Anda di halaman 1dari 15

1) Teori Evolusi ( Evolutionary Theory)

a) Teori Evolusi Unilinear


Perubahan sosial memiliki arah tetap serta tahapan yang sama, yang dilalui oleh semua
masyarakat, dimulai dari tahap perkembangan awal yang sederhana menuju ke tahap
perkembangan terakhir yang sempurna. Pada saat tahap terakhir ( kesempurnaan) telah dicapai,
maka perubahan evolusi juga berakhir :
(1) Perubahan yang berawal dari kelompok suku yang homogen dan sederhana ke tahap
masyarakat yang modern dan kompleks.
(2) Perubahan yang kompleksitas teknologinya semakin meningkat, yakni dari tahap masyarakat
pemburu yang primitif, menuju masyarakat industrialis yang modern.
b) Teori Evolusi Multilinear
Perubahan sosial meskipun memiliki arah yang tetap ( menuju tahap sempurna /
industrialisasi ) namun kenyataannya masing-masing masyarakat tidak mesti mengikuti tahapan
yang sama:
(1) Meskipun setiap perubahan masyarakat jalurnya mengarah ke tahap industrialisasi, namun
setiap masyarakat belum pasti melewati urutan tahapan yang sama seperti masyarakat yang lain.
(2) Urutan tahapan tidak sepenuhnya tegas, ada sebagian masyarakat yang berhasil melangkahi
beberapa tahapan ( meloncat ) dan langsung mencapai tahap industri, namun ada pula yang
bahkan mundur ke tahap sebelumnya.

2) Teori Siklus ( Cyclical Theory )


Teori siklus melihat adanya sejumlah tahap yang harus dilalui oleh setiap masyarakat,
tetapi proses perubahan masyarakat bukannya berakhir pada “ tahap terakhir ” yang sempurna,
melainkan berakhir pada tahap kepunahan / kehancuran, kemudian berputar kembali pada
tahap awal untuk peralihan ( perubahan ) berikutnya:
a) Teori siklus menjelaskan bangkitnya peradaban secara menyeluruh. Seperti Mesir, Yunani, dan
Roma, memiliki kekuasaan dan pengaruh sedemikian besar, namun hanya untuk sekejab
mencapai puncak, dan kemudian jatuh ke dalam kemunduran.
b) Oswald Spengler melalui karyanya “ The Decline of the West” ( Keruntuhan Dunia Barat )
melihat bahwa setiap peradaban besar mengalami proses pentahapan: kelahiran, pertumbuhan,
dan keruntuhan. Menurutnya, peradaban Barat saat ini sedang dalam masa kemunduran. Krisis
peradaban Barat nampak dari merebaknya perang, senjata nuklir penghancur dunia dan umat
manusia, narkoba, sex bebas, AIDS, HIV, perkosaan, kriminalitas, krisis ekonomi, perceraian,
rasisme dan sebagainya ( Henslin, 2007; Horton, 1992 )

3) Teori Fungsionalis ( Functionalist Theory )


a) Penganut teori ini melihat setiap elemen masyarakat memberikan fungsi terhadap elemen
masyarakat lainnya. Perubahan yang muncul di suatu bagian masyarakat akan menimbulkan
perubahan pada bagian yang lain pula:
Seperti dapat dilihat saat manusia berhasil menciptakan “Roda”, telah diikuti adanya perubahan
dibidang alat transportasi. Semula manusia hanya mengandalkan alat transportasi dengan Kuda,
setelah adannya penemuan roda, berkembang alat transportasi baru berupa kereta kuda, sepeda,
mobil, bahkan kereta api. Perubahan ini diikuti pula oleh berubahnya pola hidup masyarakat
yang semula mobilitasnya rendah ( jarang keluar dari daerahnya ) berubah menjadi masyarakat
yang memiliki mobilitas tinggi sehingga lebih mengenal kehidupan masyarakat di luar
daerahnya. Kenyataan ini diikuti oleh semakin bertambah luasnya wawasan mereka, dan
selanjutnya mendorong mereka untuk melakukan perubahan-perubahan, dan seterusnya.
b) Menurut pandangan teori Fungsionalis, setiap perubahan yang dipandang bermanfaat oleh
masyarakatnya (fungsional) akan diterima, dan sebaliknya apabila dianggap tidak berguna
(disfungsional) akan ditolak masyarakat :
Saat masyarakat masih mengandalkan mata pencaharian di bidang agraris (pertanian), anak
dibutuhkan sebagai tenaga kerja yang dapat membantu pekerjaan orang tua untuk mengelola
kegiatan pertaniannya, sehingga berkembang nilai “ banyak anak – banyak rezeqi “.
Masyarakat cenderung akan menolak saat diperkenalkan adanya penemuan baru di bidang
pengaturan kelahiran dan jumlah anak (program Keluarga Berencana) karena dianggap tidak
bermanfaat bagi mereka (tidak memiliki fungsi bagi kehidupan masyarakatnya). Kondisi ini
menjadi berubah manakala masyarakat mulai meninggalkan kehidupan sektot agraris dan beralih
ke sektor industri. Program Keluarga Brencana (KB) bisa diterima karena telah terjadi
pergeseran nilai anak, yakni “Sedikit anak - hidup berkualitas“, sehingga program KB
dianggap memiliki fungsi (bermanfaat) bagi masyarakatnya. Terjadilah perubahan pola
kehidupan keluarga dari keluarga dengan banyak anak menjadi keluarga dengan sedikit anak.

