Anda di halaman 1dari 24

Tugas Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan

Paradigma Pembangunan dan Pergeseran

Christian BL DE Rozari (4519022003)


Palerias Serang (4519022007)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
anugerah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Makalah ini yang
berjudul “Identifikasi Potensi Wilayah.”

Adapun tujuan dari penulisan dari proposal penelitian ini adalah untuk
Mengetahui Apa itu Identifikasi Potensi Wilayah dan bagaimana caranya. kami
menyadari, makalah yang Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Kami nantikan demi
kesempurnaan Makalah ini.

Daftar Isi
Kata Pengantar......................................................................................................2
A.Pendahuluan.......................................................................................................3
B.Tujuan Penulisan................................................................................................5
C.Ruang lingkup Pembahasan..............................................................................5
1. Penjelasan tentang Pembangunan....................................................................5
2. penjelasan tentang fungsi dan Manfaat Pembangunan.....................................5
3. Penjelasan tentang Pergeseran..........................................................................5
4. penjelasan tentang fungsi dan Manfaat Pergeseran..........................................5
D.Pembahasan........................................................................................................6
1. Pengertian pembangunan................................................................................6
2. Definisi mengenai pembangunan...................................................................10
3. Pengertian Pergeseran....................................................................................22
4. Pergeseran Paradigma Pembangunan.............................................................23
E.Penutup..............................................................................................................23
Kesimpulan...........................................................................................................23
Daftar Pustaka......................................................................................................23

A.Pendahuluan

Pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dari pola


sentralisasi menjadi desentralisasi yang ditandai dengan lahirnya undang-undang
nomer 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta di berlakukannya
undang-undang nomer 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan pusat dan
daerah membawa implikasi mendasar terhadap keberadaan tugas, fungsi dan
tanggung jawab pelaksanaan otonomi daerah yang antara lain di bidang ekonomi
yang meliputi implikasi terhadap pertumbuhan dan pemerataan antar daerah.
Pembangunan daerah itu sendiri merupakan integral dari pembangunan nasional
yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan
sumberdaya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi
dan kinerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Suatu daerah dianggap sebagai suatu ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi
didalam berbagai sifat-sifat pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama.
Kesamaan tersebut antara lain dari segi pendapatan per kapita, sosial budaya dan
dari segi geografis (Arsyad, 1999).

Pembangunan ekonomi pada umumnya adalah suatu proses yang menyebabkan


kenaikan pendapatan Riil per kapita penduduk dalam suatu negara dalam jangka
panjang yang disertai dengan perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan
ekonomi harus di pandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan
saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
pembangunan ekonomi sehingga dapat diidentifikasi dan dianalisis secara
seksama (Arsyad,1999).
Pembangunan ekonomi menjadi demikian penting manakala terkait dengan proses
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sejak jaman dahulu manusia selalu
berusaha meningkatkan kesejahterannya melalui pembangunan. Sedangkan
kesejahteraan hidup manusia itu sendiri tidak terlepas dari peningkatan masalah
materi yang berarti peningkatan masalah ekonomi, oleh karenanya masalah
pembangunan kesejahteraan materi atau pembangunan peningkatan ekonomi
menjadi konsep yang selalu menarik untuk diteliti.

Tujuan utama pembangunan yaitu untuk menciptakan jumlah dan jenis peluang
kerja untuk masyarakat daerah tersebut, sehingga terdapat penekanan-penekanan
kebijakan pembangunan yang didasarkan pada potensi ekonomi daerah yang
bersangkutan dalam menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan
dan sumber daya alam lokal atau daerah. Perencanaan pembangunan ekonomi
daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki pembangunan
sumber daya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki
kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai–nilai sumber daya swasta secara
bertanggung jawab (Arsyad,1999).

Beberapa indikator yang dapat memberikan gambaran tentang pertumbuhan atau


keadaan perekonomian suatu daerah antara lain tingkat kesempatan kerja,
pertumbuhan pendapatan regional, tingkat pendapatan dan struktur pendapatan
regional (Kuncoro,2006).

Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah


maupun swasta dalam rangkaian peningkatan kesejahteraan penduduk dapat
dinilai melalui tingkat pertumbuhan produk domestik regional bruto dan sekaligus
berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa akan datang.
B.Tujuan Penulisan

Untuk menjelaskan dan memberi pemahaman tentang Pembangunan dan


pergeseran dan apa itu pembangunan pergeseran serta memberikan pengertian
tentang menfaatnya serta kelebihan dan kekurangannya.

