Anda di halaman 1dari 41

GERAKAN

PENGARUSUTAMAAN GENDER
Home › Gerakan Pengarusutamaan Gender

Perlukah Perempuan Bersaing dengan Laki-laki?


Perempuan dan laki-laki tidak perlu harus bersaing dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara atau berkeluarga. Laki-laki dan perempuan harus dapat membangun dan
membina kerjasama yang saling menguntungkan baik dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat atau negara. Laki-laki dan perempuan tidak boleh saling menguasai
dan mengeksploitasi satu sama lain. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan
sekaligus kekurangan, karena itu harus dapat saling mengisi dan melengkapi satu
sama lain. Dalam membangun kerjasama itu diperlukan komunikasi yang baik dan
ungkapan yang dapat mendorong ke arah kebaikan umat manusia.

Pengarustamaan Gender (PUG)


1. Inpres No. 9/2000 tentang PUG dalam pembangunan.
2. Kepmendagri 67/2011 tentang perubahan atas Kepmendagri no. 15/2008 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Nasional
3. SE No. 270/M.PPN/II/2013 tentang strategi Nasional percepatan PUG
melaksanakan perencanaan dan penganggaran yang responsif Gender (PPRE)
4. Pergub Jabar No. 1/2013 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan PUG di
Lingkungan Pembangunan Jawa Barat

Salah satu strategi pembangunan yang di lakukan untuk mencapai kesetaraan dan
keadilan Gender. Melalui pengintegrasian pengalaman, aparesiasi, kebutuhan dan
permasalahan laki-laki dan perempuan ke dalam perencanaan, pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan progam, proyek dan kegiatan di
berbagai bidang.

PUG dan Strategi PUG


Pengarusutamaan Gender adalah terjemahan dari Gender Mainstreaming. Suatu
strategi yang menempatkan laki-laki dan perempuan menjadi perimbangan utama
dalam setiap perumusan kebijakan dan proses pelaksanaan pembangunan.

Dengan strategi tersebut secara teknis melalui Perencanaan dan Penganggaran


yang Responsif Gender (PPRG) dengan kecepatan pelaksanaan PUB sesuai
RPJMN 2010-2014, sekaligus menunjang tata kelola kepemerintahan yang baik
(Good Governance) pembangunan berkelanjutan serta pencapain target-target
MOGS (Millenium Development Goals).

Tujuan PUG
Tujuan PUG memastikan apakah laki-laki dan perempuan
1. Mempunyai akses yang sama dalam pembangunan
2. Berpartisipasi yang sama dalam pembangunan
3. Mempunyai kontrol yang sama dalam pembangunan
4. Mempunyai manfaat yang sama dalam pembangunan

Dua Tugas Utama PUG

1. Mengintergrasikan perspektif ke dalam siklus, perencanaan, pelaksanaan,


peamantauan dan penilaian
2. Mempengaruhi kebijakan Penanggungjawab Pelaksanaan PUG

Penanggung Jawab dan Pelaksanaan PUG


Siapakah yang bertanggung jawab terhadap PUG? Semua pihak bertanggungjawab
terhadap strategi pelaksanaan strategi Pengarusutamaan Gender. Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maka jajaran penyelenggara negara dan pemerintahan
adalah pihak yang paling bertanggungjawab. Dalam kehidupan keluarga dan sosial,
maka suami-istri dan pimpinan organisasi sosial kemasyarakatan adalah pihak yang
paling bertanggungjawab terhadap pelaksanaan PUG.

Bagaimana PUG Dilaksanakan?

Pengarusutamaan Gender sekurang-kurangnya dilaksanakan melalui 5 bidang


progam yaitu :

1. Bidang Kesehatan, terutama kesehatan ibu, bayi dan anak serta lansia
2. Bidang Pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan informal, maupun
pendidikan non-formal.
3. Bidang Ketenagakerjaan, sehingga partisipasi laki-laki dan perempuan dalam
memperoleh pekerjaan dan penghasilasn tidak dibeda-bedakan.
4. Bidang Keterwakilan dalam mengambil keputusan baik di legislatif, eksekutif dan
yudikatif serta organisasi sosial politik atau pendidikan tinggi.
5. Bidang Penegak Hukum agar tidak lagi terjadi diskriminasi terhadap laki-laki dan
perempuan dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.

Keadilan Gender
Kesempatan laki-laki dan perempuan memperoleh hak-haknya. Kesempatan
menikmati hasil pembangunan.

Mampu berperan dan berpartisipasi dalam bidang:

 Hankamnas
 Politik
 Sosial Budaya
 Ekonomi
 Pendidikan

Kesetaraan Gender

Kondisi dan perlakuan adil terhadap laki-laki dan perempuan


 Pembakuan peran
 Beban ganda
 Subordinasi
 Marjinalisasi
 Kekerasan

Indikator Kesetaraan dan Keadilan


Indikator kesetaraan dan keadilan gender, adalah indikator kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang dirumuskan dalam HDI dan GEm yang secara berkala
dipublikasikan oleh UNDP dan BPS meliputi antara lain :

1. Kesehatan, terutama angka kematian ibu akibat hamil dan melahirkan, kematian
bayi dan anak laki-laki dan perempuan, angka harapan hidup laki-laki dan
perempuan.
2. Pendidikan, terutama lama anak laki-laki dan perempuan, proporsi laki-laki dan
perempuan pendayagunaan/pemnafaatan latar belakang pendidikan dalam
bidang pekerjaan antara laki-laki dan perempuan
3. Ketenagakerjaan, terutama partisipasi angkatan kerja laki-laki dan perempuan,
proporsi laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin, dan tunjangan kesejahteraan
antara laki-laki dan perempuan
4. Keterwakilan, laki-laki dan perempuan dalam keduduakan dan proses
pengambilan keputusan, terutama di leambaga legislatif, eksekutif, yudikatif,
profesional dan pendidikan
5. Penerapan Penegakan Hukum, baik sebagai pelaku maupun korban antara laki-
laki dan perempuan, terutama dilihat dari formulasi produk hukum dan penafsiran
dalam penegakkan hukum.

Manfaat Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)


Banyak manfaat dari Kesetaraan dan Keadilan Gender, antara lain:

1. Kesejahteraan pembangunan akan lebih mudah tercapai setiap individu sebagai


warga negara telah memberikan kontribusi yang baik dan seimbang.
2. Pembangunan dapat berjalan lebih cepat karena setiap warga negara telah
berperan aktif dalam kegiatan peningkatan hidup keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara.
3. Pelaksanaan hukum dan keadilan serta perlindungan hak asasi manusia dapat
berjalan dengan adil dan harmonis.
4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilaksanakan dengan baik
sehingga setiap warga negara mampu bersaing dengan tenaga luar di era
globalisasi.
5. Produktivitas kinerja penduduk menjadi lebih baik karena laki-laki dan perempuan
dapat bekerja saling membantu (bersinergi) satu sama lain.

Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin/Pejabat Negara?

Setiap warga negara yang memiliki kemampuan untuk memimpin dan menjadi
pejabat negara boleh menjadi pemimpin/pejabat negara. UUD 1945 Pasal 27 dan
Pasal 28 hasil amandemen tahun 1999 s/d 2002. Indonesia bukan negara agama
tetapi berdasarkan hukum negara, karena itu laki-laki dan perempuan yang mampu
dapat menjadi pemimpin/pejabat negara.
Berbagi itu peduli.
http://bp3akb.jabarprov.go.id/gerakan-pengarusutamaan-gender/

Masalah Kesetaraan Gender


Berakar Pada Budaya
Berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan
bagi perempuan sudah kita miliki. Namun, hal itu tidak otomatis
menjamin kesetaraan gender sudah terwujud.
CR-7

Seandainya Marsinah masih hidup pada masa sekarang, sudah ada Komnas
Perempuan dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, saya yakin
putusannya akan lebih adil. Seuntai kalimat yang menghadirkan kenangan
pada sosok aktivis pejuang hak buruh itu muncul dari Sution Usman Aji,
dalam peluncuran dan diskusi publik buku referensi Penanganan Kasus-Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jumat
(20/11).

Sution yang pernah menjadi jaksa dalam kasus Marsinah, menyayangkan


akhir dari kasus Marsinah, yang berujung pada putusan bebas terhadap para
pelaku di tingkat Mahkamah Agung. Padahal, di Pengadilan Negeri, Yudi
Susanto, majikan Marsinah yang diyakini sebagai pelaku sempat diputus 17
tahun penjara, sementara pelaku lainnya divonis hingga 12 tahun penjara.

Sebagai Direktur Upaya Hukum, Eksekusi, dan Eksaminasi Kejaksaan Agung


pada saat ini, Sution menyoroti, bahwa penegak hukum, termasuk kejaksaan
memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum kasus kekerasan
terhadap perempuan.

Sution mengungkapkan bahwa sebenarnya sudah banyak undang-undang


yang mengatur hak atas perempuan. Namun, tidak semua penegak hukum
memahami dan memiliki perspektif yang sama dalam upaya penanganan
kekerasan terhadap perempuan. “Belum ada kesepahaman antara penyidik,
penuntut umum, hingga hakim dalam menerapkan metode pembuktian,”
ujarnya.

Sementara Machmud Rahimi, Panitera Muda Pidana Mahkakmah Agung,


memiliki pandangan khusus terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Menurut Machmud, KDRT merupakan tindak pidana yang
memiliki kekhasan karena menimpa kelompok rentan, tersubordinasi, dan
lemah yang harus dilindungi.

“Kasus KDRT terjadi akibat tidak seimbangnya relasi antara korban dengan
pelaku dimana suami atau laki-laki memiliki relasi kekuasaan yang kodratnya
mengaplikasikan perilaku mengontrol, mendominasi, dan upaya lainnya untk
mempertahankan otoritas di dalam dirinya, lingkunganya, rumah tangganya,”
urai Machmud.

Karenanya, Machmud mengusulkan bahwa pelu dipikirkan untuk


diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) khusus tentang
petunjuk penanganan kasus tindak pidana KDRT. Machmud berharap, SEMA
tersebut akan menjadi pedoman agar hakim mampu membuat putusan yang
adil dan tegas untuk menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang
KDRT.

Menanggapi tentang perspektif penegak hukum, Irma Alamsyah Djaja Putra,


staf ahli Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, mengungkapkan bahwa perspektif gender para penegak hukum masih
jauh dari harapan. Irma mencermati, para penegak hukum masih melihat
permasalahan kekerasan terhadap perempuan secara sempit, dan tidak
mampu melihat secara global. Para penegak hukum, menurut Irma, tidak
mampu melihat faktor-faktor, yang mempengaruhi akses perempuan
terhadap keadilan, misalnya faktor pendidikan. “Sehingga, perempuan setelah
menjadi korban kekerasan, juga dikorbankan di dalam persidangan,” ujarnya.

Dari pemerintah sendiri, Irma mengatakan sebenarnya sudah ada Instruksi


Presiden No 9 tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional. Namun, Irma merasa bahwa Inpres ini, belum cukup
kuat. Karena, bentuknya hanya inpres, dan hanya ditujukan untuk aparat
pemerintah. “Kita juga mengharapkan atas satu peraturan perundang-
undangan yang lebih menjamin pengarusutamaan gender ini,” tambahnya.
RUU Kesetaraan Gender

Irma mengemukakan bahwa saat ini sedang disiapkan Rancangan Undang-


undang (RUU) tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender. “Diaturlah
bagaimana misalnya dalam menuju itu (kesetaraan dan keadilan gender-red),
adanya suatu perencanaan, harus adanya pelaksanaan, harus ada monitoring,
di dalam proses-proses mencapai kesetaraan keadilan gender itu,” urai Irma.

