Anda di halaman 1dari 22

Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang Pakaian Menengah Ke

atas di Pasar Tradisional Modern (PTM) Kota Bengkulu

Disusun Oleh :
Nama : M Ikhtiartosat Regianto
Npm : D1F017034

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dra. Sri Handayani Hanum, M. Si Dra. Sri Hartati, M. Hum

NIP. 19630325 198901 2 001 NIP. 195610201985032003

Pembimbing Utama
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BENGKULU
Dra. Sri Handayani Hanum, M. Si
2020
NIP. 19630325 198901 2 001
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.Latar belakang
Keluarga adalah institusi terkecil dari suatu masyarakat yang memiliki
struktur sosial dan sistem tersendiri yang merupakan yang merupakan sekumpulan
orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan
kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, secara sempit keluarga inti
merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan
pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah), istri (ibu) dan anak-anak mereka
menurut Horton dan Hunt (Dalam Aisyah, 2013).
Dalam kehidupan di abad ke-21 yang ditandai oleh individualisasi dan
mobilisasi, keluargalah yang tetap mempunyai arti pokok bagi manusia. Keluarga
tetap tergolong institusi sosial terpenting. Namun anggapan mengenai wujud
keluarga, dan juga struktur keluarga itu sendiri telah mengalami perubahan besar
berkenaan dengan pergantian sosial. Dahulu dalam keluarga tradisional golongan
menengah, pasangan suami-istri yang hidup dalam perkawinan seumur hidup
mengasuh beberapa anak dengan pembagian peran yang tegas: Sang ayah bekerja
untuk mencari nafkah, sang ibu mengurus rumah tangga. Namun pola keluarga
tersebut tidak lagi merupakan cara hidup yang diikuti kebanyakan orang. Bentuk
kehidupan bersama kian beragam. Perkembangan ini untuk sebagian besar terkait
dengan persamaan hak dan dengan peran perempuan yang telah berubah. Kini
sekitar 65% ibu-ibu bekerja, sedangkan keluarga menjadi lebih kecil, bahkan
dengan pola relasi keluarga yang juga mengalami pergeseran (Aisyah, 2013).
Di dalam sebuah keluarga terhadap realitas gender dalam pembagian peran
maupun pembagian tugas rumah tangga yang adil antara suami dan istri terkadang
masih dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat mengenai peran gender. Peran
gender tersebut, dapat dilihat relasi gender yang didefinisikan sebagai pola
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Dalam
konstruksi sosial, relasi gender dianggap memilki kedudukan yang lebih tinggi
(mendominasi) dan ada yang didominasi, namun ada pula yang setara. Tetapi
dalam masyarakat patriarki, laki-laki dianggap memiliki kedudukan yang
dominan, sementara perempuan berada dalam subordinat.

2
Konsep pola relasi ini mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan
kondisi sosial masyarakat. Perkembangan ini untuk sebagian besar terkait dengan
adanya tuntutan persamaan hak dan peran perempuan yang dipelopori oleh kaum
feminis. Dalam pola relasi keluarga yang ideal pada saat ini adalah pola relasi
keluarga yang berbasis pada kesetaraan dan keadilan gender (Siti Musdah Muliah,
2011).
Perkembangan masyarakat saat ini membuat berbagai macam perubahan
pada peran dan aktivitas perempuan. Mayoritas dari mereka tidak lagi hanya
berpangku tangan menunggu hasil kerja suaminya namun ikut serta dalam
aktivitas ekonomi di ranah publik yang bertujuan untuk mencari uang. Perempuan
tidak lagi hanya berperan di sektor domestik yakni mengurus rumah tangga tetapi
juga berperan mencari pemasukan ekonomi bagi keluarga.
Pasar Tradisional Modern (PTM) merupakan salah satu pusat perbelanjaan
yang cukup terkenal di Kota Bengkulu. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan
Mega Mall ini merupakan pusat perbelanjaan sandang terlengkap, sehingga
menjadi tempat rujukan kulakan para pedagang, baik dari dalam kota maupun luar
kota. Selain itu, sandang di pasar ini juga terkenal dengan harganya yang murah
jika dibandingkan dengan pusat perbelanjaan lain yang ada di kota Bengkulu.
Pasar Tradisional Modern menjadi salah satu tempat rujukan bagi
masyarakat yang ingin mencari sandang, baik itu laki-laki dan perempuan. Pasar
Tradisional Modern tumbuh menjadi salah satu icon Pusat penjualan sandang
dengan omset penjualan mencapai ratusan juta rupiah setiap hari.
Aktivitas, partisipasi dan akses perempuan pedagang di Pasar Tradisional
Modern tinggi. Perempuan pedagang dapat dikatakan menjadi kunci dalam mata
rantai perdagangan di Pasar Tradisional Modern. Para perempuan pedagang ini
telah menjadi pemain utama, sejak dari keperluan makan-minum, membersikan
kios, penentuan harga, penjaga relasi, bahkan sampai pemilik kios. Jumlah
pengunjungnya pun umum nya perempuan.
Aktivitas para pedagang perempuan di Pasar Tradisional Modern ini
menjadi menarik, mengingat mereka juga masih memiliki aktivitas yang lain di
luar pekerjaan mereka di luar rumah, yakni aktivitas mereka dalam rumah tangga
baik sebagai istri bagi suaminya maupun ibu bagi anak-anaknya.

