Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM)


MASYARAKAT DI ROKAN HULU
Mata Kuliah : Budaya Melayu Riau
Dosen Pengampu : Andi Lesmana, MM

Disusun Oleh :

1. M. Khaidir Ali 2140009


2. Karia Saputra 2140005
3. Julita Dewi 2140021
4. Rasmina 2140024
5. Lilis Sucitra 2140029

PROGRAM STUDI KEWIRAUSAHAAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas Rahmad-Nya sehingga makalah ini dapat selesai
tepat pada waktunya. Tak lupa pula kita haturkan sholawat beriring salam kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW Yang telah membawa kita ke alam yang terang benderang
seperti sekarang ini dengan ucapan Allahumma salli’ala sayyidina Muhammad wa’ala ali
sayyidina Muhammad. Sebagai mana kita ketahui bahwa di negara kita
(Indonesia) merupakan negara Bhineka tunggal Ika yang kaya akan berbagai macam suku,
ras, dan agama. Setiap provinsi di Indonesia memiliki suku dan ras yang berbeda. Hal ini juga
menunjukkan bahwa setiapnya terdapat pula adat istiadat dan kebudayaan yang
berbeda. Kebudayaan mencerminkan kehidupan masyarakatnya. 
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Budaya Melayu Riau di
Universitas Pasir Pengaraian. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan serta dorongan dari
berbagai pihak, kecil kemungkinan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat. Semoga
pembahasan kami mudah dimengerti oleh pembaca dan semoga makalah ini dapat menambah
wawasan pembaca mengenai topik yang sedang dibahas.

Pasir Pengaraian, 15 Desember 2021

Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.  Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan
 

bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. Pada hakikatnya setiap orang berbudaya dan memiliki kebudayaannya
sendiri. Di Indonesia sendiri seperti yang kita ketahui memiliki beragam kebudayaan disetiap
daerahnya. Setiap orang yang berbudaya pasti menunjukkan siapa jati dirinya bahwa
darimana ia berasal. Jelas bahwa budaya menunjukkan siapa seseorang sebenarnya dihadapan
orang lain, dan setiapnya memiliki ciri khas masing-masing.
Kearifan lokal adalah segala bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai
kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsunggannya dalam
kurun waktu yang lama (secara turun-temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan
atau wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka.

B. Rumusan Masalah

1. Sejauh manakah anda mengenalkan budaya anda sendiri (Kebudayaan Melayu di


Selatpanjang)?
2. Bagaimana tanggapan generasi muda terhadap perkembangan Kebudayaan
Melayu khususnya generasi muda di Kabupaten Rokan Hulu?
3. Bagaimanakah cara generasi muda mempertahankan kebudayaan melayu?
A. Tujuan

1. Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan mengenai kebudayaannya sendiri


khususnya kebudayaan Melayu di Rokan Hulu.
2. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana tanggapan, opini dan pendapat para
generasi muda terhadap perkembangan budaya melayu Riau khususnya di Kab.
Rokan Hulu.
3. Mengulas pendapat para generasi muda dan bagaimana cara mempertahankan
kecintaan mereka terhadap budaya mereka sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hutan Adat
Hutan adat adalah hutan yang ada di wilayah adat. Luasan hutan adat saat ini adalah
64% dari 7,4 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan oleh AMAN. Bagi masyarakat
adat, Hutan adat menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari, dan juga titipan bagi
generasi yang akan datang. Hutan adat menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat
adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya, namun Negara justru mengingkari
keberadaannya.

