Anda di halaman 1dari 9

Nama Anggota Kelompok :

1. Nanda Amilus Sholicha ( 190521100085 )


2. Risma Puspita Cahyani ( 190521100088 )
3. Nita Febriani Astari ( 190521100093 )
4. Khusnul Khotimah ( 190521100095 )
5. Tri Cahyani ( 190521100113 )
6. Fina Dewi Ambarwati ( 190521100114 )

Resume Budaya Patriarki

A. Definisi Budaya Patriarki

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok
otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap
perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan
pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan (Charles
E, Bressler, 2007). Pengertian lainnya mengemukakan patriarki adalah sistem sosial
hubungan gender yang di dalamnya terdapat ketidaksetaraan gender. Laki-laki
bermonopoli akan seluruh peran. (Manurun, dkk. 2002: 131). Relasi gender adalah relasi
sosial antara laki-laki dengan perempuan dan melekat dalam beragam institusi sosial dan
struktur sosial.

Konsep budaya patriarki menggabungkan konsep hubungan-hubungan gender, dan


kemudian berkembang menjadi 2 (dua) pandangan. Pertama, ketidakadilan atau
ketimpangan yang terjadi dalam relasi gender. Kedua, menarik perhatian kepada
keterhubungan antara beberapa aspek hubungan-hubungan gender yang berbeda yang
kemudian membentuk sistem sosial. Dalam konsep budaya patriarki mengungkap adanya
keterhubungan beragam aspek yang berbeda dalam ketidakadilan gender.

