Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MERANGKUM

BAB 2 : ANALISIS SISTEM POLITIK : PENDEKATAN BUDAYA POLITIK

A. Pengantar
Timbulnya perhatian terhadapn budaya politik , karena adanya gejala gejala yang
terjadi , tanpa bantuan dari disiplin ilmu lainnya. Misalnya antropologi dan sosiologi
dianggap telah menemukan pola prilaku indiviu. Penelitian yang dilakukan oleh 2 peneliti
Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sidney Verba Hasil penelitin tersebut
dituangkan dibuku mereka “Budaya Politik”, yang merupakan hasil kajian antara tahun
1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar di 5 Negara : Amerika
Serikat, Inggris , Italia, Meksiko dan German Barat.

Abraham Maslow dalam Luthans (1995) dengan torinya yang dinamakan “a theory of
human motivation” menjelaskan 5 jenjang kebutuhan pokok manusia tersebut sebagai
berikut :
1. Kebutuhan Dasar / Fisiologis yaitu kebutuhan mempertahankan hidup : mencakuo
sandang, pangan dan papan, serta sex dan kebutuhan pegawai lainnya.
2. Kebutuhan rasa aman yaitu mencakup keselamatan dan perlindungan terhadap
kerugian fisik, perlakuan yang adil , jaminan hari tua.
3. Kebutuhan sosial yaitu tampak pada kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain,
rasa dimilik dan rasa persahabatan.
4. Kebutuhan akan Penghargaan yaitu mencakup faktor hormat external seperti misalnya
status, pengakuan , dan perhatin.
5. Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja yaitu mencakup pertumbuhan , mencapai
potensialnya dan pemenuhan diri.
Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar seperti makan, minum,
biologis, pakaian dan papan (rumah).tetapi mencakup kebutuhan akan pengakuan
eksetensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja,
status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Para ilmuan politik seperti Gabriel Almond, Sidney Verba dan Lucian W.Pye hampir
setengah abad yang lampau telah merintis sebuah riset tentang hubungan budaya dan
politik. Menurut dennish kanvagh (terjemahn lailahanoum hasyim, 1982 : 10-11), ada dua
alasan budaya politik dipelajari, yaitu:
1. Sikap warga negara terhadap sistem politik jelas mempengaruhi macam-macam
tuntutan-tuntutan yang diminta, cara tuntutan-tuntutan itu diutarakan,respon dan
golongan elit cadangan dukungan yang baik terhadap rezim yang berkuasa, pokoknya
orientasi-orientasinya yang menentukan pelaksanaan sistem politik.
2. Dengan mengerti akan akan sifat dan hubungan antara kebudayaan politik dan
pelaksanaan sistemnya, kita akan lebih dapat menghargai cara-cara yang mungkin
membawa perubahan-perubahan politik yang pesat.
Budaya politik itu sendiri secara umum dapat diartikan merupakan pola tingkah laku
individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para angota suatu
sistem politik. Gabriel A. Almond dan Bingham G. Powell dalam kanta prawira (1980: 29)
dalam sistem politik masyarakat eskimo , yang hidup tersebar dalam kelompok-kelompok
kecil. Oleh karena itu, konsep struktur politik dan konsep budaya ini tidak dapat dibahas
secara terpisah. Budaya politik masyarakat sangat dipengaruhi oleh struktur politik,
sedangkan daya oprasional struktur tadi ditentukan oleh konteks budaya dimana struktur
itu berada

B. Pengertian Budaya
Istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan
kebudayaan, berasal dari kata latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan,
yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut kemudian “culture” diartikan
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam
(Koentjaraningrat dalam Soekanto, 1996: 55).
E.B. Tylor dalam Soekanto (1996: 55) memberikan definisi mengenai kebudayaan
ialah: “kebudayaan ada kompleks yang mencakup pengetahuan kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat”.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Somardi dalam Soekanto (1996: 55) merumuskan
“kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.”