Provinsi Riau segera memiliki Hutan Adat pasca penyerahan usulan hutan adat oleh 4
kenegerian di Kabupaten Kampar. Usulan ini menyambut kebijakan Perhutanan Sosial yang
digadang-gadang pemerintah. Secara nasional, target Perhutanan Sosial mencapai 12,7 juta
hektare, sementara Riau mendapat jatah mencapai 1,38 juta hektare hingga 2019. Bupati
Kampar, H. Azis Zaenal, SH, MM telah menerima usulan 4 kenegarian tersebut pada 13
September 2018. Keempat kenegerian adalah Kenegerian Batu Sanggan, Gajah Bertalut,
Petapahan, dan Kuok. Datuk Khalifah Luhak Batu Sanggan, Suparmantono Datuk Godang
menyebut dirinya sudah bertemu langsung dengan Bupati untuk penyerahan usulan. Dia
mewakili Kenegerian Batu Sanggan dan Gajah Betalut. Kedua Kenegerian ini berada dalam
wilayah adat Kekhalifahan Luhak Batu Sanggan “Penyerahan usulan dilakukan di kawasan
hutan Imbo Putui di Desa Petapahan. Total usulan sebanyak 12.372 hektare,” ungkapnya.

Hutan adat, lanjut Datuk Godang, merupakan bentang alam yang dikelola berdasarkan
kearifan adat. “Kami berharap bisa mengelola hutan. Selain untuk melestarikannya, tapi juga
mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat,” ucapnya. Ditemui di sela kesibukannya di
Pekanbaru (29/10), Datuk Godang menyebut penetapan hutan adat ini tentu memberikan
peluang legal pada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan lebih leluasa menetapkan
aturan-aturan adat untuk mengelola kawasan hutannya. “Karena hutan adalah keseharian
kami,” tandasnya. Hutan, lanjut Datuk Godang, layaknya pasar tempat segala kebutuhan
hidup dapat dipenuhi. Bagi dirinya dan masyarakat adat, hutan sebagai pasar terbagi atas tiga
bentuk.

a. Pertama, pasar untuk berkebun. Dari kebun, kami mendapatkan kebutuhan


pokok. Terutama beras. Selain itu ada juga rempah-rempah, sayuran dan
minyak makan yang dapat diolah sendiri, jelasnya.
b. Kedua, lanjutnya, hutan adalah pasar air. Selain sebagai sarana transportasi
dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan air, sungai juga menyediakan ikan.
Kami punya kearifan lubuk larangan. Saban musim kemarau tiap tahunnya,
lubuk larangan dipanen. Hasil panen ikan dibagikan kepada masyarakat.
Sebagian hasil ikan dilelang dan uangnya dimanfaatkan untuk pembangunan,
papar Datuk Godang.
c. Ketiga adalah pasar hutan itu sendiri, lanjutnya. Hutan menyediakan
kebutuhan pembangunan karena kayunya dapat dimanfaatkan. Bagi
masyarakat adat, pengambilan kayu terbatas hanya untuk keperluan
pembangunan fasilitas umum dan membuat rumah tinggal. “Hutan juga
menyediakan protein. Kami mendapatkan binatang untuk dimakan dari hutan,
seperti kancil. Hutan menyediakan buah-buahan dan hasil hutan non kayu
lainnya, seperti rotan dan madu,” katanya.

Batu Sanggan sendiri merupakan wilayah kenegerian yang berada di wilayah


konservasi Bukit Rimbang Bukit Baling. Walau demikian, tidak menutup kemungkinan
untuk pengembangan inisiatif hutan adat. Hal tersebut diungkap Direktur Perkumpulan
Bahtera Alam, Harry Oktavian. Menurut Harry, pengembangan hutan adat menjadi salah satu
skema perhutanan sosial di Riau. Selain hutan adat, ada pula skema hutan desa, hutan
kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan. Keempat hutan adat yang
diusulkan, sambungnya, akan membuka peluang bagi wilayah adat lain untuk mengusulkan
skema hutan adat. Dengan demikian, target Privonsi Riau untuk perhutanan sosial dapat
segera dikejar. “Target ini akan menyumbang pada pencapaian luasan area perhutanan sosial
di Riau. Walaupun tidak terlalu signifikan, tapi pengukuhan Bupati menjadi penting karena
akan memunculkan preseden baik,” tandas Harry

