Anda di halaman 1dari 7

PARADOKS RUANG PUBLIK KOTA

KESEPIAN DI TENGAH KERAMAIAN

Dosen Pengampu
Erik, M.SI

1. Almadhia Qisthina 1801618096


2. Dimas Fachri Abdillah 1801618064
3. Putri Awanis 1801618019
4. Rita Liana Anggraeni 1801618021
5. Soraya Nathasya Dwinandry 1801618094

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
MARET 2020
A. Jakarta Kota Cuek
Bertambahnya pendatang yang tinggal dalam suatu lingkungan dan silih
bergantinya orang baru yang datang akhirnya membuat seseorang tidak lagi
memerhatikan orang-orang di sekitarnya. Fenomena cuek ini terjadi tidak hanya
dalam lingkungan hunian, tetapi juga di ruang publik yang seharusnya menjadi
tempat untuk memudahkan interaksi sosial. Ruang publik makin menghilang dari
budaya warga Jakarta sebagai tempat untuk melihat pertunjukan, relaksasi, bergaul,
dan lain-lain. Aktivitas di wakyu luang telah dikomersialisasi dan dikomodifikasi
bersamaan dengan semakin berkembangnya internet dan meningkatnya
penggunaan televisi, radio tape, perangkat hi-fi stereo, pemutar CD/VCD/DVD,
sampai kepada playstation dan berbagai model video game di rumah warga kota
masing-masing.
Suasana di luar ruangan dan di jalanan memang membuat orang tidak lagi
mampu memberikan senyum manis karena kemacetan lalu lintas Jakarta. Jumlah
kendaraan semakin banyak dan menyumbang polusi, ditambah dengan perilaku
para pengemudi yang tidak mengikuti peraturan. Kita tidak bisa begitu saja
menyalahkan pengemudi kendaraan, terutama para pengemudi sepeda motor
karena mereka pun bertindak ugal-ugalan juga karena merasa sama-sama frustasi
menghadapi situasi lalu lintas Jakarta.
Wajah-wajah lusuh para pengemis,pedagang,pengamen dan lainnya yang
mengiba kepada setiap kendaraan yang berhenti di lampu merah tak mampu lagi
menyiaratkan senyum dan tawa, tapi menggambarkan kesedihan dan derita. Warga
sering kali berpura-pura tidak melihatnya dan warga Jakarta telah berubah menjadi
cuek,pelit,arogan, dan menyebalkan. Ketika kita melihat bagaimana anak-anak
muda Jakarta yang pergi keluar negeri dan memasukkan foto-fotonya ke media
sosial yang memberi kesan betapa bangga dan senangnya mereka. Tetapi jarang
sekalu yang memasang foto-foto dengan latar belakang kota Jakarta, kalaupun ada
biasanya disertai judul yang negatif.

B. Khazanah Publik dan Ruang Publik


Kepentingan publik memiliki dua definisi yang biasa dipakai untuk
menjelaskan kegunaannya yaitu ruang publik (public space) dan khazanah publik
(public sphere). Secara umum dapat didefinisikan sebagai tempat fisik dan kasat
mata yang ada didalam kota atau di mana terlihat orang berkumpul. Sedangkan,
khazanah publik dapat diartikan sebagai suatu konsep abstrak yang melukiskan
adanya sesuatu hal yang dimengerti, dibahas, dan diperdebatkan secara bersama-
sama. Khazanah publik merupakan konsep ideologis yang dipakai banyak kalangan
pada tahun 60-an diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Khazanah publik terdapat
di berbagai media massa seperti surat kabar dan majalah, isi yang dibicarakan
mengenai demokrasi di rubrik opini dan komunikasi antar warga kota seperti surat
pembaca.
Khazanah publik meliputi ruang publik, tetapi melampaui lokalitas fisiknya dan
lebih seperti semacam ruang filosofis. Namun, ketika pengembangan ruang publik
fisik sudah mulai terbatasi oleh desakan politis seperti saat ini pembangunan mal
yang lebih komersial lebih disukai daripada pembangunan taman kota. Oleh karena
itu, khazanah publik pun muncul sebagai ruang publik virtual melalui berbagai media
komunikasi teknologi informasi. Munculnya berbagai bentuk ruang publik virtual
mulai dari blogger, mail-list, hingga komunitas SMS mengecilkan ruang dan waktu di
kota-kota modern dunia seiring berkembangnya jaringan komunikasi global di
seluruh dunia, yang menjadikan tolak ukur sejauh mana infrastruktur informasi dan
komunikasi baru ini sesuai dengan kebutuhan akan khazanah publik dan ruang
publik.
Oldenberg (1999) mendefinisikan ruang publik tertentu sebagai ruang ketiga
(third place), tempat khusus di luar rumah atau kantor di mana warga bisa saling
bertemu, seperti kafe, coffe-shop, dan klub sosial. Ruang atau tempat seperti ini
sudah banyak di Jakarta, tetapi fungsi dari tempat tersebut untuk berinteraksi sosial
semakin berkurang, melainkan untuk tempat pertemuan bisnis dan urusan kantor.
Dahulu di Eropa sisi informal kehidupan warga kota berkembangnya di tempat
seperti itu, seperti di Prancis dan Belgia di setiap trotoar jalan-jalan kotanya memiliki
banyak kafe-kafe hal ini memiliki keuntungan karena menciptakan pengawasa
bersama terhadap jalan-jalan. Para warga kota Paris dan kota Brussels tanpa
mereka sadari mereka menjaga kota nya disertai menghirup kopi late dan
berbincang-bincang. Hal tersebut menjadikan jalanan di kota tersebut menjadi lebih
aman karena ramai akan warga yang keluar rumah untuk bersosialisasi, hal ini
membuat ruang publik tetap tersedia bagi orang banyak daripada dimanfaatkan oleh
sebagian orang untuk mengintimidasi orang lain.
Di kota-kota yang memiliki ciri khas tertentu dengan adanya tempat ketiga
yang menyenangkan dan membuat nyaman ini, selain rumah sebagai tempat
pertama dan kantor sebagai tempat kedua, orang-orang yang berasal dari luar kota
atau luar negeri akan merasa seperti dirumah sendiri. Karena ditempat itu, mereka
akan menemukan kehangatan dan keramahan seperti ditempat sendiri. Tetapi lain
halnya jika di kota yang tidak terdapat tempat seperti itu, bahkan dapat membuat
warga kota nya sendiri menjadi tidak nyaman dan membosankan tinggal ditempat
seperti itu. Tanpa adanya tempat seperti itu akan banyak warga Jakarta yang gagal
berinteraksi sosial dan memelihara hubungan sosial dengan antar warga yang
memiliki banyak keragaman yang sebenarnya adalah intisari dari sebuah kehidupan
di kota.
Oleh karena itu, warga Jakarta akan merasa kesepian sekalipun berada di
tengah keramaian ruang publik yang semakin hari semakin berkembangnya zaman
menjadi terbatas dan berkurang karena digantikan oleh mall dan apartemen yang
hingga saat ini orang-orang yang memiliki modal berlomba untuk membangun dan
berinvestasi di tempat seperti mall dan apartemen karena lebih komersial. Selain itu,
dampak sosial akibat maraknya pengunaan teknologi informasi yang semakin maju
atau lebih dikenal dengan smartphone yang dimiliki dan digunakan hampir setiap
orang pada saat ini menjadikan warga semakin terpisah satu dengan lainnya,
meskipun mereka berada ditempat yang sama mereka enggan untuk berbicara satu
sama lain terkesan cuek dan masa bodoh. Mereka lebih sibuk untuk menggunakan
smartphone mereka dan tidak peduli dengan sekitarnya.
Ruang publik dengan berbagai realitas yang menyertainya, juga
merepresentasikan sebuah perkembangan dan fenomena sosial yang tengah terjadi
di suatu kota. Sebagai sebuah artefak sosial, ruang publik dan perkembangannya
atau penghilangannya dari kota juga merepresentasikan seluruh gejala perubahan
sosial yang terjadi pada warganya termasuk hilangnya jati diri dan identitas warga.
Kebutuhan warga pada ruang publik saat ini cenderung tidak lagi bersifat fungsional,
tetapi lebih kepada pemaknaan dalam konteks sosial dan psikokultural.

C. Kesumpekan Kota dan Pengasingan Sosial


Memiliki latar belakang, salah satunya, adalah Jakarta sebagai ibu kota,
kesesakan terjadi pada provinsi berpenduduk 10,37 juta jiwa (BPS,2017) pada
wilayah hanya sebesar 661.5 km dengan pertumbungan penduduk dua tahun
terakhir sejumlah 269 jiwa setiap hari atau 11 orang per jam (BPS, 2017).
Kepadatan pada kota DKI Jakarta yang meningkat dengan pesat ini menimbulkan
beberapa dampak, salah satunya adalah kesesakan atau perasaan sumpek.
Perasaan sumpek menurut Deddy (2008) adalah stress yang dihasilkan dari
interaksi sosial yang berlebihan, serta tanpa keinginan sendiri dikarenakan
kepadatan pada sebuah lingkungan. Hal ini bukanlah hal yang aneh apabila terjadi
di Jakarta, karena apabila kita melihat statistik jumlah penduduk di atas, apabila
Jakarta menjadi sebuah ruang terbuka tanpa apapun, hanya akan terdapat jarak
kurang dari 1 meter antar penduduknya.
Bentuk dari sumpek, layaknya stress adalah hal yang subjektif, dimana reaksi
satu dan lain terhadap satu kasus sangatlah berbeda (Deddy,2008). Sumpek pada
warga Jakarta pada tahun ini, dengan 2 tahun lalu pun sudah berbeda dengan
peningkatan jumlah penduduk tersebut. Beberapa kondisi memang dicari suatu
individu untuk adanya orang lain seperti pesta, sepak bola atau sebagainya.
Sayangnya hal ini dapat menjadi hal yang tidak menyenangkan apabila, salah
satunya, individu gagal mengatur keleluasaan pribadi (Deddy,2008).
Adanya keramaian tentunya menimbulkan dukungan sosial yang baru dalam
sebuah lingkungan, namun dukungan ini juga dapat menimbulkan dampak salah
satunya berupa pengasingan sosial. Dijelaskan oleh Evan, dkk pada tahun 1989
bahwa pengasingan sosial terjadi saat dukungan sosial tidak lagi sesuai dikarenakan
kompleksnya masalah yang terjadi, sehingga dukungan sosial hanya menjadi
stressor baru bagi suatu individu. Hal ini dijelaskan dalam penelitiannya dengan 175
kepala keluarga di India sebagai negara terpadat kedua di dunia. Hasilnya adalah
adanya peningkatan gejala psikologis dalam hal penarikan diri dan bertambahnya
kepadatan (Evan dalam Deddy, 2008).
Psikolog pun menduga bahwa pengasingan sosial yang dilakukan oleh warga
kota dilakukan pada alun-alun dan taman dimana itu adalah tempat yang lebih
terbuka. Pertanyaannya adalah apakah mereka mencari dukungan sosial di tempat
yang tepat?
D. Orang Asing yang Kita Kenal
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup dan beraktifitas di ruang publik.
Dengan para warga kota kita berbagi ruang yang kita presepsikan sebuah tempat
dengan makna dan nilai tertentu. Namun sering kali terjadi di ruang publik yang rutin
didatangi, kita bertemu berulang-ulang dengan seseorang yang sama, namun tidak
secara langsung berinteraksi dengannya sehingga menarik perhatian kita. Orang
asing yang sangat kita kenal ini meskipun kita sering mengabaikannya, perlahan tapi
pasti menciptakan sebuah perasaan terikat dalam diri kita dan sering kali berujung
dengan memiliki hubungan riil dengan mereka.
Orang Asing Yang Kukenal (Familiar Stranger) adalah suatu fenomena sosial
yang pertama kali ditujukan oleh psikolog Stanley Milgram (1977) sebagai seorang
individu yang secara berulang kali kita memerhatikannya, namun tidak berinteraksi.
Secara definitif orang asing yang kita kenal memiliki kriteria : (1) mendapat perhatian
kitaa, (2) terus menerus, tetapi (3) tidak berinteraksi. Interaksi yang kita miliki
dengan orang asing yang kita kenal ini adalah interaksi yang nyata dimana kedua
belah pihak setuju untuk mengabaikan satu sama lain tanpa perlu menciptakan
sikap permusuhan. Sebagai contoh, seseorang yang selalu kita jumpai di stasiun
setiap pagi ketika berangkat kuliah, jika sehari saja kita tidak melihat orang asing
tersebut maka kita merasa ada yang kurang tanpa kehadiran mereka dan menjadi
kesepian terasing diantara orang asing lainnya yang baru pertama kali kita temui di
tempat umum tersebut. Orang-orang seperti itu sangat dibutuhkan meskipun kita
mengacuhkan mereka setiap hari.
Berbagai permasalahan rumah tangga dan masalah pekerjaan yang semakin
kompleks di zaman modern ini membuat warga kota cenderung mengunjungi ruang
publik sebagai tempat pelarian, dimana orang asing yang kita kenal dibutuhkan
untuk mencegah rasa sepi di tengah keramaian ruang publik. Merasa memiliki
orang-orang asing di ruang publik bukanlah suatu hal yang negatif, sebaliknya hal
penting dari sebuah ruang publik bagi kesehatan mental individu dan warga kota
pada dasarnya sangat bergantung pada kehadiran orang asing. Namun, meskipun
dibutuhkan mereka tetap saja orang asing dan tidak terjadi interaksi sosial diantara
kita.
Hal tersebut sangat ironis mengingat ruang publik seharusnya menjadi tempat
individu untuk melakukan interaksi sosial. Jika terjadinya interaksi sosial oleh
individu dapat mengubah orang asing menjadi teman, namun faktanya warga kota
memperlakukan orang asing tetap sebagai orang asing dikarenakan perasaan saling
curiga dan tingkat individualisme para warga kota yang semakin meningkat di zaman
modern. Hal ini merupakan bentuk pertahanan diri dari warga kota yang jauh lebih
sensitif dari warga yang tinggal di pedesaan, mereka melindungi dirinya terhadap
hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi karena mereka berada di suatu
tempat diluar wilayah teritorial mereka. Milgram dan Hollander (1964) menyatakan
ruang publik bisa menjadi tempat yang menimbulkan rasa cemas dan takut. Karena
Khawatir akan keselamatan diri sendiri, warga kota secara psikologis dan emosional
menjadi sedemikian takut sehingga lebih memilih untuk menjaga jarak dengan orang
asing.

E. Internet dan Isolasi Sosial


Penggunaan ruang publik juga telah dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi. Ponsel sebagai salah satu hasil dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan orang untuk
berkomunikasi secara jarak jauh. Pada saat yang sama, kecenderungan pemakaian
ponsel terus meningkat sehingga memisahkan warga kota dari orang-orang yang
berada di sekitarnya. Ketika warga kota merasa tidak nyaman saat berada di ruang-
ruang publik, mereka langsung mengambil ponsel mereka sehingga kesempatan
mereka untuk saling berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya menjadi
berkurang (Deddy, 2008).
Ponsel sebagai media elektronik baru menciptakan bentuk komunikasi yang
baru dalam bentuk aplikasi media sosial yang memungkinkan manusia untuk
melakukan interaksi sosial. Bentuk-bentuk interaksi sosial di ruang publik pun ikut
berubah. Perubahan tersebut sebenarnya telah dimulai ketika kota mulai terbentuk
dan penduduknya bertambah lalu menjadi terbiasa tinggal di sebuah kota yang
penuh dengan orang-orang asing. Pertumbuhan warga kota sejalan dengan
peningkatan gejala pengasingan dan pemisahan. Orang tidak lagi mau bercakap-
cakap dengan orang lain yang mereka tidak kenal atau bahkan orang yang mereka
kenal sekalipun ketika berada di jalan saat berangkat bekerja dan perlahan-lahan hal
tersebut menjadi normal (Deddy, 2008). Padahal di kota-kota kecil, bahkan jauh
sebelumnya dalam kehidupan suku dan kelompok, seseorang lebih suka mencari
tahu siapa orang-orang yang selalu mereka temui dalam kehidupan sehari-hari
(Lofland, 1998). Pertumbuhan warga kota yang pesat juga telah membuat
seseorang mustahil untuk secara pribadi mengenal semua orang yang ia temui di
jalan. Fakta ini disertai keragu-raguan warga untuk sekadar menyapa orang baru
membuat pengalaman sosial semakin buruk dalam perjalanan berangkat kerja dan
pulang kerja maupun dalam kehidupan sehari-hari (Deddy, 2008).
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, internet
pun berkembang pesat dan menjadi gaya hidup baru warga kota. Semakin
meningkatnya jumlah orang yang terus mengandalkan internet bukan hanya untuk
kepentingan bisnis, tetapi juga untuk tetap berhubungan dengan para sahabat dan
keluarga. Ruang-ruang chatting pun menjamur dan kelompok-kelompok online yang
menghubungkan orang-orang dari berbagai penjuru negeri yang memiliki kesamaan
minat juga semakin populer. Sebagian orang percaya bahwa internet menciptakan
peluang baru untuk membangun interaksi sosial berdasarkan minat yang sama dan
bukan karena kedekatan geografis. Oleh karena itu, individu yang membawa laptop
atau ponsel saat mereka berada di ruang publik akan mengabaikan orang-orang di
sekitarnya dan memusatkan perhatiannya ke layar laptop atau ponselnya (Deddy,
2008).
Perkembangan internet khususnya media sosial dikhawatirkan dapat merusak
interaksi sosial langsung karena dapat menggantikan kontak sosial (Deddy, 2008).
Namun, penelitian saat ini menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan media
sosial tidak memiliki kaitan dengan penurunan interaksi sosial secara langsung (Hall,
2019).

F. Ruang Publik untuk Interaksi Sosial


Diperlukan provisi sosial untuk mengatasi masalah keterasingan seorang
individu di ruang publik (Deddy, 2008). Desain arsitektur ruang publik yang
mendorong terjadinya interaksi sosial seperti pengaturan tempat duduk sosiopetal
dapat digunakan untuk menciptakan ruang publik yang menyenangkan untuk
berinteraksi sosial (Deddy, 2008). Pengaturan tempat duduk tersebut dapat menarik
orang ke dalam jarak yang nyaman antara satu sama lain untuk saling bercakap.
Ruang publik tidak hanya memiliki berfungsi sebagai tempat terciptanya
interaksi. Ruang publik juga dapat mempromosikan kesehatan mental dengan cara
menyediakan suatu tempat di mana warga dapat terhubung dengan orang di
sekitarnya. Untuk menjaga kelestarian ruang publik maka diperlukan aturan-aturan
dari pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Halim, D. K. (2008). Psikologi Lingkungan Perkotaan. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Hall, J. A., Kearney, M. W., & Xing, C. (2018). Two tests of social displacement
through social media use. Information, Communication & Society, 1–18.
doi:10.1080/1369118x.2018.1430162.
Nie, N. H. (2001). Sociability, interpersonal relations and the Internet: Reconciling
conflicting findings. American Behavioral Scientist, 45(3), 420–435.
(2017). Jumlah Penduduk DKI Jakarta (1961-2017). Jakarta: Badan Pusat Statistika.

Anda mungkin juga menyukai