4) Teori Konflik ( Conflict Theory )


Menurut teori ini, konflik yang terjadi antar kelompok dan antar kelas sosial merupakan
sumber paling penting dan berpengaruh dalam semua perubahan sosial. Perubahan akan
menciptakan kelompok dan kelas sosial baru. Konflik antar kelompok dan antar kelas sosial baru
tersebut akan melahirkan perubahan berikutnya. Menurut Karl Marx, konflik paling tajam akan
terjadi antara kelas Proletariat (buruh yang digaji) dengan kelas Borjuis (kapitalis/pemilik
industri) yang diakhiri oleh kemenangan kelas proletariat, sehingga terciptalah masyarakat tanpa
kelas (PB Horton dan CL Hunt, 1992). Namun asumsi Marx terhadap terciptanya masyarakat
tanpa kelas tersebut sampai saat ini tidak pernah bisa dibuktikan. Artinya di dalam kehidupan
masyarakat tetap dijumpai adanya perbedaan kelompok (Kaya – Miskin) dan perbedaan kelas
sosial (Penguasa/Elite Politik - Rakyat) yang akan memunculkan konflik antar kelompok
maupun antar kelas sosial tersebut sehingga melahirkan terjadinya perubahan sosial, begitu
seterusnya :
Antara Bangsa Indonesia dengan pihak Penjajah (penguasa saat itu) telah terjadi konflik dan
berakhir dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka lahirlah
Pemerintahan Baru yang semakin lama dianggap oleh rakyat telah mengingkari nilai - nilai
ideologi bangsa Indonesia (PANCASILA), karena telah memasukkan faham KOMUNIS sebagai
dasar politik bangsa Indonesia dengan semboyan “ NASAKOM “ ( Nasionalisme, Agama, dan
Komunis). Oleh sebab itu setelah terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (Gerakan
30 September 1965 – PKI) terjadilah konflik antara pihak penguasa saat itu (ORDE LAMA)
dengan rakyat Indonesia, yang berakhir dengan runtuhnya pemerintahan ORDE LAMA dan
digantikan oleh pemerintahan baru (ORDE BARU). Namun sejarah kembali terulang, karena
pemerintahan ORDE BARU dinilai oleh rakyat telah menjadi penyebab masuknya sistem
ekonomi Kapitalis di Indonesia dan tidak mampu mengatasi “ krisis ekonomi ” pada saat itu,
sehingga pecahlah konflik melalui gerakan reformasi, dimana pemerintahan ORDE BARU
akhirnya digantikan oleh pemerintahan yang baru (REFORMASI), dan diharapkan mampu
mengemban amanah tujuan dari reformasi yang berlangsung sampai saat ini.

Teori Perubahan Sosial

Dalam menjelaskan fenomena perubahan sosial terdapat beberapa teori yang dapat
menjadi landasan bagi kita dalam memahami perubahan sosial yang berkembang di masyarakat.
Teori perubahan sosial tersebut di antaranya adalah:

1) Teori Evolusi ( Evolutionary Theory)


Menurut James M. Henslin (2007), terdapat dua tipe teori evolusi mengenai cara
masyarakat berubah, yakni teori unilinier dan teori multilinier :
Pandangan teori unilinier mengamsusikan bahwa semua masyarakat mengikuti jalur evolusi
yang sama. Setiap masyarakat berasal dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih
kompleks ( sempurna ), dan masing-masing melewati proses perkembangan yang seragam. Salah
satu dari teori ini yang pernah mendoninasi pemikiran Barat adalah teori evolusi dari Lewis
Morgan, yang menyatakan bahwa semua masyarakat berkembang melalui tiga tahap: kebuasan,
barbarisme, dan peradaban.
Dalam pandangan Morgan, Inggris ( masyarakatnya sendiri ) adalah contoh peradaban.
Semua masyarakat lain ditakdirkan untuk mengikutinya. Pandangan teori multilinier
menggantikan teori unilinier dengan tidak mengamsusikan bahwa semua masyarakat mengikuti
urutan yang sama, artinya meskipun jalurnya mengarah ke industrialisasi, masyarakat tidak perlu
melewati urutan tahapan yang sama seperti masyarakat yang lain. Inti teori evolusi, baik yang
unilinier maupun multilinier, ialah asumsi mengenai kemajuan budaya, di mana kebudayaan
Barat dianggap sebagai tahap kebudayaan yang maju dan superior / sempurna. Namun, ide ini
terbantahkan dengan semakin meningkatnya apresiasi terhadap kayanya keanekaragaman ( dan
kompleksitas) dari kebudayaan suku bangsa di dunia. Di samping itu, masyarakat Barat
sekarang berada dalam krisis ( rasisme, perang, terorisme, perkosaan, kemiskinan, jalanan yang
tidak aman, perceraian, sex bebas, narkoba, AIDS dan sebagainya ) dan tidak lagi dianggap
berada di puncak kebudayaan manusia.
2) Teori Siklus ( Cyclical Theory )
Menurut PB Horton dan CL Hunt ( 1992 ) dalam bukunya “Sociology”, para penganut
teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahapan yang harus dilalui oleh masyarakat, tetapi
mereka berpandangan bahwa proses perubahan masyarakat bukannya berakhir pada tahap
“terakhir” yang sempurna, tetapi berlanjut menuju tahap kepunahan dan berputar kembali ke
tahap awal untuk peralihan selanjutnya. Beberapa dari penganut teori siklus tersebut dipaparkan
sebagai berikut :
Menurut pandangan seorang ahli filsafat Jerman, Oswald Spengler ( 1880-1936 ) setiap
peradaban besar mengalami proses pentahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Oswald
Spengler terkenal dengan karyanya “The Decline of the West” / Keruntuhan Dunia Barat.
Pitirim Sorokin (1889-1968) seorang ahli Sosiologi Rusia berpandangan bahwa semua
peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir,
yang meliputi : (a) kebudayaan ideasional ( ideational cultural) yang didasari oleh nilai-nilai dan
kepercayaan terhadap unsur adikodrati ( super natural ); (b) kebudayaan idealistis (idealistic
culture) di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati dan rasionalitas yang berdasarkan fakta
bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal; dan (c) kebudayaan sensasi ( sensate culture) di
mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
Arnold Toynbee ( 1889-1975), seorang sejarawan Inggris juga menilai bahwa peradaban besar
berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan kematian. Menurutnya peradaban
besar muncul untuk menjawab tantangan tertentu, tetapi semuanya telah punah kecuali
peradaban Barat, yang dewasa ini juga tengah beralih menuju ke tahap kepunahannya.

