MASYARAKAT KAMPUNG
Disusun Oleh :
Nazril Akmal Alfarizi
Dzikri Firjatulloh
Aghisna Arifin Muhyi
KELAS VII
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Swt yang telah memberikan
kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa kami
berterimakasih kepada Bapak Agung Sofian selaku dosen Kebudayaan Daerah yang telah
membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami sehingga makalah ini dapat selesai.
Tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada orangtua dan teman-teman yang telah
mendukung kami agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, namun kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman semua maupun bagi masyarakat
umum.
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
A. Kesimpulan................................................................................................................................8
B. Saran..........................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumusan Masalah
a. Mengapa pendidikan kampung kurang kesadaran
b. Bagaimana cara pendidikan di kampung agar mempunyai kesadaran?
B. Tujuan
a. Untuk mengetahui Mengapa masyarakat Kampung kurang kesadaran
b. Untuk mengetahui bagaimana cara orang Kampung Berpendidikan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Tak jauh dari kampung adalah bekas lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Leuwigajah, jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah yang menghijau atau
padi yang menguning, pada tanggal 21 Februari 2005 terjadi peristiwa longsornya gunungan
sampah yang merenggut 157 nyawa , kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita
akan banyak dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong yang terbentang luas.
Tempat ini adalah tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan Pangan”
karena masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong. Terdiri dari 50
kepala keluarga atau 800 jiwa, mayoritas mata pencaharian mereka adalah sebagai mana
adat orang sunda terdahulu yaitu bercocok tanam (bertani), jenis pertanian yang di tekuni di
kampung adat ini yaitu bertani ketela (singkong).
1
B. Penyebaran Agama di Kampung Cireundeu
Penduduk kampung Cireundeu masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan
leluhurnya yakni kepercayaan Sunda Wiwitan tetapi tidak semua warga menganut
kepercayaan Sunda Wiwitan, sudah ada warga yang memeluk agama lain, seperti Islam dan
1
Kristen. Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal. Warga kampung
Cirendeu sendiri menganut kepercayaan Sunda Wiwitan karena bagi warga kampung
Cirendeu agama bukan sebagai tuntutan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, namun
warga kampung Cirendeu tetap menyakini adanya Tuhan. Mereka memegang teguh tradisi
yang dibawa oleh tokoh terdahulu yaitu, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Pada
zaman pemerintah Belanda, Madrais pernah ditangkap dan dibuang ke Ternate. Ia baru
kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya. Menurut Abah Emen, ajaran
Madrais dikembangkan di Cireundeu ini setelah pertemuan kakeknya yaitu H.Ali dengan
Pangeran Madrais tahun 1930-an.
Pada tahun 1938, Pangeran Madrais berkunjung ke Cireundeu dan sempat menetap
lama disana. Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais atau Pangeran Madrais adalah
salah satu keturunan Kesultanan Gebang Cirebon yang juga menyebarkan ajarannya di
daerah Cigugur, Kuningan. Ajaran Pangeran Madrais menitik beratkan pada kebanggaan
akan identitas kebangsaan atau kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh seluruh orang
sunda. Meski demikian, ajaran Madraisme tersebut menekankan toleransi dan kesediaan
yang kuat dalam menerima perbedaan, dan pembangunan jati diri bangsa dengan kecintaan
pada tanah air, yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”.
2
api, kayu, dan langit. Hal ini sesuai dengan pandangan hidup mereka yaitu “Mugia Akur
Rukun Repeh Repih sareng Sasama Hirup”. Menurut Abah Widi, ritual 1 Sura yang rutin
2
digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan,
demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu
harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan
lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. “Karena
itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian
belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup.
a) Jenis Pakaian
Satu Sura bagi warga Cireundeu, seperti hari raya idul fitri. Sebelum tahun 2000,
mereka selalu mengenakan pakaian baru. Namun beberapa tahun terakhir ini, Saat
upacara adat Satu Sura, kaum laki-laki mengenakan pakaian pangsi warna
hitam,sementara kaum perempuan mengenakan kebaya atau pakaian warna putih yang
disebut toro dengan bawahannya menggunakan batik yang bergambar kujang.
