciptakan
atau dimodifikasi melalui kegiatan sadar atau tidak sadar dua individu atau lebih yang saling
berinteraksi mau saling memengaruhi perilaku masing-masing (vol. 1: 3). Berbagai jenis unsur
kultural yang tercakup oleh definisi di atas tidak saling terpisah tetapi tergabung dalam satu kesatuan
terpadu. Keseluruhan unsurnya itu merupakan satu kesatuan yang berkaitan secara logis. Dalam
bentuk Kesatuannya yang tertinggi, setiap unsurnya tidak dapat lagi dilihat sebagai satu bagian
terpisah. Ada satu prinsip sentral (“nalar”) yang menembus seluruh komponennya, yang memberikan
makna dan peran atas setiap komponen. Prinsip sentral kultur itu terdapat di dalam maknanya dan
mengacu pada mentalitas kultur.
Arti penting analisis Sorokin terlihat ketika ia menerapkan tipologinya pada aliran proses historis.
Menurutnya pola utama perubahan historis terjadi secara melingkar. Fluktuasi sosiokultural dalam arti
proses perulangan dalam kehidupan sosial dan kultural dan dalam sejarah umat
manusia merupakan sasaran utama studi sekarang (1937, vol. l: 153). Pola perubahan sosiokultural
paling umum adalah proses perulangan perubahan yang tidak henti-hentinya (vol. 4: 73).
Diagnosis Sorokin tentang peradaban Barat di zamannya sendiri sangat penting. Ia
yakin, fase sensate yang menelan beberapa abad telah mencapai tingkat kejenuhan
tertinggi, menimbulkan sejumlah gejala negative atau patologis dan kemunduran
kultur umum. Ada sejumlah gejala yang membuktikannya. Kita telah kehilangan
semua keindahan musik gereja Abad Pertengahan, lalu beralih ke hiruk-pikuk
musik jazz, dari music Katedral Gothik ke musik perkampungan kumuh modern,
dari seni pahat Michelangelo beralih ke jurnalistik pornografi, dari puisi Byron ke
film detektif kasar. Seni kontemporer telah menjadikan pelacuran, kriminal,
gelandangan, sakit jiwa, kemunafikan, bajingan, dan perilaku murahan lainnya
sebagai “pahlawan” kesayangannya (dalam Bierstedt, 1981: 337).

Anda mungkin juga menyukai