Anda di halaman 1dari 106

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kota merupakan sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kehidupan
sosial, ataupun status hukum. Kota juga merupakan pusat pemukiman, suatu hasil dari proses kehidupan masyarakat, serta wadah yang di
dalamnya terkait manusia yang menjalankan kehidupannya. Sebuah kota harus ditata dengan sebaiknya mengikuti keadaan masyarakat yang
sudah ada untuk mempertahankan suatu tradisi, dan dibutuhkan perancangan kota untuk membangun masing masing daerah berdasarkan
faktor faktor daerah tersebut.
Perkembangan dan pertumbuhan kota didasari oleh perkembangan penduduk, kemajuan IPTEK, kegiatan ekonomi, kegiatan sosial dan
budaya, dan sebagainya. Beberapa faktor tersebut dapat menjadi pengaruh besar akan kemajuan kota tersebut yang jika tidak ditanggapi
dengan baik akan memperburuk keadaan dari suatu kota. Dan dari pengaruh pengaruh yang ada, pemanfaatan sebuah kawasan sangat
diperlukan dan perlu dirancang dengan baik agar tidak menjadi suatu kawasan yang terbuang dan tidak dimanfaatkan.
Salah satu unsur penting dalam suatu kota adalah dengan adanya ruang terbuka atau open space. Ruang terbuka merupakan suatu kawasan
yang dimanfaatkan sebagai unsur keseimbangan ekosistem perkotaan. Sebuah ruang terbuka harus mencakup fungsi interaksi sosial bagi
masyarakat, bisa berupa taman - taman kota, lapangan olahraga, tempat bermain anak, atau pun sebagai tempat upacara, dan kegiatan sosial
lainnya.
Setiap kota memiliki ciri khas dan kebudayaan daerahnya masing masing, tidak bisa semua kota di suatu negara di tata sama rata karena
masing masing daerahnya memiliki budaya yang berbeda. Terutama perbedaan yang jelas dapat dilihat dari pembangunan kota di negara
1

maju dan negara berkembang. Konsep yang dilakukan di negara maju belum tentu bisa diterapkan begitu saja di Indonesia karena bermacam
faktor. Perbedaan fisik alam, budaya, arsitektural, dan persoalan yang dihadapi masing masing wilayah merupakan beberapa sebab ketidak
sesuaian konsep dari negara maju untuk Indonesia.
Dilihat dari beberapa faktor perbedaan, maka Indonesia butuh pendekatan dan penelitian dalam mengembangkan konsep perancangan
kota yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia berdasarkan dari aspek sosial, ekonomi, budaya, arsitektural, dan sebagainya. Maka
dari itu diperlukan review teori tentang perancangan kota dari berbagai sumber untuk dapat dipahami dengan baik dan dapat di terapkan untuk
merancang kota kota di Indonesia yang lebih baik kedepannya.

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1

Kota
2.1.1 Pengertian Kota
Kota merupakan suatu permukiman yang relatif besar, dimana di dalamnya terdapat berbagai kegiatan dan aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, politik, dan lain - lainnya. Adapun definisi kota
menurut beberapa ahli antara lain:
A.

Arnos Rapoport
Kota suatu permukiman yang relative besar, padat, permanen, terdiri dari kelompok individu individu yang
heterogen dari segi sosial. Secara modern dapat di definisikan suatu permukiman dirumuskan bukan dari ciri
morfologi kota tetapi dari suatu fungsi yang menciptakan ruang ruang efektif melalui pengorganisasian ruang
dan hirarki tententu.

B.

Hamid Shirvani
Kota adalah adanya unsur unsur fisik pembentuk suatu kota, meliputi peruntukan lahan, tata bangunan,
sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalur pedestrian, aktivitas pendukung, signage dan preservasi.

C.

Max Weber
Kota adalah suatu tempat yang penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di
pasar lokal.
3

Dapat disimpulkan menurut pengertian para ahli dan ditambah dengan kenyataan yang tampak pada saat ini dalam sudut
pandang geografi, kota merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah batas administrasi dan bentang lahan luas, penduduk
relative banyak, adanya heterogenis penduduk, sector agraris sedikit atau bahkan tidak ada, dan adanya suatu sistem
pemerintahan.
2.1.2 Sejarah Pembentukan Kota
Menurut Azmar (2012), terbentuknya sebuah kota yang berada di suatu negara biasanya bervariasi, tetapi memiliki inti
yang sama. Terbentuknya kota juga bisa dikatakan dengan diawali sebuah pertemuan antara penduduk sebuah desa dengan
penduduk disekitarnya baik untuk transaksi keperluan hidup, tempat pengumpulan barang atau tukar menukar barang.
Selanjutnya akan ada yang bermukim di sekitar tempat iitu dan pemukiman itu menjadi semakin besar. Datang pula penduduk
dari daerah sekitar ke tempat itu yang kemudian membentuk sebuah kota atau bahkan menjadi kota besar.
Kota dapat terbentuk sejak terjadinya kerumunan tempat tiggal manusia yang relative padat pada suatu kawasan tertentu
dibanding dengan kawasan disekitarya. Kawasan yang disebut kota penduduknya bukan bermata pencaharian yang berkaitan
dengan alam, melainkan di bidang pemerintah, industri dan jasa. Tahapan kota itu sendiri dimulai dari kota kuno, kota
praindustri, kota industri, kota modern, kota global, dan kota kosmopolitan.
Kota juga sebagai puat perdagangan pada zaman sebelum revolusi industry. Kemudian pada zaman modern, kota menjadi
pusat industri, produksi dan jasa. Karakteristik perkembangan dan pertumbuhan kota dapat disoroti dari berbagai macam segi.
Pengamat perkotaan dapat mengenali pertumbuhan suatu kota atas dasar keadaan fiskalnya, keadaan sosio-kultural atau
keadaan tekniko-kultural. Pada dasarnya bahwa apa yang dikemukakan para ahli mengenai pertumbuhan suatu kota hanyalah
bersifat hipotetikal. Namun demikian, makin majunya sistem informasi mengenai keadaan pertumbuhan suatu kota, seiring

dengan kemajuan teknologi di bidang inventarisasi data, suatu pertumbuhan kota dapat dimonitor dengan cepat dan tepat,
terutama keadaan fiskalnya.

2.1.3

Permasalahan dan Kondisi Kota


Menurut Markus Zahnd (2007), dalam situasi perkotaan besar tidak pernah lepas dari permasalahan yang terjadi di
dalamnya. Beberapa masalah diantaranya sebagai berikut :
A.

Masalah pada kota kota besar


Perpindahan penduduk dari desa ke kota yang terus bertambah membuat perkembangan ekonomi kota tidak
dapat mengimbangi hal ini, karena banyaknya pendatang yang terjun dalam sector ekonomi yang lemah dengan
produksi dan pendapatan yang kecil ditambah banyaknya pengangguran. Dinamika kota tersebut mengakibatkan
kota sebagai berikut :
1.

Bentuk dan Ukuran Kota


Pertumbuhan kota yang sangat cepat bersamaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi di
pusat kota. Selain itu, pusat kota sebagai kawasan perdagangan menjadikan fisik kota sangatlah

2.

berubah ditambah dengan pembangunan alur sirkulasi umum kota yang berkesan metropolitan.
Sirkulasi Kota
Pembangunan sistem lalu lintas yang tidak banyak berkembang menyebabkan transportasi
masal sangat jarang adanya dan penyusunan angkutan umum yang tidak terkoordinasi dengan
baik. Menurut Hestin Mulyandari (2011), masalah lalu lintas, daya beli masyarakat terhadap
mobil, sepeda motor dan kendaraan jenis lainnya meningkat sehingga beberapa ruas jalan cukup
5

padat. Masalah kepadatan lalu lintas juga menyebabkan terjadinya pelebaran jalan secara terus
menerus, mengakibatkan penggusuran bangunan yang berada di tepi jalan, yang tentunya akan
menimbulkan masalah sosial antara pemilik bangunan dengan pemerintah karena uang ganti rugi
3.

tidak sesuai dengan yang diharapkan para pemilik bangunan.


Prasarana Kota
Distribusi prasarana perkotaan sangatlah berbeda antar kota. Ada kawasan yang memiliki
prasarana lengkap dan ada pula kawasan yang sangatlah minim prasarananya. Terdapat juga
kawasan yang menjamurnya tempat tempat hiburan, sarana ibadah yang digunakan kelompok

4.

tertentu untuk kegiatan yang bersifat politis.


Iklim Kota
Perkembangan di kota kota besar menyebabkan perubahan iklim baik di dalam maupun
di luar kota. Perubahan ini dikarenakan panas dan kebisingan yang bertambah besar. Hal ini
mengakibatkan tumbuhnya penyakit slauran pernafasan khusunya pada ornag tua dan anak nak.
Kepadatan pembangunan pada kota besar juga mengakibatkan pembabatan habis lahan hijau

5.

sehingga menyebabkan penggunaan penghawaan buatan semakin banyak.


Masalah sosial
Masalah sosial merupakan perluasan masalah individual biasanya timbul dari masalah fisik
atau persengketaan antara dua kelompok atau lebih yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan
berulang. Berbagai masalah yang timbul dan dihadapi di perkotaan antara lain:
a.
Pedangan asongan dan kaki lima merupakan dampak negatif dari urbanisasi.
b.
Masalah pembebasan tanah dibeberapa bangunan yang akan dijadikan ruang terbuka
kota masih sering menimbulkan protes dan tidak puasnya masyarakat terhadap ganti
c.
d.

ruginya.
Banyaknya masalah SARA yang menjurus pada tindak anarkis.
Masalah pengangguran
6

6.

Masalah Lingkungan
Pembangunan kota yang tidak terencana dan tidak tertata dengan baik akan menimbulkan
banyak permasalahan, baik fisik, sosial maupun ekonoi yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi. Demikian pula dengan desakan penduduk yang semakin tinggi terhadap lahan
yang terbatas akan menyebabkan tumbuhnya pemanfaatan ruang diluar batas toleransi, seperti
penebangan vegetasi dan mengubah lahan yang semula menjadi hunian penduduk dengan segala
kegiatan penunjang lainnya.

B.

Masalah Penerapan Perencanaan Kota


1.
2.
3.
4.

Proses yang rumit


Pengontrolan yang lemah
Pengarahan yang minim
Perencanaan selalu berorientasi pada pencapaian tujuan berjangka panjang yang sering meleset
akibat banyaknya ketidakpastian serta terdapat jenis jenis perencanaan yang disusun dengan

5.

landasan pemikiran pemecahan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek, kurang kawasan luas.
Perencanaan tata ruang terlalu ditekankan pada aspek fisik dan visual (tata guna lahan, sistem

6.

jaringan jalan dan infrastruktur atau prasan lingkungan)


Keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan selama ini terkesan sebagai selogan

7.
8.
9.

belum terlihat dalam kenyataan


Peran masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup masih snagat terbatas
Proses penyusunan rencana tata ruang biasanya tidak mengikuti aturan atau struktur yang ada.
Para penentu kebijakan kurang peka terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya

merupakan bagian tak terpisahkan terhadap sejarah perkotaan


10. Penekanan perencanaan kota dan daerah cenderung lebih berat pada aspek lingkungan binaan dan
kurang memperhatikan pendayagunaan atau optimalisasi lingkungan alamiah.
2.1.4 Bentuk Kota
7

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kota adalah bentuk dan pola kota. Pola suatu kota
tersebut dapat menggambarkan arah perkembangan dan bentuk fisik kota. Ekspresi keruangan morfologi kota secara
umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Bentuk kompak
a. Bujur sangkar ( the square cities )
Perluasan kota ke segala arah yang relatif seimbang dan kendala fisik tidak begitu berarti. Adanya
jalur transportasi pada sisi sisi memungkinkan terjadinya percepatan pertumbuhan areal kota pada jalur
yang bersangkutan.

Gambar 2.1 Bentuk Bujur Sangkar


b. Kipas ( fan shaped cities )
Merupakan bentuk sebagian lingkaran. Ke arah luar lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai

kesempatan berkembang yang relatif seimbang. Pada bagian bagian lainnya terdapat beberapa hambatan
perkembang areal kekotaannya yang dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu hambatan alami ( perairan
dan pegunungan ), hambatan artificial ( saluran buatan, zoning dan ring road ).

Gambar 2.2 Bentuk Kipas

c. Persegi panjang ( the rectangular cities )


Melihat bentuknya sudah terlihat jelas bahwa dimensi memanjang sedikit lebih besar daripada dimensi
melebar.

Gambar 2.3 Bentuk Persegi Panjang

d. Pita ( ribbon shaped cities )


Perluasan kota paling ideal serta pengembangan sambung dalam segala arah.

