Anda di halaman 1dari 8

Kearifan Lokal

1. Pengertian Kearifan Lokal


Kearifan lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-
menerus di dalam sebuah masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya,
bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan sehari-hari.

http://eprints.umm.ac.id/35955/3/jiptummpp-gdl-irawansatr-48429-3-babiip-f.pdf

2. Ciri-Ciri Kearifan Lokal

Kearifan Lokal memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu :

a. Mempunyai kemampuan mengendalikan.

b. Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.

c. Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar.

d. Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.

e. Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan


budaya asli.

Kearifan Lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang
panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya
berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal disetiap
daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.

Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus digali,
dikembangkan, serta dilestarikan sebagai antitesis atau perubahan sosial budaya dan
modernisasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung
didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.

Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam
kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan
untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi,
kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari
cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang
mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya,
bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.

https://www.kajianpustaka.com/2017/09/pengertian-fungsi-dimensi-kearifan-
lokal.html

3. Contoh : bahasa, tarian, musik daerah

a. Hutan Larangan Adat ( Desa Rumbio Kec. Kampar Prov. Riau )


Kearifan Lokal ini dibuat dengan tujuan untuk agar masyarakat sekitar bersama-
sama melestarikan hutan disana, dimana ada peraturan untuk tidak boleh
menebang pohon dihutan tersebut dan akan dikenakan denda seperti beras 100 kg
atau berupa uang sebesat Rp 6.000.000,- jika melanggar.

b. Awig-Awig ( Lombok Barat dan Bali )


Merupakan aturan adat yang menjadi pedoman untuk bertindak dan bersikap
terutama dalam hal berinteraksi dan mengolah sumber daya alam dan lingkungan
didaerah Lombok Barat dan Bali.

c. Cingcowong ( Sunda / Jawa Barat )


Merupakan upacara untuk meminta hujan, tradisi Cingcowong ini dilakukan turun
temurun oleh masyarakat Luragung guna untuk melestarikan budaya serta
menunjukan bagaimana suatu permintaan kepada yang Maha Kuasa apabila tanpa
adanya patuh terhadap perintahNya.

d. Bebie ( Muara Enim – Sumatera Selatan )


Merupakan tradisi menanam dan memanen padi secara bersama-sama dengan
tujuan agar pemanenan padi cepat selesai, dan setelah panen selesai akan
diadakan perayaan sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang sukses.

https://www.infokekinian.com/pengertian-dan-contoh-kearifan-lokal/

4. Kearifan Lokal sebagai Identitas dan Ideologi Bangsa


Boni Hargens (2011) dalam tulisannya di Kompas menyatakan bahwa arus
modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi semestinya tidak meniadakan suatu negara
jatuh dalam percaturan global asal saja negara tersebut ditopang oleh identitas
nasional yang kuat, tetapi juga didukung oleh ideologi dan kepemimpinan politik
yang kuat.

Selain etika moral yang bersumber pada agama, di Indonesia juga terdapat
kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian kemajuan dan
keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial. Kita
mengenal pepatah ”gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit
dahulu bersenang-senang kemudian” yang mengimplikasikan ajakan untuk
membangun etos kerja dan semangat untuk meraih keunggulan. Dalam hal
keharmonisan sosial dan alam, hampir semua budaya di Indonesia mengenal prinsip
gotong royong dan toleransi. Dalam suku tertentu yang bermukim di pedalaman juga
dikenal kearifan lokal yang bersifat menjaga dan melestarikan alam sehingga alam
(misalnya kayu di hutan) hanya dimanfaatkan seperlunya, tidak dikuras habis.

Dengan sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang
banyak, semestinya Indonesia telah menjadi negara besar yang maju. Namun, di
tingkat Asia Tenggara saja posisi kita di bawah Singapura yang miskin sumber daya
alam dengan luas wilayah lebih kurang hanya seluas Jakarta. Sumber daya alam yang
melimpah di negeri ini kadang-kadang juga tidak menjadi berkah. Gas alam diekspor
ke luar negeri dengan harga jual yang lebih rendah daripada harga jual untuk pasar
dalam negeri. Hutan dieksploitasi secara luar biasa untuk mengejar perolehan devisa
yang pada akhirnya hanya mendatangkan kerusakan ekosistem alam yang disusul
dengan bencana (banjir;longsor).