C. Pengertian Budaya Politik


Termilogi budaya politik memang banyak dan aneka ragam, namun memiliki makna
hampir sama, dalam hal ini Dennis Kavangh (terjemah Lailahanoum Hasyim, 1982 : 10-
11) mengutip berberapa pengertian Budaya Politik dari berberapa pendapat para ahli,
diantaranya adalah sebagai berikut
Pertama, Roy Marcidis mengemukakan bahwa budaya politik adalah: “sebagai tujuan
bersama dan peraturan yang diterima bersama”. Kedua, menurut Samuel Beer,
menyebutkan komponen-komponen budaya politik itu adalah “nilai-nilai keyakinan dan
sikap-sikap emosi tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dilakasanakan dan
tentang apa yang harus dilakukan pemerintahan itu.”
Ketiga, Robert Dahl menyebutkan unsur-unsur budaya politik yang penting adalah:
1. Orientasi peecahan masalah-masalah, apakah mereka pragmatis atau rasionalistis;
2. Orientasi terhadap aksi bersama, apakah mereka bersifat kerja sama atau tidak (ko-
operatif atau non ko-operatif);
3. Orientasi terhadap sistem politik, apakah mereka setia atau tidak;
4. Orientasi terhadap orang lain, apakah mereka bisa dipercaya atau tidak.
Selain itu, Gabriel A. Almond dalam Ismid Hadad (1981: 7) mengemukakan bahwa
budaya politik adalah “suatu pola orientasi yang khusus dari tindakan politik yang sudah
tertanam dalam setiap sistem politik.”
Pendapat lain lagi dikemukakan oleh Kantaprawira, pertama konsep budaya politik
lebih mengedepankan aspek-aspek prilaku aktual berupa tidakan, tetapi lebih menekankan
pada berbagai prilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-
kepercayaan. Kedua, orientasi budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara
budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik, yaitu menyangkut
setiap komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya
politik merupakan gambaran konseptual mengenai komponen-komponen budaya politik
dalam jumlah besar, atau mendeskripsikan masyarakat disuatu negara atau wilayah, bukan
per individu.
Sementara itu, Almond dan Verba (1963) menjelaskan budaya politik mengandung tiga
komponen objek politik sebagai berikut.
1. Orientasi kognitif: yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik,
peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
2. Orientasi afektif: yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor
(politisi) dan penampilannya, dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif,
legislatif, dan yudikatif).
3. Orientasi evaluatif: yaitu keputusan dan pendapatan tentang objek-objek politik yang
secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan,
misalnya tampak saat pemilu.
Orientasi kognitif adalah pengetahuan, yaitu: misalnya bagaimana individu mengetahui
hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata
cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktifitas partai
tersebut.
Orientasi afektif berada dengan orientasi kognitif, karena orientasi afektif ini bergerak
didalam konteks prasaan. Faktor perasaan (afektif) ini kadang lebih menentukan
ketimbang faktor pengetahuan (kognitif).
Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam
bentuk keputusannya atau tindakan.
Dengan demikian, budaya politik sendiri merupakan cerminan sikap khas warga negara
terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga
negara di dalam sistem politik itu.

D. Tipe Budaya Politik


Realisasi yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat,, menurut almond dan
Verba budaya politik memiliki tipe-tipe tersendiri.
Tipe-tipe budaya politik yang ada menurut Gabriel Almond dalam Kantaprawira (1980:
34) mengklasifikasikan sebagai berikut:
1. Budaya politik parokial yaitu tingkat partisipasi politiknya sanagat rendah, yang
disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah)
2. Budaya politik kaula yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial
maupun ekonominya), tetapi masih bersifat pasif.
3. Budaya politik partisipan yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesdaran
politik yang sangat tinggi.

