Anda di halaman 1dari 15

MENGENAL KAMPUNG ADAT CIKONDANG

(Analisis Tujuh Unsur Kebudayaan)


Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur / Kelompok
Mata Kuliah Sejarah Sastra dan Budaya Sunda
Dosen:
Dr. Usman Supendi, M. Pd.

Oleh:
Kelompok 11
Abdul Baits
Billy Muhammad Rodi Billah

(1145010002)
(1145010025)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVESITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wataala
karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat dapat menyusun makalah
ini. Tidak lupa shalawat beserta salam tetap tercurah kepada nabi besar kita Nabi
Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur / kelompok pada
mata kuliah Sejarah Sastra dan Budaya Sunda. Dalam makalah ini kami
membahas mengenai salah satu topik inti dari mata kuliah Sejarah Sastra dan
Budaya Sunda yang berjudul Mengenal Kampung Adat Cikondang.
Kami sadari bahwa makalah ini masih banyak keselahan, kekurangan, dan
ketidaksempuranaan baik dari isi, bahasa, dan hal-hal lain yang bersangkutan
dengan penulisan ataupun dari pembahasan. Apabila pembaca menemukan
kesalahan atau kekurangan, mohon dimaklumi, karena kesempurnaan itu hanya
dimiliki oleh Allah. Saran, kritik serta perbaikan senantiasa kami terima dengan
senang hati.
Kami ucapkan terima kasih
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Mengenal Kampung Adat Cikondang |

DAFTAR ISI

MENGENAL KAMPUNG ADAT CIKONDANG..................................................1


KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................2
1.1
1.2
1.3

Latar Belakang...........................................................................................2
Rumusan Masalah......................................................................................2
Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4
2.1
2.2
2.3
2.4

Letak Administratif Kampung Adat Cikondang........................................4


Asal-usul Kampung Adat Cikondang........................................................4
Asal usul Bumi Adat Cikondang............................................................6
Kebudayaan Kampung adat Cikondang...................................................11

2.4.1
2.4.2
2.4.3
2.4.4
2.4.5
2.4.6

Sistem Kepercayaan.........................................................................11
Sistem Mata Pencaharian..................................................................11
Bahasa...............................................................................................11
Sistem Pengetahuan/Pendidikan.......................................................12
Kesenian...........................................................................................12
Sistem Tekhnologi............................................................................12

BAB III PENUTUP................................................................................................13


3.1
3.2

Kesimpulan..............................................................................................13
Saran........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

Mengenal Kampung Adat Cikondang

|1

BAB I
PENDAHULUAN
a.1

Latar Belakang

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di


Indonesia dan program kerja bidang kurikulum MAN 1 Bandung tahun pelajaran
2006/2007 yang mengharuskan proses pembelajaran yang dilakukan selama ini
harus ada studi lapangannya.
Indonesia merupakan negara yang begitu banyak etnis, sehingga memiliki
keanekaragaman suku bangsa. Keanekaragaman ini merupakan anugerah yang
terindah yang harus dilestarikan sehingga keanekaragaman dan keindahan ini
tidak dikesampingkan oleh bangsa kita sendiri. Khususnya, diwilayah Jawa Barat
terdapat beberapa wilayah yang masyarakatnya masih berpegang teguh pada adatistiadat walaupun berada dalam kehidupan modern. Diantaranya Kampung
Cikondang, Kampung Kuta, Kampung Mahmud, Kampung Urug, Kampung
Dukuh, Kampung Naga, Kampung Pulo, dan Kampung Gede Kasepuhan
Ciptagelar.
Dalam masalah ini, penulis telah meneliti dan mempelajari adat istiadat di
wilayah Kampung Adat Cikondang Pangalengan Bandung. Keanekaragaman suku
bangsa memiliki nilai lebih bagi bangsa Indonesia itu sendiri, oleh karena itu
dengan mempelajari dan mengetahui berbagai suku bangsa di Indonesia
diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat serta
dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap sesama suku bangsa.

a.2

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Letak Administratif Kampung Adat Cikondang?