B. Alasan Mengapa Budaya Patriarki Masih Ada di Indonesia


Pada tanggal 28 dan 29 April lalu, beberapa daerah di Indonesia ramai diberitakan
mengadakan Women's March. Ada banyak sekali tuntutan yang dibawa oleh perempuan
Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesetaraan gender dalam hal berkarier. Hal ini
pun mengingatkan kita soal budaya patriarki yang masih mengakar di Indonesia. Lantas
bagaimana budaya patriarki masih tetap ada di Infonesia hingga saat ini. Beberapa alasan
yang menyebabkan atau memperkuat budaya patriarki masih ada di Indonesia. Berikut
ini adalah alasan masih adanya budaya patiarki yang ada di Indonesia :
1. Praktik pembagian kerja patriarkis yang sudah berlangsung sejak manusia
belum mengenal tulisan & masih berburu serta meramu
Sejak masa berburu dan meramu, praktik patriarkis sudah secara tidak
langsung terjadi. Di masa itulah, kaum laki-laki bekerja di luar huniannya.
Mereka berburu dan mencari makanan. Memasuki masa bercocok tanam, ada
alternatif pekerjaan baru yaitu menanam tumbuhan pangan. Sementara
perempuan berkarya di zona yang lebih 'kalem'. Mereka akan merawat anak,
memasak hasil buruan, atau mengumpulkan bahan makanan yang ada di
sekitarnya seperti buah-buahan.
Tampaknya, tradisi pembagian kerja ini masih dianggap sebagian orang
adil. Karenanya, ini terus berlangsung hingga kini. Namun yang membahayakan
adalah jika ada motivasi tersembunyi atau paksaan yang mengatasnamakan hal
ini. Padahal, dari sisi perempuan punya keinginan kuat untuk tetap berkarya dan
menciptakan prestasi.
2. Orangtua sudah secara tidak langsung meneruskan warisan ini. Mereka
bilang, cewek itu tidak boleh jorok dan sebagainya
"Anak perempuan tidak boleh bangun siang", "Anak gadis tidak boleh
jorok", "Cewek kok gendut banget?" adalah sekian hal yang selalu saya
dengarkan dari orangtua. Semua lantaran saya adalah anak perempuan. Oke,
memang idealnya semua orang jangan sampai bangun siang dan melewatkan
rezekinya, jangan jorok, dan jangan tidak menyayangi tubuhnya.
Tapi dengan konteks yang sedemikian rupa, bukankah seakan-akan hanya
cowok yang wajar bangun siang, jorok, dan bertubuh gemuk? Bagaimana kalau
cewek bangun siang karena ia berjuang mati-matian demi masa depannya sendiri
dan keluarga? Bagaimana kalau ia jorok dan gemuk tapi prestasinya tinggi?
Akankah orang melihat sisi positifnya ketimbang buruknya saja? 
3. Iklan kapitalisme juga ikut-ikutan melanggengkan patriarki. lihat saja
bagaimana prempuan digambarkan dalam beberapa pariwara.
Melihat iklan parfum, busana, atau kosmetik yang beredar, seakan-akan
cewek digambarkan bak sosok yang hanya memikirkan penampilannya saja.
Dengan demikian, mereka menaklukkan cowok yang selama ini didambakan.
Sampai di sini, cewek juga dianggap sekadar memikirkan cinta dan memperbaiki
diri demi menggaet pacar.
Kalau saja bukan hal itu yang digambarkan, bisa dipastikan representasi
produk pun kurang menarik. Penjualan pun tak bakal naik bukan? Perempuan pun
terpaksa menerima kenyataan tersebut lantaran dibombardir ribuan iklan bernada
sama dan dikemas dalam visual menarik.
4. Mereka yang menjunjung patriarki, tak sedikit yang mengatasnamakan
aturan adat dan agama. Meski ujungnya, hal ini bisa disalahgunakan.
Sebagian daerah di Indonesia memang masih memegang kuat aturan adat
yang menjadikan posisi laki-laki lebih tinggi. Pun ada pandangan dalam agama
yang memposisikan pria sebagai pemimpin, sehingga wanita tak patut
berpendapat.
Hal ini sebenarnya tidak ada masalahnya kalau perempuan masih berhak
maju dan mewujudkan pengembangan kepribadiannya. Tapi sekali lagi, tidak
semua orang bijak memandang aturan ini. Malah, ada yang menggunakannya
untuk memuluskan semua kepentingan pribadi.
5. Pertanyaan klasik "Kapan nikah?", disadari atau tidak, patriarkisme juga
masih dijunjung masyarakat.
Kamu pasti tidak asing lagi dengan hal ini. Dari sisi laki-laki, ada
anggapan "Cowok menghadapi hal kayak gitu aja kok cemen," atau "Cowok itu
harus kuat dan gak boleh nangis!". Sementara cewek mendapat predikat "manja"
dan "tidak berdaya" yang selalu melekat. Padahal, kini tak sedikit cewek yang
bisa melawan stigma itu. Banyak kok yang kuat dan suka kerja keras.
Sebenarnya, hal ini bisa diubah kalau masing-masing cowok dan cewek
tidak diperlakukan dengan cap-cap tertentu. Kesetaaran bisa didapat kalau
masing-masing tidak dianggap harus ini dan itu di luar kemampuan mereka.
Dengan begitu pun, tidak ada semacam "balas dendam" dari cowok ke cewek
maupun cewek ke cowok untuk menjadi apa yang diharapkan masyarakat

