Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender atau yang sering disingkat dengan LGBT
menjadi topik perdebatan yang hangat pada tahun 2014 lalu. Lesbian, gay, dan
bisexsual termasuk dalam gangguan maturitas seksual. Orang dengan gangguan
maturitas seksual mengalami ketidakpastian tentang identitas jenis kelaminnya atau
orientasi seksualnya. Transgender termasuk dalam gangguan identitas jenis kelamin.
Ia menolak jenis kelamin anatomisnya dan memiliki keinginan untuk menjadi orang
dari lawan jenis kelamin (Dermatoto, 2010).
Identitas homoseksual dan biseksual baru muncul di kota-kota besar di Indonesia
pada beberapa dasawarsa awal abad ke-20, sedangkan identitas transgender baru
muncul pada pertengahan abad ke-20 dan juga hanya di kota-kota besar. Pada tahun
2014 tercatat ada 119 organisasi LGBT yang didirikan di 28 propinsi di Indonesia.
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum nasional
dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun tidak
ditetapkan sebagai tindak pidana. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan
gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak
menjalani operasi perubahan kelamin dapat mengalami masalah dalam pengurusan
dokumen identitas. Sejumlah Perda melarang homoseksualitas sebagai tindak pidana
karena dipandang sebagai perbuatan tak bermoral, meskipun empat dari lima Perda
yang terkait tidak secara tegas mengatur hukumannya (Oetomo et al., 2013).
Pedofilia memiliki pengertian sebagai suatu parafilia (deviasi seksual atau
gangguan psikoseksual) dimana orang dewasa memperoleh kepuasan seksual bersama
seorang anak (homoseks atau heteroseks). Kekerasan seksual pada anak terus
meningkat setiap tahunnya. Catatan Komnas Anak tahun 2014 terdapat 426 kasus
kekerasan pada anak, dimana 52% di antaranya adalah kekerasan seksual. Hal ini
sangat mengkhawatirkan sebab anak yang menjadi korban pedofilia cenderung akan
menjadi pribadi yang bermasalah di kemudian hari. Mereka akan jatuh dalam
kepribadian abnormal, seperti senang tawuran, memiliki ide-ide bunuh diri ataupun
menjadi pengguna obat terlarang (Suryaningsih, 2016).
Diketahui bahwa penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun prevalensinya
terus meningkat. Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya) menimbulkan gangguan mental dan perilaku pada seseorang. Hasil survei

1
yang dilakukan oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Puslitkes (Pusat Penelitian
Kesehatan) Universitas Indonesia tahun 2008 diperoleh angka prevalensi mencapai
1,9% dan pada tahun 2011 meningkat hingga 2,2% atau lebih kurang empat juta
penduduk Indonesia usia 10 sampai 60 tahun sebagai penyalahguna narkotika.
Menurut Direktorat Bina Upaya Kesehatan, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 434
pasien rawat inap di rumah sakit karena gangguan mental dan perilaku yang
disebabkan pengggunaan alkohol. Berdasarkan laporan Rumah Sakit Ketergantungan
Obat (RSKO), pasien rawat inap mengalami pengingkatan dari tahun ke tahun selama
lima tahun terakhir (Depkes RI, 2014).
Menurut BNN dan Polri (2013), Jawa Timur menduduki peringkat pertama
propinsi dengan jumlah kasus narkoba terbanyak selama tiga tahun berturut-turut
(2010-2012). Jumlah kasusnya pun meningkat dari 5.637 kasus di tahun 2010 menjadi
7.446 kasus di tahun 2012. Menurut Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI pada tahun 2010, jumlah kunjungan rawat jalan di rumah sakit karena
gangguan mental perilaku akibat zat yang terbanyak disebabkan oleh opioda
(sebanyak 6.854 pasien).
LGBT, pedofilia, dan penyalahgunaan zat berdampak pada kondisi kejiwaan
seseorang dan merupakan masalah sosial. Data yang dipaparkan di atas bisa saja
merupakan fenomena “gunung es”, dimaa jumlah kasus yang ada jauh lebih besar
daripada kasus yang dilaporkan atau dikumpulkan. Masyarakat secara umum masih
masih memandang masalah LGBT, pedofilia, dan penyalahgunaan zat sebagai masalah
moral daripada masalah kesehatan. Padahal ketiganya merupakan ladang subur bagi
penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular seksual.
`
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian, macam, faktor penyebab, tatalaksana pedofilia ?
2. Apa pengertian, faktor penyebab, dan tatalaksana dari LGBT ?
3. Bagaimana dampak dari diskriminasi dan cara mengurangi diskriminasi terhadap
LGBT ?
4. Apa akibat pemakaian, gejala ketergantungan, gejala putus zat, dan gejala
overdosis, serta tatalaksana dari pemakaian narkotika ?
5. Apa akibat pemakaian, gejala ketergantungan, gejala putus zat, dan gejala
overdosis, serta tatalaksana dari pemakaian psikotropika ?
6. Apa akibat pemakaian, gejala ketergantungan, gejala putus zat, dan gejala
overdosis, serta tatalaksana dari pemakaian zat adiktif lainnya ?

1.3 Tujuan

2
Tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian, macam, penyebab, tatalaksana dari pedofilia.
2. Untuk mengetahui pengertian, faktor penyebab, tatalaksana dari LGBT.
3. Untuk mengetahui dampak diskriminasi dan cara mengurangi diskriminasi
terhadap LGBT.
4. Untuk mengetahui gangguan mental perilaku akibat narkotika dan
penatalaksanaanya.
5. Untuk mengetahui gangguan mental perilaku akibat psikotropika dan
penatalaksanaanya.
6. Untuk mengetahui gangguan mental perilaku akibat zat adiktif lainnya dan
penatalaksanaanya.

1.4 Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini yaitu:
1. Memberikan pengetahuan pada dokter muda dalam menghadapi pasien pedofilia.
2. Memberikan pengetahuan pada dokter muda dalam menghadapi pasien LGBT.
3. Memberikan pengetahuan pada dokter muda dalam menghadapi pasien gangguan
mental perilaku akibat zat serta penatalaksanaannya.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyimpangan Seksual


Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk
mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang
digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar atau
tujuan seksual yang tidak wajar (Winarsih, 2011). Beberapa jenis penyimpangan seksual
ada diantaranya adalah:

1. Homoseksual
Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan seksualnya.
Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita perempuan. Istilah
lain dari homoseksual adalah seksual inversion, contrary sexual feeling, atau urning
istilah ini untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan selain lesbian juga bisa
disebut urnigin.

2. Sadomasokisme atau Masokisme seksual


Sadisme seksual termasuk kelainan seksual yang mana kepuasan seksual diperoleh
bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau
menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan dari
sadisme seksual. Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa
untuk memperoleh kepuasan seksual. Hal ini karena yang bersangkutan membutuhkan
derita yang lebih besar untuk mencapai kepuasan seksual atau orgasme.

3. Ekshibisionisme
Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan
memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan
kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin
terangsang.

4. Hiperseks atau hypersexuality


Hiperseks atau hypersexuality merupakan penyimpangan seksual yang ditandai
dengan tingginya keinginan untuk melakukan hubungan seksual dan sulitnya
mengontrol keinginan seks tersebut.

4
5. Voyeurisme
Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau
melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual.
Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih
lanjut terhadap korban yang diintip.

6. Fetishisme
Pada penderita fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi
dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat
meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Ia melakuakn masturbasi dengan
mengunakan kutang atau celana dalam yang ditempelkan dan digosok-gosokan pada
alat kelaminnya sehingga orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan
kepuasan.

7. Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil


Orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks / kontak fisik yang
merangsang dengan anak di bawah umur. Biasanya pedofil memilih anak perempuan
yang berumur antara 8 tahun sampai dengan umur 10 tahun, sedangkan untuk anak
laki-laki berkisar antara umur 10 tahun sampai dengan umur 12 tahun.

8. Incest
Adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami istri seperti
antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak cowok, atau pertalian keluarga
angkat atau pertalian keluarga karena perkawinan menjadi penghalang atau terlarang
untuk hubungan seksual.

9. Necrophilia/Necrofil
Adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi
mayat atau orang mati.

10. Zoophilia
Zoofilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan
hubungan seks dengan hewan.

5
11. Sodomi
Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik
pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan.

12. Frotteurisme/Frotteuris
Yaitu suatu bentuk kelainan sexual di mana seseorang laki-laki mendapatkan
kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek atau menggosok-gosok alat
kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik atau di tempat umum seperti di
kereta, pesawat, bis, dan lain sebagainya.

13. Gerontopilia
Gerontopilia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh
cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-
nenek atau kakek-kakek) (Winarsih, 2011).

2.2 Pedofilia

2.2.1 Pengertian Pedofilia


Pedophilia berasal dari bahasa Yunani: paidophilia; pais (anak-anak) dan
philia (cinta, persahabatan). Jadi pedophilia adalah cinta anak-anak. Dalam hal
ini rasa kecintaan pada anak-anak diartikan dengan rasa kecintaan orang dewasa
atas hasrat seksual terhadap anak-anak di bawah umur. Dalam arti istilah
pedophilia diartikan dengan suatu kelainan pada perkembangan psikoseksual
seseorang dimana individu tersebut memiliki hasrat erotis yang abnormal
terhadap anak-anak. Pedophilia dapat diartikan pula dengan kecenderungan
seseorang yang telah dewasa baik pria maupun wanita untuk melakukan
aktivitas seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual dengan anak-anak
dibawah umur (Khaidir,2007).
Aktivitas seks yang dilakukan oleh para pedofil sangat bervariasi. Misalnya
dengan menelanjangi anak, perbuatan ekshibisionistis dengan memperlihatkan
alat kelamin sendiri kepada anak-anak, melakukan masturbasi dengan anak,
bersenggama dengan anak, bahkan jenis aktivitas seksual lainnya termasuk
stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus
dengan jari, benda asing atau bisa jadi penis (Khaidir,2007).

6
2.2.2 Macam Pedofilia
Menurut Choiriyah (2009) terdapat dua macam pedofilia, yaitu :
1. Pedofilia Heteroseksual, merupakan kelainan seksual orang dewasa terhadap
anak dibawah umur, yang dalam pelampiasan nafsunya ditujukan pada jenis
kelamin yang berbeda.
2. Pedofilia Homoseksual, yaitu memanipulasi anak laki-laki sebagai obyek
pemuasan hasrat seksualnya (Choiriyah, 2009).

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pedofilia


Perbuatan penyimpangan seksual ini tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya, antara lain:
1. Faktor psikologis, merupakan salah satu faktor dalam hubungannya dengan
keadaan kejiwaan seseorang yang bisa merasakan senang dan tidak. Yang bisa
diakibatkan dari latar belakang si penderita pernah mengalami pelecehan
seksual pada masa kanak-kanaknya.
2. Faktor sosiokultural (sosial dan kebudayaan), juga dapat mempengaruhi
tingkah laku seseorang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin pesat, berbagai macam hiburan yang disajikan seperti hiburan di
dunia maya atau yang dikenal dengan internet, yang didalamnya dimuat
berbagai macam jenis informasi baik dari dalam maupun luar negeri, mulai
dari informasi positif sampai informasi yang negatifpun tersedia didalamnya.
Salah satunya situs-situs porno yang tidak sepatutnya dipertontonkanpun kini
bisa dinikmati oleh semua orang.
3. Faktor pendidikan dan keluarga. Pendidikan dalam keluarga berguna untuk
membentuk kepribadian seseorang. Dalam arti, bahwa peletak dasar
terbentuknya kepribadian adalah pendidikan. Dalam hal ini faktor keteladanan
dan pembiasaan oleh keluarga merupakan faktor penentu dalam peletak dasar
kepribadian anak. Karena sikap dan tindakan orang tua dicontoh dan
selanjutnya dibiasakan menjadi pola tingkah laku. Dalam hal ini perilaku
pedophilia bisa disebabkan karena kurangnya kasih sayang ataupun perhatian
dari orang tua semasa kecilnya.
4. Faktor fisiologis (biologis) juga sangat menentukan berperilaku sehat. Jasmani
yang sakit terus-menerus akan mengganggu kondisi kejiwaan seseorang, yang
salah satunya termasuk didalamnya adalah kebutuhan biologis dalam
memenuhi nafsu seksualnya yang tinggi (Khaidir, 2007).

7
2.2.4 Tatalaksana Pedofilia
Saat ini belum ditemukan perawatan yang efektif untuk pedophilia. Menurut
Khaidir (2007) teknik tatalaksana pedofilia saat ini dapat dibagi menjadi
beberapa grup besar, diantaranya:
1. Teknik Fisiologis
Dibuat berdasarkan fakta bahwa dorongan seksual dapat dikurangi dengan
kastrasi dan pemberian hormon. Teknik perawatan ini, walaupun tidak
digunakan secara umum di AS, telah dilakukan di Belanda dan beberapa
negara Skandinavia. Terapi hormonal disertai dengan terapi psikologi telah
digunakan untuk menurunkan dorongan seksual secara sementara.
2. Psikoterapi tradisional
Psikoterapi individu dan grup yang dilengkapi dengan terapi rekreasional,
terapi okupasi, pendidikan seks, dan aktivitas lain digunakan dibeberapa
fasilitas perawatan. Walapun demikian, menurut penelitian, efektifitas terapi
psikologi bagi pedofilia masih beragam. Beberapa penelitian menganjurkan
psikoterapi tradisional dapat membantu bila dikombinasi dengan terapi
perilaku. McCaghy berpendapat apakah “pandangan” yang diperoleh para
pedofilia saat terapi ataukah jika mereka jarang diberikan justifikasi tentang
perilaku mereka yang menyimpang yang dapat merubah perilaku mereka.
3. Pendekatan perilaku
Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan atau memfasilitasi interaksi sosial
yang adekuat dengan wanita dewasa, meningkatkan keinginan seksual
terhadap wanita dewasa, dan menurunkan dorongan seksual pada anak-anak,
mengurangi fantasi seksual dan pikiran seksual yang melibatkan anak-anak,
dan mengurangi keinginan beraktivitas seksual dengan anak-anak (Khaidir,
2007).

2.3 Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT)

2.3.1 Definisi Orientasi Seksual

Orientasi seksual mengacu dalam bentuk daya tarik emosional, romantisme


dan atau seksual pada pria, wanita atau keduanya. Orientasi seksual juga
mengacu pada jati diri seseorang berdasarkan daya tarik, perilaku dan
keanggotaan seseorang dalam suatu komunitas yang juga mempunyai daya tarik
sejenis. Penelitian dalam beberapa dekade sudah membuktikan bahwa orientasi

8
seksual berkisar secara kontinuum dari daya tarik pada berlawanan jenis hingga
sesama jenis. Bagaimanapun, orientasi seksual biasanya didiskusikan dalam 3
kategori: heteroseksual (mempunyai daya tarik emosional, romantisme dan
seksual pada lawan jenis), gay/lesbian (mempunyai daya tarik emosional,
romantisme dan seksual pada sesama jenis kelamin), biseksual (mempunyai
daya tarik emosional, romantisme dan seksual pada kedua lawan jenis pria dan
wanita) (American Psycological Association, 2016).
Orientasi seksual berbeda dari seks dan gender, termasuk jenis kelamin
biologis (anatomi, fisiologis dan karakteristik genetik yang terkait dengan
menjadi pria atau wanita), identitas gender (kesadaran secara psikologis menjadi
pria atau wanita) dan peran gender sosial (norma-norma budaya yang
menentukan perilaku feminin dan maskulin) (American Psycological
Association, 2016).
Orientasi seksual umumnya dibahas seolah-olah itu semata-mata
karakteristik individu, seperti jenis kelamin biologis, identitas gender atau usia
padahal orientasi seksual didefinisikan dalam hal hubungan dengan orang
lain. Orang mengekspresikan orientasi seksual mereka melalui perilaku dengan
orang lain, termasuk tindakan sederhana seperti memegang tangan atau
berciuman. Dengan demikian, orientasi seksual terkait erat dengan hubungan
pribadi yang intim yang memenuhi kebutuhan untuk cinta, keterikatan dan
keintiman. Selain perilaku seksual, ikatan ini termasuk kasih sayang non-
seksual fisik antara pasangan, tujuan dan martabat bersama, saling mendukung
dan komitmen. Oleh karena itu, orientasi seksual tidak hanya karakteristik
pribadi dalam individu. Sebaliknya, orientasi seksual seseorang mendefinisikan
sekelompok orang di mana seseorang memungkinkan untuk menemukan
hubungan romantis yang sempurna yang merupakan komponen penting dari
identitas pribadi (American Psycological Association, 2016).
Amnesty International percaya bahwa semua orang, tanpa memandang
orientasi seksual atau identitas gender, harus dapat menikmati hak asasi
mereka. Meskipun “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” tidak secara
eksplisit menyebutkan orientasi seksual atau identitas gender, perkembangan
konsep hukum hak asasi manusia internasional termasuk interpretasi luas untuk
mencakup hak dan perlindungan orang LGBT di seluruh dunia (Amnesty
International, 2016).

9
“The Yogyakarta Principles” tentang Penerapan Hukum Internasional Hak
Asasi Manusia Terkait Orientasi Seksual dan Identitas Gender, dikembangkan
pada tahun 2006 oleh sekelompok ahli LGBT di Yogyarkarta. Indonesia
menghadapi contoh pelecehan yang marak, memberi panduan universal untuk
menerapkan hukum internasional hak asasi manusia untuk pelecehan yang
dialami lesbian, gay, biseksual dan transgender untuk memastikan jangkauan
universal perlindungan hak asasi manusia (Amnesty International, 2016).
Namun, di seluruh dunia, masih banyak contoh di mana orientasi seksual
atau identitas gender individu dapat menyebabkan mereka untuk dieksekusi,
penjara, penyiksaan, kekerasan atau diskriminasi. Pelecehan merupakan hal
yang tak terbatas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum
internasional hak asasi manusia.

2.3.2 Definisi LGBT


Komunitas LGBT adalah suatu komunitas yang terdiri dari beberapa
orang yang mempunyai orientasi seksual berbeda dengan mayoritas orang yang
ada di dunia ini. Lesbian adalah perempuan yang secara seksual dan kasih
sayang tertarik pada perempuan, sedangkan gay adalah laki-laki yang secara
seksual dan kasih sayang tertarik pada laki-laki juga. Untuk biseksual, seseorang
individu yang tertarik pada kedua jenis kelamin, jadi seorang biseksual adalah
seseorang yang menyukai laki-laki maupun perempuan. Transgender adalah
seorang laki-laki yang berpenampilan perempuan, atau masyarakat biasanya
menyebutnya sebagai waria (wanita pria), sedangkan transeksual adalah seorang
baik laki-laki atau perempuan yang mengganti alat kelaminnya (Wiyoto, 2012).

2.3.3 Bagaimanakah Seseorang Tahu Apakah Ia Lesbian, Gay, Biseksual atau


Transgender?
Menurut penelitian dan pemahaman profesional saat ini, inti daya tarik
yang membentuk dasar untuk orientasi seksual dewasa biasanya muncul antara
masa pertengahan kanak-kanak dan awal remaja. Bentuk daya tarik emosional,
romantisme, dan seksual mungkin timbul tanpa pengalaman seksual
sebelumnya. Orang dapat hidup membujang dan masih mengetahui orientasi
seksual mereka - baik itu lesbian, gay, biseksual atau heteroseksual (American
Psycological Association, 2016).

10
Lesbian, gay dan biseksual memiliki pengalaman yang sangat berbeda
mengenai orientasi seksual mereka. Beberapa orang tahu bahwa mereka adalah
lesbian, gay atau biseksual untuk waktu yang lama sebelum mereka
mempunyai hubungan dengan orang lain. Beberapa orang terlibat dalam
aktivitas seksual (dengan sesama jenis dan / atau lawan jenis) sebelum
menegaskan orientasi seksual mereka. Prasangka dan diskriminasi membuat
sulit bagi banyak orang untuk berdamai dengan identitas orientasi seksual
mereka, sehingga mengakui sebagai lesbian, gay atau biseksual dapat menjadi
proses yang lambat (American Psycological Association, 2016).

2.3.4 Apa yang Menyebabkan Seseorang Mempunyai Orientasi Seksual


Tertentu?
Beberapa faktor-faktor yang dapat menyebabkan orientasi LGBT adalah:
1. Biologis
Faktor biologis seperti pengaruh genetik dan level hormon prenatal ( level
hormon sebelum melahirkan), pengalaman masa kecil, dan pengalaman di
masa remaja atau dewasa menurut banyak ahli dapat berpengaruh untuk
perkembangan identitas gender dan transgender. Ada juga ahli yang
berpendapat bahwa terdapat struktur yang bebeda pada medial preoptik
area yang menyebabkan seseorang memiliki disorientasi seksual. Jika
seseorang merasa tidak nyaman atau tidak puas dengan identitas seksual yang
dibawanya sejak lahir karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk
fisik dan kelamin dengan kejiwaan maka hal tersebut dapat menyebabkan
seseorang menjadi transgender (Himpunan Mahasiswa Psikologi Unud,
2016).
2. Lingkungan
Lingkungan mengambil peranan yang cukup penting bagi seseorang untuk
memahami identitas seksual dan identitas gendernya. Faktor lingkungan ini
terdiri atas :
 Budaya / Adat Istiadat
Pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu sedikit banyak mempengaruhi pribadi masing-masing
orang dalam kelompok masyarakat tersebut. Demikian pula dengan budaya

11
dan adat istiadat yang mengandung unsur homoseksualitas dapat
mempengaruhi seseorang menjadi seorang homoseksual (lesbian dan gay)
ataupun dengan budaya dan adat istiadat yang mengandung unsur
biseksualitas yang dapat menyebabkan seseorang menjadi seorang
biseksual. Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang
dianut, sikap, pandangan maupun pola pemikiran tertentu terutama
berkaitan dengan orientasi, tindakan dan identitas seksual seseorang
(Himpunan Mahasiswa Psikologi Unud, 2016).
 Pola Asuh

Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi seseorang menjadi


LGBT. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan pada identitas mereka
sebagai seorang pria atau perempuan. Pengenalan identitas diri ini tidak
hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik sebutan pria
atau perempuan tersebut seperti penampilan fisik yang meliputi pemakaian
baju, penataan rambut, pengenalan karakteristik fisik meliputi perbedaan
alat kelamin pria dan wanita, karakteristik sifat seperti pria yang lebih
menggunakan logika, lebih menyukai kegiatan yang memacu adrenalin dan
mengandalkan fisik. Sedangkan wanita cenderung lebih menggunakan
emosi dan perasaan dan lebih memilih kegiatan yang mengandalkan otak
dan otot halus. Karakteristik tuntutan dan harapan seperti sosok pria yang
dituntut menjadi tegas, kuat dan bekerja untuk menafkahi keluarga
sedangkan wanita yang dituntut menjadi sosok yang lebut, halus agar bisa
mengurus keluarga (Himpunan Mahasiswa Psikologi Unud, 2016).
 Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis.
Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama
akan melihat pada orangtua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama
dengannya. Anak laki-laki melihat pada ayahnya dan anak perempuan
melihat pada ibunya. Kemudian mereka juga melihat pada teman bermain
yang berjenis kelamin sama dengannya. Karakteristik homoseksual
terbentuk ketika anak-anak ini gagal mengidentifikasi dan mengasimilasi
bagaimana menjadi dan menjalani peran sesuai dengan identitas seksual
mereka berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita. Kegagalan
mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas seksual ini dapat dikarenakan
figur yang dilihat dan menjadi contoh untuknya tidak memerankan peran

12
identitas seksual mereka sesuai dengan nilai-nilai universal yang berlaku.
Misalnya, ibu yang terlalu mendominasi dan ayah yang tidak memiliki
ikatan emosional dengan anak-anaknya. Ayah tampil sebagai figur yang
lemah dan tidak berdaya atau orang tua yang homoseksual (Himpunan
Mahasiswa Psikologi Unud, 2016).
 Kekerasan Seksual dan Pengalaman Traumatik Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual dan pengalaman traumatik kekerasan seksual yang
dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab terhadap orang lain
yang berjenis kelamin sama adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
seseorang menjadi homoseksual (Himpunan Mahasiswa Psikologi Unud,
2016).

Namun menurut American Psycological Association (2016), tidak


ditemukan penelitian mengenai penyebab pasti seseorang mempunyai orientasi
lesbian, gay, biseksual dan transgender. Walaupun banyak penelitian untuk
memeriksa genetik, hormonal, tumbuh-kembang, sosial dan budaya yang
mempengaruhi pada orientasi seksual, tidak ditemukan apapun sehingga peneliti
menyimpulkan bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh multi-faktorial.
Banyak yang berpendapat bahwa diri-sendiri dan lingkungan keduanya
mempunyai peran yang kompleks.

2.3.5 Bagaimana Peran Diskriminasi dan Prasangka Terhadap LGBT?


Diskriminasi orientasi seksual mempunyai banyak bentuk. Prasangka fatal
antigay tercermin dalam tingginya tingkat pelecehan dan kekerasan pada
lesbian, gay dan biseksual di masyarakat Amerika. Banyak survei menunjukkan
bahwa pelecehan verbal dan kekerasan merupakan pengalaman yang hampir
selalu dialami orang-orang lesbian, gay dan biseksual. Selain itu, diskriminasi
terhadap lesbian, gay, dan biseks dalam pekerjaan terlihat meluas (American
Psycological Association, 2016).
Pandemi HIV / AIDS adalah bagian lain di mana prasangka dan
diskriminasi terhadap lesbian, gay dan biseks memiliki efek negatif. Asumsi
bahwa HIV / AIDS adalah "penyakit gay" yang berkontribusi terhadap
keterlambatan dalam mengatasi pergolakan besar sosial yang dihasilkan
AIDS. Laki-laki gay dan biseksual telah, secara tidak proporsional, terkena

13
penyakit ini. Hubungan HIV / AIDS dengan pria gay dan biseksual dan
keyakinan, yang tidak akurat, yang dipegang oleh beberapa orang bahwa semua
pria gay dan biseksual terinfeksi penyakit tersebut semakin memberi stigma
lesbian, gay dan biseks (American Psycological Association, 2016).
Intimidasi homophobic adalah setiap tindakan bermusuhan atau ofensif
yang berkaitan dengan orientasi seksual seseorang. Tindakan ini mungkin:
 verbal, fisik atau emosional pelecehan (pengucilan sosial)
 komentar menghina atau merendahkan
 Nama panggilan, gerak tubuh, ejekan, hinaan atau "lelucon"
 grafiti ofensif
 mepermalukan, tidak termasuk, menyiksa, mengejek atau mengancam
 menolak untuk bekerja atau bekerja sama dengan orang lain karena
orientasi seksual atau identitas (Hamilton Health Science, 2016).

2.3.6 Bagaimana Dampak Psikologis Diskriminasi dan Prasangka Terhadap


LGBT?
Pada dunia sosial, prasangka dan diskriminasi terhadap lesbian, gay dan
biseksual tercermin dalam stereotip sehari-hari anggota kelompok ini. Stereotip
ini bertahan meskipun mereka tidak didukung oleh bukti-bukti, dan sering
digunakan untuk alasan perlakuan tidak adil pada lesbian, gay dan
biseks. Misalnya, pembatasan kesempatan kerja, pengasuhan sebagai orangtua
dan pengakuan terhadap hubungan tersebut (American Psycological
Association, 2016).
Pada diri-sendiri, prasangka dan diskriminasi tersebut juga mungkin
memiliki konsekuensi negatif, terutama jika lesbian, gay dan biseks berusaha
untuk menyembunyikan atau menyangkal orientasi seksual mereka. Meskipun
banyak lesbian dan pria gay belajar untuk mengatasi stigma sosial terhadap
homoseksualitas, bentuk prasangka ini dapat memiliki efek negatif yang serius
pada kesehatan dan kesejahteraan. Prasangka yang besar, diskriminasi, dan
kekerasan yang dialami lesbian dan pria gay sering menjadi kekhawatiran
signifikan bagi kesehatan mental. Prasangka seksual, diskriminasi orientasi
seksual dan kekerasan antigay merupakan sumber utama stres bagi orang-orang
lesbian, gay dan biseksual. Meskipun dukungan sosial sangat penting dalam
mengatasi stres, sikap dan diskriminasi antigay dapat membuat sulit untuk

14
lesbian, gay dan biseks untuk mencari dukungan sosial tersebut (American
Psycological Association, 2016).

2.3.7 Dampak dari Diskriminasi dan Pelecehan Atas Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender Muda
 30% dari kasus bunuh diri yang LGBT
 43% orang trans-diidentifikasi mencoba bunuh diri
 26% dari remaja LGBT diberitahu untuk meninggalkan rumah
 Pemuda LGBT lebih mungkin untuk menjadi tunawisma (Hamilton Health
Science, 2016).

2.3.8 Apakah Homoseksual Merupakan Sebuah Penyakit?


Jawabannya adalah tidak; lesbian, gay dan orientasi biseksual bukanlah
gangguan. Penelitian tidak menemukan hubungan yang cocok antara semua
orientasi seksual ini dan psikopatologi. Kedua perilaku heteroseksual dan
homoseksual adalah aspek normal seksualitas manusia. Keduanya telah
didokumentasikan dalam berbagai budaya dan era sejarah. Meskipun stereotip
berlangsung lama yang menggambarkan lesbian, gay dan biseks sebagai
terganggu, beberapa dekade ini penelitian dan pengalaman klinis telah
membawa semua organisasi kesehatan medis dan mental untuk menyimpulkan
bahwa orientasi ini merupakan bentuk normal pada manusia. Hubungan lesbian,
gay dan biseksual adalah bentuk normal dari ikatan manusia. Oleh karena itu,
organisasi terdahulu yang mengklasifikasikan homoseksual sebagai kelainan
mental sudah ditinggalkan (American Psycological Association, 2016).

2.3.9 Apa Terapi yang Dapat Dilakukan Untuk Mengubah Homoseksual Menjadi
Heteroseksual?
Semua organisasi kesehatan mental telah resmi menyatakan keprihatinan
tentang terapi yang dipromosikan untuk memodifikasi orientasi seksual. Sampai
saat ini, belum ada penelitian ilmiah yang memadai menunjukkan bahwa terapi
yang ditujukan untuk mengubah orientasi seksual (kadang-kadang disebut
reparatif atau terapi konversi) aman atau efektif. Selain itu, ada kemungkinan
bahwa terapi perubahan tersebut memperkuat stereotip dan memberikan
kontribusi negatif untuk lesbian, gay dan biseksual. Hal ini tampaknya terutama

15
untuk lesbian, gay, biseksual dan individu yang tumbuh di lingkup aturan agama
yang lebih konservatif (American Psycological Association, 2016).
Bantuan terapis dalam mengobati seorang individu yang bermasalah
tentang dirinya atas daya tarik sesama jenis termasuk membantu orang secara
aktif mengatasi prasangka sosial terhadap homoseksualitas, berhasil
menyelesaikan masalah yang terkait dan yang dihasilkan dari konflik internal,
dan secara aktif menjalani hidup bahagia dan memuaskan. Organisasi profesi
kesehatan mental mengharapkan anggotanya untuk menghormati hak seseorang
(klien) untuk menentukan nasib sendiri; peka terhadap ras, budaya, etnis, usia,
jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, agama, status sosial ekonomi,
bahasa dan status kecacatan klien ketika bekerja dengannya; dan menghilangkan
bias berdasarkan faktor-faktor tersebut (American Psycological Association,
2016).

2.3.10 Bagaimana Orang-orang Dapat Membantu Mengurangi Prasangka dan


Diskriminasi Terhadap LGBT?
Lesbian, gay dan biseksual yang ingin membantu mengurangi prasangka
dan diskriminasi dapat terbuka tentang orientasi seksual mereka, bahkan saat
mereka mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjadi
seaman mungkin. Mereka dapat memanfaatkan komunitas lesbian, gay dan
biseksual, serta orang-orang heteroseksual mendukung, untuk dukungan
(American Psycological Association, 2016).
Orang heteroseksual yang ingin membantu mengurangi prasangka dan
diskriminasi dapat membantu bekerja dengan lesbian, gay dan individu
biseksual untuk memerangi prasangka dan diskriminasi. Individu
heteroseksual sering berada dalam posisi yang baik untuk meminta orang
heteroseksual lain untuk mempertimbangkan sifat merugikan atau
diskriminatif dari keyakinan dan tindakan mereka. Masyarakat heteroseksual
dapat mendorong kebijakan non-diskriminasi yang mencakup orientasi
seksual. Ketika lesbian, gay dan biseks merasa bebas untuk membuat publik
orientasi seksual mereka, heteroseksual diberi kesempatan untuk memiliki
kontak pribadi dengan orang-orang gay dan melihat mereka sebagai individu
(American Psycological Association, 2016).

16
Studi prasangka, termasuk prasangka terhadap orang gay, secara konsisten
menunjukkan bahwa prasangka menurun ketika anggota kelompok mayoritas
berinteraksi dengan anggota dari kelompok minoritas.Sesuai dengan pola
umum ini, salah satu pengaruh paling kuat terhadap penerimaan heteroseksual
'orang gay adalah memiliki kontak pribadi dengan orang gay. Sikap antigay
jauh lebih umum di antara anggota populasi yang memiliki teman dekat atau
anggota keluarga yang lesbian atau gay, terutama jika orang gay telah langsung
keluar untuk orang heteroseksual (American Psycological Association, 2016).
Pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan orientasi seksual atau jenis
kelamin dapat mencakup pelanggaran terhadap hak-hak anak; penderitaan
penyiksaan dan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat (Pasal
5); penahanan sewenang-wenang atas dasar identitas atau keyakinan (Pasal
9); pembatasan kebebasan berserikat (Pasal 20) dan penolakan hak-hak dasar
proses hukum
Contoh termasuk:
 Eksekusi oleh negara
 Penolakan layanan pekerjaan, perumahan atau kesehatan
 Kehilangan hak asuh anak
 Penolakan suaka
 Perkosaan dan sebaliknya penyiksaan dalam tahanan
 Ancaman untuk berkampanye untuk hak asasi manusia LGBT
 Tunduk teratur untuk pelecehan verbal (Amnesty International, 2016).
Di banyak negara, penolakan pemerintah untuk mengatasi kekerasan yang
dilakukan terhadap orang-orang LGBT menciptakan budaya impunitas di mana
pelanggaran tersebut dapat berlanjut dan meningkat terus-menerus. Seringkali,
pelanggaran tersebut dilakukan oleh otoritas negara sendiri, dengan atau tanpa
sanksi hukum (Hamilton Health Sciences, 2016).
Diskriminasi sistematis seperti memperkuat kelemahan yang dialami oleh
lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dan dapat digunakan sebagai
keadilan untuk kekerasan terhadap mereka, apakah di jalan, di rumah, atau
dalam penjara (Hamilton Health Sciences, 2016).
Di beberapa negara tersebut, individu atau kelompok homophobic dan
transphobic menggunakan hukum-hukum ini sebagai izin untuk menargetkan
lesbian, gay, biseksual dan transgender, serta oragnisasi dan

17
acaranya. Amnesty telah mendokumentasikan kasus-kasus dimana aparat
penegak hukum telah sewenang-wenang menangkap individu atas dasar
tuduhan tentang orientasi seksual, rumor perilaku seksual, dengan sedikit, jika
ada, konsekuensi untuk penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya (Amnesty
International, 2016).

2.4 Gangguan Mental Perilaku Akibat Narkotika

2.4.1 Definisi Narkotika


Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi
seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam
tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik,
intravena, dan lain sebagainya. Narkoba dibagi dalam 3 jenis :
1. Narkotika
2. Psikotropika
3. Zat adiktif lainnya
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau
ketagihan yang sangat berat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
tahun 1997).

2.4.2 Penggolongan Narkotika


Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :
a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif
sangat tinggi menyebabkan ketergantunggan. Tidak dapat digunakan
untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu
pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin
tidak murni berupa bubuk.
b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif
kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh :
petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol.
c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif

18
ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh :
codein dan turunannya.

2.4.3 Jenis Narkotika


1. Ganja/ Mariyuana/ Kanabis
Tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong dan
berbulu halus, jumlah jarinya selalu ganjil, yaitu 5,7,9. Cara
penyalahgunaannya adalah dengan mengeringkan dan dicampur dengan
tembakau rokok atau langsung dijadikan rokok lalu dibakar dan dihisap.
bahan yang digunakan dapat berupa daun, biji maupun bunga. Dibeberapa
daerah Indonesia yaitu di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, pulau
Jawa dan lain, akibat dari menggunakan adalah berpariasi tergantung dari
jumlah, jenis cannabis serta waktu cannabis dipakai. Beberapa efek dapat
termasuk euforia, santai, keringanan stres dan rasa sakit, nafsu makan
bertambah, perusakan pada kemampuan bergerak, kebingungan,
hilangnya konsentrasi serta motivasi berkurang (Melati, 2014).
2. Kokain
Kokain adalah tanaman perdu mirip pohon kopi, buahnya yang
matang berwarna merah seperti biji kopi, kokain merupakan hasil
sulinggan dari daun koka yang memiliki zat yang sangat kuat, yang
tumbuh di Amerika Tenggah dan Amerika Selatan. Sedangkan kokain
freebase adalah kokain yang diproses untuk menghilangkan kemurnian
dan campurannya sehingga dapat dihisap dalam bentuk kepingan kecil
sebesar kismis. Salah satu bentuk populer dari kokain adalah crac,
kokain menimbulkan risiko tinggi terhadap pengembangan
ketergantungan fisik dan fisiologis, prilaku yang lazim selama dibawah
pengaruh kokain dapat termasuk hiperaktif, keriangan, dan bertenaga,
ketajaman perhatian, percaya diri dan kegiatan seksual yang meningkat.
Pengguna juga dapat berprilaku tidak berpendirian tetap, merasa tidak
terkalahkan dan menjadi agresif dan suka bertengkar. Kondisi yang dapat
mematikan dapat terjadi dari kepekaan yang tinggi terhadap kokain atau
overdosis secara besar-besaran. Beberapa jam setelah pemakaian terakhir,
rasa pergolakan dan depresi dapat terjadi (Melati, 2014).
3. Opium

19
Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang sangat indah,
dari getah bunga opiun dibuat candu (opiat), dahulu di Mesir dan Cina
digunakan untuk pengobatan, menghilangkan rasa sakit tentara yang
terluka akibat perang dan berburu, opium banyak tumbuh didaerah “ segi
tiga emas” Burma, Kamboja, Thailand dan segitiga emas Asia Tengah,
Afganistan, Iran dan Pakistan. Penggunaan jangka panjang
mengakibatkan penurunan dalam kemampuan mental dan fisik, serta
kehilangan nafsu makan dan berat badan (Melati, 2014).
4. Codein
Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein
lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan
ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan
jernih.Codein sering juga digunakan sebagai obat batuk untuk batuk yang
kronis. Pembeliannya pun harus dengan resep dokter (Melati, 2014).
5. Heroin
Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang
kecanduan karna efeknya sangat kuat. Obat ini bisa di temukan dalam
bentuk pil, bubuk, dan juga dalam cairan. Heroin memberikan efek yang
sangat cepat terhadap si pengguna, dan itu bisa secara fisik maupun
mental. Dan jika orang itu berhenti mengkonsumsi heroin, dia akan
mengalami rasa sakit yang berkesinambungan/sakaw/ gejala putus
obat. Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari
morfin(sering digunakan untuk medikasi) dan merupakan jenis opiat yang
paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini.
Cara penggunaan heroin yang disuntikkan dapat memicu terjadinya
penularan HIV/AIDS dan hepatitis C. Biasanya disebabkan oleh
penggunaan jarum suntik dan peralatan lainnya secara bersamaan (Melati,
2014).

2.4.4 Gejala Umum Pengguna Narkotika


Biasanya orang mengetahui anaknya menggunakan narkoba selalu
ketika keadaannya sudah parah dan terlambat. Oleh karena itu ciri awal
pengguna narkoba perlu diketahui dengan baik. Menurut Partodihardjo (2008)

20
secara umum penguna narkoba terdiri dari 4 tahap.
1. Tahap Coba-coba
Mulanya hanya coba-coba, kemudian karena terjebak oleh 3 sifat jahat
narkoba, ia menjadi mau lagi dan lagi. Sangat sulit melihat gejala awal
pengguna narkoba, gejala tersebut adalah =
a. Gejala psikologi :
Terjadi perubahan pada sikap anak, akan timbul rasa takut dan malu yang
disebabkan oleh perasaan bersalah dan berdosa, anak lebih sensitif, resah
dan gelisah, kemanjaan dan kemesraan akan berkurang bahkan hilang.
b. Pada fisik :
Pada fisik belum tampak pada tubuh anak. Tetapi bila sedang memakai
psikotropika, ekstasi, atau sabu, ia akan tampak riang, gembira, murah
senyum dan ramah, bila menggunakan jenis putaw, ia akan tampak
tenang, tentram, tidak peduli pada orang lain, bila tidak memakai tidak
akan tampak gejala apapun.

2. Tahap Pemula
Setelah tahap eksperimen atau coba- coba, lalu meningkat menjadi terbiasa.
anak akan terus memakai karena kenikmatannya dan akan terus
menggunakannya. Pada tahap ini akan muncul gejala sebagai berikut:
a. Gejala psikologi
Sikap anak menjadi lebih tertutup, jiwanya resah, gelisa, kurang tenang
dan lebih sensitif, hubungan dengan orang tua dan saudara–saudara mulai
renggang tidak lagi terlihat riang, ceria. Ia mulai tampak banyak
menyembunyikan rahasia.
b. Pada fisik
Tidak tampak perubahan yang nyata. Bila ia memakai tampak lebih
lincah, lebih riang, lebih percayadiri, berarti ia memakai psikotropika
stimulan, shabu, atau ekstasi, bila ia tampak lebih tenang, mengantuk,
berarti ia memakai obat penenang, ganja, atau putaw.

3. Tahap Berkala
Setelah berapa kali memakai narkoba sebagai pemakai insidentil, pemakian
narkoba terdorong untuk memakai lebih sering lain. Selain merasa nikmat, ia

21
juga mulai merasakan sakaw, kalau terlambat atau berhenti mengkonsumsi
narkoba, ia memakai narkoba pada saat tertentu secara rutin. Pemakai
sudah menjadi lebih sering dan teratur. Misalnya setiap malam minggu,
sebelum pesta tampil, atau sebelum belajar agar tidak mengantuk.
a. Ciri mental
Sulit bergaul dengan teman baru. Pribadinya menjadi lebih tertutup,
lebih sensitif dan mudah tersinggung, ke akraban dengan orang tua dan
saudara sangat berkurang dan apabila tidak menggunakan narkoba sikap
dan penampilannya sangat murung, gelisa dan kurang percaya diri.
b. Ciri fisik
Terjadi gejala sebaliknya dari tahap 1 dan 2. Apabila menggunakan,
ia tampak normal, apabila tidak menggunakan ia akan tampak murung,
lemah, gelisah, malas.

4. Tahap Tetap/Madat
Setelah menjadi pemakai narkoba secara berkala, pemakai narkoba akan
dituntut oleh tubuhnya sendiri untuk semakin sering memakai narkoba
dengan dosis yang lebih tinggi, bila tidak ia akan merasa penderitaan
(sakaw), pada tahap ini pemakai tidak dapat lagi lepas dari narkoba sama
sekali, ia harus selalu mengunakan narkoba. ia disebut pemakai setia,
pecandu, pemadat atau junkies. Bila ia memakai akan tampak normal tetapi
apabila tidak ia tampak sakit. Dalam satu hari ia dapat memakai 4 sampai 6
kali, bahkan ada yang harus memakai setiap 1 jam.
a. Tanda – tanda psikis
Sulit bergaul dengan teman baru, ekslusif, tertutup, sensitif, mudah
tersinggung, egois, mau menang sendiri, malas dan lebih menyukai hidup
di malam hari. Pandai berbohong, gemar menipu, sering mencuri,
merampok dan tidak malu menjadi pelacur (pria atau wanita) ia tidak
merasa berat untuk berbuat jahat dan membunuh orang lain termasuk
orang tuanya sendiri.
b. Tanda –tanda fisik
Biasanya kurus lemah (loyo) namun ada juga yang dapat membuat
dirinya gemuk dan sehat. Dengan banyak makan dan minum
suplement. Gigi kuning kecoklatan, mata sayup, ada bekas sayatan atau

22
tusukan jarum suntik pada tangan, kaki, dada, lidah, atau kemaluan
(Partodiharjo, 2008).

2.4.5 Gejala Ketergantungan


Gejala ketergantungan mencakup:
 Tolerance: ada peningkatan dosis untuk mendapat efek yang sama
 Gejala withdrawal
 Dorongan kuat mencari dan memakai
Gejala ketergantungan yang tampak pada penderita antara lain:
o Badan kurus
o Tampak mengantuk
o Mata merah, cekung
o Bekas suntikan/goresan di lengan/kaki
o Emosi labil
o Takut sinar/air
o Menyendiri
o Bohong, mencuri
o Menjual barang
o Pergi tanpa pamit
o Halusinasi
o Ide paranoid
o Gangguan kepribadian
o Gangguan perilaku
o Depresi

2.4.6 Gejala Putus Obat


o Mengantuk
o Bersin-bersin/pilek
o Banyak mengeluarkan air mata
o Pupil dilatasi
o Demam (panas dingin, keringat bercucuran) lalu panas tinggi
o Merinding
o Detak jantung meningkat
o Tekanan darah meningkat
o Diare
o Sulit tidur
o Keluhan rasa ingin yang hebat untuk memakai ~ sugesti/craving
 Cemas, gelisah
 Rasa sakit/pegal seluruh tubuh
 Ngilu pada tulang/persendian

2.4.7 Gejala Overdosis

23
Overdosis atau kelebihan obat terjadi akibat tubuh mengalami keracunan akibat
dosis obat yang melebihi dosis aman dan rasional penggunaan. Tanda-tanda
overdosis antara lain:

24
o Mual
o Kram perut
o Diare
o Pusing
o Kehilangan keseimbangan
o Kejang
o Lemas dan mengantuk
o Kebingungan
o Pendarahan internal
o Gangguan pengelihatan
o Sulit bicara
o Muntah
o Membiru
o Kehilangan kesadaran
o Kehilangan respon dari panca indra
o Denyut nadi melemah atau lebih cepat dari normal
o Berkelakuan aneh, meracau/mengigau
o Kesulitan bernapas
o Detak jantung cepat atau sangat lambat
o Mendengkur dalam
o Suhu badan naik turun
o Pupil mata membesar atau mengecil
o Muka kemerahan dan berkeringat banyak
o Halusinasi
o Koma

2.4.8. Tatalaksana GMP Akibat Narkotika


Tujuan penatalaksanaan adalah abstinensia. Dapat dilakukan beberapa cara:
o Detoksifikasi
 Cold turkey: menghentikan zat secara tiba-tiba
 Menghentikan perlahan/substitusi
o Rehab medik
o Resosialisasi
 Terapi community 12-18 bulan yang bertujuan untuk perubahan pola
hidup
 Meningkatkan motivasi

2.5 Gangguan Mental Perilaku Akibat Psikotropika

Menurut UU No. 5 Th 1997, psikotropika adalah zat/ obat non narkotik yang
natural maupun sintetis, yang memiliki efek psikoaktif dengan mempengaruhi sistem
saraf pusat secara selektif dan dapat mengakibatkan perubahan mental dan perilaku
yang spesifik. Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan, dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu depresan, stimulansia, dan halusinogen.

25
2.5.1 Golongan Depresan (Downer)
 Definisi: adalah jenis psikotropika yang berfungsi mengurangi aktivitas
fungsional tubuh. Obat golongan ini bekerja dengan menekan sistem saraf
pusat dan membuat pengguna lebih relaks dan lebih tidak peka terhadap
sekitarnya (Melati, 2014).
 Jenis – jenis:
- Opioida = morfin, heroin, codein
- Sedatif (penenang)
- Hipnotik (obat tidur)
- Tranquilizer (anti cemas)
 Gejala Pemakai: Jenis ini membuat pemakainya menjadi damai, tenang dan
bahkan membuat tertidur bahkan tak sadarkan diri. Obat ini juga dapat
menghilangkan rasa takut dan gelisah.
- Insomnia
- Sifat lekas marah
- Kegugupan dan kegelisahan
- Pikiran dan tindakan kekerasan
- Perasaan gelisah
- Pikiran bunuh diri dan membunuh diri
- Tremor
- Permusuhan
- Berkeringat
- Detak jantung yang tidak teratur
- Agresi
- Perilaku kriminal
- Pikiran kacau dan tidak nyambung
- Paranoia
- Halusinasi
- Psikosis
- Akathisia (kegelisahan batin yang menyakitkan; tidak mampu untuk duduk
diam)
 Gejala Putus Zat:
- Pikiran bunuh diri
- Agresi
- Kegelisahan
- Depresi
26
- Saat-saat menangis
- Insomnia
- Kepala pusing
- Muntah
- Sakit kepala
- Tremor
- Rasa tusukan listrik di otak (Australian Drug Foundation, 2016).
 Gejala Overdosis:
- nafas pendek atau tidak bernafas
- Suara mengorok atau gurgling
- Ujung jari atau bibir bewarna kebiruan
- Tangan dan kaki lemas
- Tidak ada respons terhadap stimulus
- Diorientasi
- Tidak bisa dibangunkan/ pingsan (Australian Drug Foundation, 2016).
 Penanganan:
- Pasien sebaiknya mendapatkan detoksifikasi yang diawasi oleh tenaga medis
dengan secara ertahap dikurangi dosisnya.
- Kounseling juga dapat membantu seseorang melewati proses withdrawal
dengan baik.
- Cognitive-behavioral terapi yang memiliki fokus untuk memodifikasi
pemikiran pasien, ekspektasi pasien dan perilaku sambil meningkatkan
kemampuan untuk menghadapi stressor pada kehidupan sehari-hari
(Rahmawan et al., 2015).

2.5.2 Golongan Stimulan


 Definisi: Adalah jenis psikotropika yang dapat menimbulkan meningkatnya
aktivitas sistem syaraf pusat dan sistem nervus autonomik. Sehingga
mmpercepat proses berpikir, meningkatkan kepekaan, merngurangi kerut
wajah (Melati, 2014).
 Jenis-jenis:
- Kafein
- Nikotin
- Amfetamin
- Metafetamin
 Gejala Pemakai
- Menurunnya nafsu makan dan tidur
- Meningkatkan heart rate dan respiratorik rate
- Didapati vasokonstriksi sehingga pupil membesar (Australian Drug
Foundation, 2016).
 Gejala overdosis:
- Sakit dada
- Disorientasi/ kebingungan
- Sakit kepala
- Demam namun tidak berkeringat
27
- Kesulitan bernafan
- Agitasi dan paranoid
- Halusinasi
- Tidak sadar (Australian Drug Foundation, 2016).
 Gejala Putus Zat :
- Perilaku dalam pengaruh sedasi
- Psikomotor menurun
- Mood afek depresi atau mudah marah
- Tidak banyak bicara
- Proses berpikir: Linear, ada pikiran bunuh diri dan keinginan mengkonsumsi
obat kembali, paranoid
- Orientasi baik
- Memori impaired karena kurang tidur, kelelahan dan penurunan atensi
(Australian Drug Foundation, 2016).
 Gejala Intoksikasi :
- Perilaku : tegang, cemas, tidak bisa diam, dan agitasi
- Aktifitas psikomotor meningkat, dyskinesia bisa muncul
- Mood afek baik/ euphoria atau mudah marah dan labil
- Talkatif
- Proses berpikir: Flight of ideas; tangensialitas
- Isi pikiran: Paranoid, auditoris, visual dan taktil halusinasi, hiperseksual, dan
pikiran bunuh diri
- Insight atau judgement jelek
- Orientasi Kebingungan dan delirium (Australian Drug Foundation, 2016).
 Penanganan
- Langkah pertama untuk menanganis adiksi dari stimulant adalah untuk
tapering dosis obat dan penanganan simptomatik dari efek putus zat.
- Detoksifikasi kemudian harus diikuti oleh terapi perilaku.
- Terapi suportif kelompok juga bisa efektif untuk memperbaik terapi perilaku
(Rahmawan et al., 2015).

2.5.3 Golongan Halusinogen


 Definisi: adalah jenis psikotropika yang dapat menimbulkan efek halusinasi
yang bersifat merubah perasaan, pikiran dan seringkali menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh persaan dapat terganggu (Melati,
2014).
 Jenis – jenis:
- Kanabis (ganja)
- LSD (Lysergic Acid Diethyltamide)
- Getah tanaman kaktus
- Kecubung
- Psikolibin (magic mushroom)
 Gejala Pemakai:
Orang yang mengonsumsi obat golongan ini akan berubah persepsi, dan
orientasi waktu maupun tempat nya. Obat ini mengubah pandangan visual
28
sehingga timbul halusinasi maupun ilusi dan menyebabkan pemakainya sulit
untuk membedakan yang benar dan tidak (Australian Drug Foundation, 2016).
 Gejala Ketergantungan:
Pada pengguna halusinogen, pemakaian jangka panjang jarang terjadi,
biasanya disebabkan karena pengalaman menggunakan LSD berbeda – beda
dan tidak terdapat euphoria seperti yang di bayangkan. Orang jarang yang
mengalami ketergantungan fisik pada halusinogen, tetapi ketergantungan
psikologis mungkin terjadi walaupun jarang (Australian Drug Foundation,
2016).
 Gejala Putus Zat:
Orang yang menggunakan obat golongan halusinogen jarang yang mengalami
gejala putus obat, karena ketergantungan yang terjadi berupa ketergantungan
psikologis. Tetapi gejala yang mungkin terjadi saat putus obat yaitu:
- Craving
- Mudah kelelahan
- Iritabilitas
- Mengurangi kemampuan untuk merasakan kesenangan (Australian Drug
Foundation, 2016).
 Gejala Intoksikasi:
- Perilaku maladaptive (kecemasan, paranoid, gangguan dalam pertimbangan
- Perubahan persepsi (depersonalisasi, ilusi, dereliasasi, halusinasi)
- Dilatasi pupil
- Takikardi
- Berkeringat
- Palpitasi
- Pandangan kabur
- Tremor
- Inkoordinasi (Australian Drug Foundation, 2016).
 Kriteria diagnostik untuk intoksikasi halusinogen adalah:
a) Riwayat baru saja menggunakan halusinogen
b) Gangguan atau perubahan psikologikal atau perilaku maladaptive yang
signifikan, yang meningkat dengan penggunaan halusinogen
c) Perubahan persepsi yang terjadi pada keadaan sadar penuh dan awas-
waspada, misalnya depersonalisasi, persepsi subjektif, derealisasi, ilusi,
halusinasi, sinkronisasi, yang terjadi dan meningkat selama atau sesaat
sesudah menggunakan halusinogen
d) Dua atau lebih gejala berikut, yang muncul selama atau sesaat setelah
penggunaan halusinogen:
- Dilatasi pupil
- Takikardi
- Berkeringat
- Palpitasi

29
- Gangguan penglihatan
- Tremor
- Inkoordinasi gerak
Gejala yang ada tidak disebabkan oleh kondisi medis tertentu dan bukan
merupakan gangguan mental lainnya (Rahmawan et al., 2015).
 Penanganan:
a) Terapi Intoksikasi Halusinogenika
- Konseling suportif
- Mengajak pasien untuk berbicara, meyakinkan pasien, melindungi
pasien terhadap perbuatan yang membahayakan dirinya dan orang lain.
- Meyakinkan pasien bahwa gejala-gejala yang disebabkan oleh zat yang
digunakannya akan mereda.
- Berikan semangat dengan meyakinkan dan memberitahu tentang
orientasi secara terus-menerus.
- Tempatkan pasien dalam ruangan yang tenang dan ditemani.
- Observasi tanda vital dan pemeriksaan laboratorium yang menunjang,
khususnya berkaitan dengan skrining toksikologis urine dan darah
- Terapi simtomatis terhadap gejala fisik
- Fiksasi bila pasien agitatif (Rahmawan et al., 2015)
b) Terapi psikofarmaka:
- Obat penenang bila perlu: derivat benzodiazepin misalnya Lorazepam
1-2 mg per oral untuk pasien yang tidak begitu gelisah,dan secara
parenteral untuk pasien yang sangat agitatif atauparanoid karena
biasanya menolak minum obat.
- Bila agitasi tetap bertahan: antipsikotik Haloperidol 2-5 mg peroral/im
(Rahmawan et al., 2015)

2.6 Gangguan Mental Perilaku Akibat Zat Adiktif Lainnya

Zat adiktif adalah zat yg berupa bahan kimia maupun biologi, baik dalam bentuk
tunggal ataupun campuran yg dapat membahayakan kesehatan lingkungan dan
mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan-
bahan berbahaya ini bukan termasuk ke dalam narkotika ataupun psikotropika namun
mempunyai efek merusak fisik jika disalahgunakan serta dapat menimbulkan adiksi
(addiction) yaitu ketagihan sampai dependensi yaitu ketergantungan.

2.6. 1. Rokok
 Rokok mengandung 4000 zat yang paling berbahaya yang dapat
menyebabkan ketergantungan. Salah satu zat tersebut adalah nikotin

30
 Akibat pemakaian :
a. Nikotin pada rokok menyebabkan beberapa dampak bagi tubuh kita.
Menurut Stanley dan Beare 2006, nikotin pada rokok dapat
membahayakan jantung dengan menurunkan kadar High Density
Lipoprotein, meningkatkan adhesivitas trombosit dan kadar
fibrinogen, menggantikan oksigen pada molekul hemoglobin dengan
karbondioksida, meningkatkan konsumsi miokardium, menurunkan
ambang batas fibrilasi ventrikel dan meningkatkan denyut jantung.
(Stanley dan Beare, 2006).
b. Kandungan nikotin berkisar kurang dari 13 mg mempunyai efek
farmakologis yang mendorong habituasi dan ketergantungan psikis
yang merupakan sebab seseorang perokok sulit untuk berhenti
merokok. Nikotin yang terkandung dalam darah yang berasal dari
asap rokok antara 0,5-3 mg dan semuanya diserap oleh tubuh.
Semakin banyak rokok yang dihisap semakin banyak pula gejala yang
ditimbulkan dan menyebabkan nikotin menumpuk di dalam darah.
Sehingga dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah, serta dapat menimbulkan gejala seperti : keram perut,
agitasi, kegelisahan, kesenangan, sensasi terbakar di mulut, koma,
kebingungan, kejang, depresi,sulit bernafas, peningkatan kelenjar
saliva (drooling), sakit kepala, jantung berdebar, nafas cepat, muntah
serta kelemahan. (Heller, 2015)

 Gejala ketergantungan : Menurut Silvan Tomkins dalam Triswanto


(2007) menjelaskan ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan
management of affect theory, yaitu :
1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Green dalam
psychological factor in smoking factor in smoking (1978)
menambahkan 3 subtipe :
i) Pleasure relaxition, perilaku merokok hanya untuk menambah
atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat.
ii) Stimulation to pick them up, perilaku merokok untuk
menyenangkan perasaan.

31
iii) Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yg diperoleh
dengan memegang rokok.
2. Perilaku kebiasaan merokok yg dipengaruhi oleh perasaan negatif.
Banyak orang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan
negatif, misalnya marah, cemas, gelisah dll
3. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan
4. Perilaku merokok yang aditif atau disebut juga psychological
addiction. Para perokok yang sudah adiksi akan menambah dosis
rokoknya ketika dosis rokok yang dihisap berkurang.
 Tipe perokok berdasarkan kemampuannya menghisap rokok dalam
sehari dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Golongan perokok berat, apabila mereka mampu merokok dari 21-31
batang perhari atau lebih dan selang waktu sejak bangun pagi berkisar
6-30 menit.
2. Golongan perokok sedang, mereka yang mampu menghabiskan 11-21
batang perhari selang waktu 31-60 menit dari setelah bangun pagi
3. Golongan perokok ringan, yaitu merke mampu menghabiskan 10
batang dengan selang waktu 60 menit dari setelah bangun pagi.
 Gejala putus zat : kumpulan perubahan suasana hati dan tubuh yang
muncul ketika berhenti merokok. Kebanyakan gejala terjadi karena
tubuh tidak mendapatkan nikotin sebagai zat adiktif. Gejala yang muncul
adalah suasana tertekan, kesulitan tidur maupun gangguan tidur,lekas
marah dan frustasi, kecemasan, sulit konsentrasi, gelisah, peningkatan
nafsu makan dan berat badan. Jika gejala ini muncul setelah seseorang
berhenti merokok atau berhenti konsumsi nikotin ini adalah hal umum
dan normal terjadi. Banyak orang yg memiliki gejala yang ringan tetapi
beberapa memiliki gejala yg berat, sehingga sangat sulit seseorang untuk
berhenti untuk merokok. Gejala penarikan biasanya muncul dalam sehari
dan 2 hari pertama, dan terkuat pada satu minggu pertama. Bagi
kebanyakan orang sebagian besar gejala memudar dan hilang setelah 2-4
minggu. (Quit.org, 2014)
 Gejala overdosis : Intoksikasi nikotin ditandai dengan gejala seperti :
mual, sakit perut, muntah, diare, nyeri kepala, keringat dingin, tidak
mampu memusatkan pikiran, denyut nadi bertambah cepat dan lemah.

32
Jika berlebih overdosis nikotin dapat menyebabkan kejang dan kematian.
(Heller, 2015)
 Tatalaksana : Perawatan pada seseorang dengan keracunan nikotin yang
pertama harus dilakukan adalah mengukur dan memantau tanda-tanda
vital termasuk suhu, RR, Tekanan darah, kemudian didukung oleh
pemantauan airway termasuk oksigen, pernafasan tabung melalui mulut
(intubasi) dan mesin pernafasan (ventilator), X-ray, EKG, Cairan melalui
vena, Obat-obatan untuk mengobati gejala termasuk agitasi, denyut
jantung, kejang dan mual. (Heller, 2015).

2.6.2 Bensin
 Gejala pemakaian : Efek yang terjadi dari mencium bensin adalah
1. Euforia
2. Kematian rasa
3. Disorientasi
4. Halusinasi
5. Bicara tidak jelas
6. Peningkatan libido
7. Pening
8. Batuk
9. Muntah
10. Reflek menurun
11. Koordinasi tubuh menurun
12. Perasaan ringan
13. Disosiasi lingkungan (Addictionlibrary.org, n.d.)
 Gejala keracunan (Borke, 2015): keracunan bensin dapat menimbulkan gejala
pada beberapa organ dan sistem organ, seperti
1. Paru dan saluran pernafasan
i) Kesulitan bernafas
ii) Pembengkakakan tenggorokan
2. Mata, telinga, hidung dan tenggorokan
i) Rasa nyeri atau sakit
ii) Pandangan mata kabur
3.Perut dan Intestinal
i) Nyeri pada abdomen
ii) Feses dengan darah
33
iii) Rasa terbakar pada esofagus
iv) Muntah, kemungkinan dengan darah
4.Jantung dan darah
i) Collaps
ii) Tekanan darah menurun secara cepat
5. Sistem saraf
i) Konvulsi
ii) Depresi
iii) Pusing
iv) Kantuk
v) Euforia
vi) Sakit kepala
vii) Hilangnya kewaspadaan
viii) Kejang
ix) Lemas
6.Kulit
i) Rasa terbakar
ii) Iritasi
 Gejala ketergantungan : Efek jangka pendek menghirup bensin adalah uap
bensin masuk ke saluran pernafasan, sampai ke paru-paru, difusi masuk ke
peredaran darah, menuju ke otak. Di otak dapat memperlambat aktivitas kerja
otak dan mendeprese sistem saraf pusat dengan cara kerja seperti alkohol.
Dalam hitungan detik orang yang menghirup bensin akan merasakan euforia,
relaks, pusing, merasakan ringan, mati rasa. Orang yang ketergantungan akan
terlihat seperti orang yang kecanduan alkohol tapi kita dapat mencium bensin
dari badannya. Ketergantungan menghirup bensin dapat menyebabkan
kematian karena bensin dapat menggantikan tempat oksigen pada darah
sehingga oksigen ke otak berkurang. Efek jangka panjang dapat terjadi
kerusakan pada otak, jantung, paru-paru, sistem imun, hepardan ginjal.
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi orang menghirup bensin semakin
parah kerusakan organ tadi. Pada beberapa tahun pertama akan terjadi gejala
kerusakan otak yang akan mempengaruhi cara orang tersebut berfikir,
konsentrasi, mempengaruhi daya ingatkalau masih terus berlanjut bagian otak
yang mengontrol gerakan dan keseimbangan akan mengalami kerusakan
sehingga orang tersebut tidak bisa berbicara semestinya dan tidak dapat
berjalan dengan baik. Dan akhirnya mengalami kelumpuhan. (Grey, 2013)
 Gejala putus zat :Gejala putus zat yang akan terjadi adalah mengigil, sakit
kepala, sakit perut,kram otot dan halusinasi. (Nt.gov.au.n.d.)

34
 Tatalaksana : Jika seseorang keracunan bensin maupun terminum maka yang
dapat dilakukan seorang dokter adalah cek tanda-tanda vital terlebih dahulu
(suhu tubuh, nadi, RR, TD). Kemudian pasien akan menerima
1) Bantuan pernafasan termasuk tabung yg dipasang melalui mulut ke paru-
paru dan ventilator.
2) Bronkoskopi
3) X-ray
4) EKG
5) Endoskopi
6) Pergantian cairan melalui vena
7) Skin debridement
8) Gastric lavage
9) Irigasi.

2.6.3 Alkohol
Secara umum, yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah
minuman yang mengandung etanol. Tim ahli dalam bidang penyalahgunaan zat
membedakan antara penyalahgunaan alkohol dengan kecanduan alkohol
(alkoholik). Tidak seperti alkoholik, orang yang menyalahgunakan alkohol
memiliki kemampuan untuk membatasi jumlah dari alkohol yang
dikonsumsinya. Namun demikian, penyalahgunaan alkohol akan tetap bersifat
merusak diri dan berbahaya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Beberapa tanda dan gejala dari seseorang yang menyalahgunakan
konsumsi alkohol antara lain: kurangnya tanggung jawab dari pekerjaan di
rumah, sekolah, atau tempat kerja secara berulang; menggunakan alkohol dalam
situasi yang berbahaya; mengalami permasalahan hukum yang berulang akibat
dari konsumsi alkohol; melanjutkan konsumsi alkohol meskipun hal tersebut
menyebabkan masalah dalam relasi dengan orang sekitar; serta konsumsi
alkohol sebagai cara untuk menenangkan pikiran dan menurunkan stres (Smith
et al., 2016).
Di Indonesia, kejadian penyalahgunaan alkohol sering dijumpai dalam
kejadian intoksikasi alkohol akut. Intoksikasi alkohol adalah keadaan dengan
gangguan koordinasi, cara bicara yang terganggu dan perilaku yang berubah
karena alkohol itu (Maramis & Maramis, 2009).
Sementara itu, orang yang alkoholik/alkoholisme memiliki tanda dan
gejala pada orang yang menyalahgunakan alkohol ditambah ketergantungan

35
fisik dari alkohol. Seorang dengan ketergantungan alkohol tidak mampu untuk
berfungsi atau merasa diri lengkap tanpa konsumsi alkohol.
Toleransi merupakan tanda mayor pertama yang muncul pada orang
alkoholik. Orang yang mengalami toleransi alkohol akan terus menambah
jumlah alkohol yang diminumnya. Jumlah alkohol yang lebih tinggi dibutuhkan
untuk mendapatkan efek yang sama dari jumlah alkohol yang dikonsumsi
sebelumnya. Selain itu, orang dengan toleransi alkohol biasa dapat dilihat jika
orang itu dapat minum lebih banyak daripada orang lain tanpa menjadi mabuk
atau mengalami penurunan kesadaran.
Tanda mayor kedua pada orang alkoholik adalah putus zat (withdrawal).
Orang pada bagian ini membutuhkan alkohol untuk menghilangkan tanda lepas
zat. Jika tanda ini muncul, berarti orang alkoholik ini memasuki bendera merah
(red flag). Tanda putus zat ini antara lain: ansietas, tremor, berkeringat, mual
dan muntah, insomnia, depresi, iritabel, mudah lelah, hilang nafsu makan, dan
sakit kepala. Pada kasus yang lebih parah, seorang dengan sindroma putus zat
juga dapat mengalami halusinasi, kebingungan, kejang, demam, dan agitasi
(Smith et al., 2016).
Pengobatan pada keadaan intoksikasi dapat dilakukan dengan
klordiazepoxid 3 – 4 x 10 – 25 mg sehari atau diazepam 3 – 4 x 10 – 40 mg
sehari selama 1 – 3 hari secara ambulan. Bila intoksikasi itu berat, seperti
mengalami penurunan kesadaran, kegelisahan, atau psikosis alkoholik lain,
maka penderita perlu masuk rumah sakit. Penderita dapat ditolong untuk
mengatasi keadaannya dengan cara psikoterapi, terapi perilaku dan terapi
antagonism serta dengan bimbingan dan penyuluhan.
Prognosis dipengaruhi oleh besar-kecilnya predisposisi, mudah-sukarnya
akses untuk mendapatkan alkohol, sering-jarangnya kesempatan mengkonsumsi,
serta lamanya ketergantungan (Maramis & Maramis, 2009).

2.6.4 Lem
Menghirup lem merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan zat yang
dilakukan secara inhalasi. Lem yang cukup sering disalahgunakan di Indonesia
adalah lem aibon. Lem ini sebenarnya merupakan lem serbaguna yang
digunakan untuk merekatkan berbagai barang dan bahan seperti kulit binatang,
plastic, kayu, kertas, alumunium, karet, tembaga, besi, dan lain-lain. Karena
harganya yang terjangkau, maka lem ini sering disalahgunakan oleh masyarakat.

36
Salah satu zat yang terdapat dalam lem aibon adalah Lysergic Acid
Diethylamide (LSD). LSD merupakan zat halusinogen yang disintesis dan
disarikan dari jamur kering (ergot) yang tumbuh pada rumput gandum. LSD
memiliki sifat berupa cairan tawar, tidak berwarna dan tidak berbau. Efek
penggunaan LSD adalah rasa nikmat yang luar biasa, ketenangan, dan
mendorong rasa nyaman. Orang yang mengkonsumsi zat ini biasanya
mengalami perubahan persepsi, penglihatan, suara, pembauan, perasaan, dan
tempat. LSD juga dapat menghilangkan kendali emosi, disorientasi, depresi,
kepeningan, perasaan panic yang akut dan perasaan tak terkalahkan yang dapat
mengakibatkan pengguna menempatkan diri dalam bahaya fisik (Kasim, 2013).
Beberapa gejala putus zat yang dapat timbul dari ketergantungan zat
adiktif dalam lem secara umum mirip dengan gejala putus zat adiktif lainnya.
Gejala-gejala tersebut antara lain gangguan tidur, iritabilitas, mual dan muntah,
takikardi, bahkan halusinasi dan delusi (Anderson & Loomis, 2003).
Terapi bagi penyalahguna zat adiktif di dalam lem antara lain konseling
dan abstinensia yang ketat. Penderita juga dapat dirawat di rumah sakit untuk
menjalankan rehabilitasi. Hingga saat ini, belum ada medikasi yang terbukti
efektif dalam mengatasi ketergantungan pada zat adiktif yang dihirup dari lem
(Anderson & Loomis, 2003).

37
BAB 3
KESIMPULAN

1. Pedofilia adalah kecenderungan seseorang yang telah dewasa baik pria maupun wanita
untuk melakukan aktivitas seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual dengan
anak-anak dibawah umur. Faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi
pedofil adalah faktor psikologis, sosiokultural, pendidikan, keluarga, dan fisiologis.
Perawatan untuk seorang pedofil ada beberapa teknik. Teknik fisiologis yaitu dengan
kastrasi dan pemberian hormon. Terapi tradisional yaitu dengan terapi okupasi dan
pendidikan seks. Terapi perilaku yaitu dengan memfasilitasi interaksi sosial yang
adekuat dengan wanita dewasa .
2. Lesbian, gay, dan bisexual mengalami gangguan dalam orientasi seksual, sedangkan
transgender mengalami gangguan identitas jenis kelamin. Terdapat multifaktor yang
mempengaruhi seseorang mejadi LGBT , yaitu biologis, budaya adat istiadat, pola asuh,
figur orang yang berpengaruh dalam kehidupan, dan pengalaman traumatik kekerasan
seksual. Sampai saat ini belum ada penelitian ilmiah yang memadai menunjukkan
bahwa terapi yang ditujukan untuk mengubah orientasi seksual (terapi reparatif atau
terapi konversi) aman atau efektif.
3. Survei menunjukkan bahwa pelecehan verbal dan kekerasan merupakan pengalaman
yang hampir selalu dialami orang-orang lesbian, gay dan biseksual. Selain itu,
diskriminasi terhadap lesbian, gay, dan biseks dalam pekerjaan terlihat meluas. Dampak
dari diskriminasi terhadap LGBT usia muda adalah meningkatnya bunuh diri,
meninggalkan rumah, dan menjadi tunawisma. Individu heteroseksual yang ingin
membantu mengurangi diskriminasi dapat membantu dengan meminta orang
heteroseksual lain untuk mempertimbangkan sifat merugikan atau diskriminatif dari
keyakinan dan tindakan mereka. Masyarakat heteroseksual dapat mendorong kebijakan
non-diskriminasi yang mencakup orientasi seksual.
4. Tahapan pengguna narkotika terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap coba-coba, tahap pemula,
tahap berkala, dan tahap tetap. Tujuan penatalaksanaan adalah abstinensia, dilakukan
dengan beberapa cara yaitu detoksifikasi, rehab medik, dan resosialisasi (terapi
komunitas).
5. Psikotropika dibagi menjadi tiga berdasar efeknya yaitu depresan, stimulan, dan
halusinogen. Pada golongan depresan, pemakainya menjadi damai, tenang dan bahkan

38
membuat tertidur bahkan tak sadarkan diri, rasa takut dan gelisah juga hilang. Cognitive-
behavioral terapi yang memiliki fokus untuk memodifikasi pemikiran pasien, ekspektasi
pasien dan perilaku sambil meningkatkan kemampuan untuk menghadapi stressor pada
kehidupan sehari-hari. Pada golongan stimulan, pemakainya menjadi menurun jam tidur
dan nafsu makannya. Langkah pertama untuk menanganis adiksi dari stimulant adalah
untuk tapering dosis obat dan penanganan simptomatik dari efek putus zat. Pada golongan
halusinogen, pemakainya mengalami halusinasi visual sehinga sulit membedakan yang
benar dan tidak. Penting untuk mengajak pasien berbicara, meyakinkan pasien,
melindungi pasien terhadap perbuatan yang membahayakan dirinya dan orang lain.
6. Beberapa contoh zat yang sering menimbulkan adiksi bagi pemakainya adalah rokok,
alkohol, bensin, dan lem. Nikotin dalam rokok menyebabkan adiksi sehingga jika
seseorang berhenti merokok, maka ia mengalami perubahan suasana hati dan tubuh seperti
perasaan tertekan, sulit tidur, lekas marah, frustasi, kecemasan, sulit konsentrasi, gelisah,
peningkatan nafsu makan dan berat badan. Mencium bensin menyebabkan euforia,
disorientasi, halusinasi, dan reflek menurun. Beberapa tanda penyalahgunaan alkohol
adalah pemakainya menjadi kurang tanggung jawab terhadap pekerjaan di rumah, sekolah,
atau tempat kerja secara berulang, menggunakan alkohol dalam situasi yang berbahaya,
mengalami permasalahan hukum yang berulang akibat dari konsumsi alkohol, masalah
dalam relasi dengan orang sekitar. Menghirup lem dapat memberikan efek nikmat yang
luar biasa, ketenangan,mendorong rasa nyaman, perubahan persepsi, penglihatan, suara,
pembauan, perasaan, dan tempat.

DAFTAR PUSTAKA

American Psycological Association, 2016. Answer to Your Questions for a Better


Understanding of Sexual Orientation and Homosexuality. Diakses dari:
http://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.pdf

39
Amnesty International, 2016. About LGBT Human Rights. [online] Diakses dari:
http://www.amnestyusa.org/our-work/issues/lgbt-rights/about-lgbt-human-rights

Anderson, C. E., Loomis, G. A.. 2003. Recognition and Prevention of Inhalant Abuse.
American Family Physician 68(5):869-874.

Australian Drug Foundation. 2016. Hallucinogens. Diakses dari:


http://www.druginfo.adf.org.au/images/hallucinogens-12may16.pdf

Choiriyah, C. 2009. Sanksi Tindak Pidana Pedophilia Dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Perspektif Maqashid al-Syari’ah. Diakses
dari: http://digilib.uinsby.ac.id/7996/4/babiii.pdf

Gray, D. 2013. Petrol Sniffing – Health & Wellbeing. Abc.net.au. Diakses dari :
http://www.abc.net.au/health/library/stories/...

Hamilton Health Science, 2016. Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer and Intersex.
Diakses dari: http://www.hamiltonhealthsciences.ca/body.cfm?id=2292

Heller. J. 2015. Nicotine poisoning: MedlinePlus Medical EncyclopediaNlm.nih.gov. Diakses


dari : https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/a...

Himpunan Mahasiswa Psikologi FK UNUD. 2016. LGBT dari Sudut Pandang Psikologi.
Denpasar: Universitas Udayana. Accessed on June 28th 2016. Diakses dari :
http://hmpsikologi.fkunud.com/lgbt-dari-sudut-pandang-psikologi/

Kasim, M.. 2013. Penyalahgunaan Zat Adiktif ‘Lem Aibon’ oleh Anak Jalanan di Kota
Makassar. Diakses dari:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4966/JURNAL/pdf?
sequence=1.

Khaidir, M. 2007. Penyimpangan Seks (Pedofilia). Diakses dari:


http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/14/13

Maramis, W. F., Maramis, A. A.. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.

Melati, Rima. 2014. Perilaku Sosial Remaja Putri Penyalah Guna Narkoba di Perumahan
BTN Manggar Kalimantan Timur. Dikses dari: http://ejournal.sos.fisip-
unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2014/07/jurnal%20rima%20(07-02-14-07-16-
30).pdf [Akses pada: 27 Juni 2016]

Partodiharjo, S, 2008. Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya. Erlangga.

Quit.org. 2004. Smoking Withdrawal. Diakses dari : http://www.quit.org

Rahmawan et al., 2015. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat. Diakses dari:
https://www.scribd.com/doc/269031884/Gangguan-Mental-Dan-Perilaku-Akibat-
Penggunaan-Zat

40
Nt.gov.au. (n.d). Alcohol and Other Drug – Petrol. Diakses dari :
http://www.nt.gov.au/health/healthdev/health...

Smith, M., Robinson, L., & Segal, J.. 2016. Alcoholism and Alcohol Abuse: Signs, Symptoms,
and Help for Drinking Problems. Diakses dari:
http://www.helpguide.org/articles/addiction/alcoholism-and-alcohol-abuse.htm.

Waskito, D. T. 2012. Literasi Media Dalam Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender/Transeksual. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Diakses dari
: http://e-journal.uajy.ac.id/532/2/1KOM03115.pdf

Winarsih. 2011. Penyimpangan Seksual dalam Rumah Tangga sebagai Tindak Kekerasan
Perspektif Undang Undang No. 23 Tahun 2004. Malang : UIN

41

Anda mungkin juga menyukai