Anda di halaman 1dari 25

KEBUDAYAAN SUNDA

Kampung Adat Cikondang

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kebudayaan
Sunda yang Diampu Oleh:

Drs. Undang Ahmad Darsa, M. Hum


Aditya Pratama, M. Hum

Disusun Oleh:

1. Asfira Fauziyyah 180810190014


2. Dani Sarip Suhendar 180310190009
3. Devina Tiara Putri 180810190001
4. Dewi Indah Salsabila 180810190018
5. Diki Sanjaya 180310190036
6. Kiki Nur Safitri 180310190032
7. Lilina Nadila Putri 180810190010
8. Sarah Veronica Br Sinaga 180310190004
9. Sevtrisa Virdayanti 180810190007
10. Siti Noer Azizah 180810190002
11. Tiara Ayu Wahyudin 180310190047
12. Voka Panthara Barega 180310190044

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
NYA sehingga makalah kami yang yang membahas tentang Kampung Adat Cikondang
dapat tersusun hingga selesai untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebudayaan Sunda.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Kebudayaan Sunda. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Kampung Adat Cikondang bagi para pembaca dan juga bagi
kami.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Undang Ahmad


Darsa,M. Hum. dan Bapak Aditya Pratama, M. Hum. selaku dosen mata kuliah
Kebudayaan Sunda yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu, kritik serta saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Jatinangor, 5 Mei 2021

Penulis

ii
Daftar Isi:

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................2
2.1 Situasi Geografis ......................................................................................................2
2.1.1 Jumlah Penduduk ..............................................................................................4
2.2 Sistem Religi ............................................................................................................4
2.3 Sistem Organisasi dan Kemasyarakatan ..................................................................9
2.4 Sistem Pendidikan ..................................................................................................11
2.5 Sistem Bahasa ........................................................................................................11
2.6 Sistem Mata Pencaharian .......................................................................................12
2.7 Sistem Kesenian .....................................................................................................13
2.7 Sistem Peralatan dan Teknologi.............................................................................15
BAB III PENUTUP .......................................................................................................16
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Kampung Adat adalah suatu lingkungan yang memiliki dan juga masih
mempertahankan adat istiadat, hukum, dan aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur dari
tempat tersebut. Adapun definisi lain yang menyebutkan bahwa kampung Adat ialah
kumpulan beberapa desa yang menggunakan adat sebagai pilar kehidupan bermasyarakat.
Adat-adat yang ada oleh masyarakat Kampung Adat dijaga dan dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari bahkan hingga saat ini. Lokasi-lokasi Kampung Adat biasanya
terletak di tempat terpencil dan asing pada teknologi dan kehidupan modern. Lalu seiring
berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, pemerintah melalui Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan program pelestarian berdasarkan pendidikan
dan penelitian pada Kampung-kampung Adat tersebut, juga menetapkan keberadaan
Kampung Adat. Keberadaan Kampung Adat sendiri membawa perubahan pada
lingkungan dan masyarakat dalam Kampung Adat itu sendiri juga masyarakat umum.

Salah satu Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat adalah Kampung Adat
Cikondang. Kampung Adat Cikondang merupakan sebuah perkampungan yang terletak
di dalam wilayah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data yang diperoleh, seluruh masyarakat Cikondang memeluk agama Islam.
Adat yang ada di Kampung Adat Cikondang berdasarkan pada budaya sunda dengan
pengaruh agama Islam. Di Kampung Adat Cikondang telah terjadi proses integrasi Islam
dengan budaya Sunda dalam segala aspek kehidupan. Masyarakat Kampung Adat
Cikondang dikenal sebagai etnis Sunda dan dikategorikan sebagai komunitas masyarakat
adat, karena hingga saat ini mereka masih berpegang teguh terhadap ajaran para
leluhurnya. Hal menonjol yang ada pada masyarakat Kampung Adat Cikondang ialah
kegigihan masyarakat Kampung Adat Cikondang dalam melestarikan dan memanfaatkan
lingkungan sekitarnya untuk kehidupannya sendiri. Kondisi ini bisa dilihat dan
dibuktikan, ketika musim hujan wilayah Cikondang tidak terkena longsor, bahkan sumber
air bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pertanian, walaupun posisi
kampungnya berada di perbukitan Gunung Tilu. Begitupun ketika musim kemarau
masyarakat adat Cikondang tidak perlu khawatir kekurangan air walaupun posisinya ada
di perbukitan pegunungan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Situasi Geografis

Kampung Adat Cikondang terletak di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan,


Kabupaten Bandung, dan memiliki jarak sekitar 38 Kilometer dari pusat Kota Bandung
dan 11 Kilometer dari pusat Kecamatan Pangalengan. Cikondang berbatasan langsung
dengan Desa Sukamaju, Kecamatan Cimaung di sebelah utara, Hutan Lindung Gunung
Tilu dan Kampung Pulosari di selatan, Desa Mekarsari dan Sukamaju di barat, dan
Sungai Cisangkuy, Kampung Cikalong serta Kampung Tribhakti di Timur.

Gambar 2.1.: Peta Desa Wisata Lamajang, bisa dilihat terdapat Keramat Cikondang
sebagai salah satu tujuan wisata

Seperti mayoritas perkampungan adat Sunda lainnya, Cikondang terletak di


perbukitan dan berada di ketinggian 1022 di atas permukaan laut. Terdapat satu bangunan
yang bisa dibilang sebagai pusat Desa Cikondang baik dalam aspek kegiatan masyarakat
maupun aspek spiritual masyarakat yaitu Bumi Adat, di luar Bumi Adat terdapat satu
bangunan kecil yang disebut bale-bale dan berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan
makanan. Di luar bale-bale sendiri terdapat dapur yang biasanya digunakan sebagai
tempat memasak masyarakat Cikondang, terutama bila sedang menyiapkan makanan
untuk tamu dan acara kebudayaan.
Masyarakat Cikondang memiliki caranya tersendiri untuk mengklasifikasikan
wilayah-wilayah tertentu. Terdapat 9 klasifikasi lanskap yang memiliki tujuan dan

2
3

maksudnya tersendiri (Ramdhan, Billyardi, Tatik Chikmawati, dan Eko Baroto. 2015:9-
11). Klasifikasi tersebut terdiri dari:
 Hutan Gunung Tilu
Hutan Gunung Tilu merupakan hutan alami yang pengelolaannya berada
di bawah Departemen Kehutanan dan memiliki luas 8.000 Ha.
 Hutan Bukaan-Tutupan
Hutan Bukaan-Tutupan merupakan bagian dari Hutan Gunung Tilu dan
memiliki fungsi sebagai hutan produksi dan hutan penyangga dengan luas 25 Ha.
Hutan ini dikelola oleh Perhutani dan kelompok tani hutan.
 Hutan Awisan
Hutan Awisan merupakan hutan adat yang menjadi tempat dibangunnya
bumi adat, leuit, lisung, pancuran, tampian, balong, dan sawah adat yang menjadi
bagian cagar budaya sehingga masyarakat enggan untuk merubah atau
menggunakan hasil alam hutan ini. Selain itu, terdapat makam adat di dataran
paling atas hutan Awisan.
 Parabon
Parabon (paranti ngebon) merupakan tempat berkebun yang dimiliki oleh
Desa. Pada awalnya Parabon merupakan lahan bagian dari hutan gunung tilu yang
diberikan kepada pemerintah Desa yang kemudian menyewakan lahan-lahan ini
kepada masyarakat sebagai salah satu pemasukan Desa.
 Kebon
Kebon atau kebun memiliki fungsi yang sama dengan Parabon yaitu
tempat berkebun masyarakat. Perbedaan dari kebon dan parabon adalah
pemiliknya. Jika parabon merupakan lahan milik Desa maka kebon merupakan
lahan pribadi milik warga.
 Lamping
Lamping merupakan lahan curam yang memiliki kemiringan 45 derajat
dan dikelola oleh masyarakat sesuai aturan adat menjadi lahan penanaman bambu.
 Sawah Adat
Sawah adat terletak di samping Hutan Awisan dan dikelola oleh
masyarakat dengan tujuan sebagai sumber kesejahteraan pelaksanaan upacara
adat.
4

 Perkampungan
Seperti namanya, lahan ini memiliki fungsi sebagai lahan pemukiman
masyarakat. Masyarakat Cikondang menentukan lahan pemukiman dengan cara
mengikuti wasiat Uyut Pameget sebagai karuhun atau leluhur Cikondang yang
menetapkan bahwa pembangunan rumah harus di lahan datar dan lahan cekung
dijadikan tempat menampung air seperti balong atau kolam.
 Pesawahan
Lahan yang terdapat di bawah kampung dijadikan sengkedan sehingga
terbentuk sawah terasering. Berbeda dengan sawah adat yang hasilnya hanya
digunakan pada upacara adat, pesawahan ini merupakan lahan milik masyarakat
dan hasilnya pun menjadi salh satu penghasilan masyarakat Cikondang.

2.1.1 Jumlah Penduduk

Menurut penelitian di bulan Mei, Kampung Adat Cikondang yang berada


di kaki Gunung Tilu dan terletak pada 6 43’ 0” S, 107 13’ 33” E secara geografis.
Setelah diteliti, penduduk Kampung Adat Cikondang terdiri dari 290 Kepala
Keluarga (KK) dengan 991 jumlah jiwa. Perkampungan tersusun atas 991 orang
penduduk yang tersebar pada 290 KK, 2 RW dan 8 RT. Pemukiman penduduk
cukup rapat dan terkumpul pada satu wilayah perkampungan.

2.2 Sistem Religi

Sistem religi merupakan salah satu sistem yang selalu ada dan berkembang dalam
kehidupan bermasyarakat. Religi biasanya berkembang dan dijadikan panduan selama
mereka menjalani kehidupan. Terdapat beberapa sistem religi yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat di desa Cikondang. Hal tersebut mencakup beberapa hal seperti agama,
upacara adat, pamali, atau hal-hal yang dikeramatkan.
a. Nilai atau Norma yang Bersumber dari Agama/Kepercayaan
Nilai dan norma yang ada di kampung adat Cikondang dijalankan dan
dipertahankan oleh masyarakat desa kampung Cikondang. Norma yang dianut
oleh masyarakatnya memiliki ikatan yang kuat dengan pengaruh kepercayaan
mereka terhadap leluhur. Meski begitu, seluruh masyarakat desa Cikondang
memiliki agama yang sama yaitu agama Islam. Beberapa ajaran yang masih
5

diterapkan dalam berkehidupan di masyarakat diantaranya seperti membangun


rumah dengan arah yang tidak menghadap rumah adat, larangan memasuki rumah
adat bagi wanita yang sedang haid, setiap rumah hanya boleh memiliki satu pintu,
dan hal-hal lainnya yang dijalankan sebagai dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai karakter yang ada di kampung Cikondang diajarkan oleh orangtua,
pemangku adat, dan tokoh masyarakat. Ketentuan dan nilai-nilai yang ada ini
selalu dipatuhi oleh masyarakat desa Cikondang sebagai bentuk dari ketentuan
adat.
b. Larangan-Larangan
Masyarakat di desa Cikondang memiliki beberapa kapamalian atau hal-
hal yang disebut sabagai pamali. Beberapa pamali tersebut, seperti:
1. “Teu meunang datang ka wilayah Rumah Adat Cikondang poé Salasa,
Jumaah jeung Saptu” adalah sebuah larangan untuk mengunjungi rumah
tradisional Cikondang pada hari Selasa, Jumat, dan Sabtu. Hal ini
dikarenakan adanya peristiwa di masa lalu yang menimpa Abah Anom
ketika sedang memperbaiki suhunan. Semenjak itu lah adanya larangan
untuk mengunjungi rumah tradisional tersebut di hari-hari tertentu.
2. “Awéwé nu keur halangan teu meunang asup ka wilayah Rumah Adat
Cikondang" adalah sebuah larangan yang melarang wanita yang sedang
haid mengunjungi rumah adat Cikondang.
3. “Non Islam teu meunang asup ka wilayah Rumah Adat Cikondang” adalah
larangan bagi non muslim untuk mengunjungi rumah adat Cikondang. Hal
ini dilakukan karena masyarakat percaya bahwa hal tersebut sebagai
bentuk penghormatan kepada Uyut yang mmembangun suhunan dan
memiliki harapan untuk menyebarkan agama Islam.
4. “Upama asup ka wilayah hutan larangan jeung makam Rumah Adat
Cikondang, teu meunang maké sendal, kaos kaki atawa sapatu sarta asup
kudu suku katuhu heula, kaluar kudu suku kénca heula” adalah larangan
untuk memasuki hutan larangan menggunakan sendal, sepatu, atau kaos
kaki.
5. “Teu meunang ngadegkeun imah di sabudereun makam" adalah larangan
untuk tidak membangun rumah disekitar makam.
6

6. “Jamban (paranti mandi, kahampangan atawa kabeuratan) kudu aya di


luar suhunan, teu meunang aya di jero suhunan” adalah perintah agar
kamar mandi dibangun di luar Suhunan karena Suhunan tidak boleh kotor.
7. “Upama asup ka sabudeureun Rumah Adat Cikondang kudu ngadék
sacékna, nilas saplasna” adalah perintah untuk bertutur kata yang baik
ketika memasuki area Cikondang.
c. Kepercayaan Terhadap Hal Gaib
Seluruh masyarakat Cikondang memeluk agama Islam, meski begitu tidak
menyurutkan kepercayaan mereka pada hal-hal gaib seperti roh-roh para leluhur.
Mereka percaya bahwa roh leluhur dapat melindungi mereka dari gangguan serta
bencana apapun.
d. Kepercayaan Terhadap Magi
Kampung Cikondang memiliki dua leluhur utama yang dipuja, yaitu
Eyang Pameugeut dan Eyang Istri. Leluhur ini dipercaya sebagai salah satu wali
yang menyebarkan agama Islam di kawasan Bandung Selatan, khususnya di
kampung Cikondang. Dikatakan bahwa kedua eyang tersebut pergi tanpa
meninggalkan jejak dan masyarakat sekitar percaya bahwa hal tersebut disebut
sebagai “tilem” atau hilang ditelan bumi. Hal-hal yang berkaitan dengan leluhur
adalah kebiasaan untuk tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan dan
melaksanakan upacara adat.
e. Upacara Adat
Terdapat beberapa upacara adat yang dilaksanakan secara konsisten di
kampung Cikondang, yaitu:
1. Mitembaya Nutu (2 Muharom-16 Muharom)
Kegiatan pada ritual ini biasanya menggunakan lisung,
seperti menumbuk ketan, menumbuk padi dan
Tuunnggula. Kegiatan ini dilakukan
setiap hari tanpa henti dan membutuhkan 20 sampai 30
orang-orang. Pada ritual ini dibutuhkan ketan dan gula aren dimana
masing-masingnya berbobot 125 liter dan 1 kuintal.
7

2. Ritual Desa (Bulan Sapar)


Dilaksanakan ketika bulan Sapar menurut kalender Sunda. Ritual ini
dilaksanakan karena masyarakatnya percaya bahwa seribu tahun yang lalu
selalu terjadi kekacauan di bulan Sapar. Oleh karena itu, diadakan ritual
desa untuk menjauhkan bencana dari Cikondang. Dalam pelaksanaannya,
orang yang melaksanakannya menggunakan celana hitam dan baju putih
serta menggunakan ikat kepala. Celana hitam dimaksudkan untuk
memiliki kemauan yang mandiri, sedangkan baju putih melambangkan
hati yang bersih. Ikat kepala sendiri memiliki arti terikat oleh kultur.
Selain itu, terdapat makanan yang digunakan untuk ritual, seperti tumpeng
yang tidak boleh menggunakan bahan kimia dalam kandungannya.
Tumpeng yang disediakan juga harus berjumlah tiga karena mengacu pada
letak desa Cikondang yang berada di kaki gunung dari gunung Tiga. Di
setiap makanannya pun memiliki arti, misalnya ketan dan ayam putih
diartikan sebagai hati yang suci dan ayam hitam diartikan sebagai agar
masyarakat memiliki kemauan untuk hidup mandiri.
3. Cai ngamalir sa-Desa
Ritual yang memiliki arti “air yang mengalir ke arah desa” ini
berlandaskan pada situasi di masa lalu dimana masyarakat dulu
membangun selokan dengan harapan air dapat mengalir di segala penjuru
desa. Masyarakat saat itu berjanji (Nadran), apabila selokan itu selesai
dibuat maka mereka akan mengadakan syukuran. Dalam pelaksanaannya,
Lamajang warga desa pergi ke hulu membawa tumpeng dengan
menggunakan sesajen parawanten. Ritual ini digelar mulai pukul 07.00
pagihingga 11.00 siang. Orang yang melaksanakan ritual ini harus
memakai baju hitam putih, tetapi tidak ada kode berpakaian khusus untuk
masyarakat lain. Orang yang mengikuti ritual juga harus berjalan dan
membawa minimal dua tumpeng.
4. Air Bersih
Ritual ini untuk berterima kasih kepada tuhan serta kepada mereka yang
memberikan modal untuk membangun saluran air bersih. Masyarakat
8

Cikondang akan membawa tumpeng menggunakan parawanten dalam


pelaksanaan ritualnya.
5. Seni Beluk
Seni beluk dilaksanakan ketika ada masyarakat desa Cikondang yang
melahirkan, menikah, dan memiliki rumah baru atau pindah ke rumah
baru. Sebelum acara dimulai, biasanya msdysrskst akan mengadakan
upacara beluk, di mana penduduk berdoa dan membuat tumpeng.
f. Hal-Hal yang dikeramatkan
Selain upacara adat dan pamali masyarakat desa Cikondang juga memiliki
hal yang dikeramatkan, misalnya seperti makam leluhur yang terletak di arah barat
dari rumah tradisional Cikondang. Bangunan yang digunakan merupakan dua
suhunan yang dijadikan sebagai makam. Ada enam kuburan di dalam suhunan
pertama, yaitu 2 kuburan uyut (yang namanya tidak bisa disebutkan), 2 kuburan
pengasuh pertama (suami dan istri), 2 kuburan anak-anak pengasuh (putra dan
putri). Ada 2 kuburan di dalam rumah. Selain itu, terdapat larangan bahwa
siapapun tidak boleh membangun
rumah di sekitar kuburan.
Selanjutnya, di desa Cikondang terdapat hutan yang dikeramatkan
bernama hutan larangan yang terletak di arah timur dari rumah tradisional
Cikondang. Tidak diperkenankan untuk menggunakan sandal, sepatu, atau kaos
kaki ketika memasuki hutan ini. Kaki pertama yang dipijakkan pun harus lah kaki
kanan terlebih dahulu dan apabila mau meninggalkan hutan melangkahkan kaki
kiri terlebih dahulu. Beberapa syarat juga diberikan, yaitu seperti tidak boleh
sompral atau dalam bahasa sunda “ngadék sacékna, nilai saplasna”, tidak boleh
berpikiran kosong, dan harus selalu fokus untuk melindungi diri sendiri. Dulu,
hutan terlarang digunakan oleh para Wali untuk mendiskusikan sesuatu ketika
mereka menyebarkan agama Islam di tengah hutan. Cara ini dilakukan agar
masyarakat non muslim tidak mengganggu jalannya penyebaran agama Islam.
Para wali akan mengundang orang-orang yang memiliki keinginan untuk
memeluk agama Islam agar memasuki hutan. Fungsi lainnya digunakan pada
masa perang (zaman kolonial PKI) yang digunakan sebagai tempat menyimpan
persediaan perang dan juga untuk menjaga keamanan wanita dan anak-anak.
9

Siapapun yang memasuki hutan tidak bisa dilihat oleh orang di luar hutan. Dan
fungsi yang terakhir adalah untuk menyimpan alat-alat upacara. Alat upacara ini
tidak dapat digunakan secara sembarangan oleh siapapun yang tidak memiliki
wewenang. Alat-alat ini disimpan di atas batu sebesar kursi.

2.3 Sistem Organisasi dan Kemasyarakatan

Kampung Cikondang memiliki kepala desa dan kepala dusun yang mengatur
pemerintahan desa. Namun secara adat, Kampung Cikondang memiliki kuncen sebagai
pemimpin adatnya. Penghuni Bumi Adat terdiri atas satu kuren (suami istri) yang
memperoleh wangsit untuk menjaga Bumi Adat. Istri harus tidak haid (menopause) lagi.
Sang suami lazim dipanggil Kuncen atau Juru Kunci. Ia selalu memakai iket dan pakaian
khas Sunda (baju kampret dan celana komprang).

Jabatan kuncen di Bumi Adat atau ketua adat kampung Cikondang memiliki pola
pengangkatan yang khas. Ada beberapa syarat untuk menjadi kuncen Bumi Adat, yaitu
harus memiliki ikatan darah atau masih keturunan leluhur Bumi Adat. la harus laki-laki
dan dipilih berdasarkan wangsit, artinya anak seorang kuncen yang meninggal tidak
secara otomatis diangkat untuk menggantikan ayahnya. Dia Iayak dan patut diangkat
menjadi kuncen jika telah menerima wangsit. Biasanya nominasi sang anak untuk
menjadi kuncen akan sirna jika pola pikirnya tidak sesuai dengan hukum adat Ieluhurnya.
Pergantian kuncen biasanya diawali dengan menghilangnya “cincin wulung” milik
kuncen. Selanjutnya orang yang menemukannya dapat dipastikan menjadi ahli waris
pengganti kuncen. Cincin wulung dapat dikatakan sebagai mahkota bagi para kuncen di
Bumi Adat kampung Cikondang. Kuncen yang telah terpilih, dalam kehidupan sehari-
hari diharuskan mengenakan pakaian adat Sunda, Iengkap dengan iket (ikat kepala).
Jabatan kuncen Bumi Adat mencakup pemangku adat, sesepuh masyarakat.

Kuncen harus tetap tinggal di Rumah Adat peninggalan leluhur. Setiap hari minggu
malam senin ia memandu mengantar tamu domestik yang akan ziarah ke makam keramat.
Kuncen harus tetap melestarikan adat istiadat antara lain: Pada Tanggal 15 Muharam
melaksanakan ritual Budaya Wuku-Taun. Pada bulan September melaksanakan adat
ruatan hajat sumber air bersih. Kuncen harus tetap melestarikan tradisi agraris. Kuncen
bertugas dan harus sanggup menjadi imam di Masjid. Selain itu, tugas kuncen juga
10

memelihara sarana prasarana rumah adat dan Bale. Kuncen harus memelihara lahan
pertanian palawija padi huma dan bawang merah, memelihara sawah 0,75 H, memelihara
hutan keramat. Kuncen dibantu pegawai tetap pasapon, merawat hutan dan kebersihan
halaman, menggarap sawah awisan dan lahan palawija, dan memelihara pagar kandang
jaga dari bambu. Sampai saat ini, terdapat enam kuncen yang memelihara Bumi Adat di
Kampung Adat Cikondang, diantaranya Ma Empuh, Ma Akung, Anom Idil, Anom
Rumya, Aki Emen, dan Anom Juhana.

Hubungan sosial atau kekerabatan antar masyarakat Kampung Adat Cikondang


terjalin dengan baik. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya acara
khusus ataupun upacara yang masih dilakukan secara bersama-
sama dan bergotong royong. Seperti dalam ritual wuku taun yang mana semua warga
menyiapkan makanan bersama-sama sebagai tanda syukur karena telah memasuki tahun
yang baru. Selain itu, masyarakat adat Cikondang juga mengenal beberapa pandangan
hidup seperti kudu handap asor (harus sopan) dalam berperilaku terhadap sesama dan
kudu someah ka semah (harus baik terhadap tamu). Dalam ungkapan tersebut, nilai islam
begitu menonjol. Dalam islam diajarkan bahwa manusia harus sopan dalam berperilaku
terhadap sesama dan juga harus hormat pada tamu. Pandangan hidup ini masih dijunjung
tinggi oleh masyarakat adat Cikondang. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam
kesehariannya yang begitu sopan dan tidak pernah terdapat perselisihan antar warganya.

Seluruh warga masyarakat kampung Cikondang beragama Islam, namun dalam


kehidupan sehari-harinya masih mempercayai adanya roh-roh para karuhun (leluhur).
Masyarakat Kampung Adat Cikondang meyakini bahwa roh-roh leluhur tersebut
akan terus melindungi mereka setiap saat, menyelamatkan dari berbagai
persoalan, dan mencegah bahaya yang akan datang. Kepercayaan mereka pada leluhur
tersebut berpengaruh pada adat istiadat yang hingga kini masih dijalankan oleh
masyarakat Kampung Adat Cikondang. Adat istiadat yang dimaksud yaitu upacara-
upacara adat serta adanya tabu/pantangan-pantangan yang masih melekat di
Kampung Adat tersebut. Dalam pelaksanaan kegiatan adat, kuncen lah yang menjadi
pemegang kekuasaan.

Meskipun mereka mempercayai akan adanya hal-hal yang bersifat ghaib dan masih
melaksanakan ritual-ritual sebagai bentuk pelestarian kebudayaan leluhur, masyarakat
11

kampung adat Cikondang tidak melupakan syariat Islam yang juga harus mereka
jalankan. Menurut kuncen di sana, mereka berusaha untuk tetap menjaga kebudayaan
tanpa melupakan syariat Islam, dengan kata lain mereka menjalankan berbagai ritual
tersebut semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan sebagai
tindakan yang disebut musyrik dan nilai ajaran Islam tetap menjadi yang utama.

2.4 Sistem Pendidikan


Mirip dengan kampung adat sunda lain, masyarakat Cikondang sangat
mementingkan ilmu-ilmu alam yang diturunkan dari generasi ke generasi. Jadi memang
sangatlah lumrah jika orang tua mengajarkan anak-anaknya pendidikan moral dan
spiritual. Pendidikan non-formal ini biasanya berbentuk cara beribadah, ritual-ritual di
masyarakat, larangan-larangan, dan peraturan di Kampung Cikondang.
Meskipun pemberian pendidikan tidak formal menjadi cara mendidik utama,
pendidikan formal pun masih bisa ditempuh masyarakat Cikondang walaupun hanya
sebatas Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs, setara dengan SMP). Jika
warga ingin menempuh pendidikan yang lebih tinggi maka warga tersebut harus keluar
dari Desa Cikondang karena tidak ada fasilitas bangunan sekolah. Jadi bisa diasumsikan
bahwa mayoritas masyarakat Cikondang bisa membaca dan mengerti bahasa Indonesia,
disamping bahasa Sunda.

2.5 Sistem bahasa

Menurut Rosyid E. Abby (2010), bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari oleh penduduk Kampung Adat Cikondang adalah bahasa Sunda dengan dialek
Priangan. dimana dialek bahasa sunda Priangan ini biasanya digunakan oleh masyarakat
Bandung. Dalam kehidupan sehari - hari terutama jika berbincang dengan para tamu akan
menggunakan bahasa Sunda halus sehingga tampak keramahan dan kehalusan budi
pekerti.

Bahasa Sunda Dialek Priangan dikenal sebagai bahasa Sunda terhalus yang memiliki
perbedaan dari dialek - dialek bahasa Sunda lainnya. Dimana bahasa Sunda Dialek
Parahyangan sebelumnya lebih dikenal sebagai dialek Bandung atau dialek wilayah
selatan. Yang mana dialek Bandung ini dianggap “ naik pamor ” (makin terkenal) dan
12

kekuatan penggunaan dan keberadaannya semakin meningkat pada 1872, dimana


pemerintah Kolonial Belanda membuat aturan melakukan pembakuan bahasa Sunda
dialek Bandung sebagai bahasa Sunda standar di wilayah karesidenan Jawa Barat. Yang
mana dialek ini diberlakukan di lingkungan pemerintah dan juga kaum menak pribumi.
Dialek ini akhirnya menyebar dan menjadi dialek baku bagi masyarakat Sunda di wilayah
Priangan, meliputi Bandung, Cianjur, Tasikmalaya, Garut dan juga Ciamis.

2.6 Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat kampung adat Cikondang sebagian besar memiliki mata pencaharian


sebagai petani. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya area yang luas dan lahan yang sesuai
untuk pertanian. Karena kampung adat Cikondang yang terletak di kaki gunung Tilu,
maka masyarakatnya memiliki pola kehidupan pertanian dan memanfaatkan sumber daya
alam yang ada disekitarnya. Komoditas utama yang ditanam adalah padi. Produk
pertanian lain juga dihasilkan seperti sayuran dan buah-buahan. Karena letak
geografisnya yang strategis menyebabkan kampung adat cikondang sangat cocok sebagai
daerah agraris. Hasil tani yang dihasilkan sebagian disimpan dan digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari, lalu sebagiannya lagi akan digunakan untuk bahan upacara adat
Wuku Taun dan sisanya ada yang diperjual belikan. Selain sebagai petani, mata
pencaharian masyarakat kampung adat cikondang mulai beragam seperti buruh tani,
pedagang, sopir, buruh pabrik, dan lainnya. Akan tetapi meskipun kampung adat
cikondang ini mulai tersentuh arus modernisasi, kehidupan masyarakat masih terikat
dengan adat secara turun temurun. Aspek ekonomi tersebut telah membantu masyarakat
nya untuk membangun kampung adat cikondang. Dalam menyimpan hasil panennya,
masyarakat kampung adat Cikondang menyimpan padi di sebuah leuit atau disebut juga
sebagai lumbung. Leuit berfungsi untuk menyimpan padi sebagai cadangan ketika suatu
waktu atau di tempat lain terjadi musim paceklik panjang. Hal tersebut dilakukan agar
masyarakat tidak mengalami kekurangan pangan karena memiliki cadangan padi yang
tersimpan di lumbung. Masyarakatnya juga masih menggunakan lisung untuk menumbuk
padi menjadi beras.
13

2.7 Sistem Kesenian

Seperti yang kita ketahui bahwa kesenian merupakan suatu wadah atau tempat
manusia untuk mengekspresikan kreativitas dan kebebasannya. Kesenian ini, merujuk
pada unsur keindahan yang berasal dari hati manusia. Seperti halnya bidang kesenian
yang ada di Desa Cikondang. Kesenian yang cukup terkenal di Desa Cikondang ini ialah
kesenian "beluk". Keberadaan Seni Beluk ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yaitu
sejak masa penjajahan Belanda (kolonial). Kesenian beluk ini pada dasarnya merupakan
kesenian tembang buhun (kuno) yang mengutamakan tinggi rendahnya suara.

Kesenian beluk ini juga dilengkapi oleh pemainnya yang membacakan wawacan
(Carita Babad). Wawacan ini juga sering diartikan sebagai singkatan dari wawaran ka nu
acan (memberitahu kepada yang belum mengetahui). Adapun contoh wawacan seperti,
wawacan Samaun, Barjah, Ogin, Rengganis, Babar Nabi, Ahmad Muhammad,
Amungsari, Jayalalana, Natasukma, Mahabarata, Mundinglaya, Lutung Kasarung, Ciung
Wanara dan sebagainya.

Kemudian, syair wawacan ini dilantunkan dengan menggunakan patokan pupuh,


mulai dari pembukaan sampai penutupan. Semuanya ada 17 jenis pupuh, yang masing-
masing pupuh menggambarkan tentang jalan kehidupan manusia mulai sejak lahir sampai
kembali pada Sang Pemilik kehidupan. Gambaran tiap pupuh yang dimaksud adalah:

1. Maskumambang, menggambarkan jabang bayi dalam kandungan ibunya.


Mas artinya belum ketahuan apakah dia akan menjadi anak laki-laki atau
perempuan.
2. Kumambang, artinya hidup jabang bayi itu mengambang dalam kandungan
ibunya.
3. Mijil, menggambarkan bayi sudah lahir dan diketahui jenis kelamin laki-
laki atau perempuan.
4. Kinanthi, berasal dari kata kanthi atau tuntun. Artinya dituntun, agar setiap
anak manusia dapat menempuh alam kehidupan di dunia.
5. Sinom, artinya bekal untuk para remaja supaya menimba ilmu sebanyak-
banyaknya. Asmarandana, artinya rasa cinta terhadap seseorang.
14

6. Gambuh, berasal dari kata jumbuh, artinya jika dua orang (laki-laki dan
perempuan) sudah jumbuh atau cocok sebaiknya disatukan dalam sebuah
pernikahan.
7. Dangdanggula, menggambarkan seseorang yang sedang bahagia. Apa yang
diinginkan akan terlaksana, seperti memiliki keluarga, anak serta harta yang
cukup.
8. Durma, artinya berderma. Ketika seseorang sudah berkecukupan, akan
muncul secara spontan dalam hatinya untuk berbagi kepada sesama.
9. Pungkur, artinya, menyingkir dari segala nafsu angkara murka. Hidup untuk
saling menolong sesama, tanpa memikirkan ego sendiri.
10. Magatru, artinya putus nyawa. Seseorang harus rela untuk kembali pada
Sang Pencipta.
11. Pucung, artinya hidup kita akan berakhir dengan kain mori atau pucung.
12. Wirangrong, menggambarkan orang yang sedang mendapatkan kesialan
atau mendapatkan malketikau.
13. Lamban, menggambarkan anak-anak yang sedang bermain dan sedang
bersenang-senang.
14. Gambuh, menggambarkan orang yang sedang bingung, tidak jelas tujuan,
dan maksud.
15. Balakbak, untuk menggambarkan orang yang sedang bergembira dan
bersenangsenang.
16. Ladrang, menggambarkan orang yang sedang bersenang-senang seperti
halnya pupuh Lamban.
17. Juru demung, untuk menggambarkan yang sedang dalam penyesalan, tetapi
tidak kecil hati dan selalu optimis.
15

Gambar 2.7.: Buku Wawacan Seni Beluk (Dok. BPNB Jabar, 2020)

Berdasarkan pada fungsinya, Seni Beluk ini berfungsi sebagai sarana ritual.
Namun dalam perkembangan berikutnya, kesenian Beluk ini mengalami perubahan
fungsi dari sarana ritual menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang menikmatinya.

2.8 Sistem Peralatan dan Teknologi


Berbicara mengenai sistem teknologi tentu tidak dapat dipisahkan dari kearifan
lokal yang berkembang di sana. Kearifan lokal atau local wisdom merupakan
pengetahuan yang dikembangkan di dalam suatu masyarakat, di mana pengetahuan ini
didapatkan dari berbagai proses dan hal-hal yang dialami oleh suatu masyarakat tersebut
di tempat di mana ia tinggal. Hal tersebut bisa berupa pengalaman ketika terjadi bencana
alam, seperti banjir, gempa dan lain-lain, atau bisa berupa kondisi lingkungan tempat di
mana mereka tinggal. Pengetahuan inilah yang kemudian tersimpan dalam memori di
suatu masyarakat tersebut, yang kemudian masyarakat tersebut berinovasi dan
menciptakan suatu sistem teknologi yang kemudian diterapkan di lingkungan tempat
mereka tinggal. Dalam hal ini, masyarakat Kampung Adat Cikondang memiliki sistem
peralatan dan teknologi yang ditunjukkan sebagai berikut:

1. Alat-alat Produktif
Mengenai alat-alat produktif, masyarakat Kampung Adat Cikondang
dahulunya merupakan masyarakat agraris yang sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani. Masyarakat Kampung Adat Cikondang ini sangat
menghormati lingkungan tempat mereka tinggal, dan mematuhi aturan yang telah
ditetapkan oleh tokoh adat mereka, terutama mengenai penggunaan lahan.
16

Masyarakat Kampung Adat Cikondang ini akan menggunakan lahan untuk


dijadikan lahan bercocok tanam apabila lahan tersebut sebelumnya menurut
mereka telah rusak. Aturan ketat mengenai pemanfaatan hutan larangan pun
masih sangat dipertahankan, karena penggunaannya hanya digunakan untuk
keperluan adat. Dikarenakan hutan larangan ini masih lestari, maka keuntungan
yang dapat dirasakan masyarakat Kampung Adat Cikondang adalah
keberlimpahan air.
Banyaknya sumber air yang melimpah, tentu dimanfaatkan dengan baik
oleh masyarakat Kampung Adat Cikondang. Dalam hal penggunaan air lebih
banyak digunakan untuk mengaliri lahan-lahan pertanian. Selain itu, masyarakat
Kampung Adat Cikondang juga mengenal sistem sanitasi yang sehat. Terdapat
suatu sistem pengaliran air, di mana sumber air masyarakat Cikondang diambil
dari mata air Gunung Tilu dan Ciruntah yang dialirkan dengan menggunakan pipa
dan ditampung dalam bak penampungan air sementara dengan ukuran 4x4 meter.
Air tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Kampung Adat
Cikondang (Hidayat, 2020).

2. Arsitektur Rumah
Terdapat sebuah rumah adat Cikondang yang terletak di selatan
permukiman Kampung Adat Cikondang. Rumah adat ini diperkirakan berusia dua
ratus tahun dan kini dianggap sebagai bangunan yang dikeramatkan oleh warga
sekitar. Dijelaskan bahwa pada tahun 1942, Kampung Adat Cikondang pernah
mengalami suatu kebakaran hebat, dan hanya menyisakan satu rumah saja yang
kemudian dijadikan rumah adat karena masih menunjukkan peninggalan budaya
khas masyarakat Kampung Adat Cikondang (BPCB Banten, 2016).

Gambar 2.8.: Rumah Adat Cikondang


17

Bila kita rumah adat Cikondang ini merupakan bangunan yang bercirikan
rumah panggung, di mana rumah-rumah penduduk Kampung Cikondang dibuat
lebih rendah daripada rumah adat Cikodang untuk menghormati leluhur mereka.
Secara tata ruang, rumah adat Cikondang terdiri dari tiga ruangan. Ruangan
pertama adalah kamar penyimpanan beras atau yang biasa masyarakat di sana
disebut dengan pangcalikan, kemudian terdapat kamar mandi kuncen, dan
terakhir adalah kamar tamu. Kamar tamu ini biasa digunakan sebagai tempat
penyelenggaraan upacara. Di tempat itu pula terdapat dapur yang hanya terdiri
atas perapian (hawu) dan parako (Anwar, 2013).

Rumah adat Cikondang ini terbuat dari bahan konstruksi alami yang
diambil dari hutan larangan. Atapnya memiliki bentuk suhunan jolopong atau
suhunan lurus yang terbuat dari ijuk dan daun alang-alang (eurih). Daun alang-
alang ini ditempatkan di dasar yang kemudian ditutupi oleh ijuk. Bagian atap yang
mendatar (talahab) terbuat dari bambu yang dibelah dua kemudian disusun
bertumpang tindih saling menutupi (Maknun, 2017). Tiang bangunannya terbuat
dari kayu, kemudian dindingnya terbuat dari bilik yang berasal dari anyaman
bambu, dan lantainya terbuat dari bambu yang disebut sebagai palupuh. Selain itu
untuk sambungan bangunannya menggunakan paseuk (sejenis paku yang terbuat
dari bamboo) untuk penguat antar tiangnya. Sedangkan untuk penguat bagian
atapnya menggunakan tali yang terbuat dari ijuk, atau sabut kelapa (Maknun,
2017).

Di depan rumah adat Cikondang ini terdapat tampian yang merupakan


kolam kecil tempat mencuci, kemudian terdapat kamar mandi (jamban), lumbung
padi (leuit), dan bale paseban yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Di
belakang rumah adat Cikondang terdapat hutan larangan (BPCB Banten, 2016).

Selain rumah adat Cikondang, rumah penduduk Kampung Adat


Cikondang juga sama-sama memiliki bentuk rumah panggung. Yang
membedakan antara rumah adat Cikondang dengan rumah penduduk adalah
penggunaan bahan bangunannya. Khusus untuk rumah adat Cikondang bahan
bangunan yang digunakan hanyalah yang ada di dalam hutan larangan, apabila
terdapat penggunaan bahan bangunan di luar hasil hutan larangan maka
18

diperlukan izin dari kuncen rumah adat Cikondang. Untuk rumah penduduknya
sendiri, bahan bangunannya diperbolehkan untuk mengambil dari luar hutan
larangan, bahkan sudah tampak modernisasi di Kampung Adat Cikondang seperti
adanya penggunaan kaca pada jendela rumah penduduk, dan juga penggunaan
genteng sebagai atap rumah penduduk. Namun adanya modernisasi tentu
dilakukan tanpa menghilangkan unsur asli dari kampung adat tersebut.

Gambar 2.8.: Rumah Penduduk di Kampung Adat Cikondang

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditunjukkan bahwa bangunan-


bangunan yang terdapat di Kampung Adat Cikondang merupakan rumah
panggung, di mana bangunan ini merupakan bangunan yang tahan gempa, karena
terbuat dari material-material yang ringan seperti kayu dan bambu. Selain itu
rumah adat Cikondang ini pun menunjukkan local genius yang dimiliki
masyarakat Kampung Adat Cikondang mengenai mitigasi bencana alam gempa
bumi yang seringkali terjadi di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, tampian yang
digunakan sebagai tempat mencuci menunjukkan bahwa masyarakat Kampung
Adat Cikondang sudah mengenal kebiasaan menjaga kesehatan dan mencuci
tangan dan kaki setelah beraktivitas.

3. Peralatan Rumah Tangga


Para penduduk Kampung Adat Cikondang masih menggunakan peralatan
rumah tangga yang bersifat tradisional. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan
bahan seng sebagai peralatan makan dan minum, seperti cangkir, piring sendok,
dan rantang. Selain itu terdapat peralatan rumah tangga yang dibuat dari bahan
19

lainnya, seperti entik, yang merupakan gelas yang terbuat dari tempurung kelapa,
dan juga aseupan (tempat menanak/mengukus nasi), dan boboko (tempat
menyimpan nasi) yang terbuat dari bahan anyaman bambu, dan juga langseng
(tempat memasak/menanak nasi) yang terbuat dari logam tembaga (Anwar, 2013).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ini

16
Daftar Pustaka

Artikel Internet
BPCB Banten. (2016, October 10). Rumah Adat Cikondang. Retrieved from
Kebudayaan Kemendikbud:
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/rumah-adat-cikondang/
Kampung Adat Cikondang , Merawat yang Tersisa. November 2013. KOMPAS.com:
https://travel.kompas.com/read/2013/11/22/1655115/Kampung.Adat.Cikondang.
Merawat.yang.Tersisa?page=all#page2, diakses pada 5 Mei 2021, pukul 09.00
WIB.
Artikel Jurnal
Anwar, H. & Nugraha, H. A. (2013). Rumah Etnik Sunda. Depok: Griya Kreasi.
Hidayat, S. & Surtikanti, H. K. (2020). Reflection of an environmental ethics education
based on local wisdom in the kampung adat Cikondang of Bandung regency
against environmental conservation and sanitation. International Conference on
Mathematics and Science Education, 45-51.
Maknun, J. (2017). Konsep Sains dan Teknologi pada Masyarakat Tradisional di
Provinsi Jawa Barat, Indonesia. MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia
untuk Kajian Pendidikan, 127-142.
Miharja, Deni. 2016. Wujud Kebudayaan Masyarakat Adat Cikondang dalam
Melestarikan Lingkungan. Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1
(September2016): 52-61.
Ramdhan, Billyardi, Tatik Chikmawati, dan Eko Baroto. Januari, 2015. Perspektif
Kultural Pengelolaan Lingkungan pada Masyarakat Adat Cikondang Kabupaten
Bandung Jawa Barat. Jurnal Sumberdaya HAYATI Vol. 1 No. 1. hlm 7-4.
Surtikanti, H. K., S. Hidayat. 2020. Reflection of an environmental ethics education based
on local wisdom in the kampung adat Cikondang of Bandung regency against
environmental conservation and sanitation. International Conference on
Mathematics and Science Education, Vol. 5. hlm 45-51.
GAMBAR
Kampung Adat Cikondang. Juli 2012. BANDUNGPVJ:
https://bandungpvj.files.wordpress.com/2012/07/5.jpg, diakses pada 5 Mei 2021,
pukul 10.00 WIB.
https://jabarprov.go.id/index.php/potensi_daerah/detail/79/1

17
Jurnal Potensi Budaya Rupa Kampung Adat Cikondang Kabupaten Bandung sebagai

Sumber Etnopedagogi Karakter Masyarakat

18

Anda mungkin juga menyukai