Menurut Irma, kondisi saat ini memang memerlukan adanya payung hukum
yang menjamin kesetaraan dan keadilan gender. Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) sendiri,
menurutnya, memerintahkan untuk membuat undang-undang, seperti
misalnya undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender.

Yang menjadikan RUU ini penting menurut Irma adalah masih banyak aspek
yang vital dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender, belum disentuh
oleh aturan yang ada sekarang. “Sebab sekarang apapun kebijakan itu kan
harus ada dasar hukumnya,” lanjutnya.

Irma juga berharap RUU ini nantinya akan menjadi dasar untuk seluruh
komponen negara bergerak mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
“Sebab permasalahan kesetaraan keadilan gender adalah masalah budaya,”
ujar Irma.

Risa Permanadeli, kordinator penulis buku yang diluncurkan, berpendapat


bahwa kita tidak bisa melihat permasalahan perempuan, sebagai masalah
yang steril dari segi hukum saja. Artinya, menurut Risa, kita harus melihat
latar belakang yang lebih luas dari permasalahan perempuan.

Risa merasa bahwa warga negara Indonesia, memang diabaikan oleh negara
secara tidak sistematis. Risa melihat bahwa konsep kesejahteraan sosial di
negara kita tidak terwujud. Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri,
walaupun peraturan perundang-undangan yang kita miliki lebih lengkap.
“Dalam banyak hal masalah untuk menciptakan kesetaraan perempuan di
negara kita jauh lebih rumit,” katanya.
Selain itu, bagi Risa, budaya yang melemahkan perempuan juga menjadi
penghalang tersendiri bagi perwujudan kesetaraan gender. Risa melihat,
bahwa secara budaya, perempuan dihadapkan atau dikonfrontasi dengan
nilai-nilai sosial yang hukumnya lebih berat daripada hukum negara.
“Perjuangan untuk perempuan adalah bukan semata-mata perjuangan
yuridis, tetapi juga politis,” ujarnya.

KESETARAAN & KEADILAN GENDER

Pengertian Kesetaraan & Keadilan Gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh

kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam

kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional

(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga

meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun

perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.

Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi

dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender

ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian

mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh

manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang

atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil

keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki

kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga

memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

Pengertian Gender

Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta

tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda,

dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh

karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan

berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat

mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab
antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai

Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender : dapat berubah, dapat

dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan

manusia.

1. Gender dalam Kebudayaan

Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta “Budhayah”, di mana hal tersebut merupakan

bentuk jamak dari “Budhi”, yang artinya budi atau akal. Sama dengan pengertian “Culture”, yang

berasal dari bahasa Latin “Colere”, yang mempunyai arti mengolah dan mengerjakan tanah “bertani”,

dalam pemahamannya sebagai kemampuan daya upaya, serta tindakan manusia untuk mengolah tanah

dan alam. Menurut Prof.Dr.Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil

perilaku manusia, yang teratur oleh tata kelakuan manusia, yang harus didapatkannya dengan belajar

dan semuanya itu tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Dari keseluruhannya tersebut, maka dapat diambil intisarinya yang penting, yaitu:

ž Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang dihasilkan manusia, meliputi kebudayaan

immaterial, yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat atau diraba seperti moral, cita-cita, falsafah hidup,

keyakinan, agama, iptek, dan sebagainya.

ž Kebudayaan hanya dapat diperoleh dengan dipelajari dari orang lain.

ž Kebudayaan terdapat pada manusia sebagai anggota masyarakat, sebab tanpa masyarakat tidak ada

kebudayaan, dan sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup.

Melihat pengertian kebudayaan di atas, seharusnya terjadi persamaan gender karena budaya lahir atau

dihasilkan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) yang teratur oleh tata kelakuan manusia. Namun

pada praktiknya, tetap saja terjadi ketidaksetaraan gender, contohnya pada kalimat seperti "Ini ibu

Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya

"Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar

atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut

mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik

bagi laki-laki. Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di

luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan

"Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid

perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan
santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis

dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya. Ini merupakan bentuk

ketidaksetaraan gender dalam budaya pendidikan.

2. Gender dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Ini merupakan permasalahan yang kerap terjadi di Indonesia. Terlihat dengan jelas ketidaksetaraan dan

ketidakadilan gender mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia, terutama perempuan. Banyak

orang beranggapan kesetaraan gender tidak perlu lagi diperjuangkan. Kebebasan perempuan, menurut

sejumlah kalangan, sudah sedemikian kasat mata. Apalagi jika yang dirujuk adalah kehidupan kaum

perempuan Ibukota.

Berita kekerasan dalam rumah tangga selalu diinformasikan melalui berbagai jenis media, meskipun

tidak selalu perempuan yang menjadi korban, tetapi persentase perempuan sebagai korban kekerasan

dalam rumah tangga lebih besar daripada laki-laki.

Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai

bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik

maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut

serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik,

seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosiona lterusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam,

ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di

dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak

laki-laki, tetangga, majikan.

3. Gender dalam Persamaan Hak

Menurut saya, pelaksanaan persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki belum seutuhnya

seimbang (balance). Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan

menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-

masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.

Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat

mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya

manusia masa depan. Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat

memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif

memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh

manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang
optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh. Faktor

penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih

mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan

masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan

gender; Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif.

Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti

peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan,

sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat

pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

« ISLAM INDONESIA AND DEMOCRACY; A CULTURAL AND RELIGIOUS PLURALISM OF


MOSLEM’S POLITICS (A Review on Robert W. Hefner’s Examination on democratization in
an age of religious revitalization)

PUG (PENGARUSUTAMAAN GENDER) SEBAGAI STRATEGI


ALTERNATIF MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER
DALAM MASYARAKAT
November 19, 2010 by jamilahsay

Keberhasilan pembangunan dan keberhasilan dalam menjalani proses historis kehidupan

dalam semua tingkatan akan sangat tergantung pada peran serta laki-laki dan perempuan

secara bersamaan sebagai pelaku dan pemanfaatnya. Ketidakseimbangan serta

peminggiran terhadap peran serta dari salah satu elemen tersebut bisa berakibat pada

ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, semua program pemberdayaan harus

memperhatikan dan diorientasikan pada pencapaian dan optimalisasi peran yang setara

antara laki-laki dan perempuan.

Kenyataan dilapangan sampai saat ini masih menunjukkan bahwa kedudukan dan peran

perempuan Indonesia walaupun sudah diupayakan dengan berbagai strategi dan

pendekatan belum menunjukkan hasil yang memadai karena pendekatan pembangunan

yang dikembangkan belum mempertimbangkan manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki

dan perempuan sehingga mengakibatkan terciptanya ketidaksetaraan dan ketidak adilan

gender yang lebih dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan
mengakibatkan pula pada berbagai permasalahan gender. Indikator yang dipakai untuk

melihat dan mengukur kesenjangan tersebut digunakan Gender Empowerment

Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian

tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). Fakta ketidakadilan gender dalam

masyarakat Indonesia diperkuat dengan adanya Human Development report tahun 2002

yang menunjukkan GDI Indonesia masih menempati urutan 91 dari 173 negara dan HDI

Indonesia yang berada pada peringkat 110 dari 173 negara.Oleh karena itulah berbagai

strategi yang dapat meningkatkan pemberdayaan perempuan terus dikembangkan seperti

strategi terakhir yaitu strategi pengarusutamaan gender ( Gender Mainstreaming).

Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) adalah suatu strategi untuk mencapai

kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang

berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan

strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa

kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi,

struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas

budaya di dalamnya. Strategi ini merupakan strategi integrasi kesamaan gender secara

sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, termasuk kebijakan, program, proses dan

proyek, budaya, organisasi atau sebuah agenda pandangan dan tindakan yang

memprioritaskan kesamaan gender berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2000 yaitu Presiden

menginstruksikan untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya

penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan

program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan

fungsi serta kewenangan masing-masing .[1] Pelaksanaan dan implementasi PUG juga

didukung oleh UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan UU Nomor 7 tahun 1985 mengenai segala

bentuk diskriminasi

Strategi pemberdayaan ini dirancang sebagai strategi alternatif untuk melengkapi dua

strategi terdahulu, Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD), dan

dideklarasikan semenjak tahun 1995 pada Forth World Conference on Women di

Beijing.[2] WID sebagai strategi pertama popular pada 1975-1985 ketika tahun-tahun itu

dideklarasikan oleh PBB sebagai “Dasawarsa PBB untuk Perempuan”.[3] Sejak saat itu,

hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan Kementerian Peranan

Wanita, dengan fokus utama meningkatkan peran wanita dalam pembangunan. Strategi

peningkatan peran wanita dalam pembangunan ini didasarkan pada suatu analisis yang
lebih memfokuskan pada kaum perempuannya. Strategi ini dibangun di atas asumsi bahwa

permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan

itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam

masyarakat termasuk dalam pembangunan. Analisis ini mengharuskan adanya usaha untuk

menghilangkan diskriminasi yang menghalangi usaha mendidik kaum perempuan.

Akan tetapi, strategi WID banyak mendapat kritik terutama dari kelompok feminis dengan

menekankan tiga asumsi dasarl, yaitu:

1. strategi ini diasumsikan sebagai agenda dari dunia pertama terhadap

dunia ketiga

2. diasumsikan strategi ini memiliki bias kepentingan dari kelompok

feminisme liberal yang diwakili oleh perempuan kulit putih yang dipandang tidak memiliki

kepentingan dengan pembebasan para perempuan didunia ketiga

3. diasumsikan bahwa strategi ini lebih mengarah pada pengekangan

terhadap para perempuan dan bukan merupakan upaya pembebasan.

Kritik lain yang dilancarkan untuk strattegi pemberdayaan ini adalah strategi ini lebih

menekankan atau focus pada peran seseorang dan mengabaikan hubungan dan relasi social

antara laki-laki dan perempuan. Sehingga strategi ini dipandang belum mampu menjamin

perempuan memperoleh manfaat pembangunan.[4]

Strategi kedua muncul dengan lebih memfokuskan pada sistem, struktur, ideologi, dan

budaya hidup masyarakat yang melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dikenal

dengan ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender. Bagi strategi kedua ini letak

persoalannya bukanlah pada kaum perempuan sebagaimana diasumsikan semula, akan

tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan

gender. Strategi kedua ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan

perubahan struktur gender inilah yang dikenal dengan pendekatan Gender and

Development (GAD) yang sebelumnya berubah menjadi strategi WAD (Women and

Development) setelah tidak berhasilnya strategi WID. Berbeda dengan WID yang

melahirkan proyek-proyek peningkatan peran perempuan seperti proyek peningkatan

penghasilan perempuan dan didirikannya kementerian peranan wanita, maka puncak

keberhasilan strategi kedua ini menghasilkan kebijakan global yang monumental bagi

perjuangan kaum perempuan ini, yakni dengan diterimanya secara global konvensi anti
segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuanyang dikenal dengan CEDAW

(Convention on the Elemination of all Form of Discrimination Againts Women) tersebut.

Selanjutnya dalam konferensi Nairobi tahun 1985 dibicarakan kemungkinan memasukkan

perspektif gender dalam semua kebijakan negara dan pembangunan serta diperkuat

konferensi Beijing 1995 dengan lahirnya platform action strategi gender mainstreaming.