Dalam kehidupan masyarakat tidak menutup kemungkinan terbentuknya budaya politik


yang merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut diatas. Tentang klasifikasi budaya
politik tersebut dapat dilihat didalam tabel berikut :
No. Budaya Politik Uraian
1. Parokial (parochial  Terbatas pada wilayah atau lingkup kecil,sempit,
political political culture) misalnya bersifat provinsi.
 Terbatasnya diferensiasi tidak terdapat peranan
politik bersifat khas dan berdiri sendiri.
 Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek
umum, objek-objek input(intensitas pengetahuan dan
perbuatan tentang proses penyaluran segala tintitan
yang diajukan atau diorganisasi oleh masyarakat.
 Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari
sistem politik.
 Parokralisme murni berlangsung dalam sisem
tradisional yang lebih sederhana di mana spesialisasi
politik berada pada jenjang sangat minim
 Parokalisme dalam sistem politik yang diferensitatif
lebih bersifat afektif dan normative dari pada
kognitif.
 Yang menonjol dalam budaya oilitik parokial adalah
adanya kesadaran anggota masyarakat akan adanya
pusat kewenangan/kekuasaan politik dalam
masyarakatnya.
2. Subjek/Kaula (subject  Terdapat diferensasi dan frekuensi orientasi politik
polical culture) yang tinggi terhadap sistem politik misalnya
mengenai output dari sistem itu.
 Orientasi mereka yang nyata terhadap objek politik
dapat terlihat dari pernyataannya, baik berupa
kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun
sikap bermusuhan terhadap sistem, terutama
terhadap aspek outputnya
 Posisinya sebagai kaula, pada umumnya dapat
dikatakan posisi pasif.
 Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah.
 Hubungannya terhadap sistem politik secara umum,
dan terhadap output, administratif secara esensial
merupakan hubungan yang pasif.
 Sering wujud didalam masyarakat dimana tidak
terdapat struktur input yang terdiferensasikan.
 Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif
daripada kognitif.
3. Partisipan (participant  Ditandai bahwa seseorang menganggap dirinya
paolitikal culture) ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam
kehidupan politik.
 Seseorang tidak begitu saja menyerah, tunduk,
disiplin mati terhadap keadaan, karena ia merupakan
salah satu mata rantai aktif proses politik.
 Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek
umum, objek-objek input, output dan pribadi sebagai
partisipan aktif mendekati satu.
 Anggota masyarakat partisipatif terhadap objek
politik.
 Masyarakat berperan sebagai aktivis.

1. Budaya Politik Partisipan


Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan adalah telah mengerti bahwa
mereka berstatus warga negrara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik, atau
paling tidak dalam kegiatan pemberian suara dalam pemilu. Selain itu masyarakat
memiliki kompetensi politik yang tinggi,mereka bias merupakan anggota aktif
organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau partai politik.
Pada pokoknya, dalam budaya politik partisipan telah tergambar bahwa individu telah
mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun
kewajiban. Dalam budaya politik partisipan, warga merasa bebas dan berani
mendiskusikan masalah politik. Dalam konteks demokrasi, budaya politik partisipan
merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi., yang ditunjukan oleh
tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat
efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekutan politik
yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk terlibat
dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik.

2. Budaya Politik Kaula atau Subjek


Budaya politik subjek lebih rendah satu derajat dari budaya politik partisipan. Maka
akan membentuk budaya politik yang bersifat kaula atau subjektif. Masyarakatnya
cenderung bersifat nrimo atau pasrah. Meskipun demikian dalam arti, secara emosional
mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Mereka akan merasa tidak
nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik. Mereka patuh kepada pejabat-
pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik
ataupun memberikan suara dalam pemilu. Budaya politik subjek banyak berlangsung
di nergara-negara yang kuat, tetapi bercorak otoritarian atau totalitarian. Misalnya,
budaya ini pernah terjadi di Indonesia di saat pemerintahan Presiden Soeharto (masa
orde baru).

3. Budaya Politik Parokial


Budaya Politik Parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang
didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bawha mereka adalah warga negara
dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas.
Budaya politik ini juga mengindikasikana bahwa masyarakat tidak memeliki minat
maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Di dalam tipe budaya politik
ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan
perubahan apapun dari sistem politik ini.
Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih
nomaden. Misalnya ini terjadi di kalifah-kalifah badui jazirah arabia, suku-suku
pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya.
Budaya politik lokal di Indonesia samapai dengan saat ini umumnya cenderung masih
bersifat parokial di satu pihak dan subjek di pihak lain. Hal ini dikarenakan sebagian
besar masyarakat lokal masih jauh tertinggal dalam hak dan kewajiban politiknya akibat
pengalaman politik masa lalu, seperti imperialisme, feodalisme dan patrimonalisme.
Tipe budaya politik parokial kaula ini ternyata melahirkan kecendrungan sikap dan
prilaku yang sanagat milititan ketimbang toleran. Dalam tingkat militansi yang tinggi
perbedaan tidak diarahkan pada usaha musyawarah untuk mufakat.
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik diatas, dapat dibagi
dalam tiga model kebudayaan politik yang tegambar dalam tabel berikut;

