Anda di halaman 1dari 14

KURANGNYA KESADARAN PENDIDIKAN

MASYARAKAT KAMPUNG

Disusun Oleh :
Nazril Akmal Alfarizi
Dzikri Firjatulloh
Aghisna Arifin Muhyi
KELAS VII

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA


ISLAM TERPADU
YABIPA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Swt yang telah memberikan
kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa kami
berterimakasih kepada Bapak Agung Sofian selaku dosen Kebudayaan Daerah yang telah
membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami sehingga makalah ini dapat selesai.
Tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada orangtua dan teman-teman yang telah
mendukung kami agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, namun kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman semua maupun bagi masyarakat
umum.

Bandung, 18 oktober 2021

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................................1

C. Tujuan........................................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................3

A. Sejarah Kampung Adat Cireundeu............................................................................................3

B. Penyebaran Agama di Kampung Cireundeu.............................................................................3

C. Kegiatan Upacara yang Ada di Kampung Cireundeu................................................................3

D. Tempat yang di Keramatkan........................................................Error! Bookmark not defined.

E. Organisasi di Kampung Cireundeu............................................................................................5

F. Taraf Pendidikan Warga Kampung Cireundeu..........................................................................6

G. Ketahanan Hidup Warga Kampung Adat Cireundeu.................................................................7

H. Aksesbilitas..................................................................................Error! Bookmark not defined.

BAB III PENUTUP...............................................................................................................................8

A. Kesimpulan................................................................................................................................8

B. Saran..........................................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, oleh


karenanya pendidikan sangat dibutuhkan dalam menunjang pekerjaan yang ada.
Baik pendidikan formal, nonformal maupun pendidikan informal.

Menurut saya kesadaran akan pendidikan di Indonesia masih sangat rendah,


khususnya pada masyarakat daerah yang terpencil bahkan di daerah perkotaan
besar seperti Jakarta saja masih banyak masyarakat yang memiliki tingkat
kesadaran akan pendidikan yang rendah. Sangat di sayangkan memang, tapi
inilah kenyataannya. Di tengah era globalisasi dan modernisasi, semakin
canggihnya teknologi masih saja ada masyarakat yang kurang menghargai
bagaimana pentingnya pendidikan. Di sini saya akan memarparkan beberapa hal
yang membuat masyarakat cenderung tidak mementingkan pendidikan dan
beberapa solusi dari masalah tersebut.

Rumusan Masalah
a. Mengapa pendidikan kampung kurang kesadaran
b. Bagaimana cara pendidikan di kampung agar mempunyai kesadaran?
B. Tujuan
a. Untuk mengetahui Mengapa masyarakat Kampung kurang kesadaran
b. Untuk mengetahui bagaimana cara orang Kampung Berpendidikan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kampung Adat Cireundeu


Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini
banyak sekali populasi pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan
obat herbal.  Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu
adalah kampung adat yang berada di kawasan lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng
dan Gunung Gajahlangu. Secara administratif, Kampung Adat Cireundeu tersebut terletak
di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Gambar: 2.1: Gapura selamat datang di kampung Cireundeu

Tak jauh dari kampung adalah bekas lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Leuwigajah, jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah yang menghijau atau
padi yang menguning, pada tanggal 21 Februari 2005 terjadi peristiwa longsornya gunungan
sampah yang merenggut 157 nyawa , kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita
akan banyak dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong yang terbentang luas.
Tempat ini adalah tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan Pangan”
karena masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong. Terdiri dari 50
kepala keluarga atau 800 jiwa, mayoritas mata pencaharian mereka adalah sebagai mana
adat orang sunda terdahulu yaitu bercocok tanam (bertani), jenis pertanian yang di tekuni di
kampung adat ini yaitu bertani ketela (singkong).

1
B. Penyebaran Agama di Kampung Cireundeu
Penduduk kampung Cireundeu masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan
leluhurnya yakni kepercayaan Sunda Wiwitan tetapi tidak semua warga menganut
kepercayaan Sunda Wiwitan, sudah ada warga yang memeluk agama lain, seperti Islam dan

1
Kristen. Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal. Warga kampung
Cirendeu sendiri menganut kepercayaan Sunda Wiwitan karena bagi warga kampung
Cirendeu agama bukan sebagai tuntutan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, namun
warga kampung Cirendeu tetap menyakini adanya Tuhan. Mereka memegang teguh tradisi
yang dibawa oleh tokoh terdahulu yaitu, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Pada
zaman pemerintah Belanda, Madrais pernah ditangkap dan dibuang ke Ternate. Ia baru
kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya. Menurut Abah Emen, ajaran
Madrais dikembangkan di Cireundeu ini setelah pertemuan kakeknya yaitu H.Ali dengan
Pangeran Madrais tahun 1930-an.
Pada tahun 1938, Pangeran Madrais berkunjung  ke Cireundeu dan sempat menetap
lama disana. Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais atau Pangeran Madrais adalah
salah satu keturunan Kesultanan Gebang Cirebon yang juga menyebarkan ajarannya di
daerah Cigugur, Kuningan. Ajaran Pangeran Madrais menitik beratkan pada kebanggaan
akan identitas kebangsaan atau kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh seluruh orang
sunda. Meski demikian, ajaran Madraisme tersebut menekankan toleransi dan kesediaan
yang kuat dalam menerima perbedaan, dan pembangunan jati diri bangsa dengan kecintaan
pada tanah air, yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”.

C. Kegiatan Upacara yang Ada di Kampung Cireundeu


Tahun baru Saka 1 Sura yang diperingati warga Cireundeu, bertepatan dengan tahun
baru Islam 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam dinamakan 1 Sura. Atau bahasa
lisannya 1 Suro. Jika Islam menggunakan Hijriyah, maka tradisi Jawa menggunakan Saka
sebagai tahun. Persamaan antara tahun Hijriyah dan Saka adalah sama-sama penanggalan
lunar atau memakai patokan peredaran bulan. Selain itu, patokan lainnya adalah 1 Muharam
dalam Hijriyah. Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan Agung
Hanyokrokusumo dari Mataram, menggantikan Saka Hindu. 1 Sura bagi warga Cireundeu,
ibarat Lebaran. Bagi masyarakat adat kampung Cirendeu, kegiatan ini menjadi sebuah
kegiatan wajib di setiap tahun. Apalagi bagi mereka upacara adat satu suro ini adalah hari
raya dalam kepercayaan yang mereka anut. Upacara syuraan memiliki makna yang dalam.
Bahwa manusia itu harus saling memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk
hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air,

2
api, kayu, dan langit. Hal ini sesuai dengan pandangan hidup mereka yaitu “Mugia Akur
Rukun Repeh Repih sareng Sasama Hirup”. Menurut Abah Widi, ritual 1 Sura yang rutin

2
digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan,
demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu
harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan
lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. “Karena
itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian
belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup.
a) Jenis Pakaian
Satu Sura bagi warga Cireundeu, seperti hari raya idul fitri. Sebelum tahun 2000,
mereka selalu mengenakan pakaian baru. Namun beberapa tahun terakhir ini, Saat
upacara adat Satu Sura, kaum laki-laki mengenakan pakaian pangsi warna
hitam,sementara kaum perempuan mengenakan kebaya atau pakaian warna putih yang
disebut toro dengan bawahannya menggunakan batik yang bergambar kujang.
b) Rangkaian Acara
Dalam prosesnya, setiap rangkaian upacara memiliki persamaan yang cukup signifikan
dengan beberapa aktifitas yang dilakukan umat muslim pada saat hari raya pula. Setiap
wanita membawa bunga dari kediaman masing-masing penyelenggaraan upacara
mayoritas ditangani oleh kaum pria, sedangkan kaum wanita mempersiapkan sesaji
yang akan disajikan untuk masyarakat kampung adat Cirendeu beserta tamu dari luar
kampung adat. Selain itu, pria dan wanita berada ditempat terpisah. Para wanita berada
di bale sarasehan beserta para sesepuh adat, sedangkan para pria berada di panggung
utama. Sebuah tanda syukur terhadap bumi yang mereka anggap sebagai tuhan
disajikan dalam bentuk sesajen, lantas setelah prosesi upacara selesai sesajen tadi
menjadi sesaji yang disajikan dan dinikmati oleh masyarakat bukan sekedar pajangan
semata. Setiap keluarga juga membawa bunga saat datang ke tempat upacara, bunga-
bunga yang dibawa ini nantinya dijadikan salah satu kebutuhan untuk nyekar ke makam
leluhur setelah proses upacara selesai. Rangkaian acara pada upacara adat Satu Sura
dimulai dengan mendengarkan wejangan dari salah seorang sesepuh kepala adat disana,
dilanjutkan dengan berdo’a bersama yang di pimpin oleh salah seorang sesepuh dengan
diiringi alat musik kecapi suling. Setelah berdo’a semua warga bersalaman kepada
sesepuh-sesepuh ketua adat dan kepada warga lainnya. Setelah acara itu selesai barulah
mereka nyekar ke makam leluhur. Pada hari kedua hingga hari terakhir pada bulan
syura ada yang disebut  tradisi kirim-kirim. Tradisi kirim-kirim adalah tradisi saling

3
berkirim makanan berupa nasi dan lauk-pauknya menggunakan rantang (tempat
makanan yang bersusun dengan sebuah pegangan). Teknisnya bergiliran, dalam sehari
satu rumah yang menyediakan makanan untuk di bagikan pada warga kampung dan
hari berikutnya rumah lainnya dan begitu seterusnya hingga berakhir bualn syura. Pada
minggu ke dua atau minggu ketiga di bulan syura yang bertepatan pada malam minggu
diadakan pementasan wayang. satu malam sebelum pementasan wayang diadakan
malam kreasi seni adat sunda seperti tari-tarian tradisional, permainan musik sunda, dan
silat (jenis bela diri adat sunda).
c) Jenis Makanan
Makanan yang di sajikan pada upacara 1 sura yaitu  gunungan sesajen berupa buah-
buahan dan tumpeng rasi (nasi kuning yang berbhan dasar nasi singkong),dan berbagai
jenis makanan olahan yang berbahan dasar singkong. Semua makanan tersebut tersaji
di tengah ririungan (kumpulan) warga di bale saresehan (tempat upacara 1 sura).