3
Data Kajian Studi Gender dan Sosial Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)
Solo menunjukkan fakta, mayoritas utama dalam aktivitas sosial ekonomi di
berbagai pasar tradisional di Indonesia 67% adalah perempuan. Perempuan
sebagai pedagang, penjual, dan pembeli. Dari populasi pedagang pasar tradisional,
72% adalah perempuan (Bachtiar Suryo Bawono, 2020).
Fakta tersebut memperlihatkan di dalam pasar tradisional perempuan
memainkan peranan penting dalam aktivitas perdagangan. Perempuan mampu
menyajajarkan diri dari kaum laki-laki dalam posisi sebagai pemegang aktivitas
pasar tradisional. Perempuan bahkan memiliki kemampuan lebih dalam ruang
publik sebagai penjual. Perempuan pintar menyajakan produk dagangan,
melakukan self marketing untuk menarik pembeli dan cermat mengkalkulasi laba
dan rugi dalam berdagang.
Dapat dibayangkan betapa beratnya beban ganda yang harus ditanggung
oleh para pedagang perempuan di pasar tradisional modern tersebut. Di rumah
mereka harus menyelesaikan peran mereka sebagai seorang istri dan ibu bagi
keluarganya yang sudah mereka anggap sebagai sebuah kewajiban. Lebih dari itu
mereka juga turut menopang perekonomian keluarga.
Ikut bekerjanya perempuan di luar rumah berdampak terhadap suami dan
anak-anaknya serta rumah tangganya. Karena untuk sementara waktu, perempuan
harus meninggalkan urusan rumah untuk bekerja di luar rumah. Konsep gender
dan patriarki berusaha melihat pola relasi yang terjadi dalam keluarga setelah
seorang istri juga ikut bekerja membantu suami, dalam hal ini istri bekerja sebagai
pedagang pakaian. Konsep gender pada dasarnya digunakan untuk melihat pola-
pola hubungan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan,setelah perempuan
dalam suatu keluarga juga ikut bekerja, sedangkan konsep patriarki lebih
mengarah untuk melihat pola-pola hubungan dalam keluarga yang lebih banyak
menempatkan laki-laki sebagai figur yang penting dan berpengaruh besar di
dalam keluarga. Dengan demikian konsep gender dan patriarki digunakan untuk
melihat seperti apa pola-pola relasi gender yang terjadi dalam keluarga pedagang
perempuan dan bagaimana alasan yang ada dibalik perilaku-perilaku tersebut
terus-menerus dilakukan di dalam konteks keluarga pedagang perempuan.

4
Permasalahan inilah yang diangkat oleh penulis, karena kenyataan yang
dialami oleh perempuan pedagang Pasar Tradisional Modern justru berbanding
terbalik dengan normativitas yang ada di masyarakat. Para perempuaan hebat ini
turut membantu perekonomian keluarga, bahkan tidak jarang juga di antara
mereka telah berubah peran menjadi penopang ekonomi bagi keluarga mereka.
Hal ini menjadi suatu kajian yang menarik bagi peneliti, karena
berubahnya peran dan beban ganda yang dimainkan para perempuan tersebut
tentu sangat berpengaruh baik sedikit maupun banyak bagi kehidupan rumah
tangganya dan juga pada relasi gender pada keluarga tersebut. Lantas siapa yang
mengerjakan tugas-tugas domestik yang masuk dalam kategori profil aktivitas,
siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya produktif dan siapa yang
memperoleh apa, serta siapa yang mengambil keputusan atau mengontrol
penggunaa sumber daya pada keluarga perempuan pedagang tersebut menjadi
suatu yang ingin dikaji lebih dalam oleh peneliti.
Penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini ialah
penelitian yang dilakukan oleh Prasetyowati (2010), yang berjudul “Pola Relasi
Gender Pada Dalam Keluarga Buruh Perempuan (studi kasus: Buruh Perempuan
Pabrik Sritex di Desa sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif. Teknik pengembangan
validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data
(triangulasi sumber) dan trianggulasi waktu. Adapun teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi
empat komponen yaitu pengumpulaan data, reduksi data (reduction), sajian data
(display) dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya. Hasil penelitian ini dapat
disimpulkan:(1) pola relasi gender dalam keluarga buruh perempuan pabrik sritex
bersifat tidak seimbang dan asimetris (2) Buruh perempuan Pabrik Sritex
mengalami beban kerja ganda (3) Pemikiran bahwa perempuan adalah seorang ibu
rumah tangga yang harus bisa melakukan pekerjaan rumah tangga yang baik.di
pengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya.
Penelitian ini juga pernah dilakukan oleh Maryam Mustapa (2019) dengan
memilih pasutri desa Binajaya Gorontalo sebagai objek penelitiannya, yang
berjudul “Relasi Gender Pada Pasutri Dalam Peran Menafkahi Kebutuhan Rumah