3) Teori Fungsionalis ( Functionalist Theory )


Penganut teori ini memandang setiap elemen masyarakat memberikan fungsi terhadap
elemen masyarakat lainnya. Perubahan yang muncul di suatu bagian masyarakat akan
menimbulkan perubahan pada bagian yang lain pula. Perubahan dianggap mengacaukan
keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan itu berhenti pada saat perubahan tersebut telah
diintegrasikan ke dalam kebudayaan ( menjadi cara hidup masyarakat). Oleh sebab itu menurut
teori ini unsur kebudayaan baru yang memiliki fungsi bagi masyarakat akan diterima,
sebaliknya yang disfungsional akan ditolak.
Menurut sosiolog William Ogburn, meskipun unsur - unsur masyarakat saling
berhubungan, beberapa unsurnya bisa berubah sangat cepat sementara unsur yang lain berubah
secara lambat, sehingga terjadi apa yang disebutnya dengan ketertinggalan budaya ( cultural
lag ) yang mengakibatkan terjadinya kejutan sosial pada masyarakat, sehingga mengacaukan
keseimbangan dalam masyarakat. Menurutnya, perubahan benda-benda budaya materi /
teknologi berubah lebih cepat daripada perubahan dalam budaya non materi / sistem dan struktur
sosial. Dengan kata lain, kita berusaha mengejar teknologi yang terus berubah, dengan
mengadaptasi adat dan cara hidup kita untuk memenuhi kebutuhan teknologi ( Henslin, 2007 )

4) Teori Konflik ( Conflict Theory )


Menurut pengikut teori ini, yang konstan ( tetap terjadi ) dalam kehidupan masyarakat
adalah konflik sosial, bukannya perubahan. Perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya
konflik dalam masyarakat, yakni terjadinya pertentangan antara kelas kelompok penguasa dan
kelas kelompok tertindas. Oleh karena konflik sosial berlangsung secara terus menerus, maka
perubahanpun juga demikian adanya. Menurut Karl Marx, konflik kelas sosial merupakan
sumber yang paling penting dan berpengaruh dalam semua perubahan sosial. Perubahan akan
menciptakan kelompok dan kelas sosial baru. Konflik antar kelompok dan kelas sosial baru
tersebut akan melahirkan perubahan berikutnya.
Menurutnya, konflik paling tajam akan terjadi antara kelas Proletariat (buruh yang digaji)
dengan kelas Borjuis (kapitalis/pemilik industri) yang diakhiri oleh kemenangan kelas
proletariat, sehingga terciptalah masyarakat tanpa kelas (PB Horton dan CL. Hunt,1992).
Namun asumsi Marx terhadap terciptanya masyarakat tanpa kelas tersebut sampai saat ini tidak
terbukti. Artinya kehidupan masyarakat tetap diwarnai adanya perbedaan kelas sosial.

PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL

Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasserdan Randall.


Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan
demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai
subsistem sosial. P e r s p e k t i f P e n j e l a s a n T e n t a n g
P e r u b a h a n Barrington Moore, teori kemunculan
d i k t a t o r d a n d e m o k r a s i . T e o r i i n i d i d a s a rkan pada pengamatan
panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang telah mengalami transformasi dari basis
ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri. Teori perilaku kolektif Teori dilandasi
pemikiran Moore namun lebih menekankan p ada proses perubahan daripada sumber
perubahan sosial. T e o r i i n k o n s i s t e n s i s t a t u s T e o r i i n i m e r u p a k a n
representasi d a r i t e o r i p s i k ologi sosial. Pada teori ini, individu dipandang
sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau
sikap yang didasarkan pada perubahan. A n a l i s i s o r g a n i s a s i s e b a g a i s u b s i s t e m
s o s i a l A l a s a n k e m u n c u l a n t e o r i i n i a d a l ah anggapan bahwa organisasi terutama
birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial
yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara
sistem sosial dan sistem interaksi. Teori Barrington Moore Teori yang disampaikan oleh
Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan
yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah
negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara
industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara majuini melalui tiga
pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme. Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan
politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara
dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas
dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok
pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban daripembangunan
ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok
masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negarayang mengambil jalan demokrasi
dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.Berbeda halnya
demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit
konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat
kelas bawah baik di perkotaan maupunperdesaan. Negara yang memilih jalan fasisme
menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan
mudah dikalahkan. Jepangdan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan
fasisme.Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha
eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan
oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas
proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat
oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linearyang mengacu kepada hubungan moda produksi.
Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada
masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain,
tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia
masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap kesempurnaan
perkembangan perluilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut
semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan
terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam proses
transformasinya adalah Cina dan Rusia.Teori Perilaku KolektifTeori perilaku kolektif mencoba
menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama
yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem
sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini
dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini
melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar
individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.Perubahan pola hubungan
antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik
bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan
adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.Teori
Inkonsistensi StatusStratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat
dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan olehmasih rendahnya
derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status
sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak
dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul
seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan
pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks. Perubahan moda produksi menimbulkan
maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan
dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya
pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Halinilah
yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.

TEORI –TEORI KLASIK TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL


1. August Comte
August Comte yang lahir di Perancis pada tahun 1798 dipandang oleh banyak orang
sebagai seorang tokoh filosof sosial yang meletakkan dasar filsafat positivisme yang kemudian
mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. filsafat materialisme,
sekularisme dan semacamnya, yang begitu mendominasi kehidupan masyarakat barat sekarang
ini adalah bersumber pada filsafat positivisme Comte.
Dalam menjelaskan fenomena perubahan sosial, August Comte melihatnya sebagai suatu
proses evolusi yang bersumber pada proses perubahan secara bertahap dari daya pemikiran
masyarakat itu sendiri, atau di sebut juga dengan evolusi intelektual.
Menurut Comte, dalam kehidupan suatu masyarakat, banyak unsur-unsur kehidupan yang
mengalami perubahan secara evolusi. Namun di antara unsur-unsur tersebut harus ada salah
satunya yang mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kehidupan masyarakat, sehingga
dapat mendorong terjadinya perubahan sosial. Dalam hal ini, pengaruh terbesar adalah dari
evolusi intelektual, atau perubahan secara bertahap dalam cara dan kekuatan
berpikir manusia.
Dengan kekuatan intelektual tersebut, manusia dapat berkembang penalarannya yang
pada gilirannya penalaran tersebut menyebabkan kehidupan manusia berkembang, mencapai
ketenteraman dan hidup berkesinambungan. Kekuatan nalar ini pulalah yang membedakan
masyarakat manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.
Secara lebih jelas August Comte mengemukakan adanya tiga tahapan perkembangan intelektual
manusia, yang juga berkaitan dengan tahap kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara umum.
Tahap pertama adalah tahap theologis primitif. Tahap kedua, metafisik transisional, dan Tahap
ketiga tahap positif rasional.
Pentahapan evolusi intelektual masyarakat ini sering juga di sebut dengan Hukum Tiga
Tahap Comte. Sesungguhnya hukum tiga tahap ini merupakan usaha Comte untuk menjelaskan
kemajuan evolusioner masyarakat manusia dari masa primitif yang bersahaja sampai kepada
peradaban masyarakat Perancis di abad kesembilan belas yang sangat maju.
Dalam tahap teologis, menurut Comte, pemikiran manusia langsung dikaitkan dengan
hal-hal yang supernatural, atau yang alamiah. Semua gejala yang terjadi dianggap sebagai hasil
dari tindakan langsung dari hal-hal yang supernatural itu. Misalnya ada angin taufan, maka ini
dipandang sebagai hasil tindakan langsung dari seorang Dewa Angin atau Tuhan yang Agung.
Pada tahap ini, manusia sangat mempercayai kekuatan-kekuatan supernatural sebagai
misal, terjadinya bencana alam seperti banjir yang secara rutin terjadi pada setiap wilayah,
merupakan hasil dari kekuatan gaib yang tidak disebabkan oleh perilaku manusia. Pada tahap ini,
manusia percaya betul, bahwa segala sesuatu yang terjadi sesungguhnya merupakan kehendak
dewa, dan manusia harus pasrah menerima apa adanya. Kalau dewa bermaksud mendatangkan
bencana, misalnya banjir, maka terjadilah banjir itu, dan kejadiannya sama sekali tidak dianggap
ada hubungannya dengan campur tangan (perbuatan) manusia.
Dalam tahap metafisik, yang merupakan perkembangan selangkah dari tahap teologis,
akal budi manusia tidak lagi mengaitkan langsung setiap gejala dengan hal-hal supernatural,
melainkan pada hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda. Dalam tahap ini hal-
hal yang abstrak dipersonifikasikan melalui benda-benda nyata, yang mampu menghasilkan
gejala-gejala yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Jadi angin taufan tersebut di atas,
dijelaskan sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah.
Pada tahap metafisik ini, manusia telah mengerti suatu fenomena yang terjadi dalam
kenyataan. Seperti yang dicontohkan bahwa terjadi banjir secara rutin di suatu wilayah
perkampungan, maka manusia tetap pasrah menerima kiriman banjir tersebut yang dianggapnya
secara alamiah memang harus terjadi. Pada tahap ini, manusia telah mengenali bahwa pada
musim musim tertentu akan terjadi fenomena tertentu, seperti banjir musiman tersebut. Tetapi
belum berusaha mencari penyebab dari terjadinya kebanjiran. Misalnya karena hutan yang telah
gundul di daerah hulu yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Manusia pada tahap ini,
masih pasrah menerima kenyataan alam yang terjadi. Ini yang menyebabkan dalam tahap ini,
belum ada antisipasi atau pencegahan dalam mengantisipasi dampak negatif dari adanya
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam tahap positif, akal budi manusia sudah memusatkan perhatiannya pada studi
tentang hukum-hukum alam. Pengamatan dan penalaran digabungkan dan merupakan dasar-
dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi,angin taufan yang dijadikan contoh
tadi, dalam tahap ini akan dijelaskan sebagai hasil dari suatu kombinasi tertentu dari
tekanantekanan udara, kecepatan angin, kelembaban dan suhu, yang berubah terus menerus dan
berinteraksi menghasilkan angin taufan. tahap teologi merupakan periode yang paling lama
dalam sejarah manusia. Tahap metafisik merupakan masa transisi yang menjembatani tahap
teologi dengan tahap positifis. Tahap positif itu sendiri ditandai oleh kepercayaan akan data
empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir.
Tahap positif adalah tahap yang paling sempurna dibanding dua tahap sebelumnya yang
dikemukakan oleh Comte. sesuatu kejadian atau perubahan yang terjadi, selalu dikaitkan dengan
faktor lain. Misalnya, jika terjadi banjir secara rutin di suatu perkampungan, tentu ada faktor
penyebabnya, seperti hutan yang telah gundul di daerah hulu, aliran sungai yang telah
mendangkal, dan berbagai penyebab lainnya. Pada tahap ini, manusia berusaha mengetahui
faktor penyebab tersebut. selanjutnya manusia berusaha melakukan intervensi perbaikan agar
tidak berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat. Intervensi seperti inilah yang biasanya
dituangkan ke dalam berbagai program pembangunan yang dilakukan secara bertahap untuk
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik di suatu wilayah (negara atau daerah).