C. Budaya Patriarki Mengakibatkan Tidak Terwujudnya Kesetaraan Gender di


Indonesia.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang
Puspayoga mengatakan kesetaraan gender belum berdiri tegak di Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan kemampuan dan potensi perempuan Indonesia yang masih tertutup
akibat masih kuatnya budaya patriarki di Indonesia, sehingga perempuan pun dianggap
menjadi kelompok rentan.
"Perempuan dikategorikan sebagai kelompok rentan bukan karena dirinya
lemah, tetapi lebih kepada mengakarnya budaya patriarki yang mau posisikan peran
utama perempuan ada di ranah domestik (urusan dapur dan anak). Sehingga perempuan
tidak mampu untuk mengambil peran aktif di ranah publik," kata Menteri Bintang dalam
acara Puncak Peringatan Hari Ibu ke-92, Selasa (22/12).
Budaya Patriarki merupakan sebuah sistem yang selalu menempatkan lelaki
sebagai pemegang kuasa utama dan mendominasi di semua aspek kehidupan, termasuk
dalam hal politik dan sosial. Kondisi tersebut, lanjutnya, membuat perempuan tidak
dapat bergerak bebas dan sulit mengambil peran aktif di ranah publik bahkan
membelenggu potensi mereka hingga saat ini. Padahal, jika dilihat dari jumlah
populasinya, perempuan hampir setengah dari penduduk Indonesia yaitu jumlahnya
mencapai 49,8% dan laki-laki berjumlah 50,2%.
Dengan angka tersebut, Bintang berpendapat perempuan harusnya mendapat
kesempatan yang sama, menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan merupakan sumber
kekuatan dan dapat berperan dalam pembangunan bangsa.
"Perempuan memiliki kualitas yang berharga dengan kelembutannya dan
mampu menggerakkan hati banyak orang untuk bersama-sama mencapai perubahan,"
ungkapnya. Dalam Perayaan Hari Ibu tahun 2020.

Menteri Bintang menegaskan untuk tidak boleh ada ruang bagi diskriminasi pada
perempuan dalam bentuk apapun di Indonesia. menurut Menteri Bintang Prayoga, Di
negara yang mengedepankan kesatuan ini, tidak ada ruang bagi diskriminasi dalam
bentuk apapun. Kata Bintang Puspayoga seperti dikutip dari siaran kegiatan di Youtube
Kemen PPPA. Bintang menambahkan, meski bangsa ini sudah lama lepas dari belenggu
penjajahan, masih ada keprihatinan perempuan masih terjajah berbagai persepsi dan
konstruksi sosial yang merugikan. Apalagi masih banyaknya budaya patriarki di
Indonesia ini akan sulit yang namanya kesetaraan gender di Indonesia. maka dari perlu
adanya sebuah solusi atau cara agar budaya patriarki tidak muncul lagi di Indonesia dan
akhirnya kesetaraan gender di Indonesia dapat terwujud.
D. Contoh dari Budaya Patriarki di Indonesia

1. Masyarakat Madura
a. Pernikahan Dini

Masyarakat Madura masih terkenal sebagai masyarakat yang kental terhadap


budaya dan adat istiadat. Salah satu budaya yang masih berlangsung sampai saat
ini bahkan menjadi hukum adat yang sudah dilegalkan yaitu pernikahan dini.
Seperti Dalam budaya pernikahan dini bagi warga pesisir terdapat beberapa proses
yaitu perjodohan anak dari sejak kecil, dan manipulasi usia menikah. Posisi
perempuan dalam pernikahan dini adalah sebagai orang yang dipilih, ditunjuk dan
dinikahi, tanpa memiliki hak untuk menolak maupun mempertimbangkan. karena
anak perempuan memiliki kewajiban mengabdikan diri kepada orang tua mereka
mematuhi keputusan orang tua juga berarti juga menjalankan anjuran Agama. Hak
anak perempuan sejak lahir sudah diarahkan oleh para orang tua bahkan dalam
dunia pendidikan pun seorang anak perempuan dianggap tidak penting, sehingga
para perempuan merasa tidak memiliki hak kebebasan apapun untuk menjadi
wanita karier dan hanya mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga.

b. Lelaki memiliki hak untuk poligami

Dalam masyarakat Madura laki-laki memiliki hak untuk melakukan praktik


poligami hal ini terjadi karena berbagai faktor seperti mampu dalam hal financial
maupun karena alasan tidak bisa menahan birahi. Hal ini sudah  menjadi hal yang
biasa dan tidak menjadi hal yang tabu lagi karena sudah menjadi budaya. berbeda
dengan seorang wanita yang harus setia dan rela diduakan oleh suaminya tanpa
bisa melarang sang suami untuk melakukan poligami.