5
Tangga”. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana relasi gender
pada pasutri di desa Binajaya dalam peran menafkahi kebutuhan rumah tangga.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat yakni
bagaimana relasi gender pada pasutri dalam peran menafkahi kebutuhan rumah
tangga. Dalam penelitian ini terlibat secara langsung melalui interview, observasi,
dan wawancara untuk memperoleh data yang akurat. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa relasi gender pada pasutri di Desa Binajaya kecamatan
bekerja sebagai buruh tani untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah
tangga, hal ini dilkukan karena upah atau gaji yang diterimah oleh suami mereka
tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada dasarnya yang membuat para
istri bekerja diluar rumah sebagai buruh tani yaitu membantu suami mencari
nafkah untuk menambah penghasilan suami yang tebilang kecil dan tidak
seimbang dengan kebutuhan rumah tangga. Hal ini dikarenakan penghasilan atau
upah yang diterimah suami dari hasil pekerjaannya tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Peran Istri dalam menafkahi kebutuhan
rumah tangga sudah dapat terlihat dari istri yang bekerja diluar rumah mencari
nafkah sebagai buruh tani. Peran istri sebagai ibu rumah tangga yang bekerja
diluar rumah membawa dampak yang positif bagi kondisi ekonomi keluarga. Dari
penghasilan yang diperoleh dapat menambah penghasilan suami yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan lainnya. Sementara
suami yang tidak bekerja mengganti peran istri dalam mengerjakan pekerjaan
rumah tangga/domestik seperti memasak dan mencuci pakaian dan mengurus
anak-anak. Sehingga dalam kehidupan masyarakat Desa Binajaya terjadi relasi
gender pada pasangan suami istri dalam peran menafkahi kebutuhan rumah
tangga.
Berdasarkan penjelasan di atas, kedua penelitian tersebut sama-sama
mengkaji mengenai pola relasi gender pada keluarga perempuan dengan studi
kasus dan variabel yang berberda pula. Penelitian ini pun juga demikian, di dalam
penelitian ini, peneliti ingin meneliti tentang pola relasi gender yang terjadi pada
keluarga perempuan pedagang pakain yang mengkaji lebih dalam tentang siapa
yang mengerjakan tugas-tugas domestik yang masuk dalam kategori profil

6
aktivitas, siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya produktif dan siapa
yang memperoleh apa, serta siapa yang mengambil keputusan atau mengontrol
penggunaa sumber daya pada keluarga perempuan pedagang tersebut menjadi
suatu yang ingin dikaji lebih dalam oleh peneliti.
I.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dibuat untuk memfokuskan kajian dalam penelitian ini
sehingga mempermudah proses pengambilan data dan pelaporan hasil penelitian.
Oleh karena itu pada penelitian ini pun dibuat rumusan masalah, yaitu bagaimana
relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar Tradisional
Modern Kota Bengkulu?
1.3 Tujuan
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:Untuk mengetahui
bagaimana relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan pedagang di Pasar
Tradisional Modern Kota Bengkulu.
1.4 manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk mengetahui bagaimana relasi gender yang terjadi pada keluarga
perempuan pedagang di Pasar Tradisional Modern Kota Bengkulu.
2. Manfaat praktis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan serta
memperluas khasanah ilmu terutama kajian-kajian sosiologis yang
berhubungan dengan relasi gender yang terjadi pada keluarga perempuan
pedagang di Pasar Pasar Tradisional Modern Kota Bengkulu
I.5 Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Pasar Tradisional Modern (PTM)

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gender
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah
kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan
konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut
sangat diperlukan karena alasan sebagai berikut. Pemahaman dan pembedaan
anatar konsep seks dan gender sangatlah di perlukan dalam melakukan analisis
untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpan kaum
perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan
gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities)
dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian
pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat
diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial. Maka sesungguhnya
terjadi keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketidakadilan sosial
lainnya (Fakih M, 2013).
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata
seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki
dalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki
adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan
memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti
rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebur secara biologis melekat pada
manusia perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat
tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia
laki-laki dan perempuan (Fakih M, 2013).
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial
maupun kultural Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan,

8
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada
perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja
zaman dahulu disuatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi
pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat. Juga,
perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Di suku
tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat di banding kaum laki-
laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki,
yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat
lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal
dengan konsep gender (Fakih M, 2013).
Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia mengartikan gender adalah peran-peran sosial yang
dikonstruksi oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan
perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat
dilakukan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan). Gender bukanlah kodrat
maupun ketentuan Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses
keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak
sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat
mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah pembedaan antara perempuan
dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan
sosial dan budaya setempat (Nugroho R, 2008).
Dari berbagai definisi gender di atas maka dapat disimpulkan bahwa
gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan
lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung tempat, waktu/zaman,
suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara, ideologi,
politik, hukum, dan ekonomi. Oleh karenanya, gender bukanlah kodrat Tuhan,
melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif.
Hal tersebut bisa terdapat pada laki-laki maupun pada perempuan. Sedangkan
jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan (ciptaan Tuhan) yang berlaku di

