Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kebudayaan
Sunda yang Diampu Oleh:
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
NYA sehingga makalah kami yang yang membahas tentang Kampung Adat Cikondang
dapat tersusun hingga selesai untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebudayaan Sunda.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Kebudayaan Sunda. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Kampung Adat Cikondang bagi para pembaca dan juga bagi
kami.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu, kritik serta saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
Daftar Isi:
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kampung Adat adalah suatu lingkungan yang memiliki dan juga masih
mempertahankan adat istiadat, hukum, dan aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur dari
tempat tersebut. Adapun definisi lain yang menyebutkan bahwa kampung Adat ialah
kumpulan beberapa desa yang menggunakan adat sebagai pilar kehidupan bermasyarakat.
Adat-adat yang ada oleh masyarakat Kampung Adat dijaga dan dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari bahkan hingga saat ini. Lokasi-lokasi Kampung Adat biasanya
terletak di tempat terpencil dan asing pada teknologi dan kehidupan modern. Lalu seiring
berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, pemerintah melalui Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan program pelestarian berdasarkan pendidikan
dan penelitian pada Kampung-kampung Adat tersebut, juga menetapkan keberadaan
Kampung Adat. Keberadaan Kampung Adat sendiri membawa perubahan pada
lingkungan dan masyarakat dalam Kampung Adat itu sendiri juga masyarakat umum.
Salah satu Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat adalah Kampung Adat
Cikondang. Kampung Adat Cikondang merupakan sebuah perkampungan yang terletak
di dalam wilayah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data yang diperoleh, seluruh masyarakat Cikondang memeluk agama Islam.
Adat yang ada di Kampung Adat Cikondang berdasarkan pada budaya sunda dengan
pengaruh agama Islam. Di Kampung Adat Cikondang telah terjadi proses integrasi Islam
dengan budaya Sunda dalam segala aspek kehidupan. Masyarakat Kampung Adat
Cikondang dikenal sebagai etnis Sunda dan dikategorikan sebagai komunitas masyarakat
adat, karena hingga saat ini mereka masih berpegang teguh terhadap ajaran para
leluhurnya. Hal menonjol yang ada pada masyarakat Kampung Adat Cikondang ialah
kegigihan masyarakat Kampung Adat Cikondang dalam melestarikan dan memanfaatkan
lingkungan sekitarnya untuk kehidupannya sendiri. Kondisi ini bisa dilihat dan
dibuktikan, ketika musim hujan wilayah Cikondang tidak terkena longsor, bahkan sumber
air bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pertanian, walaupun posisi
kampungnya berada di perbukitan Gunung Tilu. Begitupun ketika musim kemarau
masyarakat adat Cikondang tidak perlu khawatir kekurangan air walaupun posisinya ada
di perbukitan pegunungan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 2.1.: Peta Desa Wisata Lamajang, bisa dilihat terdapat Keramat Cikondang
sebagai salah satu tujuan wisata
2
3
maksudnya tersendiri (Ramdhan, Billyardi, Tatik Chikmawati, dan Eko Baroto. 2015:9-
11). Klasifikasi tersebut terdiri dari:
Hutan Gunung Tilu
Hutan Gunung Tilu merupakan hutan alami yang pengelolaannya berada
di bawah Departemen Kehutanan dan memiliki luas 8.000 Ha.
Hutan Bukaan-Tutupan
Hutan Bukaan-Tutupan merupakan bagian dari Hutan Gunung Tilu dan
memiliki fungsi sebagai hutan produksi dan hutan penyangga dengan luas 25 Ha.
Hutan ini dikelola oleh Perhutani dan kelompok tani hutan.
Hutan Awisan
Hutan Awisan merupakan hutan adat yang menjadi tempat dibangunnya
bumi adat, leuit, lisung, pancuran, tampian, balong, dan sawah adat yang menjadi
bagian cagar budaya sehingga masyarakat enggan untuk merubah atau
menggunakan hasil alam hutan ini. Selain itu, terdapat makam adat di dataran
paling atas hutan Awisan.
Parabon
Parabon (paranti ngebon) merupakan tempat berkebun yang dimiliki oleh
Desa. Pada awalnya Parabon merupakan lahan bagian dari hutan gunung tilu yang
diberikan kepada pemerintah Desa yang kemudian menyewakan lahan-lahan ini
kepada masyarakat sebagai salah satu pemasukan Desa.
Kebon
Kebon atau kebun memiliki fungsi yang sama dengan Parabon yaitu
tempat berkebun masyarakat. Perbedaan dari kebon dan parabon adalah
pemiliknya. Jika parabon merupakan lahan milik Desa maka kebon merupakan
lahan pribadi milik warga.
Lamping
Lamping merupakan lahan curam yang memiliki kemiringan 45 derajat
dan dikelola oleh masyarakat sesuai aturan adat menjadi lahan penanaman bambu.
Sawah Adat
Sawah adat terletak di samping Hutan Awisan dan dikelola oleh
masyarakat dengan tujuan sebagai sumber kesejahteraan pelaksanaan upacara
adat.
4
Perkampungan
Seperti namanya, lahan ini memiliki fungsi sebagai lahan pemukiman
masyarakat. Masyarakat Cikondang menentukan lahan pemukiman dengan cara
mengikuti wasiat Uyut Pameget sebagai karuhun atau leluhur Cikondang yang
menetapkan bahwa pembangunan rumah harus di lahan datar dan lahan cekung
dijadikan tempat menampung air seperti balong atau kolam.
Pesawahan
Lahan yang terdapat di bawah kampung dijadikan sengkedan sehingga
terbentuk sawah terasering. Berbeda dengan sawah adat yang hasilnya hanya
digunakan pada upacara adat, pesawahan ini merupakan lahan milik masyarakat
dan hasilnya pun menjadi salh satu penghasilan masyarakat Cikondang.
Sistem religi merupakan salah satu sistem yang selalu ada dan berkembang dalam
kehidupan bermasyarakat. Religi biasanya berkembang dan dijadikan panduan selama
mereka menjalani kehidupan. Terdapat beberapa sistem religi yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat di desa Cikondang. Hal tersebut mencakup beberapa hal seperti agama,
upacara adat, pamali, atau hal-hal yang dikeramatkan.
a. Nilai atau Norma yang Bersumber dari Agama/Kepercayaan
Nilai dan norma yang ada di kampung adat Cikondang dijalankan dan
dipertahankan oleh masyarakat desa kampung Cikondang. Norma yang dianut
oleh masyarakatnya memiliki ikatan yang kuat dengan pengaruh kepercayaan
mereka terhadap leluhur. Meski begitu, seluruh masyarakat desa Cikondang
memiliki agama yang sama yaitu agama Islam. Beberapa ajaran yang masih
5
Siapapun yang memasuki hutan tidak bisa dilihat oleh orang di luar hutan. Dan
fungsi yang terakhir adalah untuk menyimpan alat-alat upacara. Alat upacara ini
tidak dapat digunakan secara sembarangan oleh siapapun yang tidak memiliki
wewenang. Alat-alat ini disimpan di atas batu sebesar kursi.
Kampung Cikondang memiliki kepala desa dan kepala dusun yang mengatur
pemerintahan desa. Namun secara adat, Kampung Cikondang memiliki kuncen sebagai
pemimpin adatnya. Penghuni Bumi Adat terdiri atas satu kuren (suami istri) yang
memperoleh wangsit untuk menjaga Bumi Adat. Istri harus tidak haid (menopause) lagi.
Sang suami lazim dipanggil Kuncen atau Juru Kunci. Ia selalu memakai iket dan pakaian
khas Sunda (baju kampret dan celana komprang).
Jabatan kuncen di Bumi Adat atau ketua adat kampung Cikondang memiliki pola
pengangkatan yang khas. Ada beberapa syarat untuk menjadi kuncen Bumi Adat, yaitu
harus memiliki ikatan darah atau masih keturunan leluhur Bumi Adat. la harus laki-laki
dan dipilih berdasarkan wangsit, artinya anak seorang kuncen yang meninggal tidak
secara otomatis diangkat untuk menggantikan ayahnya. Dia Iayak dan patut diangkat
menjadi kuncen jika telah menerima wangsit. Biasanya nominasi sang anak untuk
menjadi kuncen akan sirna jika pola pikirnya tidak sesuai dengan hukum adat Ieluhurnya.
Pergantian kuncen biasanya diawali dengan menghilangnya “cincin wulung” milik
kuncen. Selanjutnya orang yang menemukannya dapat dipastikan menjadi ahli waris
pengganti kuncen. Cincin wulung dapat dikatakan sebagai mahkota bagi para kuncen di
Bumi Adat kampung Cikondang. Kuncen yang telah terpilih, dalam kehidupan sehari-
hari diharuskan mengenakan pakaian adat Sunda, Iengkap dengan iket (ikat kepala).
Jabatan kuncen Bumi Adat mencakup pemangku adat, sesepuh masyarakat.
Kuncen harus tetap tinggal di Rumah Adat peninggalan leluhur. Setiap hari minggu
malam senin ia memandu mengantar tamu domestik yang akan ziarah ke makam keramat.
Kuncen harus tetap melestarikan adat istiadat antara lain: Pada Tanggal 15 Muharam
melaksanakan ritual Budaya Wuku-Taun. Pada bulan September melaksanakan adat
ruatan hajat sumber air bersih. Kuncen harus tetap melestarikan tradisi agraris. Kuncen
bertugas dan harus sanggup menjadi imam di Masjid. Selain itu, tugas kuncen juga
10
memelihara sarana prasarana rumah adat dan Bale. Kuncen harus memelihara lahan
pertanian palawija padi huma dan bawang merah, memelihara sawah 0,75 H, memelihara
hutan keramat. Kuncen dibantu pegawai tetap pasapon, merawat hutan dan kebersihan
halaman, menggarap sawah awisan dan lahan palawija, dan memelihara pagar kandang
jaga dari bambu. Sampai saat ini, terdapat enam kuncen yang memelihara Bumi Adat di
Kampung Adat Cikondang, diantaranya Ma Empuh, Ma Akung, Anom Idil, Anom
Rumya, Aki Emen, dan Anom Juhana.
Meskipun mereka mempercayai akan adanya hal-hal yang bersifat ghaib dan masih
melaksanakan ritual-ritual sebagai bentuk pelestarian kebudayaan leluhur, masyarakat
11
kampung adat Cikondang tidak melupakan syariat Islam yang juga harus mereka
jalankan. Menurut kuncen di sana, mereka berusaha untuk tetap menjaga kebudayaan
tanpa melupakan syariat Islam, dengan kata lain mereka menjalankan berbagai ritual
tersebut semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan sebagai
tindakan yang disebut musyrik dan nilai ajaran Islam tetap menjadi yang utama.
Menurut Rosyid E. Abby (2010), bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari oleh penduduk Kampung Adat Cikondang adalah bahasa Sunda dengan dialek
Priangan. dimana dialek bahasa sunda Priangan ini biasanya digunakan oleh masyarakat
Bandung. Dalam kehidupan sehari - hari terutama jika berbincang dengan para tamu akan
menggunakan bahasa Sunda halus sehingga tampak keramahan dan kehalusan budi
pekerti.
Bahasa Sunda Dialek Priangan dikenal sebagai bahasa Sunda terhalus yang memiliki
perbedaan dari dialek - dialek bahasa Sunda lainnya. Dimana bahasa Sunda Dialek
Parahyangan sebelumnya lebih dikenal sebagai dialek Bandung atau dialek wilayah
selatan. Yang mana dialek Bandung ini dianggap “ naik pamor ” (makin terkenal) dan
12
Seperti yang kita ketahui bahwa kesenian merupakan suatu wadah atau tempat
manusia untuk mengekspresikan kreativitas dan kebebasannya. Kesenian ini, merujuk
pada unsur keindahan yang berasal dari hati manusia. Seperti halnya bidang kesenian
yang ada di Desa Cikondang. Kesenian yang cukup terkenal di Desa Cikondang ini ialah
kesenian "beluk". Keberadaan Seni Beluk ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yaitu
sejak masa penjajahan Belanda (kolonial). Kesenian beluk ini pada dasarnya merupakan
kesenian tembang buhun (kuno) yang mengutamakan tinggi rendahnya suara.
Kesenian beluk ini juga dilengkapi oleh pemainnya yang membacakan wawacan
(Carita Babad). Wawacan ini juga sering diartikan sebagai singkatan dari wawaran ka nu
acan (memberitahu kepada yang belum mengetahui). Adapun contoh wawacan seperti,
wawacan Samaun, Barjah, Ogin, Rengganis, Babar Nabi, Ahmad Muhammad,
Amungsari, Jayalalana, Natasukma, Mahabarata, Mundinglaya, Lutung Kasarung, Ciung
Wanara dan sebagainya.
6. Gambuh, berasal dari kata jumbuh, artinya jika dua orang (laki-laki dan
perempuan) sudah jumbuh atau cocok sebaiknya disatukan dalam sebuah
pernikahan.
7. Dangdanggula, menggambarkan seseorang yang sedang bahagia. Apa yang
diinginkan akan terlaksana, seperti memiliki keluarga, anak serta harta yang
cukup.
8. Durma, artinya berderma. Ketika seseorang sudah berkecukupan, akan
muncul secara spontan dalam hatinya untuk berbagi kepada sesama.
9. Pungkur, artinya, menyingkir dari segala nafsu angkara murka. Hidup untuk
saling menolong sesama, tanpa memikirkan ego sendiri.
10. Magatru, artinya putus nyawa. Seseorang harus rela untuk kembali pada
Sang Pencipta.
11. Pucung, artinya hidup kita akan berakhir dengan kain mori atau pucung.
12. Wirangrong, menggambarkan orang yang sedang mendapatkan kesialan
atau mendapatkan malketikau.
13. Lamban, menggambarkan anak-anak yang sedang bermain dan sedang
bersenang-senang.
14. Gambuh, menggambarkan orang yang sedang bingung, tidak jelas tujuan,
dan maksud.
15. Balakbak, untuk menggambarkan orang yang sedang bergembira dan
bersenangsenang.
16. Ladrang, menggambarkan orang yang sedang bersenang-senang seperti
halnya pupuh Lamban.
17. Juru demung, untuk menggambarkan yang sedang dalam penyesalan, tetapi
tidak kecil hati dan selalu optimis.
15
Gambar 2.7.: Buku Wawacan Seni Beluk (Dok. BPNB Jabar, 2020)
Berdasarkan pada fungsinya, Seni Beluk ini berfungsi sebagai sarana ritual.
Namun dalam perkembangan berikutnya, kesenian Beluk ini mengalami perubahan
fungsi dari sarana ritual menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang menikmatinya.
1. Alat-alat Produktif
Mengenai alat-alat produktif, masyarakat Kampung Adat Cikondang
dahulunya merupakan masyarakat agraris yang sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani. Masyarakat Kampung Adat Cikondang ini sangat
menghormati lingkungan tempat mereka tinggal, dan mematuhi aturan yang telah
ditetapkan oleh tokoh adat mereka, terutama mengenai penggunaan lahan.
16
2. Arsitektur Rumah
Terdapat sebuah rumah adat Cikondang yang terletak di selatan
permukiman Kampung Adat Cikondang. Rumah adat ini diperkirakan berusia dua
ratus tahun dan kini dianggap sebagai bangunan yang dikeramatkan oleh warga
sekitar. Dijelaskan bahwa pada tahun 1942, Kampung Adat Cikondang pernah
mengalami suatu kebakaran hebat, dan hanya menyisakan satu rumah saja yang
kemudian dijadikan rumah adat karena masih menunjukkan peninggalan budaya
khas masyarakat Kampung Adat Cikondang (BPCB Banten, 2016).
Bila kita rumah adat Cikondang ini merupakan bangunan yang bercirikan
rumah panggung, di mana rumah-rumah penduduk Kampung Cikondang dibuat
lebih rendah daripada rumah adat Cikodang untuk menghormati leluhur mereka.
Secara tata ruang, rumah adat Cikondang terdiri dari tiga ruangan. Ruangan
pertama adalah kamar penyimpanan beras atau yang biasa masyarakat di sana
disebut dengan pangcalikan, kemudian terdapat kamar mandi kuncen, dan
terakhir adalah kamar tamu. Kamar tamu ini biasa digunakan sebagai tempat
penyelenggaraan upacara. Di tempat itu pula terdapat dapur yang hanya terdiri
atas perapian (hawu) dan parako (Anwar, 2013).
Rumah adat Cikondang ini terbuat dari bahan konstruksi alami yang
diambil dari hutan larangan. Atapnya memiliki bentuk suhunan jolopong atau
suhunan lurus yang terbuat dari ijuk dan daun alang-alang (eurih). Daun alang-
alang ini ditempatkan di dasar yang kemudian ditutupi oleh ijuk. Bagian atap yang
mendatar (talahab) terbuat dari bambu yang dibelah dua kemudian disusun
bertumpang tindih saling menutupi (Maknun, 2017). Tiang bangunannya terbuat
dari kayu, kemudian dindingnya terbuat dari bilik yang berasal dari anyaman
bambu, dan lantainya terbuat dari bambu yang disebut sebagai palupuh. Selain itu
untuk sambungan bangunannya menggunakan paseuk (sejenis paku yang terbuat
dari bamboo) untuk penguat antar tiangnya. Sedangkan untuk penguat bagian
atapnya menggunakan tali yang terbuat dari ijuk, atau sabut kelapa (Maknun,
2017).
diperlukan izin dari kuncen rumah adat Cikondang. Untuk rumah penduduknya
sendiri, bahan bangunannya diperbolehkan untuk mengambil dari luar hutan
larangan, bahkan sudah tampak modernisasi di Kampung Adat Cikondang seperti
adanya penggunaan kaca pada jendela rumah penduduk, dan juga penggunaan
genteng sebagai atap rumah penduduk. Namun adanya modernisasi tentu
dilakukan tanpa menghilangkan unsur asli dari kampung adat tersebut.
lainnya, seperti entik, yang merupakan gelas yang terbuat dari tempurung kelapa,
dan juga aseupan (tempat menanak/mengukus nasi), dan boboko (tempat
menyimpan nasi) yang terbuat dari bahan anyaman bambu, dan juga langseng
(tempat memasak/menanak nasi) yang terbuat dari logam tembaga (Anwar, 2013).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ini
16
Daftar Pustaka
Artikel Internet
BPCB Banten. (2016, October 10). Rumah Adat Cikondang. Retrieved from
Kebudayaan Kemendikbud:
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/rumah-adat-cikondang/
Kampung Adat Cikondang , Merawat yang Tersisa. November 2013. KOMPAS.com:
https://travel.kompas.com/read/2013/11/22/1655115/Kampung.Adat.Cikondang.
Merawat.yang.Tersisa?page=all#page2, diakses pada 5 Mei 2021, pukul 09.00
WIB.
Artikel Jurnal
Anwar, H. & Nugraha, H. A. (2013). Rumah Etnik Sunda. Depok: Griya Kreasi.
Hidayat, S. & Surtikanti, H. K. (2020). Reflection of an environmental ethics education
based on local wisdom in the kampung adat Cikondang of Bandung regency
against environmental conservation and sanitation. International Conference on
Mathematics and Science Education, 45-51.
Maknun, J. (2017). Konsep Sains dan Teknologi pada Masyarakat Tradisional di
Provinsi Jawa Barat, Indonesia. MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia
untuk Kajian Pendidikan, 127-142.
Miharja, Deni. 2016. Wujud Kebudayaan Masyarakat Adat Cikondang dalam
Melestarikan Lingkungan. Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1
(September2016): 52-61.
Ramdhan, Billyardi, Tatik Chikmawati, dan Eko Baroto. Januari, 2015. Perspektif
Kultural Pengelolaan Lingkungan pada Masyarakat Adat Cikondang Kabupaten
Bandung Jawa Barat. Jurnal Sumberdaya HAYATI Vol. 1 No. 1. hlm 7-4.
Surtikanti, H. K., S. Hidayat. 2020. Reflection of an environmental ethics education based
on local wisdom in the kampung adat Cikondang of Bandung regency against
environmental conservation and sanitation. International Conference on
Mathematics and Science Education, Vol. 5. hlm 45-51.
GAMBAR
Kampung Adat Cikondang. Juli 2012. BANDUNGPVJ:
https://bandungpvj.files.wordpress.com/2012/07/5.jpg, diakses pada 5 Mei 2021,
pukul 10.00 WIB.
https://jabarprov.go.id/index.php/potensi_daerah/detail/79/1
17
Jurnal Potensi Budaya Rupa Kampung Adat Cikondang Kabupaten Bandung sebagai
18