b) Rangkaian Acara
Dalam prosesnya, setiap rangkaian upacara memiliki persamaan yang cukup signifikan
dengan beberapa aktifitas yang dilakukan umat muslim pada saat hari raya pula. Setiap
wanita membawa bunga dari kediaman masing-masing penyelenggaraan upacara
mayoritas ditangani oleh kaum pria, sedangkan kaum wanita mempersiapkan sesaji
yang akan disajikan untuk masyarakat kampung adat Cirendeu beserta tamu dari luar
kampung adat. Selain itu, pria dan wanita berada ditempat terpisah. Para wanita berada
di bale sarasehan beserta para sesepuh adat, sedangkan para pria berada di panggung
utama. Sebuah tanda syukur terhadap bumi yang mereka anggap sebagai tuhan
disajikan dalam bentuk sesajen, lantas setelah prosesi upacara selesai sesajen tadi
menjadi sesaji yang disajikan dan dinikmati oleh masyarakat bukan sekedar pajangan
semata. Setiap keluarga juga membawa bunga saat datang ke tempat upacara, bunga-
bunga yang dibawa ini nantinya dijadikan salah satu kebutuhan untuk nyekar ke makam
leluhur setelah proses upacara selesai. Rangkaian acara pada upacara adat Satu Sura
dimulai dengan mendengarkan wejangan dari salah seorang sesepuh kepala adat disana,
dilanjutkan dengan berdo’a bersama yang di pimpin oleh salah seorang sesepuh dengan
diiringi alat musik kecapi suling. Setelah berdo’a semua warga bersalaman kepada
sesepuh-sesepuh ketua adat dan kepada warga lainnya. Setelah acara itu selesai barulah
mereka nyekar ke makam leluhur. Pada hari kedua hingga hari terakhir pada bulan
syura ada yang disebut tradisi kirim-kirim. Tradisi kirim-kirim adalah tradisi saling
3
berkirim makanan berupa nasi dan lauk-pauknya menggunakan rantang (tempat
makanan yang bersusun dengan sebuah pegangan). Teknisnya bergiliran, dalam sehari
satu rumah yang menyediakan makanan untuk di bagikan pada warga kampung dan
hari berikutnya rumah lainnya dan begitu seterusnya hingga berakhir bualn syura. Pada
minggu ke dua atau minggu ketiga di bulan syura yang bertepatan pada malam minggu
diadakan pementasan wayang. satu malam sebelum pementasan wayang diadakan
malam kreasi seni adat sunda seperti tari-tarian tradisional, permainan musik sunda, dan
silat (jenis bela diri adat sunda).
c) Jenis Makanan
Makanan yang di sajikan pada upacara 1 sura yaitu gunungan sesajen berupa buah-
buahan dan tumpeng rasi (nasi kuning yang berbhan dasar nasi singkong),dan berbagai
jenis makanan olahan yang berbahan dasar singkong. Semua makanan tersebut tersaji
di tengah ririungan (kumpulan) warga di bale saresehan (tempat upacara 1 sura).
11
Kelompok Pemerintah Daerah
· RT
· RW
Pemilihan RT dan RW di kampung cireundeu sama saja seperti pemilihan RW dan RW
pada umumnya.
2. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat bilateral yaitu garis
keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang
bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda sangat
mempengaruhi dalam adat istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu
sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan. Contohnya, pertama,
saudara yang berhubungan untuk generasi tujuh ke bawah atau vertikal. Yaitu anak, incu
(cucu), buyut/ piut, bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gatungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak
dari paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara dari piut. Ketiga
saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan
anak dari kakak, keponakan anak dari adik, dan seterusnya. Adapula istilah sistem
kekerabatan lainnya berdasarkan ego, contohnya Ibu dapat disebut Ema, Ma. Sedangkan
Bapak disebut Bapa, Apa, Pa. untuk Kakak aki-laki disebut Akang, kang dan untuk Kakak
perempuan disebut Ceu, Eceu. Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali
silaturahmi khas Sunda (pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan
umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu
masuk surga dan terciptanya keharmonisan.
11
luar kampung misalnya menjadi tentara dll. Di Kampung Cireundeu setiap hari minggu
sore, anak-anak disana diajarkan aksara sunda oleh Kang Yana di Bale Adat.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penduduk kampung Cireundeu masih memegang teguh adat istiadat dan
kepercayaan leluhurnya yakni kepercayaan Sunda Wiwitan tetapi tidak semua
warga menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, sudah ada warga yang memeluk
agama lain, seperti Islam dan Kristen.
2. Upacara Kepercayaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Adat
Cireundeu adalah Upacara Menyambut 1 Sura atau 1 Muharram.
3. Makanan pokok masyarakat Cireundeu adalah ketela atau singkong.
4. Masyarakat Cireundeu memiliki pantangan untuk tidak memakan nasi.
5. Taraf pendidikan di Kampung Adat Cireundeu tidak hanya sampai SD.
B. Saran
1. Kita harus bisa menjaga kebudayaan sunda.
2. Kita harus saling menyayangi dan mengasihi kepada sesama walaupun berbeda
keyakinan.
11
DAFTAR PUSTAKA
https://blokbojonegoro.com/2020/02/22/intoleransi-agama-dan-solusinya/
iii