D. Organisasi di Kampung Cireundeu


1. Sistem organisasi
Warga kampung Cirendeu yang berlokasi di daerah cimahi, memiliki suatu
kelembagaan yang terjadi sesuai dengan fungsi-fungsi dari suatu lembaga kemasyarakatan
yang bisa di uraikan sebagai berikut :
1. Pedoman dalam bertingkah laku dalam menghadapi masalah dalam masyarakat,
terutama dalam menyangkut kebutuhan pokok.
2. Menjaga keutuhan masyarakat.
3. Merupakan pedoman sistem pengendalian sosial di masyarakat.
Lembaga Kemasyarakatan (kelompok masyarakat) yang terjadi di Kampung Cirendeu
RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat , yaitu :
 Kelompok Adat
·     Sesepuh
·     Ais pangampih
·     Pangintren
Pemilihan sesepuh adat di kampung cireundeu dilihat dari etika atau sopan santun yang
dimiliki oleh calon. Sesepuh adat tidak ada batas waktu atau tidak ditentukan lama
kepengurusannya. Sedangkan pangintren dan ais pengampih memiliki batas waktu.

11
 Kelompok Pemerintah Daerah
·      RT
·      RW
Pemilihan RT dan RW di kampung cireundeu sama saja seperti pemilihan RW dan RW
pada umumnya.

2. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat bilateral yaitu garis
keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang
bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda sangat
mempengaruhi dalam adat istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu
sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan. Contohnya, pertama,
saudara yang berhubungan untuk generasi tujuh ke bawah atau vertikal. Yaitu anak, incu
(cucu), buyut/ piut, bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gatungsiwur. Kedua, saudara yang  berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak
dari paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara dari piut. Ketiga
saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan
anak dari kakak, keponakan anak dari adik, dan seterusnya. Adapula istilah sistem
kekerabatan lainnya berdasarkan ego, contohnya Ibu dapat disebut Ema, Ma. Sedangkan
Bapak disebut Bapa, Apa, Pa. untuk Kakak aki-laki disebut Akang, kang dan untuk Kakak
perempuan disebut Ceu, Eceu. Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali
silaturahmi khas Sunda (pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan
umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu
masuk surga dan terciptanya keharmonisan.

E. Taraf Pendidikan Warga Kampung Cireundeu


Situasi pendidikan di Kampung Cirendeu ini hanya terdapat TK dan SD, tetapi hal itu
tidak mengurungkan niat generasi muda kampung Cireundeu untuk menimba ilmu ke
jenjang yang lebih tinggi, alhasil lulusan sarjanapun bisa mereka raih. Selain itu pekerjaan
warga kampung Cireundeu pun tidak hanya bertani ataupu mengolah produk yang berada di
Kampung Cireundeu saja, namun sudah banyak warga kampung memiliki pekerjaaan di

11
luar kampung misalnya menjadi tentara dll. Di Kampung Cireundeu setiap hari minggu
sore, anak-anak disana diajarkan aksara sunda oleh Kang Yana di Bale Adat.

F. Ketahanan Hidup Warga Kampung Adat Cireundeu


Sejak tahun 1918, Warga Kampung Cireundeu tidak pernah menggunakan beras lagi
sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu
komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun
temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian
dan kerukunan “silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“
Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma
ge asal boga pare, Teu nanaon teu boga pare gi asal boga beas, Teu nanaon teu boga beas ge
asal bisa ngejo, Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu, Teu nanaon teu bisa nyatu ge
asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi
melainkan singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau
terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung
memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya
pun hasil kebun sendiri. Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu
dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori
oleh Ibu Omah Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-
saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan
pokok non beras ini, berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi
memberikan suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964.
Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok
singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan
pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu
tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses
pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada
beras sebagai makanan pokok.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penduduk kampung Cireundeu masih memegang teguh adat istiadat dan
kepercayaan leluhurnya yakni kepercayaan Sunda Wiwitan tetapi tidak semua
warga menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, sudah ada warga yang memeluk
agama lain, seperti Islam dan Kristen.
2. Upacara Kepercayaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Adat
Cireundeu adalah Upacara Menyambut 1 Sura atau 1 Muharram.
3. Makanan pokok masyarakat Cireundeu adalah ketela atau singkong.
4. Masyarakat Cireundeu memiliki pantangan untuk tidak memakan nasi.
5. Taraf pendidikan di Kampung Adat Cireundeu tidak hanya sampai SD.

B. Saran
1. Kita harus bisa menjaga kebudayaan sunda.
2. Kita harus saling menyayangi dan mengasihi kepada sesama walaupun berbeda
keyakinan.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://blokbojonegoro.com/2020/02/22/intoleransi-agama-dan-solusinya/

iii

Anda mungkin juga menyukai