2. Karl Marx
Dalam teori perubahan sosial, khususnya yang dikaitkan dengan aspek ekonomi,
pandangan Karl Marx (lahir di Jerman Tahun 1818) mungkin termasuk yang paling luas
mendapatkan perhatian dan diskusi. Karena acuan utama teori Marx adalah perkembangan
ekonomi, sehingga mempunyai pengaruh paling dalam dan luas dalam kehidupan masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa realitas sosial dari dahulu sampai zaman modern ini tidak lepas
dari pengaruh dominan aspek ekonomi.
Menurut Karl Marx, kehidupan individu dan masyarakat itu dirasakan pada asas
ekonomi. ini berarti bahwa lembaga atau institusi-institusi politik, pendidikan, agama, ilmu
pengetahuan, seni, keluarga, dan sebagainya sangatlah bergantung pada tersedianya sumber-
sumber ekonomi untuk perkembangannya. Hal ini juga berarti bahwa lembaga-lembaga ini tidak
dapat berkembang dalam cara-cara yang bertentangan dengan tuntutantuntutan sistem ekonomi.
Berbeda dengan August Comte, Karl Marx berpendapat, bahwa kunci untuk memahami
kenyataan sosial bukanlah dengan ide-ide yang abstrak, melainkan pada lokasi-lokasi pabrik atau
kegiatan ekonomi lainnya, di mana para pekerja tidak jarang menjalankan tugasnya secara
kurang manusiawi atau berbahaya, sekedar demi untuk menghindari diri dari kelaparan.
Menurut Marx, perubahan dalam infrastruktur ekonomi masyarakat merupakan
pendorong utama terhadap perubahan sosial. Infrastruktur ekonomi yang dimaksudkan di sini
meliputi kekuatan-kekuatan (modal, dan sebagainya) serta hubungan-hubungan produksi. Pada
gilirannya perubahan dalam suprastruktur yang meliputi perubahan yang terjadi pada
kelembagaan-kelembagaan sosial masyarakat secara keseluruhan seperti lembaga hukum, politik
serta lembaga-lembaga keagamaan. Pada akhirnya sistem sosial secara keseluruhan akan
kembali. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa perubahan ekonomi merupakan fondasi
yang menimbulkan perubahan-perubahan lain dalam sistem sosial.
Marx, yang teori perubahan sosialnya ini sering digolongkan ke dalam Pendekatan
Konflik menekankan aspek struktur dalam perubahan ekonomi yang dimaksud. Dengan
penekanan pada aspek struktur ekonomi masyarakat. Hal ini yang mendorong Marx
menggolongkan masyarakat ke dalam dua golongan utama atau kelas, yaitu kelas pekerja
(proletar) dan kelas pemilik modal (borjuis) kedua kelas ini senantiasa berada dalam posisi
berhadapan sesuai dengan kepentingan ekonominya masing-masing.
Kepentingan ekonomi kelompok pemilik modal (pengusaha, pemilik tanah dan
sebagainya) tentulah berorientasi pada bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya (profit) dengan menekan biaya-biaya produksi seperti upah pekerja. Sementara pihak
kelas pekerja, menekankan kepentingan ekonominya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka
sebagai imbalan dari tenaga dan waktu yang telah diberikan dalam proses produksi. Dengan
demikian terjadilah pertentangan atau konflik kepentingan yang berkepanjangan. Menurut
pandangan Marx konflik antara pemilik modal dengan kaum pekerja yang berlangsung terus,
merupakan dinamika atau penggerak perubahan sosial secara keseluruhan. Sebab setiap konflik
akan mengarah pada bentuk kompromi tertentu, yang selanjutnya akan menyongsong konflik-
konflik baru yang selanjutnya menekankan kompromi. Proses-proses inilah yang menjadi
penggerak perubahan sosial.
Paham Karl Marx , yang pokok-pokok ajarannya tertuang dalam buku karyanya yang
berjudul Das Kapital cukup lama mempengaruhi hampir separuh masyarakat dunia dalam sistem
perekonomiannya, yaitu yang dikenal dengan ekonomi sosialis yang berpusat di Uni Soviet
sampai runtuhnya negara tersebut pada tahun 1989 yang lalu.