2. Bagaimana Asal usul Kampung Adat Cikondang?
3. Bagaimana Asal usul Bumi Adat Cikondang?

Mengenal Kampung Adat Cikondang

|2

a.3

Tujuan

1. Mengetahui Letak Administratif Kampung Adat Cikondang


2. Mengetahui Asal usul Kampung Adat Cikondang
3. Mengetahui Asal usul Bumi Adat Cikondang

Mengenal Kampung Adat Cikondang

|3

BAB II
PEMBAHASAN
b.1

Letak Administratif Kampung Adat Cikondang

Kampung Adat Cikondang secara administrasi terletak di dalam wilayah desa Lamajang
kecamatan Pangalengan kabupaten Bandung. Desa ini memiliki luas tanah sebesar 2.516,096
hektar yang diperuntukkan jalan sepanjang 2,5 kilometer, sawah dan ladang 1.325.028 hektar,
bangunan umum 9.000 hektar, empang 5.000 hektar, perumahan 438.060 hektar, jalur hijau
12.000 hektar, pekuburan 5.000 hektar; dan lain-lain seluas 516.000 hektar. Lokasi ini
terdapat di perbukitan Bandung selatan dengan memiliki ketinggian tanah dari permukaan
laut 6000 meter, banyaknya curah hujan 2.000 milimeter pertahun, tofografi yang tinggi, dan
suhu udara rata-rata 23oC. Dengan kondisi geografis demikian menyebabkan daerah ini
berhawa dingin dan lembab yang cocok untuk pertanian, hal ini terbukti dari peruntukkan
tanah di desa Lamajang, lahan tanah yang paling banyak dipakai adalah untuk keperluan
pertanian sawah dan ladang.
Letak desa Lamajang atau kampung Cikondang tidak jauh dari ibu kota provinsi Jawa
Barat, Bandung, sebab lokasi ini dapat dikatakan berada di pinggiran kota Bandung dengan
jarak sebagai berikut: dari ibu kota negara, Jakarta kurang lebih 212 kilometer, jarak dari
Ibu Kota Provinsi Daerah Tingkat I, Bandung kurang lebih 38 kilometer; jarak dari ibu kota
kabupaten Bandung Daerah Tingkat II kurang lebih 30 kilometer, sedangkan jarak dari pusat
kecamatan Pangalengan kurang lebih 11 kilometer.
b.2

Asal-usul Kampung Adat Cikondang

Menurut sejarahnya, di daerah ini terdapat seke (mata air) yang ditumbuhi pohon besar
yang dinamakan Kondang. Oleh karena itu selanjutnya tempat ini dinamakan Cikondang atau
kampung Cikondang. Nama itu perpaduan antara sumber air dan pohon Kondang. "Ci"
berasal dari kependekan kata "cai" artinya air (sumber air), sedangkan "kondang" adalah
nama pohon tersebut.
Untuk menyatakan kapan dan siapa yang mendirikan kampung Cikondang sangat sulit
untuk dipastikan. Namun, masyarakat meyakini bahwa karuhun (leluhur) mereka adalah salah
seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Mereka memanggilnya
dengan sebutan Uyut Pameget dan Uyut Istri yang diyakini membawa berkah dan dapat
ngauban (melindungi) anak cucunya.

Mengenal Kampung Adat Cikondang

|4

Bumi Adat diperkirakan telah berusia 200 tahun. Jadi, diperkirakan Uyut Pameget dan
Uyut Istri mendirikan pemukiman di kampung Cikondang kurang Iebih pada awal abad keXIX atau sekitar tahun 1800.
Pada awalnya bangunan di Cikondang ini merupakan pemukiman dengan pola arsitektur
tradisional seperti yang digunakan pada bangunan Bumi Adat. Konon tahun 1940-an terdapat
kurang lebih enam puluh rumah. Sekitar tahun 1942 terjadi kebakaran besar yang
menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat. Tidak diketahui apa yang menjadi
penyebab kebakaran itu. Namun ada dugaan bahwa kampung Cikondang dulunya dijadikan
persembunyian atau markas para pejuang yang berusaha membebaskan diri dari cengkeraman
Belanda. Kemungkinan tempat itu diketahui Belanda dan dibumihanguskan.
Bumi adat harus tetap dijaga kelestariannya sampai kapanpun. Hingga sekarang Bumi
Adat masih tetap utuh seperti dahulu karena Bumi Adat dianggap merupakan "lulugu" (biang)
atau rumah yang harus dipelihara dan dilestarikan.
Sampai sekarang terdapat lima kuncen yang memelihara Bumi Adat di Kampung Adat
Cikondang yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

Ma Empuh
Ma Akung
Ua Idil (Anom Idil)
Anom Rumya
Aki Emen.

