Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu. Namun dewasa
ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat, sehingga
membingungkan manusia yang menghadapinya. Perubahan-perubahan mana sering
berjalan secara konstan. Ia memang terikat waktu dan tempat. Namun karena sifatnya
yang berantai, maka perubahan-perubahan akan terlihat terus, walaupun diselingi
reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena perubahan.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Auguste Comte, sosiologi statistika social dan
dinamika social. Hingga kini perhatian kita lebih tertuju pada segi statistika struktur
social dan pokok-pokok bahasan seperti kelompok-kelompok, institusi-institusi,
startifikasi. Meskipun pembahasan kita terpusat pada aspek statika masyarakat, namun
disana sini kita telah mulai menyentuh masalah perubahan. Dalam kenyataan statika
social dan dinamika sukar dipisahkan, meskipun secara analitik kita berusaha
melakukannya. Kita telah melihat bahwa stratifikasi social dapat berubah melalui
mobilitas social, seperti teori Marx mengenai perubahan system feodal menjadi kapitalis
dan kamudian sosialis, teori weber mengenai munculnya kapitalisme dalam masyarakat
feodal, teori Durkheim mengenai perubahan solidaritas mekanik menjadi organic.
Sekarang pusat perhatian kita akan beralih pada segi dinamika masyarakat pada
perubahan social.
1
PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL
Gillin dan Gillin mengungkapkan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari
cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru (inovasi) dalam masyarakat.
1. Pola Linear
Pemikiran mengenai pola perkembangan linear kita temukan dalam karya Comte
( lihat Comte, 1877 dalam Etzioni_Halevy dan Etzioni, ed., 1973 : 14-19). Menurut
Comte kemajuan progresif peradaban manuasia mengikuti suatu jalam yang alami,
pasti, sama dan tak terelakkan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “Hukum
Tiga Tahap: Comte mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga
tahap yang dilalui peradaban. Pada tahap pertama yang diberi nama tahap Teologis
dan Militer, Comte melihat bahwa semua hubungan social bersifat militer,
masyarakat senantiasa bertujuan menundukkan masyarakat lain. Semua konsepsi
teoritik dilandaskan pada pemikiran mengenai kekuatan-kekuatan adikodrati.
Pengamatan dituntun oleh imajinasi, penelitian tidak dibenarkan.
Tahap kedua, tahap Metafisik dan Yuridis, merupakan tahap antara yang
menjembatani masyarakat militer dengan masyarakat industri. Pengamatan masih
dikuasai imajinasi tetapi lambat laun semakin merubahnya dan menjadi dasar bagi
penelitian.
2
Pada tahap ketiga dan terakhir, tahap Ilmu Pengetahuan dan Industri, industri
mendominasi hubungan soail dan produksi menjadi tujuan utama masyarakat.
Imajinasi telah digeser oleh pengamatan dan konsepsi-konsepsi teoritik telah
bersifat positif.
Dari apa yang telah dikemukkan Comte tersebut-perubahan yang pasti, serupa tak
terelakkan, dapat kita lihat bahwa pandangannya mengenai perubahan social
bersifat unilinear
Pemikiran uniliear kita jumpai pula dalam karya Spencer (lihat Spencer, 1892 dalam
Etzioni_Halevy dan Etzioni, ed, 1973 : 9-13). Spencer mengamukakan bahwa struktur
social berkembang secara evolusioner dari struktur yang homogen menjadi
heterogen. Perubahan struktur berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Suku
yang sederhana bergerak maju secara evolusioner kea rah uikuran lebih besar,
keterpaduan, kemajemukkan, dan kepastian sehingga terjelma suatu bangsa yang
beradab.
Comte dan Spencer berbicara mengenai perubahan yang senantiasa menuju kea rah
kemajuan. Namun ada pula pandangan unilinear yang cenderung mengagung-
agungkan masa lampau dan melihat bahwa masyarakat berkembang kea rah
kemunduran suatu pandangan yang oleh Wilbert E. Moore (1963) dinamakan
“primitivisme.”
2. Pola Siklus
Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda :
kadang kala naik keatas, kadang kala turun ke bawah. Contoh yang dikemukakan
Etzion-Halevy dan Etzioni ialah karya Oswald Spengler dan Vilfredo Parento.
