Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN HASIL PENELITIAN

KAMPUNG ADAT CIKONDANG

Oleh

Inggrid Munggarani 1204351


Dessy Rizka
Dedeh Nurfauziyah 1201942
Rossa Dzikry
Ahmad Fahmudin
Raya Tri Saputra
Andri Renaldy

JURUSAN PENDIDIKAN MUSIK

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN DESAIN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2015
HASIL PENELITIAN

Waktu penelitian
 Observasi pertama dilakukan pada tanggal 1 Desember 2015. Selanjutnya dilakukan
wawancara pada tanggal 9 Desember 2015.
 Tempat penelitian
Kp cikondang Rt 3 Rw 3 Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten
Bandung.

A. Observasi
Kami dari kelompok 3 melakukan obseravasi ke kampung adat cikondang tepatnya
di desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Kami mendatangi sesepuh
adat di kampung cikondang ini yang benama abah Ilin. Kamipun lanmgsung menanyakan
tentang Asal muasal Kampung adat kepada abah ilin, abah ilinpun langsung
menceritakanya. Kampung Cikondang yaitu asal muasalnya, dari kata ci, yang merupakan
kependekan dari cai yang berarti air, dan kondang merupakan nama dari pohon besar yang
terletak didaerah cikondang tepatnya didalam mata air. Menurut abah ilin, Kampung adat
cikondang meyakini bahwa para leluhur atau karuhun merupakan wali yang menyebarkan
agama islam, mereka menyebutnya dengan sebutan uyut pameget dan uyut istri, mereka
meyakini bahwa uyut pameget dan uyut istri bisa melindungi mereka. Pemukiman
kampung cikondang didirikan oleh uyut pameget dan uyut istri kurang lebih pada abad ke
XVII, bumi adat telah berusia sekitar 200 tahun.
Dedeh : bagaimanakah arsitektur bangunan bumi adat ini ?
Abah Ilin : Bangunan Bumi adat merupakan banguna seprti panggung dengan atap ijuk dan
daun alang-alang, daun alang-alang ini disimpan di bagian besar (bawah) kemudian
ditutupi dengan ijuk. Bagian atap yang mendatar terbuat dari bambu atau masyarakat biasa
menyebutnya dengan awi kemudian disusun bertumpang tindih saling menutupi. Bumi adat
tidak memiliki kaca karena benda tersebut dianggap tabu atau pamali, di dalamnyapun
tidak ada barang-barang elektronik seperti televisi, radio, dan listrik, kalaupun ada bahan
dari luar itu harus minta ijin dulu. Tiang bangunan inipun terbuat dari kayu, dinding terbuat
dari bambu (bilik), alas terbuat dari bambu yang disebut palupuh. Dulunya dinding bumi
adat harus menggunakan palupuh, namun dikarenakan sulit jadi hanya menggunakna bilik,
bahan penguat tiang yaitu ada paku, dulunya menggunakan paseuk yaitu paku yang terbuat
dari bambu atau kayu, bentuk dan bangunan serba alami, semua bahan-bahan bangunan
terbuat dari hutan keramat.
Raya : Seperti apa tata ruang di dalam bumi adat bah ?
Aabah Ilin : tata ruang bumi adat ini yaitu, ada tiga ruangan, yang pertama ada kamar
penyimpanan beras (goah) masyarakat dsana biasanya menyebut dengan pangcalikan, ada
juga kamar amandi kuncen dan kamar tamu, kamar tamu biasanya suka di pakai untuk
melaksanakan upacara adat. nNah di tempat itu pula terdapat dapur yang hanya terdiri dari
perapian (hawu) dan parako. Peralatan rumah tanggpun harus tradisional, seperti entik,
gelas ari tempurung kelapa, aseupan untuk mengukus nasi, boboko tempat menyimpan
nasi, dan langseung tempat menanak nasi, begitu pun perabotan lainnya terbuat dari bahan
seng yaitu, cengkir, piring, sendok, dan rantang. Nah selain itu Di mulut pintu bumi adat
terdapat bangunan terbuka yang disebut bale-bale. Tempat ini digunakan untuk perempuan
yang sedang haid ketika hendak bertamu atau membantu memasak, sedangkan pada acara
Musiman, bale-bale ini berfungsi untuk membagikan atau mengatur pembagian tumpeng.
Pada saat kami berkunjung kesana hari selasa, kenetulan bumi adat atau kampung adat ini
degembok tidak boleh di buka, kamipun menanyakan tentang hal ini
Rosa : Mengapa bumi adat ini tampak sepi dan digembok ?
Abah ilin : Kebetulan hari ini hari selasa, jadi ada pantangan pada hari selasa, jumat, dan
sabtu, bahwa bumi adat tidak boleh dibuka dan tidak boleh di kunjungi, kita hanya bisa
melihatnya dari luar, kenapa begitu ? Karena masyarakat terutama luluhur diana meyakini
bahwa hari tersebut hari keramat atau pamali berkunjung pada hari tersebut, selain itu di
kampung adat terdapat hutan larangan, dimana hutan larangan ini tidak sembarang orang
bisa masuk untuk mengambil hasil dari hutan tersebut, seseorang yang akan berkunjung
harus meminta ijin dan tentunya berkunjung di hari yang tidak dianggap tabu.
Dedeh : Lalu mengapa di cikondang ini rumahnya sudah modern dan hanya satu yang
masih kelihatan bumi adat bah ?
Abah Ilin : Jadi pada awalnya bangunan di Cikondang ini merupakan pemukiman dengan
pola arsitektur tradisional seperti yang digunakan pada bangunan Bumi Adat. Pada tahun
1940-an terdapat kurang Iebih enam puluh satu rumah. Nah sekitar tahun 1942 terjadi
kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat yang letaknya
berada lebih tinggi dari rumah yang lainya. Tidak diketahui kenapa . Namun ada dugaan
bahwa kampung Cikondang dulunya dijadikan persembunyian atau markas para pejuang
yang berusaha membebaskan diri dari cengkeraman Belanda. Nah kemungkinan tempat itu
diketahui Belanda dan dibumihanguskan. Kemudian, masyarakat di sana ingin membangun
kembali rumahnya. Namun karena bahan-bahan untuk membuat rumah seperti Bumi Adat
yang berarsitektur tradisional membutuhkan bahan cukup banyak, sementara bahan yang
tersedia di hutan keramat tidak memadai, akhirnya mereka memutuskan untuk membangun
rumahnya dengan arsitektur yang umum, yang sesuai dengan kemajuan kondisi saat itu.
Keinginan ini disampaikan oleh Anom Idil (kuncen) kepada karuhun dimakam keramat.
Permohonan mereka dikabulkan dan diizinkan mendirikan rumah dengan arsitektur umum
kecuali Bumi adat yang harus tetap dijaga kelestariannya sampai kapanpun. Tetapi disini
tidak langsung diijinkan karena bahan-bahan yang lain masih dianggap tabu, nah sebelum
diijinkan masyarakat cikondang ini membuat rumah seadanya, baru pada tahun 1955
masyarakat cikondang diperbolehkan untuk membuat rumah dengan bahan-bahan yang
sudah modern. Hingga sekarang Bumi Adat masih tetap utuh seperti dahulu karena Bumi
Adat dianggap merupakan "lulugu" (biang) atau rumah yang harus dipelihara dan
dilestarikan.
Raya : kalo Agama yang di kampung adat ini apa bah ?
Abah Ilin : Pada abad ke-17 masyarakat di cikondang sudah menganut agama islam, yaitu
namanya islam sunda wiwitan atau adat istiadat yang masih kental dan dipake di
masyarakat cikondang, islam disini memiliki arti yaitu Insan (Isun), Sawiyah (Angin),
Loamah (Bumi Tanah), Amarah (Api), Mutmainah (Air). Kekhasan kampung Cikondang
yang masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang "karuhun"
