Anda di halaman 1dari 21

Bab 9 teori lama dan baru

Christian BL DE Rozari
4519022003
A. WUJUD TERAKHIR EVOLUSIONISME
Modernisasi mengandung tiga makna.

• Makna paling umum sama dengan seluruh jenis


perubahan sosial progresif apabila masyarakat
bergerak maju menurut skala kemajuan yang
diakui. Pemakaiannya adalah dalam arti historis
dan berlaku untuk seluruh periode historis.
Perubahan dari hidup di gua ke bangunan tempat
bernaung jelas merupakan kasus modernisasi,
begitu pula penggantian kereta kuda dengan
mobil. Makna ini tidak dibahas di sini karena
tidak cukup khusus. Lagi pula ada istilah lain
yang lebih baik digunakan.
• Makna kedua adalah lebih khusus secara
historis, yakni “modernitas”, yang berarti
transformasi sosial, politik, ekonomi,
kultural, dan mental yang terjadi di Barat
sejak abad ke-16 dan mencapai puncaknya di
abad ke-19 dan 20. Modernitas meliputi
proses industrialisasi, urbanisasi,
rasionalisasi, birokratisasi, demokratisasi,
pengaruh kapitalisme, perkembangan
individualisme dan motivasi untuk
berprestasi, meningkatnya pengaruh akal dan
sains.
• Makna modernisasi paling khusus hanya mengacu
pada masyarakat terbelakang atau tertinggal dan
melukiskan upaya mereka untuk mengejar
ketertinggalan dari masyarakat paling maju yang
hidup berdamping. an dengan mereka pada
periode historis yang sama dalam masyarakat
global. Dengan kata lain, modernisasi melukiskan
gerakan dari pinggiran menuju inti masyarakat
modern. Sejumlah pendekatan khusus terhadap
perubahan sosial yang bernama teori modernisasi,
neo-modernisasi dan konvergensi, memakai
makna sempit modernisasi ini. Ini pula yang
diperhatikan di bab ini.
Teori modernisasi dan konvergensi adalah produk era pasca- Kedua golongan teori ini sangat populer di saat terbentuknya
Perang Dunia II. Keduanya dirumuskan untuk menjawab pada 1950-an dan pertengahan 1960-an. Sumbangan Daniel
masalah yang baru muncul dalam bentuk pembagian Lemer (195a), NeilSmelser (1959), Everett Hagen (1962),
masyarakat ke dalam tiga dunia yang berbeda. Dunia Pertama, Parsons (1966), Marion Levy (1966), David Apter (1968), dan
masyarakat industri maju, meliputi Eropa Barat dan Amerika Eisenstadt (1973) terhadap teori modernisasi, dan karya Rostow
Serikat yang segera disusul oleh Jepang dan negara industri
(1960), Clark Kerr (Kerr et al., 1960) dan Samuel Huntington
baru Timur Jauh. Dunia Kedua, masyarakat “sosialis” totaliter
(1968) di bidang teori konvergensi, dibaca dan disambut hangat
yang didominasi oleh Uni Soviet, yang menempuh jalan
secara luas. Lalu pada 1970-an dan hingga pertengahan 1980-
industrialisasi dengan biaya sosial yang sangat besar. Dunia
Ketiga, masyarakat post-kolonial di Selatan dan di Timur yang an kedua golongan teori ini mendapat kritik gencar sehingga
sangat terbelakang dan tenggelam dalam era praindustri. mengalami kemerosotan dan bahkan mati sama sekali. Tetapi,
Mengingat makin meningkatnya interaksi dan saling di akhir 1980-an, teori modernisasi hidup kembali dan versinya
ketergantungan antara ketiga dunia itu, Teori modernisasi yang sudah direvisi itu dinamai “teori Neomodernisasi”
klasik memusatkan perhatian pada perbedaan antara Dunia (Tiryakian, 1991) atau “teori post-modernisasi” (Alexander,
Pertama dan Dunia Ketiga. Adapun teori konvergensi dan teori 1992). Di awal 1990-an, akibat runtuhnya komunisme, teori
transisi masyarakat post-komunis yang baru muncul, konvergensi pun kembali menjadi tema utama perdebatan
memusatkan perhatian pada pembedaan antara Dunia Pertama sosiologi dan dijadikan alat untuk menganalisis transisi
dan Dunia Kedua. masyarakat post-komunis.
 
Teori modernisasi dan konvergensi dapat
dianggap sebagai wujud terakhir pemikiran
evolusionisme, Semula dalam mencari model
teoretis yang dapat digunakan untuk menjelaskan
kemajuan dari “dunia kurang maju” ke dunia
yang lebih maju, kedua teori itu berpaling ke
evolusionisme ketika masih dominan dalam
pemikiran sosiologi tentang perubahan. Istilahnya
memang tergolong baru. Tetapi kecenderungan
teoretisi modernisasi mengkaji perubahan sosial
dalam masyarakat non-Barat telah lama terbentuk
dalam kebijakan ilmu sosial Barat jauh sebelum
berakhirnya abad ke-19 (Tipps, 1976: 64).
Kedua teori ini berasumsi:
(1) Perubahan adalah unilinear. Karena itu masyarakat yang kurang maju harus mengikuti jalan yang
01 sudah ditempuh oleh masyarakat yang lebih maju, mengikuti langkah yang sama, atau berdiri di tangga
lebih rendah di eskalator yang sama.

(2) Arah perubahan tidak dapat diubah, tanpa terelakkan akan bergerak ke modernitas sebagai tujuan
02 akhir proses perkembangan yang sama dengan masyarakat Barat yang industrialis, kapitalis, dan
demokratis.

(3) Perubahan terjadi secara bertahap, meningkat, damai, dan tanpa gangguan.
03

(4) Proses perubahan melalui tahapan berurutan, dan tidak satu tahap pun dapat dilompati, misalnya:
04 tradisional-tradisional-modern (Apter, 1968): tradisional-mencapai syarat tinggal landas—tinggal
landas untuk tumbuh terus —dewasa—mencapai tingkat konsumsi massa (Rostow, 1960).
(5) Memusatkan perhatian pada faktor penyebab dari dalam dan menggambarkan kekuatan yang
05 menggerakkan perubahan dilihat dari sudut diferensiasi struktural dan fungsional: peningkatan daya
adaptasi dan gagasan serupa dengan yang berasal dari teoretisi evolusi.

(6) Mengajarkan progresivisme, keyakinan bahwa proses modernisasi menciptakan perbaikan


06 kehidupan sosial universal, dan meningkatkan taraf hidup. Ringkasnya, modernisasi dianggap penting,
arahnya tidak bisa diubah, endogen, dan pada dasarnya menguntungkan.
B. KONSEP MODERNISASI
Konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoretisi modernisasi ditahun 1950-an dan
1960-an, didefinisikan dalam tiga cara: historis, relatif, dan analisis.
Menurut definisi historis, modernisasi sama dengan “Westernisasi” atau “Amerikanisasi”.
Modernisasi dilihat sebagai gerakan menuju ciri-ciri masyarakat yang dijadikan model.
Berikut ini dikutip dua contoh pandangan seperti itu. Eisenstadt mengatakan:

• Secara historis modernisasi adalah proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi,
dan politik yang telah maju di Eropa Barat dan Amerika Utara dari abad ke-17 hingga ke-19
dan kemudian menyebar ke negara Eropa lain dan dari abad ke-19 dan ke-20 ke negara
Amerika Selatan, Asia, dan Afrika. (1966: 1)

• Gambaran serupa dikemukakan Wilbert Moore: Modernisasi adalah transformnasi total


masyarakat tradisional atau pra-modem ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi sosial
yang menyerupai kemajuan dan Barat yang ekonominya makmur dan situasi politiknya
stabil. (19636: 89)
Pendekatan seperti ini sangat mudah terancam bahaya etnosentrisme yang keliru. Bahaya etnosentrisme yang keliru ini sebagian
dijauhi oleh definisi relatif yang tidak memerlukan parameter jarak atau waktu, tetapi memusatkan perhatian pada substansi
proses, kapan, dan di mana pun terjadinya. Berikut ini dua contohnya. Tiryakian merumuskan:

• Dilihat dari perspektif proses historis dunia, modernitas berkaitan dengan keunggulan inovasi atau terobosan kesadaran, moral,
etika, teknologi dan tatanan sosial yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan manusia. (1985a: 134)
• Pandangan serupa dikemukakan oleh Chodak: Modernisasi adalah contoh khusus dan penting dari kemajuan masyarakat, contoh
usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai standar kehidupan yang lebih tinggi. (1973: 256)
• Menurut pengertian relatif, modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang dianggap modern, baik oleh
rakyat banyak maupun oleh elite penguasa. Tetapi standar ini berbeda-beda. Apa yang disebut “sumber” atau “pusat” modernitas
dalam arti masyarakat rujukan, unggul, tempat asal prestasi yang dianggap modern paling umum, berbeda di kalangan pakar.
Menurut Tiryakian, pusat modernitas bergeser mulai dari bibitnya, yakni masyarakat Yunani dan Israel, melalui Romawi, Eropa
Utara, dan Barat Laut di Abad Pertengahan, kawasan pengaruh Amerika Serikat dan kini bergeser ke Timur Jauh, pinggiran
Pasifik, atau di masa mendatang mungkin kembali ke Eropa (1985a).
C. MEKANISME MODERNISASI