Jabatan kuncen di Bumi Adat atau ketua adat kampung Cikondang memiliki pola
pengangkatan yang khas. Ada beberapa syarat untuk menjadi kuncen Bumi Adat, yaitu harus
memiliki ikatan darah atau masih keturunan leluhur Bumi Adat. la harus laki-laki dan dipilih
berdasarkan wangsit, artinya anak seorang kuncen yang meninggal tidak secara otomatis
diangkat untuk menggantikan ayahnya. Dia layak dan patut diangkat menjadi kuncen jika
telah menerima wangsit. Biasanya nominasi sang anak untuk menjadi kuncen akan sirna jika
pola pikirnya tidak sesuai dengan hukum adat leluhurnya.
Pergantian kuncen biasanya diawali dengan menghilangnya "cincin wulung" milik
kuncen. Selanjutnya orang yang menemukannya dapat dipastikan menjadi ahli waris
pengganti kuncen. Cincin wulung dapat dikatakan sebagai mahkota bagi para kuncen di Bumi
Adat kampung Cikondang.
Kuncen yang telah terpilih, dalam kehidupan sehari-hari diharuskan mengenakan pakaian
adat Sunda, lengkap dengan iket (ikat kepala). Jabatan kuncen Bumi Adat mencakup
pemangku adat, sesepuh masyarakat, dan pengantar bagi para pejiarah.
Rumah Adat kisunda merupakan peninggalan Uyut Murtaki (Ma Empuh), juru kunci
pertama antara abad ke-16 dan ke-17 Masehi yang bertugas memberi petunjuk tentang

Mengenal Kampung Adat Cikondang

|5

kewajiban masyarakat adat terhadap pemerintah yaitu tunduk pada hukum adat dan hukum
Negara Indonesia.
b.3

Asal usul Bumi Adat Cikondang

Kekhasan kampung Cikondang yang masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat
nenek moyang "karuhun" ditandai dengan adanya bangunan tua yang menjadi pusat adat
istiadat masyarakat tersebut yaitu Bumi Adat.
Istilah "Bumi Adat" terlontar dari Anom Rumya yang menjadi kuncen atau ketua adat di
kampung ini. Nama lain dari Bumi Adat adalah Bumi Keramat; karena tempat ini dipercayai
sebagai tempat yang harus dikeramatkan sampai kapanpun. Adapun aparat desa dan penilik
kebudayaan

dari

Departemen

Kebudayaan

dan

Pariwisata

Kabupaten

Bandung

menyebutnya "Rumah Antik".


Bumi Adat selain berupa bangunan rumah juga meliputi halaman, hutan keramat, sawah,
dan ladang keramat. Halaman Bumi adat tidak terlalu besar, di depan bangunan ada tampian;
kolam kecil tempat mencuci, kamar mandi (jamban) yang berupa pancuran, leuit (lumbung),
dan berbagai tanaman yang dapat digolongkan ke dalam apotek hidup dan dapur hidup
seperti jahe, koneng, cikur, dan sebagainya.
Arsitektur Bumi Adat adalah sebagai berikut: bangunan merupakan panggung dengan
atap terbuat dari ijuk dan daun alang-alang (eurih). Daun alang-alang di bagian dasar (bawah)
kemudian ditutupi dengan ijuk. Bagian atap yang mendatar (talahab) terbuat dari bambu
yang dibelah dua kemudian disusun bertumpang tindih saling menutupi. Bangunan ini
memiliki jendela tanpa kaca, hal ini disebabkan karena benda tersebut dianggap tabu untuk
Bumi Adat termasuk di dalamnya tidak dilengkapi dengan alat-alat elektronik seperti listrik,
televisi, dan radio.
Tiang bangunan terbuat dari kayu sedangkan dinding (bilik) terbuat dari bambu, begitu
pun alas lantai terbuat dari bambu yang disebut palupuh. Dulunya dinding rumah harus dibuat
dari palupuh, namun karena faktor kesulitan akhirnya dibuat bilik, begitu juga bahan penguat
tiang sekarang menggunakan paku, dulunya menggunakan paseuk; seperti paku yang
terbuat dari bambu atau kayu.
Bentuk dan arsitektur bangunan harus serba alami (nature). Semua bahan-bahan
bangunan dari hutan keramat, tidak boleh dari luar. Jika harus memakai barang-barang dari
luar, maka harus terlebih dahulu meminta permohonan atau izin kepada leluhurnya.
Adapun tata ruang Bumi Adat sebagai berikut: jumlah ruangan ada tiga, yaitu kamar
penyimpanan beras (goah); masyarakat di sana biasanya menyebutnya pangcalikan, kamar
mandi kuncen, dan kamar tamu. Kamar tamu biasa digunakan sebagai tempat

Mengenal Kampung Adat Cikondang

|6

penyelenggaraan upacara. Di tempat itu pula terdapat dapur yang hanya terdiri atas perapian
(hawu) dan parako.
Peralatan rumah tangga pun harus tradisional, seperti entik; gelas dari tempurung kelapa,
aseupan; untuk mengukus nasi, boboko; tempat menyimpan nasi, dan langseng; tempat
menanak nasi, begitu pun perabotan lainnya terbuat dari bahan seng yaitu cangkir, piring,
sendok, dan rantang.
Di mulut pintu terdapat bangunan terbuka yang disebut bale-bale. Tempat ini digunakan
untuk perempuan yang sedang haid ketika hendak bertamu atau membantu memasak,
sedangkan pada acara Musiman, bale-bale ini berfungsi untuk membagikan atau mengatur
pembagian tumpeng.
Tentang kapan dan siapa leluhur masyarakat Cikondang, tidak ada yang mengetahui
secara pasti. Namun, masyarakat meyakini bahwa karuhun mereka adalah salah seorang wali
yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Mereka memanggilnya dengan sebutan
Uyut Pameget dan Uyut Istri yang diyakini membawa berkah dan dapat ngauban
(melindungi) anak cucunya.
Menurut penuturan Anom Rumya, kedua Uyut ini "tilem", istilah mati dengan tidak
diketahui tempat dan waktu (tahun)-nya. Biasanya istilah mati dengan kata "tilem"
digunakan kepada para pendahulu baik raja maupun bangsawan yang beragama Hindu. Para
raja Hindu yang telah tua akan melepaskan jabatannya dan pergi ke suatu tempat (hutan)
untuk bertapa (mujasmedi) dengan tidak ada yang mengetahui kemana perginya, sehingga
tidak ada yang tahu kapan meninggal dan dimana tempatnya. Masyarakat di sana hanya
mempercayai bahwa "makam Uyut" berada di "leuweung keramat" (hutan keramat), mungkin
kedua Uyut itu mengakhiri masa hidupnya dengan bertapa di kawasan hutan keramat ini.
Dari anasir tersebut ada kemungkinan bahwa sebenarnya leluhur mereka adalah orang
Hindu, sedangkan penggantinya yaitu Ma Ampuh, Ma Akung, dan Ua Idil yang ditemukan
makamnya adalah sebagai penerus Uyut Pameget dan Uyut Istri sudah memeluk agama Islam
sampai sekarang, namun dalam kehidupan kesehariannya masih tetap mempertahankan
kebiasaan leluhurnya.
Kapan Uyut Pameget dan Uyut Istri mulai membuka kawasan Cikondang menjadi suatu
pemukiman atau kapan ia datang ke daerah tersebut? Tidak ada bukti kongkret yang
menerangkan kejadian itu baik tertulis maupun lisan. Namun kiranya, untuk mengetahui
dapat dicoba dengan melakukan penelusuran usia para kuncen yang menempati Bumi Adat.
Menurut penuturan Anom Rumya, usia Anom Idil kurang lebih 80 tahunan sedangkan Ma
Ampuh dan Ma Akung lebih dari 100 tahun. Mereka menjadi kuncen (Anom) pada usia
kurang lebih di antara 40 dan 50 tahun yang dirata-ratakan pada usia 45 tahun, jika usia
Anom Rumya sekarang (1999) 73 tahun, maka jika dikurangi 45 berarti sudah 28 tahun
Mengenal Kampung Adat Cikondang

|7

menjadi kuncen; Anom Idil berusia 80 tahun dikurangi 45 menjadi 35 tahun, Ma ampuh dan
Ma akung 100 tahun dikurang 45, maka masing-masing memimpin Bumi Adat selama kurang
lebih 55 tahunan. Sementara itu, Uyut Pameget dan Uyut Istri diperkirakan berusia 100 tahun,
mengingat

orang

tua

dahulu

usianya

relatif

panjang.

Dengan

demikian

28+35+45+45+45=198, maka Bumi Adat diperkirakan telah berusia 198 tahun. Maka pada
tahun 1999 jika dikurangi 198 menjadi 1801, jadi diperkirakan Uyut Pameget dan Uyut Istri
mendirikan pemukiman di kampung Cikondang kurang lebih pada awal abad ke-lXX atau
sekitar tahun 1801.
Pada awalnya bangunan di Cikondang Desa Lamajang ini merupakan pemukiman dengan
pola arsitektur tradisional seperti yang digunakan pada bangunan Bumi Adat. Konon tahun
1940-an terdapat kurang lebih enampuluh rumah, sekitar tahun 1942 terjadi kebakaran besar
yang menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat. Tidak diketahui apa yang menjadi
penyebab kebakaran itu, namun ada dugaan, bahwa kampung Cikondang dulunya dijadikan
persembunyian atau markas para pejuang yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman
Belanda. Kemungkinan tempat itu diketahui Belanda dan dibumihanguskan.
Selanjutnya, masyarakat di sana ingin membangun kembali rumahnya, namun karena
bahan-bahan untuk membuat rumah adat seperti arsitektur Bumi Adat membutuhkan bahan
yang cukup banyak, sementara itu, bahan yang tersedia di hutan keramat tidak memadai,
akhirnya mereka memutuskan untuk membangun rumahnya dengan arsitektur yang umum
yang sesuai dengan kemajuan kondisi saat itu. Keinginan ini disampaikan oleh Anom kepada
karuhun di makam keramat. Pada saat itu yang menjadi kuncen adalah Anom Idil (ua Idil).
Permohonan mereka dikabulkan dan diizinkan mendirikan rumah dengan arsitektur
umum kecuali Bumi adat, harus tetap dijaga kelestariannya sampai kapanpun. Hingga
sekarang Bumi Adat masih tetap utuh seperti dahulu. Mengapa demikian? Bumi Adat
dianggap merupakan "lulugu" (biang) atau rumah yang harus dipelihara dan dilestarikan.
Penghuni Bumi Adat terdiri atas satu kuren (suami istri) yang memperoleh wangsit untuk
menjaga Bumi Adat. Istri harus tidak haid (menopause) lagi. Sang suami lazim dipanggil
kuncen atau ketua adat yang sekarang namanya Anom Rumya. Ia selalu mengenakan iket dan
pakaian khas Sunda (baju kampret dan celana komprang).
Siapa dan kapan kuncen dapat menempati Bumi Adat? Sampai sekarang baru ada empat
kuncen yang memelihara Bumi Adat yaitu: Ma Empuh, Ma Akung, Ua Idil (Anom Idil), dan
Anom Rumya.
Nama kuncen yang pertama (Ma Empuh) dan kedua (Ma Akung), tidak diketahui nama
lengkapnya, nama yang dicantumkan di atas sebagai panggilan sehari-hari. Nama "Ma
Empuh", barangkali sebagai gelar kehormatan dari sanak saudara dan masyarakat setempat
atas jasa-jasanya sehingga dituakan atau dianggap sebagai sesepuh. Kasepuhan itulah yang
Mengenal Kampung Adat Cikondang

|8

mewarnai nama panggilan untuk kuncen pertama, yaitu Ma Empuh "Empuh" adalah
bentukan lain dari kata "sepuh" yang dihaluskan dan agar lebih enak serta lancar diucapkan.
Adapun panggilan Ma Akung, barangkali dikaitkan dengan postur kuncen kedua ini yang
memiliki postur tubuh yang cukup tinggi. Kata tinggi dalam bahasa Sunda adalah
"jangkung", dengan demikian karena memiliki ciri itulah maka dipanggil Akung atau Ma
Akung.
Kata "ma" yang mengiringi bukan kependekan dari "ema" (ibu) tapi merupakan
kependekan dari "mama" (bapak). Kata "mama" biasanya digunakan untuk panggilan kepada
orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakatnya misalnya Mama
Ajengan dan sebagainya. Dengan demikian, kata "ma" yang mendahului nama Empuh dan
Akung adalah sebagai penunjuk gender laki-laki.
Jabatan kuncen di Bumi Adat atau ketua adat Kampung Cikondang tidak berdasarkan
pemilihan dan pengangkatan namun memiliki pola pengangkatan yang khas. Ada beberapa
syarat untuk menjadi kuncen Bumi Adat, yaitu harus memiliki ikatan darah atau masih
keturunan leluhur Bumi Adat. Ia harus laki-laki dan dipilih berdasarkan wangsit; artinya
seorang kuncen yang meninggal tidak secara otomatis anaknya diangkat untuk
menggantikannya. Dia layak dan patut diangkat menjadi kuncen jika telah menerima wangsit.
Biasanya nominasi Sang Anak untuk menjadi kuncen akan sirna jika pola pikirnya tidak
sesuai dengan hukum adat leluhurnya.
Pergantian kuncen biasanya diawali dengan menghilangnya "cincin wulung" milik
kuncen. Selanjutnya orang yang menemukannya dapat dipastikan menjadi ahli waris
pengganti kuncen. Cincin Wulung dapat dikatakan sebagai mahkota bagi para kuncen di
Bumi Adat kampung Cikondang desa Lamajang kecamatan Pangalengan kabupaten Bandung.
Tugas kuncen Bumi Adat mencakup pemangku adat, sesepuh masyarakat, dan pengantar bagi
para peziarah. Sebagai orang yang dituakan banyak sekali jasa yang telah dilakukannya,
terutama banyak masyarakat yang datang untuk meminta petunjuk atau pengobatan suatu
penyakit.
Kekayaan lainnya yang berkaitan dengan Bumi Adat adalah hutan keramat atau disebut
juga hutan tutupan. Masyarakat di sana menyebut hutan keramat dengan "awisan". Letak
hutan keramat di sebelah barat Bumi Adat, di tempat ini disediakan pula tanah lapang yang
terpelihara baik diperuntukan para tamu sekaligus untuk mujasmedi (bertapa). Dan hampir
semua bahan bangunan dan keperluan Bumi Adat terdapat di hutan ini.
Di hutan ini terdapat satu tempat yaitu "makam keramat" yang biasa didatangi orang
berkepentingan, mereka datang dari berbagai daerah tidak saja dari wilayah Bandung dan
sekitarnya akan tetapi sampai ke wilayah Indonesia bahkan adakalanya datang tamu dari
mancanegara misalnya dari Belanda, Amerika Serikat, Perancis, dan Belgia. Selain itu
Mengenal Kampung Adat Cikondang

|9

makam ini menjadi tempat berziarah yang dilakukan para pemuda dan pemudi juga orang
tua yang mempunyai suatu keinginan baik untuk menyembuhkan penyakit atau
menginginkan sesuatu terkabul seperti cita-cita, jabatan, kedudukan, mendapat jodoh, ingin
punya anak, lulus sekolah, dan lain-lain.
Makam ini terdiri atas dua bangunan yakni banguan pertama adalah bangunan makam Ma
Empuh dan Ma Akung bersama istri-istrinya, sedangkan bangunan kedua adalah makam Ua
Idil (Anom Idil) beserta anak dan istri, terpelihara dengan baik.
Berziarah dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, tanpa menginap; artinya seseorang
langsung ka makam keramat dengan diantar kuncen (juru kunci). Kedua, menginap, dengan
ketentuan sebagai berikut; peziarah harus datang pada malam hari, mereka tidur di makam
atau di tempat yang telah disediakan kuncen.
Waktu ideal untuk berziarah sebaiknya adalah hari senin dan kamis atau bagi mereka
yang hendak bermalam datang pada malam senin dan kamis. Kedua malam ini relatif baik
bagi para peziarah karena biasanya apa yang diinginkan konon selalu dikabul.
Selain itu ada ketentuan lain yaitu niat peziarah harus baik; yakni untuk kebaikan agar
nantinya memperoleh ilham atau petunjuk. Mereka mempunyai kepercayaan "mupusti lain
migusti" (memelihara keramat bukan menjadikan Tuhan); artinya memohon kepada Tuhan
dengan perantara "Uyut Keramat" agar membantu menyampaikan maksud dan tujuannya.
Peziarah harus menyediakan aneka macam persyaratan sebagai berikut; sebutir telur
ayam kampung, sebuah kelapa muda (dawegan), pisang emas atau pisang kapas masingmasing sebuah, cerutu (serutu), sebungkus rokok, dan rujakan warna tujuh (rujak yang
bahannya terdiri atas tujuh macam) yaitu mangga, bangkuang, ubi, jambu air, kedondong,
nenas, dan delima. Setelah persyaratan dipenuhi, kuncen mengantar peziarah ke makam,
selanjutnya kuncen terlebih dahulu meminta izin kepada karuhun (leluhur) bahwa ada orang
yang ingin berziarah. setelah itu kuncen meninggalkan peziarah sendirian di makam. Di
makam, peziarah membaca ayat-ayat suci Alquran khususnya ayat-ayat yang dihapalnya
misalnya Alfatihah, Kulhu (Alikhlas), Annas, dan Alfalaq. Selanjutnya, peziarah wiridan,
selama membaca Alquran dan wiridan peziarah harus benar-benar konsentrasi pada maksud
tujuannya, agar apa yang diinginkannya dikabulkan Tuhan.
Untuk menjaga dan memelihara keberadaan Bumi Adat diberlakukan beberapa larangan
atau pantangan-pantangan yaitu sebagai berikut: penggunaan perabot moderen, mengecat,
memasang listrik; selama ini penerangan di malam hari menggunakan cempor (lampu tempel
yang bahan bakarnya terbuat dari minyak tanah) ditempel pada dinding tiang rumah, wanita
haid, menggunakan peralatan dari bahan pecah belah, menginjak parako; bagian pinggiran
perapian, menginjak bangbarung; alas pintu masuk, buang air dan melonjorkan kaki ke arah

Mengenal Kampung Adat Cikondang

| 10

Bumi Adat, memakai kaca misalnya pada jendela, dan anak yang berusia sebelum 100 hari;
tidak boleh masuk.
b.4

Kebudayaan Kampung adat Cikondang

b.4.1 Sistem Kepercayaan

Penduduk kampung Cikondang 100% beragama Islam; karena tidak satu pun dari
mereka yang menganut agama lain. Dari jumlah penduduk yang mencapai 389 jiwa ini
terdapat dua buah masjid yakni Masjid Aljihad dan Masjid Aliman. Dari kedua masjid inilah
kehidupan beragama masyarakat dibina mulai dari pengajian harian, khotbah Jumat, sampai
pada pengajian-pengajian dalam rangka memperingati hari besar Islam seperti Rajaban dan
Muludan. Kehidupan masyara-kat di sana sangat religius hal itu dapat dilihat dari sebagian
pakaian para wanitanya yang mengenakan busana muslimah cukup tertib dan rapih juga
kehidupan masyarakatnya yang jauh dari ucapan dan perbuatan tercela seperti miras,
narkotik, dan penggunaan obat-obat terlarang lainnya.
b.4.2 Sistem Mata Pencaharian

Komposisi penduduk di kampung Cikondang adalah sebagai berikut: usia produktif


(antara 13-49 tahun) lebih besar jumlahnya mencapai 211 orang dibandingkan dengan usia
non-produktif (12 tahun kebawah dan 50 tahun keatas)berjumlah 154 orang berarti daerah ini
adalah daerah relatif produktif. Hal ini dapat dibuktikan di lapangan bahwa di sana hampir
tidak ada yang menganggur; tidak mempunyai pekerjaan. Selain sebagai pedagang, petani,
buruh tani, di antaranya banyak anak muda yang bekerja sebagai penarik ojek
b.4.3 Bahasa

Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda dialek Priangan. Dialek
bahasa ini banyak digunakan oleh masyarakat Bandung. Dalam kehidupan sehari-hari
terutama jika berbincang dengan para tamu, mereka menggunakan bahasa Sunda halus
sehingga memperlihatkan keramahan dan kehalusan budi pekerti.
b.4.4 Sistem Pengetahuan/Pendidikan

Dilihat dari jenjang pendidikan yang pernah diikuti oleh penduduk setempat, ternyata
prosentasi orang yang berpendidikan lebih besar daripada yang tidak pernah mengenyam
bangku sekolah misalnya di RT 1 dari jumlah 127 jiwa yang berpendidikan mencapai 83
jiwa, berarti lebih dari 75% penduduk adalah berpendidikan. Hal ini tentunya akan

Mengenal Kampung Adat Cikondang

| 11

meningkatkan sumber daya manusia yang berakibat pada cara pandang, cara berpikir, dan
cara orientasi mereka dalam bekerja untuk membangun daerahnya.
b.4.5 Kesenian

Bidang kesenian di kampung Cikondang cukup memasyarakat terutama kesenian


"beluk" yakni sejenis kesenian tradisional yang memanfaatkan unsur suara saja, dan
pemainnya hanya membacakan wawacan seperti wawacan Ogin, Samaun, Ahmad
Muhammad, dan Barjah.
b.4.6 Sistem Tekhnologi

Pantangan menggunakan barang elektronik dan perlengkapan rumah tangga modern


merupakan penuangan rasa cinta mereka kepada nenek moyangnya.Begitu cintanya mereka
berusaha untuk tetap mempertahankan kebiasaan leluhurnya yang hidup sederhana sesuai
dengan jamannya. Rasa hormat pun diperlihatkan ketika membuat tumpeng lulugu: pada
upacara Seleh Taun Mapag Taun, selama proses pembuatan tidak boleh mencicipi atau
mengambil benda yang terjatuh ke lantai. Tindakan ini sebagai upaya untuk menghindarkan
pemberian makanan basi bagi leluhurnya. Mereka menganggap bahwa makanan yang dicicipi
dianggap basi. Begitu pula dengan adanya pantangan bagi wanita yang sedang haid masuk ke
Bumi Adat, karena keadaan demikian dianggap kotor. Penilaian kurang hormat jika Bumi
Adat sebagai tempat leluhur mereka yang harus dijaga kebersihannya kemudian diisi dengan
sesuatu yang kotor.

BAB III
PENUTUP
c.1

Kesimpulan

Kami penulis mengharapkan agar Kampung Adat Cikondang lebih maju dalam segala
bidang baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dan lebih berkembang dalam hal budaya
sehingga kesenian itu dapat maju baik nasional maupun internasional, dan kami
mengharapkan Kampung Adat Cikondang lebih menjamin kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Kampung Adat Cikondang serta lebih maju dalam bidang teknologi.
c.2

Saran

Adapun saran-saran yang dapat disampaikan yaitu :

Mengenal Kampung Adat Cikondang

| 12

1. Penulis berharap agar pelaksanaan kegiatan karya ilmiah ini dilakukan di waktu libur
supaya tidak mengganggu KBM (kegiatan belajar mengajar).
2. Penulis berharap Para Pembimbing dalam proses bimbingan lebih terarah sehingga
kami lebih memahami maksud dan tujuan diadakannya penulisan ini.
3. Penulis berharap Panitia Pelaksana PKL menyusun perencanaan secara sistematis,
sehingga pelaksanaan dapat berjalan sesuai rencana dan tepat waktu.
4. Penulis berharap makalah ini berguna untuk para kalangan semuanya yang selalu
ingin menambah wawasan.

DAFTAR PUSTAKA
Ariyono Suyono, Kamus Antropologi. Jakarta : Akademika Pressindo. 1985
Akip Prawira Suganda, Upacara Adat Di Pasundan. Bandung : Sumur Bandung. 1982
A. Heuken SJ, Ensiklopedi Populer Pembangunan Pancasila. Kencana Dwi,Jakarta:
Sarana Sajati, 1988
Budhisantoso, Upacara Tradisional. Jakarta : Jarahnitra, 1983
Buddhiracana, Jurnal Ilmiah Sejarah dan Budaya, Volume I Nomor 3. Bandung:
BKSNTBandung, 1997
Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda. Bandung : Alumni, 1999
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia,
1984
M. Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi. Cetakan-1. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Wahyu Wibisana, Peranan Keluarga dalam Penanaman Kesadaran Nilai Budaya.
Makalah, Bandung, 1991
Yuzar Purnama, dkk., Seleh Taun Mapag Taun: Tinjauan Nilai Budaya, Bandung:
Depdikbud, 1999.
Photo : http://4.bp.blogspot.com

Mengenal Kampung Adat Cikondang

| 13

Anda mungkin juga menyukai