Halim, 2008
”Pintu untuk ruang publik itu terbuka bagi semua warga kota yang
melakukan kegiatan secara bersama, mereka tidak dibatasi, tetapi
dilindungi.Warga boleh bertemu bersama, berasosiasi, dan
mengungkapkan pandangan secara bebas. ”
He Xirong, 1997
ruang publik yang seharusnya merupakan sebuah tempat untuk interaksi sosial menjadi
sebuah tempat untuk pengasingan diri.
Bertambahnya pendatang yang tinggal dalam suatu lingkungan dan silih bergantinya orang
baru yang datang dari hari ke hari, pada akhirnya membuat seseorang tidak lagi
memerhatikan orang-orang di sekitarnya. Tidak ada lagi hubungan yang erat antartetangga,
bahkan dengan tetangga sebelah rumah pun kita cuek. Pemiliknya bisa berubah dalam
hitungan bulan, bahkan bisa pindah dalam hitungan minggu. Sementara itu, waktu dari para
warga kota lebih banyak dipakai untuk aktivitas rutin daripada dihabiskan untuk ”nenangga”.
Fenomena cuek ini terjadi tidak hanya dalam lingkungan hunian, tetapi juga di ruang publik
yang seharusnya menjadi tempat untuk memudahkan interaksi sosial. Dahulu ruang publik
seperti taman kota dan alun-alun, bahkan ruang publik indoor seperti perpustakaan, menjadi
tempat untuk berkumpul dan berinteraksi serta menjadi bagian hidup warga kota. Semakin
berkurangnya ruang publik berarti juga bahwa yang ada saat ini memiliki peran yang sangat
penting. Misalnya, Taman Monas bisa menjadi tempat berlindung dari penatnya aktivitas
sehari-hari bagi warga kota di akhir pekan. Tempat-tempat seperti ini juga berperan penting
untuk memenuhi kebutuhan sosial warganya.
Saat ini, jika ditanyakan mungkin jarang yang akan merasa
bangga menjadi warga Jakarta, dan kondisi ini sungguh sangat
memprihatinkan. Jakarta sebagai ibukota seakan menjadi lebih
kejam dari ibu tiri di mana tawa dan canda hanya bisa
dirasakan oleh sebagian masyarakat di dalam gedung-gedung
mal yang berdiri dengan angkuhnya, sementara suasana di
jalan-jalan terasa begitu mencekam dan mengerikan. Setiap
orang tampak saling menaruh curiga dan tidak pernah
memberikan senyum mereka secara cuma-cuma kepada warga
lainnya. Padahal dahulu bangsa ini terkenal dengan senyum,
keramahan, dan sikap suka menolong.
Khazanah publik adalah suatu konsep abstrak yang
melukiskan adanya sesuatu yang dimengerti, dibahas, dan
diperdebatkan secara bersamasama.
Konsep ideologis dari khazanah publik diperkenalkan oleh
Jurgen Habermas pada tahun 60-an.
Khazanah publik ada dalam berbagai media massa seperti
surat kabar dan majalah, sebagaimana pembicaraan
mengenai demokrasi di rubrik opini dan komunikasi warga
kota semacam surat pembaca. Khazanah publik meliputi
juga ruang publik, tetapi melampaui lokalitas fisiknya dan
lebih seperti semacam ruang filosofis.
Ruang publik secara umum didefinisikan sebagai tempat fisik dan kasat
mata yang ada di dalam kota atau di mana saja kita lihat orang berkumpul
Menurut Project for Public Spaces in New York tahun 1984, Ruang Publik
adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama
berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum
(halte), museum dll.
Pada umunya, ruang publik merupakan suatu ruang terbuka yang dapat
mendukung kebutuhan manusia akan tempat-tempat berkumpul dan
wadah untuk berinteraksi dengan manusia dalam melakukan aktivitas
bersama.
Ray Oldenberg (1999) mendefinisikan ruang publik tertentu sebagai ruang
ketiga ( third place), tempat khusus di luar rumah atau kantor di mana
warga bisa saling bertemu, seperti kafe, coffee-shap, dan klub sosial.
Ruang-ruang seperti ini mulai marak di Jakarta, tetapi fungsinya sebagai
tempat berinteraksi sosial malah semakin hilang dan berubah menjadi
tempat pertemuan bisnis dan urusan kantor. Padahal sisi informal
kehidupan warga kota justru berkembangnya pada tempat-tempat seperti
itu.
Di kota-kota yang punya karakteristik-karakteristik tertentu dengan adanya
tempat ketiga (taman dll) yang menyenangkan ini, di samping rumah
sebagai tempat pertama dan kantor sebagai tempat kedua, orang asing
akan merasa seperti di rumah sendiri. Sebaliknya, di kota yang tidak ada
tempat seperti itu, bahkan warga kotanya pun akan menjadi tidak kerasan.
Tanpa tempat seperti itu, warga Jakarta akan gagal memelihara hubungan
sosial warga dengan segala keragamannya yang sebenarnya adalah intisari
kehidupan sebuah kota. Oleh sebab itu, warga Jakarta akan merasa
kesepian meski berada di tengah keramaian ruang publik yang ironisnya
juga semakin terbatas dan berkurang ”dimakan” mal dan apartemen. Di
samping itu, konsekuensi sosial yang mudah diduga akibat semakin
maraknya penggunaan teknologi informasi yang semakin maju di ruang-
ruang publik adalah bahwa warga Jakarta semakin terpisah satu dengan
yang lainnya meski bersamasama berada di ruang publik. Warga Jakarta
pun akhirnya semakin cuek dan masa bodoh saja dengan kondisi
sekitarnya.
C. KESUMPEKAN KOTA DAN PENGASINGAN SOSIAL
Kesesakan atau perasaan sumpek adalah suatu bentuk stres pada individu
sebagai hasil interaksi sosial yang berlebihan dan tak dikehendaki akibat
kepadatan sebuah lingkungan.
contoh : Seseorang dapat merasa sangat sumpek terjebak dalam sebuah lift
yang macet dengan banyak orang di dalamnya,