Sebagian pakar menggunakan pemikiran kaum evolusi tradisional (Spencerian atau


Durkheimian) dengan analogi pertumbuhannya. Diferensiasi struktural dan fungsional (lebih
konkretnya: pembagian kerja) dipandang sebagai proses alamiah yang tidak terelakkan yang
dapat diperlambat atau dihambat untuk sementara tetapi akhirnya harus terjadi. Bila orang
memakai perspektif demikian, maka masalah utamanya adalah menemukan faktor penghambat
diferensiasi (pertumbuhan) masyarakat terbelakang dan kebijakan yang harus dicari adalah
cara membongkar penghambat itu. Asumsi yang melandasinya adalah masyarakat akar,
menjadi modern hanya jika tidak terhambat dalam proses. Faktor pendorong modernisasi
diyakini muncul dari bawah secara spontan. Tugas elite politik hanyalah menghancurkan
penghambat modernisasi yang mempertahankan cara hidup, pola kelembagaan dan organisasi
tradisional dan terbelakang.
Hipotesis lain menggunakan pemikiran evolusi yang lebih canggih (Darwinian) dengan
gagasannya tentang jenis dan perjuangan mempertahankan hidup (survival of the fittest). Dalam
bentrokan atau persaingan antara masyarakat (kultur, ekonomi, bentuk organisasi, sistem
militer) modernitas menyediakan pembatas persaingan. Makin tinggi derajat efisiensi dan makin
besar daya adaptasi suatu masyarakat, makin besar peluangnya memenuhi kebutuhan
anggotanya pada tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Syarat modernisasi adalah hidup
berdampingan secara damai antara berbagai masyarakat dan masyarakat yang berada pada
tingkat perkembangan yang lebih rendah harus memodernisasi diri atau binasa. Daya adaptasi
dapat diperbaiki atau ditingkatkan dari bawah, namun akan berjalan sangat lambat. Ia dapat
dipercepat jika elite politik menyadari penghambat kemajuan masyarakatnya dan memaksakan
perombakan dari atas disertai dengan kampanye pendidikan, mengembangkan kesadaran
mengenai keuntungan modernitas.
D. KRITIK TERHADAP KONSEP MODERNISASI
Gagasan modernisasi mendapat kritik gencar di ujung tahun
1960-an dan 1970-an. Gagasan ini diserang dari sudut
landasan empiris karena bertentangan dengan fakta historis
dan dari sudut landasan teoretis karena berdasarkan asumsi
yang tidak dapat dipertahankan. Dari sudut empiris
dinyatakan bahwa upaya modernisasi sangat sering tidak
menciptakan hasil yang dijanjikannya. Di negara
terbelakang kemiskinan terus berlangsung dan bahkan
meningkat, rezim diktator dan otokratis berkembang, perang
dan kerusakan berkecamuk, sakralisasi kehidupan dan
bentuk baru fundamentalisme agama berkembang,
kefanatikan ideologis berlanjut, berbagai jenis nasionalisme
baru, paham golongan dan paham kedaerahan bermunculan.
 
Juga terdapat sejumlah “penyakit” akibat dari
modernisasi. Kehancuran lembaga dan cara
hidup tradisional sering menimbulkan
disorganisasi, kekacauan, dan anomi. Perilaku
menyimpang dan kenakalan meningkat.
Ketidakselarasan di sektor ekonomi dan tidak
sinkronnya perubahan di berbagai subsistem
mengakibatkan pemborosan dan
ketidakefisienan. fisenstadt menyatakan:

Dalam masyarakat terbelakang itu semua upaya


pembangunan (modernisas) tidak ada yang
meningkatkan perkembangan kecuali di bidang
politik, padahal semangat sistem kelembagaan
modern mampu menyerap perubahan
berkelanjutan, membedakan antara masalah dan
kebutuhan. (1966a: 435)
Dilihat dari sudut teoretis, asumsi yang melandasi evolusionisme tidak dapat diterima.
Eisenstadt telah menunjukkan kemungkinan terjadinya perkembangan multilinear, mengikuti
berbagai jalan modernisasi ketimbang menempuh jalan tunggal :
•  Titik tolak yang berbeda dari proses modernisasi masyarakat terbelakang itu sangat
memengaruhi bentuk khusus dan masalah yang dihadapi dalam perkembangannya. (1966:
2)
•  Mempertentangkan antara tradisi dan modernitas ternyata menyesatkan dan manfaat
tradisionalisme di berbagai bidang ditegaskan kembali. Tidak hanya masyarakat modern
saja yang menggabungkan unsur-unsur tradisional, bahkan masyarakat tradisional pun
sering memiliki berbagai keumuman, berorientasi pada prestasi, ciri-ciri birokrasi yang
biasanya dianggap modern (Huntington, 1976: 38).
• Bahkan dapat ditambahkan, tradisi dan modernitas bukan hanya dimungkinkan untuk hidup
berdampingan secara damai, tetapi juga modernisasi itu sendiri dapat memperkukuh tradisi
(Ibid., 36). Simbol dan bentuk kepemimpinan tradisional dapat menjadi bagian vital nilai
dasar yang mendukung kerangka modernisasi (Gusfield, 1966: 352).
•  Pentingnya faktor eksternal, dalam arti kondisi global dan penyebab dari luar, perlu
diperhatikan. Setiap kerangka teori yang gagal memasukkan variabel penting seperti
dampak perang, penaklukan, dominasi kolonial, hubungan politik atau militer internasional
atau hubungan perdagangan internasional dan aliran kapital yang melampaui batas negara,
jangan berharap bisa menjelaskan asal usul masyarakat bersangkutan Atau sifat perjuangan
mereka untuk mendapatkan otonomi politik dan ekonomi (Tipps, 1976:74)
Terakhir, konsep tujuan modernisasi yang berbau etnosentrisme dalam arti berorientasi Barat
dipertanyakan keabsahannya karena banyak masyarakat (negara) modern dan yang sedang
memodernisasikan diri tidak berkembang persis menurut arah perkembangan negara Eropa
(Fisenstadt, 1983: 236). Ini saja sudah cukup untuk menghancurkan daya tarik teori modernisasi
itu, setidaknya untuk sementara.
 
Begitu pula prediksi historis yang dinyatakan secara tidak langsung oleh teori konvergensi,
menjadi tidak benar. Faktanya, terdapat perbedaan besar institusional antara berbagai
masyarakat modern dan yang sedang memodernisasikan diri—tidak hanya antara masyarakat
yang sedang berada dalam fase transisi, tetapi juga antara masyarakat yang lebih maju dan
bahkan antara masyarakat industri yang paling maju sekalipun. Fakta perbedaan institusional ini
makin lama makin nyata (Eisenstadt, 1992a: 422).
Ketimbang konvergensi, justru terjadi peningkatan perbedaan yang muncul sebagai ciri
dominan masyarakat modern, dan modernisasi tidak lagi dapat dilihat sebagai titik terakhir
evolusi seluruh masyarakat.
E. TEORI NEO-MODERNISASI DAN NEO-KONVERGENSI