2. Masyarakat Batak Toba

a. Pandangan Gender dalam budaya suku Batak Toba

Didasari atas garis keturunan patriarkal. Pada Masyarakat Batak Toba sangat
menjunjung tinggi tradisi patriarkal dengan menempatkan posisi perempuan sangat
dihargai apabila mampu melahirkan seorang anak laki-laki dan dianggap rendah
apabila tidak melahirkan anak laki-laki. karena masyarakat batak toba menganggap
jika melahirkan anak perempuan tidak akan bisa mengabadikan marga.

b. Pandangan Gender dalam Budaya Suku Batak Toba.


Perempuan dalam suku Batak tiba dianggap memiliki martabat lebih rendah
daripada laki-laki dan seorang perempuan bukan merupakan individu yang
memiliki kebebasan yang memiliki hak seperti laki-laki. Laki-laki dalam suku
batak di tuntut untuk memiliki pendidikan yang tinggi hal ini terjadi laki-laki jika
memiliki pekerjaan yang mapan dapat menjadi sebuah kebanggan bagi keluarga
besarnya hal ini berbanding terbalik dengan wanita, wanita hanya memiliki
kewajiban untuk mengurus anak,suami dan keperluan rumah tangga.

E. Penyelesaian dari Budaya Patriarki


Budaya patriarki di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, dan akibat yang pasti
dan sudah turun temurun adalah budaya tersebut dianggap biasa dan bukan masalah,
sehingga terjadinya ketidaksetaraan gender yang terus terjadi sepanjang waktu. Maka
dari itu, untuk membebaskan masyarakat dari masalah budaya patriarki dan
ketidaksetaraan gender harus melalui beberapa program, seperti:
1. Pendidikan Gender untuk Perempuan
Perempuan sebetulnya punya andil dalam kehidupan sosial, namun
mereka tidak diberi kesempatan lebih untuk menunjukkan perannya. Terutama di
wilayah Papua, Madura, dan daerah lain dengan adat dan budaya patriarki yang
sangat mengekang kaum perempuan. Imbasnya, perempuan Papua sulit
menyampaikan aspirasi atau keinginan mereka. Lebih jauh mereka tidak
mempunyai kontrol atas hidup dan masa depannya.
Untuk itu, cara menghadapi tantangan adat dan budaya patriarki yang
sangat kuat adalah dengan pendidikan. Pendidikan gender bisa melalui apa saja.
Dalam dunia perkuliahan, terutama pada prodi sosiologi disana akan membahas
mengenai budaya patriarki dan ketidaksetaraan gender yang mana dari
pembahasan tersebut banyak perempuan yang sadar, dan bangkit melawan hal
yang sebenarnya tidak bisa dianggap wajar.
Selain melalui pendidikan pada perguruan tinggi juga dapat melalui seminar,
sosialisasi, dan penyuluhan di beberapa tempat, di sekolah maupun via online
yang mana semua masyarakat dapat mengikuti tanpa ada batasan umur. Sehingga,
dari sana kita dapat menyadarkan masyarakat bahwa hal yang sebenarnya salah
tidak dapat dinormalisasi hanya karena sudah terjadi urun temurun.
2. Pendidikan untuk Perempuan
Pernyataan “perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-
ujungnya tetep di dapur jadi ibu rumah tangga” sering kali kita dengar, bahkan
sudah tidak asing lagi. Padahal, pernyataan tersebut tidak dapat dinormalisasi.
Perempuan tetap memiliki hak untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, karena
sejatinya secara biologis kecerdasan anak diturunkan dari ibunya sendiri.
Perempuan yang berpendidikan akan mengetahui cara mendidik anak yang baik,
dan perempuan yang berpendidikan akan menjadi seseorang yang mandiri, yang
tidak akan mudah digoyahkan harga dirinya oleh individu yang ingin
menjatuhkannya, terutama dari kaum laki-laki.
3. Organisasi (Aliansi Laki-Laki Baru)
Aliansi Laki-laki Baru adalah organisasi yang berupaya mendorong peran
serta laki-laki untuk peduli terhadap isu perempuan. Aliansi mempromosikan
kesetaraan gender dan berusaha mengubah paradigma patriarki dalam
masyarakat. Salah satu isu perempuan yang kerap didorong dan dibicarakan
untuk dikawal adalah kekerasan seksual dan pentingnya pemahaman tentang isu
gender.
Aliansi ini bertujuan untuk mempromosikan dan memperjuangkan nilai-
nilai kesetaraan gender dan membangun paradigma baru tentang menjadi laki-
laki. Aliansi ini dibentuk pada awalnya karena melihat kenyataan bahwa banyak
perempuan korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang kembali pada
pasangannnya yang merupakan pelaku. Jika selama ini perempuan diberdayakan
tapi laki-laki tidak diedukasi, maka rantai kekerasan akan terus terjadi.
Kekerasan tersebut lahir dari kebanyakan laki-laki yang dibesarkan
dengan konstruksi patriarki, paham yang melihat bahwa perempuan adalah
subordinat dalam kehidupan manusia. Mulai dari kebijakan yang sangat
diskriminatif kepada perempuan hingga kekerasan dalam rumah tangga,
mayoritas pelakunya adalah laki-laki. Maka dari itu, organisasi ini mengajak laki-
laki wajib untuk ikut menjadi bagian dari solusi untuk mengakhiri persoalan
tersebut. Salah satu caranya adalah mengedukasi sesama laki-laki mengenai
persoalan ketidakadilan gender sehingga bisa ikut terlibat dalam kapasitasnya
untuk menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Aktifitas organisasi ini lebih menjorok kepada kampanye dan
pengembangan kapasitas bagi organisasi perempuan yang bekerja di isu pelibatan
laki-laki. Kampanye mengangkat berbagai tema terkait ketidakadilan gender
hingga maskulinitas. Sementara pengembangan kapasitas kami lakukan untuk
memberikan perspektif kepada organisasi atau komunitas yang ingin bekerja
melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Metode yang digunakan adalah metode reflektif, dengan cara
membesarkan dan membentuk nilai-nilai keadilan yang sama bagi semua gender
sehingga tidak memberikan ruang dan kesempatan akan terjadinya kekerasan
terhadap pihak manapun, mau dari perempuan maupun laki-laki.