C.Ruang lingkup Pembahasan

1. Penjelasan tentang Pembangunan

2. penjelasan tentang fungsi dan Manfaat Pembangunan

3. Penjelasan tentang Pergeseran

4. penjelasan tentang fungsi dan Manfaat Pergeseran


D.Pembahasan

1. Pengertian pembangunan

Untuk memulai memperbaiki kehidupan masyarakat di dunia ketiga atau negara


berkembang yang mengalami keterbelakangan, maka mulailah diadopsi kata
"pembangunan". Pembangunan menjadi kekuatan baru yang disosialisasikan
kepada masyarakat untuk dapat diyakini mengubah nasib jutaan masyarakat
miskin yang masih terbelakang.Para sarjana mempunyai pandangan sendiri dalam
memahami pembangunan.Secara filosofis,pembangunan sering diartikan sebagai
satu proses yang sistemik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan
yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang bagi pencapaian aspirasi setiap
warga yang paling humanistik (Warjio,2016:3).

Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari


suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat
yang dicita-citakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan
antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat.

Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma
besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995
dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang
pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-
nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan
mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan
(depen-dent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan
klasifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya ke dalam tiga
klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan
ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul
berbagai versi tentang pengertian pembangunan.

Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk


diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat
mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang
pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik
(Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow,
strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan
pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema
pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat
diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang
lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan
mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri,
2004).

Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan
perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah
terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa
pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek
kehidupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan
dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan
adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti
pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-
nilai moral dan etika umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli mem-berikan definisi yang
bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja
diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan
daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain. Namun secara umum ada suatu
kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan
(Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu


usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan
Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan penger-tian yang lebih sederhana,
yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang
dilakukan secara terencana.”

Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran


yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan
modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi.
Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana
pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara
keseluruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut
mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai
latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang
berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan
perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh


sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan
teknologi, kelem-bagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) men-
definisikan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya.
Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki
berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Pembangunan nasional adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang sekaligus merupakan proses
pembangunan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan
tujuan nasional. Dalam pengertian lain, pembangunan mewujudkan nasional dapat
diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan nasional
dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang untuk melaksanakan
tugas mewujudkan tujuan nasional.

Pelasanaan pembangunan mewujudkan aspek kehidupan bangsa, yaitu aspek


politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan secara berencana,
menyeluruh, nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan
sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Oleh karena itu, sesungguhnya
pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus
meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara
yang maju dan demokrasi berdasarkan Pancasila.

Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat diartikan


sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan
dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi,
misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang
cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan
nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi
semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan
modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian
kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-
ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, fasilitas rekreasi,
dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan
transformasi budaya sering dikaitkan antara lain, dengan bangkitnya semangat
kebangsa dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang
dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke
materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada
penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan
rasional.

Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan


masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro
(nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan
adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.

2. Definisi mengenai pembangunan

Menurut Rostow trasnformasi dari negara yang terbelakang menjadi negara maju
dapat dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau tahap pembagunan yang
dilalui oleh semua neagara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui oleh
suatu negara dalam proses pembangunannya; yaitu;

1. Masyarakat teradisional
2. Persiapan menuju tingkat landas
3. Tinggal landas
4. Masyarakat dewasa
5. Masa tingginya komsumsi masyarakat

Beberapa kualitas pembangunan ditunjukkan oleh Michael Todaro dalam Bryant


dan White (1987:1) bahwa pembangunan adalah proses multidimensi yang
mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial,sikap-sikap rakyat
dan lembaga-lembaga nasional dan juga akselerasi pertumbuhan
ekonomi,pengurangan kesenjangan (inequality) dan pemberantasan kemiskinan
absolut. Todaro menjelaskan bahwa pembangunan memiliki tiiga nilai utama
antara lain Menuju kelangsungan hidup, Harga diri ,dan Kemerdekaan dari
penjajahan dan perbudakan.