Dalam konferensi tersebut dibicarakan upaya mengurangi praktek diskriminasi terhadap

perempuan yang kemudian melahirkan strategi ketiga yang dikenal dengan istilah Strategi

Gender Mainstreaming. Strategi tersebut merupakan pematangan dari GAD yang tujuan

dasarnya menjadikan gender sebagai arus utama dalam pembangunan. Sasaran utama

kebijakan ini adalah kebijakan (negara), aksi (masyarakat), institusi (organisasi dan

masyarakat).

Untuk melihat apakah strategi gender mainstreaming sudah diterapkan atau tidak, gender

scan adalah salah satu instrumen yang dapat dipakai sebagai langkah strategis.Akses dan

kontrol terhadap SDM dalam organisasi, sensitifitas gender dalam pengembangan

perencanaan dan kebijakan organisasi, adanya kebutuhan strategis gender (gender need),

kesamaan gender di organisasi dan pembagian kerja berdasarkan gender merupakan

perangkat yang terdapat dalam gender scan. Selain itu,untuk menyusun program dan

membuat kebijakan yang responsif gender harus berdasarkan data dan informasi yang

akurat yang diperoleh dari proses pengolahan dan analisa tepat. Proses analisa data

tersebut dikenal dengan istilah analisis gender. Ada lima jemis model analisis gender yang

dikenal di Indonesia, yaitu:


1. Model Harvard

Suatu kerangka analisis gender yang paling awal dikembangkan dimana pendekatannya

berdasarkan efisiensi WID untuk melihat profil gender secara mikro dan peran gender

dalam proyek pembangunan serta dalam perencanaan berbagai program kegiatan.

Kerangka analisis ini dikenal dengan kerangka analisis Harvard. Dikembangkan pada

mulanya oleh Harvard Institute For International Development yang bekerjasama dengan

kantor Women In Development (WID) USAID. Perspektif yang digunakan model Harvard ini

lebih tepat digunakan untuk perencanaan proyek yang lebih bersifat ekonomis dan lebih

tepat untuk perencanaan proyek daripada kebijakan karena model ini bisa menunjukkan

bagian-bagian proyek yang perlu disesuaikan dengan tujuan proyek. Analisis model Harvard

ini meninjau dari 4 (empat) komponen dasar antara lain:


1. Profil kegiatan, yang dianalisa dan diidentifikasi dalam profil ini beberapa
parameter seperti umur (misalnya, siapa mengerjakan apa sehingga pola relasi
gender dan dampak yang ditimbulkan dapat teridentifikasi melalui pemetaan
pekerjaan berdasarkan umur dan jenis kelamin), alokasi waktu (menunjukkan
apakah kegiatan dilakukan pada waktu tertentu seperti harian atau waktu-waktu
tertentu saja), lokasi kegiatan (menunjukkan dimana kegiatan dilakukan) dan
pendapatan (menunjukkan uang atau pendapatan yang dihasilkan dari suatu
kegiatan)
2. Profil akses dan kontrol, dalam profil ini yang dianalisa adalah sumber-sumber
yang dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melakukan suatu kegiatan
serta manfaat yang didapat oleh masing-masing dari hasil kegiatan.
3. Analisis faktor, dalam profil ini yang dilihat adalah faktor-faktor dasar yang
memepengaruhi dua poin diatas termasuk faktor yang menentukan pembagian
kerja berdasarkan gender.
4. Analisis siklus proyek, penelaahan proyek berdasarkan data yang diperoleh dari
analisis terdahulu dengan melihat kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana yang
bisa dipengaruhi oleh proyek yang akan dilaksanakan.
1. Model Moser

Model analisa ini lebih mengasumsikan bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan

politis sehingga dalam proses perencanaan dan dan transformasi terdapat konflik. Ada 6

(enam) alat yang digunakan dalam perencanaan semua tingkatan dar perencanaan proyek

dari level pusat sampai level daerah, antara lain:

1. Identifikasi peranan gender /Tri Peran (alat 1) yang mencakup penyusunan


pembagian kerja gender dalam rumah tangga selama 24 jam.
2. Penilaian kebutuhan gender (alat 2). Alat kedua ini memetakan kebutuhan yang
berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang berbeda berdasarkan minat yang
bersifat praktis dan strategis.
3. Pemisahan kontrol atas sumberdaya dan pengambilan keputusan dalam rumah
tangga (alat 3). Alat ini menganalisa dan menunjukkan siapa yang mengontrol
sumberdaya dalam rumah tangga termasuk siapa yang berperan sebagai
pengambil keputusan dalam penggunaan sumberdaya keluarga dan bagaimana
proses keputusan tersebut dibuat.
4. Penyeimbangan peran (alat 4). Alat ini menganalisa peran perempuan dalam
mengelola keseimbangan antara tugas-tugas produktif, reproduktif dan publik
(sosial kemasyarakatan).
5. Matriks kebijakan WID (Women in Development) dan GAD (Gender and
Development). Kedua matriks tersebut memberikan kerangka untuk
mengidentifikasi atau mengevaluasi pendekatan yang digunakan yang ditujukan
pada tri peranan seperti disebeutkan diatas termasuk kebutuhan gender yang
bersifat praktis dan strategis dalam proyek. Matriks ini dibedakan lagi kedalam
lima pendekatan, yaitu: pertama, kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan ini
bertujuan untuk mengakui peran reproduktif perempuan dengan pemenuhan
kebutuhan praktis gender perempuan selain membawa perempuan kedalam
pembanguanan sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki kemampuan yang
lebih baik. Kedua, Matriks keadilan. Pendekatan matriks ini bertujuan untuk
memberikan keadilan bagi perempuan dengan menempatkan mereka sebagai
partisipan aktif dalam pembangunan dan pemenuhan kebutuhan strategis
gender serta pengakuan tri peranan perempuan. Dalam hal ini pemerintah
melakukan intervensi langsung dengan pemberian otonomi politik dan ekonomi
serta pengurangan ketidaksetaraan perempuan dengan laki-laki. Dengan kata
lain, pendekatan ini menolak adanya subordinasi perempuan. Ketiga, anti
kemiskinan. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas
perempuan miskin. Akan tetapi pendekatan ini tidak melihat kemiskinan
perempuan sebagai dampak dari subordinasi akan tetapi hanya sebagai
masalah keterbelakangan. Keempat, efisiensi. Pendekatan ini merupakan
pendekatan utama dalam analisa model Moser. Dalam pendekatan ini yang
menjadi titik tekan adalah kontribusi ekonomi perempuan dalam kerangka
pembangunan yang efisien dan efektif karena partisipasi disini dianggap sama
dengan keadilan. Pendekatan ini berusaha memnuhi kebutuhan praktis gender
dengan mengandalkan tri peranan dan konsep waktu yang dimiliki perempuan
yang elastis dan fleksibel. Kelima, pemberdayaan. Pendekatan ini bertujuan
untuk memberdayakan perempuan melalui kepercayaan diri perempuan yang
lebih besar. Pendekatan ini melihat bahwa subordinasi perempuan dinilai tidak
hanya karena dominasi laki-laki tetapi juga karena penindasan kolonial dan
neo-kolonial. Pendekatan ini juga mengakui tri peranan perempuan dan ada
upaya pemebuhan kebutuhan praktis gender akan tetapi secara tidak langsung
melalui mobilisasi kebutuhan praktis gender dari bawah. Pendekatan ini lebih
dikenal di kalangan LSM di negara ke-tiga.
6. Pelibatan perempuan dan organisasi perempuan sadar gender dalam
perencanaan pembangunan (alat 6). Alat keenam ini bertujuan untuk
memastikan bahwa kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender
merupakan kebutuhan-kebutuhan nyata perempuan, artinya berlawanan dengan
pengertian atas kebutuhan-kebutuhan yang digabungkan kedalam proses
perencanaan yang selama ini dikenal.
1. Model SWOT

Model analisa gender ini merupakan suatu analisa manajemen melalui identifikasi secara

internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan

tantangan. Kedua aspek (eksternal dan internal) dipertimbangkan dalam kaitannya dengan

konsep strategis dalam penyusunan program aksi, langkah-langkah atau kegiatan untuk

mencapai sasaran dan tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang

disamping meminimalkan kelemahan dan tantangan sehingga mampu meningkatkan

efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan program/kegiatan. Ada beberapa langkah yang

harus dilakukan dalam analisa model ini, antara lain sebagai berikut:

1. Langkah 1 adalah proses identifikasi kekuatan dan kelemahan dari masalah-


masalah internal kondisi yang ada saat itu serta pemberian bobot pada kondisi
yang diinginkan.
2. Langkah 2 adalah proses identifikasi peluang ancaman dan tantangan dari
masalah-masalah eksternal dengan pemberian bobot pada kondisi yang
dinginkan dan keadaan yang ada pada saat itu.
3. Langkah 3 adalah proses analisa korelasi kunci internal dan eksternal dengan
pemberian kuadran –kuadran sebagai berikut:
 Kuadran I dengan menciptakan strategi “agresif” yang mengembangkan kekuatan-
kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada.
 Kuadran II dengan menciptakan strategi “diversifikasi” yang mengembangkan dan
menggunakan kekuatan atau potensi untuk meminimalisasi atau mengatasi ancaman
atau tantangan.
 Kuadran III dengan menciptakan strategi yang bertujuan untuk meminimalisasi
kelemahan-kelemahan dan memanfaatkan peluang salah satu caranya dengan
meninjau ulang kegiatan-kegiatan
1. langkah 4 adalah menyusun rencana aksi yang meliputi kegiatan yang responsif
gender melalui cara sebagai berikut:
o Menyusun tindakan berdasarkan konsep yang bernilai strategis
o Tindakan yang disusun diurutkan dari awal sampai akhir
o Menetapkan tujuan atau sasaran dari setiap langkah dan kegiatan.
o Menentukan penanggung jawab dari setiap tindakan atau langkah yang
diambil
o Menetapkan waktu dari setiap langkah atau tindakan
o Menetapkan pelaksanaan dari setiap kegiatan
o Menetapkan tiga indikator penilaian
2. Langkah 5 adalah penjadwalan atau penyusunan sketsa yang mennujukkan
rangkaian kegiataan khusus dari aspek pelaksanaan dan rencana kegiatan.
1. Model analisa GAP (gender analysis pathway)
Model atau kerangka analisa gender GAP merupakan suatu alat analisis gender yang dapat

digunakan untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan dari kegiatan pengarusutamaan

gender melalui perencanaan kebijakan/program/proyek dari kegiatan pembangunan. Model

analisis ini menekankan pada empat aspek penting yang meliputi aspek, peran, kontrol dan

manfaat.

Model ini memiliki kekuatan untuk menghasilkan program atau kegiatan yang responsif

gender dengan metodologi yang sederhana dan penggunaan data kualitatif dan kuantitatif

secara bersamaan serta adanya peluang untuk memonitor dan mengevaluasi setiap

langkah. Sedangkan kelemahan model ini adalah adanya ketergantungan pada data terpilah

menurut jenis kelamin, dan biasanya hanya digunakan pada kebijakan atau proyek formal

yang biasanya didanai oleh pemerintah dan dibatasi pada aspek perencanaannya.