SUMBER:

Israpil. (2017). Budaya Patriarki dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah dan
Perkembangannya). Jurnal Pusaka, Vol 5 No 2

https://blamakassar.e-journal.id/pusaka/article/view/176 (Diakses 25 Agustus 2021)

Dewi Indra Sulih, Munawa, Ellen Meizai Yasak. (2015). Budaya Pernikahan Dini Terhadap
Kesetaraan Gender Masyarakat Madura. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 4, No
3

https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fisip/article/view/123 (Diakses 25 Agustus 2021)

Idntimes. (2019). 5 Alasan Kenapa Budaya Patriarki Masih Ada di Indonesia. Diakses pada
25 Agustus 2021. https://www.idntimes.com/life/women/vita/alasan-budaya-
patriarki-masih-ada-di-indonesia

Media Indonesia. (2020). Kesetaraan Gender Tak Terwujud Akibat Budaya Patriarki. Diakses
pada 25 Agustus 2021.
https://m.mediaindonesia.com/humaniora/370939/kesetaraan-gender-tak-terwujud-
akibat-budaya-patriarki

Arena. (2019). Pendidikan Gender : Solusi Atas Budaya Patriarki Di Papua. Diakses 25
Agustus 2021. https://lpmarena.com/2019/11/07/pendidikan-gender-solusi-atas-budaya-
patriarki-di-papua/

Tirto.id. (2017). Kami Ingin Pria jadi Solusi Menghapus Relasi Patriarki. Diakses 25 Agustus
2021. https://tirto.id/kami-ingin-pria-jadi-solusi-menghapus-relasi-patriarki-ckkp

Anda mungkin juga menyukai