Dalam bukunya yang terkenal, The Decline of The West (Judul aslinya : Die
Untergang Des Abendiende, 1926, ikuti dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed 1973 :
20-25) Oswald Spengler mengemukakan sebagai berikut :
“....the great cultures accomplish their majestic wave cycle. The appear suddenly,
swell in splendid lines, flatten again, and vanish …. And every culture passes thourgh
the age-phases of the individual man. Each hus its childhood, youth, manhood, and
old age.”
3
Barat akan mengalami hal serupa oleh karena itu bukunya diberinya judul The
Decline of the West (Pudarnya Barat).
Pandangan mengenai siklus kita jumpai pula dalam karya Valfredo Pareto (lihat
Pareto, 1935 dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed. 1973 : 26-29). Dalam tulisannya
mengenai sirkulasi kaum elite (the circulation of elies) Pareto mengemukakan bahwa
dalam tiap masyarakat terdapat dua lapisan, lapisan bawah atau nonelite dan
lapisan atas atau elite, yang terdiri atas kaum aristocrat dan terbagi lagi dalam dua
kelas : elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa, bahwa aristokrasi hanya
dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhirnya akan pudar untuk
selanjutnyadiganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari lapisan bawah.
Sejarah menuru Pareto merupakan tempat pemakaman bagi aristokrasi. Aristokrasi
yang menempuh segala upaya untuk mempertahankan segala kekuasaan akhirnya
akan digulingkan melalui gerakan yang disertai kekerasan atau revolusi.
Sebagaimana halnya dengan Spengler, maka disini Pareto pun mengacu pada
pengalaman kaum arsitokrat di Yunani, Romasi, dan sebagainya.
Max Weber merupakan tokoh sosiologi klasik lain yang menurut Etzioni-Halevy dan
Etzioni menhasilkan teroi yang berpola siklus (lihat Weber 1958 dn 1947 dalam
Etzioni Havely dan Etzioni, ed. 1973 : 40-53) Pemikiran Weber dinilai mengandung
pemikiran siklus ialah perbedaan siklus ialah pembnedaanya antara tiga jenis
wewenang : Kharisnmatik, rasional – ilegal dan tradisonal. Weber melihat bahwa
wewenang yang ada dalam masyarakat akan beralih-alih tradisional atau nasional-
ilegal, kemudian akan muncul lagi wewenang yang diikuti dengan rutinisasi, dan
seterusnya. Dipihak lain, Weber pun melihat adanya perkembangan linear dalam
masyarakat yaitu semakin meningkatnya rasionalitas.
4
Pandangan-pandangan para tokoh sosiologi klasik tersebut sudah banyak yang
ditinggalkan oleh para tokoh sosiologi modern. Meskipun banyak tokoh sosiologi
modern khususnya penganut fungsionalisme seperti talcott Parsons dan Neil J.
Smelser menganut pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara
evolusioner namun suatu perkembangan linear laksana teori tiga tahap Conte tidak
dianut lagi. Meskipun dikalangan tokoh sosiologi modern pun terdapat penganut
pendekatan konflik seperti misalnya Ralf Danrendorf, namun mereka yang sudah
meninggalkan banyak diantara pemikiran asli Marx.
Teori-teiori yang dikemukakan para perintis awal sosiologi muncul sebagai reaksi
terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Barat, terutama di
Eropa Barat. Dikala itu proses-proses perubahan besar yang terjadi sejak abad ke 18
seperti detradisionalisasi, defeodalisasi, urbanisasi, industrilisasi, perkembangan
kapitalisme dan sosialisme memang baru terbatas pada masyarakat Eropa Barat.
Masyarakat-masyarakat non-Barat diluarnya di Asia, Afrika, dan di Amerika latin
bukannya idak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang terjadi di Barat. Praktik-
praktik imperealisme dan kolonialisme terhadap masyarakat-masyarakat non Barat yang
mendahului dan menyertai perubahan besar i Eropa Barat pun memicu perubahan pada
masyarakat non Barat, meskioun perubahan yang terjadi sangat berbeda dengan
perubahan Eropa. Kontak dengan Belanda dan negara Eropa lain yang dialami
masyarakat kita sejak abad ke 17 berakibat hilangnya kekauasaan politik dan ekonomi
para penguasa pribumipada tingkat rgional yang diikuti penjajanhan langsung maupun
tidak langsung, sehingga eksploitasi hasil bumi skala besar oleh pihak swasta maupun
Pemerintah Belanda untuk keperluan pasar Eropa dimungkinkan.