2. Tanah Ulayat
Hutan Ulayat merupakan salah satu jenis hutan yang ada di Indonesia yang termasuk
dalam Hutan Hak karena merupakan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa keberadaan
Masyarakat Hukum Adat diakui beserta hak-hak tradisonalnya, oleh sebab itu, keberadaan
Masyarakat Hukum Adat diakui secara konstitusional di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Secara konstitusional pengakuan ini diatur dalam Pasal 18B Ayat 2 yang
menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
Hukum Adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalamm Undang-Undang”. Masyarakat Hukum Adat yang menjadi subjek dari Hak Ulayat
mendiami suatu wilayah tertentu, dan hutan merupakan salah satu sumber kehidupannya yang
merupakan objek dari Hak Ulayat. Hutan yang merupakan objek dari Hak Ulayat di kenal
sebagai Hutan Ulayat. Hutan Ulayat merupakan hutan yang berada dalam teritori Masyarakat
Hukum Adat, menurut Maria SW Soemardjono (2007), Hak Ulayat merupakan hak yang
melekat sebagai kompetisi yang menjadi sesuatu yang khas pada Masyarakat Hukum Adat,
berupa wewenang, kekuasaan mengurus dan mengatur tanah dan seisinya dengan daya laku
ke dalam maupun keluar. Pengakuan terhadap Hak-Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat juga
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar
Pokok Agraria (lebih lanjut disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa: “Dengan mengingat
ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi”. Seiring dengan pentingnya peran Hutan Ulayat dalam kehidupan
masyarakat terutama Masyarakat Hukum Adat, maka hutan ulayat sering menjadi objek yang
bisa menimbulkan sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dengan pihak yang melakukan
ekploitasi terhadap Hutan Ulayat. Beberapa tipologi konflik yang menyangkut kawasan
Hutan Ulayat terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat, adalah kesatuan masyarakat
hukum adat dengan perusahaan. kesatuan masyarakat hukum adat dengan Pemerintah.

3. Lubuk Larangan
Lubuk Larangan adalah bagian dari manifestasi bentuk pemanfaatan alam. Secara
etimologis, lubuk larangan terdiri dari dua kata yaitu lubuak dan larangan. Kata lubuak
berasal dari sebutan masyarakat terhadap bagian yang dalam dari sebuah sungai yang
umumnya sebagai tempat berkembang-biak bagi ikan. Sementara, kata larangan berarti aturan
yang melarang terhadap suatu tindakan. Dengan demikian, lubuk larangan dapat dipahami
sebagai daerah yang secara alami merupakan tempat berkembang-biak ikan dan ekosistem air
lainnya, serta daerah tersebut ditetapkan sebagai area terlarang untuk diambil hasilnya dalam
periode waktu tertentu baik dengan cara apapun apalagi dengan cara yang dapat merusak
lingkungan. Desa Sialang Jaya merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Desa Sialang Jaya memiliki luas seluas ±
12 km², masyarakat Sialang Jaya Mayoritas dihuni oleh Suku Mandailing Luhak Napitu Huta
yakni :

a. Desa Kubu Baru,


b. Kaiti,
c. Menaming,
d. Tangun,
e. Pawan,
f. Tanjung Berani,
g. Sungai Pinang.