Di awal 1980-an teori modernisasi hidup kembali (Tiryakian, 19853 dan


setelah tahun 1989 teori ini menemukan sasaran perhatian baru yakni upaya
masyarakat post-komunis “memasuki” atau “memasuki kembali" Eropa (dunia
Barat, modern). Teori modernisasi diakui dapat berguna untuk memahami
proses historis baru itu. Melenyapkan teori modernisasi dan pemikiran
modernitas mungkin merupakan kesalahan yang sama memilukannya dengan
menjadikan modernisasi sebagai pusat perhatian teori perubahan sosial di
tahun 1960-an (ibid., 132). Upaya penilaian ulang kajian modernisasi juga
menuntut perumusan ulang seluruh pemikiran tentang modernitas dan
kemajuan (Eisenstadt, 1983: 239). Tantangan ini ditanggapi dengan “teori neo-
modernisasi” (Tiryakian, 1991) atau “teori post-modernisasi” (Alexander,
1992). Teori baru ini dikaitkan dengan pengalaman masyarakat post-komunis
dengan mengubah asumsi sentralnya.
Perbedaan penting antara proses modernisasi di Dunia Ketiga dan di Dunia Kedua post-
komunis, disebabkan warisan “sosialisme nyata”. Proses modernisasi di negara Dunia Ketiga
(post-kolonial) biasanya bertolak dari tatanan masyarakat tradisional, pramodern yang
dilestarikan tanpa perubahan bentuk. Adapun di Uni Soviet dan Eropa Timur, ideologi
penguasa dan sistem ekonomi berencana yang tersentralisasi selama beberapa dekade terlibat
dalam mempromosikan modernisasi dari atas. Hasil yang dicapai masih jauh dari modernitas
sebenarnya. Dapat disebut modernitas palsu. Yang dimaksud dengan modernitas palsu di sini
adalah kebingungan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang menyatu dengan tiga komponen:
1) modernitas yang dipaksakan di bidang kehidupan sosial tertentu, digandengkan dengan
2) sisa masyarakat tradisional (pramodern) di bidang kehidupan yang lain dan semuanya itu
didandani dengan
3) perhiasan simbolik yang pura-pura meniru modernitas Barat.
Di bidang modernitas terdapat: industrialisasi yang dipaksakan, obsesinya ditekankan pada
industri berat: pergeseran dari sektor agraris ke sektor industri, meluasnya proletarisasi,
urbanisasi yang kacau, penduduk dikontrol sangat ketat oleh aparatur pemerintah, polisi dan
tentara, otokrasi sangat kuat. Juga muncul segala dampak buruk modernitas, meliputi
kerusakan lingkungan, pencemaran, menipisnya cadangan sumber daya alam, anomi, dan
apatisme di kalangan masyarakat luas. Yang telah lenyap dan yang belum muncul kembali
hingga kini adalah: pemilikan pribadi, sikap rasional, berperhitungan, organisasi produksi yang
dapat diperhitungkan, berfungsinya pasar, kekuasaan berdasarkan hukum, melimpahnya barang
konsumsi dan banyaknya pilihan, “sistem abstrak” yang andal seperti telekomunikasi, sistem
penerbangan, jaringan jalan raya: lembaga keuangan seperti bank (Giddens, 1990): elite dan
kelas menengah wiraswasta yang kuat, berakarnya etika kerja dan individualisme, berfungsinya
demokrasi pluralistis. Bagaimanapun juga, masyarakat Post-komunis tampaknya justru telah
mencapai semua sisi suram modernitas dan masih jauh dari sisi cerahnya. Mereka telah
membayar mahal biaya modernitas tanpa mendapat keuntungannya. Warisan aneh dan
menyakitkan ini masih diderita hingga kini dan agaknya akan berlanjut ke generasi mendatang.
Faktor terakhir yang menyebabkan upaya modernisasi masyarakat post-komunis berbeda dan lebih sukar ketimbang upaya
modernisasi masyarakat Dunia Ketiga sesudah Perang Dunia II adalah suasana ideologi yang berlaku di dalam “masyarakat
modern” (masyarakat Barat maju). Era kesuksesan modernitas di akhir abad ke-20, dengan kesejahteraan, optimisme dan
dorongan perkembangannya, rupanya sudah lewat. Krisis lebih menjadi pendorong kesadaran sosial ketimbang kemajuan (Holton,
1990). Kesadaran akut mengenai efek samping dan efek bumerang yang tidak diharapkan dari modernitas, menimbulkan
kekecewaan dan penolakan.
Di tingkat teoretis, “post-modernisme” menjadi mode terakhir. Masyarakat Barat dilihat seolah-olah siap melompat ke luar kereta
modernitas, bosan dengan perjalanan panjangnya, dan di saat itu pula masyarakat Timur post-komunis dengan takut-takut
mencoba masuk. Dalam situasi Ini sukar menemukan dukungan ideologis yang tidak ambivalen untuk memasuki modernisasi
yang dilaksanakan berdasarkan demokrasi liberal dan ekonomi pasar. Analisis umum mengenai kesulitan khusus ini terdapat
dalam teori modernisasi yang telah direvisi, yakni teori neomodernigasi.
 
Teori neomodernisasi menyingkirkan semua nada tambahan teoretisi evolusi. Teori ini tidak menganggap adanya tujuan khusus
atau arah yang tidak dapat diubah dari perubahan historis meskipun modernisasi dilihat sebagai proses historis yang membentuk,
menyebarkan dan melegitimasi lembaga dan nilai modernitas seperti demokrasi, pasar, pendidikan, administrasi rasional, disiplin
diri, etos kerja, dan sebagainya. Menjadi modern (atau keluar dari modernitas palsu) masih menjadi tantangan penting bagi
masyarakat post-komunis. Untuk itulah teori modernisasi yang direvisi mempertahankan hidupnya
Thank you for
your attention
Sekian dan Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai