Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN TUGAS

MK. KEARIFAN LOKAL BUDAYA SUMUT


PRODI S1 PEND. ANTROPOLOGI - FIS

P
SKOR NILAI :

KEARIFAN TERHADAP ALAM SECARA UMUM

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1

AWISA GRACE INDRIANA NADAEK ( 3173122006)

DESRE’E FADYA RAMADHANI (3173322014)

ERI WIRANTO GINTING (3171122003)

HARIOANTO SAPUTRA SIMANJUNTAK (3173322019)

RAHMAT SIREGAR (3172122003)

KELAS A REGULER 2017

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

FEBRUARI 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan salah satu tugas dari mata kuliah
Kearifan lokal dan budaya Sumut yang berjudul “Kearifan Terhadap Alam Secara
Umum”. Terimakasih kami ucapkan kepada segala pihak yang telah membantu,
khusunya dosen pengampu pada mata kuliah ini yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Kami
berharap semoga makalah ini sesuai dengan yang diharapkan ibu dosen
pengampu.

Kritik dan saran yang diberikan dari pembaca sangat diperlukan untuk
memperbaiki bentuk maupun isi dari makalah ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.

Medan, Maret 2018

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I.................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3 Tujuan penulisan ................................................................................................. 1
1.4 Manfaat Penulisan............................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................ 2
2.1 Pengertian ................................................................................................................. 2
2.2 Bentuk kearifan terhadap alam di dalam berbagai suku secara umum..........2
BAB III .......................................................................................................................... 8
PENUTUP ..................................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 8
3.2 Saran ................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... ......................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya merupakan salah satu hal yang harus di jaga dan dilestarikan
setiap suku dan masyarakat, baik dari segi aturan serta kearifan-kearifan yang
telah di percaya dan diwariskan oleh para leluhur secara turun-temurun.
Dengan adanya kearifan secara sadar maupun tidak sadar kita akan bertidak
melindungi, menjaga dan melestarikan suatu hal dengan kepercayaan dapat
membawa berkat dan laknat jika kita melanggar hal itu.

Yang tentunya sangat menguntungkan juga bagi kita masyarakat seperti


kearifan lokal mengenai laut, gunung, pertanian, serta sungai dan berbagai hal
menarik lainnya, karena dengan adanya kearifan lokal tertsebut kita tentunya
akan menjaga dan mengikut aturan yang telah ditetapkan mengenai ke empat
hal tersebut sehingga kita tidak bertingkah macam-macam sekaligus secara
sadar maupun tidak sadar dapat melestaruikan hal-hal yang di rakit dalam
sebuah kearifan lokal tadi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu kearifan lokal
1.2.2 Bentuk kearifan terhadap alam di dalam berbagai suku secara umum
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu untuk memaparkan dan memberi
informasi mengenai apa dan bagaimana itu kearifan lokal disertai dengan
pemaparan mengenai bentuk-bentuk kearifan lokal di dalam suku yang
berbeda-beda.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini yaitu pembaca dapat mengetahui pengertian
kearifan lokal dan bentuk kearifan lokal di dalam lingkungan alam di
dalammberberapa suku dan masyarakat secara umum

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Kearifan lokal merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku
sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 1999:
48).

Kearifan lokal menurut UU No. 32/2009 tentang perlindungan dan


pengelolahan lingkungan hidup Bab: I Pasal I Butir 30 adalah: nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan
mengelolah lingkungan hidup secara lestari.

2.2 Bentuk kearifan terhadap alam di dalam berbagai suku secara umum

2.2.1 Tradisi Baunyale pada Suku Sasak (Lombok)

Salah satu kebudayaan suku Sasak di Lombok adalah tradisi Bau Nyale.
Ini merupakan salah satu tradisi sekaligus identitas suku Sasak. Oleh
sebab itu, tradisi ini masih tetap dilakukan oleh suku Sasak sampai
sekarang. Bau Nyale biasanya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di
daerah pesisir pantai di pulau Lombok selatan, khususnya di pantai
selatan Lombok Timur seperti pantai Sungkin, pantai Kaliantan, dan
Kecamatan Jerowaru. Selain itu, juga dilakukan di Lombok Tengah
seperti di pantai Seger, Kuta, dan pantai sekitarnya. Saat melakukan
tradisi ini biasanya juga dilengkapi dengan berbagai hiburan
pendamping.

Bau Nyale selalu dilakukan secara rutin setiap tahun. Tradisi ini
sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan dilakukan secara turun
temurun. Berdasarkan isi abad, Bau Nyale mulai dikenal masyarakat dan
diwariskan sejak sebelum abad 16. Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak.
Dalam bahasa Sasak, Bau artinya menangkap sedangkan Nyale adalah

2
nama sejenis cacing laut. Jadi sesuai dengan namnaya yaitu baunyale
yang artinya menangkap cacing laut. Cacing laut yang disebut dengan

Nyale ini termasuk dalam filum Annelida. Nyale hidup di dalam lubang-
lubang batu karang yang ada dibawah permukaan laut. Dan uniknya
cacing-cacing nyale tersebut hanya muncul ke permukaan laut hanya dua
kali setahun. Tradisi Bau Nyale merupakan sebuah kegiatan yang
dihubung-hubungkan dengan kebudayaan setempat. Bau Nyale berawal
dari legenda lokal yang melatarbelakangi yakni tentang kisah Putri
Mandalika.

Menurut kepercayaan masyarakat Lombok, nyale konon merupakan


jelmaan Putri Mandalika. Putri Mandalika dikisahkan sebagai putri yang
cantik dan baik budi pekerinya. Karena kecantikan dan kebaikannya,
banyak raja dan pangeran yang jatuh cinta kepadanya dan ingin
menjadikannya sebagai permaisuri. Putri tersebut bingung dan tidak bisa
menentukan pilihannya. Ia sangat bingung. Jika ia memilih salah satu
dari mereka, ia takut akan terjadi peperangan.

Putri yang baik ini tidak menginginkan peperangan karena ia tidak


mau rakyat menjadi korban. Oleh sebab itulah, putri pub lebih memilih
mengorbankan dirinya dengan menceburkan dirinya ke laut dan berubah
menjadi nyale yang berwarna-warni. Oleh sebab itu, masyarakat di sini
percaya bahwa nyale tidak hanya sekedar cacing laut biasa tetapi
merupakan makhluk yang dipercaya dapat membawa kesejahteraan bagi
yang menangkapnya.

Masyarakat di sini meghormati dan percaya bahwa orang yang


mengabaikannya akan mendapat kemalangan. Mereka yakin nyale dapat
membuat tanah pertanian mereka lebih subur dan mendapatkan hasil
panen yang memuaskan. Selain itu, nyale juga digunakan untuk lauk
pauk, obat dan keperluan lain yang bersifat magis sesuai kepercayaan
masing-masing. Tradisi Bau Nyale biasanya dilakukan dua kali setahun.
Tradisi ini dilakukan beberapa hari sesuai bulan purnama yaitu pada hari
ke-19 dan 20 bulan 10 dan 11 dalam penanggalan suku Sasak. Biasanya

3
tanggal tersebut jatuh pada bulan Februari dan Maret. Upacara
penangkapan cacing nyale dibagi menjadi dua yakni dilihat dari bulan
keluarnya nyale-nyale dari laut dan waktu penangkapannya. Dilihat dari
waktu penangkapan juga masih dibagi lagi menjadi jelo pemboyak dan
jelo tumpah. Bulan keluarnya nyale dikenal dengan nyale tunggak dan
nyale poto. Nyale tunggak merupakan nyale-nyale yang keluarnya pada
bulan kesepuluh sedangkan nyale poto keluarnya pada bulan kesebelas.
Kebanyakan nyale-nyale keluar saat nyale tunggak. Oleh sebab itu,
banyak masyarakat yang menangkap nyale saat bulan ke-10. Masyarakat
menangkap nyale biasanya saat menjelang subuh. Pada saat tersebut,
nyale berenang ke permukaan laut. Saat itulah masyarakat menangkap
nyale-nyale tersebut.

2.2.2 Tradisi Bapongka (Tradisi Penangkapan ikan dilaut oleh suku Bajo)

Bajo adalah sebuah etnik yang tidak terpisahkan dengan laut, pola
pemukiman masyarakat Bajo saja sangat unik, rumahnya kebanyakan
berada di atas air, yang dahulunya mereka tinggal di perahu-perahu atau
Lepa. Ada satu tradisi penangkapan ikan yang biasa mereka lakukan,
yang menyebabkan mereka melakukan perjalanan sampai jauh, tradisi
tersebut adalah Bapongka. Bapongka adalah tradisi masyarakat Bajo
yang menggunakan peralatan tradisional dan tetap memelihara
lingkungan laut dari kerusakan.

Bapongka atau disebut juga Babangi adalah bermalam di laut selama 3


hari sampai sebulan. Pongka adalah berlayar mencari nafkah atau atau
hasil-hasil laut ke daerah atau provinsi lain, selama beberapa
minggu/bulan dalam Menangkap Hasil Laut, bapongka ini merupakan
suatu kegiatan melaut khas masyarakat Bajo atau Bajau di Kepulauan
Togean yang telah dilakukan sejak lama. Mereka pergi ke satu tempat di
luar kampungnya untuk mencari hasil laut selang berhari-hari hingga
berminggu-minggu secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari
tiga sampai lima perahu, masing-masing perahu terdapat satu orang.
Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering dilakukan

4
berdasarkan kedekatan hubungan. Biasanya kelompok kecil tersebut
akan bertemu dengan kelompok kecil yang lain di suatu lokasi
penangkapan dan akhirnya membentuk kelompok besar yang
jumlahnya bisa mencapai 15 bahkan 20 perahu. Kelompok Bapongka
berupaya menangkap ikan, udang, lola, atau kepiting, teripang.

Perahu tradisional yang mereka gunakan disebut lepa, yang dilengkapi


cadik dan atap yang terbuat dari daun sagu. Umumnya perahu
dijalankan dengan dayung, meskipun saat ini ada beberapa perahu
dilengkapi mesin katinting. Pada saat bapongka mereka membawa cukup
banyak perlengkapan, seperti: bahan makanan seperti sagu, lampu
petromaks, tempat air, perlengkapan memasak dan makan, perlengkapan
tidur, perlengkapan memasak teripang, serta peralatan lainnya termasuk
peralatan menangkap teripang dan hasil laut lainnya.

Karena bapongka sudah dilakukan secara turun-temurun ada


kecenderungan lebih banyak masyarakat Bajo Togean yang memilih
bapongka dibanding kegiatan melaut lainnya. Bapongka bisa dibilang
berdampak baik bagi kelestarian laut, khususnya terumbu karang, karena
hanya menggunakan peralatan sederhana. Sayangnya, ada indikasi
bahwa hasil bapongka cenderung berkurang dari segi jumlah maupun
ukuran hasil laut. Dikhawatirkan berkurangnya
penghasilan bapongka akan mempengaruhi minat masyarakat
melakukan bapongka.

Dalam kehidupan suku Bajo ada beberapa hal yang merupakan


pantangan-pantangan dalam kehidupan, terutama apabila sedang
melaut yang mereka sebut Bapongka. Pantangan-pantangan tersebut
bagi orang Bajo diyakini dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Beberapa
pantangan yang tidak boleh membuang sesuatu di laut saat melakukan
Bapongka, Bahwa saat Bapongka tidak boleh membuang : air cucian
beras, arang kayu bekas memasak, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit
jeruk , abu dapur. Pada saat mencuci beras air cuciannya ditampung di
dalam perahu. Air cucian beras tersebut akan dibuang setelah mendekati

5
daratan. Demikian juga dengan arang kayu bekas memasak, abu dapur,
kulit jeruk, air cabe dan air jahe.

Sedang pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar sebagai seorang


istri di saat suami melaut yaitu: (1) istri yang ditinggal tidak boleh
membawa api dan menyapu di dalam rumah; (2) pada waktu hendak
berlayar jauh, setelah berada di dalam perahu, tidak boleh mengeluarkan
air yang ada dalam perahu sebelum perahu berjalan, dan (3) pada waktu
berada di laut atau dalam perjalanan tidak boleh mengucapkan kata-kata
kotor atau makian.

Kesederhanan perahu dan peralatan mengambil hasil laut dan pantangan


yang harus dilakukan, dimana mereka tak boleh melanggarnya karena
dipercaya akan terjadi bencana karena alam laut diyakini ada penguasa
dalam bentuk roh yakni Mbo. Hal-hal ini membuat tradisi Bapongka
sangat menghargai dan melestarikan alam, sebagai sebuah kearifan lokal
masyarakat Bajo.*** (Steven, dari berbagai sumber)

2.2.3 Tradisi Petik laut, Nyabis, Tellasan, dan Ojung pada masy
Situbondo

Wilayah pesisir Kabupaten situbondo yang panjang memiliki adat


istiadat atau tradisi daerah. Adat istiadat atau tradisi masyarakat pesisir
yang didominasi oleh nelayan ini salah satunya adalah kearifan local atau
local wisdom. Kearifan Lokal sendiri memiliki makna nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari. Ada beberapa kearifan lokal
Kabupaten Situbondo yang merupakan warisan leluhur dan masih tetap
dilaksanakan hingga saat ini oleh masyarakat nelayan disana yakni, Petik
Laut, Nyabis, Tellasan, dan Ojung.

Pertama, Kearifan Lokal Petik Laut dilaksanakan setiap tahun sekali


melalui proses musyawarah warga setempat. Dengan berbagai rangkaian
susunan acara dimulai dengan upacara selametan yang dipimpin oleh
ketua adat kemudian dilanjutkan dengan melarung sesaji ke laut lepas.
Semua sesajen ditaruh dalam replika kapal atau wadah tertentu.

6
Kemudian diakhiri dengan pertunjukan kesenian lokal di malam harinya.
Sumber dananya berasal murni dari masyarakat nelayan. Ritual ini
diyakini dapat membawa keselamatan bagi nelayan, selain itu bertujuan
sebagai tanda rasa syukur nelayan atas hasil laut dan sebagai acara
kumpul serta doa bersama agar keberlanjutan perikanan dilaut tetap
terjaga.

Yang kedua, kearifan lokal nyabis dilakukan oleh hampir semua


masyarakat lokal sebagai proses agar mendapatkan barokah yaitu,
dengan doa dari para kyai, karena anggapan luas masyarakat lokal
dengan adanya barokah ini, semua kegiatan mulai dari penangkapan,
perdagangan dan semua permasalahan bisa lebih mudah dan lancar.
Pelaksanaannya dilakukan pada hari jumat karena pada hari itu kyai libur
mengajar dipondok dan nelayan juga berhenti melaut.

Yang Ketiga adalah kearifan lokal Tellasan (hari raya) dilakukan pada
hari ke 27 atau H-3 tiga hari raya aktivitas melaut sudah mulai
dihentikan. Tiga hari H+3 setelah hari raya, aktifitas baru dilanjutkan
kembali. Aktivitas ini berdampak pada lingkungan, waktu dan
konsekuensi serta kontinyu. Bberdampak terhadap adanya pemberian
waktu terhadap biota laut yang dieksploitasi dalam penangkapan untuk
berkembang biak dan melakukan regenarasi, sehingga kualitas dan
kuantitasnya bisa terjaga dengan baik dan berlanjut.

Yang keempat adalah kearifan lokal Ojung, berupa atraksi saling


memukul dengan rotan yang dipotong pendek menyerupai pedang yang
dilakukan oleh dua orang. Tradisi dipercaya dapat menghindarkan
bencana dan terhindar dari carok. Selain itu bermanfaat bagi para nelayan
untuk meningkatkan kerukunan diantara mereka.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan
salah satu hal yang harus dijaga dan perlu dilestarikan, karna di dalamnya
banyak sekali memuat berbagai hal yang postif dan tak jarang memuat hal-hal
yang sangat menguntungkan bagi kita maupun terhadap alam, jika kita
memahami dan menyadarinya. Dan dari pembahsan di atas kita juga dapat
mengetahui bahwa banyak sekali laut-laut serta lingkungan alam yang terjaga
berkat adanya kearifan lokal yang terus dijaga dan di terapkan oleh berbagai
suku di indonesia ini, sehingga alam dan SDA kita tidak langsung habis
terexploitasi oleh kita yang cenderung memiliki sifat konsumtif yang
berlebihan. Waulupun kenyataanya berbanding terbalik dengan yang negara
kita alami saat ini.

3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan yaitu mari ikut menjaga dan melestarikan
budaya beserta kearifan kearifan lokal yang berada di dalamnya, namun jika
tidak mampu dan tidak mau untuk menjaga kekayaan bangsa tersebut,
setidakknya berhentilah untuk mencoba merusak dan melanggarnya, karena
hal itu merupakan sebuah tindakan yang mampu merusak kearifan yang
merupakan satu kesatuan dari budaya yang hanya bisa kita banggakan saat ini.

8
DAFTAR PUSTAKA

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulut/2014/11/26/bapongka-tradisi-
penangkapan-ikan-laut-orang-bajo-yang-menghargai-alam

https://www.kompasiana.com/rizkiarum/kearifan-lokal-masyarakat-di-kawasan-
pesisir-kabupaten-situbondo_5a0141c09b1e670b4679ec52

https://www.pusakapusaka.com/tradisi-bau-nyale-kebudayaan-penuh-filosofi-di-
lombok-ntb.html

Anda mungkin juga menyukai