a. Menuju kelangsungan hidup


Kelangsungan hidup adalah kebutuhan-kebutuhan dasar dimana semua orang
mempunyai kebutuhan dasar tertentu untuk memungkinkan kehidupan.
Kebutuhan yang dimaksut disini adalah kelangsungan hidup
pangan,papan,kesehatan dan rasa aman.
b. Harga diri
Harga diri berarti kemampuan seseorang untuk menjadi seorang manusia diman
aharga diri atau perasaan layaknya dalam menghormati diri sendiri tidak untuk
menjadi alat orang lain demi tujuan orang lain.

c. Kemerdekaan darii penjajahan dan perbudakan


Dimana sebuah nilai universal ketga yang harus merupakan bagain dari makna
pembangunan ialah konsep kebebasan. Kebebasan yang dimaksut hendaknya
tidak dipahami dalam makna politik atau ideologi, melainkan dalam artian yang
lebih mendasar mengenai kebebasan.

Dengan memperhatikan pandangan tentang konsep pembangunan yang banyak


menjelaskan pendekatan ekonomi,ternyata belum mampu menyelesaiakan
masalah kemiskinan dan kesenjangan di negara-negara berkembang,sehingga
diperlukan optimisme untuk membangkitkan semangat dalam
pembangunan.Dengan semangat yang dimiliki maka dalam pelaksanaan
pembangunan hendaknya berlandaskan kepada tiga komponen dasar yang
merupakan nilai inti pembangunan.

Didalam hal ini terdapat tiga landasan komponen dasar yang merupakan nilai inti
pembangunan antara lain Kecukupan, Jati diri dan harga diri sebagai manusia, dan
Kebebasan dari penindasan
a. Kecukupan
Kecukupan yang dimaksut bukan hanya sekedar menyangkut makan melainkan
mewakili sebuah hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia secara fisik.
Kebutuhan dasar ini meliputi sandang,pangan,papa,kesehatan dan keamanan.
Apabila salah satu dari sekian banyak kebutuhan dasar ini tidak tterpenuhi maka
muncullah keterbelakangan absolut.

b. Jati diri dan harga diri


Sebagai manusia komponen inti dari pembangunan yang kedua adalah
menyangkut jati diri. Kehidupan yang serba lebih baik adalah adanya dorongan
dari dalam diri uuntuk merasa dan pantas layak untuk melakukan sesuatu semua
itu terangkum dari dalam jati diri ( self-esteem)

c. Kebebasan dari perbudakan/penindasan


Tata nilai ketiga sebagai nilai-nilai hakiki pembangunan adalah konsep kebebasan
atau kemerdekaan. Kebebasan dalam konteks ini diartikan secara luas sebagai
kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudaka oleh pengajaran
aspek-aspek materi dalam kehidupan serta bebas dari persaan perbudakan sosial
sebagai manusia terhadap alam.

1. Prinsip pembangunan berkelanjutan


Pengelolaan sumber daya alam (SDA), yang berkelanjutan, merupakan isu yang
sangat penting di era sekarang ini. Pengelolaan yang tepat tentu akan memberikan
kemanfaatan yang besar secara ekologis, sekaligus ekonomi negara dan
masyarakatnya. Oleh karena itu pengelolaan SDA, termasuk sumber kehutanan
menjadi hal yang penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Sebagai sebuah konsep, istilah pembangunan berkelanjutan ini berkembang dalam
masyarakat modern (developed countries) maupun lembaga-lembaga
internasional. Namun dalam proses perjalanan peradaban pemikiran manusia,
konsep tersebut juga diyakini dipraktekkan oleh negara-negara sedang
berkembang melalui kearfian lokalnya.
Prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs)
ini merupakan kesepakatan negara-negara di dunia setelah konferensi
Stockholm2. Negara-negara dunia yang tergabung dalam organisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) berusaha semaksimal mungkin menyelaraskan visi
pembangunan negara mereka dengan rancangan pembangunan SDGs. Sebagai
sebuah prinsip kesadaran internasional, SDGs merupakan tindak lanjut dari
prinsip Millennium Development Goals (MDGs).

2. Pergeseran paradigma pembangunan


Secara singkat dan sederhana terjadinya pergeseran paradigma global didunia ini
dapat diuraikan dibawah ini :

a. Paradigma ekonomi
Paradigma ekonomi merupakan yang paling tua dan paling dominan dalam
menentukan pembangunan. Hal ini disebabkan oleh pengertian ekonomi itu
sendiri dapat dipahami sebagai upaya mengatur kesejahteraan keluarga,komunitas
dan bangsa dalam skala yang lebih luas. Pada awalnya (ekonomi klasik)
paradigma ini menerapkan pertumbuhan dan melihat pembangunan sebagai
pembangunan ekonomi ( development = economic development) sehingga ukuran
keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan produksi barang dan jasa secara
nasional ( produksi nasional Bruto/Gross National Product). Maka tinggi
pertumbuhannya maka berhasil pembangunan suatu negara. Paradigma juga
menekankan perlunya kebersamaan, pemupukan modal dan pembagian
kerja( spesialisasi). Kelompok yang tidak puas dengan paradigma ini kemudia
melakukan pembaruan yang kemudian dikenala dengn nama Neo Ekonimi yang
lebih menekankan pada pemerataan dengan mengukur berapa % dari PNB/GNP
diraih oleh penduduk miskin.

Meskipun paradigma neo-ekonomi ini masi sngat jelas dipegaruhi oleh nilai-nilai
ekonomi klasik, tetapi ada beberap perbedaan yang fundamental dalam indikator-
indikator yang digunakan untuk mengukur pembngunan dan makna pertumbuan
itu sendiri. Meskipun sudah banyak perubahan dalam paradigma ekonomi tetapi
perkara utamanya tetap pertumbuhan dan pemerataan dipercayakan melalui
mekanisme penetesan ( trickle down effect).

b. Paradigma kesejahteraan sosial


Pada awalnya paradigma kesejahteraan sosial ini melihat pembangunan sebagai
pemenuhn kebutuhan dasar manusia. Indikator pembangunan diukur dari
pemenuhan kebutuhan dasar, seperti antara MASOL (Minuman Acceptablr
Standard of Living) yang dikembangkan oleh Doh Joon Chien atau PQLI
( Physical Quality Life Index) yang sedikit lebih maju dengan mengukur harapan
hidup, kematian bayi dan melek huruf sampai dengan yang lebih canggih yang
melihat pembangunan sebagai upaya terencana untuk memenuhi kebutuhan sosial
yang lebih tinggi, bukan berapa banyak, tetpi berapa baik pemerataan dan
peningkatan budaya .

c. Paradingma pembangunan manusia


Melihat pembangunan sebagai pembangunan manusia untuk mampu berbuat dan
menciptakan sejarahnya sendiri. Manusai adalah fokus utama pembangunan
karena martabat manusia emiliki dominasi teknologi, pembebasan manusia dari
dominasi pasar (Ramos), pembangunan manusia, kelangungan hidup dan
kehormatan serta kebebasan ( Goulet), pembebasan manusia dari dominasi
manusia lain melalui proses penyadaran diri (Freire). Fokus pembangunan bukan
lagi pada ekonomi, sosial atau teknologi melainkan pada manusia itu sendiri.

Pergeseran paradigma seperti itu bergerak dari ekonomi ke paradigma


kesejahteraan sosial dan akhirnya ke paradigma manusia. Pembangunan menuru
kedua paradigma terdahulu( ekonomi dan kesejahteraan sosial) adalah
pembangunan yang berkibrat ke manusia, sedangkan pembangunan menurut
paradigma manusia dalah pembangunan manusia itu sendiri untuk menjadi
manusia yang utuh dan merdeka atau secara ekonomi produktif dan secara sosial
efektif ( soedjatmoko).

d. Paradigma Terkini Pembangunan


Sejak tahun 1970-an muncul pandangan bahwa proses perkembangan dan
perubahan sosial dapat didorong, dipercepat, dan diarahkan oleh organisasi-
organisasi yang sengaja dibentuk, baik yang baru maupun organisasi lama yang
diperbaharui (Esman, 1972; Esman & Uphoff, 1982; Katz, dalam Eaton, 1986)
dan pada masa itu paradigma pertumbuhan yang berbasis pada analisis ekonomi
rasional dijadikan sebagai acuan utama. Secara tegas, tujuan pembangunan
dinyatakan sebagai penciptaan masyarakat dengan tingkat konsumsi/kemakmuran
tinggi (high mass consumption).

Selama beberapa dekade, pembangunan telah didominasi oleh pemikiran dan


logika era industri, dimana produksi dan produktivitas dijadikan sasaran sakral
yang membebani rasa dosa setiap negara apabila tidak melakukannya. Singkatnya,
masyarakat didorong dan dipaksa untuk melakukan sesuatu kehendak yang sudah
dirancang sepenuhnya oleh elite-elite yang berkuasa dalam proses pengambilan
kebijakan. Mereka lebih banyak tampil sebagai obyek, tanpa peranan subyektif,
dan tanpa pemahaman serta keyakinan penuh terhadap target-target yang harus
diraih (Gran, 1983). Padahal individu dan masyarakat seharusnya berperan
sebagai pelaku yang menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya, dan
mengarahkan proses yang mempengaruhi hidupnya (Gran, 1983). Dalam
perspektif lain, kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan perkembangan dan
perubahan sosial dibeberapa negara Asia dilakukan umumnya dengan mereplikasi
pengalaman keberhasilan pembangunan masyarakat negara lain (Korten, 1986),
yang seringkali melibatkan intervensi bantuan eksternal, baik oleh pemerintah
maupun melalui serangkaian koalisi dalam program bantuan luar negeri (Israel,
1987).
Berbagai bentuk “kegagalan” pembangunan sering menunjuk pendekatan top-
down tersebut sebagai penyebabnya, terutama oleh ahli-ahli pembangunan yang
menyarankan keberpihakan pada rakyat (people centered development) khususnya
dan para penganut teori ketergantungan umumnya (lihat dalam Korten, 1980,
1986). Brinkerhoff misalnya, menunjukkan kegagalan proyek-proyek bantuan
bank dunia yang seringkali hanya membangun lembaga-lembaga penerima
bantuan tanpa kelanjutan setelah proyeknya sendiri usai (bureaucratic
overbuilding), karena memang masyarakat yang terlibat tidk tahu harus
bagaimana (Brinkerhoff, 1986). Meskipun pembangunan yang disarankan para
ahli ketergantungan adalah keberpihakan kepada rakyat, namun yang
dimaksudkan bukanlah sekedar mendesentralisasi sebagian (kecil) urusan seperti
yang terjadi di beberapa negara berkembang akhir-akhir ini (Korten, 1986).
Pembangunan sebaiknya dilakukan dalam kerangka struktur yang berbasis pada
proses swakelola (self-management). Oleh karenanya, disamping perlu mengubah
arah birokrasi pembangunan (bureaucratic reorientation) seperti yang disarankan
Gran, masyarakat sendiri perlu diberdayakan agar memiliki kekuasaan yang
cukup menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi hidupnya.

Para ahli teori pembangunan Amerika Latin yang tergabung dalam ECLA
(Economic Comission of Latin America) mengklaim bahwa pendekatan dan
strategi pembangunan yang diintrodusir PBB telah menghasilkan paradoks dan
tragedi pembangunan di mana pembangunan tidak menghasilkan kemajuan,
melainkan justru semakin meningkatkan keterbelakangan (the development of
underdevelopment). Pendekatan yang sama juga telah melahirkan ketergantungan
(dependency) negara sedang berkembang terhadap negara maju, pheriphery
terhadap center, masyarakat terhadap negara/pemerintah, dan seterusnya. Pada
pokoknya, pendekatan konvensional ini ditandai oleh transplantatif planning, top
down, inductive, capital intensive, west-biased technological transfer, dan
sejenisnya.
Diagnosis para ahli ECLA ini merangsang pemikiran dan pendekatan
pembangunan alternatif seperti pembangunan berwawasan lingkungan
(environmental development), pembangunan berbasis komunitas (coomunity-
based development), pembangunan berpusat pada rakyat (people-centered
development), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan akhir-
akhir ini, pembangunan berbasis kelembagaan (institution-based development).
Kecuali sayap radikal ekonom ECLA, dalam banyak hal strategi pembangunan
alternatif ini tetap mengandalkan bantuan asing yang umumnya berasal dari
negara industri maju. Ciri mencolok yang membedakan pendekatan alternatif ini
adalah penekanannya terhadap lokalitas, baik dalam pengertian kelembagaan,
komunitas, lingkungan, maupun kultur. Implikasi kebijakan pendekatan ini adalah
penekanannya pada transformative and transactive planning, bottom up,
community empowerment, dan participative.

Diskursus tentang strategi pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang


intinya mencoba mengakhiri era “delivered development” dimana pembangunan
dirancang sepenuhnya dari atas dan menempatkan warga sebagai obyek, dan
(kemudian) segera ingin digantikan oleh era “participatory development” dimana
pembangunan dirancang dari bawah dengan melibatkan warga, dan menempatkan
mereka sebagai subyek dalam proses pembangunan. Dengan demikian,
sesungguhnya pelibatan warga dalam penanggulangan kemiskinan juga bukan hal
yang baru sama sekali.

Dalam konteks ini Narayan menulis: “ … Experience has demonstrated that


involving users in decision making, goal-setting, design and management
increases the chances that (the development project) will be finace, used fully and
looked after properly. The end goal is not to maximaze the participation of user,
but to optimize participation in order to achieve sustainability through human
development”
Sementara itu, menurut Maurice F. Strong, Secretary-General United Nations
Converence on Environment and Development, “ … sustainable development
cannot be made without the full support of the community and the participation of
ordinary people at the local level”.

Di Indonesia, kesadaran tentang pelibatan dan pentingnya keikutsertaan warga


dalam usaha pembangunan tumbuh pesat pada awal Pelita VI yang mana hal ini
ditandai dengan (misalnya) munculnya program-program penanggulangan
kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan “serangan langsung”
yang lebih substansial terhadap sumber permasalahan. Kegiatan-kegiatan seperti
pemetaan kantong kemiskinan dan penerapan Inpres Desa Tertinggal (IDT)
merupakan contoh skema tindakan dimaksud. Keikutsertaan warga sasaran secara
langsung dalam tindakan program dengan beberapa tujuan. Pertama, agar bantuan
efektif karena sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak dan mengenali
kemampuan serta kebutuhan mereka sendiri. Kedua, meningkatkan keberdayaan
(empowering) mereka dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, dan
mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.

Menurut Vidhyandika Moeljarto, pendekatan seperti di atas dilatarbelakangi oleh


adanya pergeseran pemahaman terhadap kemiskinan itu sendiri, yang tidak
sekedar diartikan sebagai masalah kesejahteraan. Dalam konteks ini menjadi
penting menoleh kerangkan pemahaman yang lebih lengkap tentang kemiskinan,
sebagaimana yang dikemukakan Amartya Sen, bahwa persoalan kemiskinan, baik
yang mengakar dan telah berlangsung lama maupun yang terjadi tiba-tiba,
merupakan persoalan demokrasi, dan karena itu, bersumber dari masalah
ketidakadilan. Menurut Sen, ketiadaan demokrasi berakibat tertutupnya peluang-
peluang sosial bagi sebagian besar warga negara, terdistorsinya mekanisme pasar,
rendahnya pelayanan fasilitas sosial dan rendahnya pengembangan kemampuan
individual. Akibat selanjutnya, terbatasnya kemampuan individu maupun
kelompok untuk membantu dirinya, apalagi orang atau kelompok lain. Institusi-
institusi di atas (demokrasi, pasar, dsb), dalam pandangan Sen, merupakan
prasyarat pokok penanggulangan kemiskinan.

Ditarik ke dalam konteks program atau proyek penanggulangan kemiskinan, dapat


ditafsirkan bahwa persoalan kemiskinan tidak hanya sekedar persoalan yang
menyangkut ketimpangan ekonomi karena tidak meratanya distribusi pendapatan
antar individu, warga masyarakat atau negara, dan atau persoalan kekurangan
bahan pangan, akan tetapi lebih sebagai ketertutupan (sengaja ditutup) akses
masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, sosial dan politik oleh segolongan
“elite” dalam suatu negara. Pada skala komunitas, pandangan Sen di atas dapat
ditafsirkan sebagai: ketiadaan peluang sosial untuk membicarakan persoalan
bersama dan jalan keluarnya secara terbuka, mengakibatkan rendahnya efektivitas
penanggulangan persoalan oleh dan dari komunitas itu sendiri.

Secara superficial, sebelumnya isu pelibatan warga dalam kegiatan pembangunan


dan upaya pengentasan kemiskinan sudah ada, namun masih sekedar menjadi
“tempelan” dari strategi mempertahankan pertumbuhan yang setinggi-tingginya.
Keikutsertaan warga secara umum masih dalam kerangka “diajak”, bukan atas
kemauan/prakarsa yang berangkat dari kebutuhan mereka sendiri.