Kebijakan ekonomi pemerintah acap kali hanya berpihak pada kepentingan


pemodal kuat. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945—yang oleh para
pendiri republik ini diciptakan untuk mengakomodasi kearifan lokal yang ada di
negeri ini (seperti gotong royong dan kekeluargaan)—dengan tegas mengamanatkan
bahwa perekonomian nasional disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan sumber
daya alam yang ada dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Secara faktual, dapat
kita saksikan pertumbuhan mini market yang sangat subur yang mematikan warung
rumah tangga.
Sementara itu, dalam masyarakat sendiri sering terjadi tindak kekerasan yang
mereduksi nilai toleransi. Dalam konteks perubahan nilai sosiokultural juga terjadi
pergeseran orientasi nilai. Masyarakat cenderung makin pragmatis dan makin
berorientasi pada budaya uang serta terperangkap dalam gaya hidup konsumtif yang
disodorkan kekuatan global kapitalisme.

Dalam realitas Indonesia kini, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kearifan
lokal yang kita miliki mirip benda pusaka, yang kita warisi dari leluhur, kita simpan
dan kita pelihara, tetapi kita tidak mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan
nyata sehingga pusaka tersebut sia-sia merespons tantangan zaman yang telah
berubah.

Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan realitas Indonesia kini, Kompas
edisi 20 April 2011 menampilkan dua tulisan yang relevan, yakni “Saya Mohon
Ampun” oleh Radhar Panca Dahana dan “Pembangunan Gerus Kearifan Lokal” oleh
Wasisto Raharjo Jati. Dalam tulisannya, Radhar Panca Dahana mencemaskan perilaku
para elit negeri ini yang antara sadar dan tidak sadar telah menjadi agen kepentingan
dan keserakahan ekonomi dan politik negara maju (sehingga Indonesia hanya
dijadikan sekadar pasar sambil dikuras habis sumber daya alamnya). Sementara itu,
Wasisto Raharjo Jati mengemukakan bahwa pembangunan di Indonesia yang terpaku
pada pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan
menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian hari. Karena
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, secara tidak langsung pemerintah juga telah
menjejalkan “budaya uang” sehingga cenderung mengurangi dan meniadakan kearifan
dan budaya lokal.

Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks
Indonesia yang memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya
yang pada akhirnya melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal
adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan
(tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya).
Sekadar contoh, kearifan lokal yang bertumpu pada keselarasan alam telah
menghasilkan pendopo dalam arsitektur Jawa. Pendopo dengan konsep ruang terbuka
menjamin ventilasi dan sirkulasi udara yang lancar tanpa perlu penyejuk udara.
Pendopo adalah salah satu contoh bagaimana kearifan lokal warisan masa
lampau telah memberikan kepada kita konsep arsitektur yang lega, nyaman, dan
hemat energi. Sekarang ini, kita mempersoalkan krisis energi dan menyerukan hemat
energi. Namun, gedung dan rumah dibangun dengan konsep bangunan tertutup
sehingga memerlukan penyejuk udara yang boros energi.

Kearifan lokal dalam wujud gotong royong juga kita kenal di warung rakyat
(misalnya warteg). Di warung tersebut dipraktikkan penggiliran pengelolaan warung
sebagai implementasi nilai gotong royong dalam tata sosial dan ekonomi: memberi
peluang kerja dan peluang mencari nafkah bagi kerabat dan warga sekampung; itu
adalah salah satu kearifan lokal warisan masa lampau yang masih diberlakukan oleh
sebagian masyarakat.

Di negeri ini, ada sesuatu yang aneh dan janggal: kearifan lokal di tingkat akar
rumput acap kali berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang pro pertumbuhan
ekonomi (sehingga mengundang investor asing dan memberikan banyak kemudahan,
termasuk dalam hal regulasi, sambil mengabaikan kearifan lokal yang tumbuh di akar
rumput (Radhar Panca Dahana dan Wasisto Raharjo Jati, 2011).

Pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya telah mengakomodasi kearifan


lokal yang hidup di Nusantara (antara lain nilai gotong royong sehingga salah satu sila
Pancasila adalah “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”). UUD 1945 (yang
dijiwai oleh Pancasila) juga mengamanatkan hal yang sama, terutama dalam Pasal
33. Akan tetapi, saat ini Pancasila dapat dikatakan menjadi sekadar aksesori politik
belaka.

