Anda di halaman 1dari 18

PEREMPUAN PUBLIK DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA PERSPEKTIF

MAQASHID AS-SYARI’AH DAN ILMU HUKUM KELUARGA

Oleh :
R. ACH. SUPANDI
IMAM THOBRONI

MA’HAD ALY NURUL JADID


TAKHOSSUS FIQIH WA USHULUHU

2023
ABSTRAK

Fenomena dewasa ini, banyaknya perempuan yang sudah berstatus istri yang telah
berumah tangga tidak hanya memenuhi kewajibannya dalam urusan rumah tangga saja seperti
kasur, dapur. Tapi mereka masih banyak memilih untuk berperan aktif di ruang publik untuk
mendapatkan penghasilan. Secara moralitas lelakilah yang seharusnya aktif dalam dunia
pekerjaan dan wanita bertugas mengurus rumah tangga. Namun fakta yang terjadi saat ini wanita
juga aktif dalam mencari pekerjaan disebabkan rendahnya pendapatan suami dan meningktnya
standar kebutuhan hidup.
Permasalahan-permasalahan yang dikaji dalam kajian ini beserta tujuannya adalah untuk
mengetahui serta mendeskripsikan pandangan maqashid as-Syari’ah terhadap perempuan publik
dalam kehidupan rumah tangga, mendeskripsikan tinjauan ilmu hukum keluarga terhadap
perempuan publik dalam kehidupan rumah tangga, Untuk mengetahui faktor yang dapat
mempengaruhi perempuan berkiprah di ranah publik dalam kehidupan rumah tangga.

Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka (librari researc), teknik pengumpulan
data pada penelitian ini adalah dengan cara telaah dokumen dan mengumpulkan data-data yang
berkaitan dengan judul, teknik analisis data pada kajian ini adalah diskriptif..

Berdasarkan dari hasil kajian, bahwa perempuan publik dalam kehidupan rumah tangga
dalam pandangan maqashid as-Syari’ah diperbolehkan karena istri yang melakukan peran aktif
di ranah publik tersebut rmengandung maslahah yang baik. Dan selama ia bekerja tidak
mengesampingkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, untuk menyikapi perempuan publik
dalam pandangan ilmu hukum keluarga adalah Islam tidak melarang perempuan berkarir, asalkan
tetap menjaga hukum, memelihara diri dan kehormatannya sebagaimana Islam telah menjaganya.
Mereka boleh melakukan aktivitas ekonomi asalkan tugas utamanya tidak terlantar, Faktor yang
menyebabkan perempuan publik dalam rumah tangga bekerja diantaranya yaitu: Adanya desakan
ekonomi dan keinginan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, Penghasilan suami yang
dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari, Jumlah tanggungan keluarga,
Adanya pengaruh lingkungan, teman dan dorongan dari kelurga dan suami.

Kata Kunci: Perempuan Publik, Maqashid as-Syariah dan Ilmu Hukum keluarga
A. Latar Belakang

Perempuan menjadi salah satu faktor penting dalam peradaban dan bagian dari sebuah

masyarakat yang tak terpisahkan. Tanpa adanya perempuan mustahil sebuah masyarakat akan

terbentuk dengan sempurna. Sebagaimana ada hak dan tanggung jawab atau kewajiban

manusia dalam menjalani hidup maka perempuan juga memilikinya.

Kendati demikian, di zaman modern ini, kemajuan suatu bangsa ditentukan bagaimana

sikap bangsa terhadap perempuan di ranah publik. Sebagaimana para aktivis yang banyak

menyuarakan dengan lantang tentang signifikansi peran perempuan dari berbagai arah. Hal ini

tidak luput dari dukungan dan tuntutan bangsa-bangsa atas nama masyarakat global. Namun,

peran yang dilakukan oleh perempuan zaman dulu dan sekarang tidak lagi sama. Hal inilah

yang dapat menuntut kesadaran manusia bahwa apa yang mereka butuhkan ini adalah apa

yang dipilih dan dikerjakan. Dan peran perempuan terus mengalami dinamika setiap

periodenya.

Keberadaan perempuan dari masa ke masa tidak bisa di pandang sebelah mata. Sebab

ada beberapa sifat perempuan yang dapat membantu terhadap kinerja dalam sebuah pekerjaan

tertentu. Seperti lemah lembut, ulet,mengayomi, dan banyak lagi. Tak heran,banyak

perempuan memegang peran strategis di sebagian besar perusahaan-perusahaan besar di suatu

negara. Bahkan diberikan mandat untuk memegang jabatan tertinggi di kursi pemerintahan.

Dan banyak lagi kaum perempuan yang mendapat kesempatan bekerja sama memecahkan

masalah dalam suatu wadah tertentu, seperti dalam lingkup organisasi masyarakat (ormas),
partai politik, dan banyak lagi. Soal posisi perempuan, Rasulullah melukiskan bahwa, mereka

ِّ ُ‫شقَائِّق‬
ialah mitra laki-laki (‫االر َجال‬ َ ِّ‫)اَالن‬
َ ‫سا ُء‬ 1

Meskipun demikian, kehadiran perempuan di panggung publik kerap menimbulkan

konflik diinternal keluarga. Sebagai perempuan yang telah berstatus isteri, tugas dalam rumah

tangga tidak bisa dinomer duakan. Agama pun mengatur demikian. Kehadiran sosok ibu yang

bisa menjadi Madrasatul Ula bagi anak-anaknya sangat diharapkan. Tak jarang banyak suami

yang kurang pasrah melihat isterinya terlalu aktif di luar lingkungan keluarga, baik secara

langsung maupun melalui media yang kerap membuat para ibu-ibu zaman now menyibukkan

dirinya di depan gadget, bahkan mengumbar pribadinya. Hal inilah yang menjadi

problematika perempuan masa kini.

Di lingkungan saat ini fenomena wanita bekerja sudah sangat tidak asing lagi di

dengar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi wanita bekerja diantaranya yakni dari segi

perekonomian yang tujuannya hanya untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya.2 Dan salah satu faktor dominan yang mendorong maraknya perempuan untuk ikut

berkiprah/karier di ranah publik adalah ketidakmampuan kepala keluarga atau suami dalam

memberi nafkah kepada isteri dan anaknya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perceraian

disebabkan faktor ekonomi. Secara moralitas lelakilah yang seharusnya aktif dalam dunia

pekerjaan dan wanita bertugas mengurus rumah tangga. Namun fakta yang terjadi saat ini

wanita juga aktif dalam mencari pekerjaan disebabkan rendahnya pendapatan suami dan

meningktnya standar kebutuhan hidup. Dari beberapa benyaknya pekerjaan yang di geluti para

wanita ini seperti dalam bidang perindustrian dan ART tidak banyak mengeluarkan modal dan

1
K.H. Afifuddin Muhajir, Fiqih Tata Negara, (Yogyakarta: IRCiSoD 2017), hlm. 47.
2
Wantini dan Kurniati, Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi wanita bekerja, (STIA Alma Ata:
2013), Vol III No.1, hlm. 64.
hanya mengandalkan sekill dasar keseharian para wanita ni. Profesi lainya seperti pegawai

kantor, guru, pejabat dll merupakan modal, skill dan kecerdasan.3

Banyaknya perempuan yang berkarier seperti sekarang ini selain membawa nilai-nilai

positif dalam keluarga dengan bertambahnya penghasilan, meningkatnya sumber daya

manusia, dan meningkatnya rasa percaya diri, juga dapat menimbulkan masalah dan nilai-nilai

negatif, seperti berkurangnya perhatian terhadap pasangan maupun anak-anak akibat kedua

orang tuanya disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, pergaulan bebas terjadi pada anak-

anak karena berkurangnya pengawasan orang tua, serta timbulnya fenomena baru yang

dinamakan harta gono gini saat terjadi perceraian.

Dalam dunia Islam, hal seperti ini keluar dari adat kebiasaan yang lebih menganjurkan

agar seorang istri fokus mengurusi segala aktivitas yang ada di dalam rumah tangga, dan

suami dibebankan kewajiban sepenuhnya untuk mencari nafkah. Nafkah dalam perspektif

fikih klasik diwajibkan karena tiga sebab, yaitu adanya ikatan perkawinan, nasab, dan

kepemilikan.4 Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan nafkah dijelaskan

cukup detail meliputi kewajiban suami menafkahi istri, macam-macam nafkah, pembebasan

suami dari nafkah oleh isteri, dan gugurnya hak nafkah isteri.

Wanita karir dalam kaca mata agama Islam dibolehkan bekerja selama tidak

menyampingkan kewajibannya dalam berkeluarga dengan maksud wanita tidak boleh

menghalalkan segala cara dengan alasan apapun untuk bekerja. Wanita tetap harus memenuhi

3
Tri Kuntari Devira, Peranan Tenaga Kerja Wanita Sebagai Buruh Di Industri Kacang Intip terhadap
pendapatan rumah tangga di Kecamatan Rambutan Kota Tebing Tinggi, (Journal On Social Economics Vol.3,
No.2), H.3.
4
Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni Ila Ma’rifati Alfadzi al-Minhaj, Juz V (Maktabah Syamilah
versi 3.48), hlm. 151.
kewajiban yang dibebankan kepadanya karena itu wanita wajib memprioritaskan urusan

keluarga dahulu daripada bekerja, dikarenakan hukum wanita bekerja adalah mubah.

Allah SWT., berfiman dalam surah an-Nisa ayat 32 : Artinya: “Dan janganlah kamu
iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebaagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu”.5
Dalam al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa Allah SWT., menciptakan makhluk

berdasarkan perbedaan. Salah satu perbedaan manusia diciptakan ada yang laki-laki dan

sebagainya wanita titik diberi kewajiban dan hak dengan porsinya masing-masing. Maka dari

itu wanita juga berhak atas harta yang didapat, mahar, atau gaji yang diperolehnya. 6 Di atas

dapat menunjukkan bahwa wanita mampu juga terjun dalam dunia bekerja.

Oleh karena fenomena dewasa ini banyak perempuan yang memilih berkiprah diranah

publik, penulis terdorong untuk melakukan penelitian tentang peran perempuan dengan

menggunakan pendekatan maqashid as-Syari’ah dan ilmu hukum keluarga. Penelitian dalam

skripsi ini, penulis mengangkat judul “Perempuan Publik dalam Rumah Tangga

Perspektif Maqashid as-Syari’ah dan Ilmu Hukum Keluarga” diharapkan bisa

mengetahui dan lebih menghargai perempuan yang ikut terjun untuk membantu perekonomian

keluarga.

Hasil dari kajian yang dilakukan adalah, dalam mengambil hukum dari suatu nash,

penulis melandaskan dengan pendekatan maqashid as-Syari’ah yang dikenal sebagai salah

satu perangkat dalam melakukan istinbat hukum. Sementara, maqashid as-Syari’ah ketika

5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Dana Karya 2002), 108. A. Fauzi
Nurdin, Wanita Dalam Islam dan Transformasi Sosial Keagamaan (Jakarta: Gramedia 2009), hlm. 31.
6
A. Fauzi Nurdin, Wanita Dalam Islam dan Transformasi Sosial Keagamaan (Jakarta: Gramedia 2009),
hlm. 31.
ditarik pada aturan ilmu hukum keluarga yang berlaku di Indonesia yang dalam hal ini adalah

Kompilasi Hukum Islam, hasil yang didapat adalah bahwa kewajiban suami adalah wajib

untuk memberikan mahar, nafkah, dan pendidikan bagi keluarga yang ia tanggung, meskipun

istri tersebut menjadi perempuan publik dan berkarir. Sementara seorang istri wajib taat pada

suami, mengatur rumah tangga dan lain sebagainya. Hal ini ada kesesuaian dengan Kompilasi

Hukum Islam yakni pada Pasal 80 dan Pasal 83.

A. Perempuan Publik dalam Pandangan Maqashid as-Syari’ah


Segala tindak perbuatan manusia yang menyebabkan berwujud dan terpeliharanya

lima prinsp maqashid as-Syari’ah dinyatakan perbuatan itu adalah bermanfaat. Segala bentuk

tindakan manusia yang menyebabkan tidak terwujudnya atau rusaknya salah satu prinsip

yang lima yang merupakan tujuan Allah SWT. perbuatan itu termasuk mudharat atau

merusak. Segala usaha dapat menghindarkan atau dapat menyelamatkan atau menjaga

mudharat atau kerusakan itu, disebut usaha yang baik atau maslahah. Itulah sebabnya secara

sederhana maslahat itu diartikan dengan mendatangkan manfaat dan menghindarkan

mudharat.7

Seiring dengan kemajuan zaman maka juga meningkatnya populasi dalam masyarakat

membuat juga meningkat dalam pemenuhan kebutuhan hidup baik kebutuhan primer,

skunder, dan tersier. Pemenuhan tersebut harus sesuai dengan porsinya masing-masing

karena tidak semua kebutuhan harus terpenuhi. Karena dibalik untuk memperoleh kebutuhan

manusia membutuhkan pengorbanan. Mereka dituntut untuk bekerja agar dapat memenuhi

dan menjamin kesejahteraan keluarganya. Oleh karena itu manusia harus bekerja agar

7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2,…hlm. 238.
memperoleh feedback atau penghasilan finansial untuk menjadi alat tukar dalam pemenuhan

kebutuhan hidup.

Dimasa ini partisipasi bekerja tidak memandang golongan ataupun gender demi

kelangsungan pembangunan. Tidak terkecuali para perempuan yang menjadi TKW yang

bekerja diluar Negeri saat ini juga sudah diakui dikalangan masyarakat. Tujuan para

perempuan bekerja ini tidak lain adalah dengan adanya harapan untuk peningkatan

perekonomian keluarga serta mendapatkan kebahagiaan, asumsi masyarakat menyatakan

bahwa kebahagiaan adalah salah satu tanda kecukupan perekonomian keluarganya.

Terpenuhinya ekonomi dalam keluarga dengan cara aktivitas bekerja yang dapat

dilakukan oleh suami, istri ataupun kerabat yang tinggal dalam rumah tersebut. Dalam al-

Qur’an upaya-upaya tersebut telah disebutkan sebagai penghargaan atas perjuangan dalam

mempertahankan kelangsungan hidup atau amanah yang harus dijaga. Dalam Islam,

perempuan memang tidak dilarang untuk bekerja, hanya saja dianjurkan untuk keadaan yang

darurat. Ketika keadaan darurat ini perempuan dibutuhkan tenaganya untuk membiayai

kebutuhan hidup keluarga. Ketika suami tidak mampu memenuhi nafkah keluarganya, berarti

yang berperan penting dalam keluarga yakni seorang perempuan atau istri dalam urusan hal

perekonomian.

Dalam maqashid as-Syari’ah ada kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi dalam

perekonomian. Dalam maqashid as-Syari’ah ada kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi

dalam perekonomian, yaitu:

1. Memelihara jiwa yakni seperti kebutuhan makan, minum, berpakaian, dan tempat

tinggal.

2. Memelihara agama seperti zakat, nifaq dan pengeluaran untuk budaya.


3. Memelihara akal, mencari ilmu agar tidak bodoh serta dibutuhkannya sekolah sebagai

tempat belajar.

4. Memelihara kehormatan, yakni untuk anggaran pernikahan anak-anak.

5. Memlihara harta, seperti halnya membuat tabungan untuk masa tua, atau sebagaian

dari harta yang dimiliki untuk di tabung.

Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan seperti itu keterlibatan perempuan juga

dibutuhkan untuk peningkatan pendapatan keluarga, menurut konsep ini para perempuan

lebih mengutamakan untuk membantu kebutuhan primer. Sebab perekonomian rumah tangga

seorang muslim mempunyai prinsip untuk mendahulukan kebutuhan primer dibanding

lainnya. Dalam hal ini para perempuan dominan untuk menjadikan pengaturan pengeluaran

keluarganya dengan cara tidak untuk berfoya-foya, berlebihan, dan boros supaya dapat

mengalokasikan penghasilan merekam untuk zakat, infaq dan sedekah.

Perempuan dalam Islam diperbolehkannya bekerja selama tidak mengesampingkan

tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat

32:

Artinya: “dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui segala sesuatu”
Ayat diatas menjelaskan bahwa pembagian hasil dan usaha antara kaum laki-laki dan

perempuan sudah mempunyai porsi masing-masing. Al-Qur’an menegaskan bahwa laki-laki

dan perempuan sama dalam memperoleh hak bekerja yang layak, sehingga mereka juga

mendapatkan upah atau gaji sesuai pekerjaan mereka. Al-Qur’an juga menjadi rujukan

prinsip dasar umat Islam yang menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan
sudah sangat adil. Dimana satu sama lain tidak memiliki keunggulan sehingga status dalam

kedudukannya adalah sama. Dengan kata lain suami istri mempunyai hak dan kewajiban

masing-masing.

Peran perempuan bekerja ini memiliki sisi positif dan negative, dimana jika muncul

sisi positif maka akan juga diiringi sisi negative. perempuan bekerja diluar rumah harus

mengetahui problematika tentang kemudharatan dan kemaslahatan dalam bekerja. Jika

bekerjanya mereka ini lebih memunculkan kemanfaatan yang positif maka diperbolehkannya

untuk bekerja diluar rumah. Tetapi sebaliknya jika perempuan ini bekerja dan lebih banyak

dalam sisi negative sebaliknya mereka untuk tinggal di rumah.

B. Perempuan Publik dalam Pandangan Hukum Keluarga Islam

Secara umum dapat disimpulkan bahwa setiap masyarakat memiliki norma dan setiap

warga ingin hidup normal dengan mengikuti norma tersebut. Ada empat jenis norma yang

mengatur hidup dan kehidupan manusia; norma adat atau tradisi, norma agama, norma

hukum, dan norma susila.8 Teoritis feminis mengemukakan bahwa hukum disadari atau tidak

biasanya absen dari wilayah domestik dan akibatnya perempuan yang lebih banyak berkiprah

di wilayah ini dibiarkan tanpa perlindungan menghadapi dominasi pria. Dalam banyak situasi

perempuan disingkirkan atau dikucilkan dengan alasan bahwa ia merupakan persoalan

pribadi atau wilayah rumah tangga dimana hukum sebaiknya tidak turut campur.

Satu sisi perempuan berada pada posisi lemah dan sisi lain dominasi pria malah

semakin diperkuat. Contohnya dalam hukum perikatan tidak ada kesepakatan dapat

dijalankan kecuali memenuhi persyaratan tertentu. Di banyak sistem hukum ini termasuk izin

8
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Yurisprudensi Emansifatif, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2003), Cet. Ke 1,
hlm. 37.
suami bagi perempuan menikah, tetapi biasanya tidak diperlukan izin istri bagi pria yang

berumah tangga. Pemisahan wilayah publik dan domain privat-domestik memang sering

menyudutkan kaum perempuan.9

Siapa di antara perempuan muslimah yang menginginkan kedudukan terhormat,

mulia disisi Allah serta tidak diganggu oleh laki-laki, maka tanamkanlah ketaqwaan,

keimanan, mendekatlah diri kepada Allah dengan menjalankan apa yang diperintahkan dan

pakailah pakaian yang menutupi aurat ketika berada di luar rumah, Insya Allah kehormatan

akan terjaga serta dijauhkan dari gangguan laki-laki.10

Masalah yang dihadapi perempuan, makin banyak dan sulit, rumit, kompleks, karena

perempuan harus berada di mana-mana, di pabrik, di kantor, di organisasi sosial bahkan di

posisi penting pemerintahan, sementara letak dasar perempuan paripurna harus tetap di dalam

rumah, di samping suami, di jangkauan anak-anak tercinta, di lingkungan keluarga, di ajang

pergaulan sesama manusia. Justru di situ letak masalah, lantaran perempuan makin

cenderung lalai pada fitrahnya.

Secara umum dapat diketahui bahwa perempuan salehah adalah perempuan yang

selalu menunaikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Karena dengan taat kepada

Allah dengan sendirinya akan taat kepada Rasul sehingga ia akan punya tanggungjawab

moral dan peran besar terhadap kehidupan masyarakat dan mengetahui tanggung jawab hari

ini dan hari sesudah kematian. Sehingga ia menyempatkan diri untuk melengkapi dirinya

9
Ibid, hlm.43.
10
Baidowi Syamsuri, Wanita Dan Jilbab, (Surabaya: Anugrah, 1993), Cet. Pertama, hlm. 182
dengan ilmu dan iman, khususnya ilmu yang akan menjunjung harkat dan martbatnya dalam

pandangan manusia dan Tuhan.11

Dari zaman dulu tugas alamiah perempuan memang menjaga rumah tempat tinggal

keluarganya, mengurus anggotanya, tidak meninggalkan rumah. Kemudian semakin

bertambah umur bumi ini keadaan alamiah terusik dengan hasil pola pikiran yang disebut

budaya. Dalam perjalanan sejarah, disintegrasi biasanya terjadi karena perempuan mulai

meninggalkan rumah. Pada abad ke 5 M, Yunani bangsa yang paling tinggi budayanya,

waktu itu wanitanya tinggal di rumah, akan tetapi zaman sesudah Alexander, kota tersebut

mulai mengalami keruntuhan, disitulah mulai terjadi feminist movement seperti emansipasi

di masa kini.

Di sinilah mulai timbul dampak dari perempuan karir, dampak itu bukan saja

menimpa perempuan sendiri tetapi juga keluarganya. Namun jika ditanya kepada perempuan

masa kini, agaknya hampir tak mungkin mendapatkan jawaban dari mereka yang menyatakan

ingin tidak keluar rumah. Karena itu, untuk meluruskan pandangan tersebut, harus dengan

ketegasan dan didukung oleh dalil naqli dari al-Qur'an maupun hadits Rasulullah SAW.

Secara ekonomis, Islam tidak mengharuskan perempuan berpartisipasi dan

menanggung beban seperti dalam perdagangan, jabatan fungsional dan sebagainya. Tugas

perempuan adalah mengelola rumah, membentuk dan mendidik anak menjadi pribadi yang

benar. Kalimat tidak mengharuskan bukan berarti melarang wanita bekerja. Mereka boleh

melakukan aktivitas ekonomi asalkan tugas utama tidak terlantar. Istri Rasulullah, Khodijah

11
Abu Rifqi al-Hanif, dan Lubis Salam, Analisa cirri-ciri Wanita Muslimah, (Surabaya: Terbit Terang,
t.th.), hlm. 7.
ra. adalah pengusaha yang berhasil, tetapi beliau wanita yang terhormat, berakhlak tinggi,

hijab tetap ditegakkan dalam segala aktivitasnya.

Dengan demikian Islam tidak melarang perempuan berkarir, tetapi mengharuskan

perempuan mengurus rumah dan keluarganya. Sebaliknya Islam mengharuskan pria bekerja

dan menganjurkan pria membantu istrinya mengurus rumah tangga sebagaimana dicontohkan

Rasulullah. perempuan diperbolehkan bekerja membantu penghasilan suaminya, asalkan

tetap menjaga hukum, memelihara diri dan kehormatannya sebagaimana Islam telah

menjaganya. Sebenarnya perempuan muslimah bisa berperan pada aktivitas sosial, seperti

mengurus yayasan yatim piatu, syi’ar Islam di kalangan kaum perempuan juga bisa bergerak

di bidang perluasan ilmu pengetahuan, melalui kelompok pengkajian, pendidikan bagi anak-

anak, penelitian tentang gizi, menjadi suster di rumah sakit Islam untuk mengurus pasien

putri, menjabat direktur atau sekretaris yang mengelola madrasah-madrasah putri.

Dari semula perempuan sudah mempunyai lingkup kegiatannya sendiri yang kini

dapat dikembangkan dalam skala besar, seperti sektor jasa boga, industri rumah tangga,

industri obat-obatan. Bila kaum pria adalah proaktif dari pekerja sektor industri, kaum

perempuan adalah proaktip dari pekerja dalam bidang jasa informatika dan masih banyak lagi

pekerjaan yang sesuai dengan kodrat penciptaannya.

Syari'at Islam tidak melarang wanita bekerja selama adab syar’i tetap dijaga, tidak

terjadi ikhtilath antara pria dan perempuan sehingga secara minim tidak produktif.12 Perlu

dikatahui bahwa busana muslimat awal satu langkah untuk membentuk pribadi yang luhur

12
Muhammad Amman ibn Ali Al Jami' (1984) “Pelita Rumah Tangga Islam” (Wanita Karir), hlm. 15.
untuk kesempurnaan ibadah dan akhlak.13 Dalam agama Islam ada beberapa tata krama

seorang wanita yang memiliki aktivitas di luar rumah, diantaranya:

1. Tidak keluar rumah kecuali seizin suaminya, hendaknya ia keluar dengan tidak

bershias mencari jalan yang sepi dan tidak ditempat ramai, menjaga suaranya agar

tidak mengundang nafsu laki-laki.

2. Menjaga kehormatan suaminya serta mendukung dan mendorong pekerjaan suaminya,

tidak berniat menghianti suami dan hartanya.

3. Senantiasa memperbaiki dirinya dan mengatur rumah tangganya dengan baik, tidak

melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah dan sebagai seorang istri.

4. Senantiasa merasa cukup dengan pemberian suaminya dari rezki yang diberikan Allah.

5. Hendaknya ia mendahulukan hak suami dibandingkan hak dirinya dan sahabatnya.

6. Tidak mengungkit-ungkit kesalahan suami.

7. Istri tidak membangga-banggakan kecantikannya dan melecehkan keburukan

suaminya.14

Selanjutnya Islam melihat hukum wanita karir adalah mubah, selama ia masih

menjaga kodratnya sebagai wanita, sebagai ibu dan sebagai istri dan apa yang diperolehnya

merupakan suatu ibadah sedekah terhadap rumah tangganya. Namun hukum tersebut bisa

berubah menjadi haram, bila para perempuan melalaikan tugasnya dan bekerja tanpa izin

suaminya.

C. Faktor Pendorong Perempuan Publik Bekerja

13
Dan bukan berarti bahwa orang yang memakai jilbab itu mesti baik akhlaknya da budi pekertinya, tetapi
dengan berbusana musimah (jilbab) adaah satu usaha untuk menuju kesempurnaan akhlak. Lihat Baidowi. Wanita
Dan Jilbab... hlm. 183.
14
Al-Gazali, Rahasia Dibalik Tirai Pernikahan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001) Cet. Ke 1, hlm. 164.
1. Faktor Ekonomi

Kerap kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami

istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Terlebih lagi pada saat

sekarang, di mana harga barang dan biaya hidup menjadi semakin tinggi, membuat sang

istri tidak punyak pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah, meskipun

“hati” nya tidak ingin bekerja.

Faktor ekonomi adalah faktor internal yang mempengaruhi kegiatan usaha

seseorang. Adapaun diantaranya faktor ekonomi dapat berupa keadaan ekonomi keluarga

berpengaruh besar dalam partisipasi wanita yang bekerja dengan tujuan membawa

perekonimian keluarga. Peningkatan ini biasanya terjadi karena pertama, adanya

perubahan pandangan dan sikap yang sama pentingnya pendidikan bagi kaum wanita dan

pria, maka dari itu banyaknya kesadaran perempuan dalam berpartisipasi dalam

pembangunan. Kedua, kemauan perempuan yang menjadi mandiri dalam pemenuhan

hidupnya dan ada tanggungan kebutuhan hidup keluarganya.

2. Adanya Jumlah Tanggungan Keluarga

Semakin banyak keluarga yang ada dalam rumah tangga maka semakin banyak

pula tangungan biaya hidupnya. Bekerja dan mengurus rumah tangga bergantung pula

dalam jumlah tanggungan keluarga yang berkaitan.

3. Usia

Makin bertambahnya usia seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat

pendapatan yang akan dicapainya. Semakin dewasa seseorang maka keterampilan dalam
bidang tertentu akan semakin menigkat, kekuatan fisik juga meningkat, kekuatan fisik

juga meningkat sehingga akan meningkatkan pendapatan yang diterimanya. Pekerja di

sektor informal yang mengandalkan kemampuan fisik akan semakin berpengaruh oleh

variabel umur. Hal ini usia mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang.

4. Unsur Pendidikan

Banyak di antara para perempuan bekerja bukan karena dorongan faktor ekonomi

semata, karena suami mereka berpenghasilan lebih dari cukup dan mempunyai pekerjaan

tetap, tetapi lebih karena didorong faktor keinginan mempraktekkan dan memanfaatkan

ilmu yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun di perguruan tinggi.15 Hal itu

disebabkan oleh struktur pola perempuan berubah sama cepatnya dengan perubahan dan

perkembangan ilmu dan tekhnologi. Baik bentuk penampilan maupun aktivitasnya.

Semangat emansipasi perempuan harus mendapat tempat yang seimbang ditengah hiruk

pikuknya peradaban indonesia dewasa ini. Dan kontribusi perempuan yang besar ini

merupakan konsekuensi logis hasil pendidikan. Dengan kata lain, banyaknya kaum hawa

yang banyak mengeyam pendidikan, kaum hawa menjadi lebih mampu dan lebih

menguasai berbagai bidang (lapangan pekerjaan) dan tidak sedikit diantara mereka yang

juga menekuninyasebagai sebuah profesi atau karir, sehingga pada akhirnya menjadikan

mereka mandiri dari segi ekonomi. 16

5. Keinginan Wanita dalam Bekerja

Adanya keinginan wanita dalam bekerja juga salah satu pendorong faktor ekonomi
15
Yaumil Agoes Achir, “Wanita dan Karya suatu Analisa Dari Segi Psikologi” dalam Emansipasi dan
Peran Ganda Wanita Indonesia, (jakarta: UI Press, 1985), hlm. 71.
16
Abdus Salam DZ “Perempuan dan Motif Ekonomi” dalam Jurnal Equalita, (Cirebon: PSW STAIN
Cirebon, 2001), Vol. 1, No. 1, hlm. 55.
dalam wanita bekerja. Keinginan wanita menjadi mandiri dalam dunia finansial tidak

tergantung kepada kepala keluarga maupun suami menjadikan mereka melakukan

pekerjaan yang memperoleh penghasilan yang nantinya akan digunakan untuk kebutuhan

kelurganya ataupun untuk diri sendiri.17

Adapaun faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi wanita dalam bekerja dalam

kehidupa rumah tangga diantaranya yaitu:

a) Adanya desakan ekonomi dan keinginan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.

b) Penghasilan suami yang dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari.

c) Jumlah tanggungan keluarga.

d) Adanya pengaruh lingkungan, teman dan dorongan dari kelurga dan suami.

e) Tempat kerja yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal

f) Adanya kesempatan kerja yang ditawarkan.18

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dalam bab-bab sebelumnya, maka hasil kajian tentang

”Perempuan Publik dalam Kehidupan Rumah Tangga Perspektif Maqashid As-Syari’ah

dan Ilmu Hukum Keluarga”. Dapat disimpulakan sebagaimana berikut:

Perempuan public yang berperan aktif di luar rumah dalam kaca mata maqashid as-Syari’ah

disini, masuk pada maslahah yang hajiyyat. Sementara pekerjaan yang dilakukan olehnya adalah

untuk memelihara jiwa seperti kebutuhan makan, minum, berpakaian dan tempat tinggal.

17
Fauzia, Aktivitas Wanita dalam Ekonomi dan Domestik, (Jurnal PWS Vol. 5 No. 25), 2012, hlm. 9.
18
Risnawati, “Peran Ganda Istri yang Bekerja dalam Membantu Ekonomi Keluarga Buruh Perkebunan
Kelapa Sawit Pada PT. Bumi Mas Agro di Kecamatan Sandaran Kabupaten KutaiTimur” eJournal Sosiatri Sosiologi
Vol. 4. No. 3 (2016), hlm.117.
Sehingga Perempuan publik dalam kehidupan rumah tangga dalam pandangan maqashid as-

Syari’ah diperbolehkan karena mengandung maslahah yang baik. Dan juga selama ia bekerja

tidak mengesampingkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.

Islam tidak melarang perempuan berkarir, tetapi mengharuskan perempuan mengurus rumah

dan keluarganya. Sebaliknya Islam mengharuskan pria bekerja dan menganjurkan pria

membantu istrinya mengurus rumah tangga sebagaimana dicontohkan Rasulullah. perempuan

diperbolehkan bekerja membantu penghasilan suaminya, asalkan tetap menjaga hukum,

memelihara diri dan kehormatannya sebagaimana Islam telah menjaganya. Mereka boleh

melakukan aktivitas ekonomi asalkan tugas utama tidak terlantar. Istri Rasulullah, Khodijah ra.

adalah pengusaha yang berhasil, tetapi beliau wanita yang terhormat, berakhlak tinggi, hijab

tetap ditegakkan dalam segala aktivitasnya

Faktor yang menyebabkan perempuan publik dalam rumah tangga bekerja diantaranya yaitu:

Adanya desakan ekonomi dan keinginan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga,

Penghasilan suami yang dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari,

Jumlah tanggungan keluarga, Adanya pengaruh lingkungan, teman dan dorongan dari kelurga

dan suami, dll.

Anda mungkin juga menyukai