Sekitar tahun 2008 masyarakat Desa Sialang Jaya mulai memberlakukan lubuk
larangan di sungai Kaiti. Lubuk larangan adalah bagian sungai yang dalam sekitar 0,5-3 m
yang dijadikan tempat berkembang biaknya ikan-ikan sungai. Awal mula hanya sebagai
percobaan yaitu dibuatlah peraturan bahwa dilarang mengambil ikan yang ada di lubuk
larangan tersebut sampai masa panen tiba. Adapun ikan yang dimasukkan didalam lubuk
larangan merupakan bantuan dari pemerintahan daerah Kabupaten Rokan Hulu dan dari dana
swadaya masyarakat Desa Sialang Jaya. Setelah satu tahun dibukalah acara panen ikan
bersama oleh masyarakat Desa Sialang Jaya dan hasil ikannya cukup memuaskan selain itu
selama dilarang mengambil ikan di Lubuk Larangan maka kondisi sungai mulai bersih karena
secara tidak langsung ikan tadi memakan kotoran yang ada di sungai. Melihat manfaat yang
dirasakan dengan adanya lubuk larangan tersebut maka masyarakat Desa Sialang Jaya
sepakat untuk menjadikan lubuk larangan ini sebagai suatu kebudayaan mereka yang menjadi
tradisi tahunan di Desa Sialang Jaya. Acara panen ikan lubuk larangan tidak hanya diikuti
oleh masyarakat Desa Sialang Jaya saja, namun masyarakat luar boleh berpartisipasi dengan
membayar uang pendaftaran terlebih dahulu sebelum mulai panen. Biasanya untuk
masyarakat Desa Sialang Jaya membayar Rp. 10.000 dan masyarakat luar membayar Rp.
100.000 untuk uang pendaftaran mengikuti panen ikan. Uang yang diperoleh dari pendaftaran
ini akan dikumpulkan dan dimasukkan ke kas desa dan diperuntukkan untuk membangun
infrastruktur Desa Sialang Jaya. Dalam acara panen ikan ini mempunyai batas waktu dimana
pada pukul 08.00-12.00 yang menangkap ikan adalah orang-orang tertentu saja misalnya
yang mendaftar tadi dan hasil tangkapan ikan akan dikumpulkan untuk dijual sedangkan
pukul 13.00-15.00 sore bebas siapa saja yang ingin menangkap ikan.

4. Kampong Adat
Adat adalah ketentuan dan aturan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat
dalam hubungan sesamanya dalam segala aspek kehidupan. Menurut Perda Nomor 2 Tahun
2015 Kabupaten Siak, Kampung Adat adalah susunan asli yang mempunyai hak asal usul
berupa hak mengurus wilayah dan mengurus kehidupan masyarakat hukum adatnya. Deddi
H. Gunawan (2013:28), Desa adat yaitu desa yang melaksanakan aturan hukum agama atau
tradisi atau adat istiadat yang berlaku di wilayahnya masing-masing. Kampung Adat adalah
sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilyah dan
identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.

Hutan adat Imbo Putui merupakan hutan adat Riau pertama yang diakui negara pada
17 September 2019, melalui SK Nomor 7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019.
Hutan adat ini merupakan wilayah adat dari masyarakat adat Kenegerian Petapahan, yang
bermukim di Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar.

5. Sungai Larangan
Bupati Rokan Hulu (Rohul) H. Sukiman membuka Tradisi Rantau Larangan Sei Pusu
di Dusun III Kampung Tinggi, Desa Rokan Koto Ruang, Kecamatan Rokan IV Koto, Kab.
Rohul, Ahad (1/9/2019) lalu. Pembukaan Tradisi Rantau Larangan Sei Pusu ini diawali
dengan Masyarakat minta izin kepada Datuk Adat agar diizinkan membuka Rantau Larangan
tersebut, setelah mendapat izin dari datuk Adat, Rantau Larangan Sei Pusu itu resmi dibuka
Bupati Sukiman ditandai dengan menebar jala dan pemukulan gong sebanyak 7 kali.    
Bupati Rohul, H Sukiman mengatakan, Tradisi Rantau Larangan Sei Pusu di Dusun III
Kampung Tinggi ini merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan biota dan lingkungan
hidup di Daerah Aliaran Sungai (DAS) Sungai Pusu yang dapat dimanfaatkan masyarakat
sekitar untuk penangkapan ikan, sampai batas waktu yang ditentukan oleh Datuk Adat.
"Tradisi Rantau Larangan Sei Pusu ini dapat dijadikan sebagai contoh untuk menjaga
kelestarian lingkungan disepanjang sungai, dan dapat dikembangkan di sungai lain, yang ada
di rohul," kata sukiman.

