Anda di halaman 1dari 16

Accelerat ing t he world's research.

Potret Hubungan Patron Klien Antara


Pemilik Tanah dan Buruh Tani di
Dusun Ngentak, Desa Wanurejo,
Kabupaten Mage...
Muhammad Alif Alauddin

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

ECOLOGICAL VULNERABILIT Y AND FARMER HOUSEHOLDS LIVELIHOOD ST RAT EGIES IN NORT H…


Ali Yansyah Abdurrahim

KONDISI DAN PERUBAHAN AGRARIA: DESA NGANDAGAN DI JAWA T ENGAH DULU DAN SEKARANG
lut hfi lut hfi

Dinamika Sist em Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat
Dyah Mardiyaningsih
Potret Hubungan Patron Klien Antara Pemilik Tanah dan Buruh Tani di Dusun
Ngentak, Desa Wanurejo, Kabupaten Magelang
Muhammad Alif Alauddin, Miratul Umam, Mustika Ayu P, Novenda Hijrah, Nurul Hidayah
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret
Email : malifaaa@gmail.com

Abstrak
Hubungan patron klien merupakan hubungan kekerabatan antara seorang berstrata
tinggi atau biasa disebut patron, dengan seorang berstrata rendah (klien). Hubungan tersebut
berupa pemberian perlindungan atau keuntungan yang kemudian dibalas dengan loyalitas dan
juga pemberian bantuan jasa pribadi. Sedangkan pertanian merupakan sektor yang masih
mendominasi Indonesia tak terkecuali Desa Wanurejo yang ahkan memiliki julukan desa
wisata. Terdapat beberapa jenis petani dengan perannya masing-masing dan memiliki
hubungan satu dengan yang lain. Hubungan ini mengarah pada hubungan patron klien.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan memperoleh data melalui observasi di
lapangan dan wawancara. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah random
sampling, analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif model Miles dan Huberman
digunakan dalam penelitian ini. Model ini digunakan untuk menganalisis dan
mengelompokkan data hasil wawancara secara bertahap hingga mencapai suatu kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan patron klien diantara petani pemilik lahan,
petani penggarap dan juga buruh tani (buruh tani). Hubungan tersebut dilihat dari sistem kerja
dan perekrutan yang digunakan berdasarkan kekerabatan, adanya loyalitas diantara keduanya,
dan juga adanya hubungan ketergantungan antara petani pemilik lahan, petani penggarap, dan
juga buruh tani.
Kata Kunci : Buruh Tani, Hubungan Patron klien, Petani Pemilik Lahan, Petani Penggarap

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman yang sangat tinggi. Memiliki
ribuan pulau, yang dihuni oleh bernagai macam ras, etnis, suku, dan adat istiadat yang berbeda.
Masing-masing daerah memiliki keunggulan masing-masing tak terkecuali potensi alamnya.
Hal itu tentunya menguntungkan dalam bidang kepariwisataan. Karena terdapa banyak potensi
alam yang dimiliki tersebut dapat menjadi destinasi wisata yang akan menarik banyak
wisatawan okal maupun mancanega.
Salah satu daerah yang terkenal dalam industri pariwisata yaitu di Kabupaten
Magelang, tepatnya di Kecamatan Borobudur. Terdapat banyak desa yang menyajikan
berbagai macam destinasi yang sangat menarik. Tak terkecuali Desa Wanurejo. Desa Wanurejo
ini terletak diantara 110o01’51’’ BT- 110o12’48’’ BT dan 7o19’13’’ LS- 7o35’99’’ LS.

1
Gambar 1. Peta Desa Wanurejo

Desa Wanurejo berbatasan langsung dengan Desa Borobudur di sebelah utara, di


Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Candirejo, Sebelah Timur berbatasan dengan Kec.
Mungkid, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tuksongo. Wilayahnya yang terletak
sekita 600 meter dari Candi Borobudur, dan juga memiliki keberagaman kebudayaan serta seni
membuat desa ini menjadi desa wisata yang banyak diminati oleh wisatawan.
Adanya julukan desa wisata tidak serta merta menggeserkan pertanian yang mejadi
salah satu ciri sebuah desa. Masih terbentang luas lahan pertanian khususnya pertanian padi di

Tabel 1. Data Jumlah Luas Tanam dan Luas Panen Setiap Bulan/ 2017 Desa Wanurejo)

2
Desa tersebut. Menurut data BPS tahun 2017, sekitar 2.500,5 ha dari 2,75 km2
keseluruhan luas wilayah yang ada di Desa Wanurejo, didominasi oleh lahan pertanian. Dari
data jumlah tanam dan jumlah panen pada tabel tersebut menunjukkan bahwa pertanian padi
memiliki ruang yang cukup luas di Desa Wanurejo.

Luasnya lahan pertanian di Desa Wanurejo tentunya didukung dengan masyarakatnya


yang masih banyak yang berprofesi sebagai petani. (Anggi Rizki,2014). Terdapat berbagai
jenis petani yang ada di Desa Wanurejo. Diantaranya adalah petani pemilik lahan, petani
penggarap, dan juga petani buruh. yang masing-masing memiliki peran yang berbeda-beda.
Pemilik lahan adalah seseorang yang berkuasa penuh atas lahan pertanian yang dimiliki.
Petani penggarap merupakan orang yang berhak mengelola lahan pertanian, namun tidak
memiliki kuasa atas kepemilikan lahan tersebut. sedangkan petani buruh, adalah orang yang
bekerja dan menyediakan tenaga yang dimilikinya kepada pemilik lahan ataupun petani
penggarap. Peran yang berbeda diantara berbagai jenis petani memungkinkan terjadinya
hubungan antara jenis petani satu dengan yang lain.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pertukaran Sosial
Penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George
Homans yang mana menjalankan hubungan kerja tidak bisa lepas dari pertukaran sosial. Teori
ini berasumsi dari “saya memberi supaya engkau memberi” artinya adalah bahwa semua
kontak di antara manusia berawal dari skema memberi dan mendapatkannya kembali dalam
jumlah yang sama. Hubungan terjadi adalah saling memberi, adanya hubungan timbal balik
antara satu dengan yang lainnya. Dalam teori ini berasumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan
transaksi ekonomi. Pertukaran sosial tidak hanya dapat diukur dengan uang saja dikarenakan
adanya hal-hal yang dipertukarkan ialah merupakan hal yang nyata atau tidak. Di dalam teori
ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu didasarkan atas pertimbangan untung dan rugi.
Manusia dalam berinteraksi mempertimbangkan adanya cost pengorbanan dan reward sebagai
penghargaan yang diperoleh.
Dalam teori pertukaran ini terdapat pola hubungan patron-klient. Menurut Scott,
hubungan patron klien adalah suatu hubungan di antara dua orang yang melibatkan hubungan
kekerabatan atau persahabatan di mana orang yang berstrata lebih tinggi mempengaruhi
sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau keduanya
kepada orang yang lebih rendah stratanya (klien) yang kemudian orang yang berstrata lebih
rendah ini memberi balasan dengan memberi dukungan dan bantuan berupa jasa-jasa pribadi
kepada si patron. Jadi, dalam hubungan kerja patron klient ini mengutamakan hubungan sosial,
pertemanan atau kekerabatan, bukan menggunakan kontrak atau perjanjian kerja. Hubungan
kekerabatan ini tidak harus hubungan satu darah, satu keturunan, tetapi juga hubungan yang
saling akrab seperti tetangga tetapi sudah dianggap seperti saudara sendiri.

3
Konsep Patron-Klien
Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat
dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental
dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron)
menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta
keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah
(klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan
termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pertukaran yang tersebar, seperti jasa dan
barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan
sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak (Scott, 1993 : 7-8 ). Hubungan patron-
klien juga merupakan hubungan timbal-balik antara dua orang yang dijalin secara khusus
(pribadi) atas dasar saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima (bersifat dyadic
bersifat rangkap). Ikatan ini merupakan salah satu strategi nafkah yang diterapkan melalui
pemanfaatan modal sosial untuk bertahan hidup atau memperbaiki standar hidupnya. Dalam
hubungan timbal balik tersebut, tercermin dalam hubungan kerja antar relasi keduanya, serta
hubungan sosial yang dilakukan antara keduanya di luar hubungan kerja.
Hubungan Patron-Klien
Hubungan antara dua variabel yakni patron dan klien dimana keduanya saling mengikat
dan saling mempengaruhi. Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa dalam suatu interaksi
sosial masing-masing aktor melakukan hubungan timbal-balik. Hubungan ini dilakukan secara
vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal (masing-masing
aktor kedudukannya sama). Istilah “patron” berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis
berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh,
sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman,
2004:132).
Patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung pada zaman
Romawi kuno. Seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat
lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para klien
secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki
hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka. Ikatan antara patron dan klien mereka
bangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun
(Pelras, 2009: 21).
Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat
dinyatakan sebagai kasus khusus dari sebuah ikatan yang melibatkan persahabatan
instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi
(patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta
keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah
(klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan
termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan

4
barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan
sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Adapun pertukaran dari klien ke patron, adalah jasa atau tenaga yang berupa keahlian
teknisnya bagi kepentingan patron. Adapun jasa-jasa tersebut berupa jasa buruh tanian
dasar/pertanian, jasa tambahan bagi rumah tangga, jasa domestik pribadi, pemberian makanan
secara periodik. Bagi klien, unsur kunci yang mempengaruhi tingkat ketergantungan dan
loyalitasnya kepada patron adalah perbandingan antara jasa yang diberikannya kepada patron
dan dan hasil/jasa yang diterimannya. Makin besar nilai yang diterimanya dari patron
dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat
ikatan patron-klien itu menjadi sah dan legal.
Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan antara patron dan klien menjadi suatu norma
yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan bertahan jika
patron terus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha
tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam pola interaksi
tersebut karena kaum elit/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem
tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini berlaku karena pada dasarnya
hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa
perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun
aktor tersebut dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar kedua
posisi.
Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan
jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran
yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan
jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan
hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang terjadi kemudian
legitimasi bukanlah berfungsi linear dari neraca pertukaran itu. Oleh sebab itu tidak
mengherankan jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-
janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya. Terkait dengan
permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna
untuk mengindentifikasi pola hubungan yang terjadi antara petani di daerah wisata Borobudur,
apakah pola patron klien yang disebutkan Scott memang berlaku pada petani Wanurejo atau
sudah mengalami pergeseran.
Konsep Petani
Menurut Rodjak (2006), petani sebagai unsur usaha tani memegang peranan yang penting
dalam pemeliharaan tanaman atau ternak agar dapat tumbuh dengan baik, ia berperan sebagai
pengelola usaha tani. Petani sebagai pengelola usaha tani berarti ia harus mengambil berbagai
keputusan di dalam memanfaatkan lahan yang dimiliki atau disewa dari petani lainnya untuk
kesejahteraan hidup keluarganya. Petani yang dimaksud dalam hal ini adalah orang yang
bercocok tanam hasil bumi atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh

5
kehidupan dari kegiatan itu. Apabila ada orang yang mengaku petani yang menyimpang dari
pengertian tersebut, dapat dikatakan bukan petani. Dilihat dari hubungannya dengan lahan yang
diusahakan maka petani dapat dibedakan atas:
1) Petani pemilik penggarap ialah petani yang memiliki lahan usaha sendiri serta lahannya
tersebut diusahakan atau digarap sendiri dan status lahannya disebut lahan milik.
2) Petani penyewa ialah petani yang menggarap tanah orang lain atau petani lain dengan
status sewa. Alasan pemilik lahan menyewakan lahan miliknya karena membutuhkan uang
tunai dalam jumlah yang cukup besar dalam waktu singkat, atau lahan yang dimilikinya itu
terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Besarnya nilai sewa lahan biasanya ada hubungan dengan
tingkat produktivitas lahan usaha yang bersangkutan, makin tinggi produktivitas lahan tersebut
makin tinggi pula nilai sewanya. Namun, dalam prakteknya nilai sewa lahan usaha tani sawah
berkisar antara 50 –60% dari produktivitasnya, misalnya apabila per hektar hasilnya sebesar 1
– 1,2 ton gabah kering per tahun, maka nilai sewanya harus senilai gabah tersebut pada waktu
terjadi transaksi. Lamanya waktu sewa biasanya minimal satu tahun untuk selanjutnya dapat
diperpanjang kembali sesuai dengan perjanjian antara pemilik tanah dan penyewa.
3) Petani penyakap (penggarap) ialah petani yang menggarap tanah milik petani lain
dengan sistem bagi hasil. Produksi yang diberikan penyakap kepada pemilik tanah ada yang
setengahnya atau sepertiga dari hasil padi yang diperoleh dari hasil lahan digarapnya. Biaya
produksi usaha tani dalam sistem sakap ada yang dibagi dua dan ada pula yang seluruhnya
ditanggung penyakap, kecuali pajak tanah dibayar oleh pemilik tanah.
4) Petani penggadai adalah petani yang menggarap lahan usaha tani orang lain dengan
sistem gadai. Adanya petani yang menggadaikan lahan miliknya, karena petani pemilik lahan
tersebut membutuhkan uang tunai yang cukup besar dalam waktu mendesak, tanah miliknya
tersebut tidak mau pindah ke tangan orang lain secara mutlak. Namun, adanya hak gadai
tersebut secara berangsur-angsur pindah haknya menjadi milik penggadai. Hal ini terjadi
apabila uang gadai yang pertama tidak dapat dikembalikan pada waktu yang telah ditetapkan
atau uang gadainya terlalu besar, sehingga tidak mungkin lagi untuk dikembalikan. Dalam
keadaan demikian biasanya penggadai menambah uang gadainya sesuai dengan nilai atau harga
tanah pada saat masa gadainya berakhir. Menurut Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH,
1960) dalam suatu pasalnya tercantum bahwa apabila masa gadai telah melewati tujuh tahun,
secara otomatis penggadai harus menyerahkan kembali tanah yang digadai kepada pemiliknya
tanpa meminta uang gadaiannya. Besarnya uang gadai per tahun untuk luas lahan tertentu tidak
ada ketentuan yang pasti, tetapi bergantung kepada si pemilik tanah berapa besar yang
diperlukannya. Lamanya masa gadai tergantung pada kesanggupan yang menggadaikan lahan
biasanya yang menentukan masa gadai itu adalah penggadai sendiri.
5) Buruh tani ialah petani pemilik lahan atau tidak memiliki lahan usaha tani sendiri yang
biasa bekerja di lahan usaha tani petani pemilik atau penyewa dengan mendapat upah, berupa
uang atau barang hasil usaha tani, seperti beras atau makanan lainnya. Hubungan kerja di dalam
usaha tani tidak diatur oleh suatu perundang-undangan perburuhan sehingga sifat hubungannya
bebas sehingga kontinyuitas kerja bagi buruh tani yang bersangkutan tidak terjamin.

6
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Dusun Ngentak, Desa Wonurejo, Kecamatan Borobudur,
Kebupaten Magelang dengan alasan di dusun tersebut masih memiliki area pertanian yang
cukup luas dan masih banyak petani yang dapat ditemui di dusun tersebut. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dan untuk memperoleh data dilakukan melalui observasi di
lapangan dan wawancara. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah random sampling, yaitu pengambilan sampel secara acak dimana setiap populasi
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Sampel yang digunakan oleh peneliti
untuk mendapatkan data di lapangan yaitu 8 orang informan yang terdiri atas petani yang
merupakan pemilik lahan, penggarap dan juga buruh. Analisis data kualitatif model Miles dan
Huberman digunakan dalam penelitian ini. Model ini digunakan untuk menganalisis dan
mengelompokkan data hasil wawancara secara bertahap hingga mencapai suatu kesimpulan.
Menurut Miles dan Huberman (1992), dalam model ini terdapat 3 komponen atau tahapan
analisis data, yaitu reduksi data (Data Reduction), penyajian data (Data Display), dan yang
terakhir penarikan kesimpulan (Conclution Drawing).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Informan
a. Pemilik Sawah/ Patron
1. Ibu Endang
Ibu Endah merupakan pemilik sawah sekaligus juga ikut menggarap sawah
nya sendiri. Beliau sudah bertahun-tahun bekerja menjadi petani dan ketika
bukan musim tandur beliau berjualan di taman candi. Beliau ikut bekerja di
sawah karena beliau memang suka mengerjakannya dan untuk mengisi waktu
luang dari pada menganggur. Beliau juga memburuh tanikan tetangga dan
saudaranya untuk menggarap sawah yang dimilikinya.
2. Pak Hari
Pak Hari merupakan pemilik sawah namun, karena sawah milik beliau
letaknya jauh dari rumah kemudian beliau menggarap sawah milik tetangganya.
Beliau mulai nggarap sawah pukul 13.00 atau pukul 15.00 karena buruh tanian
utama beliau adalah di candi jadi bekerja menggarap sawah hanya buruh tanian
sampingan beliau. Beliau memiliki 4 orang anak, 3 diantaranya sudah
berkeluarga dan memiliki buruh tanian masing-masing, sedangkan yang
satunya lagi masih berkuliah di UMM Magelang, dan nak-anak beliau itu tidak
ada yang mau untuk meneruskan menjadi petani.
3. Pak Bandi
Pak Bandi merupakan pemilik sawah tempat ibu Tuminah tadi bekerja.
Rumah beliau terletak di Tuksongo. Beliau sering kali ke sawah untuk melihat
dan memantau buruh taninya.

7
b. Buruh tani/ Penggarap/ Penggarap/ Klien
1. Ibu Roijati
Ibu Roijati merupakan buruh tani di sawah milik ibu Endang. Beliau
bekerja di sawah mulai dari pagi hari sampai siang pukul 12.00, jika sedang
tidak ada kerjaan di sawah atau sudah waktunya mau panen beliau berjualan di
taman candi. Beliau berusia 65 tahun dan sudah lama bekerja di sawah milik
ibu Endang yang juga merupakan saudaranya sendiri sama seperti buruh tani
yang lainnya yang masih satu saudara.
2. Ibu Amini
Ibu Amini juga merupakan buruh tani di sawah milik ibu Endang. Beliau
sudah lama bekerja dengan ibu Endang dan juga masih merupakan saudaranya.
3. Ibu Tuminah
Ibu Tuminah merupakan buruh yang berkerja di sawah milik pak Bandi.
Beliau bekerja dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 17.00 sore dan sudah lama
bekerja menjadi buruh tani. Rumah beliau terletak di kelurahan Karangrejo dan
ketika beliau akan ke sawah dijemput oleh pemilik sawah atau berangkat sendiri
karena sawah tempatnya bekerja ini terletak di Borobudur. Awal mula beliau
bekerja disini yaitu ditawari oleh saudara dari pemilik sawah tersebut dan beliau
bekerja hanya pada saat musim tandur dan potong padi saja. Pendidikan terakhir
beliau hanya sampai pada kelas 3 SD.

Alur Pertukaran Ekonomi Usaha Tani


Penduduk Dusun Ngentak sebagian besar berprofesi sebagai petani yang tersebar di
berbagai wilayah. Dalam menjalankan usaha tani, banyak pihak yang terlibat dan memiliki
peran masing-masing seperti membajak, menandur, menggarap, merawat, dan memanen. Hasil
tani dijual kepada tengkulak/pengepul setiap 6 bulan sekali. Jadi dapat disimpulkan bahwa
dalam satu tahun petani dapat memanen sebanyak 2 kali. Pada umumnya pemilik lahan
memiliki beberapa orang yang dipercayai untuk menggarap sawah yang dimilikinya. Pemilik
lahan sering kali tidak ikut andil dalam proses penanaman bibit, panen, dan pasca panen. Akan
tetapi, di Dusun Ngentak, berdasarkan data yang kami temukan menunjukan bahwa pemilik
lahan turut andil dalam setiap kegiatan pertanian. Bahkan, penulis berhasil mewawancarai
pemilik lahan yang sedang menanam bibit bersama dengan beberapa buruh taninya. Pembagian
hasil panen dari sawah yang ditanam tergantung dari kesepakatan yang sudah dibuat pertama
kali sebelum mulai bekerja. Beberapa sangat tergantung dengan pemilik lahan dengan
diberikan upah perhari atau pembagian hasil 1:3 dengan rincian 1 bagian untuk buruh tani dan
2 bagian untuk pemilik lahan.
Pertanian di Dusun Ngentak mayoritas masih masih dijalankan secara tradisional.
Pertanian masih kurang responsif terhadap teknologi karena adanya keterbatasan permodalan.
Walaupun saat ini sudah mulai menggunakan peralatan berat untuk mengelola lahan pertanian
seperti mesin pembajak sawah yang menggantikan kerbau. Keterbatasan pemodalan inlah yang
menjadikan banyak buruh tani (klien) sangat tergantung kepada pemilik lahan (patron). Bentuk
interaksi ekonomi patron-klien ini dinilai memiliki keuntungan baik di sisi patron maupun
8
klien. Pemilik lahan merasa terbantung dengan adanya buruh tani yang sebagian besar adalah
keluarganya sendiri dan tetangga terdekat. Pemilik lahan tidak mampu mengelola lahan yang
dimiliki yang begitu luasnya seorang diri. Sedangkan mereka yang memerlukan buruh tanian
sangat terbantu oleh tawaran tersebut. Hubungan mereka masih terikat dengan ikatan keluarga
yang bersifat primer. Secara umum gambaran aliran pertukaran ekonomi pertanian antara
pemilik lahan dan buruh tani dapat dilihat dengan ilustrasi di bawah ini

Pemilik Lahan
Konsumen

Hasil Pertanian Buruh tani

Arus Hasil Pertanian


Arus Uang

Ilustrasi 1. Diagram Aliran Pertukaran Ekonomi pada Pertanian di Dusun Ngentak


Penjualan hasil panen pertanian kemudian dijual kepada tengkulak. Adapun rincian
untuk alokasi upah kepada buruh tani biasanya perborongan. Banyak petak sawah yang
dikerjakan sampai selesai oleh beberapa buruh tani. Pembayaran hasil pertanian tersebut
dilakukan secara tunai oleh pemilik lahan kepada buruh tani langsung. Adapun hasilnya dibagi
dengan dua cara yaitu 1) Dibayarkan perhari 2) dan perpetak. Perorangan mendapatkan upah
sebanyak Rp. 50.000/hari sedangkan perpetak hasil tani dibagi dengan pemilik tanah
menggunakan ukuran tenggok sebagaimana hasil wawancara berikut:
"… Pembayarane 50 ribu mbak. Arep dianu orang satu segitu, orang banyak
ya segitu".
"… Ya dibagi nanti kan ditata seumpamanya pake tenggok nanti dapet berapa
tenggok, seumpamanya dapet 15 tenggok nanti yang kaya gini 2 tenggok gitu. Nanti setelah
panen juga dikasih sabun…"
(Wawancara dengan Ibu Roijati)
Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, usaha buruh tani masih
dihargai oleh pemilik lahan meskipun memiliki ikatan keluarga. Hal ini menunjukan bahwa
tindakan ekonomi tetap dibayar secara professional terlepas dari ikatan apapun. Sebagai
pemilik tanah sepatutnya memang berlaku demikian.
Hubungan Patron-Klien
a. Perekrutan Buruh Tani Berdasarkan Keluarga
Dalam penelitian yang penulis laksanakan, kami menemukan 3 orang yang berlaku
sebagai patron dan 3 orang sebagai klien. Proses perekrutan sebagai buruh tani dilakukan

9
berdasarkan ikatan keluarga dan kekerabatan tetangga sebagaimana sudah dijelaskan di datas.
Lingkup keluarga yang menjadi tolak ukur adalah adanya hubungan darah baik dari ibu
maupun bapak. Hal tersebut bersifat general dan dapat dilakukan oleh banyak pemilik lahan di
Dusun Ngentak. Proses perekrutan yang dilakukan dengan hubungan keluarga biasanya terjalin
dengan ketidakpaksaan atau sukarela. Mengapa demikian? Sebagai keluarga, mereka
beranggapan memiliki tanggungjawab untuk membantu bersama termasuk dalam aktivitas
pertanian. Usaha mereka untuk membantu saudaranya sendiri akan diberikan upah langsung
meskipun mereka memiliki keakraban yang secara etis tidak perlu dibayar. Hal ini seperti yang
dijelaskan oleh informan:
"… niki mbantu-bantune pas tandur pas matun, pokoke kita kan keluarga ngono
kui loh mbak. Mesak ke keluarga e dewek raenek sing bantu ning sawah. Sopo meneh
sing meh bantu? Yo mosok wong liyo…"
(Wawancara dengan Ibu Endang)
Berdasarkan wawancara di atas dapat dipahami bahwa solidaritas internal keluarga
mereka sangat kuat. Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi Ibu Endang untuk membantu
saudaranya menggarap sawah. Akan tetapi hal itu dilakukan dengan dalih membantu
keluarganya sendiri.
b. Perekrutan Buruh Tani Berdasarkan Kekerabatan
Dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa buruh tani yang berperan sebagai
klien merupakan kerabat dekat yaitu tetangga. Mereka memercayai tetangga karena sudah
dianggap sebagai orang kepercayaan terdekat. Hubungan tetangga di tempat tinggal mereka
sudah terjalin cukup lama sejak mereka menempatinya. Rasa percaya itu timbul akibat sering
berinteraksi satu sama lain. Pemilik lahan kebanyakan tidak mempunyai lahan sendiri di dekat
tempat tinggalnya, akan tetapi berada di dusun sebelahnya. Proses menjadi buruh tani seperti
yang diungkapkan oleh informan
"… Kenal, kami tetangga. Tetangga kan mereka anaknya pergi mungkin kerja
di kota-kota besar kan nggak pulang, jadi ga ada yang garap sawahnya kan?Bisa untuk
orang tua, kan orang tua di rumah atau kadang nggak ada kan nggak ada yang
nggarap kan, jadi yang garap tetangga yang mau”
(Wawancara dengan Pak Hari)
Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, mereka memiliki
keluarga yang juga harus dinafkahi. Maka hubungan yang dibangun antara buruh tani dengan
pemilik lahan memiliki ketergantungan. Dalam segi apa? Pemilik lahan membutuhkan buruh
tani untuk mengelila lahan yang ia punya sedangkan buruh tani membutuhkan uang untuk anak
istrinya. Terkadang mereka turut bekerja dengan alasan membantu menggarap karna tidak ada
yang mengerjakan. Proses simpati tersebut terbangun karena mereka sudah bertetangga sangat
lama.

10
Gambar 1.1 Potret Patron (Baju Oranye) dengan Klien (Lainnya)
Lain hal, apabila buruh tani yang biasa menggarap sedang berhalangan hadir, maka dapat
digantikan dengan orang lain asalkan buruh tani itu memilih lebih dahulu seperti yang
diungkapkan oleh informan:
"… Iya. Kadang kalo nggak ada waktu ya saya suruh orang lain untuk nggarap.
Tinggal saya ngasih uang bayar upah gitu kalo sana nggak bisa ditinggal.”
(Wawancara dengan Pak Hari)
Dapat dilihat dari hasil wawancara di atas bahwa tidak ada signifikansi untuk
berkewajiban penuh waktu dalam mengelola lahan pertanian. Hal ini menunjukan perbedaan
jam kerja antara petani dengan karyawan di perkotaan. Selain itu, mereka juga dapat bergantian
dengan orang lain asalkan diberitahukan terlebih dahulu. Pross seperti ini menunjukan
kerjasama yang terbuka antara pemilik lahan, buruh tani tetap, dan buruh tani tambahan. Potret
ini mampu memicu semangat berkerja bagi mereka yang baru pertama kali mencoba di lahan
pertanian.
c. Ketidakseimbangan Status antara Patron dan Klien dalam Pertukaran
(Inequality of Exchange)

Ketidakseimbangan tersebut adalah antara pemilik tanah sebagai patron dan buruh tani
sebagai klien. Hal ini dikarenakan upah yang dibayarkan oleh pemilik lahan masih dibilang
kecil oleh sebagian buruh tani. Buruh tani berpendapat bahwa uang yang dijadikan upah belum
cukup untuk membiayai hidupnya. Akan tetapi mereka tidak mengungkapkannya secara
langsung karena terikat oleh rasa kenyamanan atas buruh tanian. Terlihat bahwa disini terjadi
sebuah bentuk eksploitasi dalam bentuk penekanan terhadap gaji, monosponi,-memaksakan
pertanian (klien) untuk mengikuti jumlah gaju versi pemilik tanah (patron).

d. Peran Ganda Buruh tani

Buruh tani yang sehari-hari menggarap sawah ternyata tidak hanya berprofesi satu saja.
Sebagian besar informan yang penulis temukan memiliki buruh tanian sampingan yang tak
kalah prestigious dengan profesi petani. Menurut informasi yang kami dapatkan, justru mereka

11
memiliki lahan sendiri dan memiliki buruh tani juga. Hal ini seperti yang diungkapkan dengan
hasil wawancara kami
"… Saya nggak punya sawah di sini. Saya punyanya jauh di sana. Sawahku
digarap tiyang ngoten. Rumahnya saya deket kampung situ, deket. Makanya saya
ambil yang sini. Biar yang jauh dikerjakan orang sana. Karena jauh saya garap sawah
tetangga saja…"
(Wawancara dengan Pak Hari)
Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua patron adalah buruh
tani pada umumnya. Selama ini dalam teori dan pembahasan penelitian manapun selalu
menjadikan patron sebagai subordinat dalam sistem pertanian. Nyatanya yang kami temukan
di lapangan sangat berbeda. Mereka sebenarnya memiliki lahan sawah yang tidak kalah luas
dengan yang sedang mereka garap. Jarak antara rumah dan sawah yang mereka miliki lah yang
menjadi masalah sehingga mereka memilih untuk menggarap sawah milik tetangga atau
keluarganya.

Gambar 1.3 Wawancara dengan Pak Haris


Selain itu, tak pelak patron juga memanfaatkan lokasi Dusun yang dekat dengan objek
wisata Candi Borobudur. Profil desa yang memang menjadikan branding sebagai 'desa wisata'
juga dimanfaatkan oleh buruh tani (klein). Ada yang berprofesi sebagai penjual bunga di sekitar
candi, mencarikan villa penginapan untuk pelancong, bahkan menjadi pemandu wisata. Hal
tersebut jarang ditemukan di desa pada umumnya. Khas Dusun Cluntang yang hanya berjarak
300 meter dari Candi Borobudur memiliki dampak yang sangat positif. Hal tersebut seperti
yang dijelaskan oleh informan bahwa:
"… Saya biasanya jadi tour guide di Candi kalau sudah selesai nyawah. Pripun
mas? Oalaah ndak no, saya lebih mentingin sana karna terjadwal masuknya. Kalau
sawahkan bisa ditinggal beberapa hari..."
(Wawancara dengan Pak Bandi)
Berdasarkan hasil wawancara di atas terdapat fakta yang unik dimana klien lebih
mementingkan profesi sampingannya sebagai pemandu wisata di Candi Borobudir
dibandingkan bekerja di sawah. Menurutnya, ketepatan waktu menjadi kunci agar tetap bekerja
sebagai pemandu wisata untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Sedangkan bekerja di
12
sawah tidak memiliki peraturan atau regulasi yang ketat sehingga mereka dapat menyusun
skala prioritas dalam mencari rezeki. Fenomena tersebut jarang ditemukan dan hanya terdapat
di desa yang sudah berkembang menjadi desa wisata di Indonesia.
e. Pasca Panen

Hubungan antara pemilik lahan dan penggarap serta hubungan antara penggarap
dengan buruh tani (petani buruh) dalam penelitian ini, menujukkan bahwa terjadi bukan hanya
di sektor pertanian saja. Pada sektor pertanian, patron dan klient akan setia bertukar peran
setiap masanya. Artinya patron cenderung meminta buruh tani yang sama unuk mengerjakan
buruh tanian sawahnya. Loyalitas juga tergambar di dalam diri klient. Dimana klien akan selalu
bekerja dengan patron pada masa di mana pertanian membutuhkan, dan menolak tawaran lain.
Seperti terlihat dalam kutipan wawancara kami ;
“... ya kalo tandur apa matun kalo ini ada ya ini dulu, kalo misal berhalangan
ya baru nyari ganti yang bisa kerja...”

(wawancara dengan Ibu Endang)

“... kalo saya ya nunggu mbak endang dulu, nanti misal ada yang ngasih
garapan yang lebih besar biasanya tidak janjikan dulu. Baru kalo mbak endang
sawahnya ga digarap saya terima...”

(wawancara dengan bu Aminah)

Dari wawancara tersebut terlihat kesetiaan yang dilakukan bukan hanya klient dengan
patron, tetapi juga antara keduanya. Di luar sektor pertanian patron tidak ragu untuk
memberikan bantuan dalam bentuk apapun ketika klien membutuhkannya. Rasa simpati dan
empati yang muncul diakibatkan rasa saling percaya yang telah tebangun sejak lama. Hal ini
dijelaskan informan dalam kutipan wawancara berikut :
“...ya kalo udah selesai masa tanam sampe panen, kan nanti pasti digarap lagi
lahannya. Tapi dikasih jeda tanaman yang beda. Kalo nanem palawija kan mboten
serumit padi, jadi kerjanya sedikit. Kalo pas tidak di sawah ya misal ada perlu mau
pinjem mobil but nyumbang, apa butuh uang untuk anak sekolah, ya kalau saya punya
pasti tak kasih...”

(Wawancara dengan Ibu Endang)

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkn bahwa hubungan antara keduanya tidak hanya
terjadi dalam sektor pertanian, namun juga di luar pertanian. Yang sebetulnya sudah lepas dari
hubungan kerja

13
PENUTUP
Kesimpulan
Teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George Homans menjelaskan bahwa
semua kontak di antara manusia berawal dari skema memberi dan mendapatkannya kembali
dalam jumlah yang sama. Hubungan terjadi adalah saling memberi, adanya hubungan timbal
balik antara satu dengan yang lainnya. Pertukaran sosial tidak hanya dapat diukur dengan uang
saja dikarenakan adanya hal-hal yang dipertukarkan ialah merupakan hal yang nyata atau tidak.
Terdapat pola hubungan patron-klient dalam teori pertukaran sosial . Menurut Scott,
hubungan patron klien merupakan hubungan kekerabatan atau persahabatan di mana orang
yang berstrata lebih tinggi (patron) mempengaruhi sumber daya yang dimiliki untuk
memberikan perlindungan atau keuntungan atau keduanya kepada orang yang lebih rendah
stratanya (klien) yang kemudian orang yang berstrata lebih rendah ini memberi balasan dengan
memberi dukungan dan bantuan berupa jasa-jasa pribadi kepada si patron.Hubungan ini
didasarkan atas kekerabatan dan juga persahabatan. Bukan didasarkan atas hubungan kontrak
kerja.
Penerapan teori ini di dalam penelitian yang berjudul Potret Hubungan Patron Klien
Antara Pemilik Tanah dan Buruh tani di Dusun Ngentak, Desa Wanurejo, Kabupaten Magelang
menunjukkan bahwa hubungan tersebut dikatakan sebagai hubungan patron klien. Hal ini
ditunjukkan oleh ciri-ciri hubungan patron klien yang terdapat di dalamnya. Ciri tersebut
meliputi : perekrutan buruh tani berdasarkan kekerabatan, terdapat hubungan yang setia
diantara keduanya yang terlihat dari klien yang cenderung tidak menerima buruh tanian dari
orang lain selain patronnya, hubungan tidak hanya terjadi di dalam sektor pertanian, tetapi juga
di luar sektor pertanian yang terlihat ketika patron bersedia memberikan bantuan apapun
kepada klien dan sebaliknya, serta adanya hubungan saling ketergantungan diantara keduanya.

14
Daftar Pustaka

Devries, Egbert. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Obor dan Gramedia. Jakarta.

Ittaqillah., Sukidin., Sri Kantun. 2014. Relasi Patron Klien Juragan Bawang Merah dan Buruh
Wanita di Pasar Bawang Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa, 2014

Pamungkas, Tri Haryanto Jalu. 2013. “Hubungan Patron-Klien dalam Industri Makanan di
Desa Kedunggudel, Kalurahan Kenep, Kecammatan Sukoharjo, Kabupaten
Sukoharjo”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

Pelras,Christian. 2009. Hubungan Patron-Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar dalam
Tol,Roger; van Dijk,Kees; Acciaioli,Greg. Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi
Selatan. Makassar: Ininnawa

Rodjak, Abdul. 2006. Manajemen Usahatani. Bandung: Pustaka Giratuna.

Scott, James C. 1972. ‘Patron Client, Politics and Political Change in South East Asia’ dalam
Friends, Followers and Factions: A Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schmidt,
James C. Scott dkk. (eds.), Berkeley: University of California Press.

Scott, James C. 1977. ‘Patron Client, Politics and Political Change in South East Asia’ dalam
Friends, Followers and Factions a Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schimidt,
James C. Scott (eds.), Berkeley: University of California Press.

Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3S. Cetakan Kedua.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor. Edisi Pertama.

Scott, James C., 1994. The Moral Economy of the Peasant : rebellion and subsistence in
Southeast Asia, diterjemahkan Hasan Basari, Jakarta : LP3ES.

Sinaga, Herman., Septri Widiono., Irnad. 2015. Pola Hubungan Patron-Klien Pada Komunitas
Nelayan di Kelurahan Malabro Kecamatan Teluk Segara Kota Bengkulu. Jurnal
Agrisep, Vol 15 No. 2, September 2015. Hal: 167-176.

Usman Sunyoto. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta, Pustaka


Pelajar

15

Anda mungkin juga menyukai