Gambar 2.4 Bentuk Pita

e. Bulat ( rounded cities )


Perluasan kota paling ideal serta pengembangan sambung dalam segala arah.

Gambar 2.5 Bentuk Bulat

f. Gurita/bintang ( octopus shaped cities )


Perluasan kota didominasi oleh jalur transportasi dari segala arah.

10

Gambar 2.6 Bentuk Gurita

g. Tidak berpola ( unpattern cities )


Perluasan kota dipengaruhi oleh bentuk lahan khusus (pulau).

Gambar 2.7 Tidak Berpola

2. Bentuk tidak kompak


a. Berantai ( chained cities )
Kota ini seolah olah merupakan mata rantai yang dihubungkan oleh rute transportasi sehingga
peran jalur transportasi sangat dominan.

11

Gambar 2.8 Bentuk Berantai

b. Terpecah ( fragment cities )


Perluasan areal kota tidak langsung menhatu dengan induk tapi cenderung membentuk exclaves
( umumnya berupa daerah pemukiman yang berubah dari sifat pedesaan menjadi sifat perkotaan )

Gambar 2.9 Bentuk Terpecah

12

c. Terbelah ( split cities )


Bentuk kota kompak namun terbelah perairan yang lebar. Kota tersebut terdiri dari dua bagian yang
terpisah yang dihubungkan dengan jembatan jembatan.

Gambar 2.10 Bentuk Terbelah

d. Satelit ( stellar cities )


Bentuk kota yang didukung oleh majunya transportasi dan komunikasi yang akhirnya tercipta bentuk kota
megapolitan.

Gambar 2.11 Bentuk Satelit

13

2.1.5 Klasifikasi kota


1. Berdasarkan jumlah penduduk
a. Kota kecil
:
b. Kota sedang
:
c. Kota besar
:
d. Metropolitan
:
e. Megapolitan
:

20.000 50.000 jiwa


50.000 100.000 jiwa
100.000 1.000.000 jiwa
1.000.000 5.000.000 jiwa
> 5.000.000 jiwa

2. Berdasarkan fungsi/pembentukan sejarah


a. Kota sebagai pusat kebudayaan
b. Kota sebagai pusat industry
c. Kota sebagai pusat pemerintahan
d. Kota sebagai pusat perdagangan
e. Kota sebagai pusat rekreasi dan kesehatan
2.1.6

Perkembangan Kota
Griffith Taylor (1958) mengemukakan tahapan perkembangan kota sebagai berikut :
1) Stadium Infentile
Tidak adanya batas batas pemukiman dan perdagangan
2) Stadium Juvenile
Sudah ada batas batas antara daerah perdagangan dan pemukiman. Kelompok pemukiman lama sudah mulai
terdesak dengan pemukiman - pemukiman baru
3) Stadium Mature
Daerah yang berkembang industri dan sarana dan prasarana
14

4) Stadium Senile
Kemunduran kota dikarenakan kurangnya pemeliharaan yang dapat disebabkan faktor ekonomi dan politik.

1. Perkembangan kota menurut asal pertumbuhan


1) Secara alamiah
Dimana umumnya terjadi pada kota di masa lalu yang perkembangannya didasarkan pada kegiatan
manusia. Untuk infrastrukturnya dibangun secara tidak teratur dan tidak mempertimbangkan untuk
perkembangan kota masa depan.
a. Penyebaran secara konsentris
Perkembangan kota dimana pusat kotanya sebagai inti.

Gambar 2.12 Penyebaran secara konsentris

b. Pertumbuhan berbentuk satelit


Adanya kota kota lain disekitar kota utama, dimana secara ekonomi kota kota tersebut masih
bergantung dengan kota intinya.

15

Gambar 2.13 Pertumbuhan berbentuk satelit

c. Pertumbuhan secara terpencar


Pola kota yang disusun secara tidak teratur/meloncat.

Gambar 2.14 Pertumbuhan secara terpencar

2) Secara terencana
Perkembangan kota yang disusun secara terstruktur oleh perencana/perancang kota. Serta memperhatikan
aspek kegiatan manusia secara rasional untuk menghindari konflik di masa depan.

2. Perkembangan kota menurut arah pertumbuhan


16

1) Secara horizontal
Cara perkembangannya mengarah ke luar. Artinya, pertumbuhan dan perkembangan meluas ke segala arah
yang memungkinkan mengenai kota masa depan. Salah satu keuntungannya ialah lahan lahan yang tersisa
dapat dijadikan sebagai ruang terbuka.

Gambar 2.15 Perkembangan Horizontal

2) Secara Vertikal
Cara perkembangannya mengarah ke atas. Artinya, bangunan bangunan kota yang dikembangkan secara
bertingkat. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota (dimana harga lahan mahal) dan di pusat
pusat perdagangan yang memiliki potensi ekonomi.

Gambar 2.16 Perkembangan Vertikal

17

3) Secara Interstisial
Cara perkembangannya mengarah ke dalam. Artinya, daerah dan ketinggian bangunan bangunan tetap sama,
sedangkan kuantitas lahan terbangun bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di ppusat kota
dan antara pusat dan pinggir kota yang kawasannya sudah dibatasi dan hanya dapat dipadatkan.

Gambar 2.17 Perkembangan Interstisial

3. Perkembangan menurut teknologi dan peradaban


1) Fase Mezo Teknik
Perkembangan kota yang bergantung pada sumber daya angina dan air.
2) Fase Paleo Teknik
Perkembangan kota yang sumber tenaga yang digunakan adalah uap air yang mesinnya terbuat dari besi dan
baja.
3) Fase Neo Teknik
Perkembangan kota yang suber tenaga yang digunakan adalah bensin dan uap air.

18

4. Perkembangan dari segi fisik dan budaya


Lewis Munford mengklasifikasikan perkembangan kota dari segi fisik dan budaya menjadi 6, diantaranya :
1) Eopolis
Merupakan awal pembentukkan benih sebuah kota yang dicirikan dengan adanya perkampungan.
Kegiatan masyarkat pada tahap ini masih terfokus pada sektor pertanian, pertambangan, perkebunan dan
perikanan.
2) Polis
Tahap ini dicirikan dengan munculnya pasar di tengah perkampungan serta mulai berdirinya industri
kecil. Pengaruh industri pada tahap ini masih belum begitu besar.
3) Metropolis
Tahap ini kenampakan struktur ruang kota sudah berkembang cukup besar. Pengaruh kota sudah terasa
hingga daerah sekitarnya sehingga banyak ditemukan kota satelit atau daerah penyokong kota utama.
4) Megapolis
Tahap ini dicirkan dengan perilaku manusia di atasnya yang hanya berorientasi materi. Sistem birokrasi
yang buruk dan standarisasi produk lebih dipentingkan pada tahap ini. Contoh tahap ini adalah Kota Paris
pada abad ke 18, New York pada awal abad ke 20.
5) Tiranopolis
Tahap ini merupakan awal kehancuran suatu kota. Kondisi perdagangan mulai menurun secara signifikan.
6) Netropolis
Tahap ini disebut juga the city of dead, yaitu kehancurna total kota karena berbagai faktor seperti
kelaparan, perang, bencana atau sistem tata kota yang buruk.

2.1.8

Tata Ruang Kota


Dalam proses penataan suatu kawasan yang juga termasuk dalam tata ruang kota, terdapat tahap-tahap yang
harus diikuti dan dipahami. penataan kota yang sistematis, terarah, dan terkendali menjadi tujuan utama dari proses
19

atau tahap-tahap tersebut. untuk memulai proses penataan kota dibutuhkan pedoman yang berupa Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR).
Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kota, merupakan penjabaran dari Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota ke dalam rencana distribusi
pemanfaatan ruang dan bangunan serta bukan bangunan pada kawasan kota. Dengan kata lain Rencana Detail Tata
Ruang Kota mempunyai fungsi untuk mengatur dan menata kegiatan fungsional yang direncanakan oleh perencanaan
ruang diatasnya, dalam mewujudkan ruang yang serasi, seimbang, aman, nyaman dan produktif.

20

1. Standar Tata Ruang Kota


Struktur dan sistematika Rencana Detail Tata Ruang Kota memuat langkah-langkah penentuan tujuan dan sasaran
pembangunan kawasan perencanaan, perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan, identifikasi potensi dan
masalah kawasan, analisis ruang makro dan mikro kawasan, perumusan kebutuhan pengembangan dan penataan ruang
kawasan, perumusan rencana detail tata ruang kawasan, pengaturan ketentuan amlop ruang, dan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang, sebagaimana digambarkan dalam uraian berikut.

Gambar 2.18 Gambar alur tata ruang


kota

21

1.
2.

3.

4.

5.

Pengumpulan dan pengolahan data


a. Inventarisasi
b. Elaborasi
Analisa kawasan perencanaan
a. Analisa struktur kawasan perencanaan
b. Analisa peruntukan blok rencana
c. Analisa prsarana transportasi
d. Analisa Fasilitas Umum
e. Analisa utilitas umum
f. Analisa amplop ruang
g. Analisa kelembagaan dan peran serta masyarakat
Perumusan dan ketentuan teknis rencana detail
a. Konsep rencana
b. Produk rencana detail tata ruang
1) Rencana struktur ruang kawasan
2) Rencana peruntukan blok
3) Rencana penataan bangunan dan lingkungan (amplop ruang)
4) Indikasi Program pembangunan
5) Legalisasi rencana detail tata ruang

Pengendalian rencana detail


a. Tujuan
b. Komponen pengendalian
1) Zonasi
2) Aturan insentif dan disinsentif
3) Perijinan dalam pemanfaatan ruang
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Pengawasan
Kelembagaan dan peran serta aktif masyarakat
22

a. Peran kelembagaan,
b. Peran serta masyarakat
2. Landasan Hukum
Semua kegiatan yang berlangsung di suatu negara selalu terikat oleh hukum yang berlaku di negara tersebut, seperti
halnya dalam menata tata ruang kota. peraturan-peraturan tingkat nasional dalam tata ruang kota tercantum di :
1. Peraturan Menteri PU No.01/PRT/M/2013

Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi Dalam Penetapan


Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Rinci Tata Ruang
Kabupaten/Kota

2. Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2012

Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali

3. Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2012

Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera

4. Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2012

Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan

5. Peraturan Presiden No.62 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli


Serdang, dan Karo

6. Peraturan Presiden No.55 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros,


Sungguminasa, Takalar

7. Peraturan Presiden No.45 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar,


dan Tabanan.

8. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2010

Penggunaan kawasan Hutan

9. Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2010

Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus

10. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 2010

Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

11. Inpres No.1 Tahun 2010

Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan

12. Undang - undang No.32 Tahun 2009

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

13. Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2010

Penyelenggaraan Penataan Ruang


23

14. Undang - undang No.4 Tahun 2009

Pertambangan Mineral dan Batubara

15. Peraturan Menteri PU No.17/PRT/M/2009

Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

16. Peraturan Menteri PU No.16/PRT/M/2009

Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

17. Peraturan Menteri PU No.15/PRT/M/2009

Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

18. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang
2008
Daerah
19. Peraturan Menteri Kehutanan No.50 Tahun
2009
20. Peraturan Menteri Kehutanan No.28 Tahun
2009

Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan


Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Dalam Rangka Pemberian Persetujuan
Substansi Kehutanan Atas Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata
Ruang Daerah

21. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun


Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah
2009
22. Undang - undang No.39 Tahun 2009

Kawasan Ekonomi Khusus

23. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008

Penataan Ruang Kawasan JABODETABEKPUNJUR

24. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002

Tata Hutan Dan Penyusunan Rencanan Pengelolahan Hutan, Pemanfaatan


Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan

25. Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup

26. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002

Daftar koordinator geografis titik-titik garis pangkal kepulauan indonesia

27. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982

Tata Pengaturan Air

28. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970

Perencanaan Hutan

29. Peraturan Menteri PU No. 49/PRT Tahun 1990 Tata cara dan persyaratan ijin penggunaan air dan atau sumber air
30. Peraturan Menteri PU No. 48/PRT Tahun 1990 Pengelolaan atas air dan atau sumber air pada wilayah sungai
31. Peraturan Menteri PU No. 39/PRT Tahun 1989 Pembagian wilayah sungai
32. Peraturan Menteri PU No. 21/PRT/M Tahun

Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan


24

2007

Kawasan Rawan Gempa Bumi

33. Peraturan Menteri PU No. 22/PRT/M Tahun


2007

Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor

34. Peraturan Menteri PU No. 40/PRT/M Tahun


2007

Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai

35. Peraturan Menteri PU No. 41/PRT/M Tahun


2007

Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya

36. Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M Tahun


2008

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan


Perkotaan

37. Keputusan Menteri Kimpraswil No.


327/KPTS/M Tahun 2002

Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang

38. Peraturan Menteri PU No. 45/PRT Tahun 1990 Pengendalian mutu air pada sumber-sumber air
39. Peraturan Menteri PU No. 11/PRT/M Tahun
2009

Pedoman Persetujuan Subtansi Dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah


Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota, Beserta Rencana Rincinya

40. Keputusan Presiden No.4 Tahun 2009

Tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional

41. Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2008

Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura

42. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

43. Undang-undang No.28 Tahun 2002

Bangunan Gedung

44. Undang-undang No.24 Tahun 2007

Penanggulangan Bencana

45. Undang-undang No.27 Tahun 2007

Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

46. Undang-undang No.19 Tahun 2004

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun


2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang

47. Undang-undang No.4 Tahun 1992

Perumahan dan Pemukiman


25

48. Undang-undang No.38 Tahun 2004

Jalan

49. Undang-undang No.32 Tahun 2004

Pemerintahan Daerah

50. Undang-undang No.7 Tahun 2004

Sumber Daya Air

51. Undang-undang No.23 Tahun 1997

Pengelolaan Lingkungan Hidup

52. Keppres Nomor 114 Tahun 1999

Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur

53. Undang-undang No.7 Tahun 1970

Penghapusan Pengadilan Landreform

54. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta
Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

55. Undang - Undang No.20 Tahun 1961

Pencabutan Hak Hak Tanah dan Benda Benda Yang Ada Diatasnya

56. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2003

Penatagunaan Tanah

57. Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2000

Koordinasi Penataan Ruang Nasional

58. Undang - Undang No.5 Tahun 1960

Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria

59. Undang - Undang No.25 Tahun 2004

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

60. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000

Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah.