Memaknai kearifan lokal tampaknya tidak dapat dipisahkan dari konstelasi


global. Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah dan posisinya yang strategis
menjadikan Indonesia senantiasa menjadi incaran negara maju sejak zaman kolonial
Hindia Belanda. Hingga kini pun setelah pemerintahan berganti beberapa kali,
pemerintah tidak dapat menunjukkan independensinya: banyak kebijakan pemerintah
yang lebih berpihak pada kepentingan kekuasaan ekonomi dan politik global daripada
berpihak pada kepentingan rakyat dalam negeri. Tentang hal itu dapat dibaca tulisan
Radhar Panca Dahana (2011) yang secara satiris mengatakan bagaimana kekuasaan
pemerintahan telah menjadi kepanjangan tangan kepentingan ekonomi global.
Kearifan lokal (yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai identitas bangsa)
tidak akan bermakna apa pun tanpa dukungan ideologi yang berpihak kepadanya.
Dalam konstelasi global, ketika perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni
Soviet (dan negara yang masih menganut Marxisme pun telah menerapkan sistem
ekonomi kapitalistik seperti Cina dan Vietnam), tanpa ideologi yang berpihak pada
kepentingan nasional, kita akan semakin kehilangan identitas dalam percaturan global
dan hanyut dalam arus globalisasi yang “didikte” oleh negara maju.

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/revitalisasi-kearifan-lokal-
sebagai-upaya-penguatan-identitas-keindonesiaan

5. Undang-undang tentang kearifan lokal


http://jonnypurbatondang.blogspot.com/2015/08/dasar-hukum-pengakuan-
keberadaan-dan.html
6. Bentuk kearifan lokal dikategorikan ke dalam 2 aspek:

Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)

Kearifan lokal yang berwujud nyata, meliputi :


a. Tekstual, beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan
khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam
kitab tradisional primbon, kalender dan prasi atau budaya tulis di atas lembaran daun
lontar.
b. Bangunan/Arsitektural

c. Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni), misalnya keris, batik dan lain
sebagainya.

Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)

Kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal
dan turun temurun yang bisa berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai
ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud
lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi. Berikut
contoh kearifan lokal yang mengandung etika lingkungan sunda yaitu:
 Hirup katungkul ku pati, paeh teu nyaho di mangsa (Segala sesuatu ada batasnya,
termasuk sumberdaya alam dan lingkungan).
 Kudu inget ka bali geusan ngajadi (Manusia bagian dari alam, harus mencintai alam,
tidak tepisahkan dari alam).

7. Dimensi Kearifan Lokal

Menurut Mitchell (2003), kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu:

a. Dimensi Pengetahuan Lokal

Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan


hidupnya karena masyarakat memiliki pengetahuan lokal dalam menguasai alam.
Seperti halnya pengetahuan masyarakat mengenai perubahan iklim dan sejumlah
gejala-gejala alam lainnya.

b. Dimensi Nilai Lokal

Setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal mengenai perbuatan atau
tingkah laku yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya tetapi nilai-
nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.
Nilai-nilai perbuatan atau tingkah laku yang ada di suatu kelompok belum tentu
disepakati atau diterima dalam kelompok masyarakat yang lain, terdapat keunikan.
Seperti halnya suku Dayak dengan tradisi tato dan menindik di beberapa bagian
tubuh.

c. Dimensi Keterampilan Lokal

Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk bertahan hidup (survival) untuk


memenuhi kebutuhan kekeluargaan masing-masing atau disebut dengan ekonomi
substansi. Hal ini merupakan cara mempertahankan kehidupan manusia yang
bergantung dengan alam mulai dari cara berburu, meramu, bercocok tanam, hingga
industri rumah tangga.

d. Dimensi Sumber daya Lokal

Setiap masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya
dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau dikomersialkan. Masyarakat
dituntut untuk menyimbangkan keseimbangan alam agar tidak berdampak bahaya
baginya.

e. Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal

Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut
pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah
warganya untuk bertindak sesuai dengan aturan yang telah disepakati sejak lama.
Kemudian jika seseorang melanggar aturan tersebut, maka dia akan diberi sangsi
tertentu dengan melalui kepala suku sebagai pengambil keputusan.

f. Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain dalam
melakukan pekerjaannya, karena manusia tidak bisa hidup sendirian. Seperti halnya
manusia bergotong-royong dalam menjaga lingkungan sekitarnya.

https://www.kajianpustaka.com/2017/09/pengertian-fungsi-dimensi-kearifan-
lokal.html

8.

Anda mungkin juga menyukai