Model analisa ini memiliki alur kerja analisis gender yang meliputi lima tahap sebagai

berikut:

1. Tahap I : analisa kebijakan yang responsif gender


2. Tahap II:formulasi kebijakan yang responsif gender
3. Tahap III: Rencana aksi yang responsif gender
4. Tahap IV: pelaksanaan kegiatan yang sudah disusun
5. Tahap V : monitoring dan evaluasi dari setiap tahap dan langkah yang diambil.

e. Model PROBA (problem based approach)

Model analisa gender ini adalah suatu teknik untuk menganalisa kesenjangan gender

(gender gap). Dengan demikian analisa gender dimulai dengan melihat kesenjangan gender

yang selanjutnya dibentuk GFP (gender focal point) dan POKJA PUG dalam tataran

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengarusutamaan gender. Model analisa ini

juga dilengkapi dengan indikator-indikator seperti input, output, outcome dan proses.

Model Proba terdiri dari 5 tahap yang secara keseluruhan meliputi 12 langkah(hanya tahap-

tahap yang akan disebutkan dalam makalah ini) sebagai berikut:

1. Tahap I merupakan tahap analisa gender yang bertujuan untuk merumuskan


masalah gender yang terjadi disetiap instansi atau wilayah.
2. Tahap II merupakan tahap analisa kebijakan dari kegiatan atau proyek serta
kebijakan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender melalui proses
identifikasi, klarifikasi dan penetapan tujuan strategis untuk mewujudkan kondisi
yang netral gender.
3. Tahap III merupakan tahap formulasi kebijakan baru yaitu dengan cara
mereformulasi kegiatan/proyek/kebijakan yang bias gender menjadi responsif
gender
4. Tahap IV merupakan tahap penyusunan rencana aksi atau menyusun kegiatan
yang akan dilakasanakan.
5. Tahap V merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk
matrik monitoring program dengan menetapkan indikator kerja, membentuk
focal point dan pokja PUG sekaligus menyusun mekanisme operasional.
6. Tahap VI merupakan tahap perencanaan monitoring dan evaluasi dalam bentuk
matrik monitoring program sekaligus menetapkan indikator kinerja.

Kelima model analisis gender yang telah dipaparkan diatas digunakan untuk menela’ah

berbagai kegiatan/proyek/kebijakan yang menyebabkan terjadinya berbagai kesenjangan

gender yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kerjasama antara perencana

kebijakan, organisasi yang concern terhadap isu-isu perempuan dan gender dan terutama

antar perempuan akan membantu percepatan dari perwujudan kesetaraan dan keadilan

gender. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa relasi sosial antara laki-laki juga

penting dalam menyusun semua kebijakan. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan

dalam pembangunan menjadi penting karena pengalaman telah menunjukkan bahwa

pembangunan yang bersifat dikotomis dengan lebih menekankan pada salah satu jenis

kelamin kurang menunjukkan hasil yang signifikan.

Sumber bacaan

Kementrian Negara pemberdayaan Perempuan, Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan

Gender Bagi Fasilitator kategori Pengembangan, Jakarta: Kementrian Negara

Pemberdayaan Perempuan, 2006

Mansour, Fakih, Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Muawanah, Elfi dan Rifa Hidayah, Menuju Kesetaraan Gender, Malang: Kutub Minar, 2006

Tim Penulis PSW UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN

SYAHID, 2003

Tim Peneliti PSG UIN Malang, Baseline Study dan Analisis institusional Kesetaraan Gender

Di UIN Malang, Malang: Lemlit UIN Malang, 2006

[1] European Women and Sport, 2002. A New Strategy : Gender Mainstreaming, Paper

presented by Teresa Rees at the 5th European Women and Sport Conference in Berlin, April

18th-21st 2002 Hotel Crowne Plaza, Berlin

[2] Mansour Fakih, “Gender Mainstreaming Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan”

dalam Gender dan Perubahan Organisasi, Menjembatani Kesenjangan Antara Kebijakan dan

Praktek, Terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: INSIST, 1999), h. xxxiii

[3] Ratna Saptari & Brigitte Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1997), h. 154


4. Junaidatul Munawwarah dalam “Pengantar Kajian Gender” ( PSW UIN Syarif Hidayatullah

dengan DEPAG RI-CIDA, Jakarta: 2003) h. 181-182


Advertisements

PENGARUSUTAMAAN GENDER DAN KONSEP


DASAR GENDER
KONSEP DASAR GENDER
1. Latar belakang
Negara menjamin persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara, laki-laki dan perempuan.
Dalam konstitusi dasar negara UUD 1945, misalnya, dikemukakan jaminan negara atas persamaan
hak bagi setiap warga dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1), pekerjaan dan
penghidupan yang layak (Pasal 27, ayat 2), usaha bela negara (Pasal 30) dan dalam memperoleh
pendidikan (Pasal 31). Secara lebih operasional, GBHN 1999 mengamanatkan perlu adanya
lembaga yang mampu mengemban kebijakan nasional untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender. Di samping itu, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi dunia dan
menandatangani sejumlah deklarasi internasional berkaitan dengan persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan, seperti:

1. Konvensi ILO No. 100 tahun 1950 dengan UU No. 80/1957 tentang Pengupahan yang Sama
bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya;
2. Konvensi Hak Politik Perempuan (New York) dengan UU No 68/1958;
3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimanisi Terhadap Perempuan (CEDAW)
dengan UU No 7/1984.
4. Konvensi ILO No. 111 tahun 1985 dengan UU No. 21/1999 tentang Diskriminasi dalam
Pekerjaan dan Jabatan;
1. Konferensi Dunia ke IV tentang Perempuan (Beijing tahun 1985).
5. Deklarasi Jakarta (ASPAC tahun 1994);
6. Konferensi Internasional tentang Pembangunan Sosial (Copenhagen tahun 1994);
1. Optional Protocol 28 Februari 2000;
Adanya jaminan konstitusi dan berbagai kebijakan formal tersebut ternyata tidak dengan sendirinya
bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan nyata. Dalam kenyataan,
masih tampak berbagai bentuk ketimpangan gender pada berbagai aspek kehidupan. Salah satu
indicator yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan ini adalah Gender Empowerment
Measurement (GEM) dan Gender-related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari Human Developement Index. Berdasarkan Human Development Report 2000, GDI
Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174 negara yang diukur, dan lebih rendah dari Negara-
negara ASEAN lainnya.
Kesenjangan gender tampak terjadi di berbagai bidang pembangunan. Dalam bidang pendidikan,
misalnya, menurut Susenas 1997 diperoleh data, penduduk perempuan yang berpendidikan tinggi
sekitar 2,7%, lebih sedikit ketimbang laki-laki yang mencapai 3,34%. Selain itu, representasi
penduduk perempuan yang buta huruf mencapai 14,46%, sementara laki-laki hanya 6,6%. Dalam
Susenas 1999, jumlah penduduk perempuan yang berhasil menyelesaiakan pendidikan hingga
tingkat SLTP baru mencapai 31,4%, lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai
36%. Dalam bidang politik, terlihat bahwa representasi gender pada anggota legilatif masih amat
timpang. Anggota DPR perempuan baru mencapai 11,62% pada tahun 1997 dan 9,82% pada
tahun 1999 (Profil Wanita Indonesia, 1998). Di berbagai Lembaga Tinggi Negara lainnya pun
persentase perempuan rata-rata sangat kecil, yaitu: MPR = 7,8%, MA = 10,7%, dan DPA = 6,6%
(Soetjipto, A.W., 1997). Dalam jajaran eksekutif, PNS perempuan yang menduduki jabatan
struktural eselon III hingga eselon I hanya 7,2% sementara laki-laki 92,8% (Profil Wanita Indonesia,
1998). Di bidang ketenagakerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan baru
mencapai 43,5%, sementara TPAK laki-laki 72,6% (Susenas 1999), dan masih ditemui adanya
pemberian upah yang berbeda dengan pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang sama (RIPNAS PP
2000-2004). Di bidang pemerintahan, pejabat perempuan yang menduduki jabatan bupati/walikota
masih amat terbatas, dan hingga kini belum ada yang terpilih menjadi gubernur. Pada tingkat
menteri, di samping amat terbatas, perempuan umumnya menempati posisi jabatan stereotip.
Untuk memperkecil kesenjangan gender yang terjadi pada berbagai sektor kehidupan, maka
kebijakan dan program pembangunan yang dikembangkan saat ini dan di masa mendatang harus
mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki
ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi, pada seluruh kebijakan dan
program pembangunan nasional. Guna menjamin penyelenggaraan pembangunan seperti ini,
pemerintah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan yang mewajibkan seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non
departemen di pusat dan di daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam kebijakan
dan program yang berada di bawah tugas dan tanggung jawab masing-masing.

B. Konsep Dasar Gender

Gender adalah “konstruksi sosial tentang peran lelaki dan perempuan sebagaimana dituntut oleh
masyarakat dan diperankan oleh masing-masing mereka” (Hafidz, 1995: 5). Gender berkaitan
dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan
oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut
norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat (Buddi, dkk, 2000). Seperti halnya kostum
dan topeng di teater, gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan pesan kepada orang
lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Dan, ketika konstruksi sosial itu
dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena dianggap kodrati dan alamiah, menjadilah
itu ideologi gender.

Berdasakan ideologi gender yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan yang bersifat operasional (Ortner, dalam Saptari & Holzner, 1995).
Dalam pembagian peran gender ini, laki-laki diposisikan pada peran produktif, publik, maskulin, dan
pencari nafkah utama; sementara perempuan diposisikan pada peran reproduktif, domestik,
feminim, dan pencari nafkah tambahan (Fakih, 1997). Menurut Slavian (1994), penelitian-penelitian
kross-kultural mengindikasikan bahwa peran seks itu merupakan salah satu hal yang dipelajari
pertama kali oleh individu dan bahwa seluruh kelompok masyarakat memperlakukan laki-laki
dengan cara yang berbeda dengan perempuan.

Dalam praktiknya, menurut Fakih (1996), dikotomi peran ini kemudian ternyata memunculkan
berbagai bentuk ketidakadilan gender, seperti adanya marginalisasi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak (burden) dan sosialisasi
ideologi nilai peran gender.
Cara pikir stereotipe tentang peran gender sangat mendalam merasuki pikiran mayoritas orang.
Sebagai contoh, perempuan dianggap lemah, tidak kompeten, tergantung, irrasional, emosional,
dan penakut, sementara laki-laki dianggap kuat, mandiri, rasional, logis, dan berani (Suleeman,
2000) Selanjutnya ciri-ciri stereotipe ini dijadikan dasar untuk mengalokasikan peran untuk lelaki
dan perempuan (Wardah, 1995 : 20).

1. Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan gender (PUG), atau dalam istilah Inggeris: Gender Mainstraiming, merupakan
suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program
yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki
ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan
program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki:

 memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan,


 berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan. Termasuk proses pengambilan
keputusan,
 mempunyai kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan
 memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.
Penyelenggaan pangarusutamaan gender mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis gender
maupun pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan-
kebutuhan jangka pendek dan berkaitan dengan perbaikan kondisi perempuan dan/atau laki-laki
guna menjalankan peran-peran sosial masing-masing, seperti perbaikan taraf kehidupan,
perbaikan pelayanan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, penyediaan air bersih, dan
pemberantasan buta aksara. Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan perempuan dan/atau
laki-laki yang berkaitan dengan perubahan pola relasi gender dan perbaikan posisi perempuan
dan/atau laki-laki, seperti perubahan di dalam pola pembagian peran, pembagian kerja, kekuasaan
dan kontrol terhadap sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan strategis ini bersifat jangka panjang,
seperti perubahan hak hukum, penghapusan kekerasan dan deskriminasi di berbagai bidang
kehidupan, persamaan upah untuk jenis pekerjaan yang sama, dan sebagainya.
Dalam buku Panduan Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan, yang diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
dikemukakan sejumlah kondisi awal dan komponen kunci yang diperlukan rangka
menyelenggarakan pengarusutamaan gender. Kondisi awal dan komponen kunci yang dimaksud,
dikemukakan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1: Kondisi Awal dan Komponen Kunci Pengarusutamaan Gender

No Kondisi Awal yang Diperlukan Komponen Kunci


Political will dan kepemimpinan
dari lembaga dan pemimpin
eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Peraturan perundang-undangan,
misalnya:
 UUD 1945
Adanya kesadaran, kepekaan, dan  Tap MPR
respons, serta motivasi yang kuat  Undang-undang
dalam mendukung terwujudnya  Peraturan Pemerintah
kesetaraan dan keadilan gender.  Kepres
1.  Perda

Adanya kerangka kebijakan yang Kebijakan-kebijkan yang secara


secara jelas menyatakan sistemik mendukung
1. komitmen pemerintah, propinsi, penyelenggaran PUG, termasuk
kabupaten/kota terhadap kebijakan, strategi, program,
perwujudan kesetaraan dan kegiatan, beserta penyediaan
keadilan gender anggarannya, seperti:
 penyerasian berbagai kebijakan
dan peraturan yang responsive
gender
 penyusunan kerangka kerja
akuntabilitas
 penyusunan kerangka
pemantauan dan evaluasi yang
responsive gender
 pelembagaan institusi
pelaksana dan penunjang PUG.
Struktur organisasi pemerintah
dalam rangka pelaksanaan PUJ di
lingkup nasional, propinsi, dan
kabupaten/kota, yang ditandai
oleh terbentuknya:
 Unit PUG
 Focal point
 Kelompok Kerja
 Forum

Mekanisme pelaksanaan PUG


diintegrasikan pada setiap tahapan
pembangunan, mulai dari tahap
Struktur dan mekanisme perencanaan, pelaksanaan,
pemerintah, propinsi, penganggaran, pemantauan, dan
kebupaten/kota yang evaluasi.
1. mengtegrasikan perspektif gender
 § SDM yang memiliki
kesadaran, kepekaan,
keterampilan, dan motivasi
yang kuat dalam melaksanakan
PUG di unitnya.
 § Sumber dana dan sarana
Sumber-sumber daya yang yang memadai untuk
1. memadai melaksanakan PUG
Sistem Informasi dan data yang Data dan statistik yang terpilah
1. terpilah menurut jenis kelamin menurut jenis kelamin
Analisis gender untuk:
1. Alat analisis  § Perencanaan
 § Penganggaran
 § Pemantauan dan evaluasi
Partisipasi masyarakat madani
yang dilakukan dalam mekanisme
dialog dan diskusi dalam proses
Dorongan dari masyarakat perencanaan, pelaksanaan,
1. madani kepada pemerintah pemantauan dan evaluasi.

1. D. Lingkup Kegiatan dan Alur Kerja Pengarusutamaan Gender


Pengarusutamaan gender dilakukan dalam seluruh rangkaian kegiatan pembangunan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pemantuan, hingga evaluasi. Operasionalisasi kegiatannya melibatkan
tahapan dan alur kerja analisis gender, seperti digambarkan pada Gambar 1.

Seperti digambarkan pada Alur Kerja Analisis Gender, dalam perencanaan yang responsif gender,
terdapat tiga tahap utama, yaitu (1) melakukan analisis kebijakan gender, (2) memformulasi
kebijakan yang responsif gender, dan (3) menyusun rencana aksi
kebijakan/program/proyek/kegiatan yang responsif gender.

Tahap pertama dalam perencanaan, yaitu Analisis Kebijakan Gender, perlu dilakukan karena pada
umumnya kebijakan pemerintah hingga saat ini masih netral gender (gender neutral) dan kadang-
kadang, secara tidak sengaja, mempunyai dampak kurang menguntungkan bagi salah satu jenis
kelamin. Dengan menggunakan Data Pembuka Wawasan kita dapat melihat bagaimana kebijakan
dan program yang ada ssat ini memberikan dampak berbeda kepada laki-laki dan perempuan.
Tahap kedua, Formulasi Kebijakan Gender, dilakukan untuk menyusun Sasaran Kebijakan
Kesetaraan dan Keadilan Gender yang menggiring kepada upaya mengurangi atau menghapus
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, tahap ketiga, Rencana Aksi Kebijakan
Kesetaraan dan Keadilan Gender disusun sebagai suatu rencana aksi berupa
kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang perlu dilakukan untuk mengatasi
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Seluruh kegiatan dalam rencana aksi harus sesuai
dengan tujuan yang telah diidentifikasi dalam tahap Formulasi Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan
Gender di atas. Rencana aksi kebijakan ini perlu disertai dengan indikator keberhasilan untuk
mengukur kinerja pemerintah dalam mengimplemtasikan rencana aksi.
Pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang berperspektif gender
diselenggarakan setelah tahap-tahap perencanaan yang responsif gender seperti dikemukakan di
atas dilakukan. Dalam upaya mendukung dan mengefektifkan pelaksanaan pengarusutamaan
gender, perlu dilakukan beberapa hal, antara lain:

 Pemampuan dan peningkatan kapabilitas pelaksana pengarusutamaan gender


 Penyusunan perangkat pengarusutamaan gender, seperti perangkat analisis, perangkat
pelatihan, serta perangkat pemantauan dan evaluasi.
 Pembentukan mekanisme pelaksanaan pengarusutamaan gender, seperti forum komunikasi,
kelompok kerja, stering commite antar lembaga, dan pembentukan focal point pada masing-
masing sektor.
 Pembuatan kebijakan formal yang mampu mengembangkan komitmen segenap jajaran
pemerinah dalam upaya pengarusutamaan gender.
 Pembentukan kelembagaan dan penguatan kapasitas kelembagaan untuk pengarusutamaan
gender
 Pengembangan mekanisme yang mendorong terlaksananya proses konsultasi dan berjejaring.
1. E. Penutup
Pengarusutamaan gender merupakan suatu strategi yang bertujuan untuk menjamin tercapainya
kesetaraan dan keadilan gender, yaitu memastikan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh
akses kepada, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas, dan memperoleh manfaat yang sama
dari berbagai kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Keadilan dan kesetaraan gender sebagai salah satu cita-cita dan arah dalam pembangunan
nasional hanya dapat terwujud jika masyarakat, khususnya aparat negara, memiliki kesadaran,
kepekaan, dan respons serta motivasi yang kuat dalam mendukung terwujudnya keadilan dan
kesetaraan gender tersebut.

DAFTAR REFERENSI
Abdullah, Irwan (1997) “Dari domestik ke publik: Jalan panjang pencarian identitas perempuan.”
Dalam Irawan Abdullah (ed.) Sangkan paran gender. Yogyakarta: Pusat Penbelitian
Kependudukan, Universitas Gajah Mada
Beijing Declaration and Platform for Action.(1995) Fourth World Conference on Women. Beiijing, 15
September 1995. A/Conf.177/20 (1995) & A/Conf.177/Add.I (1975).
Fakih, Mansour (1997) Penyadaran gender: Buku panduan untuk para pekerja. Jakarta: ILO
Indonesia.
Hafidz, Wardah (1995). Daftar istilah jender. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. (2000) Rencana Induk Pembangunan Nasional
Pemberdayaan Perempuan 2000-2004. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2001). Panduan pelaksanaan Inpres No. 9
tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan. (Draft 26 April 2001). Jakarta: Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Moser, C.O.N. (1989) “Gender planning in the Third World: Meeting practical and

Mosse, J.C. (1996). “Apakah gender itu?” Dalam Mansour Fakih, Gender dan
pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa.
Mustari, B., Hasyah, H., Bella, R., Pandang, A., & Tahir, N.M. (2000). Konsep dasar jender: Materi
pelatihan. Makassar: TPP2W Sulawesi Selatan dan Biro Bina Sosial Sekretariat Daerah Sulawesi
Selatan.
Rahman, A. (2000). “Analisis jender sebagai alat analisa proyek dan hasil-hasil penelitian”.
Makalah disajikan pada Advance training on gender research and anlysis for PSW Core-group
trainig.. Kerjasama Program Studi Kajian Wanita PPS Universitas Indonesia dan WSP II, Jakarta:
28 Agustus – 2 September 2000.
Saptari, R. & Holzner, B. (1995) Perempuan kerja dan perubahan sosial: Sebuah pengantar studi
perempuan.Jakarta: Grafiti.
Slavian, R.E. (1994) Educational psychology: Theory and practice (Fourth edition). Boston: Allyn
and Bacon.
Suleeman, E. (2000) “Gender roles stereotypes and education” Dalam S. van Bemmelen, A.
Habsjah, & L. Setyawati (Penyunting). (2000). Benih bertumbuh: Kumpulan karangan untuk Pprof.
Tapi Omas Ihromi. Jakarta: Kelompok Perempuan Pejuang Perempuan Tertindas. (h. 517-535).
Woman’s Support Project II (2001). Lokakarya Analisis Gender (Rangkuman 4 lokakarya). Laporan
kegiatan oleh TPP2W Sulawesi Selatan bekerja sama Woman’s Support Project II.

MAKALAH SOSIOLOGI KELUARGA “Pembagian


Kerja Dalam Keluarga "
ISLAMIC NEWS 6:05 AM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesungguhnya banyak nilai-nilai ajaran agama Islam yang bersifat universal, misalnya tentang

kesetaraan antara pria dan wanita dalam rumah tangga yang belum banyak diketahui oleh masyarakat

luas. Padahal bentuk-bentuk kerja sama antara suami istri dalam Islam di antaranya adalah memimpin

keluarga jika ada musyawarah, memberi nafkah, mengasuh, mendidik anak dan mengerjakan urusan

rumah tangga. Namun demikian, masyarakat lebih mengenal kewajiban suami istri dari pada hak-hak di

antara keduanya dalam rumah tangga. Barangkali kondisi seperti ini tidak menjadi masalah bagi

keluarga yang istrinya tidak bekerja di luar rumah. Akan tetapi bagi istri yang bekerja di luar rumah,

nampaknya kondisi ini sangat tidak menguntungkan. Karena dengan pemahaman yang diskriminatif

atas gender membuat beban kerja wanita lebih berat.


Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok

untuk menjadi kepala rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensi dari

pandangan seperti itu, banyak kaum perempuan terutama dari kalangan keluarga kelas ke bawah harus

bekerja keras, lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga mulai dari membersihkan,

mengepel lantai, memasak, menyapu, mencuci dan memelihara anak.

Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut sering kali diperkuat oleh adanya pandangan

atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap sejenis oleh masyarakat sebagai

pekerjaan jenis “perempuan”, dikategorikan sebagai “tidak produktif” sehingga tidak diperhitungkan

dalam statistik ekonomi negara. Sementara kaum perempuan – karena anggapan perbedaan gender ini –

sejak dini disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak

diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik kesemuanya ini telah
memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan. [1]

Fondasi kehidupan keluarga adalah ajaran agama, sedang jalinan perekatnya adalah hak dan

kewajiban terhadap suami, istri dan anak. Namun hanya sedikit sekali dari pasangan suami istri yang

mengetahui ruang lingkup dari pengelolaan pekerjaan dalam rumah tangga. Sering kali hal ini

menyebabkan konflik pada pasangan dan akhirnya saling melempar tugas, apalagi bagi pasangan karier

ganda. Dan biasanya yang sering terbebani tugas domestik adalah istri, yang mulai bekerja sejak pagi

hingga sore hari. Sementara para suami enggan membantu tugas domestik itu dengan dalih pembagian

peran.

Pemerintah dengan tegas mengakui perbedaan peran tersebut dan menyatakan bahwa peran serta

kaum wanita dalam proses pembangunan harus berkembang selaras dan serasi dengan peran mereka

dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan kata lain peran yang diberikan wanita adalah

peran ganda, dalam artian mereka bertanggung jawab atas urus dan rumah tangga akan tetapi juga

diharapkan melakukan aktivitas di luar rumah sebagai anggota masyarakat.

Namun dalam prakteknya, hal seperti itu belum terwujud. Masih banyak terjadi ketidakadilan peran

antara wanita dan pria dalam keluarga. Pembagian kerja yang tidak adil dalam keluarga merupakan hal

yang sudah menjamur dan melembaga bahkan merupakan hal tertua dan terkuat. Umurnya sudah ribuan

tahun dan sampai sekarang masih tetap bertahan. Sehingga orang sering kali menganggap pembagian

kerja secara seksual merupakan suatu yang alamiah.

B. Rumusan Masalah

Pada makalah kali ini penulis mencoba mengerucutkan akar permasalahan menjadi rumusan masalah di

bawah ini:
1. Teori apa yang mendasari pembagian kerja atau peran suami Istri dalam keluarga?

2. Bagaimana seharusnya keluarga Islam membagi tugas atau kerja dalam keluarga?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Ketidaksamaan

Sebagian masyarakat nampaknya masih menggunakan jenis kelamin sebagai patokan dalam

pembagian kerja sosial individu. Karena memang pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan dicetak

dalam keadaan yang berbeda. Dari ketidaksamaan jenis kelamin tersebut, maka lahirlah beberapa teori

yang menuju pada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.

Murdock dan Provost telah berusaha untuk mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang paling

konsisten untuk maskulin dan feminin yang dapat dijumpai di seluruh Indonesia. pada umumnya,

kegiatan-kegiatan yang secara konsisten diperuntukkan bagi kaum pria (maskulin) adalah kegiatan-

kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang lebih besar, tingkat risiko dan bahayanya lebih tinggi,

sering keluar rumah dll. Sebaliknya kerja yang dilakukan feminin secara konsisten, relatif kurang

berbahaya, cenderung lebih bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi yang intens, kurang
memerlukan latihan yang intensif dan keterampilan rendah. [2]

Ada beberapa teori untuk menjelaskan sifat pembagian kerja dan ketidaksamaan menurut jenis

kelamin. Sebagian teori tersebut terpusat pada penjelasan mengenai pola universal, sementara yang lain

lebih memperhatikan penjelasan-penjelasan mengenai perbedaan dan peranan jenis kelamin, di

antaranya adalah

1. Teori Sosiobiologi

Teori ini berusaha menjelaskan sifat semesta keunggulan laki-laki dengan mengacu kepada perbedaan-

perbedaan biologis yang mendasar di antara jenis kelamin itu. Teori ini sependapat bahwa tanpa

memperhatikan elaborasi sosial ketidaksamaan menurut jenis kelamin, perbedaan peranan seks

terbentuk menurut ciri-ciri tertentu yang mendasar dan biologi manusia.

2. Teori Materialistis

Teori ini berusaha untuk menjelaskan pola-pola peranan jenis kelamin sebagai produk pengaturan

infrastruktur suatu masyarakat. Mereka lebih memusatkan perhatian kepada variasi dalam sistem

peranan jenis kelamin, dan pada umumnya setuju bahwa sifat teknologi, produksi ekonomi, dan
ekologilah bukan keharusan biologis yang pada dasarnya menentukan bagaimana konsep mengenai

jenis kelamin itu selain berhubungan

3. Teori Politik

Teori ini juga berusaha untuk menjelaskan perbedaan dalam pola peraturan jenis kelamin. Yang

menonjol dari pada teori politik adalah memberi penekenan pada perbedaan-perbedaan dalam

kelaziman berperan sebagai penentu kunci dari adanya perbedaan-perbedaan dalam peranan jenis
kelamin itu.[3]

B. Ketidakadilan Gender Dalam Rumah Tangga

Gender adalah konsep yang merujuk pada sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-

laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi ditentukan oleh lingkungan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya.[4] Sebagai perumpamaan, wanita dikenal cantik, lemah lembut,

emosional dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat

itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, yang bisa mengubah dari waktu ke waktu.

Banyak sekali ahli di bidang antropologi, sosiologi dan ekonomi yang mengasumsikan bahwa

diferensiasi peranan dalam keluarga berdasarkan jenis kelamin dan alokasi ekonomi mengarah pada

adanya peranan yang besar atau menyeluruh pada wanita dalam pekerjaan rumah tangga (reproduksi)

dan laki-laki dalam pekerjaan produktif (mencari nafkah). Walaupun demikian dari hasil penelitian

tentang curahan waktu pria dan wanita dalam rumah tangga di berbagai pekerjaan menunjukkan tidak

sedikit wanita yang mempunyai peranan sebagai pencari nafkah dalam bidang pertanian, perdagangan
dan industri kecil.[5]

Karena peran perempuan adalah mengelola rumah tangga dan memelihara anak, maka hal ini

mengakibatkan terjadi ketidakadilan gender dalam keluarga yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk

yaitu:

1. Burden. Perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari pada laki-laki.

2. Subordinasi. Adanya anggapan rendah (menomor duakan) terhadap perempuan dalam segala bidang

baik pendidikan, ekonomi dan politik

3. Marginalisasi. Adanya proses pemiskinan terhadap perempuan karena tidak dilibatkan dalam

pengambilan keputusan-keputusan penting yang terkait dengan ekonomi keluarga

4. Stereotype. Adanya pembelaan negatif terhadap perempuan karena dianggap sebagai pencari nafikan

tambahan

5. Violence. Adanya tindak kekerasan baik psikis maupun fisik terhadap perempuan karena anggapan
suami sebagi penguasa tunggal dalam rumah tangga [6]
Untuk membongkar adanya berbagai macam ketidakadilan tersebut, maka tindakan yang strategis

untuk dilakukan adalah membongkar pola pembagian kerja. Karena dengan pola pembagian kerja yang

adil dalam rumah tangga, di mana suami, istri dan anak sama-sama mempunyai akses dan kontrol

secara adil di bawah kepemimpinan yang demokratis, tidak sewenang-wenang, tanggung jawab dan siap

dikontrol oleh seluruh anggota keluarga sehingga akan tercipta keadilan relasi antara pria dan wanita

dalam keluarga dan masyarakat.

Adapun beberapa indikator ketidakadilan suami istri dalam pembagian kerja rumah tangga adalah

sebagai berikut:

1. Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin tidak berdasarkan keahlian

2. Anggapan rendah pekerjaan domestik

3. Anggapan ringan pekerjaan domestik

4. Pekerjaan domestik merupakan tanggung jawab istri


5. Istri berdosa apabila tidak menyelesaikan pekerjaan domestik[7]

C. Pembagian Kerja Menurut Jenis Kelamin

Pengalaman pemasyarakatan yang dini itu, di mana anak-anak muda mulai memperoleh

nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka merupakan dasar bagi tingkah laku dewasa mereka

kelak, jika mereka menjadi orang tua dan suami/istri. Perbedaan dalam peran sex sangat menonjol

dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin. Pada semua masyarakat tugas-tugas tertentu diberikan

pada wanita, ada yang lainnya pula diberikan pada laki-laki dan ada pula yang diberikan pada kedua-

duanya.

Seorang laki-laki tidak dapat melahirkan anak atau merawatnya. Laki-laki lebih kuat dari

pada perempuan yang sebaliknya kadang-kadang terhalang oleh waktu hamil, menstruasi dan

melahirkan. Tetapi sebaliknya wanita cukup mempunyai kekuatan, kecepatan dan ketelitian untuk
mengerjakan hampir semua pekerjaan di tiap masyarakat. [8]

Sama pentingnya bahwa apa yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki dalam suatu

masyarakat mungkin saja dianggap pekerjaan wanita pada masyarakat lain. Dengan demikian

menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan dan faktor biologis hanya

beberapa persennya saja.

Rata-rata pekerjaan laki-laki itu menenmpati porsi pekerjaan yang berat-berat dan

membutuhkan tenaga ektra. Sebaliknya perempuan kebanyakan mendominasi pekerjaan yang relative

lebih ringan dan tidak membutuhkan tenaga super. Seperti mencuci, memasak, menyapu dan lain

sebagainya.
Namun tidak menutup kemungkinan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan tersebut

dicampur adukkan dan tidak ada pemisahan antara mereka. Karena pada kenyataannya tidak sedikit

wanita yang menempati ruang pekerjaan laki-laki. Pembagian itu bukan didasarkan atas pertimbangan

kemampuan terlihat dari kenyataan bahwa laki-laki pun mampu melakukan pekerjaan wanita. Dalam

hal ini, apapun tugas laki-laki dianggap lebih terhormat dari pada perempuan.

Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu:

produksi, reproduksi dan komunitas atau yang disebut juga 3 peran gender (triple role), yaitu sbb:

1. Kerja produktif

Adalah semua pekerjaan terkait dengan produksi barang dan jasa untuk mendapatkan

penghasilan dan subsitensi (pemenuhan kebutuhan dasar). Perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja
untuk pekerjaan produktif, namun tidak semua dari jenis pekerjaan ini sama nilai atau harganya.[9]

2. Kerja reproduktif

Adalah pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan rumah tangga dan
anggotanya.[10] Jenis pekerjaan ini sangat dibutuhkan dan penting sifatnya, akan tetapi sering

dianggap tidak sama nilainya dengan pekerjaan produktif. Pekerjaan ini penting bagi keberlangsungan

hidup manusia serta berguna untuk pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja, namun jarang sekali

dianggap sebagai pekerjaan ‘riil’.

Sebagai contoh, ketika orang ditanya apa pekerjaan mereka, maka tanggapan mereka adalah

biasanya berkaitan dengan pekerjaan yang dibayar atau pekerjaan untuk peningkatan pendapatan.

Biasanya pekerjaan reproduktif umumnya tidak dibayar dan tidak diperhitungkan dalam statistik

ekonomi yang konvensional. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh perempuan.

3. Kerja komunitas

Adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas kemasyarakatan seperti upacara dan perayaan

yang tujuannya untuk meningkatkan solidaritas dalam masyarakat serta mempertahankan tradisi

setempat, meningkatkan partisipasi dalam kelompok atau organisasi sosial, kegiatan politik di tingkat

lokal. Tipe pekerjaan ini jarang sekali diperhitungkan dalam analisis ekonomi dan dianggap sebagai

pekerjaan sukarela dan dianggap penting untuk pengembangan spiritual dan kultural dari suatu

komunitas. Baik perempuan dan laki-laki terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan ini, meskipun tidak

terlepas dari sistem pembagian kerja berdasarkan gender. Jenis kerja komunitas ini diklasifikasi atas dua

tipe, yaitu:

a) Pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan komunitas (community-managing activitis) adalah

pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh perempuan sebagai perpanjangan dari peran reproduktif

mereka. Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin adanya pengadaan dan pemeliharaan atas sumberdaya
yang terbatas yang dimanfaatkan oleh setiap orang seperti air, perawatan kesehatan, dan pendidikan.

Pekerjaan ini bersifat sukarela, dilakukan pada waktu luang perempuan.

b) Pekerjaan yang berkaitan dengan politik masyarakat (community politics) adalah pekerjaan yang

umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dalam organisasi politik formal, seringkali dalam kerangka

politik nasional. Umumnya mereka dibayar secara tunai dalam pekerjaan ini, atau mendapat keuntungan
secara tidak langsung dengan meningkatnya status atau kuasa.[11]

D. Pembagian Kerja dalam Keluarga Muslim

Pola pembagian kerja dalam keluarga lebih banyak didasarkan pada perbedaan jenis kelamin

dari pada keterampilan yang dimiliki oleh suami istri sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Arif

Budiman bahwa pembagian kerja secara seksual lebih didasarkan pada struktur perbedaan genetis
antara laki-laki dan wanita.[12]

Sebagaimana kita lihat pada budaya masyarakat Jawa, perempuan biasanya ditugaskan untuk

melakukan tugas dalam peristiwa sosial (perkawinan dan kelashiran), sedangkan suami diberi tuga

dalam acara ritual keagamaan. Diferensiasi peranan dalam keluarga, Nampak bahwa perbedaan posisi

anggota keluarga didasarkan pada berbagai pertimbangan seperti perbedaan umur, jenis kelamin,

ekonomi dan kekuasaan.

Sebenarnya dalam pembagian pekerjaan rumah tangga keluarga muslim, ada tiga kata kunci

yang sering diperdebatkan yakni kata “Pemimpin, Taat, Dan Adil”. Ketiga kata ini hendaknya dipahami

dengan menggunakan paradigma laki-laki dan perempuan, untuk mencari format yang ideal dalam

mengaplikasikan ketiga kata ini. Misalnya kalau laki-laki benar sebagai pemimpin dalam rumah tangga,

maka pola kepemimpinan apa yang tepat untuk diterapkan apakah demokrasi atau otoriter.juga dalam

pengaplikasian ketaantan, aturan-aturan apa saja yang harus ditaati dan mana yang tidak perlu ditaati.

Demikian juga halnya dengan konsep aplikasi “keadilan”, proporsi yang bagaimnbakan yang

bisa dikatakan adil dalam pembagian kerja dalam keluarga, karena pada dasarnya pria dan wanita

memliki potensi yang sama untuk berkembang. Apakah konsep pembagian kerja berdasarkan jenis

kelamin, atau berdasarkan berat ringannya pekerjaan, atau berdasar kemampuan yang dimiliki suami

istri atau pula berdasarkan siapa ynag berkuasa dalam rumah tangga.

Dalam wacana keislaman klasik, secara umum wanita digeneralisasikan sebagai makhluk yang
melebur ke dalam citra laki-laki yakni sebagai obyek dan makhluk domestic.[13]Kitab-kitab fikih telah

mengaburkan posisi sentral perempuan sebagai “keibuan” yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan

menjadi posisi “keistrian” yang submisif dan tergantung. Bahkan dalam kitab fikih tidak punya

gambaran sama sekali tentang masalah perempuan lebih banyak didasarkan pada hadis-hadis nabi yang
kondisional dan dipengaruhi oleh perspektif para ulama yang mengedepankan konsep ird (kehormatan

suku Arab) dari pada dikembalikan menurut al-Qur;an yang menjamin keuniversalitasan Islam.

E. Tugas atau Kewajiban dan Hak Anggota Keluarga

Salah satu dari tujuan perkawinan ialah harapan akan mendapatkan karunia anak keturunan yang

akan meneruskan sejarah riwayat hidup seseorang untuk membina keluarga sakinah. Dari proses

perkawinan hingga lahirnya anak keturunan ini timbullah masalah-masalah hukum yang harus dipatuhi

oleh masing-masing suami istri yang statusnya berganti menjadi bapak, ibu dan anak.

Dalam perspektif islam, berikut beberapa uraian mengenai tugas hak dan kewajiban orang tua dan
anak[14].

1. Tugas Ibu

Ibu sebagai orang tua dari anaknya dia mempunyai tugas mengasuh anak bayinya, secara khusus di
sebut dengan al-hadhonah[15]Tugas kewajiban ibu dengan al-hadhanah ini mencakup pekerjaan-

pekerjaan sebagai berikut :

a. Mengasuh anak yang masih belum mampu mengurus masalah-masalah diri sendiri

b. Mencegah apa yang bisa membahayakan dia seperti kisah keluarga Imran berebut untuk menjadi

pengasuh dan menjaga Maryam ibunda nabi Isa (ali Imran 37 dan 44)

c. Mengatasi urusan untuk kepentingannya

d. Melayani masalah makan minum, tidur, mandi, berpakaian, mencuci pakaian sekaligus menumpahkan

cinta dan kasih sayang kepada anak.

e. Mendidik anak. Khusus untuk ibu, tugas ini sangat erat mengikat dia ialah pada umur dan periode

sebelum mumayyiz. Kompilasi Hukum Islam pasal 105 (a) menetapkan umur mumayyiz anak ialah 12

tahun.

Az-zuhaili dalam al-Fiqhul Islami (1989:7/718) menyatakan bahwa untuk mengasuh anak (al-

hadhanah) ini melekat kepada 3 orang, yaitu: anak, ibu, dan bapak. Untuk anak sudah jelas, dia

mempunyai hak penuh untuk dirawat, sedangkan bapak dan ibu akan terlihat jelas bagaimana haknya

untuk mengasuh anak, ketika terjadi perceraian dari perkawinan itu maka hak dan kewajiban untuk

mengasuh anak menjadi masalah yang sangat serius.

Dalam hal hadlanah maka terdapat tugas kewajiban yang terpadu menjadi tugas kewajiban bersama-
sama si ibu maupun bapak itu.[16]

2. Tugas Bapak

Sebagai kepala keluarga dituntut menanggung jawab masalah sebagai berikut :


a. Mampu mengatasi ujian atas tanggungannya berupa anak maupun istri (ali imran 14; al anfal 28; al

ankabut 85; al kahfi 45; al munafiqun 9; at taghabun 15)

b. Anak merupakan anugrah dan rahmat Allah, maka harus disayangi dan dicintai tidak boleh ada rasa

tidak suka kepada anak (yusuf 13, 64, 67, 84-85)

c. Anak sebagai penyambung sejarah dan riwayat hidup diri dia harus didoakan untuk memperoleh

keberkahan dan rahmat allah (maryam 6; al furqan 74; al ahqaf 15)

d. Berusaha keras mendidiknya agar anak itu kelak akan membawa harum nama orang tua (al kahfi 82)

e. Bersikap adil atas semua anak tidak boleh menganaktirikan yang satu dari yang lain (yusuf 8)

f. Memberi nasehat masalah-masalah yang sangat penting kepada anak (al baqarah 132-133; hud 42-43)

g. Memberikan pendidikan islam yang ideal (luqman 13, 17-19)

h. Memberikan pelatihan kecakapan mengatasi segala macam masalah (al anbiya 78-79) dan pelajaran

ibadah (al baqarah 132-133; luqman 13; at tahrim 6; thaha 132)

Az-zuhaili dalam al-fiqhul islami (1989:7/718) memberikan rincian yang senada bahwa tugas

kewajiban bapak menanggung sepenuhnya kebutuhan keluarga meliputi masalah-masalah berikut:

a. Menentukan kebijakan mengatur rumah tangga

b. Sangat peduli, amper, dan kritis atas tanggung jawabnya

c. Penuh perhatian atas masalah rumah tangganya

d. Teguh hati, pantang mundur


e. Menciptakan suasana dan nuansa yang mengutamakan al akhlaqul karimah.[17]

3. Hak-hak anak dan kewajiban orang tua untuk anaknya


a. Untuk jangka panjang : Hak untuk Beragama tauhid[18]

Dalam hal ini para ulama lebih menekankan bahwa hak anak dan wajib dipenuhi oleh orang tua itu ialah

untuk mengasuh akidah kepercayaan amal ibadah dengan baik. Dalam hal ini Allah menetapkannya

dalam al-qur’an surat at tahrim ayat 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan

bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak

mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa

yang diperintahkan.”
b. Untuk jangka pendek : hak untuk hidup yang lebih baik[19]

Al-quran surat al baqarah ayat 233 menunjuk langsung hak anak yang masih bayi, yaitu : (1) hak

untuk hidup; (2) hak untuk mendapat perawatan bagi dirinya untuk hidup yang lebih baik lagi.

Keduanya diwujudkan berupa pemberian air susu dari ibunya sendiri selama dua tahun dan

perawatannya sampai dewasa.


Lebih rinci lagi Az-zuhaili dalam al fiqhul islami (1989:7/671) mencatat ada 5 (lima) macam hak anak
sekaligus menjadi kewajiban bapak ibunya, yaitu:[20]

Hak atas ikatan nasab atau asal usul garis keturunan ke atas, suatu faktor yang sangat

menentukan soal siapa orang yang bertanggungjawab merawat anak. Allah sendiri yang mengatur garis

keturunan dan asal usul setiap bayi.

Hak untuk mendapat susuan dari ibunya sendiri dan susuan ini sangat penting untuk menjadi sarana

pertama untuk hidup. Dalam al-qur’an surat al baqarah 233 Allah menetapkan tenggang waktu untuk

memberi air susu ibu dua tahun dimaksudkan agar supaya pertumbuhan jiwa dan raga anak itu menjadi

sempurna

Hak mendapat santunan yang disebut hadhanah tersebut diberikan hingga si anak mencapai

usia yang memungkinkan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Menurut ulama malikiyyan

sampai dewasa, menurut ulama syafi’iyyah sampai usia 7 tahun.

Hak perwalian anak untuk melaksanakan perbuatan hukum mengenai diri dan hak-hak

kebendaan. Hak nafkah, yaitu hak atas seluruh biaya hidup yang diperlukan olehnya, mulai dari

kebutuhan makan, minum, pakaian, perawatan sampai membesarkan anak sampai dewasa sehingga

sapat mandiri mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.

Yang perlu di catat disini bahwa 5 macam hak tersebut di atas harus ditambah lagi dengan

suatu hak yang berlaku sebelum anak dimaksud lahir ke dunia, maka sebenarya anak dalam kandungan

itu sudah mempunyai hak asasi, yaitu hak untuk hidup.

BAB III

ANALISIS DAN KESIMPULAN

Menurut pandangan dan sesuai pengetahuan - keagamaan dan sosial - penulis mengenai

pembagian kerja dalam rumah tangga, penulis sedikit menganalisa bahwa pada dasarnya pembagian

kerja dalam rumah tangga harus sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota keluarga. Sesama

anggota keluarga harus saling memahami antara satu sama lain.

Sistem pembagian kerjanya jika dikaitkan dengan gender atau jenis kelamin, maka

menurut penulis hal itu tidak masalah, bahkan baik karena memang padasarnya laki-laki dan perempuan

diciptakan dengan postur tubuh yang berbeda. Begitu pula dengan besar kekuatan yang dimiliki mereka

sangat berbeda. Wanita identik lebih lemah dan lembut dari pada laki-laki. Oleh karena itu pembagian
kerjanya pun harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Sehingga tidak njomplang dan tumpang

tindih.

Dalam keluarga, seharusnya antara suami dan istri harus bisa saling memahami. Bukan

berarti jika istri hanya melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci dan merawat

anak itu dianggap remeh. Justru pekerjaan domestik seperti itulah yang sangat urgen dalam

keberlangsungan rumah tangga. Bayangkan saja jika istri tidak menjalankan semua itu, maka yang

terjadi rumah akan kotor, semua anggota keluarga kelaparan, baju pada kotor, dan rumah akan tampak

seperti layaknya kandang atau tempat sampah yang tidak nyaman bagi para penghuninya. Pun begitu

terhadap pekerjaan suami.