61. Undang - Undang No.41 Tahun 1999

Kehutanan

62. Undang - Undang No.26 Tahun 2007

Penataan Ruang

Tabel 2.1 Undang-Undang tentang Tata Ruang Kota

Tata ruang kota di setiap kawasan/kota memiliki peraturan/RDTR yang berbeda. adapun Rencana Detail Tata Ruang
di kota Malang secara umum sebagai berikut :

26

1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang :

Pasal 65 Ayat(1), "Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan
peran msyarakat";

Pasal 65 Ayat(2), "Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat(1)
dilakukan, antara lain melalui :
a. Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. Partisipasi dalam pemanfaatan ruang;
c. Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang

2) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang :

Pasal 20, "Prosedur penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1)
meliputi :
a. Proses penyusunan rencana tata ruang;
b. Pelibatan peran masyarakat dalam perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan
c. Pembahasan rancangan rencana tata ruang oleh pemangku kepentingan"

27

Pasal 61 Ayat (1), "Prosedur penyusunan rancana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 20
untuk Rencana Detail Tata Ruang meliputi :
a. Proses penyusunan Rencana Detail Tata Ruang;
b. Pelibatan peran masyarakat pada tingkat kabupaten/kota dalam penyusunan Rencana Detail Tata
Ruang; dan
c. Pembahasan rancangan Rencana Detail Tata Ruang oleh pemangku kepentingan di tingkat
kabupaten/kota" sebagaimana ditambahkan pada penjelasan Pasal 61 Ayat (1) Huruf b, "Pelibatan
peran masyarakat dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang antara lain dilakukan melalui
penjaringan opini publik, forum diskusi, dan konsultasi publik pada tingkat kabupaten/kota"

3) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan
Ruang :

Pasal 6, "Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa :


a. masukan mengenai : 1) Persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2) penentuan arah
pengembangan wilayah atau kawasan; 3) pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan
wilayah atau kawasan; 4) perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau penetapan rencana tata
ruang

28

b. kerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan atau sesama unsur masyarakat dalam
perencanaan tata ruang.

Pasal 7 Ayat (1), "Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah dalam perencanaan tata ruang dapat secara
aktif melibatkan masyarakat;

Pasal 7 Ayat (2), "Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah yang terkena dampak
langsung dari kegiatan penataan ruang, yang memiliki keahlian di bidang penataan ruang, dan atau
yang kegiatan penataan ruang, yang memiliki keahlian di bidang penataan ruang, dan atau yang
kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang.

2.2 Perancangan Kota (Desain Urban)


2.2.1 Definisi perancangan kota
Peter Webber mendefinisikan desain urban sebagai 'proses membentuk suatu kota melalui waktu'. Jerry Spencer
menggambarkannya sebagai 'menciptakan sebuah kehidupan publik'. Untuk Carmona, Heath, Oc and Tiesdell adalah 'proses
yang nantinya akan membentuk tempat yang layak bagi orang-orang'. Seorang ahli desain urban Doug Paterson,
mendefinisikan desain urban sebagai 'penyatuan antara masyarakat dengan konteks urban itu sendiri yang nantinya akan
menjadi struktur kota'. Peter Batchelor and David Lewis menjelaskan desain urban sebagai 'mendesain perkotaan'.
Urban Desain adalah perpaduan disiplin ilmu perencanaan dan arsitektur, dalam menciptakan / memperbarui identitas dan
kebanggan lokal, melalui peningkatan citra visual dan kualitas lingkungan perkotaan. Yakni dengan memberikan deskripsi
29

kebijakan berbentuk tiga dimensi sebagai bagian dari perencanaan yang komprehensif. Disiplin ini fokus pada perancangan
public realm , yang diciptakan oleh ruang publik dan bangunan-bangunan yang membentuk ruang tersebut.

2.2.2

Tujuan perancangan kota


Spreiregen, Paul D., (1965) tujuan perancangan kota antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.

2.2.3

membuat kota lebih manusiawi


menghubungkan bentuk fisik kota dengan keadaan alam, misal orientasi
menselaraskan urban dengan alam
menciptakan ruang-ruang kota yang berkualitas
menjadikan kota sebagai suatu pelabuhan keanekaragaman.

Teori Perancangan Kota


1. Teori Figure / Ground
Teori figure ground merupakan pengetauhan mengenai tata kota sebagai hubungan testural antara bentuk yang
duibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space). Analisis figure ground adalah sarana yang baik untuk
mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan, serta masalah keteraturan masa ruang
perkotaan. Pendekatan figure ground adalah suatu bentuk usaha untuk mengolah pola existing figure ground dengan cara
penambangan, pengurangan, atau pengubahan pola geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubungan antara massa
bangunan (urban solid) dengan ruang terbuka (urban void).

30

Tipe urban solid terdiri dari massa bangunan, persil lahan blok hunian yang ditonjolkan, dan edges yang berupa
bangunan.

Gambar 2.19 Urban solid kota

Tipe urban void terdiri dari:


a.
b.
c.
d.
e.

Ruang terbuka berupa pekarangan yang bersifat transisi antara public dan privat
Ruang terbuka di dalam atau dikelilingi massa bangunan bersifat semi privat sampai privat
Jaringan utama jalan dan lapangan bersifat public karena mewadahi aktivitas publik berskala kota
Area parkir public bisa berupa taman parkir sebagai nodes yang berfungsi preservasi kawasan hijau
Sistem ruang terbuka yang berbentuk linier dan curvalinier. Tipe ini berupa daerah aliran sungai, danau dan
semua yang alami dan basah.

Terdapat tiga prinsip open space dalam fokus kota, yaitu:


a. Open space adalah ruang terbuka yang lebih berarti dari pada sesuatu yang kosong saja.
b. Open space dibentuk secara organis atau teknis oleh benda-benda yang membatasinya.
c. Open space dapat dilihat dari aspek fungsional public space dan semi public space.
31

Secara prinsip, ruang terbuka yang terbuka dibutuhkan serta digunakan dalam setiap kota.

Gambar 2.20 Urban void kota

Pola-pola tekstur perkotaan dapat sangat berbeda karena perbedaan tekstur pola-pola tersebut mengungkapkan
perbedaan rupa kehidupan dan kegiatan masyarakat perkotaan secara arsitektural. Di dalam pola-pola kawasan kota
secara tekstural mengekspresikan rupa kehidupan dan kegiatan perkotaan secara arsitektural dapat diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu

32

a. Susunan kawasan bersifat homogen yang jelas, dimana ada satu pola penataan.

Gambar 2.21 Kawasan bersifat homogen

b. Susunan kawasan yang bersifat heterogen, dimana dua atau lebih pola berbenturan.

Gambar 2.22

Kawasan bersifat heterogen

c. Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau

33

Gambar 2.23

Kawasan bersifat menyebar dan agak kacau

Dalam teori figure ground, maka skala kota terdiri dari dua macam, yaitu:
a. Skala makro besar
Dalam skala makro besar, figure/ground memperhatikan kota keseluruhannya. Artinya, sebuah kota yang
kecil dalam skala ini menjadi tidak terlalu penting, karena gambar figure/ground secara makro besar berfokus
pada ciri khas tekstur dan masalah tekstur sebuah kota secara keseluruhannya.

Gambar 2.24 Figure ground dalam skala makro besar (kota)

b. Skala makro kecil


34

Dalam skala makro kecil, biasanya yang diperhatikan adalah sebuah figure/ground kota dengan fokus pada
satu kawasan saja. Artinya, pada skala ini kota secara keseluruhan tidak terlalu penting, karena gambar
digure/ground secara makro kecil berfokus pada ciri khas tekstur dan maslah tekstur sebuah kawasan secara
mendalam.

Gambar 2.25 Figure ground dalam skala makro kecil (kawasan)

2. Teori Linkage
Teori ini di dasarkan pada hubungan antar unsure atau elemen pembentuk ruang digambarkan oleh jalan, parkir, rute
pejalan kaki, ruang terbuka atau rangkaian secara fisik menghubungkan bagian kota. Penekannya pada perhatian
pengolahan sistem pergerakan dan infrastruktur diatas pola ruang terbuka (void). Dalam konteks arsitektur kota, lingkage
menunjukan hubungan aktivitas/pergerakan dari beberapa zona makro/mikro dengan atau tanpa keragaman fungsi, yang
bertalian aspek fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Sebuah linkage perkotaan dapat diamati dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Linkage perkotaan akan dikemukakan
dalam 3 pendekatan, yaitu:
a. Linkage Visual
Istilah linkage visual memiliki arti bahwa dua atau lebih banyak fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara
visual. Dalam linkage visual terdapat lima elemen yang menghasilkan hubungan secara visual yaitu:
1) Garis
35

Mengubungkan langsung dua tempat dengan satu deretan/linier massa (bangunan, pohon dll) yang cenderung masif.
2) Koridor
Di bentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon ) membentuk sebuah ruang.
3) Sisi
Sama dengan elemen garis namun bedanya hanya pada penepatan masif berada di belakang.
4) Sumbu
Elemen bersifat spasial, serta hubungan daerah satu dengan yang lain dengan mengutamakan salah satu wilayah/daerah.
5) Irama
Menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.

Gambar 2.26 Contoh linkage visual pada Kota Swiss

b. Linkage Struktural
Linkage struktual adalah sebuah jaringan kolase/tekstur figure ground/solid void yang menjadi satu kesatuan dalam
tatanan. Fungsi linkage struktural pada ruang kota yaitu berfungsinya pola ruang perkotaan dan bangunanya dengan
baik sebagai stabilisator dan koordinator di adalam lingkungan, jika hal ini tidak sebagaimana mestinya maka yang
terjadi kekacauan pemahaman terhadap bentuk, wujud, serta fungsi teradap prioritas penataan kawasan.
Berikut adalah elemen-elemen pembentuk linkage struktrual:
1) Tambahan
Secara struktural melanjutkan pola eksisting yang ada, namun di tambahkan bentuk ruang maupun massa
yang relative cenderung sama sehingga tidak mengurangi pemahaman lokasi/konteks, serta penambahan itu
juga masih dapat di pahami sebagai unsur tambahan.
2) Sambungan

36

Adalah elemen linkage struktural sambungan yaitu mengenakan pola massa/ruang kota yang relative
baru/berbeda, dikarenakan biasanya memiliki fungsi istimewa.
3) Tembusan
Tembusan ini merangkum pola yang telah di eksisting, sehingga relatif rumit, karena fungsinya menyatukan
dengan hanya mengadopsi bentuk di lingkungannya, tanpa memaknai kehadirannya sendiri.

Gambar 2.27 Contoh linkage struktural pada Kota Swedia

c. Linkage Bentuk
Di dalam realitas perkotaan dan perancangannya, sering dilupakan bahwa sebuah kota memiliki arti lebih luas
daripada jumlah gedung dan prasarananya saja. Sebuah kota hanya akan berarti sebagai sejumlah unit-unit. Sebuah
kota bukan sekedar rangkaian sejumlah unit-unit secara visual maupun struktural, namun ada juga bentuk-bentuk
rupa kolektif. Karena sebuah kota banyak memiliki kolektif ciri khas, organisasi dan bentuk yg bersifat kolektif.
Elemen elemen linkage bentuk diantaranya :
1) Compositional form
Bentuk komposisi merancang objek-objek komposisi dua demensi dan individual yang terhubung abstrak
satu dengan yang lain Linkage cenderung diasumsikan pengamat, dan tidak memperhatikan fungsi ruang
terbuka.
2) Megaform

37

Megaform/bentuk mega menghubungkan struktur-struktur seperti bingkai yang linear atau sebagai grid.
Linkage di capai melalaui hierarki yang bersifat open ended.
3) Groupform
Groupform muncul dari penambahan akumulasi bentuk dan struktur yang biasaberdiri disamping ruang
terbuka publik, dalam ini linkage di kembangkan secara organis.

Gambar 2.28 Contoh penggunaan linkage bentuk elemen megaform

3. Teori Place
Teori Place berkaitan dengan space terletak pada pemahaman atau pengertian terhadap budaya dan karakteristik manusia
terhadap ruang fisik. Space adalah void yang hidup mempunyai suatu keterkaitan secara fisik. Space ini akan menjadi place
apabila diberikan makna kontekstual dari muatan budaya atau potensi muatan lokalnya. Sebuah place dibentuk sebagai
sebuah space jika memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Suasana itu tampak dari benda
konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda yang abstrak, yaitu asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh
manusia di tempatnya. Sebuah tempat (place) akan terbentuk bila dibatasi dengan sebuah void, serta memiliki ciri khas
tersendiri yang mempengaruhi lingkungan sekitarnya (Zahnd, 1999).
38

Teori place terdiri dari dua jenis, yaitu:


1) Konteks
Suatu perancangan yang kontekstual merupakan hasil dari suatu proses megalihkan arti lingkungan ke dalam sebuah
objek baru. Selain itu suatu perancanngan secara kontekstual tidak boleh mengabaikan kontras karena kontras
dibutuhkan untuk meciptakan sebuah lingkungan yang menrik dan kreatif.
a) Dinamis
Ruang dinamis sering disebut sebagai street atau jalan memiliki kaitan tersendiri antara bentuk dan fungsinya,
sehingga Spiro Kostof dengan tepat mengatakan bahwa ruang dinamis yang disebut sekaligus adalah elemen dan
institusi perkotaan.

Gambar 2.29 Elemen Place Konteks Dinamis

b) Statis
Karaker ruang terbuka yang bersifat statis di dalam kota hanya dianggap sebagai tempat estetika perkotaan. Oleh
sebab itu, karakter tempat tersebut hanya digolongkan pada geometrinya saja tanpa memperhatikan fungsi kota.

39

Gambar 2.30

Elemen place konteks statis

2) Citra Kota
Kevin Lynch menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk citra kota, yaitu :
a) Paths
Suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah . Paths berupa jalur, jalur pejalan kaki,
kanal, rel kereta api, dan yang lainnya.

Gambar 2.31 Gambar dan Contoh Paths pada kota

40

b) Edges
Elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas antara 2 jenis fase kegiatan.
Edges berupa dinding, pantai, hutan kota, dan lain-lain.

Gambar 2.31 Gambar dan Contoh Edges pada kota

c) Districts
Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila memiliki kesan
visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.

41

Gambar 2.33 Gambar dan Contoh Districts pada kota

d) Nodes
Berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda. Sebuah titik konsentrasi dimana
transportasi memecah, paths menyebar dan tempat mengumpulnya karakter fisik.

42

Gambar 2.34 Gambar dan Contoh Nodes pada kota

e) Landmark
Titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik buatan seperti menara, gedung,
sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau
kawasan.

Gambar 2.35 Contoh Landmark pada kota

2.2.4 Lingkup bidang perancangan kota


Untuk merumuskan unsur-unsur bentuk fisik kota, perlu dirumuskan terlebih dulu domain atau lingkup bidang
perancangan kota. Seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya, perancangan kota (urban design) dalam hal ini dipandang
sebagai bagian dari proses perencanaan kota (urban planning) yang berkaitan dengan kualitas fisik lingkungan kota. Dalam hal

43

kualitas fisik ini, perencana dan perancang kota tidak akan dapat merancang seluruh unsur bentuk fisik kota, kecuali bila yang
dihadapi kota baru atau kawasan kosong yang akan direncanakan (Shirvani, 1985:6).
Domain perancangan kota terbentang dari tampilan muka bangunan (eksterior) ke luar (ke ruang publik diantara bangunanbangunan). Berkaitan dengan ini Barnett (1974, dalam Shirvani, 1985: 6) mengatakan bahwa domain perancangan kota sebagai
"merancang kota tanpa merancang bangunan-bangunan". Dengan kata lain, domain tersebut mencakup ruang-ruang di antara
bangunan-bangunan. Dalam hal ruang-ruang luar tersebut, berdasar pengalaman "Urban Design Plan of San Fransisco, 1970"
(Wilson et. al, 1979 dalam Shirvani, 1985: 6), ruang-ruang dikelompokan menjadi empat bagian, yaitu
1) pola dan citra internal, menjelaskan maksud ruang-ruang di antara bangunan- bangunan dalam lingkup kawasan
kota, terutama dalam hal focal points, viewpoints, landmarks, dan pola gerak;
2) bentuk dan citra eksternal, berfokus pada skyline (garis langit) kota, serta citra dan identitas kota secara
keseluruhan;
3) sirkulasi dan perparkiran, mengkaji karakteristik jalan (dalam hal: kualitas

pemeliharaan, kepadatan ruang,

tatanan, kemonotonan, kejelasan rute, orientasi ke tujuan, keselamatan, dan kemudahan gerakan), serta
persyaratan dan lokasi perparkiran, serta
4) kualitas lingkungan, berkaitan dengan sembilan faktor, yaitu kecocokan penggunaan, kehadiran unsur alam, jarak
ke ruang terbuka, kepentingan visual dari fasad jalan, kualitas pandangan, kualitas pemeliharaan, kebisingan, dan
iklim setempat.
2.2.5 Elemen-elemen dalam perancangan kota
Pengelompokan di atas belum menunjukkan unsur-unsur bentuk fisik kota dalam perancangan kota. Unsur-unsur
tersebut, dijelaskan oleh Shirvani (1985: 7-8), meliputi delapan butir, yaitu

A. Tata Guna Lahan


44

Tata guna lahan merupakan unsur pokok dalam desain urban yang menentukan dasar perencanaan dalam dua
dimensi, bagi terlaksananya ruang tiga dimensi. Tata guna lahan merupakan pengaturan suatu lahan dan keputusan
untuk menggunakan lahan untuk maksud tertentu sesuai dengan peruntukanya.
Dalam peruntukan lahan terdapat pembagian penggunaan lahan menjadi kelompok-kelompoksesuai dengan
interaksi antara unsur manusia, aktivitas, dan lokasipertama menghasilkan land use plan dengan pengelompokan
aktivitas, funsi, dan karakter tertentu, kedua menghasilkan land use plan sebagai pembagian penggunaan lahan
yang terbatas. Untuk masa yang akan datang, kebijakan mix use digunakan untukmeningkatkan kehidupan 24
jam, dengan jalan memperbaiki sirkulasi melalui fasilitas pejalan kaki, dan pengguna yang lebih baik dari systemsistem infrastruktur, analisa-analisa dasar lingkungan alam dan perbaikan atau meningkatkan system infra
strukturdengan rencana serta operasi pemeliharaan.
Dalam intensitas pembangunan developerakan mendapatkan ijin membangunhingga FAR maksimum, sebagai
bonus dari kompensasi dari kesediaan membangun fasilitas tambahan bagi kepentingan umum. Aturan zoning
memperhatikan aspek fisik bangunan yang memperhatikan ketinggian, pemunduran, dan lantai dasar yang
diperlukan untuk menunjang public space.
Kesalahan masa lalu dalam penggunaan tata guna lahan, antara lain kurangnya keanekaragamanpengguna
lahan dalam suatu area dan kesalahan dalam memperhatikan faktor lingkungan dan fisik alamiah. Oleh karena itu,
yang di perhatikan untuk tata guna lahan di masa mendatan adalah mixing use dalam suatu urban area, untuk
meningkatkan kehidupan 24 jam dengan memperbaiki sirkulasimelalui fasilitas pedestriandan pengguna
infrastrukturyang lebih baik, analisis yang berdasarkan lingkungan alamidan perbaikan system infrastrukturserta
rencana perawatan yang diperlukan.

45

Sebagai contoh adalah kasus di Jakarta, tepatnya di daerah Kuningan, pada awalnya wilayah ini dalam Jakarta
Struktur Plan 2005 diarahkan untuk pengembangan kawasan campuran, dengan sebagian besar untuk pemukiman
kelas atas yang disediakan untuk para diplomat serta perkantoran. Tetapi sekarang kawasan ini tumbuh menjadi
kawasan perkantoran kelas satu termasuk kantor-kantor komersial. Hal ini terjadi karena lokasi tersebut yang
sangat strategis dibandingkan lokasi lain.
Dari aspek aksesibilitas, kawasan ini mudah dicapai dari segala arah, tetapi pelayanan transportasi tidak cukup
baik. Jalur lalu lintas sangat padat terutama pada jam sibuk. Dengan kondisi ini maka kebijaksanaan tata guna
lahan di kawasan ini dirumuskan kembali dengan konsep superblock system dan high rise building. Sebagai
dampaknya kebutuhan transportasi meningkat pesat sedangkan sarananya sangat terbatas, akibatnya kemacetan
dan kepadatan lalu lintas tidak dapat dihindarkan.
Dengan luas area 325ha dan lebih dari setengah juta pekerja, maka kawasan ini sangat memerlukan alat dan
sarana transportasi baru. Namun dalam realitanya, walau terjadi perubahan fungsi kegiatan (tata guna lahan),
kebijaksanaan transportasi masih mengacu pada Jakarta Struktur Plan 2005, yang jelas-jelas sudah tidak sesuai
lagi dengan kondisi perkembangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan penggunaan lahan belum
didukung dengan kebijaksanaan pengembangan transportasi.

B. Bentuk dan Massa


Bentuk dan massa bangunan terdiri atas aspek fisik (berupa ketinggian, pemunduran, serta penutupan) dan
mempunyai wujud dan konfigurasi (berupa kepejalan, warna, material, tekstur, fasad, skala, dan gaya bangunan).

46

Pada dasarnya, ada tiga prinsip perancangan kota yang berfungsi untuk menyatukan masalah-masalah bentuk
bangunan bangunan dan massa bangunan, yaitu
a. Skala, merupakan pandangan atau penglihatan manusia (human vision), sirkulasi, bangunan
berdampingan, dan ukuran lingkungan,
b. Ruang kota, merupakan artikulasi ruang yang dibentuk oleh bentuk kota, pembatas, tipetipe ruang kota,
serta
c. Massa kota, merupakan wujud bangunan-bangunan, permukaan-permukaan tanah, dan obyekobyek pada
ruang yang dapat tersusun untuk pembentuk ruang kota dan polapola akitivitas dalam skala besar dan
skala kecil.

Gambar 2.36 Pedoman identifikasi


bangunan terkait dengan ketinggian
lingkungan eksisting

Gambar 2.37 Ilustrasi penggambaran


lereng dan pengembangan kota San
Fransisco

Sumber: Shirvani, 1985

Sumber: Shirvani, 1985

47

Gambar 2.38 Pedoman identifikasi


bangunan terkait dengan ketinggian
lingkungan eksisting

Gambar 2.39 Dua jenis kemungkinan


fasad pada bangunan di Jacksonville
Sumber: Shirvani, 1985

Sumber: Shirvani, 1985

Bentuk
bangunan

dan

massa

membahas
48

bagaimana bentuk dan massa-massa bangunan yang ada dapat membentuk suatu kota, serta bagaimana hubungan
antar-massa dari banyak bangunan yang ada. Pada penataan suatu kota, bentuk, dan hubungan antar-massa seperti
ketinggian bangunan, jarak antar-bangunan, bentuk bangunan, fasad bangunan, dan sebagainya harus diperhatikan
sehingga ruang yang terbentuk menjadi teratur, mempunyai garis langit horizon (skyline) yang dinamis, serta
menghindari adanya lost space (ruang tidak terpakai).