3. Emile Durkheim
Emile Durkheim yang lahir di Perancis pada tahun 1958 merupakan salah seorang tokoh
pembangun fondasi ilmu sosiologi klasik. Pandangan Durkheim tentang perubahan sosial dapat
dilihat pada uraiannya mengenai proses pergeseran masyarakat dari ikatan solidaritas mekanistis
ke dalam ikatan solidaritas organistik. Ikatan solodaritas mekanistik terdapat dalam masyarakat
yang masih tradisional sementara solidaritas organistik terdapat pada masyarakat modern. Proses
perubahan tersebut cenderung mengikuti pola evolusi sosial, seperti juga yang dikemukakan oleh
August Comte.
Menurut Durkheim setiap masyarakat diikat oleh suatu nilai kebersamaan, yang
kemudian dikenal dengan konsep solidaritas. Dalam masyarakat yang tahap perkembangannya
masih sederhana, ikatan solidaritas dalam masyarakat masih di dominasi oleh faktor-faktor
emosional yaitu rasa kekeluargaan yang sangat tinggi antara sesama warga masyarakat. Oleh
karena itu warga masyarakat yang bersangkutan mempunyai pandangan hidup yang sama.
Mereka diikat oleh suatu jiwa atau hati nurani kolektivitas masyarakat termasuk aktivitas
perekonomiannya yang belum mengenal pengkhususan atau spesialisasi. Masalah-masalah yang
timbul di antara mereka secara otomatis atau mekanistis akan dirasakan sebagai masalah
bersama, yang juga dihadapi atau dipecahkan bersama-sama secara gotong royong. Pembagian
kerja yang terjadi hanya dirasakan pada perbedaan usia dan jenis kelamin. Warga masyarakat
yang lebih tua diposisikan sebagai pemimpin atau paling tidak sebagai penasihat yang bijaksana,
sedangkan wanita diharapkan berkonsentrasi dalam urusan rumah tangga.
Kehidupan masyarakat secara bertahap akan mengalami perubahan mengiringi
perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi dan demografis yang terjadi. Penduduk makin
bertambah kemudian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kebutuhan kelembagaan pun semakin
meluas. Perkembangan ini makin menuntut pula adanya diferensiasi dalam pembagian kerja di
antara warga masyarakat. Dalam bukunya The Division of Labour, Durkheim menguraikan
bahwa semakin berkembang pembagian kerja (diferensiasi dan spesialisasi) dalam masyarakat,
semakin berkembang pula semangat individualisme. Berbarengan dengan itu kesadaran kolektif
pelan-pelan mulai menghilang dan ikatan sesama warga masyarakat (solidaritas) tidak lagi
bersifat mekanistik.
Orang-orang yang pekerjaannya lebih terspesialisasi merasa dirinya makin berbeda
dengan warga masyarakat lain dalam berbagai aspek kehidupan seperti kepercayaan, pendapat
dan gaya hidup. Namun keragaman (heterogenitas) yang makin bertambah itu tidaklah
menghancurkan solidaritas sosial. Masyarakat tetap memerlukan nilai pengikat di antara mereka.
Hanya saja sifatnya sudah berubah menjadi solidaritas organistik. Solidaritas organistik itu
tumbuh karena adanya saling ketergantungan antar warga masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Seorang yang bekerja sebagai pekerja industri tentulah memerlukan barang atau jasa-jasa
yang dihasilkan oleh pekerja lainnya untuk memenuhi kebutuhannya. maka tercapailah saling
ketergantungan (interdependensi) antar bagian-bagian yang ada dalam masyarakat, yang ingin
dipelihara keutuhannya. Hal inilah yang dikenal dengan konsep solidaritas organik dengan
pergeseran dari kesadaran kolektifis ke dalam kolektifis atau solidaritas sosial yang diikat oleh
solidaritas organik yang lebih rasional. Kondisi tersebut sesungguhnya menunjukkan telah
berlangsung suatu proses perubahan sosial yang amat substansial, Solidaritas yang tumbuh
karena adanya saling ketergantungan antarwarga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Dalam aspek hukum misalnya, masyarakat dalam ikatan solidaritas mekanistik lebih
berpegang pada hukum represif dan pengucilan bagi warga yang melakukan penyimpangan
sosial (social deviance). Sedangkan dalam masyarakat yang diikat oleh solidaritas organistik
lebih mempercayakan ketertiban hidupnya pada hukum-hukum positif yang disusun bersama.

4. Max Weber
Pada umumnya masyarakat terintegrasikan oleh faktor-faktor dasar tertentu. Salah satu
faktor dasar yang dimaksud adalah adanya nilai-nilai tertentu yang dianut oleh sebagian besar
warga masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya perubahan dalam
kehidupan masyarakat tergantung dari adanya perubahan nilai-nilai tersebut. Dalam konteks
inilah tokoh Max Weber yang lahir di Jerman pada tahun 1864 menjelaskan terjadinya perubahan
sosial.
Pendekatan Weber terhadap perubahan sosial akan lebih jelas kita lihat dalam uraiannya,
mengenai lahirnya kapitalisme, seperti yang ditulis dalam bukunya yang terkenal The Protestant
Ethic and The Spirit of Capitalism.
Inti uraian Weber mengenai kapitalisme ialah adanya suatu orientasi pemikiran rasional
di kalangan masyarakat terhadap keuntungan-keuntungan ekonomis. Menurut Weber, suatu
masyarakat dapat disebut masyarakat kapitalis apabila warga masyarakatnya secara sadar
bercita-cita untuk mendapatkan keuntungan atau kekayaan, dan hal ini dianggap sebagai sesuatu
yang bersifat etis. Artinya masyarakat memberikan legitimasi atau pengakuan bahwa hal itu
sifatnya etis dan baik, sehingga menjadi nilai yang Legitimated atau disepakati sebagai faktor
pengikat integrasi kehidupan masyarakat mereka.
Dalam hubungan ini Weber menguraikan terjadinya perubahan nilai di kalangan
masyarakat yang secara ortodox menganut paham Katolikisme yang dalam abad-abad
pertengahan, orientasinya cenderung menjauhkan masyarakat dari kegiatan atau usaha untuk
mengubah kondisi-kondisi kehidupannya. Nilai Katolikisme seperti ini adalah bersifat
legitimated atau nilai etis pada masa itu.
Perubahan nilai terjadi ketika muncul apa yang dikenal dengan etika Protestan yang
bersumber dari ajaran Marthin Luther dan John Calvin pada Abad ke-16. sebagai suatu ajaran
yang merupakan hasil atau produk reformasi Protestan, maka doktrin tersebut bertentangan
dengan Katolikisme abad pertengahan; dan perbedaan tersebut merupakan legitimasi bagi
munculnya kapitalisme.
Salah satu asumsi penting Weber, bahwa agama merupakan sumber utama dari nilai-nilai
dan cita-cita yang berkembang ke seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun dalam konteks
ini Weber justru berpendapat bahwa agama merupakan faktor yang pada umumnya mendukung
tradisi dan menentang perubahan-perubahan Katolikisme di abad pertengahan tersebut.
Etika Protestan, menurut Weber, menentang tradisionalisme tersebut di atas; pertama-
tama yang ditentangnya adalah adanya siklus dosa dan penyesalan, menurut etika Protestan
orang-orang mampu menguasai dirinya serta menetapkan tujuannya, selama mereka bersikap dan
bertindak secara sistematis dan metodologis. Etika Protestan juga menekankan perlunya proses
sekularisasi dalam pekerjaan. Pekerjaan dipandang sebagai suatu panggilan.
Kesimpulannya, Weber menganggap bahwa Etika Protestan menghasilkan kekuatan kerja
dengan disiplin serta motivasi tinggi. Kekayaan merupakan petunjuk keberhasilan, sedangkan
kemiskinan adalah tanda kegagalan secara moral. Kalau seseorang miskin maka dia itu pemalas,
lemah, dan pada umumnya kurang bermoral. Oleh karena itu, Etika Protestan merupakan
pembenaran (legitimasi) etis terhadap berkembangnya kapitalisme modern. Proses perubahan
nilai dasar keagamaan inilah yang oleh Weber dijadikan penjelasan terhadap perubahan sosial
yang terjadi secara besar-besaran di kalangan masyarakat Eropa yang dikenal sebagai konsentrasi
pengamat agama-agama Kristen di dunia.

TEORI –TEORI PEMBANGUNAN DUNIA KETIGA

I. Teori Modernisasi
Sejarah lahirnya teori modernisasi diawali dari tiga peristiwa pasca berakhirnya Perang Dunia II
tahun 1945. Peristiwa tersebut adalah :
1. Munculnya Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan dominan di dunia. Disaat negara-negara
lain yang terlibat peperangan melemah, AS muncul mengambil peran sebagai pengendali
percaturan dunia.
2. Terjadi perluasan gerakan komunis dunia oleh Uni Soviet. Gerakan ini meluas tidak saja di
Eropa Timur tetapi juga sampai di Cina dan Korea. Kondisi ini mendorong AS untuk semakin
memperluas pengaruh politiknya untuk membendung ideologi komunisme.
3. Lahirnya negara-negara merdeka baru di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-
negara yang baru merdeka ini secara serempak berupaya mencari model-model pembangunan
untuk negaranya. Perkembangan Dunia Ketiga ini mendapat perhatian dari AS sebagai bagian
dari perluasan pengaruh politik sekaligus menghadang mereka dari pengaruh komunis.

Penjelasan
Teori modernisasi menyoroti bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan
masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara Barat dilihat sebagai negara modern. Dalam
perkembangannya, pendukung teori modernisasi seperti Daniel Lamer, Marion Levy, Neil
Smelser, dan lainnya banyak dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan masing-masing sehingga
banyak menimbulkan pemikiran-pemikiran yang mendukung perkembangan teori modernisasi
ini. Namun demikian secara garis besar Samuel Huntingthon merangkum berbagai pemikiran
dan gambaran dari teoritisi perspektif modernisasi ke dalam beberapa ciri pokok sebagai
berikut :
1. Modernisasi merupakan proses bertahap. Hal ini dapat dilihat dari teori Rostow mengenai fase
pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
2. Modernisasi juga dapat dikatakan sebagai proses homogenisasi. Dalam hal ini Lvy
menyatakan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu setiap manusia akan memiliki kemiripan
satu dengan lain.
3. Modernisasi terkadang terwujud dalam bentuk aslinya yaitu Eropanisasi atau Amerikanisasi.
Ini terlihat dari sikap berlebihan yang selalu memuji keberhasilan dan segala sesuatu dari Eropa
dan AS, sehingga timbul juga istilah bahwa modernisasi sama dengan Barat.
4. Modernisasi dilihat sebagai proses yang tidak bergerak mundur. Ketika sudah terjadi kontak
antara negara Barat, negara Dunia Ketiga tidak akan mampu menolak upaya modernisasi.
5. Modernisasi merupakan perubahan progresif. Dalam jangka panjang modernisasi dilihat
sebagai sesuatu yang diperlukan dan diinginkan.
6. Modernisasi memerlukan waktu panjang. Modernisasi dilihat sebagai proses evalusioner dan
bukan perubahan revolusioner sehingga diperlukan waktu sangat lama untuk sampai pada
tahapan akhir.
Dengan mendasarkan pada teori dan metode pengkajiannya, teori modernisasi mampu
menurunkan berbagai implikasi kebijaksanaan pembangunan yang perlu diikuti negara Dunia
Ketiga dalam upaya memodernisasikan dirinya. Pertama, teori ini memberikan pembenaran
secara implisit hubungan bertolak belakang antara masyarakat tradisional dan modern. Kedua,
teori modernisasi menilai ideologi komunisme sebagai ancaman pembangunan negara Dunia
Ketiga. Ketiga, teori modernisasi memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing,
khususnya dari AS.

