1 (Krech, Crutcfield dan Ballachey, 1962: 308). Kellehear, 1990; Kuper, 1987; Mack dan Young,
1968; Mitchell, 1989
2ArifinTajul. 2008. “Ilmu Sosial Dasar”. Bandung: Gunung Djati Press. Hal. 45
Emile Durkheim
Masyarakat adalah suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar anggota
sehingga menampilkan suatu realitas tertentu yang mempunyai ciri-cirinya
sendiri.
Karl Marx
Masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi
atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok
yang terbagi secara ekonomi.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah
manusia yang hidup bersama di suatu wilayah tertentu dalam waktu yang
cukup lama yang saling berhubungan dan berinteraksi dan mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama.
Masyarakat menurut Ferdinan Toennis, berpendapat bahwa masyarakat
adalah karya ciptaan manusia sendiri. Masyarakat bukan organism yang
dihasilkan oleh proses-proses biologis.Juga bukan mekanisme yang terdiri dari
bagian-bagian individual yang masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka
didorong oleh naluri-naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia.
Masyakarat adalah usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi-
relasi timbal balik yang mantap, kemauan manusia mendasari masyarakat.
Definisi-definisi yang telah dijelaskan di atas intinya menjelaskan
bahwa masyarakat adalah kelompok yang saling berhubungan, saling
mempengaruhi, mempunyai norma-norma, memiliki identitas yang sama dan
memiliki wilayah. Masyarakat bisa meliputi lingkup yang besar, seperti
masyarakat Indonesia. Sedangkan masyarakat dalam lingkup yang sempit,
masyarakat yang ditemukan di desa, kota atau suku tertentu.
1. Teori Masyarakat
Berikut akan dijelaskan beberapa teori masyarakat yang ada di
Indonesia:
a. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir. Pesisir adalah sebuah desa pantai yang
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan. Masyarakat pesisir
adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah pesisiran. Wilayah ini
adalah wilayah transisi yang menandai tempat perpindahan antara wilayah
daratan dan laut atau sebaliknya. Di wilayah ini, sebagian besar
masyarakatnya hidup dari mengelola sumber daya pesisir dan laut, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dari perspektif
mata pencariannya, masyarakat pesisir tersusun dari kelompok-kelompok
masyarakat yang beragam seperti nelayan, petambak, pedagang ikan,
pemilik toko, serta pelaku industri kecil dan menengah pengolahan hasil
tangkap.
Di kawasan pesisiran yang sebagian besar penduduknya bekerja
menangkap ikan, sekelompok masyarakat nelayan merupakan unsur
terpenting bagi eksistensi masyarakat pesisir. Mereka mempunyi peran yang
besar dalam mendorong kegiatan ekonomi wilayah dan pembentukan
struktur sosial budaya masyarakat pesisir. Sekalipun masyarakat nelayan
memiliki peran sosial yang penting, kelompok masyarakat yang lain juga
mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang
pekerjaannya adalah menangkap ikan. Sebagian hasil tangkapan tersebut
dikonsumsi untuk keperluan rumah atau dijual seluruhnya. Biasanya isteri
nelayan akan mengambil peran dalam urusan jual beli ikan dan yang
bertanggung jawab mengurus domestik rumah tangga.
Tingkat produktivitas perikanan tidak hanya menentukan fluktuasi
kegiatan ekonomi perdagangan desa-desa pesisir, tetap juga mempengaruhi
pola-pola konsumsi penduduknya. Pada saat tingkat penghasilan besar, gaya
hidup nelayan cenderung boros dan sebaliknya ketika musim paceklik tiba
mereka akan mengencangkan ikat pinggang, bahkan tidak jarang barang-
barang yang dimilikinya akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Dalam masyarakat nelayan, struktur yang terkonstruksi merupakan
aktualisasi dari organisasi kehidupan perahu. Sistem organisasi nelayan
memberi ruang yang luas bagi tumbuhnya penghargaan terhadap nilai-nilai
prestatif, kompetitif, beorentasi keahlian, tingkatan solidaritas sosial kerana
faktor nasib dan tantangan alam, serta loyalitas terhadap pemimpin yang
cerdas. Karena itu, posisi sosial seorang nelayan atau pedagang ikan yang
sukses secara ekonomis dan memiliki modal kultural, seperti suka
menderma dan sudah berhaji, sangat dihormati oleh masyarakat di
lingkungannya dan diikuti pendapatnya. Mereka ini merupakan modal sosial
berharga yang bisa didayagunakan untuk mencapai keberhasilan program
pemberdayaan masyarakat pesisir.
b. Masyarakat Pegunungan
Wilayah di sekitar pegunungan aktif memang memiliki potensi ekonomi
yang cukup tinggi karena lahannya subur dan dapat dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian yang baik, namun disamping itu menyimpan potensi bencana
yang dapat merugikan masyarakat. Posisi masyarakat desa pegunungan yang
bersifat semi otonom dengan segala perangkat yang dimilikinya merupakan
modal dasar dalam perencanaan pembangunan dengan prisnsip partisipasi.
Jaringan organisasi yang terdapat di dalam struktur masyarakat pedesaan
merupakan jalur penyampaian pendapat dan pembahasan keputusan yang
solid. Kuatnya ikatan kekerabatan dan ikatan emosional dapat dimanfaatkan
untuk mencapai tujuan.
e. Posindustrial
Posindustrial (Modern) Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan
produksi untuk menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya
teknologi komputer. Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada
pabrik dan mesin penghasil barang material, maka masyarakat posindustri
fokus pada pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya
bergantung pada komputer dan peralatan elektronik lain. Teknologi
utamanya digunakan untuk memproduksi, memproses, menyimpan, dan
menerapkan informasi. Jika individu masyarakat industri belajar keahlian
teknis, maka individu masyarakat posindustri mengembangkan
kemampuan teknologi informasi menggunakan komputer dan perangkat
teknologi informasi lain sebagai alat bantu kerja. Masyarakat posindustri
cenderung mengembangkan softskill ketimbang hard skill. Percepatan
pekerjaan masyarakat posindustri berkali-kali lipat masyarakat industri.
Produksi barang lewat tenaga manusia dalam masyarakat posindustri lebih
sedikit. Akibatnya, terjadi peralihan besar-besaran tenaga kerja
untuk menjalani profesi guru, penulis, sales, penjual pulsa, operator
telepon, termasuk bisnis online (e-business). Industri yang berkembang
mengarah pada produksi softskill ketimbang hardskill. Masyarakat
posindustri dihadang oleh kian merenggangnya kohesi sosial, rumitnya
varian kriminalitas, serta rusaknya lingkungan akibat aktivitas masyarakat
sebelumnya (industrial).
Kelima masyarakat evolutif Lenski ada di Indonesia, berkelindan satu
samalain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain.
Masyarakat pemburu danperamu hingga kini masih dapat ditemui di
pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kendati jumlahnya kian
sedikit, terhimpit proses pembukaan wilayah oleh masyarakat pendatang,
mereka tetap masyarakat Indonesia yang punya hak hidup, bermata pencaharian,
serta mengembangkan kebudayaannya. Masyarakat hortikultural Indonesia
ditandai konsep umum perladangan berpindah. Masyarakat seperti
initerutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi.
Masyarakat pastoral terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah
Indonesia yang punya padang rumputyang luas guna mempraktekkan
kehidupan menggembala. Masyarakat agraris (termasuk nelayan) masih
merupakan elemen terbesar masyarakat Indonesia dan iniditandai masih
adanya Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan,
kendati ditandai perhatian mereka yang setengah hati. Masyarakat
industrial menempati ruang hidup di kota-kota besar. Masyarakat
Posindustrial menggejala dikota-kota industri Indonesia, yang kendati
kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat seiring
mewabahnya penggunaan teknologi telepon seluler, dan didukung
pengembangan kabel internet.
Proses Terbentuknya Masyarakat menurut Karl Max
Dalam pembentukan masyarakat, Max menggunakan peran
konflik. Menurut prespektif ini, sejarah masyarakat ditandai pertentangan
kelas. Klasifikasi Lenski atas kelima jenis masyarakat yang didasarkan
pengaruh teknologi material) atas cara produksi, membuat analisis
masyarakat lewat prespektif konflik lebih mudah dipahami. Marx adalah
teoritisi konflik paling terkemuka, dan bahkan sejak awal telah meringkas
perubahan masyarakat versi Lenski kedalam konsepnya yaitu Materialisme
historis. Konsep ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak lain
tersusun berdasarkan cara-cara produksi material. Materialisme historis
beroperasi dalam kaidah materialisme dialektis. Materialisme dialektis
menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiap tahapan perkembangan
masyarakat menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling
bertentangan. Masyarakat baru kemudian muncul sebagai buah
pertentangan antar struktur masyarakat lama. Bagi Marx, bukan gagasan
yang menciptakan masyarakat melainkan cara-cara produksi material-lah
yang menciptakan gagasan. Justru cara-cara produksi-lah yang
menciptakan aneka gagasan manusia seputar masyarakat. Inilah penjelasan
singkat mengenai materialisme historis. Karena Marx menggunakan cara
produksi ekonomi sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan masyarakat
maka ia dikenal menganut determinisme ekonomi.
Proses terbentuknya Masyarakat menurut Max Weber
Max Weber mengakui peran teknologi bagi perkembangan masyarakat.
Namun, Weber tidak sepakat dengan determinisme ekonomi Marx. Jika
Marx menganut materialisme historis, maka Weber dapat dikatakan
menganut idealism historis. Bagi Weber, masyarakat terbentuk lewat
gagasan atau cara berpikir manusia. Dalam hal ini, Weber bertolak
belakang dengan Marx yang justru mengasumsikan gagasan tidak lebih
proyeksi cara-cara produksi ekonomi.
3. Unsur-Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat
unsur sebagai berikut ini :
1. Berangotakan minimal dua orang.
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan
manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan
hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta
keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus
dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai
masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran /reproduksi
manusia.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya
dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada:
masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat
bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut
masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri
dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari
masyarakat agrikultural tradisional.
Sementara itu, ada yang membagi unsur-unsur dalam masyarakat
menjadi dua yaitu bahasa dan agama. Berikut penjelasannya:
1. Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi dan juga alat interaksi antar
manusia. Bahasa merupakan salah satu faktor terjadinya interaksi sosial di
masyarakat. Bahasa memungkinkan manusia membentuk hubungan
rohaniah. Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu dengan
lainnya tetapi secara rohaniah mereka berhubungan. Tanpa hubungan
rohaniah masyarakat tidak terbentuk. Interaksi timbullah kerja sama dan
kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu, sehingga terbentuklah
masyarakat.
2. Agama
Manusia bersahaja dahulu ketika pada awal pembentukan pengetahuan,
menghadapi alam dan peristiwa-peristiwa alam dalam kehidupan dengan
penuh tanda tanya. Mana yang tak terjawaboleh pengetahuan mereka yang
dangkal mereka pulangkan pada hal-hal yang gaib. Apa yang tak terjawab
oleh pengetahuan mereka yang dangkal, dipulangkan pada agama,antara
lain tentang hidup mati, keraguan dan ketakutan dalam mengahadapi
berbagai peristiwa, harapan setelah meniggalkan dunia ini. Tanpa agama
manusia terdampar pada kehidupan jasmaniah saja. Tanpa kehidupan
rohaniah lenyap tempat tegak etika dan moral serta kepercayaan kehidupan
di seberang kubur.4
4. Bentuk-Bentuk Masyarakat
Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang, kemudian membentuk
perkumpulan yang setiap kelompoknya berbeda-beda. Berikut bentuk-
bentuk kelompok masyarakat:
1) Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya
masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Jadi, masyarakat
4Kaelani, 2000, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Bumi Aksara, hal.159
tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan
pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lamayang masih diwarisi
dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar
lingkungan sosialnya. Masyarakat ini dapat juga disebut
masyarakat pedesaan atau masyarakat desa. Masyarakat desa
adalah sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan
berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir
seragam.5
2) Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar
warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke
kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Perubahan-Perubahan
itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar
yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti
ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Bagi negara-negara
sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Pada umumnya
masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau
masyarakat kota.6
3) Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami
perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya.
Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah
kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan
mulai masuk ke sektor industri.
Ciri-ciri masyarakat transisi adalah: adanya pergeseran dalam
bidangpekerjaan, adanya pergeseran pada tingkat pendidikan,
mengalami perubahan ke arah kemajuan, masyarakat sudah mulai
terbuka dengan perubahan dan kemajuan zaman, tingkat mobilitas
7 (Pambudi, Angga Restu. 2011. Ciri-Ciri Masyarakat Tradisional dan Modern. Dipublikasikan di
http://anggarestupambudi.wordpress.com/2011/11/17/ciri-ciri-masyarakat-tradisional-dan-modern/
10 Rustam Ibrahim, 1998,Civil Society dan LSM di Indonesia dalam Kastorius Sinaga (ed)
Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: INPI-Pact, hal.21
negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-
masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-
rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-
individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial
dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang
beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan
sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat baik secara individu
maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang
dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah
diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa
terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani
adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-
hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-
kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di
wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali
jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang
cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus
menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat
dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance
(pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat
madani sebagai berikut:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail
capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-
tugas kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata
lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-
lembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu
kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap
saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi
antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada
jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang
sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan
sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu
yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan
untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural.
Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi dinegeri ini yang sedang
berlangsung terus menerus yang kemudianmemunculkan ide pluralistik dan
implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar
Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini,
masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa
pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis
kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih
akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
19 Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah. http: //
rully-indrawan.tripod.com pada tanggal 14 Desember 2016
Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja,
tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab
lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur
masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama,
yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi—ditambah ada pula yang
tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat
yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan
akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan
afiliasi-afiliasi lainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa
kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun,
kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada
saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau
plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya
kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya
persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi
dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi
kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengatasi persoalan
tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah
secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur
kehidupan dan hubungan antar komunitas, yang merupakan komponen
masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang
dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah”
(Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam
sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi
juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan
konstitusional dan hukum di dunia. Dalam dokumen itulah umat manusia
untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan,
terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan
politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga
ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan
dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi,
keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan
menghargai kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu
mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup
dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja
bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk
mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga,
mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan
pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut
juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang
berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada
dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri
dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan
kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh
karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam
mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama
bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada
faktor universal yang dapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur
kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian
juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi
Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi
Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama
dan politik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi
Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu
menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik
golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya
masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi
Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang
berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan
moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-
prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan,
baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.
Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi SAW itu sebenarnya identik
dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi
keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada
saat itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yaitu tidak
membedakan antara si kaya dan si miskin, atasan dan bawahan, namun, semua
sama dimata hukum. Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat
madani yang berkembang dalam konteks Indonesia setidaknya berada dalam
dua pandangan, yakni, masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil
society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang
secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat
Madinah yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil
adalah hasil dari peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan
lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, karena
komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat
sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-
Rasyidun. Setelah itu, masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di
mana penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar, dan peran
masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga
prinsip yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting
terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang memegang teguh
ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri secara kultural-politik-
ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip kesederajatan dan
keadilan, serta prinsip keterbukaan.