Fenomena “superfisial” dalam pelibatan warga sangat mungkin terjadi karena


masyarakat tidak mampu/berdaya karena memang tidak (pernah) belajar apa-apa,
sehingga semuanya masih harus dituntun dari “atas”. Hal ini mendorong para
pendukung paradigma pembangunan yang lain mengkritisi dengan
mengetengahkan isu terabaikannya upaya pengembangan kelembagaan
(institutional development) dan pembinaan kapasitas (capacity building). David C.
Korten misalnya, mengetengahkan isu centrally-imposed blueprint plan Dari sisi
pengembangan kelembagaan, upaya pelibatan yang sentralistis ini dianggap hanya
“menghantarkan barang yang sudah jadi” (delivered), sehingga hanya akan
menumbuhkan ketergantungan warga terhadap proyek pembangunan dan
ketergantungan rakyat terhadap birokrat. Sementara itu, dari sisi pembinaan
kapasitas, upaya penghantaran rencana (pembangunan) yang sudah dalam bentuk
“cetak biru” (blueprint) ini hanya akan meng-cripple-kan potensi warga, sehingga
dalam konteks keberlanjutan ini justru menjadi anti-teori karena sifatnya
disempowering.

Namun demikian, meskipun sejak awal tahun 1980-an ide people-centered


development diperkenalkan oleh David C. Korten sebagai “protes” terhadap
paradigma pembangunan sebelumnya yang (dianggap) top-down, hanya
berorientasi pada pertumbuhan, culture-biased, dan membangun ketergantungan
pada masyarakat, namun masa-masa setelah itu juga tidak terbebas dari tuduhan
“developmentalis”. Tumbuhnya berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang hadir sebagai “alternatif atas kegagalan” dominasi pemerintah juga dikritik
(bahkan) oleh para aktivisnya. Dalam konteks ini pikiran Korten masih dapat
dibenarkan dengan mengatakan bahwa pendekatan kearah pembangunan yang
lebih “berpihak kepada rakyat” tetap saja dituntun oleh suatu paradigma (baru)
yang didasarkan pada gagasan dan nilai-nilai, teknik sosial, dan teknologi
alternatif, namun sasarannya terfokus pada pertumbuhan umat manusia. Sebagai
sebuah diskursus yang amat panjang, munculnya paradigma pemihakan seperti di
atas menurut Korten dapat diterima sebagai penemuan sosial kolektif sedunia.
Dengan demikian, tema “pemihakan” dalam upaya penanggulangan kemiskinan
dapat dipahami sebagai proses pengutamaan yang lebih tegas terhadap
kepentingan masyarakat, ini sama artinya dengan upaya pengurangan dominasi
pemerintah di sisi yang lain. Dengan kata lain terdapat dua isu sekaligus,
pertama, dalam konteks pemecahan masalah atas ketegangan hubungan antara
Negara (State) dengan Komuniti (Community), terjadi upaya evolutif untuk
menggeser “beban” dan tanggung jawab (shifting of burden and responsibility)
dalam menanggulangi kemiskinan dari Negara ke Komuniti. Komitmen
pemerintah untuk “memajukan kesejahteraan umum” tidak (lagi) harus diartikan
sebagai pemerintah turun tangan sepenuhnya, namun cukup dengan mengatur
saja. Kondisi yang harus “diciptakan” oleh pemerintah adalah mendorong
tumbuhnya kelembagaan lokal yang benar-benar berasal dari (prakarsa) komuniti,
dibangun dan dikembangkan oleh komuniti, dan dirancang untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan komuniti itu sendiri. Kelembagaan lokal ini, dengan
demikian, harus mampu dan sanggup “menjembatani” kepentingan pelayanan
oleh Negara kepada Rakyat dan (sekaligus) kepentingan menyuarakan lokalitas.
Kedua, untuk mendukung proses pergeseran beban dan tanggung jawab dalam
penanggulangan kemiskinan dari Negara ke Komuniti seperti dimaksud di atas
disyaratkan adanya kelembagaan lokal yang memiliki kapasitas dan kapabilitas
sesuai dengan dinamika dan tuntutan kebutuhan. Untuk itu, dalam perspektif
pemberdayaan komuniti (community empowerment), perlu dikembangkan
kebiasaan “belajar” diantara sesama sebagai sarana untuk selalu memperbaiki dan
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas lokal.

Pemberdayaan menurut Ife (1995) dilakukan dalam kaitannya dengan strategi


keadilan sosial, dan menurutnya, kata pemberdayaan ini seringkali dipakai dalam
konteks yang tidak seharusnya. Banyak makna yang hilang, karena pemberdayaan
tidak lagi didefinisikan dalam konteks central to notions of community work, dan
banyak anggota masyarakat yang tidak lagi dapat memilih dan menentukan peran
mereka dalam proses pemberdayaan.

Korten mengingatkan bahwa kata “ketidakberdayaan” (powerlessness) dan


kemiskinan (poverty) memiliki makna yang hampir sama. Dan oleh karenanya,
perubahan sosial dalam pembangunan tetap memberi tempat pada peningkatan
kehidupan ekonomi masyarakat. Dalam bahasa yang lebih tegas, Ife (1995)
membuat definisi kerja yang sederhana dari konsep empowerment, yaitu proses
yang bertujuan untuk meningkatkan the power of the disadvantaged. Dengan
demikian, dalam konsep sentral pemberdayaan terdapat dua konsep penting yaitu,
konsep kekuasaan (power) dan konsep ketertinggalan (disadvantaged). Dalam
kenyataan selalu tidak dapat dihindarkan bahwa dalam pemberdayaan selalu
terdapat pemberian kekuasaan kepada individu atau kelompok, dan ini
memberikan kemungkinan mereka (individu atau kelompok) untuk mengambil
kekuasaan ke tangannya. Singkatnya, dalam proses pemberdayaan menurut Rees
(dalam Ife, 1995) terjadi redistribusi kekuasaan dari “the haves” kepada “the
haves nots”. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, upaya tersebut
biasanya dilakukan oleh pemerintah (bisa juga LSM) agar masyarakat desa
tersebut memiliki kemampuan (power) dalam menghadapi dan memecahkan
masalah yang mereka hadapi dalam proses pembangunan.

e. Paradigma Pembangunan Sosial (Social Development)

Merupakan respon dari paradigma ekonomi dimana merupakan dikotomi yang


saling terintegrasi dan saling klomplementer.

Konsep top-down (pembangunan ekonomi) dianggap konvesional, sedangkan


konsep bottom-up (sosial) berorientasi pada keinginan masyarakat. Jadi
paradigma pembangunan social itu perlu diterapkan, karena:

Pembangunan Sosial dimaknai sebagai;

1. Proses perubahan sosial menuju ketataran kehidupan masyarakat yang


lebih baik;
2. Upaya manusia yang sadar, terencana dan melembaga;
3. Proses sosial yang bebas nilai (value free), tapi sarat akan nilai;

3. Pengertian Pergeseran

Pergeseran makna adalah bergesernya atau berubahnya suatu makna kata menjadi
lebih luas, menyempit, membaik atau pun memburuk. Perubahan makna kata ini
terjadi bukan karena faktor kesengajaan, tetapi pergeseran ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor sebagai berikut ini :
a. Faktor Pergeseran Makna
Perubahan makna kata ini terjadi bukan karena faktor kesengajaan, tetapi
pergeseran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut ini :

1. Kondisi sosial dan budaya


2. Perkembangan teknologi
3. Adanya asosiasi
4. Adanya pengembangan istilah
5. Adanya proses penyingkatan
6. Adanya proses gramatikal

4. Pergeseran Paradigma Pembangunan

Paradigma pembangunan, selama beberapa dekade terakhir telah mengalami


perubahan mendasar. Berbagai distorsi berupa “kesalahan” di dalam menerapkan
model-model pembangunan yang ada selama ini adalah sebagai berikut:

(1) Kecenderungan melihat pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang diukur


dengan secara secara makro menuju pendekatan regional dan lokal

(2) Pilihan antara pertumbuhan dan pemerataan.

(3) Asumsi tentang peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat di dalam


proses
pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian).

(4) Kegagalan menemukan model-model pembangunan wilayah yang khas dunia


ketiga dan khas negara yang sangat berbeda pendekatannya dengan pendekatan
di negara-negara maju.
E.Penutup

Kesimpulan

Daftar Pustaka

Bakti, & Sjafei, M. S. (2020, Agustus 10). Paradigma Penerapan Prinsip


Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia. Retrieved from Syiah kuala
law Journal: http://jurnal.unsyiah.ac.id/SKLJ/article/view/17634

Anda mungkin juga menyukai