9
mana saja dan sepanjang masa yang tidak dapat berubah dan dipertukarkan antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
2.2 Relasi Gender di Dalam Keluarga
Dalam Kamus Lengkap pemikiran Sosial Modern relasi gender diartikan
sebagai relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender dibedakan dari relasi
biologis antara jenis kelamin, sebab relasi gender adalah relasi yang dikonstruksi
secara sosial. Sifat dari relasi gender adalah bervariasi dari waktu ke waktu dan
tempat, berubah-ubah dari waktu ke waktu dan menunjukkan keragaman menurut
kultur dan lokasi sosial. Penjelasan tentang pola relasi gender juga bervariasi
dalam hal prioritas domain yang berbeda dan level abstraksi yang berbeda
menurut Walby (dalam William Outhwaite, 2008).
Gender dikonstruksi dan diekspresikan dalam banyak institusi sosial, ini
mencakup kultur, ideologi, dan praktik diskursif. Gender adalah bagian dari
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di rumah, terutama antara suami
dan istri. Relasi gender mengambil bentuk yang berbeda-beda di negara yang
berbeda, dalam kelompok etnis yang berbeda, kelas sosial yang berbeda dan
generasi yang berbeda. Meskipun demikian semuanya memiliki kesamaan dalam
membedakan antara laki-laki dan perempuan, meski ada variasi sosial dalam sifat
dari perbedaan tersebut (William Outhwaite, 2008).
Dalam buku Dr.Riant Nugroho dikatakan bahwa relasi gender
mempersoalkan posisi perempuan dan laki-laki dalam pembagian sumberdaya dan
tanggung jawab, manfaat, hak-hak, kekuasaan dan previlese penggunaan relasi
gender sebagai suatu kategori analisis tidak lagi berfokus pada perempuan yang
dilihat terisolasi dari laki-laki (Riant Nugroho, 2008).
Pengertian keluarga dapat dilihat dalam arti sempit, sebagai keluarga inti
atau batih, yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang
terbentuk berdasarkan pernikahan, dan terdiri dari seorang suami (ayah), istri (ibu)
dan anak-anak (Utaminingsih A, 2017)
Menurut gunarsa (dalam Utaminingsih A, 2017) secara sosiologis,
keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang berperan penting
terhadap perkembangan sosial, teruatama pada awal tahap perkembangan
kepribadian selanjutnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga inti senantiasa

10
mempunyai hubungan timbal balik antara individu dalam keluarga itu sendiri
maupun dalam lingkungan sosialnya.
ada empat ciri keluarga, yaitu: 1) keluarga adalah susunan orang-orang
yang disatukan oleh ikatan perkawinan, ikatan darah dan adopsi, 2) anggota-
anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap rumah serta
merupakan susunan rumah tangga, 3) keluarga merupakan kesatuan orang-orang
yang berinteraksi dan berkomunikasi dan menciptakan peranan-peranan sosial
bagi suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan. Peranan-
peranan tersebut diperkuat oleh tradisi dan emosional yang menghasilkan
pengalaman, dan 4) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama
dengan mensosialisasikan nilai dan norma yang diperoleh oleh kebudayaan
umum.
Menurut Utaminingsih A (2017) Setiap keluarga pasti bertujuan mencapai
keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Hal tersebut ingin mewujudkan
kebahagian dan kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga, serta mendapatkan
keturunan sebagai generasi penerus berikutnya. Oleh sebab itu keharmonisan
keluarga juga sangat didukung oleh berjalannya fungsi keluarga dan komunikasi
yang berjalan dengan baik. Ada sembilan fungsi keluarga dan komunikasi yang
harus dijalankan oleh keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, yaitu:
1. Fungsi pendidikan, dapat dikaji dari bagaimana keluarga mendidik dan
menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa
depannya, melalui interelasi dan sosialisasi nilai-nilai dan norma sosial
masyarakatnya.
2. Fungsi sosialisasi, dapat dikaji dari perilaku anak, yang dilihat dari
bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat
yang baik.
3. Fungsi perlindungan, dapat dikaji dari bagaimana keluarga melindungi
anggota keluarga sehingga setiap anggota keluarga merasa terlindungi dan
merasa aman.
4. Fungsi perasaan, dapat dikaji dari bagaimana keluarga secara intuitif
merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lain dalam
berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama anggota keluarga, sehingga

11
tercipta saling percaya dan pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan
keharmonisan dalam keluarga.
5. Fungsi agama, dapat dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan
mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga guna
menanamkan keyakinan aspek-aspek moralitas dan religi yang mengatur
kehidupan di dunia dan di akherat kelak.
6. Fungsi ekonomi, dapat dikaji dari bagaimana kepala keluarga mencari
penghasilan, mengelola penghasilan dan memanfaatkan dengan
sedemikian rupa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
keluarga.
7. Fungsi rekreatif, dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang
menyenankan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita
tentang pengalaman masing-masing, dan lain-lainnya.
8. Fungsi biologis, dapat dikaji dari bagaimana keluarga meneruskan
keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9. Fungsi afeksi, yaitu memberikan kasih sayang, perhatian dan rasa aman
diantara setiap anggota keluarga, serta membina dan mendewasakan
kepribadian anggota keluarga sebaik-baiknya.
Selain berjalannya peran maupun
Didalam institusi keluarga terdapat peran masing-masing dari individu
yang ada pada keluarga tersebut,peran merupakan salah satu relasi yang harus
dijalankan di dalam keluarga.menurut konsep moore (dalam Puspitawati H, 2012)
tentang network atau jejaring, hal ini dapat dikaitkan dengan jejaring peran di
dalam keluarga atau antar keluarga satu dengan yang lainnya. Berkaitan dengan
network, moore mengatakan bahwa terdapat hal-hal yang mendasar didalam
jejaring sebagai berikut.
1. The shaping of desired outcome operates through a set of relationships (a
network) that share a common terminology (discourse, idiom) and
expectations concerning appropriate practices (pembentukan hasil yang
diinginkan terjadi melalui suatu set hubungan (jejaring) atas dasar suatu
kesamaan terminologi dan harapan tentang praktik-praktik/kegiatan yang
pantas).

12
2. Network shaping decision making are compised of network segment which
may be either autonomous or dependent (Jejaring membentuk
pengambilan keputusan yang dihimpun dari segmen-segmen jejaring yang
kemungkinan otonomi ataupun dependen).
Masih menurut Moree struktur komponen dalam metodologi menganalisis
jejaring meliputi nodes dan ties yang dijelaskan sebagai berikut.
1. Nodes refer to individual, organizations, other meaningful entities, and
thing. There are seen as actors, having independent agency (Node
merujuk pada individu, oganisasi, atau entitas penting dan barang. Node
dapat terlihat sebagai aktor yang mempunyai kemandirian sebagai agen).
Node mempunyai dimensi yaitu secara struktural dan pemaknaan
(meaningfull).
a) Secara struktural, nodes dapat dijelaskan sebagai suatu simpul
yang relatif stabil dikontruksi secara sosial. Struktur ini dapat
dikuatkan oleh aktor yang terdaftar ( berwenang) dan dapat
diterjemahkan dari pemaknaan terhadap rangkaian praktik prilaku
tertentu dan hubungan jejaring.
b) Secara pemaknaan (meaningfull), nodes merupakan suatu fungsi
kisah cerita, dan idiom yang meresionalisasi perilaku tertentu dan
struktur yang diharapkan dari suatu posisi.
2. Ties are the reletionships between nodes which are bound together in
some meaningfull fashion (ties (Tali) merupakan jalinan hubungan antara
node satu dengan node lain yang terjalin bersama dalam suatu pemaknaan
yang berarti).
Berdasarkan konsep Moore di atas, pada konteks gender dan keluarga
bahwa relasi peran gender antara anggota keluarga dapat terjalin dengan erat
dalam membentuk suatu jejaring. Peran ayah yang biasa nya dikaitkan dengan
peran produktif seperti pengusaha, manajer, guru, dokter, atau pegawai negeri
pasti berhubungan dengan banyak klien atau aktor lain yang berkaitan dengan
peran produktif tersebut. Ditambah lagi, apabila ayah mempunyai peran sebagai
tokoh masyarakat atau sebagai tokoh agama, akan lebih banyak lagi aktor yang
berhubungan dengan peran ayah tersebut. Tidak kalah aktifnya, ibu di era

13
informasi saat ini juga mempunyai peran ganda sebagai ibu rumah tangga, dan
sebagai aktor dengan peran produktif di sektor publik. Ditambah lagi, apabila ibu
mempunyai tambahan peran sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama, akan
lebih banyak lagi aktor yang berhubungan dengan peran ibu tersebut. Adapun
anak-anak mempunyai peran sebagai anak dan juga pelajar apabila anak masih
sekolah.
Berdasarkan konsep Moore di atas, maka yang disebut nodes atau aktor
dalam hal ini adalah keluarga inti (ayah, ibu, dan anak-anak), klien/aktor yang
berhubungan dengan posisi ayah dan ibu, serta anggota keluarga besar seperti
kakek, nenek, paman dan bibi. Sedangkan ties adalah sifat jalinan hubungan antar-
aktor, apakah hubungan tersebut hubungan formal yang menyangkut bisnis atau
posisi jabatan, atau hubungan nonformal yang berhubugan dengan keluarga inti
atau keluarga besar. Derajat jalinan hubungan juga dapat sangat erat, atau cukup
erat atau tidak terlalu dekat. Frekuensi tatap muka juga dapat melandasi jaringan
hubungan, yaitu apakah harian, mingguan, bulanan atau bahkan tahunan.
Pengambilan keputusan yang melandasi jaringan ditentukan oleh posisi dalam
suatu struktur. Sebagai contoh dalam sistem patriarki, pasti kedudukan ayah
adalah sebagai pemimpin dalam keluarga. Dengan demikian, pengambilan
keputusan tertinggi biasanya ditentukan oleh ayah. Adapun dalam sistem
kemasyarakatan dan bisnis, posisi ayah atau ibu akan menentukan dalam
pengambilan keputusan di institusi tempat ayah ibu berperan. Misalnya kalau ayah
sebagai manajer perusahaan, akan berperan dalam pengambilan keputusan di
perusahaanya. Begitu pula dengan ibu, apabila sebagai direktur suatu instansi, ibu
akan berperan sangat penting dalam pengambilan keputusan dalam institusi
tersebut.
Peran gender akan selalu mengalami perubahan mengikuti perubahan
sosial yang dinamis. Misalnya pada masyarakat tradisional. Pembagian kerja pada
masyarakat ini dilakukan berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan laki-laki sesuai
kapasitasnya sebagai laki-laki, diamana secara umum dikonsepsikan sebagai
orang yang memiliki otot lebih kuat, berani dan mampu bekerjasama. Sementara
pekerjaan perempuan juga di sesuaikan dengan konsepsinya sebagai makhluk
yang lemah, dengan tingkat risiko lebih rendah , lamban dan lain-lain.

14
Menurut Aisyah (2013) Perubahan sosial ternyata bergelindan erat dengan
perubahan peran gender, yaitu adanya faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi adanya perubahan tersebut. Perubahan bisa terjadi revolutif
maupun secara evolutif, hal ini terjadi karena adanya kontrol sosial yang bisa
mengendalikan perubahan tersebut. Menurut para pakar sosiologi, perubahan
sosial meliputi beberapa dimensi antara lain: dimensi struktural, kultural dan
interaksional. Dimensi
struktural menampakan diri pada perubahan status dan peranan. Perubahan
status dapat diidentifikasi dari ada tidaknya perubahan peran, kekuasaan, otoritas,
fungsi, integrasi, hubungan antar status dan arah komunikasi. Sementara
perubahan kultural dapat dilihat dari ada tidaknya perubahan dalam budaya
material ( teknologi) maupun non material ( ide, nilai, norma, peraturan, kaidah
sosial) yang menjadi collective consciousness antar warga. Perubahan
interaksional lebih menunjuk pada konsekuensi logis dari adanya perubahan dari
kedua dimensi lainnya. Misalnya interaksi sosial sebagai konsekuensi dari
perubahan dalam dimensi struktural, bisa saja terjadi karena adanya perubahan
nilai atau kaidah sosial.
Dalam konteks peran gender, perubahan pada struktur dapat dilihat
melalui peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan berdasarkan
pembagian kerja dan status. Status dapat dilihat dari distribusi kekayaan,
pengambilan keputusan, penghasilan, kekuasaan dan prestise. Misalnya, peran dan
posisi perempuan dikaitkan dengan lingkup domestik dan berurusan dengan
lingkup kerumah tanggga, sementara laki-laki urusan publik atau luar rumah
(pembagian kerja dalam rumahtangga).
Menurut Lindsey (dalam Aisyah N, 2013) perempuan selalu ditempatkan
dalam peran dan posisi minoritas karena dianggab mempunyai status lebih rendah
daripada laki-laki. Bagi perempuan, struktur tersebut masih sulit untuk
mengimbangi laki-laki, karena bagi perempuan yang ingin berkiprah di ranah
publik masih harus bertanggung jawab di ranah domestik (beban ganda).
Perempuan dalam hal ini tidak berdaya untuk menghindar dari ranah tersebut
karena sudah menjadi persepsi budaya secara umum. Kontrol budaya yang
bersifat patriarkhi menjadi penghambat adanya perubahan peran gender.

15
Dalam konteks masyarakat modern, dengan berbagai perubahan dimana
keluarga dan unit rumah tangga telah berubah dari sistem keluarga besar
(extended famili) menjadi keluarga inti (nuclear family) yang menjadi salah satu
ciri masyarakat modern, sehingga peran dan fungsi suami-isteri sangat bervariasi.
Menurut F. Ivan Nye (dalam), peran suami-istri dalam keluarga nuclear dapat
dikategorikan, antara lain: segalanya pada suami; suami melebihi peran isteri;
suami isteri memiliki peran yang sama, peran isteri melebihi suami dan segalanya
pada isteri.
Dikotomi peran domestik-publik antara laki-laki dan perempuan, menjadi
sebab utama terkungkungnya perempuan di ranah domestik dan laki-laki bebas
bergerak di ranah publik. Hal tersebut linier dengan pembakuan peran laki-laki
sebagai kepala keluarga dan berkewajiban mencari nafkah (publik, produksi),
sedangkan perempuan (istri) berperan sebagai ibu rumah tangga yang
berkewajiban mengatur urusan kerumahtanggaan (domestik, reproduksi). Kerja
domestik yang secara ekonomis tidak bernilai, layak diberikan pada perempuan
dan pekerjaan publik, yang tentunya bernilai ekonomis selayaknya diberikan pada
laki-laki. Posisi ini dianggap lebih tinggi sehingga laki-laki secara ekonomi
berkuasa ( dominan) termasuk juga atas perempuan. Akibat dikotomi publik-
domestik, maskulin feminin dan dominan-subordinasi, akhirnya melahirkan
ketidakadilan terutama bagi kaum perempuan termasuk dalam aspek kehidupan
ekonomi.
Dalam konteks kehidupan rumah tangga, implikasi yang lebih luas adalah
terjadinya ketimpangan pola relasi antara suami-isteri dalam bentuk, antara lain:
(1) Istri harus patuh dan menghormati suami; (2) segala kegiatan istri di luar
rumah harus seijin suami dan; (3) istri harus bertanggung jawab terhadap semua
kegiatan domestik (memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak
dan lain-lain). Sehingga secara sosial istri adalah warga kelas dua, inferior yang
berada di bawah dominasi laki-laki dan tentunya secara ekonomi menjadi
tergantung pada laki-laki (suami). Sebenarnya dikhotomi peran antara laki-laki
dan perempuan tidak akan menjadi masalah, apabila tidak melahirkan
ketimpangan relasi gender yang pada akhirnya melahirkan ketidakadilan gender.
Akan tetapi yang terjadi dalam realitas adalah sebaliknya, dimana peran gender