C. Sirkulasi dan Perparkiran


Sirkulasi adalah elemen perancangan kota yang secara langsung dapat membentuk dan mengkontrol pola
kegiatan kota, sebagaimana halnya dengan keberadaan sistem transportasi dari jalan publik, pedestrian way, dan
tempat transit lainnya yang membentuk suatu kegiatan. Sirkulasi di dalam kota merupakan salah satu alat yang
paling kuat untuk menstrukturkan lingkungan perkotaan karena dapat membentuk, mengarahkan, dan
mengendalikan pola aktivitas dan karakter dalam suatu kota.
Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang bersifat sementara. Parkir merupakan suatu
kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan menginginkan kendaraannya parkir di tempat yang mudah dicapai.
Kemudahan yang diinginkan tersebut salah satunya adalah parkir di badan jalan. Dalam perencanaan untuk
jaringan sirkulasi dan parkir harus selalu memerhatikan beberapa faktor diantaranya jaringan jalan merupakan
ruang terbuka yang mendukung citra kawasan dan aktivitas pada kawasan, jaringan jalan harus memberi orientasi
pada penggunaan dan membuat lingkungan yang jelas/dapat terbaca, kerjasama dari sektor kepemilikan dan privat
dan publik dalam mewujudkan tujuan dari kawasan.

49

Pola parkir yang ada dibadan jalan adalah pola parkir paralel dan menyudut. Akan tetapi pola parkir tersebut tidak
selalu diizinkan, karena kondisi arus lalu lintas yang tidak memungkinkan. Dengan demikian untuk mendesain
suatu area parkir di badan jalan ada 2 (dua) pilihan yakni, pola parkir paralel dan menyudut.
a. Fasilitas Parkir untuk Umum
Fasilitas parkir untuk umum di luar badan jalan seperti pusat perbelanjaan, bisnis maupun perkantoran
dapat berupa taman parkir atau gedung parkir.
b. Penetapan Lokasi Fasilitas Parkir
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum, dilakukan dengan memperhatikan:
1)
2)
3)
4)

Rencana umum tata ruang daerah;


Keselamatan dan kelancaran lalu lintas;
Kelestarian lingkungan;
Kemudahan bagi pengguna jasia.

Keberadaan fasilitas parkir untuk umum berupa gedung parkir atau taman parkir harus menunjang
keselamatan dan kelancaran lalu lintas, sehingga penepatan lokasinya terutama menyangkut akses keluar
masuk fasilitas parkir harus dirancang agar tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.
c. Kebutuhan Parkir
Kebutuhan luas area kegiatan parkir berbeda antara yang satu dengan yang lain, tergantung kepada beberapa
hal antara lain pelayanan tarip yang diberlakukan, ketersediaan ruang parkir, tingkat pemiikan kendaraan
bermotor, tingkat pendapatan masyarakat. Pada umumnya ada 2 (dua) jenis peruntukan kebutuhan parkir,
50

yaitu kegiatan parkir tetap yang meliputi gedung pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, pusat perdagangan,
pasar, sekolah, tempat rekreasi, hotel dan rumah sakit, dan kegiatan parkir yang bersifat sementara seperti
bioskop, tempat pertunjukan, tempat pertandingan olahraga dan rumah ibadah.
d. Desain Parkir di Badan Jalan
Bermacam-macam hal yang perlu diperhatikan pada suatu badan jalan, dimana hal-hal tersebut menjadi
pertimbangan dalam menentukan sudut parkir. Bahan-bahan yang menjadi pertimbangan yang secara umum
digunakan adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)

Lebar jalan
Volume lalu lintas pada jalan yang bersangkutan
Karakteristik kecepatan
Dimensi kendaraan
Sifat peruntukkan lahan sekitarnya dan peranan jalan yang bersangkutan.

Dalam penentuan sudut parkir pada suatu badan jalan berbeda antara satu dengan lainnya. Dimana
perbedaan tersebut dikarenakan oleh fungsi jalan dan arah gerak lalu lintas pada jalan yang bersangkutan.
1) Pola Parkir
Pola parkir dibagi 2 (dua) yaitu pola parkir parallel dan pola parkir menyudut.
a) Pola parkir paralel

51

Gambar 2.40 Tata cara parkir paralel

Gambar 2.41 Tata cara parkir ditanjakan

52

Gambar 2.42 Tata cara parkir diturunan

b) Pola parkir menyudut


Untuk pola parkir menyudut, lebar ruang pakir, ruang parkir efektif, dan ruang maneuver
berlaku untuk jalan kolektor dan lokal. Lebar ruang parkir, ruang parkir efektif, dan ruang
maneuver berbeda berdasarkan besar sudut 30, 45, 60 dan 90.

Gambar 2.43 Tata cara parkir membentuk sudut 30


53

Gambar 2.44 Tata cara parkir membentuk sudut 45

Gambar 2.45 Tata cara parkir membentuk sudut 60

54

Gambar 2.46 Tata cara parkir membentuk sudut 90

Gambar 2.47 Tata cara parkir sudut di tanjakan

55

Gambar 2.48 Tata cara parkir di turunan

e. Desain Taman Parkir


Parkir di luar badan jalan diaplikasikan di tempat-tempat yang tarikan perjalanannya (trip
attraction) besar agar kelancaran arus lalu lintas dan kelestarian lingkungan tetap terjaga.
Dengan demikian desain parkir di luar jalan sangat perlu diselaraskan dengan kebutuhan ruang
parkir.
1) Kriteria taman parkir
Kriteria yang digunakan sebagai dasar dalam mendesain tempat/pelataran parkir adalah
sebagai berikut:
56

a)
b)
c)
d)
e)
f)

Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD)


Keselamatan dan kelancaran lalu lintas
Kelestarian lingkungan
Kemudahan bagi pengguna jasa
Tersedianya tata guna lahan
Letak antara jalan akses utama saerah yang dilayani

2) Pola parkir penumpang


a) Parkir kendaraan satu sisi
Pola parkir ini diterapkan apabila ketersediaan ruang sempit di suatu
tempat kegiatan.
-

Membentuk sudut 90 derajat


Pola parkir ini mempunyai daya tamping lebih banyak jika dibandingkan
dengan pola parkir paralel, tetapi kemudahan pengemudi melakukan
manuver masuk dan keluar ke ruang parkir lebih sedikit jika dibandingkan
dnegan pola parkir dengan sudut yang lebih kecil dari 90 derajat.

Gambar 2.49 Pola parkir tegak lurus

Membentuk sudut 30 , 45, 60


Pola parkir ini mempunyai daya tamping lebih banyak jika dibandingkan
dengan pola parkir paralel,dan kemudian kenyamanan pengemudi
57

melakukan manuver masuk dan keluar ke ruangan parkir lebih besar jika
dibandingkan dengan pola parkir dengan sudut 90.

Gambar 2.50 Pola parkir sudut

b) Parkir kendaraan dua sisi


Pola parkir ini diterapkan apabila ketersediaan ruang cukup memadai.
-

Membentuk sudut 90
Pada pola parkir ini, arah gerakan lalu lintas kendaraan dapat satu
arah atau dua arah.

Gambar 2.51 Parkir tegak lurus yang berhadapan

Membentuk sudut 30 , 45, 60

58

Gambar 2.52 Parkir sudut yang berhadapan

c) Pola parkir pulau


Pola parkir ini diterapkan apabila ketersediaan ruang cukup luas.
- Membentuk sudut 90

Gambar 2.53 Taman parkir tegak lurus dengan 2 gang

Membentuk sudut 45
Bentuk tulang ikan tipe A

59

Gambar 2.54 Taman parkir sudut dengan 2 gang type A

Bentuk tulang ikan tipe B

Gambar 2.55 Taman parkir sudut dengan 2 gang type B

Bentuk tulang ikan tipe C

60

Gambar 2.56 Taman parkir sudut dengan 2 gang type C

d) Kriteria Tata Letak Parkir


Tata letak area parkir kendaraan dapat dibuat bervariasi, tergantung pada
ketersediaan bentuk dan ukuran tempat serta jumlah dan letak pintu masuk dan
keluar. Tata letak pelataran parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut
- Pintu masuk dan keluar terpisah dan terletak pada satu ruas jalan

Gambar 2.57 Tata letak pelataran parkir, pintu terpisah


61

Pintu masuk dan keluar terpisah dan tidak terletak pada satu ruang

Gambar 2.58 Tata letak pelataran parkir pintu terpisah

Pintu masuk dan keluar menjadi satu dan terletak pada satu ruas jalan

62

Gambar 2.59 Tata letak pelataran parkir pintu tunggal

Pintu masuk dan keluar yang menjadi satu terletak pada satu ruas
berbeda

Gambar 2.60 Tata letak pelataran parkir dengan 2 pintu

63

f. Desain Gedung Parkir


Parkir di luar jalan yakni di gedung merupakan hal yang tidak asing lagi di kota-kota besar.
Gedung parkir sangat efisien diterapkam di tempat-tempat yang tingkat kesibukannya relatif
tinggi.
1) Kriteria Parkir di Gedung
Ada beberapa keriteria yang harus dipenuhi dalam pengembangan parkir di gedung
parkir yaitu :
a) Tersedia tata guna lahan
b) Memenuhi persyaratan konstruksi dan perundang-undangan yang berlaku
c) Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan
d) Memberikan kemudahan bagi pengguna jasa
2) Tata Letak Gedung Parkir
Tata letak gedung parkir dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Lantai datar dengan jalur landai luar (external ramp).
Daerah parkir terbagi dalam beberapa lantai rata (datar) yang
dihubungkan dengan ramp.
b) Lantai terpisah
Gedung parkir dengan bentuk lantai terpisah dan berlantai banyak
dengan ramp yang ke atas digunakan untuk kendaraan yang keluar. Ramp
berada pada pintu keluar kendaraan yang masuk melewati semua ruang parkir
sampai menemukan tampat yang dapat dimanfaatkan.
3) Aspek Desain

64

Teknologi parkir di negara-negara maju yang dikendalikan oleh komputer,


berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam desainnya. Aspek-aspek yang
berkaitan dengan desain tersebut adalah :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)

Konstruksi landasan
Tenaga penggerak
Teknik keluar/masuk parkir
Konstruksi bangunan
Kemudahan untuk mencapai gedung
Cara kerja sistem
Sistem keselamatan kendaraan
Sistem pemeliharaan tenaga penggerak
Sistem pengendalian

4) Sirkulasi Antar Lantai


Pergerakan kendaraan antar lantai harus dilakukan sedemikian sehingga konflik yang
terjadi minimal. Konflik berpotongan sebaiknya dihindarkan. Gambar-gambar berikut
menunjukkan berbagai variasi sirkulasi kendaraan yang akan naik ataupun kendaraan
yang akan turun.

65

Gambar 2.61 Pola sirkulasi digedung parkir ramp menerus

Gambar 2.62 Pola sirkulasi gedung parkir ramp menerus berlawanan

66

Gambar 2.63 Pola sirkulasi gedung parkir lantai stager

Gambar 2.64 Pola sirkulasi di gedung parkir lantai stager tiga susun

67

Gambar 2.65 Pola sirkulasi digedung parkir lantai miring

D. Ruang Terbuka
Ruang terbuka (Open Space) , mencakup semua unsur landscape (jalan, trotoar dan sejenisnya), taman, dan
ruang rekreasi didaerah perkotaan. Dimana ruang terbuka hendaknya menjadi bagian integral dari perancangan
kota, bukan hanya merupakan akibat dari penyelesaian arsitekturnya. (Hamid Shirvani)
Setiap ruang publik memiliki makna sebagai berikut: sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun,
memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia/pengguna ruang publik
dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain yang mengikuti norma-norma yang berlaku
di tempat. (Roger Scurton 1984)
68

Ruang umum pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari
masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat
tergantung pada pola dan susunan massa bangunan. Menurut sifatnya, ruang publik terbagi menjadi 2
jenis, yaitu :
1. Ruang publik tertutup : adalah ruang publik yang terdapat di dalam suatu bangunan.
2. Ruang publik terbuka : yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan yang sering juga disebut
ruang terbuka (open space). (Rustam Hakim 1987)
Dari beberapa para ahli yang mengungkapkan pengertian tentang ruang terbuka ada garis besar yang
didapat, yaitu keharusan untuk mencakup semua unsur lingkungan sekitar yang akan berpengaruh besar
terhadap warga yang akan melakukan aktivitas di dalamnya. Mulai dari jalanan, taman, dan sebagainya
yang harus ditata dengan baik dan benar untuk memfasilitasi para masyarakat untuk bertemu atau
melakukan bermacam kegiatan sosial di ruang terbuka tersebut. Maka pengaruh pengaruh lingkungan
tersebut harus diperhatikan dengan baik demi keberlangsungan aktivitas para masyarakat karena objek
utama dari di bangun nya sebuah ruang terbuka adalah masyarakat, dan tujuan utama nya itu untuk
memberi ruang kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan kegiatan sosial.
Penyediaan ruang terbuka ini diharapkan dapat mencakup beberapa ruang yang cukup untuk:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis;


kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi;
area pengembangan keanekaragaman hayati;
area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan;
tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
tempat pemakaman umum;
pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan;
69

h. pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis;


i. penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria
pemanfaatannya;
j. area mitigasi/evakuasi bencana; dan
k. ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak
mengganggu fungsi utama RTH tersebut.
Tujuan penyelenggaraan ruang terbuka hijau (RTH) adalah
a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;
b. Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan
lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat;
c. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan
yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
Fungsi ruang terbuka hijau (RTH) sebagai berikut
a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
1) memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru
kota);
2) pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung
lancar;
3) sebagai peneduh;
4) produsen oksigen;
5) penyerap air hujan;
6) penyedia habitat satwa;
7) penyerap polutan media udara, air dan tanah;
8) penahan angin.
b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
70

1)

2)
3)

Fungsi sosial dan budaya:


a) menggambarkan ekspresi budaya lokal;
b) merupakan media komunikasi warga kota;
c) tempat rekreasi;
d) wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
Fungsi ekonomi:
a) sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur;
b) bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lainlain.
Fungsi estetika:
a) meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro:
halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara
keseluruhan;
b) menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
c) pembentuk faktor keindahan arsitektural;
d) menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.
Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai
dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air,
keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.

a. RTH Jalur Hijau Jalan


Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 2030% dari ruang milik
jalan (rumija) sesuai dengan klas jalan. Untuk menentukan pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2
(dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas
daerah setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.

71

Gambar 2.66 Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan

b. Pulau Jalan dan Median Jalan


Taman pulau jalan adalah RTH yang terbentuk oleh geometris jalan seperti pada persimpangan tiga atau
bundaran jalan. Sedangkan median berupa jalur pemisah yang membagi jalan menjadi dua lajur atau lebih.
Median atau pulau jalan dapat berupa taman atau non taman. Dalam pedoman ini dibahas pulau jalan dan
median yang berbentuk taman/RTH.

i. Pada jalur tanaman tepi jalan


(1.) Peneduh
(a) ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1,5 m dari tepi median);
(b) percabangan 2 m di atas tanah;
(c) bentuk percabangan batang tidak merunduk;
(d) bermassa daun padat;
(e) berasal dari perbanyakan biji;
(f) ditanam secara berbaris;
72

(g) tidak mudah tumbang


.
Contoh jenis tanaman:
Kiara Payung, Tanjung, Bungur

Gambar 2.67 Jalur Tanaman Tepi Peneduh

(2.) Penyerap polusi udara


(a) terdiri dari pohon, perdu/semak;
(b) memiliki kegunaan untuk menyerap udara;
(c) jarak tanam rapat;
(d) bermassa daun padat.
Contoh jenis tanaman:
73

Angsana, Akasia daun besar, Oleander, Bogenvil, Teh-tehan pangkas

Gambar 2.68 Jalur Tanaman Tepi Penyerap Polusi Udara

(3.) Peredam kebisingan


(a) terdiri dari pohon, perdu/semak;
(b) membentuk massa;
(c) bermassa daun rapat;
(d) berbagai bentuk tajuk.
Contoh jenis tanaman:
74

Tanjung, Kiara payung, Teh-tehan pangkas, Kembang Sepatu, Bogenvil, Oleander

Gambar 2.69 Jalur Tanaman Tepi Penyerap Kebisingan

(4.) Pemecah angin


(a) tanaman tinggi, perdu/semak;
(b) bermassa daun padat;
(c) ditanam berbaris atau membentuk massa;
(d) jarak tanam rapat < 3 m.
Contoh jenis tanaman:

75

Cemara, Mahoni, Tanjung, Kiara Payung, Kembang sepatu

Gambar 2.70 Jalur Tanaman Tepi Pemecah Angin

(5.) Pembatas pandang


(a) tanaman tinggi, perdu/semak;
(b) bermassa daun padat;
(c) ditanam berbaris atau membentuk massa;
(d) jarak tanam rapat.

Contoh jenis tanaman:


76

Bambu , Cemara , Kembang sepatu , Oleander

Gambar 2.71 Jalur Tanaman Tepi Pembatas Pandang

c. Contoh Ruang Terbuka


Ada nya ruang terbuka di tengah tengah kota yang di penuhi oleh bangunan tinggi sangat di
butuhkan, seperti Central Park yang berada di Manhattan, New York. Taman ini menjadi paru paru
kota karena di bangun persis di tengah kota yang daerah sekitar nya berupa bangunan tinggi seperti
apartment, perkantoran, dll. Central Park menjadi taman yang paling banyak dikunjungi masyarakat
New York untuk bersantai dan menikmati segar nya area hijau di tengah hiruh pikuk nya kota New
York. Taman ini juga sering di jadikan sebagai tempat untuk acara acara besar di New York.
77

Gambar 2.72 Central Park di New


York

Ruang terbuka selain menjadi area publik masyarakat yang berupa taman, ada juga yang
menjadikan ruang terbuka tersebut sebagai ikon kota dengan memberikan sculpture di ruang
terbuka tersebut. Seperti Cloud Gate di Chicago, yang memiliki sculpture berbentuk bean sebagai
ikon taman tersebut yang juga menjadi ikon dari kota Chicago. Taman ini berfungsi menjadi ruang
terbuka untuk para masyarakat berkumpul, bermain dan bersantai di tengah kota Chicago. Atau
banyak pula turis yang sengaja berkunjung ke taman tersebut hanya untuk menikmati dan
mengabadikan momen yang menjadikan Cloud Gate tersebut sebagai ikon kota.
78

Gambar 2.73 Cloud Gate di Chicago

E. Area jalan bagi pejalan kaki (Pedestrian Ways)


Elemen pejalan kaki harus dibantu dengan hubungannya pada elemen elemen dasar desain tata kota dan
harus berkaitan dengan lingkungan kota dan pola pola aktivitas serta sesuai dengan rencana pembangunan
fisik kota. Masalah pokok dalam perencanaan jalan bagi pejalan kaki adalah pada kebutuhan akan
keseimbangan antara ketentuan bagi elemen pejalan kaki untuk menciptakan pusat kota yang nyaman dinikmati
serta pembagian dari akses akses pelayanan umum lainnya.

79

Gambar 2.74 Pedoman untuk


penyediaan fasilitas umum

Gambar 2.75 Contoh Skyway

Beberapa elemen street furniture menurut SNI :


1. Lampu Jalan
a. Jenis Lampu

80

Jenis
Lampu

Efisiensi
Rata Rata
(watt)

Umur Rencana Rata Rata


(jam)

Pengaruh
Daya (watt)

Terhadap

Keterangan

Objek

Untuk jalan kolektor,


local dan

Lampu gas
merkuri
tekanan

50 - 55

16.000 24.000

tinggi

125
250
400
700

Sedang

umur lampu pendek


Jenis lampu ini masih

(MBF/U)

dapat digunakan
secara terbatas
Untuk jalan kolektor

local
Tabel 2.2 Pencahayaan pada streetdanfurniture
- Efisiensi cukup tinggi
Sumber : Departemen Perhubungan,
1993
tetapi berumur

Lampu
tabung
flucrescent

persimpangan
Efisiensi rendah,

60 70

8.000 10.000

18 20
36 - 40

Sedang

pendek
Janis lampu ini masih

tekanan

dapat digunakan

rendah

untuk hal hal yang


terbatas
Untuk jalan kolektor,

local, persimpangan,
penyebrangan,
terowongan, tempat
peristirahatan
Efisiensi sangat

Lampu gas

tinggi, umur cukup

sodium
bertekanan

panjang, ukuran
100 - 200

8.000 10.000

90 - 180

Sangat buruk

lampu besar dan

rendah

cahaya lampu sangat

(SOX)

buruk karena warna


kuning
Jenis lampu ini

dianjurkan digunakan
karena faktor
efisiensinya sangat

tinggi
Untuk jalan tol,
arteri, kolektor,
persimpangan

81

b. Penempatan lampu
Penempatan lampu jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memberikan :
1) Keselamatan dan keamanan bagi pengguna jalan
2) Kemerataan pencahayaan yang sesuai dengan ketentuan
3) Pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan disbanding pada
bagian jalan yang lurus
4) Arah dan petunjuk yang jelas bagi pengguna jalan dan pejalan kaki

Jenis Jalan/Jembatan
Sistem Penempatan Lampu yang Digunakan
Jalan Arteri
Sistem menurus dan parsial
Jalan Kolektor
Sistem menerus dan parsial
Jalan Lokal
Sistem menerus dan parsial
Persimpangan
Sistem menerus
Jembatan
Sistem menerus
Tabel 2.3 Jenis jalan /jembatan
Terowongan
Sistem menerus bergradasi pada ujung ujung
Sumber : Departemen Perhubungan,
1993
terowongan

82

c. Penataan letak lampu

Tempat

Penataan Pengaturan Letak

Penataan/Pengaturan Letak
Jalan satu arah

Jalan dua arah

Di kiri atau kana jalan


Di kiri dan kanan jalan berselang seling
Di kiri dan kanan jalan berhadapan
Di bagian tengah/separator jalan
Di bagian tengah/median jalan
Kombinasi antara di kiri dan kanan
berhadapan dengan di bagian tengah/median

Persimpangan

jalan
Dapat dilakukan dengan menggunakan lampu
menara, umumnya ditempatkan dipulau pulai, di
median jalan, diluar daerah persimpangan.
Tabel 2.4 Penataan letak lampu
Sumber : Departemen Perhubungan, 1993

83

d. Perencanaan penempatan fasilitas penerang jalan

Uraian Tinggi Tiang Lampu


Lampu standar
Tinggi tiang rata rata yang digunakan

Besaran
10 15 m
13 m

Lampu Menara
Tinggi tiang rata rata yang digunakan

20 50 m
30 m

Jarak Interval tiang lampu


Jalan Arteri
Jalan Kolektor
Jalan Lokal
Minimum jarak interval tiang
Jarak tiang lampu ke tepi perkerasan
Jarak dari tepi perkerasan ke titik penerangan

3.0 H 3.5 H
3.5 H 4.0 H
5.0 H 6.0 H
30 m
Minimum 0.7 m
Minimum 1.2 m

terjauh
Sudut inklinasi

20 30o

Tabel 2.5 Penempatan fasilitas penerang jalan


Sumber : Departemen Perhubungan, 1993

e. Penataan lampu penerangan terhadap tanaman jalan


Dalam penempatan lampu penerang jalan harus mempertimbangkan tanaman jalan yang
akan ditanam maupun yang telah ada, sehingga perlu adanya pemangkasan pohon dengan
ketentuan sebagai berikut:

84

Garis Pemangkas pada Sudut Alfa di Bawah Cahaya

Tinggi Pemangkasan Pohon

Lampu
70o
75o
80o

H 0.36 D
H 0.26 D
H 0.17 D

Tabel 2.6 Penataan lampu terhadap tanaman


jalan

2. Fasilitas pemberhentian bus/angkutan Sumber


umum : Departemen Perhubungan, 1993
Halte adalah bagian dari perkerasan jalan yang digunakan untuk pemberhentian sementara bus,
angkutan penumpang umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Fungsi lainnya ialah
untuk meningkatkan disiplin lalu lintas. Kriteria peletakan pemberhentian bus/angkutan umum,
sebagai berikut :
a. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas kendaraan maupun pejalan kaki
b. Dekat dengan lahan yang mempunyai potensi besar untuk pemakaian angkutan umum
c. Mempunyai eksesibilitas yang tinggi terhadap pejalan kaki
d. Jarak satu pemberhentian dengan pemberhentian bus lainnya pada suatu ruas jalan
minimal 300 m dan tidak lebih dari 700 m
e. Jarak dari tepi perkerasan pada kaki simpang ke ujung awal teluk bus, sesuai arah lalu
lintas adalah 50 m
f. Jarak dari tepi perkerasan pada kaki simpang ke ujung rambu stop, sesuai arah lalu lintas
adalah 50 m
g. Lokasi penempatan pemberhentian bus disesuaikan dengan kebutuhan

85

Gambar 2.76 Penempatan Teluk Bus Di Dekat


Persimpangan

86

F. Penandaan (signage)
Penandaan disini yang dimaksud adalah berupa penunjuk jalan, media iklan, rambu-rambu, dan berbagai jenis
penandaan lainnya. Keberadaan penandaan ini sangat berbengaruh terhadap visualisasi suatu kota, baik secara
makro maupun mikro. Pengaturan pemunculan dan lokasi pemasangan papan-papan penunjuk sebaiknya tidak
memunculkan sisi negatif dan tidak mengganggu rambu-rambu lalu lintas.
Adapun jenis-jenis signage dapat dibedakan menjadi:
a. identitas
b.
c.
d.
e.

: Penandaan yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan pada suatu lingkungan


tertentu.
nama bangunan : Dipakai sebagai sebuah nama bangunan yang biasanya dilengkapi dengan
petunjuk jenis kegiatan didalamnya.
petunjuk sirkulasi : Biasanya berupa rambu-rambu lalu lintas yang berfungsi mengatur dan mengarah
para pengendara kendaraan maupun pejalan kaki di dalam sirkulasi.
komersial
: Penandaan berupa papan reklame dan iklan
informasi
: Berfungsi untuk menginformasikan suatu kegiatan di suatu lokasi.

1) Papan Iklan
Keberadaan papan iklan haruslah tetap menjaga visual dari suatu kawasan perkotaan. Dan dalam
pemasangannya harus mematuhi pedoman sebagai berikut:
a) Penggunaan papan iklan haruslah merefleksikan karakter kawasan tersebut.
b) Jarak dan ukuran harus diatur sedemikian rupa sehingga menjamin jarak visual dan menghindari
kesemrawutan.
c) Penggunaan dan keberadaannya harus harmonis dengan bangunan arsitektur disekitarnya.
d) Pembatasan penggunaan lampu hias kecuali penggunaan dalam theater dan tempat pertunjukan.
e) Pembatasaan papan iklan yang berukuran besar yang mendominasi visual kota.

87

2) Rambu

Gambar 2.77 Ilustrasi Macam-Macam Rambu

Rambu-rambu,
pemasangannya juga
dari pemerintah. Rambu
mengatur, memberi
petunjuk lalu lintas. Dalam
diperhatikan beberapa hal

didalam
mempunyai ketentuan
merupakan alat untuk
peringatan, dan
mengatur rambu harus
berikut:

a) Memenuhi kebutuhan
88

b) Menarik perhatian dan mendapan respek pengguna jalan


c) Memberi pesan yang sederhana dan mudah dimengerti
d) Memberi waktu yang cukup bagi pengendara untuk merespon pesan
Dalam penempatan rambu diperlukan ketentuan khusus dengan meninjau dari beberapa aspek
agar dipergunakan secara efektif. Adapun penempatan rambu adalah sebagai berikut:

a) Rambu disebelah kiri


Rambu ditempatkan disebelah kiri menurut arah lalu lintas, diluar jarak tertentu dan
tepi paling luar bahu jalan atau jalur lalu lintas kendaraan dan tidak merintangi lalu lintas
kendaraan atau pejalan kaki.
Jarak penempatan antara rambu yang terdekat dengan bagian paling tepi luar bahu jalan
atau jalur lalu lintas minimal 0,6 meter.
Penempatan Rambu haruslah jelas dan mudah terlihat oleh pengguna jalan.

Gambar 2.78 Ketentuan Peletakan


Rambu di sebelah kiri

b) Rambu

disebelah kanan
89

Dalam keadaan tertentu dengan mempertimbangkan


lokasi, dan kondisi lalu lintas, rambu dapat ditempatkan di
kanan jalan atau diatas daerah manfaaat jalan.
Penempatan rambu di kanan jalan atau di daerah
manfaat jalan harus mempertimbangkan faktor-faktor antara
lain geografis, geometris jalan, kondisi lalu lintas, dan jarak
pandang.
Rambu yang dipasang di pemisah jalan (median)
ditempatkan pada minimal 0,3 meter dari bagian paling luar
pemisah jalan.

Gambar 2.79 Ketentuan peletakan


rambu di sebelah kanan.

Dalam menentukan ketinggian rambu, juga memiliki


ketentuan khusus. Untuk rambu yang berada ditepi jalan
ketinggian rambu berkisar antara 175-300 cm. Sedangkan
untuk rambu yang berada diatas daerah manfaat jalan,
rambu dipasang dengan ketinggian minimal 5meter dari
permukaan jalan. Hal ini untuk menghindari benturan rambu dengan kendaraan tinggi.
Rambu papan nama jalan digunakan untuk memberitahukan nama jalan. Papan nama
jalan ditempatkan disisi ruas jalan. Untuk menyatakan nama jalan di daerah persimpangan T,
papan nama jalan ditempatkan di seberang jalan menghadap arah lalu lintas datang.

90

Gambar 2.80 Ilustrasi Ketentuan


Ketinggian Rambu

3) Alat pemberi isyarat lalu lintas


Alat pemberi isyarat lalu lintas

dapat berupa:

a) Lampu 3 warna, untuk mengatur kendaraan


- Terdiri dari merah, kuning, hijau
- Dapat dipasang vertikal maupun horisontal
- Apabila dipasang vertikal, urutan dari atas ke bawah yaitu merah, kuning, dan hijau
menurut arah datangnya lalu lintas.

91

Apabila dipasang horisontal, urutan dari kiri ke kanan yaitu merah, kuning, dan hijau

menurut arah datangnya lalu lintas.


Lampu tiga warna dapat dilengkapi dengan lampu warna merah dan/atau hijau yang

memancarkan cahaya berupa tnda panah.


b) Lampu 2 warna, untuk mengatur kendaraan dan/atau pejalan kaki
- Terdiri dari merah dan hijau
- Dapat dipasang vertikal maupun horisontal
- Apabila dipasang vertikal, urutan dari atas ke bawah yaitu merah, hijau menurut arah
-

datangnya lalu lintas.


Apabila dipasang horisontal, urutan dari kiri ke kanan yaitu merah, hijau menurut arah

datangnya lalu lintas.


c) Lampu 1 Warna, untuk memberi peringatan bahaya pada pengguna jalan.
- Lampu dapat berwarna merah ataupun kuning
- Dapat dipasang vertikal maupun horisontal

G. Aktivitas Pendukung Dalam Perancangan Kota


a) Pengertian
Pendukung (support) atau penyokong adalah yang mendukung atau menyokong sesuatu. Kegiatan
(activity) atau aktifitas secara mendasar mengarah kepada sesuatu pergerakan. Pendukung kegiatan
(activity support) berarti potensi/elemen yang mendukung kegiatan sesuatu.
92

Dalam hubungannya dengan perancangan kota, pendukung kegiatan berarti suatu elemen kota yang
mendukung dua atau lebih pusat kegiatan umum yang berada dikawasan pusat kota yang mempunyai
konsentrasi pelayanan yang cukup besar ( Hamid Shirvani, 1985:37) Antara pusat kegiatan umum yang
satu dengan pusat kegiatan yang lain mempunyai keterkaitan penting, sehingga timbul elemen kota yang
disebut : Pendukung Kegiatan atau Activity Support .
b) Tinjauan historis
Kota selain memiliki kenyamanan, juga harus indah dipandang. Elemen-elemen yang ada tidak
hanya harus berfungsi tetapi juga harus menampakkan keindahannya. Apabila elemen-elemen digabung
semuanya harus menghasilkan suatu komposisi yang memuaskan. Kota adalah arsitektur, yaitu obyek
hasil karya fisik dan hasil karya manusia. Sebagai produk manusia kota adalah hasil cipta kultural dan
hasil cipta sosial. Sebagai hasil cipta kultural kota merupakan realitas hasil transformasi alam dan
cerminan cara manusia menghadapi realitas itu. Sebagai hasil cipta sosial, kota adalah tempat segala
dimensi kehidupan manusia.
Kota selain memiliki kenyamanan, juga harus indah dipandang. Elemen-elemen yang ada tidak
hanya harus berfungsi tetapi juga harus menampakkan keindahannya. Apabila elemen elemen digabung
semuanya harus menghasilkan suatu komposisi yang memuaskan. Kota adalah arsitektur, yaitu obyek
hasil karya fisik dan hasil karya manusia. Sebagai produk manusia kota adalah hasil cipta kultural dan
hasil cipta sosial. Sebagai hasil cipta kultural kota merupakan realitas hasil transformasi alam dan
cerminan cara manusia menghadapi realitas itu. Sebagai hasil cipta sosial, kota adalah tempat segala
dimensi kehidupan manusia.

93

Dengan demikian berkembangnya suatu kota juga bersamaan dengan berkembangnya tuntutan
masyarakat sebagai pelaku kegiatan. Dan ini berarti secara fisik dan fungsional, intensitas dan kualitas
kegiatan selalu berubah. Dengan melihat kenyataan diatas bahwa kota selalu tumbuh dan berkembang,
gejala yang ditimbulkannya bersifat menyeluruh dan alamiah dan mulai berkembang dari pusat kota
kedaerah pinggiran kota, dimana faktor yang mempengaruhinya adalah perkembangan penduduk dan
pola sosial ekonomi (jasa dan perdagangan). Fenomena diatas menunjukkan bahwa intensitas kegiatan
dipusat kota dengan keragaman yang tinggi tidak ditata dengan baik akan menimbulkan masalah dan
konflik kepentingan, apakah kepentingan pribadi atau kepentingan umum.
Dengan demikian diperlukan alat pengendali yang memadai hingga mampu mereduksi konflik
kepentigan para pengguna ruang fisik kota. Apabila tidak dilengkapi alat pengendali maka ada
kemungkinan terjadi penurunan kualitas fisik dan fungsional. Pada dasarnya perangkat kendali ini untuk
menyatukan dan mengkoordinasikan setiap fungsi-fungsi kegiatan yang beragam, sehingga setiap fisik
ruang kota dapat terkoordinasikan dan terintegrasika dalam satu kesatuan yang menerus.
Didalam kegiatan perancangan kota, perangkat kendali tersebut merupakan salah satu elemen kota
yang disebut Pendukung Kegiatan (Activity Support) yang diharapkan dapat sebagai elemen
penyatu yang mampu mendukung dan menghidupkan setiap fungsi kegiatan yang ada ( Hamid
Shirvani, 1985).
c) Definisi pendukung kegiatan
Pendukung kegiatan (activity support) adalah meliputi seluruh pengguanaan dan aktifitas yang
membantu memperkuat ruang-ruang umum kota, karena aktifitas dan fisik ruang selalu saling
94

melengkapi satu sama lain. Bentuk, lokasi, dan karakteristik suatu areal tertentu akan menarik fungsi,
penggunaan dan aktifitas spesifik (Hamid Shirvani, 1985) Pendukung kegiatan tidak hanya meliputi
penyediaan plasa dan jalan pejalan kaki saja, namun huga mempertimbangkan elemen penggunaan ruang
dan fungsional dari kota yang membangkitakan aktifitas. Hal ini meliputi mall 3 yang menghubungkan
minimal 2 simpul aktifitas yang berbeda. Sasaranya adalah aktifitas utama ditempat yang fungsional
mencampurkan dengan penggunaan yang saling melengkapi, menghubungkan satu sama lain dengan
sistim perubahan/pergerakan pejalan kaki yang aman, dibuat yang menarik untuk kebutuhan pejalan kaki.
Pola-pola aktifitas pada kota-kota yang lebih luas terjadi sebagai serangkaian poros sumbu,
dengan memperhatikan tingkat kemampuan berjalan dari duatu tempat ketempat lain. Satu patokan untuk
fungsi yang efektif adalah poros-poros tersebut merupakan hubungan dari areal yang berbeda baik lama
maupun baru., dengan memberikan tingkat pencampuran yang bervariasi dengan fasilitas-fasilitas yang
saling melengkapi. Type penggunaan bermacam-macam

akan meningkatkankeanekaragaman dan

intensitas penggunaan(Speiregen 1965:80).


d) Bentuk pendukung kegiatan
Adapun bentuk dari pendukung kegiatan yaitu kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau
lebih pusat-pusat kegiatan umum yang ada dikota, antara lain berupa ruangterbuka atau bangunan yang
diperuntukan bagi kepentingan umum Ruang terbuka, bentuk fisiknya dapat berupa taman rekresasi,
taman kota, plaza-plaza, taman budaya, kawasan pedagang kaki lima, jalur pedestrian, kumpulan
pedagang penjual barang-barang seni lainnya.

95

Sedangkan, bentuk bangunan/ruang tertutup adalah seperti kelompok pertokoan eceran(grosir), pusat
pemerintahan, pusat jasa dan kantor department store, dan lainnya. Dari uraian diatas, terlihat bahwa
pendukung kegiatan dapat merupakan ruang bebas untuk manusia, sebagaimana jalan sebagai ruang yang
bebas untuk mobil, hanya disini diperlukan untuk istirahat, misalnya tempat duduk, fasilitas untuk
berteduh dan lainnya. Hal ini akan memberikan kesan visual tersendiri sebagai identitas kawasan
tersebut.
e) Fungsi pendukung kegiatan
Fungsi utama dari pendukung kegiatan dalah menghubungkan dua atau lebih pusat-pusat kegiatan
umum dan menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup, menerus,dan damai.
Disamping itu untuk memperkuat ruang-ruang umum kota saling melengkapi satu sama lainnya (Hamid
Shirvani, 1985).

96

f.

Kriteria desain pendukung kegiatan


Untuk menghadirkan ciri dari lingkungan kota yang ada hendaknya kriteria desain dari bentuk dan
fungsi pendukung kegiatan ini juga melihat aspek konstektual dan serasi dengan lingkungannya.
Disamping itu juga perlu menghadirkan identitas /ciri khas melalui pemahanan tentang kultur dan pola
kehidupan sosial yang memiliki makna dan arti kontekstual. Jiwa dan karakteristik suatu tempat perlu
dipertahankan sebagai identitas suatu lingkungan. Beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan dan
diperhatikan didalam perancangan Pendukung Kegiatan adalah sebagai berikut:
1. Untuk terciptanya dialog yang menerus dan memiliki karakter lokal dalam menarik para
pemakai / pengunjung, perlu adanya keragaman dan intensitas kegiatan yang dihadirkan
dalam ruang tersebut.
2. Untuk menggerakkan dan memberikan dan memberikan kehidupan yang lebih ramai di
dalam kegiatan utama kota, perlu adanya koordinasi antar kegiatan dengan lingkungan
sekitar.
3. Memperhatikan kultur dan pola kehidupan sosial kota.
4. Memperhatikan jarak antar pusat kegiatan dengan skala pejalan kaki.

g.

Penerapan desain pendukung kegiatan

97

Keberadaan pendukung kegiatan adalah membuat suatu tempat mempunyai kegiatan yang beragam
yang berkesinambungan antara tempat yang satu dengan yang lainnya sebagai serangkaian poros sumbu
pergerakan. Pergerakan kegiatan yang terjadi disini timbul kare karena adanya interaksi manusia dengan
lingkungan.
Sebagai contoh penerapan pendukung aktifitas yang berhasil adalah di Malioboro, Yogyakarta.
Perangcangan ruang arcade yang ada di jalan Malioboro dengan bentuk menerus, dengan di dalamnya
terdapat kegiatan pedagang kaki lima yang menjual barang-barang cinderamata, makanan dan minuman,
kerajinan kulit dan pakaian jadi.
Di samping itu, sebagian tempat untuk pejalan kaki baik dengan tujuan jalan kaki maupun belanja
dan rekreasi serta di ruang terbuka sepanjang kawasan pedestrian untuk kegiatan pedagang kaki lima
dengan memakai kereta dorong menjual makanan dan minuman.

H. Preservasi (Preservation)
Preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban place, Preservasi harus
diarahkan untuk mempertahankan kegiatan yang berlangsung di tempat itu. Preservasi dalam perancangan kota
adalah perlindungan terhadap lingkungan tempat tinggal (permukiman) dan urban places (alun-alun, plasa, area
perbelanjaan) yang ada dan mempunyai ciri khas, seperti halnya perlindungan terhadap bangunan bersejarah
(Shirvani, 1985). Manfaat dari adanya preservasi antara lain:
a.Peningkatan nilai lahan.
b.
Peningkatan nilai lingkungan.
98

c.Menghindarkan dari pengalihan bentuk dan fungsi karena aspek komersial.


d.
Menjaga identitas kawasan perkotaan.
e.Peningkatan pendapatan dari pajak dan retribusi.
Penekanan / perhatian terhadap historical preservation juga memberi berbagai keuntungan bagi
sekitarnya, yaitu keuntungan secara kultur, ekonomi, sosial dan dalam hal perencanaan. (California, 1976).
Dalam hal ini, baik menurut teori pertama maupun kedua, memiliki kemiripan dalam objek dan variasi
keuntungan yang didapatkan, apabila suatu kota tetap melakukan preservasi pada bangunannya. Dalam hal ini
bangunan bersejarah.
Namun terdapat beberapa perbedaan dalam pembahasan teori pertama dan teori kedua. Pada teori
pertama, (Shirvani, 1985) menitikberatkan kepada lingkungan tempat tinggal, dan urban places, seoerti
penjelasannya yaitu alun - alun, area perbelanjaan dan sebagainya. Teori ini lebih mengarah kepada
perlindungan (preservation) kegiatan yang terjadi pada lingkungan dari kawasan tersebut. Selain tak lepas
dari perlindungan terhadap fisik bangunan nya pula. Sementara pada teori kedua (California, 1976) lebih
menitikberatkan kepada hasil apa saja yang bisa didapat apabila melakukan perlindungan (Preservation).
Seperti keuntungan dari kultural yang tetap terjaga dari tahun ke tahun, nilai ekonomikal kawasan meningkat
dengan situs - situs bangunan yang masih terjaga, aspek sosial yang juga dapat mengedukasi mengenai
perilaku yang terjadi pada kawasan tersebut pada pihak lain, serta aspek perencanaan yang lebih matang
dengan masih terjaganya planning dari masa sebelumnya.
2.2.4

Aspek Manusia Dalam Perancangan Kota

99

Di dalam perencanaan kota komprehensif, perancangan kota memiliki suatu makna yang khusus, yang membedakannya
dari berbagai aspek proses perencanaan kota. Perancangan kota berkaitan dengan tanggapan inderawi manusia terhadap
lingkungan fisik kota: penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasial.
Perancangan kota merupakan bagian dari proses perencanaan yang berkaitan dengan kualitas fisik lingkungan. Keberadaan
perancangan kota sama lamanya dengan keberadaan manusia di muka bumi.Apa yang selalu berubah setiap waktu merupakan
konteks dan tujuan dari urban design. Seperti apa yang dimaksud oleh Gallion dan Eisner adalah suatu laboratorium tempat
pencarian kebebasan dilaksanakan dan percobaanpercobaan diuji mengenai bentukanbentukan fisik. Bentukan-bentukan fisik
kota adalah perwujudan kehidupan manusia : polanya dijalin dengan pikiran dan tangan yang dibimbing oleh suatu tujuan.
Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan yang juga mengemukakan lambang-lambang pola-pola ekonomi, sosial, politis dan
spiritual serta peradaban masyarakatnya. Kota adalah tempat mengaduk kekuatan-kekuatan budaya dan rancangan kota
merupakan ekspresinya.
2.2.4.2

Keterlibatan Masyarakat.
Menurut Johara (1999) dalam perancangan kota, masyarakat disebut sebgai konsumen pasif. Hal ini dikarenakan

masyarakat dianggap kurang berperan dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaan. Di Indonesia sendiri,
keterlibaan masyarakat masih sering diabaikan, pdahal ini penting untuk menumbuhkan jati diri. Beberapa kelemahan
dalam proses perencanaan, implementasi dan pengelolaan pembangunan dan lingkungan hidup di Indonesia, yaitu
1.
2.
3.
4.

Perencanaan selalu berorientasi pada pencapaian tujuan ideal yang berjangka panjang.
Produk akhir berupa rencana tata ruang yang baik tidak selalu menghasilkan penataan ruang yang baik
Perencanaan tata ruang terlalu ditekankan pada aspek fisik dan visual.
Keterpaduan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan selama ini terkesan sebagai slogan ,

5.

belum terlibat dalam kenyataan.


Peran masyarakat dalam proses perencaaan tata ruang dan lingkungan hidup masih sangat terbatas.
100

6.
7.

Proses penyusunan rencana tata ruang biasanya tidak mengikuti aturan atau stuktur yang ada.
Para penentu kebijakan kurang peka terhadap warisan peninggalan kuno yang hakekatnya tidak bisa dipisahkan

8.

dari sejarah kota.


Penekanan perencanaan kota dan daerah cenderung lebih berat pada aspek lingkungan binaan dan kurang
memperhatikan aspek lingkungan alami.

2.2.4.3 Oknum yang Mengubah Rencana Kota


1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan menjadi perencanaan sosial.
Dengan perubahan pola pikir dan kondisi masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap
penggunaan lahan akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan
masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang Advocacy Planning dirasa lebih
mahal. Namun lebih mahal lagi perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang tanpa
perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan pula pada pembahasan oleh anggota DPRD. Dalam
hal ini konsultan memberikan masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan rencana
sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.
2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down merupakan sumber korupsi dan
kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat. Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak terakomodasikan di
dalam ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti:
Kepala Kelurahan / Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap perencanaan
makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.

101

3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning. Comprehensive Planning sebagai
perencanaan makro untuk jangka panjang bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan
dinamika masyarakat yang begitu besar) dirasa kurang sesuai. Akibatnya perencanaan tersebut
tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik
disengaja maupun tidak. Perencanaan sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang
benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak.
4. Peran serta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan di dalam
proses penyusunan tata ruang kota. Komisi Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika
Serikat) kiranya perlu diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa permasalahan perkotaan
merupakan permasalahan yang sangat komplek, tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi
menyangkut pula aspek-aspek: ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.
5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan ruang khususnya di perkotaan
menjadi lebih berorientasi pada kepentingan dan perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan
bagi hasil yang oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan Eko
Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land Sharing, dan Land Readjustment perlu
ditingkatkan.
6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan men-jadi Peraturan
Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan programprogram kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan Bappeda.

2.3 Prinsip Kawasan


102

2.3.1 Prinsip kawasan pada koridor jalan pengamatan

Jalan Raya Tlogomas


Kelurahan

Tlogomas

Kecamatan

Lowokwaru

Kota Malang, Jawa Timur

Gambar 2.81 Foto Jalan Tlogomas

103

Kawasan yang kami amati berada di sepanjang koridor Jalan Tlogomas, Malang. Hasil pengamatan ini akan masuk ke dalam
tugas selanjutnya (tugas 2).
Berdasarkan data dari fakta analisa mahasiswa mata kuliah Studio Perancangan Kota (SPK) PWK FT-UB tahun 2009,
penggunaan lahan di sekitar didominasi oleh sarana-sarana permukiman. Sarana-sarana permukiman yang ada di jalan utama
berupa sarana perdagangan, jasa, pendidikan, dan perkantoran. Sarana perdagangan yang ada berkembang dengan pesat, hal ini
secara tidak langsung menyebabkan adanya pola pergerakan untuk melakukan kegiatan berbelanja. Sehingga, di koridor Jalan
Tlogomas ini didominasi oleh aktivitas dan sarana perdagangan.
2.3.2 Prinsip Kawasan Perdagangan
Aktivitas perdagangan adalah bagian yang tak lepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Dalam keterkaitannya dengan
wajah perkotaan, aktivitas tersebut melahirkan suatu wadah fisik yang terus menyebar membentuk karakter tersendiri
sekaligus memegang peranan penting dalam perkembangan ekonomi dan sosial masyarakatnya, yaitu kawasan perdagangan.

104

BAB III
PENUTUP
Kota merupakan sebuah area urban yang merupakan pusat pemukiman. Kota menciptakan suatu hasil dari proses kehidupan masyarakat,
serta wadah yang di dalamnya terkait manusia yang menjalankan kehidupannya. Sebuah kota harus ditata dengan sebaiknya karena
perkembangan dan pertumbuhan kota didasari oleh perkembangan penduduk, mulai dari sejarah, tujuan, fungsi, dan sebgainya. Semakin besar
sebuah kota, maka semakin besar juga masalah yang dihadapi oleh kota tersebut. Mulai dari permasalahan individual, kependudukan,
lingkungan, sampai masalah iklim.
Dengan adanya teori-teori dan undang-undang tentang perancangan kota (desain urban), diharapkan dapat mewujudkan sebuah kota yang
nyaman dan sesuai dengan kriteria penduduknya itu sendiri. Akan tetapi, fenomena yang terjadi di berbagai kota sendiri pun belum bisa
terselesaikan dengan adanya teori dan perundang-undangan yang dicetuskan. Tidak semua kota dapat mengaplikasikan teori dan perundangundangan tersebut karena setiap penduduk kota tersebut pasti mempunyai kriteria masing-masing, tergantung dari keadaan geografis, sosial,
dan budaya.
Oleh karena itu, pemerintah juga harus turut serta memfasilitasi perkembangan pada suatu kota tergantung dari keadaan geografis, sosial,
dan budaya dari penduduknya itu sendiri.

105

DAFTAR PUSTAKA

Adiasmita, R. 2010. Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkotan Kota. 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir. Jakarta: Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat.
Mirsa, Rinaldi. 2011. Elemen Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Graha Ilmu
Shirvani, Hamid. 1985. The Urban Design Process. New York: Van Nostrand, Reinhold.
Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari. 2000. Klasifikasi Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
https://syahriartato.wordpress.com/2009/12/28/tata-guna-lahan-sistem-transportasi-sebagai-subsistem-dalam-perencanaan-pembangunanyang-berkelanjutan/ (diakses tanggal 4 April 2016)
furuhitho.staff.gunadarma.ac.id/
veronika.staff.gunadarma.ac.id/

106

Anda mungkin juga menyukai