Model-model Kebudayaan Politik

Demokratik Industrial Sistem Otoriter Demokratis Pra Industrial


 Dalam sistem ini  Di sini jumlah  Dalam sistem ini
cukup banyak aktivis industrial dan hanya terdapat sedikit
politik untuk modernis sebagian sekali partisipan dan
menjamin adanya kecil, meskipun sedikit pula
kompetisi partai-partai terdapat organisasi keterlibatannya dalam
politik dan kehadiran dan partisipan politik. pemerintahan.
pemberian suara yang  Tingkat partisipasi  Tingkat partisipasi
besar. kurang dari 30% kira-kira 10% dari
 Tingkat partisipasi penduduk dewasa penduduk dewasa.
mencapai 40-60% dari  Hanya sedikit sekali
penduduk dewasa. partisipan politik
terutama berasal dari
kalangan pengusaha,
mahasiswa dan tuan
tanah
 Sebagian warganya
hidup dipedesaan dan
buta huruf

Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat biasanya
mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri
– ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat.
David apter memberi gambaran tentang kondisi politik agama yang terlalu sentralisitis
dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politk para elite berdasarkan
budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa
rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elit politik.

E. Rangkuman
- Pembahasan mengenai budaya politik diawali dengan adanya kesadaran dari para ahli
politik, bahwa ilmu politik saja tidak akan mampu menerangkan gejala-gejala yang
terjadi, tanpa bantuan dari disiplin ilmu lainnya.
- Ada dua alasan budaya politik, yaitu:
1. Sikap warga negara terhadap sisem politik jelas mempengaruhi macam-macam
tuntunan-tuntunan yang diminta, cara tuntunan-tuntunan itu diutarakan, respon dan
golongan elit cadangan dukungan yang baik terhadap rezim yang berkuasa,
pokoknya orientasi-orientasinya yang menentukan pelaksanaan sistem politik.
2. Dengan mengerti akan sifat dan hubungan antara kebudayaan politik dan
pelaksanaan sistemnya, kita akan lebih dapat menghargai cara-cara yang mungkin
membawa perubahan-perubahan politik yang pesat.
- Definisi kebudayaan adalah: “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-
kemampuan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
- Setiap masyarakat terdapat apa dinamakan pola-pola prilaku (pattern of behavior).
Pola-pola prilaku tersebut adalah cara-cara tindakan atau berkelakuan yang sama
daripada orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat yang harus diikuti oleh
semua anggota masyarakat tersebut.
- Jadi kebudayaan adalah mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang
lain.
- Bentuk dari budaya politik menyangkut masalah sikap dan norma.norma bagi perilaku
berasal dari nilai. Norma membentuk sikap normative seseorang terhadap sesuatu
gejala gejala.
- Jadi, budaya politik secara umum dapat diartikan merupakan pola tingkah laku individu
dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu
sistem politik.
- Dari realitas budaya politik yag berkembang di dalam masyarakat, dapat di
klasifikasikan kedalam tiga tipe sebagai berikut:
1. Budaya politik parokial yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang
disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
2. Budaya politik kaula yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial
mauoun ekonominya), tetapi masih bersifat pasif.
3. Budaya politik partisipan yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran
politik sanagat tinggi.
Daftar Pustaka

Alfian. 1981. Politik, kebudayaan dan manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit LP3ES

Almond, Gabriel. 1982. Sosialisasi, Kebudaayaan, dan Partisipasi Politik. Dalam Mochtar
Mas’oed dan Colin Mark Andrew, (Ed.). Perbandingan Sistem Politik. Gadjah Mada
University Press.

Almond, Gabriel, Sydney Verba, 1984. Budaya Politik. (Terjemahan Sahat Simamora).
Jakarta: Bina Akasara. 1963. The Civic Culture. Princeton University Press.

Hadad, Ismid (editor). 1979. Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: Penerbit LP3ES

Jackson, Karl D. 1978. Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for Analysis of Power
and Comunication in Indonesia. 1978. The Political Implication of Structure and Culture in
Indonesia, dalam Karl D. Jackson and Lucian Pye (eds). Political Power and Comunication in
Indonesia, Berkeley: University of california press.

Kantaprawira, Rusadi. 1983. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar
Baru.

Kanvanagh, Dennis. 1982. Kebudayaan Politik (Terjemahan: Lailahanoum Hasyim). Jakarta:


Bina Aksara.

Luthans, Fred. 1995. Organizational Behavior. Sevent Edition, McGraw-Hill Series in


Management, Printed in Singapore.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono. 1975. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia.

Wijaya, Albert. 1988. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai