PENGARUSUTAMAAN GENDER
Home › Gerakan Pengarusutamaan Gender
Salah satu strategi pembangunan yang di lakukan untuk mencapai kesetaraan dan
keadilan Gender. Melalui pengintegrasian pengalaman, aparesiasi, kebutuhan dan
permasalahan laki-laki dan perempuan ke dalam perencanaan, pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan progam, proyek dan kegiatan di
berbagai bidang.
Tujuan PUG
Tujuan PUG memastikan apakah laki-laki dan perempuan
1. Mempunyai akses yang sama dalam pembangunan
2. Berpartisipasi yang sama dalam pembangunan
3. Mempunyai kontrol yang sama dalam pembangunan
4. Mempunyai manfaat yang sama dalam pembangunan
1. Bidang Kesehatan, terutama kesehatan ibu, bayi dan anak serta lansia
2. Bidang Pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan informal, maupun
pendidikan non-formal.
3. Bidang Ketenagakerjaan, sehingga partisipasi laki-laki dan perempuan dalam
memperoleh pekerjaan dan penghasilasn tidak dibeda-bedakan.
4. Bidang Keterwakilan dalam mengambil keputusan baik di legislatif, eksekutif dan
yudikatif serta organisasi sosial politik atau pendidikan tinggi.
5. Bidang Penegak Hukum agar tidak lagi terjadi diskriminasi terhadap laki-laki dan
perempuan dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Keadilan Gender
Kesempatan laki-laki dan perempuan memperoleh hak-haknya. Kesempatan
menikmati hasil pembangunan.
Hankamnas
Politik
Sosial Budaya
Ekonomi
Pendidikan
Kesetaraan Gender
1. Kesehatan, terutama angka kematian ibu akibat hamil dan melahirkan, kematian
bayi dan anak laki-laki dan perempuan, angka harapan hidup laki-laki dan
perempuan.
2. Pendidikan, terutama lama anak laki-laki dan perempuan, proporsi laki-laki dan
perempuan pendayagunaan/pemnafaatan latar belakang pendidikan dalam
bidang pekerjaan antara laki-laki dan perempuan
3. Ketenagakerjaan, terutama partisipasi angkatan kerja laki-laki dan perempuan,
proporsi laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin, dan tunjangan kesejahteraan
antara laki-laki dan perempuan
4. Keterwakilan, laki-laki dan perempuan dalam keduduakan dan proses
pengambilan keputusan, terutama di leambaga legislatif, eksekutif, yudikatif,
profesional dan pendidikan
5. Penerapan Penegakan Hukum, baik sebagai pelaku maupun korban antara laki-
laki dan perempuan, terutama dilihat dari formulasi produk hukum dan penafsiran
dalam penegakkan hukum.
Setiap warga negara yang memiliki kemampuan untuk memimpin dan menjadi
pejabat negara boleh menjadi pemimpin/pejabat negara. UUD 1945 Pasal 27 dan
Pasal 28 hasil amandemen tahun 1999 s/d 2002. Indonesia bukan negara agama
tetapi berdasarkan hukum negara, karena itu laki-laki dan perempuan yang mampu
dapat menjadi pemimpin/pejabat negara.
Berbagi itu peduli.
http://bp3akb.jabarprov.go.id/gerakan-pengarusutamaan-gender/
Seandainya Marsinah masih hidup pada masa sekarang, sudah ada Komnas
Perempuan dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, saya yakin
putusannya akan lebih adil. Seuntai kalimat yang menghadirkan kenangan
pada sosok aktivis pejuang hak buruh itu muncul dari Sution Usman Aji,
dalam peluncuran dan diskusi publik buku referensi Penanganan Kasus-Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jumat
(20/11).
“Kasus KDRT terjadi akibat tidak seimbangnya relasi antara korban dengan
pelaku dimana suami atau laki-laki memiliki relasi kekuasaan yang kodratnya
mengaplikasikan perilaku mengontrol, mendominasi, dan upaya lainnya untk
mempertahankan otoritas di dalam dirinya, lingkunganya, rumah tangganya,”
urai Machmud.
Menurut Irma, kondisi saat ini memang memerlukan adanya payung hukum
yang menjamin kesetaraan dan keadilan gender. Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) sendiri,
menurutnya, memerintahkan untuk membuat undang-undang, seperti
misalnya undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender.
Yang menjadikan RUU ini penting menurut Irma adalah masih banyak aspek
yang vital dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender, belum disentuh
oleh aturan yang ada sekarang. “Sebab sekarang apapun kebijakan itu kan
harus ada dasar hukumnya,” lanjutnya.
Irma juga berharap RUU ini nantinya akan menjadi dasar untuk seluruh
komponen negara bergerak mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
“Sebab permasalahan kesetaraan keadilan gender adalah masalah budaya,”
ujar Irma.
Risa merasa bahwa warga negara Indonesia, memang diabaikan oleh negara
secara tidak sistematis. Risa melihat bahwa konsep kesejahteraan sosial di
negara kita tidak terwujud. Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri,
walaupun peraturan perundang-undangan yang kita miliki lebih lengkap.
“Dalam banyak hal masalah untuk menciptakan kesetaraan perempuan di
negara kita jauh lebih rumit,” katanya.
Selain itu, bagi Risa, budaya yang melemahkan perempuan juga menjadi
penghalang tersendiri bagi perwujudan kesetaraan gender. Risa melihat,
bahwa secara budaya, perempuan dihadapkan atau dikonfrontasi dengan
nilai-nilai sosial yang hukumnya lebih berat daripada hukum negara.
“Perjuangan untuk perempuan adalah bukan semata-mata perjuangan
yuridis, tetapi juga politis,” ujarnya.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional
(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga
meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun
perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi
dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender
ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian
mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang
atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga
Pengertian Gender
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta
tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda,
dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh
karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat
mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab
antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai
Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender : dapat berubah, dapat
dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan
manusia.
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta “Budhayah”, di mana hal tersebut merupakan
bentuk jamak dari “Budhi”, yang artinya budi atau akal. Sama dengan pengertian “Culture”, yang
berasal dari bahasa Latin “Colere”, yang mempunyai arti mengolah dan mengerjakan tanah “bertani”,
dalam pemahamannya sebagai kemampuan daya upaya, serta tindakan manusia untuk mengolah tanah
dan alam. Menurut Prof.Dr.Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil
perilaku manusia, yang teratur oleh tata kelakuan manusia, yang harus didapatkannya dengan belajar
Dari keseluruhannya tersebut, maka dapat diambil intisarinya yang penting, yaitu:
ž Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang dihasilkan manusia, meliputi kebudayaan
immaterial, yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat atau diraba seperti moral, cita-cita, falsafah hidup,
ž Kebudayaan terdapat pada manusia sebagai anggota masyarakat, sebab tanpa masyarakat tidak ada
kebudayaan, dan sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup.
Melihat pengertian kebudayaan di atas, seharusnya terjadi persamaan gender karena budaya lahir atau
dihasilkan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) yang teratur oleh tata kelakuan manusia. Namun
pada praktiknya, tetap saja terjadi ketidaksetaraan gender, contohnya pada kalimat seperti "Ini ibu
Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya
"Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar
atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut
mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik
bagi laki-laki. Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di
luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan
"Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid
perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan
santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis
dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya. Ini merupakan bentuk
Ini merupakan permasalahan yang kerap terjadi di Indonesia. Terlihat dengan jelas ketidaksetaraan dan
orang beranggapan kesetaraan gender tidak perlu lagi diperjuangkan. Kebebasan perempuan, menurut
sejumlah kalangan, sudah sedemikian kasat mata. Apalagi jika yang dirujuk adalah kehidupan kaum
perempuan Ibukota.