Istlah masyarakat dunia ketiga mengacu pada mayoritas masyarakat dunia yang pernah
diajajah negara-negara Barat dan yang masyarakat yang kebudayaan hidup dari
pertanian : Istilah masyarakat dunia pertama (First World Society) mengacu pada
negara-negara yang industri maju di Eropa Barat, Amerika, Australia, dan jepang dan
istilah masyarakat dunia ke dua ( Second World Societies) mengacu pada negara-negara
5
industri di Eropa Timur (lihat Giddens : 58-52). Negara-negara ”Sedang Berkembang”
tersebut sering pula dijuluki Negara-Negara Selatan (South Countries), karena negara-
negara tersebut kebanyakan terletak di belahan Selatan Bumi.
Masalah globalisasi di ulas pula oleh Waters, yang mendefinisikannya sebagai ”A social
process in which the constraints of geography on social and cultural arrangement recede
and in which people become increasingly aware that they are recording” (1996:3).
Waters berpandangan bahwa globalisasi berlangsung ditiga bidang kehidupan, yaitu
pereonomian, politik dan budaya. Menurutnya globalisasi ekonomi berlangsung
dibidang perdagangan, prouksi, investasi, ideologi, organisasi, pasar modal dan pasar
kerja. Globalisasi politik terjadi dibidang kedaulatan negara, focus kegiatan pemecahan
masalah, organisasi internasional, hubungan internsional, budaya dan plitik, dan
globalisasi budaya terjadi dalam bidang apa yang dinamakan sacriscape (ide kegamaan),
ethnoscape (etnisitas), econoscape (pola pertuaran benda berharda), mediscape
(produksi dan disribusi gambaran sana ke seluruh dunia) dan leisurescape (pariwisata)
Teori-teori yang terkenal ialah antara lain teori-teori modernisasi para penganut
pendekatan fungsioalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teor ketergantungan
Andre Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik dan teori mengenai sistem
dunia dari Wallerstein.
Diantara teori-teori klasik teori-teorui modern kita dapata menjumpai benang merah.
Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara
linear yang dikemukan oleh tokoh-tokoh klasik seperti Comte dan Spencer, maka teori-
teori meodernisasi pun cenderung melihat bahwa perkembangan masyarkat dunia
ketiga berlangsung secara evolusioner dan linear dan bahwa masyarakat bergerak
kearah kemajuan dari tradisi ke modernitas. Para penganut teori konflik, dipihak lain
melihat bahwa perkembangan yang terjadi di Dunia Ketiga justru menuju
keterbelakangan dan ketergantungan pada negara – negara industri maju di Barat.
6
1. Teori modernisasi.
2. Teori ketergantungan
Menurut teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein ini (lihat Giddens 1989, dan
Light, Keller and Calhoun, 1989) perekonomian kapitalis dunia kini periferi. Negara-
negara ini terdiri atas negara-negara Eropa Barat yang sejak abad 16 mengawali
proses industrialisasi dan berkembang pesat, sedangkan negara-negara semi periferi
merupakan negara-negara di bagia Eropa Selatan yang menjalin hubungan dagang
dengan negara-negara Asia dan Afrika yang semula merupakan kawasan ekstern
karena berada di luar jaringan perdagangan negara-negara inti tetapi kamudia
melalui kolonisasi ditarik kedalam sistem dunia. Kini negara-negara inti (kemudian
yang mencakup pula Amerika Serikatdan Jepang) mendominasi sistem dunia
sehingga mampu memanfaatkan sunber daya negara lain untuk kepentingan mereka
7
sendiri , sedangkan kesenjangan yang berkembang antara negara-negara inti dengan
negara-negara lain sudah sedemikian lebarnya tidak mengikuti tersusul lagi.
Kontra antara masyarakat pribumi yang telah mengakibatkan perubahan sosial pada
masyarakat Asia tenggara pun telah menarik perhatian para ilmuan sosial.
Kemajemukan masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara telah memungkinkan
munculnya berbagai knsep dan teori yang dilandaskan pada pengalaman khas berbagai
masyaraklat Asia Tenggara. Dalam bukunya Sociology of South East Asia : Readings on
Social Change and Development, Hans-Dieter Evers menyunting sejumlah tulisan ilmuan
social yang mencakup beberapa konsep dan teori yang diangkat dari pengalaman
masyarakat Indonesia seperti konsep dual societes, plural societes dan involution (lihat
Evers 1980)
Dual societies. Pada awal abad ini JH. Boeke, seorang ahli ekonomi Belanda yang pernah
bekerja di Indonesia mempertanyakan mengapa dalam masyarakat Barat kekuatan
kapitalisme telah membawa peningkatan taraf hidup dan persatuan masyarakat.
Sedangkan dalam masyarakat timur kapitalisme justru bersifat merusak. Dengan
datanya kapitalisme di masyarakat Timur ikatan-ikatan komunitas melemah, dan taraf
hidup masyarakat menurun. Di Asia Tenggara sediri lapisan atas masyarakat mengalami
Westernisasi dan urbanisasi. Sedangkan lapisan bawah menjadi semain miskin (lihat
Boeke, dalam Evers 1980 : 26-37 dan Evers 1980 : 2-3)
1. faktor produksi pada masyarakat Barat yang bersifat dinamis dan pada masyarakat
prbumi di pedesaa yang bersifat statis,
2. Masyarakat perkotaan (yang terdiri atas masyarakat Barat) dengan masyarakat
pedesaan (orang timur),
3. ekonomi uang dan ekonomi barang
4. sentralisasi andministrasi dan lokalisasi
5. kehidupan yang didominasi mesin (pada msyarakat Barat) dan yang didominasi
kekuatan alam (pada masyarakat timur)
6. perkonomian produsen dan perekonomian konsumen.
Menurut Evers ciri dualistis pada perekonomian masyarakat kolonial mapun pasca
kolonial yang disebut Boeke, yaitu adanya masyarakat yang terbelakang yang hidup
berdampingan dengan masyarakat dengan masyarakat maju memperoleh berbagai
tanggpan. Sejumlah ilmuan sosial mencoba mengembangkan pemikiran Boeke ini,
8
sedangkan ilmuan lain menolaknya. Evers sendiri mengecam Boeke karane cenderung
mempersalahkan masyarakat pribumi sendiri atas keterbelakangan mereka.
Plural societies.
Dalam gambarannya masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan social yang
hidup berdampingan tetapi tidak berbaur, namun menurutnya kelompok Eropa, Cina
dan pribumi salin melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana dipisahkan,
sebagaimana nampak dari kutipan berikut :
”…. in Netherlands India, the European, Chinese and native are linked as vitally as
Siamese twins and, if rent asunder, every element must dissolve in anarcy.”
Menurut Evers konsep ini pun telah mendorong sejumlah ilmuan social untuk
mengunakan, mengembangkannya, dan menguji pada masyarakat lain. Evers sendiri
menilai bahwa baik Boeke maupun Furnivall menganut gambaran yang selalu sederhana
mengenai masyarakat Asia Tenggara.
Involution
Konsep Geertz ini pun digunakan sejumlah ilmuan social lainnya antara lain di bidang
perkotaan sehingga kita mengenal pula konsep urban involutionyang dipopulerkan oleh
WR. Armstrong dan Terry McGee (lihat Armstrong dan McGee dalam Evers 1980 : 220-
234) Armstrong dan McGee mengaitkan konsep inovolusi dengan system pasa di daerah
perkotaan dunia ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974)
9
lebih mengaitkan konsep involusi dengan perubahan structural di daerah perkotaan,
meskipun penduduknya bertambah, namun kurang terjadi diferensiasi social.
Proses modernisasi mencakup proses yang sangat luas. Kadang-kadang batasnya tak
dapat ditetapkan secara mutlak. Mungkin di suatu daerah tertentu, modernisasi
mencakup pemberantasan buta huruf, di lain tempat proses tadi mencakup usaha-
usaha penyemprotan rawa-rawa dengan DDT untuk mengurangi sumber-sumber
penyakit malaria mungkin diartikan sebagai usaha membangun pusat-pusat tenaga
listrik.
SYARAT-SYARAT MODERNISASI
1. Cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking) yang melembaga dalam kelas penguasa
maupun masyarakat. Hal ini menghendaki suatu sistem pendidikan dan pengajaran
yang terencana dan baik.
2. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
10
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat. Hal ini
memerlukan penelitian agar data tidak tertinggal.
4. Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan
cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
5. Tingkat organisasi yang tinggi, disatu fihak berarti disiplin, difihak lain berarti
pengurangan kemerdekaan.
6. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.
Daftar Pustaka
11