16
dalam realitas selalu melahirkan ketidakadilan. Hal tersebut terjadi karena
kontruksi masyarakat yang bias laki-laki, dimana laki-laki
Secara lebih riil, pola relasi keluarga yang berbasis pada kesetaraan dan
keadilan gender diilustrasikan oleh Harien Puspitawati dalam (Aisyah, 2013)
dengan istilah kemitraan gender (gender partnership) dalam keluarga. Menurut
Herien, kemitraan gender dalam institusi keluarga terwujud dalam berbagai
bentuk, antara lain: pertama, kerjasama secara setara dan berkeadilan antara
suami dan istri serta anak-anak baik laki-laki maupun perempuan dalam
melakukan semua fungsi keluarga melalui pembagian pekerjaan dan peran baik
peran publik, domestik maupun sosial kemasyarakatan; kedua, kemitraan dalam
pembagian peran suami dan istri untuk mengerjakan aktivitas kehidupan keluarga
menunjukkan adanya transparansi penggunaan sumberdaya, terbentuknya rasa
saling ketergantungan berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati,
akuntabilitas (terukur dan jelas) dalam penggunaan sumberdaya, dan
terselenggaranya kehidupan keluarga yang stabil, harmonis, teratur yang
menggambarkan adanya ’good governance’ ditingkat keluarga; ketiga, kemitraan
dalam pembagian peran suami istri berkaitan kerjasama dalam menjalankan fungsi
keluarga dengan komponen perilaku mulai dari kontribusi ide, perhatian, bantuan
moril dan material, nasehat berdasarkan pengetahuan yang didapat, sampai
dengan bantuan tenaga dan waktu; keempat, kemitraan gender disini merujuk pada
konsep gender yaitu menyangkut perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab,
kebutuhan, dan status sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan
bentukan/ konstruksi dari budaya masyarakat; Peran sosial dari gender adalah
bukan kodrati, tetapi berdasarkan kesepakatan masyarakat; Peran sosial dapat
dipertukarkan dan dapat berubah tergantung kondisi budaya setempat dan
waktu/era
Pola relasi gender yang harmonis harus dilakukan dengan merencanakan
dan melaksanakan manajemen sumberdaya keluarga, sehingga anggota keluarga
mempunyai pembagian peran dalam berbagai aktivitas (domestik, publik, dan
kemasyarakatan) dalam rangka menjembatani permasalahan dan harapan di masa
depan untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga (sosial, ekonomi, psikologi,
spiritual) yang berkeadilan dan berkesetaran gender.

17
Pada penelitian ini dimaksudkan untuk melihat relasi yang terjadi pada
keluarga perempuan pedagang di Pasar Tradisional Modern kota Bengkulu.
Bagaimana pembagian sumberdaya dan tanggung jawab, manfaat, hak-hak,
kekuasaan antara perempuan baik anak maupun dewasa, dan laki-laki baik anak
maupun dewasa.

2.3 Pedagang
Pasar adalah tempat jalinan hubungan antara pembeli dan penjual serta
produsen yang turut serta dalam pertukaran. Mereka melakukan transaksi tukar-
menukar, baik pada suatu tempat maupun pada suatu keadaan yang lain. Dalam
ilmu ekonomi pasar itu lazim dibagi menjadi dua golongan (1) Pasar yang nyata,
yakni tempat para penjual dan pembeli berkumpul untuk berjual beli akan barang-
barangnya (2) Pasar nirkala, yang abstrak. Barang diperdagangkan tidak sampai di
pasar. Jual beli berlaku langsung atau hanya menurut contoh barang menurut
Dien Majid (dalam LV Ratna Devi S, 2008).
Menurut Damsar (1997) pedagang adalah orang atau institusi yang
memperjual belikan produk atau barang, kepada konsumen baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pedagang dibedakan menurut jalur distribusi yang
dilakukan, yaitu :
A. Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang hak
distribusi satu produk dari perusahaan tertentu.
B. Pedagang (partai) besar yaitu pedagang yang membeli suatu produk dalam
jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual ke pedagang lain.
C. Pedagang eceran yaitu pedagang yang menjual produk langsung kepada
konsumen.
Menurut Geertz (1973) bahwa peranan pedagang dalam suatu pekerjaan
bersifat non amatir, memerlukan kecakapan teknis dan membutuhkan segenap
waktu. Adapun hubungan antara pedagang itu bersifat spesifik : ikatan-ikatan
komersial itu sama sekali dipisahkan dari ikatan-ikatan social persahabatan,
ketetanggaan, bahkan kekerabatan. Menurut Jenifer Alexander dalam pasar
tradisional dikenal dengan juragan dan bakul. Juragan adalah pedagang besar dan
bakul adalah pedagang kecil.