Berita kekerasan dalam rumah tangga selalu diinformasikan melalui berbagai jenis media, meskipun
tidak selalu perempuan yang menjadi korban, tetapi persentase perempuan sebagai korban kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai
bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik,
seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosiona lterusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam,
ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di
dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak
Menurut saya, pelaksanaan persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki belum seutuhnya
seimbang (balance). Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan
menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-
masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.
Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat
mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya
manusia masa depan. Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat
memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif
memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh
manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang
optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh. Faktor
penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih
masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan
gender; Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif.
Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti
peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan,
sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat
dalam semua tingkatan akan sangat tergantung pada peran serta laki-laki dan perempuan
peminggiran terhadap peran serta dari salah satu elemen tersebut bisa berakibat pada
ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, semua program pemberdayaan harus
memperhatikan dan diorientasikan pada pencapaian dan optimalisasi peran yang setara
Kenyataan dilapangan sampai saat ini masih menunjukkan bahwa kedudukan dan peran
yang dikembangkan belum mempertimbangkan manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki
gender yang lebih dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan
mengakibatkan pula pada berbagai permasalahan gender. Indikator yang dipakai untuk
Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian
tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). Fakta ketidakadilan gender dalam
masyarakat Indonesia diperkuat dengan adanya Human Development report tahun 2002
yang menunjukkan GDI Indonesia masih menempati urutan 91 dari 173 negara dan HDI
Indonesia yang berada pada peringkat 110 dari 173 negara.Oleh karena itulah berbagai
kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang
strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa
kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi,
struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas
budaya di dalamnya. Strategi ini merupakan strategi integrasi kesamaan gender secara
sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, termasuk kebijakan, program, proses dan
proyek, budaya, organisasi atau sebuah agenda pandangan dan tindakan yang
program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan
fungsi serta kewenangan masing-masing .[1] Pelaksanaan dan implementasi PUG juga
didukung oleh UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan UU Nomor 7 tahun 1985 mengenai segala
bentuk diskriminasi
Strategi pemberdayaan ini dirancang sebagai strategi alternatif untuk melengkapi dua
strategi terdahulu, Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD), dan
Beijing.[2] WID sebagai strategi pertama popular pada 1975-1985 ketika tahun-tahun itu
dideklarasikan oleh PBB sebagai “Dasawarsa PBB untuk Perempuan”.[3] Sejak saat itu,
Wanita, dengan fokus utama meningkatkan peran wanita dalam pembangunan. Strategi
peningkatan peran wanita dalam pembangunan ini didasarkan pada suatu analisis yang
lebih memfokuskan pada kaum perempuannya. Strategi ini dibangun di atas asumsi bahwa
permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan
itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam
masyarakat termasuk dalam pembangunan. Analisis ini mengharuskan adanya usaha untuk
Akan tetapi, strategi WID banyak mendapat kritik terutama dari kelompok feminis dengan
dunia ketiga
feminisme liberal yang diwakili oleh perempuan kulit putih yang dipandang tidak memiliki
Kritik lain yang dilancarkan untuk strattegi pemberdayaan ini adalah strategi ini lebih
menekankan atau focus pada peran seseorang dan mengabaikan hubungan dan relasi social
antara laki-laki dan perempuan. Sehingga strategi ini dipandang belum mampu menjamin
Strategi kedua muncul dengan lebih memfokuskan pada sistem, struktur, ideologi, dan
dengan ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender. Bagi strategi kedua ini letak
perubahan struktur gender inilah yang dikenal dengan pendekatan Gender and
Development (GAD) yang sebelumnya berubah menjadi strategi WAD (Women and
Development) setelah tidak berhasilnya strategi WID. Berbeda dengan WID yang
keberhasilan strategi kedua ini menghasilkan kebijakan global yang monumental bagi
perjuangan kaum perempuan ini, yakni dengan diterimanya secara global konvensi anti
segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuanyang dikenal dengan CEDAW
perspektif gender dalam semua kebijakan negara dan pembangunan serta diperkuat
konferensi Beijing 1995 dengan lahirnya platform action strategi gender mainstreaming.
perempuan yang kemudian melahirkan strategi ketiga yang dikenal dengan istilah Strategi
Gender Mainstreaming. Strategi tersebut merupakan pematangan dari GAD yang tujuan
dasarnya menjadikan gender sebagai arus utama dalam pembangunan. Sasaran utama
kebijakan ini adalah kebijakan (negara), aksi (masyarakat), institusi (organisasi dan
masyarakat).
Untuk melihat apakah strategi gender mainstreaming sudah diterapkan atau tidak, gender
scan adalah salah satu instrumen yang dapat dipakai sebagai langkah strategis.Akses dan
perencanaan dan kebijakan organisasi, adanya kebutuhan strategis gender (gender need),
perangkat yang terdapat dalam gender scan. Selain itu,untuk menyusun program dan
membuat kebijakan yang responsif gender harus berdasarkan data dan informasi yang
akurat yang diperoleh dari proses pengolahan dan analisa tepat. Proses analisa data
tersebut dikenal dengan istilah analisis gender. Ada lima jemis model analisis gender yang
Suatu kerangka analisis gender yang paling awal dikembangkan dimana pendekatannya
berdasarkan efisiensi WID untuk melihat profil gender secara mikro dan peran gender
Kerangka analisis ini dikenal dengan kerangka analisis Harvard. Dikembangkan pada
mulanya oleh Harvard Institute For International Development yang bekerjasama dengan
kantor Women In Development (WID) USAID. Perspektif yang digunakan model Harvard ini
lebih tepat digunakan untuk perencanaan proyek yang lebih bersifat ekonomis dan lebih
tepat untuk perencanaan proyek daripada kebijakan karena model ini bisa menunjukkan
bagian-bagian proyek yang perlu disesuaikan dengan tujuan proyek. Analisis model Harvard
Model analisa ini lebih mengasumsikan bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan
politis sehingga dalam proses perencanaan dan dan transformasi terdapat konflik. Ada 6
(enam) alat yang digunakan dalam perencanaan semua tingkatan dar perencanaan proyek
Model analisa gender ini merupakan suatu analisa manajemen melalui identifikasi secara
internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan
tantangan. Kedua aspek (eksternal dan internal) dipertimbangkan dalam kaitannya dengan
konsep strategis dalam penyusunan program aksi, langkah-langkah atau kegiatan untuk
mencapai sasaran dan tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang
efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan program/kegiatan. Ada beberapa langkah yang
harus dilakukan dalam analisa model ini, antara lain sebagai berikut:
analisis ini menekankan pada empat aspek penting yang meliputi aspek, peran, kontrol dan
manfaat.
Model ini memiliki kekuatan untuk menghasilkan program atau kegiatan yang responsif
gender dengan metodologi yang sederhana dan penggunaan data kualitatif dan kuantitatif
secara bersamaan serta adanya peluang untuk memonitor dan mengevaluasi setiap
langkah. Sedangkan kelemahan model ini adalah adanya ketergantungan pada data terpilah
menurut jenis kelamin, dan biasanya hanya digunakan pada kebijakan atau proyek formal
yang biasanya didanai oleh pemerintah dan dibatasi pada aspek perencanaannya.
Model analisa ini memiliki alur kerja analisis gender yang meliputi lima tahap sebagai
berikut:
Model analisa gender ini adalah suatu teknik untuk menganalisa kesenjangan gender
(gender gap). Dengan demikian analisa gender dimulai dengan melihat kesenjangan gender
yang selanjutnya dibentuk GFP (gender focal point) dan POKJA PUG dalam tataran
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengarusutamaan gender. Model analisa ini
juga dilengkapi dengan indikator-indikator seperti input, output, outcome dan proses.
Model Proba terdiri dari 5 tahap yang secara keseluruhan meliputi 12 langkah(hanya tahap-
Kelima model analisis gender yang telah dipaparkan diatas digunakan untuk menela’ah
gender yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kerjasama antara perencana
kebijakan, organisasi yang concern terhadap isu-isu perempuan dan gender dan terutama
antar perempuan akan membantu percepatan dari perwujudan kesetaraan dan keadilan
gender. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa relasi sosial antara laki-laki juga
penting dalam menyusun semua kebijakan. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan
pembangunan yang bersifat dikotomis dengan lebih menekankan pada salah satu jenis
Sumber bacaan
Mansour, Fakih, Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Muawanah, Elfi dan Rifa Hidayah, Menuju Kesetaraan Gender, Malang: Kutub Minar, 2006
Tim Penulis PSW UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN
SYAHID, 2003
Tim Peneliti PSG UIN Malang, Baseline Study dan Analisis institusional Kesetaraan Gender
[1] European Women and Sport, 2002. A New Strategy : Gender Mainstreaming, Paper
presented by Teresa Rees at the 5th European Women and Sport Conference in Berlin, April
dalam Gender dan Perubahan Organisasi, Menjembatani Kesenjangan Antara Kebijakan dan
[3] Ratna Saptari & Brigitte Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta:
1. Konvensi ILO No. 100 tahun 1950 dengan UU No. 80/1957 tentang Pengupahan yang Sama
bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya;
2. Konvensi Hak Politik Perempuan (New York) dengan UU No 68/1958;
3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimanisi Terhadap Perempuan (CEDAW)
dengan UU No 7/1984.
4. Konvensi ILO No. 111 tahun 1985 dengan UU No. 21/1999 tentang Diskriminasi dalam
Pekerjaan dan Jabatan;
1. Konferensi Dunia ke IV tentang Perempuan (Beijing tahun 1985).
5. Deklarasi Jakarta (ASPAC tahun 1994);
6. Konferensi Internasional tentang Pembangunan Sosial (Copenhagen tahun 1994);
1. Optional Protocol 28 Februari 2000;
Adanya jaminan konstitusi dan berbagai kebijakan formal tersebut ternyata tidak dengan sendirinya
bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan nyata. Dalam kenyataan,
masih tampak berbagai bentuk ketimpangan gender pada berbagai aspek kehidupan. Salah satu
indicator yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan ini adalah Gender Empowerment
Measurement (GEM) dan Gender-related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari Human Developement Index. Berdasarkan Human Development Report 2000, GDI
Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174 negara yang diukur, dan lebih rendah dari Negara-
negara ASEAN lainnya.
Kesenjangan gender tampak terjadi di berbagai bidang pembangunan. Dalam bidang pendidikan,
misalnya, menurut Susenas 1997 diperoleh data, penduduk perempuan yang berpendidikan tinggi
sekitar 2,7%, lebih sedikit ketimbang laki-laki yang mencapai 3,34%. Selain itu, representasi
penduduk perempuan yang buta huruf mencapai 14,46%, sementara laki-laki hanya 6,6%. Dalam
Susenas 1999, jumlah penduduk perempuan yang berhasil menyelesaiakan pendidikan hingga
tingkat SLTP baru mencapai 31,4%, lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai
36%. Dalam bidang politik, terlihat bahwa representasi gender pada anggota legilatif masih amat
timpang. Anggota DPR perempuan baru mencapai 11,62% pada tahun 1997 dan 9,82% pada
tahun 1999 (Profil Wanita Indonesia, 1998). Di berbagai Lembaga Tinggi Negara lainnya pun
persentase perempuan rata-rata sangat kecil, yaitu: MPR = 7,8%, MA = 10,7%, dan DPA = 6,6%
(Soetjipto, A.W., 1997). Dalam jajaran eksekutif, PNS perempuan yang menduduki jabatan
struktural eselon III hingga eselon I hanya 7,2% sementara laki-laki 92,8% (Profil Wanita Indonesia,
1998). Di bidang ketenagakerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan baru
mencapai 43,5%, sementara TPAK laki-laki 72,6% (Susenas 1999), dan masih ditemui adanya
pemberian upah yang berbeda dengan pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang sama (RIPNAS PP
2000-2004). Di bidang pemerintahan, pejabat perempuan yang menduduki jabatan bupati/walikota
masih amat terbatas, dan hingga kini belum ada yang terpilih menjadi gubernur. Pada tingkat
menteri, di samping amat terbatas, perempuan umumnya menempati posisi jabatan stereotip.
Untuk memperkecil kesenjangan gender yang terjadi pada berbagai sektor kehidupan, maka
kebijakan dan program pembangunan yang dikembangkan saat ini dan di masa mendatang harus
mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki
ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi, pada seluruh kebijakan dan
program pembangunan nasional. Guna menjamin penyelenggaraan pembangunan seperti ini,
pemerintah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan yang mewajibkan seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non
departemen di pusat dan di daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam kebijakan
dan program yang berada di bawah tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Gender adalah “konstruksi sosial tentang peran lelaki dan perempuan sebagaimana dituntut oleh
masyarakat dan diperankan oleh masing-masing mereka” (Hafidz, 1995: 5). Gender berkaitan
dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan
oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut
norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat (Buddi, dkk, 2000). Seperti halnya kostum
dan topeng di teater, gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan pesan kepada orang
lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Dan, ketika konstruksi sosial itu
dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena dianggap kodrati dan alamiah, menjadilah
itu ideologi gender.
Berdasakan ideologi gender yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan yang bersifat operasional (Ortner, dalam Saptari & Holzner, 1995).
Dalam pembagian peran gender ini, laki-laki diposisikan pada peran produktif, publik, maskulin, dan
pencari nafkah utama; sementara perempuan diposisikan pada peran reproduktif, domestik,
feminim, dan pencari nafkah tambahan (Fakih, 1997). Menurut Slavian (1994), penelitian-penelitian
kross-kultural mengindikasikan bahwa peran seks itu merupakan salah satu hal yang dipelajari
pertama kali oleh individu dan bahwa seluruh kelompok masyarakat memperlakukan laki-laki
dengan cara yang berbeda dengan perempuan.
Dalam praktiknya, menurut Fakih (1996), dikotomi peran ini kemudian ternyata memunculkan
berbagai bentuk ketidakadilan gender, seperti adanya marginalisasi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak (burden) dan sosialisasi
ideologi nilai peran gender.
Cara pikir stereotipe tentang peran gender sangat mendalam merasuki pikiran mayoritas orang.
Sebagai contoh, perempuan dianggap lemah, tidak kompeten, tergantung, irrasional, emosional,
dan penakut, sementara laki-laki dianggap kuat, mandiri, rasional, logis, dan berani (Suleeman,
2000) Selanjutnya ciri-ciri stereotipe ini dijadikan dasar untuk mengalokasikan peran untuk lelaki
dan perempuan (Wardah, 1995 : 20).
1. Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan gender (PUG), atau dalam istilah Inggeris: Gender Mainstraiming, merupakan
suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program
yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki
ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan
program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Tujuan pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki:
Seperti digambarkan pada Alur Kerja Analisis Gender, dalam perencanaan yang responsif gender,
terdapat tiga tahap utama, yaitu (1) melakukan analisis kebijakan gender, (2) memformulasi
kebijakan yang responsif gender, dan (3) menyusun rencana aksi
kebijakan/program/proyek/kegiatan yang responsif gender.
Tahap pertama dalam perencanaan, yaitu Analisis Kebijakan Gender, perlu dilakukan karena pada
umumnya kebijakan pemerintah hingga saat ini masih netral gender (gender neutral) dan kadang-
kadang, secara tidak sengaja, mempunyai dampak kurang menguntungkan bagi salah satu jenis
kelamin. Dengan menggunakan Data Pembuka Wawasan kita dapat melihat bagaimana kebijakan
dan program yang ada ssat ini memberikan dampak berbeda kepada laki-laki dan perempuan.
Tahap kedua, Formulasi Kebijakan Gender, dilakukan untuk menyusun Sasaran Kebijakan
Kesetaraan dan Keadilan Gender yang menggiring kepada upaya mengurangi atau menghapus
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, tahap ketiga, Rencana Aksi Kebijakan
Kesetaraan dan Keadilan Gender disusun sebagai suatu rencana aksi berupa
kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang perlu dilakukan untuk mengatasi
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Seluruh kegiatan dalam rencana aksi harus sesuai
dengan tujuan yang telah diidentifikasi dalam tahap Formulasi Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan
Gender di atas. Rencana aksi kebijakan ini perlu disertai dengan indikator keberhasilan untuk
mengukur kinerja pemerintah dalam mengimplemtasikan rencana aksi.
Pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang berperspektif gender
diselenggarakan setelah tahap-tahap perencanaan yang responsif gender seperti dikemukakan di
atas dilakukan. Dalam upaya mendukung dan mengefektifkan pelaksanaan pengarusutamaan
gender, perlu dilakukan beberapa hal, antara lain:
Keadilan dan kesetaraan gender sebagai salah satu cita-cita dan arah dalam pembangunan
nasional hanya dapat terwujud jika masyarakat, khususnya aparat negara, memiliki kesadaran,
kepekaan, dan respons serta motivasi yang kuat dalam mendukung terwujudnya keadilan dan
kesetaraan gender tersebut.
DAFTAR REFERENSI
Abdullah, Irwan (1997) “Dari domestik ke publik: Jalan panjang pencarian identitas perempuan.”
Dalam Irawan Abdullah (ed.) Sangkan paran gender. Yogyakarta: Pusat Penbelitian
Kependudukan, Universitas Gajah Mada
Beijing Declaration and Platform for Action.(1995) Fourth World Conference on Women. Beiijing, 15
September 1995. A/Conf.177/20 (1995) & A/Conf.177/Add.I (1975).
Fakih, Mansour (1997) Penyadaran gender: Buku panduan untuk para pekerja. Jakarta: ILO
Indonesia.
Hafidz, Wardah (1995). Daftar istilah jender. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. (2000) Rencana Induk Pembangunan Nasional
Pemberdayaan Perempuan 2000-2004. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2001). Panduan pelaksanaan Inpres No. 9
tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan. (Draft 26 April 2001). Jakarta: Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Moser, C.O.N. (1989) “Gender planning in the Third World: Meeting practical and
Mosse, J.C. (1996). “Apakah gender itu?” Dalam Mansour Fakih, Gender dan
pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa.
Mustari, B., Hasyah, H., Bella, R., Pandang, A., & Tahir, N.M. (2000). Konsep dasar jender: Materi
pelatihan. Makassar: TPP2W Sulawesi Selatan dan Biro Bina Sosial Sekretariat Daerah Sulawesi
Selatan.
Rahman, A. (2000). “Analisis jender sebagai alat analisa proyek dan hasil-hasil penelitian”.
Makalah disajikan pada Advance training on gender research and anlysis for PSW Core-group
trainig.. Kerjasama Program Studi Kajian Wanita PPS Universitas Indonesia dan WSP II, Jakarta:
28 Agustus – 2 September 2000.
Saptari, R. & Holzner, B. (1995) Perempuan kerja dan perubahan sosial: Sebuah pengantar studi
perempuan.Jakarta: Grafiti.
Slavian, R.E. (1994) Educational psychology: Theory and practice (Fourth edition). Boston: Allyn
and Bacon.
Suleeman, E. (2000) “Gender roles stereotypes and education” Dalam S. van Bemmelen, A.
Habsjah, & L. Setyawati (Penyunting). (2000). Benih bertumbuh: Kumpulan karangan untuk Pprof.
Tapi Omas Ihromi. Jakarta: Kelompok Perempuan Pejuang Perempuan Tertindas. (h. 517-535).
Woman’s Support Project II (2001). Lokakarya Analisis Gender (Rangkuman 4 lokakarya). Laporan
kegiatan oleh TPP2W Sulawesi Selatan bekerja sama Woman’s Support Project II.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya banyak nilai-nilai ajaran agama Islam yang bersifat universal, misalnya tentang
kesetaraan antara pria dan wanita dalam rumah tangga yang belum banyak diketahui oleh masyarakat
luas. Padahal bentuk-bentuk kerja sama antara suami istri dalam Islam di antaranya adalah memimpin
keluarga jika ada musyawarah, memberi nafkah, mengasuh, mendidik anak dan mengerjakan urusan
rumah tangga. Namun demikian, masyarakat lebih mengenal kewajiban suami istri dari pada hak-hak di
antara keduanya dalam rumah tangga. Barangkali kondisi seperti ini tidak menjadi masalah bagi
keluarga yang istrinya tidak bekerja di luar rumah. Akan tetapi bagi istri yang bekerja di luar rumah,
nampaknya kondisi ini sangat tidak menguntungkan. Karena dengan pemahaman yang diskriminatif
untuk menjadi kepala rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensi dari
pandangan seperti itu, banyak kaum perempuan terutama dari kalangan keluarga kelas ke bawah harus
bekerja keras, lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga mulai dari membersihkan,
Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut sering kali diperkuat oleh adanya pandangan
atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap sejenis oleh masyarakat sebagai
pekerjaan jenis “perempuan”, dikategorikan sebagai “tidak produktif” sehingga tidak diperhitungkan
dalam statistik ekonomi negara. Sementara kaum perempuan – karena anggapan perbedaan gender ini –
sejak dini disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak
diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik kesemuanya ini telah
memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan. [1]
Fondasi kehidupan keluarga adalah ajaran agama, sedang jalinan perekatnya adalah hak dan
kewajiban terhadap suami, istri dan anak. Namun hanya sedikit sekali dari pasangan suami istri yang
mengetahui ruang lingkup dari pengelolaan pekerjaan dalam rumah tangga. Sering kali hal ini
menyebabkan konflik pada pasangan dan akhirnya saling melempar tugas, apalagi bagi pasangan karier
ganda. Dan biasanya yang sering terbebani tugas domestik adalah istri, yang mulai bekerja sejak pagi
hingga sore hari. Sementara para suami enggan membantu tugas domestik itu dengan dalih pembagian
peran.
Pemerintah dengan tegas mengakui perbedaan peran tersebut dan menyatakan bahwa peran serta
kaum wanita dalam proses pembangunan harus berkembang selaras dan serasi dengan peran mereka
dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan kata lain peran yang diberikan wanita adalah
peran ganda, dalam artian mereka bertanggung jawab atas urus dan rumah tangga akan tetapi juga
Namun dalam prakteknya, hal seperti itu belum terwujud. Masih banyak terjadi ketidakadilan peran
antara wanita dan pria dalam keluarga. Pembagian kerja yang tidak adil dalam keluarga merupakan hal
yang sudah menjamur dan melembaga bahkan merupakan hal tertua dan terkuat. Umurnya sudah ribuan
tahun dan sampai sekarang masih tetap bertahan. Sehingga orang sering kali menganggap pembagian
B. Rumusan Masalah
Pada makalah kali ini penulis mencoba mengerucutkan akar permasalahan menjadi rumusan masalah di
bawah ini:
1. Teori apa yang mendasari pembagian kerja atau peran suami Istri dalam keluarga?
2. Bagaimana seharusnya keluarga Islam membagi tugas atau kerja dalam keluarga?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori-Teori Ketidaksamaan
Sebagian masyarakat nampaknya masih menggunakan jenis kelamin sebagai patokan dalam
pembagian kerja sosial individu. Karena memang pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan dicetak
dalam keadaan yang berbeda. Dari ketidaksamaan jenis kelamin tersebut, maka lahirlah beberapa teori
Murdock dan Provost telah berusaha untuk mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang paling
konsisten untuk maskulin dan feminin yang dapat dijumpai di seluruh Indonesia. pada umumnya,
kegiatan-kegiatan yang secara konsisten diperuntukkan bagi kaum pria (maskulin) adalah kegiatan-
kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang lebih besar, tingkat risiko dan bahayanya lebih tinggi,
sering keluar rumah dll. Sebaliknya kerja yang dilakukan feminin secara konsisten, relatif kurang
berbahaya, cenderung lebih bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi yang intens, kurang
memerlukan latihan yang intensif dan keterampilan rendah. [2]
Ada beberapa teori untuk menjelaskan sifat pembagian kerja dan ketidaksamaan menurut jenis
kelamin. Sebagian teori tersebut terpusat pada penjelasan mengenai pola universal, sementara yang lain
antaranya adalah
1. Teori Sosiobiologi
Teori ini berusaha menjelaskan sifat semesta keunggulan laki-laki dengan mengacu kepada perbedaan-
perbedaan biologis yang mendasar di antara jenis kelamin itu. Teori ini sependapat bahwa tanpa
memperhatikan elaborasi sosial ketidaksamaan menurut jenis kelamin, perbedaan peranan seks
2. Teori Materialistis
Teori ini berusaha untuk menjelaskan pola-pola peranan jenis kelamin sebagai produk pengaturan
infrastruktur suatu masyarakat. Mereka lebih memusatkan perhatian kepada variasi dalam sistem
peranan jenis kelamin, dan pada umumnya setuju bahwa sifat teknologi, produksi ekonomi, dan
ekologilah bukan keharusan biologis yang pada dasarnya menentukan bagaimana konsep mengenai
3. Teori Politik
Teori ini juga berusaha untuk menjelaskan perbedaan dalam pola peraturan jenis kelamin. Yang
menonjol dari pada teori politik adalah memberi penekenan pada perbedaan-perbedaan dalam
kelaziman berperan sebagai penentu kunci dari adanya perbedaan-perbedaan dalam peranan jenis
kelamin itu.[3]
Gender adalah konsep yang merujuk pada sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-
laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi ditentukan oleh lingkungan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya.[4] Sebagai perumpamaan, wanita dikenal cantik, lemah lembut,
emosional dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat
itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, yang bisa mengubah dari waktu ke waktu.
Banyak sekali ahli di bidang antropologi, sosiologi dan ekonomi yang mengasumsikan bahwa
diferensiasi peranan dalam keluarga berdasarkan jenis kelamin dan alokasi ekonomi mengarah pada
adanya peranan yang besar atau menyeluruh pada wanita dalam pekerjaan rumah tangga (reproduksi)
dan laki-laki dalam pekerjaan produktif (mencari nafkah). Walaupun demikian dari hasil penelitian
tentang curahan waktu pria dan wanita dalam rumah tangga di berbagai pekerjaan menunjukkan tidak
sedikit wanita yang mempunyai peranan sebagai pencari nafkah dalam bidang pertanian, perdagangan
dan industri kecil.[5]
Karena peran perempuan adalah mengelola rumah tangga dan memelihara anak, maka hal ini
mengakibatkan terjadi ketidakadilan gender dalam keluarga yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk
yaitu:
1. Burden. Perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari pada laki-laki.
2. Subordinasi. Adanya anggapan rendah (menomor duakan) terhadap perempuan dalam segala bidang
3. Marginalisasi. Adanya proses pemiskinan terhadap perempuan karena tidak dilibatkan dalam
4. Stereotype. Adanya pembelaan negatif terhadap perempuan karena dianggap sebagai pencari nafikan
tambahan
5. Violence. Adanya tindak kekerasan baik psikis maupun fisik terhadap perempuan karena anggapan
suami sebagi penguasa tunggal dalam rumah tangga [6]
Untuk membongkar adanya berbagai macam ketidakadilan tersebut, maka tindakan yang strategis
untuk dilakukan adalah membongkar pola pembagian kerja. Karena dengan pola pembagian kerja yang
adil dalam rumah tangga, di mana suami, istri dan anak sama-sama mempunyai akses dan kontrol
secara adil di bawah kepemimpinan yang demokratis, tidak sewenang-wenang, tanggung jawab dan siap
dikontrol oleh seluruh anggota keluarga sehingga akan tercipta keadilan relasi antara pria dan wanita
Adapun beberapa indikator ketidakadilan suami istri dalam pembagian kerja rumah tangga adalah
sebagai berikut:
Pengalaman pemasyarakatan yang dini itu, di mana anak-anak muda mulai memperoleh
nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka merupakan dasar bagi tingkah laku dewasa mereka
kelak, jika mereka menjadi orang tua dan suami/istri. Perbedaan dalam peran sex sangat menonjol
dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin. Pada semua masyarakat tugas-tugas tertentu diberikan
pada wanita, ada yang lainnya pula diberikan pada laki-laki dan ada pula yang diberikan pada kedua-
duanya.
Seorang laki-laki tidak dapat melahirkan anak atau merawatnya. Laki-laki lebih kuat dari
pada perempuan yang sebaliknya kadang-kadang terhalang oleh waktu hamil, menstruasi dan
melahirkan. Tetapi sebaliknya wanita cukup mempunyai kekuatan, kecepatan dan ketelitian untuk
mengerjakan hampir semua pekerjaan di tiap masyarakat. [8]
Sama pentingnya bahwa apa yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki dalam suatu
masyarakat mungkin saja dianggap pekerjaan wanita pada masyarakat lain. Dengan demikian
menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan dan faktor biologis hanya
Rata-rata pekerjaan laki-laki itu menenmpati porsi pekerjaan yang berat-berat dan
membutuhkan tenaga ektra. Sebaliknya perempuan kebanyakan mendominasi pekerjaan yang relative
lebih ringan dan tidak membutuhkan tenaga super. Seperti mencuci, memasak, menyapu dan lain
sebagainya.
Namun tidak menutup kemungkinan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan tersebut
dicampur adukkan dan tidak ada pemisahan antara mereka. Karena pada kenyataannya tidak sedikit
wanita yang menempati ruang pekerjaan laki-laki. Pembagian itu bukan didasarkan atas pertimbangan
kemampuan terlihat dari kenyataan bahwa laki-laki pun mampu melakukan pekerjaan wanita. Dalam
hal ini, apapun tugas laki-laki dianggap lebih terhormat dari pada perempuan.
Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu:
produksi, reproduksi dan komunitas atau yang disebut juga 3 peran gender (triple role), yaitu sbb:
1. Kerja produktif
Adalah semua pekerjaan terkait dengan produksi barang dan jasa untuk mendapatkan
penghasilan dan subsitensi (pemenuhan kebutuhan dasar). Perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja
untuk pekerjaan produktif, namun tidak semua dari jenis pekerjaan ini sama nilai atau harganya.[9]
2. Kerja reproduktif
Adalah pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan rumah tangga dan
anggotanya.[10] Jenis pekerjaan ini sangat dibutuhkan dan penting sifatnya, akan tetapi sering
dianggap tidak sama nilainya dengan pekerjaan produktif. Pekerjaan ini penting bagi keberlangsungan
hidup manusia serta berguna untuk pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja, namun jarang sekali
Sebagai contoh, ketika orang ditanya apa pekerjaan mereka, maka tanggapan mereka adalah
biasanya berkaitan dengan pekerjaan yang dibayar atau pekerjaan untuk peningkatan pendapatan.
Biasanya pekerjaan reproduktif umumnya tidak dibayar dan tidak diperhitungkan dalam statistik
3. Kerja komunitas
Adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas kemasyarakatan seperti upacara dan perayaan
yang tujuannya untuk meningkatkan solidaritas dalam masyarakat serta mempertahankan tradisi
setempat, meningkatkan partisipasi dalam kelompok atau organisasi sosial, kegiatan politik di tingkat
lokal. Tipe pekerjaan ini jarang sekali diperhitungkan dalam analisis ekonomi dan dianggap sebagai
pekerjaan sukarela dan dianggap penting untuk pengembangan spiritual dan kultural dari suatu
komunitas. Baik perempuan dan laki-laki terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan ini, meskipun tidak
terlepas dari sistem pembagian kerja berdasarkan gender. Jenis kerja komunitas ini diklasifikasi atas dua
tipe, yaitu:
pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh perempuan sebagai perpanjangan dari peran reproduktif
mereka. Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin adanya pengadaan dan pemeliharaan atas sumberdaya
yang terbatas yang dimanfaatkan oleh setiap orang seperti air, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
b) Pekerjaan yang berkaitan dengan politik masyarakat (community politics) adalah pekerjaan yang
umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dalam organisasi politik formal, seringkali dalam kerangka
politik nasional. Umumnya mereka dibayar secara tunai dalam pekerjaan ini, atau mendapat keuntungan
secara tidak langsung dengan meningkatnya status atau kuasa.[11]
Pola pembagian kerja dalam keluarga lebih banyak didasarkan pada perbedaan jenis kelamin
dari pada keterampilan yang dimiliki oleh suami istri sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Arif
Budiman bahwa pembagian kerja secara seksual lebih didasarkan pada struktur perbedaan genetis
antara laki-laki dan wanita.[12]
Sebagaimana kita lihat pada budaya masyarakat Jawa, perempuan biasanya ditugaskan untuk
melakukan tugas dalam peristiwa sosial (perkawinan dan kelashiran), sedangkan suami diberi tuga
dalam acara ritual keagamaan. Diferensiasi peranan dalam keluarga, Nampak bahwa perbedaan posisi
anggota keluarga didasarkan pada berbagai pertimbangan seperti perbedaan umur, jenis kelamin,
Sebenarnya dalam pembagian pekerjaan rumah tangga keluarga muslim, ada tiga kata kunci
yang sering diperdebatkan yakni kata “Pemimpin, Taat, Dan Adil”. Ketiga kata ini hendaknya dipahami
dengan menggunakan paradigma laki-laki dan perempuan, untuk mencari format yang ideal dalam
mengaplikasikan ketiga kata ini. Misalnya kalau laki-laki benar sebagai pemimpin dalam rumah tangga,
maka pola kepemimpinan apa yang tepat untuk diterapkan apakah demokrasi atau otoriter.juga dalam
pengaplikasian ketaantan, aturan-aturan apa saja yang harus ditaati dan mana yang tidak perlu ditaati.
Demikian juga halnya dengan konsep aplikasi “keadilan”, proporsi yang bagaimnbakan yang
bisa dikatakan adil dalam pembagian kerja dalam keluarga, karena pada dasarnya pria dan wanita
memliki potensi yang sama untuk berkembang. Apakah konsep pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin, atau berdasarkan berat ringannya pekerjaan, atau berdasar kemampuan yang dimiliki suami
istri atau pula berdasarkan siapa ynag berkuasa dalam rumah tangga.
Dalam wacana keislaman klasik, secara umum wanita digeneralisasikan sebagai makhluk yang
melebur ke dalam citra laki-laki yakni sebagai obyek dan makhluk domestic.[13]Kitab-kitab fikih telah
mengaburkan posisi sentral perempuan sebagai “keibuan” yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan
menjadi posisi “keistrian” yang submisif dan tergantung. Bahkan dalam kitab fikih tidak punya
gambaran sama sekali tentang masalah perempuan lebih banyak didasarkan pada hadis-hadis nabi yang
kondisional dan dipengaruhi oleh perspektif para ulama yang mengedepankan konsep ird (kehormatan
suku Arab) dari pada dikembalikan menurut al-Qur;an yang menjamin keuniversalitasan Islam.
Salah satu dari tujuan perkawinan ialah harapan akan mendapatkan karunia anak keturunan yang
akan meneruskan sejarah riwayat hidup seseorang untuk membina keluarga sakinah. Dari proses
perkawinan hingga lahirnya anak keturunan ini timbullah masalah-masalah hukum yang harus dipatuhi
oleh masing-masing suami istri yang statusnya berganti menjadi bapak, ibu dan anak.
Dalam perspektif islam, berikut beberapa uraian mengenai tugas hak dan kewajiban orang tua dan
anak[14].
1. Tugas Ibu
Ibu sebagai orang tua dari anaknya dia mempunyai tugas mengasuh anak bayinya, secara khusus di
sebut dengan al-hadhonah[15]Tugas kewajiban ibu dengan al-hadhanah ini mencakup pekerjaan-
a. Mengasuh anak yang masih belum mampu mengurus masalah-masalah diri sendiri
b. Mencegah apa yang bisa membahayakan dia seperti kisah keluarga Imran berebut untuk menjadi
pengasuh dan menjaga Maryam ibunda nabi Isa (ali Imran 37 dan 44)
d. Melayani masalah makan minum, tidur, mandi, berpakaian, mencuci pakaian sekaligus menumpahkan
e. Mendidik anak. Khusus untuk ibu, tugas ini sangat erat mengikat dia ialah pada umur dan periode
sebelum mumayyiz. Kompilasi Hukum Islam pasal 105 (a) menetapkan umur mumayyiz anak ialah 12
tahun.
Az-zuhaili dalam al-Fiqhul Islami (1989:7/718) menyatakan bahwa untuk mengasuh anak (al-
hadhanah) ini melekat kepada 3 orang, yaitu: anak, ibu, dan bapak. Untuk anak sudah jelas, dia
mempunyai hak penuh untuk dirawat, sedangkan bapak dan ibu akan terlihat jelas bagaimana haknya
untuk mengasuh anak, ketika terjadi perceraian dari perkawinan itu maka hak dan kewajiban untuk
Dalam hal hadlanah maka terdapat tugas kewajiban yang terpadu menjadi tugas kewajiban bersama-
sama si ibu maupun bapak itu.[16]
2. Tugas Bapak
b. Anak merupakan anugrah dan rahmat Allah, maka harus disayangi dan dicintai tidak boleh ada rasa
c. Anak sebagai penyambung sejarah dan riwayat hidup diri dia harus didoakan untuk memperoleh
d. Berusaha keras mendidiknya agar anak itu kelak akan membawa harum nama orang tua (al kahfi 82)
e. Bersikap adil atas semua anak tidak boleh menganaktirikan yang satu dari yang lain (yusuf 8)
f. Memberi nasehat masalah-masalah yang sangat penting kepada anak (al baqarah 132-133; hud 42-43)
h. Memberikan pelatihan kecakapan mengatasi segala macam masalah (al anbiya 78-79) dan pelajaran
Az-zuhaili dalam al-fiqhul islami (1989:7/718) memberikan rincian yang senada bahwa tugas
Dalam hal ini para ulama lebih menekankan bahwa hak anak dan wajib dipenuhi oleh orang tua itu ialah
untuk mengasuh akidah kepercayaan amal ibadah dengan baik. Dalam hal ini Allah menetapkannya
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”
b. Untuk jangka pendek : hak untuk hidup yang lebih baik[19]
Al-quran surat al baqarah ayat 233 menunjuk langsung hak anak yang masih bayi, yaitu : (1) hak
untuk hidup; (2) hak untuk mendapat perawatan bagi dirinya untuk hidup yang lebih baik lagi.
Keduanya diwujudkan berupa pemberian air susu dari ibunya sendiri selama dua tahun dan
Hak atas ikatan nasab atau asal usul garis keturunan ke atas, suatu faktor yang sangat
menentukan soal siapa orang yang bertanggungjawab merawat anak. Allah sendiri yang mengatur garis
Hak untuk mendapat susuan dari ibunya sendiri dan susuan ini sangat penting untuk menjadi sarana
pertama untuk hidup. Dalam al-qur’an surat al baqarah 233 Allah menetapkan tenggang waktu untuk
memberi air susu ibu dua tahun dimaksudkan agar supaya pertumbuhan jiwa dan raga anak itu menjadi
sempurna
Hak mendapat santunan yang disebut hadhanah tersebut diberikan hingga si anak mencapai
usia yang memungkinkan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Menurut ulama malikiyyan
Hak perwalian anak untuk melaksanakan perbuatan hukum mengenai diri dan hak-hak
kebendaan. Hak nafkah, yaitu hak atas seluruh biaya hidup yang diperlukan olehnya, mulai dari
kebutuhan makan, minum, pakaian, perawatan sampai membesarkan anak sampai dewasa sehingga
Yang perlu di catat disini bahwa 5 macam hak tersebut di atas harus ditambah lagi dengan
suatu hak yang berlaku sebelum anak dimaksud lahir ke dunia, maka sebenarya anak dalam kandungan
BAB III
Menurut pandangan dan sesuai pengetahuan - keagamaan dan sosial - penulis mengenai
pembagian kerja dalam rumah tangga, penulis sedikit menganalisa bahwa pada dasarnya pembagian
kerja dalam rumah tangga harus sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota keluarga. Sesama
Sistem pembagian kerjanya jika dikaitkan dengan gender atau jenis kelamin, maka
menurut penulis hal itu tidak masalah, bahkan baik karena memang padasarnya laki-laki dan perempuan
diciptakan dengan postur tubuh yang berbeda. Begitu pula dengan besar kekuatan yang dimiliki mereka
sangat berbeda. Wanita identik lebih lemah dan lembut dari pada laki-laki. Oleh karena itu pembagian
kerjanya pun harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Sehingga tidak njomplang dan tumpang
tindih.
Dalam keluarga, seharusnya antara suami dan istri harus bisa saling memahami. Bukan
berarti jika istri hanya melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci dan merawat
anak itu dianggap remeh. Justru pekerjaan domestik seperti itulah yang sangat urgen dalam
keberlangsungan rumah tangga. Bayangkan saja jika istri tidak menjalankan semua itu, maka yang
terjadi rumah akan kotor, semua anggota keluarga kelaparan, baju pada kotor, dan rumah akan tampak
seperti layaknya kandang atau tempat sampah yang tidak nyaman bagi para penghuninya. Pun begitu
Keluarga dalam hal ini harus mempu memposisikan peran masing-masing dan
seharusnya pemimpin dalam keluarga yakni suami harus menjadi seortang imam yang bretanggung
jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya. Di sini pemimpin harus pandai-pandai menempatkan
Dalam hal ini, penulis memandang bahwa pekerjaan suami istri sama sama penting dan
alangkah romantisnya jika keduanya saling membantu satu sama lain jika pekerjaan mereka telah usai,
sehingga yang tercipta dalam kaluarga adalah suasana nyaman dan membahagiakan. [21]
DAFTAR PUSTAKA
[2] Su’aidah, Sosiologi Keluarga, 2005, Malang: UMM Press. Hal 187.
[3] Ibid, hal 186-211
[4] Mansur Fakih, Op.Cit hal. 8
[5] Akif Khilmiyah. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan Sosial dan Humanisasi Mulai dari
Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja. Hal. 9.
[8] William. J. Goode. Sosiologi Keluarga. 1983, Jakarta: Bina Aksara. Hal. 141
[9] Jenis pekerjaan kategori inilah yang paling utama diakui dan dianggap lebih bernilai
sebagai pekerjaan baik oleh individu maupun masyarakat, secara umum yang paling banyak
[11] http://genderpedia.blogspot.com/2010/08/pembagian-kerja-berdasarkan-gender.html.
diakses pada tanggal 13 Juni 2011 jam 16.13 WIB.
[12] Arif Budiman. Pembagian Kerja Secara Seksual.1978. Jakarta: Gramedia. Hal 7
[13] Akif Khilmiyah. Op Cit. hal.69
[14] Imam Muchlas, Al-Qur’an Berbicara Tentang Hukum Perkawinan, 2006, Malang: UMM Press.
Hlm. 89
Sedang secara terminologi, hadlanah berarti mengasuh, memelihara dan mendidik anak kecil yang
belum mumayyiz.
[21] Penulis sengaja meletakkan analisis dan kesimpulan pada satu bab saja karena isi dari
analisis inilah yang nantinya juga merupakan kesimpulan dari pada makalah yang paenulis buat.
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai
pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di
media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes
dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat
internasional, negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan
fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya
membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta
kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan
selalu dinilai sebagai makhluk yang lebih inferior daripada laki-laki. Perempuan dianggap sebagai
makhluk yang lemah sehingga harus berada di bawah kekuasaan laki-laki. Hal tersebut akhirnya
menimbulkan diskriminasi terhadap kaum perempun dalam lingkungan masyarakat bahkansampai dalam
lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan
seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan , maupun pengertian-pengertiantentang kehidupan. Ayah, ibu, serta
anggota keluarga yang lain merupakan guru bagi anak. Oleh karena itu keluarga menjadi institusi yang
penting bagi anak di dalam mengembangkan perilaku-perilaku tertentu. Salah satu perilaku yang
dipelajari di dalam keluarga adalah perilaku yang aberkaitan dengan gender. Bagaimana anak laki-laki
harus bersikap atau bagaimana anak perempuan harus berperilaku diajarkan pertama kali di dalam
keluarga. Ada sebuah uangkapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada cara
memperlakukannya. Ungkapan tersebut tidak salah karena laki-laki dan perempuan memang sudah
diperlakukan secara berbeda sejak mereka dilahirkan. Dalam perkembangannya laki-laki kemudian lebih
banyak diuntungkan oleh budaya patriarki yang ada dalam masyrakat. Kondisi ini menjadikan perempuan
terpinggirkan dalam banyak hal, termasuk di dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara.
Bahkan dalam institusi keluarga, perempuan sering menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan
penderitaan bagi perempuan.
Persoalan gender yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang
dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman
tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang
tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak
perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan
perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah
dan berpendidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik,
tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang
antara perempuan dan laki-laki masih jauh dari harapan.
Keluarga menjadi tempat pertama kali gender ditumbuhkan, misalnya dalam penyiapan pakaian sudah
dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan, anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan
mobil-mobilan, kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi
mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif
lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan motif baju juga
ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh
remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki lazimnya
harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik, elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan
harus bisa memasak, menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal
yang mengalami diskriminasi tersendiri.
Kesadaran gender anak-anak kemudian tumbuh dalam keluarga melalui kondisi real hubungan ayah dan
ibu serta perlakuan yang mereka dapatkan, sementara pada kenyataannya dalam keluarga-keluarga
masih diwarnai praktik bias gender yang tidak adil terhadap perempuan ibu maupun anak. Posisi suami
sebagai “kepala keluarga” yang mengambil keputusan final, serta istri yang harus menanggung beban
ganda sebagai pengurus rumah tangga dan pencari nafkah, jelas gambaran tidak adil dan tidak setara.
Kesempatan pendidikan lebih diberikan kepada anak laki-laki, sementara banyak pembatasan lebih
diberikan kepada anak perempuan, juga gambaran bagaimana bias gender ini masih mewarnai
kehidupan keluarga. Tradisi dan agama pun ikut melegitimasi budaya patriarki sehingga memperoleh
pembenarannya. Pada akhirnya, masyarakat pun mengamini praktik-praktik semacam itu.
Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur
kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling
tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin
anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara
perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki
kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype
bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi
keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab
ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang
punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan
ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan
yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu
menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam
memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai
pelengkap saja (pencari nafkah tambahan). Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran
perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak
terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah
sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-
peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat
sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagai tugas/peran ibu, ayah, anak laki-laki, atau
anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-
peran yang melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada streotype yang
dilekatkan pada perbedaan gender. Kesalahan mendasar pada sistem keluarga, lebih banyak
diakibatkan pola pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya yang masih berorientasi
pada dogma-dogma patriarkis. Image anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat
feminimnya sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan segala
atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola pendidikan yang diberikan orang
tua dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap anak baik perempuan maupun laki-laki memiliki sifat
feminim dan maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat yang lebih dominan.
Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam keluarga yang tidak seimbang, bahkan
menempatkan posisi perempuan sebagai subordinat banyak menimbulkan konflik dalam keluarga yang
secara tidak sadar konflik tersebut akan berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan konflik
kemanusiaan
Dibutuhkan perubahan paradigma, khususnya dalam hubungan suami istri, untuk memulai penumbuhan
kesadaran akan kesetaraan gender dalam keluarga. Suami istri saling menghargai sebagai pribadi yang
semartabat, kendati tetap mengakui adanya perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan-perbedaan fungsi lebih bertumpu pada pembagian tugas dan partisipasi daripada atas dasar
gender. Dalam hal ini, tugas mengurus dan mendidik anak adalah tugas bersama antara ayah dan ibu.
Boleh dan tidak boleh suatu perbuatan bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang
dikandungnya. Pendidikan yang paling efektif adalah keteladanan dan anak-anak belajar dari sana.
Orangtua yang memiliki kesadaran gender tinggi akan melahirkan anak-anak yang demikian pula, dan ini
berarti membekali anak-anak dengan ketrampilan hidup yang sesungguhnya.
Pendidikan adil gender di tingkat keluarga sangatlah penting untuk membangun relasi gender yang
lebih harmonis mulai dari tingkat keluarga sampai dengan tingkat nasional agar masyarakat adil dan
makmur dapat tercapai dengan lebih cepat dan lebih baik. Melalui manajemen sumberdaya keluarga
(yang terdiri atas sumberdaya materi, sumberdaya manusia, dan sumberdaya waktu) yang berwawasan
gender, maka diharapkan masalah kemiskinan yang mendominasi masyarakat pesisir akan teratasi
dengan lebih baik. Hal penting lain yang diharapkan berubah adalah adanya perubahan gradual terhadap
belenggu budaya yang merugikan masyarakat pesisir baik laki-laki maupun perempuan dalam menuntut
pendidikan formal di sekolah. Untuk itu, pengasuhan yang berwawasan gender adalah solusi yang tepat
untuk meningkatkan angkapartisipasi sekolah baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Sehingga diharapkan nantinya, isu gender yang bersifat negatif dapat berkurang dalam lingkungan
keluarga maupun masyarakat. Sehingga tak ada lagi perempuan yang merasa dirugikan atas adanya
pelabelan gender ini. Karena, pelabelan ini dapat menjadi penghalang aktivitas mereka. Banyak dari
perempuan yang berkecil hati karena adanya pelabelan ini. Banyak juga dari mereka yang akhirnya
hanya mengikuti arus yang ada di masyarakat tanpa mempedulikan perkembangan kepribadiannya
sendiri. Mereka beranggapan posisi mereka ada dibawah laki-laki. Hal ini mengakibatkan potensi para
wanita menjadi terisolasi dan susah untuk dieksplorasi. Untuk itulah, kesetaraan gender ini harus
diperhatikan dan dipahami oleh tiap-tiap individu baik itu laki-laki maupun perempuan, bahwa
sebenarnya hak-hak mereka adalah sama dan memiliki potensi yang sama untuk dapat
mengembangkan kepribadiannya sendiri-sendiri sehingga dapat melaksanakan fungsinya secara
maksimal, baik itu fungsi dalam keluarga maupun dalam ruang lingkup masyarakat luas. Oleh karena itu,
kita harus menanamkan kesadaran gender, baik untuk diri sendiri, maupun untuk anggota keluarga lain.
Kesadaran ini perlu juga diajarkan sejak dini, agar nantinya anak-anak telah memiliki pengetahuan
tentang masalah gender ini.