II. Teori Dependensi (Ketergantungan)


Teori dependensi menitikberatkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan
negara Dunia Ketiga, oleh karena itu teori ini dapat dikatakan mewakili suara negara-negara
pinggiran untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju.
sejarah kelahirannya diawali oleh kegagalan program dari Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika
Latin (KEPBBAL) pada awal 1960-an. Program ini dimulai tahun 1950-an saat banyak negara
Amerika Latin menerapkan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada proses
industrialisasi melalui program Industrialisasi Substitusi Import (ISI) dengan harapan dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pemerataan hasil pembangunan. Namun yang muncul
kemudian adalah terjadinya stagnasi ekonomi yang ditandai pengangguran, inflasi, devaluasi,
penurunan nilai perdagangan, dan lainnya. Kondisi ini menimbulkan gerakan perlawanan dari
rakyat dan tumbangnya pemerintahan di beberapa negara. Selain kegagalan program KEPBBAL
yang sekaligus dianggap sebagai kegagalan teori modernisasi, munculnya teori dependensi juga
dipengaruhi oleh teori Marxis di Amerika Latin mengenai pertentangan kelas sosial.
Teori dependensi segera menyebar ke belahan Amerika Utara di tahun 1960-an oleh
Andre Gunder Frank, khususnya pada masyarakat intelektual internaional. Di Amerika Serikat
teori ini mendapat sambutan hangat dari kelompok intelektual muda radikal yang tumbuh dan
berkembang pada masa revolusi kampus. Kondisi di AS yang “kronis” akibat gerakan protes
antiperang, gerakan kebebasan wanita, kerusuhan sosial dan perasaan kehilangan kepercayaan
diri pada masa awal tahun 1970-an semakin membuat teori ini berkembang sekaligus
menghilangkan keyakinan akan teori modernisasi.
Penjelasan
Sama halnya dengan teori modernisasi, pada teori dependensi juga terdapat banyak varian yang
dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu sosial. Namun demikian, para penganut aliran
dependensi cenderung memiliki asumsi dasar sebagai berikut :
1. Keadaan ketergantungan merupakan gejala umum yang berlaku di seluruh negara Dunia
Ketiga
2. Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”. Sebab utama yang
menghambat pembangunan bukan karena kekurangan modal atau faktor manusia melainkan
karena berada di luar jangkauan politik ekonomi suatu negara.
3. Permasalahan ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi. Hal ini akibat
mengalirnya surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju.
4. Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional
ekonomi global.
5. Keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan
pembangunan.
Secara filosofis, teori dependensi menghendaki untuk meninjau kembali pengertian
pembangunan. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses
industrialisasi, peningkatan output, dan peningkatan produktivitas. Bagi teori dependensi,
pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di
negara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang
melayani kepentingan elit dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, para pencari kerja, dan
kelas sosial lain yang membutuhkan bantuan.

III. Teori Sistem Dunia


Munculnya dua paradigma mengenai pembangunan yang saling bertentangan di tahun
1960-an memunculkan kondisi “perang dingin” antara kedua pendukung teori ini. Akibat dari
suasana ini, lahir kembali suatu pemikiran kritis di tahun 1970-an mengenai pembangunan yang
dipimpin oleh Immanuel Wallerstein. Dia muncul dengan gagasan baru yang radikal dengan
menyatakan bahwa banyak peristiwa sejarah di dalam tatanan ekonomi kapitalis dunia (TEKD)
ini yang tidak dapat dijelaskan oleh kedua perspektif sebelumnya.
Pernyataan tersebut dilatar belakangi beberapa hal, yaitu :
1. Negara-negara di Asia Timur terus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Hal ini
membuktikan bahwa ketergantungan dengan negara maju bukan segalanya dalam pembangunan
suatu negara.
2. Adanya krisis di negara sosialis seperti RRC dan Uni Soviet
3. Munculnya krisis di AS, perang Vietnam, krisis watergate, embargo minyak, dan lainnya pada
dekade 1970-an menjadi tanda rubuhnya hegemoni AS di bidang ekonomi politik

Penjelasan
Tesis yang disampaikan oleh teori sistem dunia adalah adanya bentuk hubungan negara
dalam sistem dunia yang terbagi dalam tiga bentuk negara yaitu negara sentral, negara semi
pinggiran dan negara pinggiran. Ketiga bentuk negara tersebut terlibat dalam hubungan yang
harmonis secara ekonomis dan kesemuanya akan bertujuan untuk menuju pada bentuk negara
sentral yang mapan secara ekonomi.
Perubahan status negara pinggiran menuju negara semi pinggiran ditentukan oleh
keberhasilan negara pinggiran melaksanakan salah satu atau kombinasi dari strategi
pembangunan, yaitu strategi menangkap dan memanfaatkan peluang, strategi promosi dengan
undangan dan strategi berdiri diatas kaki sendiri. Sedangkan upaya negara semi pinggiran
menuju negara sentral bergantung pada kemampuan negara semi pinggiran melakukan perluasan
pasar serta introduksi teknologi modern. Kemampuan bersaing di pasar internasional melalui
perang harga dan kualitas.
Negara semi pinggiran yang disampaikan oleh Wallerstein merupakan sebuah pelengkap
dari konsep sentral dan pinggiran yang disampaikan oleh teori dependensi. Alasan sederhana
yang disampaikannya adalah, banyak negara yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut
sehingga Wallerstein mencoba menawarkan konsep pembagian dunia menjadi tiga kutub yaitu
sentral, semi pinggiran dan pinggiran. Terdapat dua alasan yang menyebabkan sistem ekonomi
kapitalis dunia saat ini memerlukan kategori semi pinggiran, yaitu dibutuhkannya sebuah
perangkat politik dalam mengatasi disintegrasi sistem dunia dan sarana pengembangan modal
untuk industri dari negara sentral.
Wallerstein mengajukan tesis tentang perlunya gerakan populis berskala nasional
digantikan oleh perjuangan kelas berskala dunia. Lebih jauh Wallerstein menyatakan bahwa
pembangunan nasional merupakan kebijakan yang merusak tata sistem ekonomi dunia. Alasan
yang disampaikan olehnya, antara lain :
1. Impian tentang keadilan ekonomi dan politik merupakan suatu keniscayaan bagi banyak
negara
2. Keberhasilan pembangunan pada beberapa negara menyebabkan perubahan radikal dan global
terhadap sistem ekonomi dunia
3. Strategi pertahanan surplus ekonomi yang dilakukan oleh produsen berbeda dengan
perjuangan kelas berskala nasional.

Anda mungkin juga menyukai