18
2.4 Landasan Teori
Dalam melihat permasalahan ini dilakukan pendekatan sosiologis melalui
teori struktural fungsional Talcott Parsons. Dalam analisis gender sendiri
diperkenalkan berbagai macam teori yang dapat digunakan untuk menganalisis
suatu masalah. Perhatian teori struktural fungsional terhadab relasi gender dalam
institusi keluarga dipelopori oleh Talcot Parsons sebagai reaksi dari pemikiran-
pemikiran tentang lunturnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi. Menurut
Parsons, keluarga ibarat hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur
tubuhnya agar tetap konstan walaupun kondisi lingkungan berubah. Hal ini bukan
berarti keluarga selalu bersifat statis dan tidak bisa berubah, akan tetapi selalu
beradabtasi mulus dengan lingkungan atau dalam bahasa Parson disebut dengan
dynamic equilibrium. (Ratna Megawangi , 1994).
menurut teori ini dalam konteks relasi gender, pembagian peran secara
seksual adalah wajar. Suami mengambil peran instrumental, membantu
memelihara sendi-sendi masyarakat dan keutuhan fisik keluarga dengan jalan
menyediakan bahan makanan, tempat pelindungan dan menjadi penghubung
keluarga dengan dunia luar, the world outside the home. Sementara isteri
mengambil peran ekspresif membantu mengentalkan hubungan, memberikan
dukungan emosional dan pembinaan kualitas yang menopang keutuhan keluarga
serta menjamin kelancaran urusan rumah tangga. Menurut teori ini, jika terjadi
tumpang tindih dan penyimpangan fungsi antara satu dan lainya, maka sistem
keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Dengan kata lain
kerancuan peran gender akan mengakibatkan ketidak harmonisan dalam rumah
tangga, atau bahkan perceraian.
Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social
order). Ketertiban akan tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga,
dimana masing-masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem
nilai. Untuk mewujudkan keseimbangan tersebut maka tiga elemen utama dalam
struktur internal keluarga harus saling terkait, antara lain: status sosial, peran
sosial dan norma sosial. (T. Parsons dan R.F Bales, 1976).
Berdasarkan status sosial, keluarga dibagi dalam tiga struktur utama yaitu
bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Dalam struktur ini, masing- masing

19
mempunyai status sosial yang memberikan identitas pada masing-masing
individu. Misalnya, suami/ bapak adalah kepala rumah tangga , isteri adalah ibu
rumah tangga dan lain-lain.
Sedangkan peran sosial adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan
dapat memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status sosial tertentu.
Setiap ststus sosial tertentu mempunyai fungsi dan peran yang diharapkan terkait
interaksinya dengan individu lain dalam keluarga. Misalnya, seorang yang
berstatus sabagai kepala rumah tangga, diharabkan mempunyai peran
instrumental, yaitu menjamin kelangsungan hidup dan melindungi kelurganya.
Sedangkan status ibu rumah tangga, mempunyai peran emosional atau ekspresif
yang bisa memberikan kelembutan, kasih sayang dan cinta dan tentunya berperan
dalam lingkup domestik. Peran sosial ini sangat dipengaruhi oleh norma-norma
budaya di mana mereka berada.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah,N. 2013. “Relasi Gender dalam Institusi Keluarga”. MUWÂZÂH, Volume


5. Nomor 2. Halaman 204.

Bachtiar, S. B. 2020. “Peran Ganda Wanita Dalam Ekonomi Keluarga”. Jurnal of


Development and Social Change, Vol. 3. No 1, Halaman 12.

Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

LV Ratna, Devi S. 2008. Pedagang Tekstil Pasar Klewer. Karanganyar : Lindu


Pustaka. Halaman 23-27.

Marya, Mustapa. 2019. “Relasi Gender Pada Pasutri Dalam Peran Menafkahi
Kebutuhan Rumah Tangga”. Skripsi. Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial
Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.

Musdah, Siti, M. 2014. Kemulian Derempuan Dalam Islam. Jakarta:Megawati


Institute.

Narwoko, J. Dwi, dan Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi : Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Prenada Media.

Nugroho, R. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaanya Di


Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 3-238.

Parsons, T. dan R.F Bales, 1976, Family: socialization and Interaction


Process.London: Routledge.

Prasetyowati. 2010. “Pola Relasi Gender Pada Dalam Keluarga Buruh Perempuan
(studi kasus: Buruh Perempuan Pabrik Sritex di Desa sukoharjo,
Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo).” Skripsi. Jurusan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Puspitawati, H. 2012. GENDER DAN KELUARGA:KONSEP DAN REALITA


DI INDONESIA. Bogor: IPB Press. Halaman 199-256.

R, Megawangi. 1996. Membiarkan Bebeda? : Sudut Pandang Baru tentang


Relasi gender. Bandung: Mizan. Halaman 66.

21
Utaminingsih, A. 2017. Gender dan Wanita Karir. Malang: UB press.

William, Outhwaite,. 2008. Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern Jilid ke-2.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

22

Anda mungkin juga menyukai