Anda di halaman 1dari 4

Belajar Kearifan Lokal di Baduy

Kompas.com - 15/12/2014, 20:38 WIB

BERKUNJUNG ke permukiman suku Baduy Dalam di Desa Kanekes, Kecamatan


Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, wisatawan tak melulu menikmati indahnya
panorama. Perjalanan itu juga menimbulkan kesadaran, betapa manusia modern perlu belajar
lagi tentang keluhuran nilai-nilai adat yang kian ditinggalkan.

Deru napas kami nyaring terdengar saat menyusuri lembah dan bukit. Letih yang mendera
sedikit terobati oleh pemandangan menawan. Di puncak bukit tampak ladang, hutan, dan
jalan setapak berkelok-kelok. Beberapa jembatan bambu menjadi obyek lain yang membuat
kami terpukau.

Jembatan-jembatan itu bergoyang-goyang, namun tetap kuat dilewati puluhan wisatawan.


Beberapa wisatawan perempuan menjerit dan tertawa saat melewati jembatan dengan panjang
hingga 50 meter. Tak pelak lagi, jembatan bambu itu menjadi sasaran kami berfoto-foto dan
selfie.

”Perjalanan penuh perjuangan, tapi pemandangannya sungguh menakjubkan. Banyak pohon


rindang. Sungai pun jernih,” tutur Astuti (34), wisatawan dari Jakarta.

Sore di akhir November 2014 itu, kami yang tergabung dalam rombongan Teropong
Adventure dengan anggota 19 orang memulai perjalanan. Sapaan warga sudah menghampiri
kami sejak tiba di Terminal Ciboleger, perhentian kendaraan terakhir sebelum berjalan kaki
dengan tujuan akhir Baduy Dalam.

Riuh rendah anak-anak menyambut wisatawan, menawarkan tongkat kayu. Tongkat


sepanjang 1,5 meter dengan harga hanya Rp 3.000 itu cukup berguna, terutama pada musim
hujan seperti saat ini.
Jalur menuju Baduy Dalam memang tergolong berat, terutama saat musim hujan. Jarak
sekitar 10 kilometer ditempuh dalam lima jam. Kami tiba di salah satu kampung yang dihuni
suku Baduy Dalam, yakni Cibeo, sekitar pukul 20.30.

Warga menerima kami dengan ramah. Di rumah tempat bermalam, rombongan disambut
makan malam yang hangat. Kelelahan dan kelaparan sudah tentu membuat kami menyantap
hidangan dengan lahap.

Warga suku Baduy Luar di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, menenun kain
sarung.(KOMPAS/RIZA FATHONI)

Udara dingin dan perut kenyang membuat kami cepat-cepat membuka kantong tidur. Kami
pun terlelap. Warga Baduy Dalam umumnya tak terjaga hingga larut malam. Sekitar pukul
22.00, kampung itu sudah senyap. Namun, mereka bangun jauh sebelum matahari terbit.
Sekitar pukul 04.00, warga sudah memasak, pergi ke ladang, dan menumbuk padi.

Aldi (24), salah seorang warga, berkisah tentang kehidupan sehari-hari Baduy Dalam. Warga
tabu menggunakan bahan kimia yang berpotensi mencemari lingkungan. Jika mandi,
misalnya, mereka tidak boleh memakai sabun. ”Kami pakai dedaunan dari pohon tertentu,
digosok di batu, dan diusapkan di badan. Gosok gigi pakai sabut kelapa,” ujarnya.

Demikian pula pengelolaan sawah tidak menggunakan pupuk kimia. ”Kami pakai daun
mengkudu yang ditumbuk dan disebar sebagai pupuk. Bisa juga pakai kulit jeruk atau kotoran
ayam,” kata Aldi. Warga juga dilarang menggunakan sarana transportasi apa pun. Mereka
berjalan kaki ke mana-mana.

Aldi sudah 12 kali ke Jakarta. Semua perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Padahal,
perjalanan dari Baduy Dalam ke Jakarta membutuhkan waktu hingga tiga hari. ”Saya pernah
ke salah satu kantor stasiun televisi. Lalu, kami ke Monas (Monumen Nasional). Tim stasiun
televisi naik mobil, saya jalan kaki,” kata Aldi tertawa.

Pantangan menggunakan peralatan elektronik membuat permukiman Baduy Dalam terasa


hening. Kampung lain yang dihuni Baduy Dalam adalah Cikeusik dan Cikartawana.
Semua warga Baduy Dalam pun mengenakan ikat kepala. ”Warnanya putih. Itu semacam
tanda kesucian. Kalau sudah dewasa, ikat kepala harus dipakai. Saat mandi dan tidur saja
dilepas,” ujar Sangsang (32), warga Baduy Dalam.

Sangsang menambahkan, warga Baduy Dalam tidak menjual beras yang mereka panen. Beras
disimpan di lumbung padi (leuit) untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri.
Strategi ketahanan pangan membuat Baduy Dalam selalu terhindar dari kelaparan.

Singgah di Baduy Dalam mengingatkan kami akan kearifan lokal yang diterapkan dalam
keseharian nenek moyang berabad-abad. Baduy Dalam tetap terbebas dari polusi asap
knalpot, kontaminasi bahan kimia, dan krisis pangan.

Rasanya belum puas berbincang-bincang dan mengamati kebajikan Baduy Dalam saat hari
beranjak siang. Kami harus berkemas-kemas. Selain pengetahuan baru, kami tentu membawa
buah tangan saat pulang. Beberapa warga mendatangi rumah tempat kami menginap.

Deretan bangunan lumbung padi (leuit) milik warga Baduy, Kabupaten Lebak, Banten. Warga Baduy
menyimpan gabah hasil panen padi huma di dalam lumbung untuk persediaan karena mereka menabukan jual-
beli beras atau gabah.(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Di teras bambu, mereka menjajakan tiga keranjang penuh kerajinan. Gantungan kunci,
misalnya, dijual seharga Rp 5.000, kain tenun berukuran panjang 150 sentimeter dan lebar 20
sentimeter seharga Rp 50.000, dan tas anyaman serat kulit kayu seharga Rp 20.000. Selain
itu, dijual pula madu yang diambil dari hutan sekitar.

Harga madu Rp 35.000 dalam botol dengan isi sekitar 350 mililiter. Setelah membeli oleh-
oleh, kami kembali menyusuri hutan rimbun.

Setelah berjalan kaki empat jam, kami tiba di Terminal Ciboleger untuk naik minibus.
Ciboleger berjarak sekitar 40 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Lebak. Waktu tempuh
dari Ciboleger ke Rangkasbitung sekitar dua jam. Sementara jarak Ciboleger dari Jakarta
sekitar 130 kilometer dengan waktu tempuh empat jam. Pilihan lain adalah kereta api dari
Stasiun Tanah Abang, Jakarta, ke Rangkasbitung, dilanjutkan dengan angkutan umum ke
Ciboleger. (Dwi Bayu Radius)
Sumber:
http://travel.kompas.com/read/2014/12/15/203837727/Belajar.Kearifan.Lokal.di.Baduy

Nama Kelompok

1. Faradisa
2. Lisa Febriani

Anda mungkin juga menyukai