Terkait aspirasi masyarakat pembangunan Infrastruktur jalan, dikatakan Sukiman,


Pemkab Rohul terus berupaya untuk membangun jalan ini secara bertahap. Sementara itu,
Kepala Desa Rokan Koto Ruang Alex Usanto kepada wartawan, Ahad (1/9/2019)
mengatakan Tradisi Rantau Larangan ini merupakan kegiatan yang sudah dilakukan sejak
turun temurun dilaksanakan dari tahun ke tahun, yang merupakan bagian dari ritual Adat
masyarakat Desa ini. “Tradisi Rantau Larangan merupakan potensi Sumber Daya Alam
(SDA) yang dimiliki masyarakat Adat yang salah satunya Rantau Larangan dan Hutan
Rakyat. Kalau di darat itu ada tanah Ulayat atau hutan rakyat, kalau di air itu ada Rantau
Larangan yang dilaksanakan sekali setahun,” jelasnya “Setelah acara ini selesai besok pagi
Sungai Pusu ini sudah mulai ditutup (Tidak ada aktivitas menangkap ikan ) sampai dengan
tahun depan, yang dibuka setiap musim kemarau disepanjang 2 KM Aliran Sungai Pusu ini,”
tambah Alex

Adapun alat yang Di pakai yaitu :


a. jala,
b. Pukat,
c. Jarring,
d. Penembak ikan.

“Biasanya setelah dipakai menggunakan jala, Pemudanya mencari ikan dengan cara
menembak dengan alat tradisional, biasanya ikan yang didapat sejenis ikan Canggah,
Kepiyek, Barau dan jenis ikan sungai lainnya,” kata Alex
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah Kelompok 4 kemukakan mengenai
Kebudayaan Melayu Riau yang ada di daerah anggota kelompok tersebut. Maka pada
masyarakat baik di kecamatan Ujungbatu, Kepenuhan, Tandun, Rokan IV Koto, dan
sangkir. Kami merumuskan kesimpulan bahwa keberadaan Kebudayaan Melayu Riau
beserta keseniannya Bisa menumbuhkan perkembangan dari kemajuan kebudayaan umat
manusia. Yang selalu harus di jaga kelestariannya , Dan jika tidak di jalankan lagi maka
akan bekurang atau tidak akan ada lagi sifat luhur kita temui untuk masa yang akan datang,
dan berkurangnya keunikan dari setiap daerah tersebut, Maka kita sebagai mahasiswa atau
kaum muda harus melestarikan dan menjaga kebudayaan melayu Riau dengan baik dan
terarah.

B. Saran
Makalah ini di susun dari hasil kerja Sama Kelompok 2 dan masih sangat memiliki
banyak kekurangan baik dalam segi materi dan penyajiannya. Oleh karena itu, Kami sebagai
penyusun sangat mengharapkan karya ini akan bermanfaat bagi kelompok kami sendiri
maupun kepada para pembaca. Kritik dan saran yang bersifat membangun juga sangat di
harapkan demi terwujudnya kesempurnaan dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://ppid.rokanhulukab.go.id/detailpost/bupati-rohul-buka-tradisi-rantau-larangan-di-desa-
rokan-iv-koto

https://media.neliti.com/media/publications/206930-kearifan-lokal-masyarakat-desa-sialang-
j.pdf

https://www.antaranews.com/berita/1326538/riau-miliki-dua-hutan-adat-yang-diakui-
pemerintah

https://bahteraalam.org/2018/10/29/inisatif-pertama-hutan-adat-di-riau/

https://www.google.com/search?q=hutan+adat+yang+ada+di+riau&ei=ZP-
5YdmBHfyfseMPneaN8AQ&oq=hutan+adat+yang+ada+di+&gs_lcp=Cgdnd3Mtd2l6EAEY
ATIFCAAQgAQyBQgAEIAEMgUIABCABDoICAAQsAMQzQI6BwghEAoQoAE6BQgh
EKABOgQIIRAVSgQIQRgBSgQIRhgAUNgJWKsoYNA-
aAFwAHgAgAG1AYgB8AmSAQMxLjmYAQCgAQHIAQLAAQE&sclient=gws-wi

http://repository.uin-suska.ac.id/12288/7/7.%20BAB%20II_2018193ADN.pdf

Buku : Dwi Susiolo, Rachmad K. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press.
Dwirianto, Sabarno. 2013. Kompilasi Sosiologi Tokoh dan Teori. Pekanbaru: UR Press.

Anda mungkin juga menyukai