Anda di halaman 1dari 16

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI MODAL SOSIAL:

KAJIAN KHUSUS TENTANG SASI SEBAGAI PRANATA EKONOMI

Oleh : Subair
Pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat atau komunal muncul ketika terdapat
kesepakatan pemanfataan bersama di antara anggotanya. Kesepakatan ini bisa terjadi
karena terdapat interaksi secara reguler dan berkesinambungan antara anggota masyarakat
dalam pemanfaatan sumber daya. Salah satu hal yang terpenting adalah bahwa aksi
bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu
komunitas. Sasi adalah pengaturan pemanenan hasil sumber daya alam baik di darat
maupun di laut secara tradisional oleh masyarakat di Maluku. Sehingga pada konteks ini,
sasi bisa juga dikategorikan sebagai pranata ekonomi komunitas. Hubungan antara sasi,
lembaga adat yang mengelola sumber daya, dengan manfaat-manfaat positif berupa
kerjasama dan keselarasan sosial yang lebih tinggi yang dirasakan oleh nelayan-nelayan
lokal. Desa-desa dengan sasi yang kuat dipandang memiliki interaksi yang lebih tinggi
seputar isu-isu masyarakat, adat tindakan kolektif yang lebih kuat dan lebih sedikit konflik.
Dengan kesadaran penuh, masyarakat Maluku memang telah melakukan upaya-upaya
pelestarian sumberdaya alamnya secara berkelanjutan, agar terus dinikmati oleh anak cucu
mereka. Namun akankah nasib adat sasi ini akan dapat dipertahankan?

Kata Kunci : Modal sosial, Kearifan Lokal, Pranata Sosial, Sasi

PENDAHULUAN

Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia di pedesaan masih
memiliki pranata adat dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi lokal. Membicarakan
sistem ekonomi lokal pada masyarakat adat sama dengan membicarakan kehidupan mereka
secara menyeluruh. Sistem ekonomi lokal ini, yang umumnya mengandalkan pada
sumberdaya alam, berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem
setempat baik menyangkut tata kuasa dan tata kelolanya. Satu komunitas masyarakat adat
umumnya telah mewariskan suatu sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal
yang ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun.
Pengetahuan dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya
alam, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu usaha konservasi tradisional. Namun
banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha konservasi tradisional oleh masyarakat
tersebut tidak mampu mempertahankan hasil, baik kuantitas maupun kualitas sumber daya
alam yang dikelolanya. Sasi adalah pengaturan pemanenan hasil sumber daya alam baik di
darat maupun di laut secara tradisional oleh masyarakat di Maluku. Sehingga pada konteks
ini, sasi bisa juga dikategorikan sebagai pranata ekonomi komunitas.
Untuk melihat lebih jauh keberadaan pranata ekonomi komunitas ini, makalah ini
akan mendiskusikan masalah kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan Maluku
yang sebagian sistem penyangga kehidupannya masih berlandaskan pada sistem nilai,

1
pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Sudah banyak studi yang menunjukkan
bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga, mengelola,
memperkaya dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam hayati di wilayah adatnya
masing-masing. Hasil penelitian Silaya (2004) menunjukan bahwa sasi dan dusun
berperanan dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan. Sasi meningkatkan
hasil panen baik kuantitas maupun kualitas dan mendorong terciptanya konservasi sumber
daya hayati beserta ekosistemnya. Sedangkan dusun dapat membatasi masyarakat
membuka lahan hutan untuk berladang. Pola dusun juga memberi peluang terciptanya
ekosistem hutan yang hampir sama dengan ekosistem hutan primer karena terdiri dari
berbagai strata tajuk dengan beraneka jenis tanaman di dalamnya.
Pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat atau komunal muncul ketika terdapat
kesepakatan pemanfataan bersama di antara anggotanya. Kesepakatan ini bisa terjadi
karena terdapat interaksi secara reguler dan berkesinambungan antara anggota masyarakat
dalam pemanfaatan sumber daya. Salah satu hal yang terpenting adalah bahwa aksi
bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu
komunitas.

KONSEP TENTANG MODAL SOSIAL

Modal sosial didefinisikan secara bervariasi, dan salah satu definisi yang populer
dikemukakan oleh Putnam (1993:167): social capital refers to features of social
organizations, such as trust, norms, and networks, bahwa modal sosial didefinisikan
sebagai rasa percaya, norma timbal-balik dan jaringan sosial. Atribut ini yang
memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai
tujuan bersama.
Modal Sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk
mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya
(resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan
diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal.
Dimensi modal sosial cukup luas dan kompleks. Modal Sosial berbeda dengan istilah
populer lainnya, yaitu modal manusia (human capital). Pada modal manusia segala
sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh
seorang individu. Pada modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-
pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan antarkelompok dengan ruang
perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari
anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang
dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi
jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat
perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu
bentuk hubungan sosial. Robert D. Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu
entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara

2
sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial
yang rendah.
Salah satu tokoh utama yang sangat berpengaruh dalam pemikiran modal sosial yaitu
James Coleman (1990). Atas hasil studinya tentang pemuda dan pendidikan (youth and
schooling) mendefinisikan konsep modal sosial sebagai varian entitas, terdiri dari beberapa
struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah dalam bentuk
personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Modal sosial menurutnya inheren
dalam struktur relasi antar individu. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan
berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran
informasi, dan menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Coleman
dan Bourdieu memiliki kesamaan dalam fokus kajian yaitu individual, terutama yang
berkaitan dengan peran dan hubungan dengan sesama sebagai unit analisis modal sosial.
Formulasi lain tentang konsep modal sosial dikemukakan juga oleh Adler dan Kwon
(2000) yang menyatakan bahwa modal sosial merupakan gambaran dari keterikatan
internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-
keuntungan bersama dari proses dan dinamika modal sosial yang terdapat dalam struktur
dimaksud.
Francis Fukuyama (2003) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala
sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar
kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan
dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan
pembangunan di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan
ekonomi dan demokrasi. Pada masyarakat yang secara tradisional telah terbiasa dengan
bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar
cenderung akan meraskan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif,
memberikan kontribusi penting bagi kemajuan negara dan masyarakat.
Portes & Sensenbrenner (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai ekspektasi
mereka untuk bertindak dalam kolektivitas yang mempengaruhi tujuan ekonomi dan
tujuan perilaku mencari anggotanya, bahkan jika harapan-harapan ini tidak berorientasi
pada bidang ekonomi. Definisi ini berbeda dari Coleman yang mendefinisikan modal sosial
sebagai berbagai entitas dengan dua karakteristik yang sama: "Mereka semua terdiri dari
beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memfasilitasi tindakan dalam struktur
tersebut." Jika Jika penekanan Coleman adalah pada struktur sosial yang menfasilitasi
kegiatan rasional individu, maka menurut Portes & Sensenbrenner adalah harus lebih
menentukan apa harapan kolektif mereka, apa sumber-sumber mereka, dan bagaimana
mereka mungkin akan mempengaruhi perilaku ekonomi.
Menurut Portes dan Sensenbrenner (1993) bahwa masyarakat terbentuk karena
adanya trust, networking, institusi dan norma yang membentuk sebuah komunitas dan
selanjutnya membentuk masyarakat. Ini berbeda dengan pandangan umum dalam sosiologi
kontemporer yang mengatakan bahwa masyarakat terbentuk karena adanya proses
pertukaran. Menggunakan pendekatan modal sosial tersebut, Portes dan Sensenbrenner

3
menganalisis rasionalitas yang digunakan oleh migran di negara tujuan dalam tindakan
sosial ekonomi mereka. Portes dan Sensenbrenner membahas segi positif dan negatif dari
penerapan modal sosial tersebut pada kondisi masing-masing komunitas migran.
Masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep modal sosial memiliki
perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan tersebut juga
dalam hal pendekatan analisis. dari berbagai konsep yang telah disebutkan di atas, intinya
konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk
mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan
dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai
tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai
acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain sikap yang
partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling
percaya mempercayai, dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya.
Unsur lain yang memegang peran penting adalah kemauan masyarakat atau kelompok
tersebut untuk secara terus menerus pro aktif, baik dalam mempertahankan nilai,
membentuk jaringan-jaringan kerjasa, maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru.
Norma dan sanksi merupakan basis utama dari institusi atau kelembagaan. Kedua hal
ini pula yang membentuk modal sosial. Dalam pengertian modal sosial, kesepakatan dan
pelaksanaan suatu norma merupakan perwujudan dari interaksi terus-menerus dalam suatu
asosiasi dan jaringan (networks), baik formal maupun informal. Modal sosial, yang muncul
melalui asosiasi dan jaringan yang didasari norma yang disepakati, sesungguhnya
membentuk suatu kelembagaan. Keduanya, kelembagaan dan modal sosial, sesungguhnya
memfasilitasi kumpulan orang atau komunitas atau masyarakat untuk melakukan aksi
bersama (collective action). Sebagaimana definisi modal sosial yang dikemukakan oleh
Woolcock & Nayaran (2000:2): norma-norma dan jaringan-jaringan yang membuat orang
bertindak secara kolektif.
Grootaert et. al. (2003) menyatakan bahwa hubungan atau jaringan sosial
sebagaimana yang dijelaskan dalam modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga hal:
1. Bonding social capital (atau keterkaitan horisontal) yaitu ikatan dengan orang-orang
yang memiliki karakter demografis yang sama (seperti tingkat sosial-ekonomi, etnis),
misalnya anggota keluarga, tetangga, teman dekat dan rekan kerja. Ikatan ini sering
disebut sebagai perekat sosial.
2. Bridging social capital (atau keterkaitan horisontal dengan pihak yang berbeda
karakter), yaitu ikatan dengan orang-orang yang tidak memiliki karakter yang sama,
misalnya kenalan, teman dari etnis lain, teman dari teman. Ikatan ini sering disebut
sebagai pelumas sosial.
3. Linking social capital (atau keterkaitan vertikal), yaitu ikatan dengan orang-orang
yang memiliki otoritas atau status sosial yang lebih tinggi, misalnya ikatan dengan
anggota parlemen, polisi, kepala daerah, dsb (Grootaert et al. 2003, Aldridge 2002).

4
Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1)
memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi angota komunitas; (2) menjadi
media power sharing dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4)
memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian
bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Modal
sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya,
memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan
tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan
sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.
Kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati,
merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal
sosial tersebut dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam,
atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan
dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat
modal sosial, semakin tinggi daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu
masyarakat. Tanpa adanya modal sosial, masyarakat sangat mudah diintervensi bahkan
dihancurkan oleh pihak luar.

KEARIFAN TRADISIONAL SEBAGAI MODAL SOSIAL KOMUNITAS

Keraf (2003), mendefiniskan kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan,


keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan tradisional
bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia
dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi
di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati,
dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekalgus
membentuk pola perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesama manusia maupun
terhadap alam dan yang gaib.
Satria (2002), menggunakan istilah pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan
mendefinisikan sebagai suatu kekayaan intelektual mereka yang hingga kini terus
dipertahankan. Dalam beberapa literatur telah mendapat tempat sebagai salah satu sumber
ilmu pengetahuan seperti dalam metode RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries).
Pengetahuan masyarakat lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka
mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam
dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam
merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Gadgil, et al.,
1993). Konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan
lokal atau tradisional (Mitcheli, 1997).
Sistem kearifan tradisional didasarkan atas beberapa karakter penggunaan
sumberdaya (Matowanyika, 1991), yaitu: (1) sepenuhnya pedesaan; (2) sepenuhnya

5
didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat; (3) integrasi nilai ekonomi, sosial,
budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan
keluarga sebagai dasar pembagian kerja; (4) sistem distribusi yang mendorong adanya
kerjasama; (5) sistem pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat sistem
pemilikan bersama; dan (6) sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman
lokal.
Richard (1994), merumuskan pengetahuan lokal (kearifan tradisional), sebagai:
knowledge that is in confirmity with general scientific principles, but which, because it
embodies placespecific experence. Allows better assessments of risk factors in production
decisions. Dalam kemampuan penduduk setempat dalam menilai resiko yang akan
dihadapi dalam keputusan-keputusan yang menyangkut kegiatan produksi berdasarkan
pengetahuannya tentang lokasi yang spesifik, maka ketangguhan suatu praktik
pengelolaan sumberdaya alam tentunya akan lebih mudah untuk dipertahankan. Namun,
sekalipun penduduk setempat memiliki pengetahuan yang diperoleh melalui mekanisme
sejalan dengan prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah dan ditunjang oleh pengalamannya yang
mendalam tentang kondisi setempat, tidaklah berarti bahwa penduduk setempat maha
tahu tentang segala aspek dalam lingkungan hidupnya.

KONSEP UMUM TENTANG SASI

Sasi adalah seperangkat norma, adat dan aturan dan sanksi mengenai larangan
pengambilan hasil tanaman/tumbuh-tumbuhan, ikan dan hewan buruan sebelum waktu
yang telah disepakati/ditetapkan oleh pimpinan dan tokoh masyarakat bersama warga
masyarakat (kewang dan gereja/mesjid). Tujuannya adalah konsevasi. Di Pulau Saparua
misalnya, masih ditemukan 30 aturan sasi dan 17 jenis sanksi/denda (Pattiselano, 2000).
Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki,
mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu pula. Kata sasi juga mengacu pada keseluruhan institusinya. Itulah sebabnya di
dalam masyarakat berkembang penggunaan istilah tutup dan buka sasi, suatu istilah yang
terutama mengacu pada upacara pelarangan dan penghentian larangan. Setelah upacara
tutup sasi dilaksanakan berarti sejak saat itu segala jenis hasil darat maupun laut yang
disasi tidak boleh dirusak atau diambil (dipanen). Baru setelah upacara buka sasi
dilaksanakan semua hasil darat dan laut yang dilarang pemanfaatannya pada saat tutup sasi
diperbolehkan dipanen.
Secara etimologis, sasi dapat diartikan sebagai a ban on the use of specific piece of
land tree or sea during a certain periode (Von Benda-Beckmann et. al., 1992). Sasi dapat
diartikan secara umum sebagai a prohibition on the harvesting specified domesticated
and non domesticated land, tree and sea resources(Ellen: 1978). Sasi juga diartikan
sebagai aturan lembaga tradisional dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan
lingkungan (Kriekhoff dalam Von Benda-Beckmann 1992). Ada tiga konsep dalam
hubungannya dengan sasi ini yaitu (1) wilayah, (2) unit sosial pemilik hak (right-holding
unit) dan (3) legalitas (legality) beserta pelaksanaanya (enforcement). Konsep wilayah

6
dalam suatu pengaturan hak wilayah sasi tidak hanya terbatas pada pembatasan luas
wilayah, tetapi juga eksklusivitas wilayah. Eksklusivitas ini dapat berlaku juga untuk
sumberdaya alam, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasi mau-pun batasan-batasan
yang bersifat temporal. Sementara mengenai unit pemegang hak, tulisan-tulisan tentang
kasus hak ulayat di tempat-tempat berbeda, menunjukkan bahwa unit pemegang hak
(right-holding unit) beragam mulai dari sifatnya yang individual, kelompok kekerabatan,
komunitas desa sampai ke negara. Dalam kaitannya dengan masalah legalitas, hal yang
menjadi pokok bahasan adalah dasar hukum yang melandasi berlakunya sasi, yaitu dalam
beberapa kasus berupa aturan tertulis. Sementara pada kasus-kasus yang lain menunjukkan
bahwa pelaksanaan sasi merupakan praktik yang extra legal karena didasarkan atas
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat, tidak menurut hukum formal. Meskipun
demikian, jika dilihat pada masyarakat pendukungnya, pada kenyataannya praktek sasi
selalu mempanyai dasar, seperti halnya suatu sistem kepercayaan.
Menurut von Benda-Beckmann ada empat aspek dari sasi:
1. Aspek budaya dan kepercayaan. Sasi bertalian dengan hubungan antar masyarakat
yang lebih berarti, lingkungan alam, dewa-dewa, dan leluhur serta roh-roh. Logika
operasional dari larangan-larangan dan sanksi sangat berakar dari kepercayaan
terhadap roh-roh dan leluhur. Sasi diberlakukan untuk menahan amarah roh-roh
dan leluhur.
2. Aspek politik dan administrasi. Sasi memerlukan organisasi. Untuk beberapa
jenis Sasi, masyarakat desa secara keseluruhan menentukan pemberlakuan Sasi.
Terdapat pula Sasi yang dilakukan secara individu/perorangan atau kelompok
kerabat. Fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan sasi dapat dilakukan oleh dukun-
dukun, pejabat pemerintah atau pejabat agama.
3. Aspek ekonomi. Sasi adalah bagian dari sistem ekonomi dan sistem kepemilikan.
Sasi membatasi eksploitasi sumberdaya alam dan melindungi hak-hak kepemilikan.
4. Aspek ekologi. Sasi berhubungan dengan pengawasan panen atau pengumpulan
sumberdaya tertentu sebelum matang secara fisik.
Sasi dihubungkan dengan musim larangan memetik buah buahan tertentu di darat
dan mengambil hasil tertentu dari laut selama jangka waktu tertentu, yang ditetapkan oleh
pemerintahan desa (Cooley, 1987: 189). Jenis tanaman yang umumnya di-sasi adalah
tanaman perkebunan, sedangkan hasil laut yang biasa di-sasi adalah ikan lompa dan
teripang (khusus masyarakat Maluku di Pulau Haruku). Hewan buruan yang di-sasi antara
lain babi, rusa dan kusu. Mengapa harus ada sasi? Tujuan utama sasi adalah melestarikan
sumberdaya alam seperti tanaman, hasil laut dan binantang buruan dimana komoditas
tersebut tergolong langka dan berharga. Selain itu, sasi dipraktekkan untuk mengontrol dan
membatasi keserakahan manusia dalam mengekploitasi sumber daya alam secara
berlebihan. Akhir-akhir ini ada gejala penurunan praktek sasi hingga 25% (Pattiselano,
2000), karena berhadapan dengan nilai kapitalisme yakni desakan kebutuhan ekonomi
yang makin cepat terutama pasca kerusuhan sosial di Maluku (1999-2003). Di sisi lain,
kenyataan menunjukkan bahwa sasi masih penting guna menghindari penduduk dari

7
kemiskinan (preventing poverty) sumberdaya alam. Rupanya sasi merupakan tindakan
perlindungan agar persediaan bahan makanan untuk desa cukup terjamin, yang didasarkan
kepada pengertian tertentu tentang proses kelanjutan mahluk-makhluk yang hidup di laut
dan siklus pertumbuhan di bumi.
Secara umum dikenal dua jenis sasi. Pertama, sasi pemerintahan desa (negeri). Sasi
ini dikeluarkan dan diumumkan oleh pemerintah desa, sehingga barang siapa yang
melanggar sasi akan dikenakan sanksi oleh pemerintah desa. Sanksi yang dikenakan adalah
denda dalam bentuk uang atau materi. Sasi jenis kedua disebut sasi gereja/mesjid. Sasi ini
dikeluarkan dan diumumkan oleh pimpinan keagamaan. Pattinama (2009), sasi
gereja/mesjid lebih dipatuhi warga karena takut mendapatkan hukuman dari Tuhan Yang
Maha Kuasa. Hukuman itu dapat berupa sakit penyakit, mara bahaya atau kegagalan
panen.
Pelaksanaan sasi yang merupakan aturan adat dikoordinir oleh suatu lembaga adat
yang khususnya di Maluku Tengah disebut kewang bersama-sama raja. Lokollo (1988: 3)
menyebutkan bahwa dalam hukum adat di Maluku, khususnya dalam hukum sasi dikenal
perangkat tetap lembaga kewang seperti: raja, kepala desa, kepala kewang atau kewang
besar, anak kewang atau kewang, marinyo, rapat saniri negeri, tuan tanah, mauwin dan
kasisi negeri. Dalam urutan sasi, kewang (kewang besar) dan anak-anak kewang (kewang)
mempunyai peranan sangat penting. Pada perkembangannya ketika ada juga sasi gereja,
pelaksanaan sasi gereja tidak dikoordinir oleh kewang tetapi oleh pendeta bersama raja.
Untuk membedakan kedua sasi tersebut, biasanya sasi yang dikoordinir oleh kewang
disebut sasi kewang dan sasi yang dikoordinir oleh pendeta disebut sasi gereja. Apabila
sasi kewang sudah berlangsung sejak lama, yang menurut orang Maluku adalah sejak
zaman datuk-datuk, maka sasi gereja belum lama ada (Indrawati: 2000, 70).
Selama ini sasi bisa berjalan baik karena adanya kelompok orang yang menjaga
kesepakatan sasi (kewang) dan ada keyakinan dalam masyarakat jika kesepakatan tersebut
dilanggar, maka akan menimbulkan kualat (dampak buruk) bagi yang melanggar sasi.
Aturan di atas sangat bermanfaat bagi seluruh warga dan pemerintah negeri atau
tempat sasi ditujukan. Artinya, pemilik tanaman tidak perlu cemas tanamannya diganggu
orang lain, karena ada yang menjaga (kewang). Hal yang wajar jika kemudian, dari
menjaga keamanan tersebut, negeri atau dimana sasi ditujukan mendapatkan sedikit
imbalan dari masyarakat.
Mengenai istilah kewang sendiri yang di beberapa pulau di Maluku Tengah
diterjemahkan sebagai "polisi hutan" biasa diacukan pada dua hal. Pertama kata kewang
diacukan pada lembaga pelaksana sasi negeri kecuali kata kepala desa. Kedua, istilah
kewang juga diacukan pada perorangan yang menjadi anggota dari kewang sebagai suatu
lembaga. Untuk arti yang kedua ini kadang ditambahkan kata anak. Jadi seseorang yang
menjadi anggota dewan memanggil atau dipanggil dirinya sebagai kewang atau anak
kewang (Indrawati: 2000, 71). Sementara Cooley (1987: 220) memberi pengertian, bahwa
kewang adalah polisi desa yang bertanggungjawab atas pengawasan dan inspeksi wilayah

8
desa, perbatasan, keadaan hutan, kebun-kebun dan lain-lain. Sebab itu mereka adalah
pajabat yang memprakarsai sasi.
Sasi dan Kewang adalah dua institusi tradisional yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya.
Sasi merupakan salah satu institusi adat yang berisi kesepakatan-kesepakatan adat
lengkap dengan sanksi-sanski apabila terjadi pelanggaran terhadap adat tersebut.
Keseluruhan peraturan dalam sistem sasi disampaikan secara lisan dari generasi ke
generasi. Pelajaran yang dapat diambil dari sistem sasi ini adalah bahwa adanya kesadaran
masyarakat tentang pentingnya kelestarian sumberdaya alam yang menjadi sumber
penghidupan mereka. Sistem ini akan mewujudkan juga keseimbangan antara kebutuhan
masyarakat pengguna sumberdaya alam dan kewajiban masyarakat untuk melestarikannya.
Problem yang mungkin terjadi dengan sistem sasi adalah bahwa peraturan ini hanya
berlaku bagi masyarakat lokal dan tidak berlaku bagi masyarakat luar. Dampaknya adalah
posisi tawarnya menjadi lemah karena saat pihak luar akan masuk ke kawasan sasi dengan
membawa legitimasi pemerintah yang lebih tinggi (misalnya tingkat propinsi atau pusat),
pelaksanaan sasi di kawasan tersebut berpotensi terganggu (Satria, et al., 2001).
Penerapan sasi sangatlah luas, termasuk di antaranya untuk pengambilan segala
macam hasil hutan. Hasil hutan yang biasa dipanen oleh masyarakat dapat berupa kayu,
sagu, daun sagu, binatang buruan, dan sebagainya. Jika suatu areal hutan tertentu
ditetapkan dalam keadaan sasi, maka pengambilan hasil-hasil hutan tersebut dilarang. Sasi
inilah yang mengendalikan pengambilan segala sumberdaya alam secara berlebihan dan
membabi buta. Dengan sasi, secara ekologis, hutan diberi kesempatan untuk mengadakan
pemulihan kembali, dan dipanen pada saat yang tepat.

KETETAPAN-KETETAPAN SASI (KASUS NEGERI SEITH KEC. LEIHITU)1

1. Syarat yang harus dipenuhi.


a. Sasi dinyatakan buka atau tutup pemberitahuannya berasal dari kepala
desa lewat tabaos yang disampaikan pada saat masyarakat berada di dalam desa.
b. Apabila sasi dinyatakan buka biasanya hanya berlaku untuk satu jenis
tanaman saja, hal ini dimaksudkan agar mudah dalam hal pengontrolan. Apabila
seorang pemilik pala atau kelapa ingin mengambil tanamannya, terlebih dahulu harus
memintakan surat izin dari kepala soa (kewang tetap) dan selanjutnya diberikan
kepada kewang lepas. Sesudah itu orang yang bersangkutan baru boleh memasuki
hutan untuk mengambil hasil tanamannya. Mengenai pisang, yang berhak memberi
surat izin ialah kewang tetap saja dan tidak diteruskan lagi, sebab pisang tidak
dilelang tapi dikenakan sasi. Hal itu karena berdasarkan pertimbangan saniri
lengkap, pisang dikenakan sasi hanya untuk menghindari adanya pengambilan hasil
secara sembarangan sehingga perlu diatur. Sedangkan menyangkut damar, rotan dan
1
Disarikan dari Paulain II, Ahmat, Sasi sebagai Implementasi Pendidikan Akhlak di desa Seith
kecamatan Leihitu, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Ushuluddin STAIN Ambon, 2005.

9
hasil laut (sasi labuang), berada langsung di bawah pengawasan Upu Latu sehingga
apabila ada anggota masyarakat yang ingin mengambil hasil dari sumber itu harus
dengan seizin kepala desa.
c. Kepada anggota masyarakat, baik pemilik pala maupun kelapa, sesuai
dengan ketentuan maka dari hasil panen yang harus diberikan kepada kewang lepas
yang berupa cukai adalah sebagai berikut: Untuk sepuluh biji pala/kelapa dari hasil
panen maka yang harus diberikan kepada kewang lepas ialah satu biji pala/kelapa.
Sebagai cukai atau retribusi kepada kewang tetap sebesar Rp. 200,- perpohon atau
satu sisir perpohon.
d. Yang bertanggungjawab atas keselamatan sasi berada pada kewang
tetap maupun kewang tidak tetap. Keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama
dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan untuk mengadakan pengawasan atau
pengontrolan pada batas-batas yang dikenakan sasi.
2. Pelanggaran dan Sanksi
a. Jika sasi sementara berjalan atau ditutup dan bila terdapat atau bukti ada yang
memungut satu biji pala/kelapa maka orang tersebut akan dikenakan denda sebesar
Rp. 100,- dan selanjutnya apabila ada yang kedapatan naik, baik pada waktu sasi
dibuka atau ditutup tetapi tanpa izin maka tetap dikenakan denda sebesar Rp.
50.000,-
b. Mengenai pisang diatur tersendiri yakni apabila terjadi pelanggaran berupa
mengambil hasil tanpa izin dari kewang maka pisang tersebut akan disita atau apabila
ternyata pisang tersebut belum matang betul maka pisang tersebut tetap akan tetap
disita.
Hal ini biasanya dilakukan oleh Upu Latu bersama kepala soa lewat kendaraan yang
ternyata sedang mengangkut pisang dengan tujuan ke pasar Ambon maupun tempat lain
yang akan meninggalkan desa Seith, sehingga tidak akan ada orang yang bisa menjual
pisangnya keluar desa Seith tanpa dilengkapi dengan surat izin. Hal ini juga dimaksudkan
agar tidak terjadi pengambilan hasil pisang sebelum sasi dinyatakan dibuka.
3. Pembagian Hasil Pelelangan
Setelah acara pelelangan selesai dan seluruh angggota masyarakat mengetahui
nama-nama pemenang lelang serta banyaknya uang yang diperoleh dari hasil lelang pala
dan kelapa maka selanjutnya uang tersebut akan digunakan dengan perincian sebagai
berikut:
- 10 % di masukkan ke kas desa.
- 10 % diberikan kepada kewang tetap.
- 5 % diberikan kepada empat masjid yang ada di desa Seith.
- 75 % digunakan untuk pembangunan desa sesuai dengan
program dari pemerintah.
Untuk diketahui pula bahwa pada saat sasi dibuka hanya satu jenis tanaman atau
hasil laut yang boleh dibuka. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan dalam sehingga pada

10
saat sasi dibuka jarang terjadi pelanggaran karena ada pengawasan yang dilakukan oleh
para kewang yang untuk jenis tanaman atau hasil saja.

PENUTUP

Sebuah studi oleh World Fish Centre (1998) yang rampung pada tahun 1997 secara
gamblang mengidentifikasi hubungan antara sasi, lembaga adat yang mengelola sumber
daya, dengan manfaat-manfaat positif berupa kerjasama dan keselarasan sosial yang lebih
tinggi yang dirasakan oleh nelayan-nelayan lokal. Desa-desa dengan sasi yang kuat
dipandang memiliki interaksi yang lebih tinggi seputar isu-isu masyarakat, tindakan
kolektif adat yang lebih kuat dan lebih sedikit konflik. Selain itu, hasil penelitian tersebut
mengidentifikasi perubahan-perubahan demografi yang penting. Dalam sampel 508
nelayan Maluku, tim peneliti menemukan bahwa "generasi yang lebih tua terutama
beragama Kristen, sementara generasi muda beragama Islam, yang seringkali adalah
pendatang Buton, yang tidak memiliki keterpautan dengan struktur kuasa tradisional desa-
desa Maluku dan, oleh karenanya, tidak memiliki motivasi untuk menaati ketentuan sasi
atas dasar keterpautannya dengan adat istiadat. Sasi terutama bertahan di desa-desa
Kristiani, tetapi di tempat-tempat sistem ini masih hidup, sasi laut di desa-desa Muslim
adalah kuat dan seringkali berfungsi sebagai mekanisme untuk memungut sewa sumber
daya dari wilayah desa.
Tidak seperti di desa-desa terpencil, lembaga ini tampaknya sudah menghilang dari
daerah-daerah kota dan kota satelit di pusat-pusat perkotaan. Bentuk-bentuk sasi laut yang
paling tidak efektif dan paling tergerus ditemui di Pulau Ambon. Di daerah pinggiran kota
Ambon, masyarakat sudah tidak lagi mengandalkan pertanian dan perikanan sehingga
tidak ada sasi laut. Lahan pertanian tergusur bangunan-bangunan dan perairan pesisir di
Pelabuhan Ambon, yang dulunya kaya sumber daya ikan laut, sekarang telah menurun dan
tercemar sampai-sampai nelayan sudah jarang terlihat di sana. Jika desa-desa terpencil di
kawasan pesisir Kepulauan Lease lazimnya didominasi oleh penduduk Kristiani atau
Muslim dan oleh segelintir keluarga pendiri desa, daerah-daerah pinggiran kota dan desa-
desa satelit yang mengitari pelabuhan memiliki penduduk dengan latar belakang agama
dan warisan budaya berbeda yang tercampur rata. Sepertinya lembaga berbasis adat seperti
sasi, dengan struktur yang terikat garis keturunan keluarga, tidak dapat bertahan dalam
kondisi gado-gado daerah perkotaan.
Dengan kesadaran penuh, masyarakat Maluku memang telah melakukan upaya-
upaya pelestarian sumberdaya alamnya secara berkelanjutan, agar terus dinikmati oleh
anak cucu mereka. Namun akankah nasib adat sasi ini akan dapat dipertahankan? Memang
banyak tantangan yang terus menghadang mereka, di antaranya masalah ekonomi dan
keterisolasian mereka dari daerah lainnya di Indonesia. Contoh yang paling umum adalah,
mereka membutuhkan uang tunai. Peningkatan informasi dan banyaknya pendatang yang
masuk ke kota-kota di pulau ini menyebabkan beberapa kebiasan dan pola hidup mereka
juga berubah. Uang tunai menjadi sangat penting.

11
REFERENSI

Benda-Beckmann, F. von, K. von Benda-Beckmann, and A. Brouwer. 1995. Changing


indigenous environmental law in the Central Moluccas Communal regulation and
privatization of sasi. Ekonesia no.2: 1-38. University of Indonesia.
Coleman, J. S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal
of Sociology, Vol. 94: 95-120.
Cooley, Frank L. 1987. Altar and Throne in Central Moluccan Society. Diterjemahkan oleh
Tim Satya Karya, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan
Pemerintahan di Maluku Tengah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,.
Dove, M.R., 1993, Revisionist View of Tropical Deforestation and Development,
Environmental Conservation. Hal 17-25.
Effendi, Ziwar. 1987. Hukum Adat Ambon Lease. Jakarta: Pradnya Paramita.
Evans, S. M., M. E. Gill, A. S. W. Retraubun, J. Abrahamz, and J. Dangeubun. 1997.
Traditional management practices and conservation of the Gastropod (Trochus
niloticus) and fish stocks in the Maluku Province (Eastern Indonesia). Fisheries
Research 31:8391.
Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New
York: A Free Press Paperbacks Book.
Grootaert, C., D. Narayan, V. N. Jones & M. Woolcock. 2003. Integrated Questionnaire
for the Measurement of Social Capital (SC-IQ). Washington, DC: World Bank
Gadgil, M., F. Berkes., dan C. Folke. 1993. Indigenous knowledge for biodiversity
conservation. Ambio 22 (2-3): 151 156.
Harkes, I & I Novaczek, 2002. Presence, Performance and Institutional resilience of Sasi, a
Traditional Management Institution in Central Maluku, Indonesia, Ocean and
Coastal Management, 45, 237260.
Indrawasih, Ratna. 2000. Hak Ulayat Laut di Maluku dalam Ary Wahyono dkk., Hak
Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Keraf, A Sonny. 2003. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kissya, E. 1993. Sasi Aman Haru-Ukui: Tradisi Kelola Sumberdaya Alam Lestari di
Haruku (A tradition of managing natural resource sustainably in Haruku Island).
Jakarta: Yayasan Sejati.
Krishna, A. 2002. Active Social Capital: Tracing the Roots of Development and
Democracy. New York: Columbia University Press.
Lokollo, J.E. 1988. Hukum Sasi di Maluku: Suatu Potret Dinamika Lingkungan Pedesaan
yang Dicari oleh Pemerintah, Makalah Orasi Dies Natalis XXV Fakultas Hukum
Universitas Pattimura Ambon.
Matowanyika, J.Z.Z. 1991. In pursuit of proper contests fo sustainability in rural Africa.
The Environmentalist 11(2) :85-94.
Mitcheli, B. 1997. Resource and enviromental management. New York: Addision Wesley
Longman, Ltd.,

12
Nababan, Abdon, 2009. Menemukan Jalan Baru Kemandirian Ekonomi Indonesia: Dari
Ekonomi Berbasis Sumberdaya Alam Hayati menuju Ekonomi Kreatif Berbasis
Budaya Masyarakat Adat Nusantara, Makalah untuk pengantar diskusi terbatas di
Jakarta, 5 Juli 2009 dari www.aman.or.id
Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges: Social Capital and Poverty. Policy Research
Working Paper 2167. Poverty Division, Poverty Reduction and Economic
Management Network. Washington, D.C.: World Bank.
Narayan, D et al. 2000. Can Anyone Hear Us: Voice of The Poor. Oxford University
Press. New York.
Novaczek, I., I. H. T. Harkes, J. Sopacua, and M. D. D. Tatuhey. 2001. An Institutional
Analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. ICLARM Tech. Rep. 59. Penang,
Malaysia: ICLARM.
Paulain II, Ahmat, 2005. Sasi sebagai Implementasi Pendidikan Akhlak di Desa Seith
Kecamatan Leihitu, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Ushuluddin STAIN Ambon.
Pannell, S. 1997. Managing the Discourse of Resource Management: The Case of Sasi
from Southeast Maluku, Indonesia, Oceania, 67(4) 289308.
Pattinama, Marcus J. 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal
(Studi Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat), Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009: 13-12.
Pattiselano, J.Th.F., 1999, Tradisi Uli,Pela, dan Gandong pada Masyarakat Seram,
Ambon, dan Uliase, dalam jurnal Antropologi Indonesia 23.
Portess, A. and Sensenbrenner J. 1993. Embeddedness and Immigration: Notes on the
Social Determinants of Economic Action. American Journal of Sociology, Vol. 98/6,
pp. 1320-50.
Purwanto, Y., Y. Laumonier, and M. Malaka. 2004. Anthropology and ethnobiology of the
people of Yamdena in Tanimbar Archipelago. European UnionTanimbar Land Use
Planning Project Technical Series, Number 4. Office of the European Commission
Delegation in Jakarta, Indonesia.
Putnam, R. D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton: Princeton University Press.
Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community. Simon and Schuster. New York.
Rahail, J.P. 1993. Larwul Ngabal: Hukum adat Kei, Bertahan Menghadapi Perubahan.
Jakarta: Yayasan Sejati.
Richard, E. M. 1994. Lessons from Participatory Natural Forest Management in Latin
America: case study from Honduras, Mexico and Peru. Journal of World Forest
Resources Management 7(1):49-69.
Satria, Arif.. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Penerbit Cidesindo.
Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Towards a Theoretical
Synthesis and Policy Framework. Theory and Society 27 (2): 151-208
World Fish Centre, 1998. An Institutional Analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia.
Working Paper No. 39. Fisheries Co-management Research Project.

13
Zerner, C. 1994a. Transforming Customary Law and coastal Management Practices in the
Maluku Islands, Indonesia, 18701992, in D. Western & R. Wright (eds), Natural
connections: Perspectives in CommunityBased Conservation. Washington D.C.:
Island Press, pp. 80112.
-------. 1994b. Tracking Sasi: The Transformation of a Central Moluccan Reef management
Institution in Indonesia, in A.T. White et al. (eds) Collaborative and Community
based Management of Coral Reefs. West Hartford: Kumarian Press, pp. 1933.
-------. 1998. Men, Molluscs and the Marine Environment in the Maluku Islands:
Customary Law and Institutions in Eastern Indonesia 18701992 IN. R. Grove et al.
(eds) Nature and the Orient: The environmental History of South and Southeast Asia
Delhi: Oxford University Press, pp. 534571.
Pengetahuan dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya
alam, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu usaha konservasi tradisional. Sejak
ribuan tahun yang lalu, masyarakat adat hidup harmoni dengan lingkungan sekelilingnya.
Lingkungan, baik wilayah daratan maupun perairan, bagi mereka adalah bagian dari hidup
yang tidak bisa dipisahkan. Hubungan saling menguntungkan yang dijalin ribuan tahun
telah memberi begitu banyak pelajaran bagi masyarakat adat. Timbulnya hukum adat,
pantangan atau tabu pada sekelompok masyarakat yang dikaitkan dengan pengelolaan
sumber daya alam sering dijumpai dalam berbagai tatanan, misalnya hukum perputaran
sistem perladangan, proteksi terhadap hutan atau padang perburuan dan pengelolaan
sumber air.
Di Indonesia terdapat puluhan masyarakat adat yang masih dengan tekun
mempraktekkan cara-cara tradisional dalam mengelola sumber daya alam. Mereka sangat
menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang tersedia, yang tercermin dalam
berbagai bentuk tatanan adat istiadat yang kuat. Pembagian yang tegas antara kawasan
yang dilindungi dan kawasan untuk berbagai kegiatan seperti kawasan pertanian,
peternakan, perburuan dan pemukiman ternyata bukan hanya sekedar membagi ruang
dalam lingkungan tempat mereka tinggal tetapi diikuti pula dengan berbagai macam aturan
terhadap waktu, baik waktu untuk mengadakan perburuan maupun aturan perputaran
dalam sistem pertaniannya. Hal ini misalnya tercermin dalam kehidupan masyarakat
kepulauan di Desa Kakorotan, Kec. Nanusa, Kab. Sangihe-Talaud, Sulawesi Utara,
masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan atau suku-suku lain yang mempraktekkan
pola berladang berpindah di hutan sekitar tempat mereka bermukim sering dituduh sebagai
pelaku-pelaku utama dalam perusakan hutan. Padahal sebenarnya secara adat dan tata cara
yang berlaku dalam kehidupannya, mereka memahami benar tentang kearifannya dalam
menjaga kelestarian lingkungan hutan dimana mereka tinggal. Perladangan berpindah
merupakan adaptasi terbaik masyarakat yang tingkat teknologinya rendah terhadap tingkat
kesuburan. Seandainya mereka itu tidak melakukan perladangan berpindah, melainkan
pertanian yang menetap, justru akan terjadi kerusakan lingkungan yang besar.
Uraian itu menunjukkan bahwa sebenarnya ada hubungan yang erat antara
manusia, sejarah peradaban, sumber daya lingkungan dan pengaruh serta penyebaran
terhadap budaya maupun sumber daya itu sendiri. Dari sini terlihat bahwa aktivitas
manusia benar-benar merupakan sebab yang berakibat langsung terhadap perubahan
lingkungan alamnya dan ternyata masyarakat adat lebih memiliki kearifan dalam
mengelola sumber daya hayati di lingkungannya agar dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan.

14
Salah satu pranata adat yang mengatur penggunaan sumber daya hayati selain contoh di
atas adalah sasi di Maluku. Sasi adalah istilah umum untuk tindakan konservasi dari penduduk asli
yang ditemukan secara luas di Maluku. Sasi merupakan salah satu nilai budaya yang berkaitan
dengan usaha peningkatan produksi pangan dan pelestarian sumber daya alam (Indrawasih,
2000:66). Kata sasi juga mengacu pada keseluruhan institusinya. Itulah sebabnya di dalam
masyarakat berkembang penggunaan istilah tutup dan buka sasi, suatu istilah yang terutama
mengacu pada upacara pelarangan dan penghentian larangan. Setelah upacara tutup sasi
dilaksanakan berarti sejak saat itu segala jenis hasil darat maupun laut yang disasi tidak boleh
dirusak atau diambil (dipanen). Baru setelah upacara buka sasi dilaksanakan semua hasil darat dan
laut yang dilarang pemanfaatannya pada saat tutup sasi diperbolehkan dipanen (Frank L. Cooley
1987: 189).
Pada laporan hasil penelitian Ratna Indrawasih (2000) tentang Hak Ulayat Laut di Maluku
diketahui bahwa aturan sasi dengan beberapa perbedaan bentuk pada beberapa tempat, terdapat
pada pulau-pulau Buru, Seram, Ambon dan Lease, pulau-pulau Watubela, kepulauan Kei dan Aru,
kepulauan di Barat Daya Maluku dan kepulauan Tenggara Maluku serta di pulau Halmahera.
Sebagai pranata yang sudah berlaku umum di Maluku, sasi sudah ada sejak dahulu kala. Namun
demikian, tidak jelas sejak kapan sasi tersebut mulai dikenal karena data dan informasi yang
autentik tentang hal itu tidak ditemukan. Menurut JE. Lakollo (1988) sasi sudah ada sejak jaman
datuk-datuk atau tua-tua (nenek moyang). Sebagaimana tertulis dalam pendahuluan reglemen
sasi negeri Paperu. Lokollo mengemukakan pula bahwa di zaman negeri-negeri Maluku sudah
berada di negeri (desa) baru (sekarang dekat pantai), kemudian mulai dikenal dua jenis sasi yaitu
sasi yang berdasarkan kepada kepercayaan dan sasi yang berdasarkan peningkatan pada
kesejahteraan anak negeri. Sasi yang didasarkan pada kepercayaan adalah termasuk di antaranya
sasi atas lautan (labuhan) selama beberapa bulan karena ada orang yang mati tenggelam.
Sementara sasi yang didasarkan pada upaya peningkatan kesejahteraan anak negeri antara lain
sasi negeri atas labuhan (biasanya berupa teluk yang kecil dekat negeri atau muara sungai, yang
banyak ikan).
Pelaksanaan sasi yang merupakan aturan adat dikoordinir oleh suatu lembaga adat yang
khususnya di Maluku Tengah disebut kewang bersama-sama raja. J.E. Lokollo (1988: 3)
menyebutkan bahwa dalam hukum adat di Maluku, khususnya dalam hukum sasi dikenal
perangkat tetap lembaga kewang seperti: raja, kepala desa, kepala kewang atau kewang besar,
anak kewang atau kewang, marinyo, rapat saniri negeri, tuan tanah, mauwin dan kasisi negeri.
Dalam urutan sasi, kewang (kewang besar) dan anak-anak kewang (kewang) mempunyai peranan
sangat penting.
Pada perkembangannya ketika ada juga sasi gereja, pelaksanaan sasi gereja tidak
dikoordinir oleh kewang tetapi oleh pendeta bersama raja. Untuk membedakan kedua sasi
tersebut, biasanya sasi yang dikoordinir oleh kewang disebut sasi kewang dan sasi yang dikoordinir
oleh pendeta disebut sasi gereja. Apabila sasi kewang sudah berlangsung sejak lama, yang
menurut orang Maluku adalah sejak zaman datuk-datuk, maka sasi gereja belum lama ada
(Indrawati: 2000, 70).

Cooley, Frank L. Altar and Throne in Central Moluccan Society. Diterjemahkan oleh Tim
Satya Karya dengan judul Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga

15
Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah. Cet. I; Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987.
Daldjoeni dan A. Suyitno. Pedesaan Lingkungan dan Pembangunan. Cet. I; Bandung:
Alumni.
Effendi, Ziwar. Hukum Adat Ambon Lease. Cet. I; Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.

Indrawasih, Ratna. Hak Ulayat Laut di Maluku dalam Ary Wahyono dkk., Hak Ulayat
Laut di Kawasan Timur Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: Media Pressindo, 2000.
Lokollo, J.E. Hukum Sasi di Maluku: Suatu Potret Dinamika Lingkungan Pedesaan yang
Dicari oleh Pemerintah, Makalah Orasi Dies Natalis XXV Fakultas Hukum
Universitas Pattimura Ambon, 1988.
Koentjaraningrat. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Cet. I; Jakarta: Gramedia,
1985.
Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang
Metode-Metode Baru. Cet. I; Jakarta: UI Press, 1992.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya. Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Poerwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perpektif Antropologi. Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Subiyakto, Kebudayaan Ambon dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Cet-18; Jakarta: Djambatan, 1999.

Suryoprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Cet. I; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001.
Van Peursen, C.A.. Strategie van de Cultuur, diterjemahkan oleh Dick Hartoko dengan
judul Strategi Kebudayaan. Cet. I; Yogyakarta: Kanisius, 1988.

16

Anda mungkin juga menyukai