Keluarga dalam hal ini harus mempu memposisikan peran masing-masing dan

seharusnya pemimpin dalam keluarga yakni suami harus menjadi seortang imam yang bretanggung

jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya. Di sini pemimpin harus pandai-pandai menempatkan

posisi adil dan bijaksana

Dalam hal ini, penulis memandang bahwa pekerjaan suami istri sama sama penting dan

alangkah romantisnya jika keduanya saling membantu satu sama lain jika pekerjaan mereka telah usai,
sehingga yang tercipta dalam kaluarga adalah suasana nyaman dan membahagiakan. [21]

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arif. Pembagian Kerja Secara Seksual.1978. Jakarta: Gramedia


Muchlas, Imam. Al-Qur’an Berbicara Tentang Hukum Perkawinan, 2006,
Malang: UMM Press.
Fakih, Mansur. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1996. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Su’aidah, Sosiologi Keluarga, 2005, Malang: UMM Press.
Khilmiyah Akif. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan Sosial dan
Humanisasi Mulai dari Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja.
William. J. Goode. Sosiologi Keluarga. 1983, Jakarta: Bina Aksara. Cetakan
pertama.
http://genderpedia.blogspot.com/2010/08/pembagian-kerja-berdasarkan-
gender.html. Diakses pada tanggal 13 Juni 2011 jam 16.13 WIB.
Tarjamah Al-Qur’an al Karim
[1] Mansur Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1996. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hal. 21

[2] Su’aidah, Sosiologi Keluarga, 2005, Malang: UMM Press. Hal 187.
[3] Ibid, hal 186-211
[4] Mansur Fakih, Op.Cit hal. 8
[5] Akif Khilmiyah. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan Sosial dan Humanisasi Mulai dari
Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja. Hal. 9.

[6] Mansur Fakih. Op.Cit. Hal 15.


[7] Akif Khilmiyah. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan Sosial dan Humanisasi Mulai dari
Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja. Hal. 11.

[8] William. J. Goode. Sosiologi Keluarga. 1983, Jakarta: Bina Aksara. Hal. 141
[9] Jenis pekerjaan kategori inilah yang paling utama diakui dan dianggap lebih bernilai
sebagai pekerjaan baik oleh individu maupun masyarakat, secara umum yang paling banyak

dimasukkan ke dalam statistik ekonomi nasional

[10] Seperti memasak, mencuci, menyapu, membersihkan, merawat, menjaga dan


membesarkan anak, memelihara tempat tinggal, dan sebagainya.

[11] http://genderpedia.blogspot.com/2010/08/pembagian-kerja-berdasarkan-gender.html.
diakses pada tanggal 13 Juni 2011 jam 16.13 WIB.

[12] Arif Budiman. Pembagian Kerja Secara Seksual.1978. Jakarta: Gramedia. Hal 7
[13] Akif Khilmiyah. Op Cit. hal.69
[14] Imam Muchlas, Al-Qur’an Berbicara Tentang Hukum Perkawinan, 2006, Malang: UMM Press.
Hlm. 89

[15] Al-qur’an surat al-baqarah 233; al-ahqaf 15; luqman 14.


Secara etimologi, hadlanah berasal dari bahasa arab yang berarti "bagian samping tubuh yang bisa

dipergunakan untuk menggendong anak kecil".

Sedang secara terminologi, hadlanah berarti mengasuh, memelihara dan mendidik anak kecil yang

belum mumayyiz.

[16] Imam Muchlas, Op.cit. hlm. 90


[17] Ibid, Hlm. 92
[18] Ibid, Hlm. 275
[19] Ibid. Hlm. 277
[20] Ibid. Hlm. 278-283

[21] Penulis sengaja meletakkan analisis dan kesimpulan pada satu bab saja karena isi dari
analisis inilah yang nantinya juga merupakan kesimpulan dari pada makalah yang paenulis buat.

PERILAKU GENDER YANG TERJADI DALAM KELUARGA

Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai
pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di
media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes
dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat
internasional, negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga.

Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan
fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya
membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta
kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan
selalu dinilai sebagai makhluk yang lebih inferior daripada laki-laki. Perempuan dianggap sebagai
makhluk yang lemah sehingga harus berada di bawah kekuasaan laki-laki. Hal tersebut akhirnya
menimbulkan diskriminasi terhadap kaum perempun dalam lingkungan masyarakat bahkansampai dalam
lingkungan keluarga.

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan
seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan , maupun pengertian-pengertiantentang kehidupan. Ayah, ibu, serta
anggota keluarga yang lain merupakan guru bagi anak. Oleh karena itu keluarga menjadi institusi yang
penting bagi anak di dalam mengembangkan perilaku-perilaku tertentu. Salah satu perilaku yang
dipelajari di dalam keluarga adalah perilaku yang aberkaitan dengan gender. Bagaimana anak laki-laki
harus bersikap atau bagaimana anak perempuan harus berperilaku diajarkan pertama kali di dalam
keluarga. Ada sebuah uangkapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada cara
memperlakukannya. Ungkapan tersebut tidak salah karena laki-laki dan perempuan memang sudah
diperlakukan secara berbeda sejak mereka dilahirkan. Dalam perkembangannya laki-laki kemudian lebih
banyak diuntungkan oleh budaya patriarki yang ada dalam masyrakat. Kondisi ini menjadikan perempuan
terpinggirkan dalam banyak hal, termasuk di dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara.
Bahkan dalam institusi keluarga, perempuan sering menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan
penderitaan bagi perempuan.

Persoalan gender yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang
dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman
tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang
tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak
perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan
perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah
dan berpendidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik,
tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang
antara perempuan dan laki-laki masih jauh dari harapan.

Keluarga menjadi tempat pertama kali gender ditumbuhkan, misalnya dalam penyiapan pakaian sudah
dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan, anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan
mobil-mobilan, kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi
mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif
lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan motif baju juga
ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh
remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki lazimnya
harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik, elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan
harus bisa memasak, menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal
yang mengalami diskriminasi tersendiri.
Kesadaran gender anak-anak kemudian tumbuh dalam keluarga melalui kondisi real hubungan ayah dan
ibu serta perlakuan yang mereka dapatkan, sementara pada kenyataannya dalam keluarga-keluarga
masih diwarnai praktik bias gender yang tidak adil terhadap perempuan ibu maupun anak. Posisi suami
sebagai “kepala keluarga” yang mengambil keputusan final, serta istri yang harus menanggung beban
ganda sebagai pengurus rumah tangga dan pencari nafkah, jelas gambaran tidak adil dan tidak setara.
Kesempatan pendidikan lebih diberikan kepada anak laki-laki, sementara banyak pembatasan lebih
diberikan kepada anak perempuan, juga gambaran bagaimana bias gender ini masih mewarnai
kehidupan keluarga. Tradisi dan agama pun ikut melegitimasi budaya patriarki sehingga memperoleh
pembenarannya. Pada akhirnya, masyarakat pun mengamini praktik-praktik semacam itu.

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur
kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling
tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin
anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara
perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki
kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype
bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi
keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab
ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang
punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan
ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan
yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu
menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam
memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai
pelengkap saja (pencari nafkah tambahan). Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran
perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak
terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah
sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-
peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat
sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.

Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagai tugas/peran ibu, ayah, anak laki-laki, atau
anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-
peran yang melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada streotype yang
dilekatkan pada perbedaan gender. Kesalahan mendasar pada sistem keluarga, lebih banyak
diakibatkan pola pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya yang masih berorientasi
pada dogma-dogma patriarkis. Image anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat
feminimnya sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan segala
atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola pendidikan yang diberikan orang
tua dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap anak baik perempuan maupun laki-laki memiliki sifat
feminim dan maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat yang lebih dominan.
Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam keluarga yang tidak seimbang, bahkan
menempatkan posisi perempuan sebagai subordinat banyak menimbulkan konflik dalam keluarga yang
secara tidak sadar konflik tersebut akan berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan konflik
kemanusiaan

Dibutuhkan perubahan paradigma, khususnya dalam hubungan suami istri, untuk memulai penumbuhan
kesadaran akan kesetaraan gender dalam keluarga. Suami istri saling menghargai sebagai pribadi yang
semartabat, kendati tetap mengakui adanya perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan-perbedaan fungsi lebih bertumpu pada pembagian tugas dan partisipasi daripada atas dasar
gender. Dalam hal ini, tugas mengurus dan mendidik anak adalah tugas bersama antara ayah dan ibu.
Boleh dan tidak boleh suatu perbuatan bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang
dikandungnya. Pendidikan yang paling efektif adalah keteladanan dan anak-anak belajar dari sana.
Orangtua yang memiliki kesadaran gender tinggi akan melahirkan anak-anak yang demikian pula, dan ini
berarti membekali anak-anak dengan ketrampilan hidup yang sesungguhnya.

Pendidikan adil gender di tingkat keluarga sangatlah penting untuk membangun relasi gender yang
lebih harmonis mulai dari tingkat keluarga sampai dengan tingkat nasional agar masyarakat adil dan
makmur dapat tercapai dengan lebih cepat dan lebih baik. Melalui manajemen sumberdaya keluarga
(yang terdiri atas sumberdaya materi, sumberdaya manusia, dan sumberdaya waktu) yang berwawasan
gender, maka diharapkan masalah kemiskinan yang mendominasi masyarakat pesisir akan teratasi
dengan lebih baik. Hal penting lain yang diharapkan berubah adalah adanya perubahan gradual terhadap
belenggu budaya yang merugikan masyarakat pesisir baik laki-laki maupun perempuan dalam menuntut
pendidikan formal di sekolah. Untuk itu, pengasuhan yang berwawasan gender adalah solusi yang tepat
untuk meningkatkan angkapartisipasi sekolah baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Sehingga diharapkan nantinya, isu gender yang bersifat negatif dapat berkurang dalam lingkungan
keluarga maupun masyarakat. Sehingga tak ada lagi perempuan yang merasa dirugikan atas adanya
pelabelan gender ini. Karena, pelabelan ini dapat menjadi penghalang aktivitas mereka. Banyak dari
perempuan yang berkecil hati karena adanya pelabelan ini. Banyak juga dari mereka yang akhirnya
hanya mengikuti arus yang ada di masyarakat tanpa mempedulikan perkembangan kepribadiannya
sendiri. Mereka beranggapan posisi mereka ada dibawah laki-laki. Hal ini mengakibatkan potensi para
wanita menjadi terisolasi dan susah untuk dieksplorasi. Untuk itulah, kesetaraan gender ini harus
diperhatikan dan dipahami oleh tiap-tiap individu baik itu laki-laki maupun perempuan, bahwa
sebenarnya hak-hak mereka adalah sama dan memiliki potensi yang sama untuk dapat
mengembangkan kepribadiannya sendiri-sendiri sehingga dapat melaksanakan fungsinya secara
maksimal, baik itu fungsi dalam keluarga maupun dalam ruang lingkup masyarakat luas. Oleh karena itu,
kita harus menanamkan kesadaran gender, baik untuk diri sendiri, maupun untuk anggota keluarga lain.
Kesadaran ini perlu juga diajarkan sejak dini, agar nantinya anak-anak telah memiliki pengetahuan
tentang masalah gender ini.

Anda mungkin juga menyukai