ditandai dengan adanya bangunan tua yang menjadi pusat adat istiadat masyarakat tersebut
yaitu Bumi Adat. di kampung Cikondang terdapat suatu religi atau kepercayaan tentang
"karuhun" yang selalu menjaga dan melindungi anak cucu mereka. Karuhun dianggap oleh
mereka sebagai leluhur yang merupakan cikal bakal mereka. Karuhun itulah yang telah
membuka hutan Cikondang menjadi pemukiman seperti sekarang ini. Jasa-jasa mereka
tidak hanya sampai di situ, masyarakat mempercayai bahwa leluhurnya selalu mengawasi,
menjaga, dan melindungi anak cucu mereka sampai kapanpun.
Kepercayaan mereka kepada leluhurnya direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya tabu dan pantangan-pantangan di kampung Cikondang baik yang berlaku khusus di
Bumi Adat juga yang berlaku umum bagi masyarakat Cikondang maupun pada upacara-
upacara adat seperti upacara Seleh Taun Mapag Taun, dan adanya semangat (jiwa) ingin
tetap mempertahankan adat dan kebiasaan leluhurnya merupakan bukti keterikatan batin
dengan leluhurnya. Pantangan menggunakan barang elektronik dan perlengkapan rumah
tangga modern merupakan penuangan rasa cinta mereka kepada nenek moyangnya. Begitu
cintanya mereka berusaha untuk tetap mempertahankan kebiasaan leluhurnya yang hidup
sederhana sesuai dengan jamannya. Rasa hormat pun diperlihatkan ketika membuat
tumpeng lulugu: pada upacara Seleh Taun Mapag Taun, selama proses pembuatan tidak
boleh mencicipi atau mengambil benda yang terjatuh ke lantai. Tindakan ini sebagai upaya
untuk menghindarkan pemberian makanan basi bagi leluhurnya. Mereka menganggap
bahwa makanan yang dicicipi dianggap basi. Begitu pula dengan adanya pantangan bagi
wanita yang sedang haid masuk ke Bumi Adat, karena keadaan demikian dianggap kotor.
Penilain kurang hormat jika Bumi Adat sebagai tempat leluhur mereka yang harus dijaga
kebersihanya kemudian diisi dengan sesuatu yang kotor.
Rosa : Kalau mata pencaharian disini apa bah ?
Abah Ilin :Mata pencaharian di kampung adat ini yaitubertani, Adapun alat-alat pertanian
adalah cangkul, sabit, kapak, dan gergaji, semua itu peninggalan dari sunan rama,
sedangkan tempat nasi dari kayu, peninggalan dari sunan ibu dan dari sinan. Selain
pertanian masyarakat Kampung Adat Cikondang juga berpenghasilan dari perdagangan
yang dapat menafkahkan isteri dan anaknya. Pertanian bagi mereka suatu hal yang biasa.
Masyarakat kampung cikondang tidak pernah menggunakan pupuk organik untuk
pertaniannya.
Ahmad : Apakah penghasilan mereka mencukupi bah kalo hanya bertani dan berdagang ?
Abah Ilin : Penghasilan mereka dari pertanian dan perdagangan cukup untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan anaknya. Di Kampung Adat Cikondang tidak
pernah terjadi perselisihan tentang beberapa hal yang menyangkut soal penghasilan karena
mereka selalu saling menolong satu sama lain.
Ahmad : Bagaimana dengan pendidikan di kampung adat ini bah ?
Abah Ilin : Pendidikan di cikondang alhamduliallh yang berpendidikan lebih besar daripada
yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah misalnya di RT 1 dari jumlah 127 jiwa yang
berpendidikan mencapai 83 jiwa, berarti lebih dari 75% penduduk adalah berpendidikan.
Hal ini tentunya akan meningkatkan sumber daya manusia yang berakibat pada cara
pandang, cara berpikir, dan cara orientasi mereka dalam bekerja untuk membangun
daerahnya.

Dedeh : Bagaimana masyarakat disini dalam menjaga kampung adat dan mata pencaharian
kampung adat ?

Abah Ilin : Alhamdulillah kampung adat dalam melakukan hal apapun selalu gotong
royong, dapat dilihat pada pelaksanaan upacara-upacara adat seperti Seleh Taun Mapag
Taun (Musiman) tampak kehidupan tolong menolong dan gotong royong warga
berlangsung spontan. Seolah tersurat dalam perilaku mereka bahwa upacara ini tidak akan
berlangsung tanpa peran serta warganya. Apa yang dapat mereka perbuat untuk upacara ini
akan dilakukan, hal ini diaktualisasikan dalam bentuk sumbangan misalnya tenaga, biaya,
dan bahan-bahan perlengkapan upacara seperti ayam dan kayu bakar.
Tentunya pengorbanan waktu dan gagasan-gagasan tidaklah merupakan beban bagi
mereka, yang mereka pikirkan bukan "apa yang telah diberikan kepada mereka, namun apa
yang telah mereka berikan" terhadap kelangsungan upacara ini.
Masyarakt disini mengerjakan semua itu dengan kesadaran sendiri, yang disebutkan dalam
bahasa Sunda "hideng sorangan" dantentunya tanpa pamrih masyarakat disini mah. Bahasa
yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Sunda dialek Priangan. Dialek bahasa ini banyak
digunakan oleh masyarakat Bandung. Dalam kehidupan sehari-hari terutama jika
berbincang dengan para temu, mereka menggunakan bahasa sunda halus sehingga
memperlihatkan keramahan dan kehalusan budi pekerti.
B. Wawancara
inggrid: “Mau nanya bah,kan di dalam kesenian kampung cikondang the ada 6 macam
yaiu tarawangsa,gambang kromong,silat,calung sama reog wanita. Dilihat dari observasi
eman teman yg sebelumnya ya bah,katanya orang penduduk asli cikondang itu orang
Cirebon ya bah tp dilihat dari kesenian yang 6 ini bawaan yang dari daerah Cirebonya
cuman 1 dan yang lainya dari daerah Sunda . yang dari daerah Cirebon itu yang gambang
kromong sedangkan yang lainya berasal dari Sunda. Knapa bisa kaya gitu bah factor apa?”
Abah: ”Oh itu akibat factor asimilasi dari Mama Sepuh dengan Uyut Sultiah ada penduduk
asli sini trus ada pendatang. “
Inggrid: ”Oh begitu bah,jadi pendatang itu yang mengadopsi kebudayaan sini? Yang
bawaan kesenian dari Cirebon itu tetep 1?”
Abah: ”Iya betul itu juga ketemunya di dalam tanah si koromong itu.jadi itu
peninggalan jaman dulu kerajaan hindu budha ditemukanya di dalam tanah keinjak sama
kerbau,udah ditemukan lalu jadi milik penduduk sini tapi yang memegang itu Pak Waip
turun ke Pa Iding anaknya.”
Inggrid: ”Pak Waip itu yang mengajarkan gambang kromong?”
Abah: ”iya betul “
Inggrid: “Pak Waip itu orang Cirebon? Dia juga yang mengajar sama yang
menemukanya?”
Abah : “bukan,dia asli orang kampung sini.”
Inggrid: “oh berarti yang menemukan gambang kromong the asli orang sini ya bah?”
Abah: “iya,itukan peninggalan keerajaan pada masa penjajahan Belanda dulunya jadi
supaya ga jadi milik Belanda,oleh masyarakat dikubur di dalam tanah,keinjak sama kerbau
lalu diurus sama Pak Waip. Saat ditemukan di dalam tanah itu ada bonang sama koromong
berbahan perunggu,perunggu kan tidak gampang berkarat.”
Inggrid: “kalau pa Waip itu orang sunda ya bah,trus knapa Pak Waip isa ngajarin gambang
kromong?”
Abah: “abah juga kurang tau,tiba tiba dia punya 9 lagu aja yg diajarin dapet ide dari 9 wali
songo.seperti Tarawangsa juga ada 7 lagu di dapetin dari 7 hari.
Andri: “pa kalau dirumah adat kana da ritual,asal muasalnya darimana itu ritualnya bah?”
Abah : “asalnya dari uyut yang terdahulu turun temurun. Kalau di Kuningan namanya
ritual serentaun,kalau disini namanya wukutaun,gunanya untuk merayakan syukuran hasil
pertanian baik yang di ladang atau yang di sawah>
Inggrid: “bah ai yang dimaksud seni tarawangsa itu apa?”
Abah: “seni tarawangsa itu untuk merayakan keberhasilan panen pertanian dan udah jadi
kegiatan turun temurun di desa abah untuk merayakan satu muharram taun baru islam ya
intinyamah ungkapan rasa syukur hasil pertanian disini.”
Ahmad: “ bah mau nanya kan kalau disini yang namanya tarawangsa itu perpaduan anatara
rrebab sama kecapi,kalau di sumedang itukan ada khusus ya bah?”
Abah: “iya kalau yang di Sumedang itu udah di modifikasi sudah make ibingan dan juga
make ritual bakar kemenyan terus terusan,kalau yang disinimah cuman instrument aja
iringan tarawangsa, kacapi dengan rebab.”
Raya: “ bah setau saya sih rebab sama tarawangsa itu beda kan ya bah ya? Kalau rebab itu
yang bulat dari bahan kulit senarnya dua trus kalau tarawangsa itu yang bentuknya kotak
ya bah?”
Abah: “ iya beda tarawangsa sama rebab itu.”
Raya: “bah kalau nanggap pas tarawangsaan itu asumsi kita itu rame rame seperti acara
dangdutan gt bukan bah?”
Abah : “itumah gimana dari undangan yang ngadain nanggap acara tarawangsaan aja,ya
paling tetangga daerah kampung sini aja ngadain juga acaranya dirumah. Kalau acara
wukutaun keramat dirumah adat sama sekali gada raramean,itumah sacral aja ritual.”
Inggrid :” oh itu sejak kapan ritual itu dijalanin, apa dari dulu atau setelah rumah adat
kebakar bah?”
Abah: “oh itu mah dari dulu, kalau dulu rumah adat itu ada 61an.
Inggrid : “bah sebelum tarawangsa dibaawain suka ada tradisi dulu ga sebelum nanggap
tarawangsa, atau step by step nya itu apa bah?”
Abah : “jadi awalnya mipit amit dulu atau ngala bewara dulu trus bakar menyan dan si
menyan nya di tumpahkan di si kecapi di ketit,barang dan galimer.tiap ketit,barang dan
galimer itu ada 6 kawat laras na juga salendro.”
Raya: “bah kalau tujuan si kecapi itu diolesi minyak itu buat apa bah apa biar jadi jago
atau gimana bah?”
Abah: “iya kalau kita mendalami seni itu harus ada asihanya supaya didengeun sama yang
nonton itu istilahnya, smuanya ga sembarangan aya elmuna.”
Inggrid : “bah kalau si pemain pemain tarawangsanya itu pada masih ada bah?”
Abah: “iya masih ada, mang karsa tukang kacapi sama pa ido tukang rebabna, tah
skarangmah tukang nabeuh nya sudah turun temurun.”
Ahmad : Janten anu ngisi 61 rumah adat eta teh campur, sanes urang asli Cirebon?

Abah : Enya campur. Kitu. Jadi pan aya peneliti kadie aya peneliti ti ITB, meneliti tina
masalah raut muka, kitu. Timana asal muasalna ieu masyarakat Cikondang teh, ketemu weh
ku anjeunna asal Cirebon. Kitu bageur. Tina raut muka.

Da kata-katana oge nami-namina teh Cikondang kidul anu ngahiji jeung ieu, nu rumah adat
nah ieu, aya Lahari, aya Aki Ukasan, Aki Suria asal Garut. Kapungkur ge aya ti Garut, Aki
Nata, Aki Atmayi.

Ahmad : Abah, ari Aki-Aki ieu teh anu gaduh 61 rumah?

Abah : Heu’euh. Aya Cikondang Kaler, aya Cikondang Kidul. Kapungkur mah Abah jadi
RW teh Cikondang Kidul jeung Cikondang kaler teh sa’RW, ayeuna mah jadi 2 RW.

Tahun 55 kakarek digarengteng, tahun 42 tahuruan teh kulantaran alot pan pamali tea, teu
meunang digenteng, kitu. Jadi taneuh ulah dikaluhurkeun, kitu, ulah disiksa, ulah
dibeuleum, kitu. Jadi urang teh hirup-hirup ceunah geus dikubur, kitu. Jadi diluhur teh
injuk, sarua jeung buuk urang, kitu. Kitu alasannana. Juru kuni tah Mamah Sepuh tuh, terus
Mamah nu kadua Mamah Apung.

Inggrid : Bah, pewarisan anu sanesna Bah kesenianna sapertos beluk, kromong sareng silat
nu kitu sapertos kumaha? Misalkan tah beluk, kan upami tarawangsa mah kan tadi ti sepuh
lungsur ka putrana ka putrana deui teras kitu, upami beluk?

Abah : Beluk ge kitu ayeuna ge tos aya generasi, ayeuna teh tos generasi katilu. Generasi
pertama pun Aki tukang beluk teh. Pun Aki panginten.

Ahmad : Beluk teh nyanyian kan Bah?

Abah : Enya, eta tina wawacan barjah, ngamumule pupuh Asmarandana, Kinanti, ngan
dinyanyikeun suara keras, disebut beluk, kitu. Baheulana teh tukang tani diditu di leuweung
jadi sok cing garorowok kitu, baheula ti saung ieu ka saung itu dibelukkeun, kitu. Tah ti
dinya mimitina aya beluk teh, jadi suara dikeraskeun, “Wey, didinya aya anu.” Tah seperti
kitu.

Ahmad : Tapi nu dinyanyikeunna mah pupuh asmarandana?

Abah : Enya asmarandana, nya, jadi lamun bajah mimitina tina asmarandana, lamun
sama’un mimitina tina kinanti.

Ahmad : Ari barjah sama’un teh naun eta teh Bah? Beluk keneh jenis baluk?

Abah : Sama’un ge beluk keneh,dibeluk. Ngan te mah lalakon sama’un hartin, ieumah
lalakon barjah. Legenda, legenda, lalakon, lalakon barjah, lalakon ogin, tah kitu. Tah kitu,
kaditu na mah biasa weh aya pupuh dangdangguula, ngan aya ciri, kitu

Dessy : Eta teh aya 17 pupuh, aya 17 jalmi atawa henteu Bah?

Abah : Dina eta teh, ieu misalna dina ogin pupuh-pupuhna ge eta we sami kinanti,
asmarandana, dangdanggula, aya... Nah aya ciri, dina barjah mah asmarandana. Mimiti eta
mimiti tina laguna, lalakonna.

Ahmad : Ari eta teh Bah, barjah terus sama’un, ogin terus aya naun deui Bah?

Abah : Ahmad Muhammad, terus muslimin muslimat, nah ngan sakitu di Abah mah.

Ahmad : Oh, aya lima berarti?

Abah : Enya.

Dessy : Eta cirina naon wae Bah?

Abah : Sama’un teh laguna kinanti, barjah asmarandana, ogin mah tina sinom, ahmad
Muhammad tina dangdanggula, muslimin muslimat mah tina pucung. Legenda we lah kitu.
Seperti nu disebut legenda teh ieu lalakon sangkuriang, nah eta teh legenda sangkurang teh.
Jadi henteu dimaskkeun kana sejarah ai eta mah legenda mah, kitu. Jadi masing-masing
pada boga... lamun ayeuna mah makalah, Abah misalna gaduh makalah ieu.

Inggrid : Abah teraskeun Bah silsilah ayeuna generasi ka sabaraha ayeuna teh?

Abah : Generasi ka tilu ayeuna teh.


Andri : Anu kahiji saha Bah?

Abah : Anu kahiji pun aki, Ayut sarmayi. Anu kadua ieu eee... Parukmah sareng Anom
Rumyah. Kuncenna Anom Rumyah. Anu katilu Kaman Suito eta teh ketua beluk ketua adat
ongkoh. Kitu. Generasi katilu eta teh tah engke aya deui generasi ka opat eyuna teh.

Dessy : Abah ieu teh saturun temurun teu uyut ka uyut sarmayi ka parukmah ka kaman
suito?

Abah : Henteu, jadi tos campur.

Dessy : Tah ari ieu dianggona kanggo naon Bah kasenian beluk?

Abah : Kanggo ieu salametan 40 hari anak lahir. 40 hari anak, mimitina pan eta heula,
eee.... baca marhaba heula, terus terus gunting rambut, terus wengina beluk. Ti sore acarana
mah. Ti isa kaditu mah beluk. Aya tukang nilo na heula tah. Ieu babacaan barjah, ieu
tukang ngilo. Jadi dina wawacan teh ngarupakeun tungtunan ari tungtunan teh contoh, kitu
bageur. Keur mapatahan barudak baheula mah, kitu.

Ahmad : Bah, lajeungken ka kromong, nah ari kromong teh kan anu ti jero taneuh taneuh
tea kan, guru na teh Pak Waip?

Abah : Pak Waip saparakanca, goongna ku si anu, gambangna si anu, tukang bonangna si
anu, tukang kendangna si anu, aya.

Inggid : Bah, berarti eta teh kan nembe aya dua alat si kromong teh, anu kapendak teh naon
wae Bah?

Abah : Aya dua alat we kenong sareng goong. Perunggu digotong ku duaan. Anu sanesna
mah ngadamel we ieu kendang ngadamel da maeunya dijero taneuh aya kai mah atu pinuh
ku rinyuh. Haha. Perunggu hungkul, saperangkat we anu aya di Asep Sunandar Sunarya
geuning aya baradag.

Inggrid : Aya sabaraha hiji Bah eta teh Bah kenongna?

Abah : Kenong na hiji we eta mah biasa we da mi na ti la da.

Ahmad : Aya dimana ayeuna teh Bah?


Abah: Di putra Pak Iding, teu dirumah adat. Apan Pak Waip anu ngampihannana
baheulana, jadi eta ngawakilan ti desa kitu jadi nu gaduhna mah desa ngan di cepeng ku
Pak Waip. Dikaramatkeun ayeuna teh, teu meunang ngomong, teu meunang ditabeuh. Jadi
mun ditabeuh, teu terang laguna anu salapan, heg ge lagu nu ayeuna langsung kasurupan
loba nu kasurupan.

Inggrid : jadi hanya boleh memainkan lagu sembilan itu?

Abah : Enya.

Inggrid : Jadi kalau memainkan lagu lain kesurupan?

Abah : Sok terjadi.

Ahmad : Bah ari yang main kromong itu orang tertentu atau bebas?

Abah : Bebas, saha we nu daek, ngan kudu matuh.


Eta nu disunatan, kitu baheula na teh, nu disunatan sok nabeuh kromong, kitu. Turun
temurun kitu lamun bapana sok nabeuh kromong, anakna ge nabeuh kromong mun boga
budak deui teh kudu nabeuh kromong. Ayeuna misal teu ka modalan kana kromong, mawa
kenong we ayeuna mah wungkul kitu ti Pak Iding tah, kenong jeung menyan we takolan we
ku budak sunatan teh, kitu, cageur we disunatannana teh.
Keur mapag tamu ageung eta kromong teh keur mapag tamu agung anu pertama mah, anu
kadua dina khitanan, kitu.
Ahmad : Bah, anu selanjutna teh silat gagak lumayung, nah eta teh dicandakna eta mah ku
urang sunda nya Bah?

Abah : Gagak lumayung teh anu kapanggih ku Abah didieu Wa Uri eta teh tahun 42
ajeunna kadieu, Pak Kowasi waktu bandung lautan api. Wa Uri teh kadieu ngajarkeun we
silat gagak lumayung didieu, kitu. Tahun 42 tah baheula. Tah samemeh kahuruan anjeunna
kadieu teh. Anu kadua Bang Soma anu ngajar silat eta teh terus Pak Bahri tah tilu tah eta.

Andri : Ciri khas tina silatna teh naon wae Bah ciri khas? Bedana sareng silat nu sanes?

Abah : Jadi aya nu tina gerak, aya tina kembang, aya buah. Tina setrum. Aya bacaannana.

C. Dokumentasi
Tempat menjamu agung seperti Gubernur Bupati dll
Lesung alat menumbuk padi

Rumah adat
Bagian-bagian rumah dan peralatan eumah
Leuit, tempat penyimpanan padi

Tempat tinggal perempuan yang sedang haid


Hutan Larangan
A. Situasi dan Kondisi
a. Letak Geografis
Kp Cikondang dari Utara berbatasan dengan Desa Cipinang Kecamatan Cimaung,
dari Selatan Hutan Lindung Gunung Tilu dan Desa Pulo Sari Kecamatan Pangalengan, dari
Timur Subdas Cisangkuy Desa Cikalong dan Desa Tribhakti, sebelah Barat Desa Sukamaju
Kecamatan Cimaung, Barat Laut Hutan Gunung Tilu berbatasan dengan Pasir Jambu
Gambung Perkebunan Teh.
Jarak dari Kota Bandung ke Kampung Adat Cikondang ini sekitar 38 Kilometer,
sedangkan dari pusat Kecamatan Pangalengan sekitar 11 Kilometer. Dari Kota Bandung ke
arah Selatan melewati Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Cimaung. Jarak dari ruas jalan
Bandung-Pangalengan yang berada di wilayah Kampung Cibiana ke Kampung Cikondang
satu kilometer. Sedang dari jalan komplek perkantoran PLTA Cikalong, melewati
bendungan dengan tangga betonnya, selanjutnya melalui Kantor Desa Lamajang sekitar
satu setengah kilometer.
b. Sejarah Cikondang
Menurut sesepuh adat Kampung Cikondang ( Abah Ilin), konon mulanya di daerah
ini ada seke (mata air) yang ditumbuhi pohon besar yang dinamakan Kondang. Oleh
karena itu selanjutnya tempat ini dinamakan Cikondang atau kampung Cikondang.
Nama itu perpaduan antara sumber air dan pohon Kondang; “Ci” berasal dari
kependekan kata “cai” artinya air (sumber air), sedangkan "kondang" adalah nama
pohon tadi. Masih menurut penuturan sesepuh adat, untuk menyatakan kapan dan siapa
yang mendirikan kampung Cikondang sangat sulit untuk dipastikan. Namun,
masyarakat meyakini bahwa karuhun (Ieluhur) mereka adalah salah seorang wali yang
menyebarkan agama Islam di daerah tersebut yang hidupnya humanomaden
(berpindah-pindah). Mereka memanggilnya dengan sebutan Uyut Pameget dan Uyut
Istri yang diyakini membawa berkah dan dapat ngauban (melindungi) anak cucunya.
Kapan Uyut Pameget dan Uyut Istri mulai membuka kawasan Cikondang menjadi suatu
pemukiman atau kapan ia datang ke daerah tersebut? Tidak ada bukti konkrit yang
menerangkan kejadian itu baik tertulis maupun lisan. Menurut perkiraan seorang tokoh
masyarakat, Bumi Adat diperkirakan telah berusia 200 tahun. Jadi, diperkirakan Uyut
Pameget dan Uyut Istri mendirikan pemukiman di kampung cikondang kurang lebih
pada awal abad ke-XVII atau sekitar 1800.
Arsitektur Bumi Adat adalah sebagai berikut: bangunan merupakan panggung dengan
atap terbuat dari ijuk dan daun alang-alang (eurih). Daun alang-alang di bagian dasar
(bawah) kemudian ditutupi dengan ijuk. Bagian atap yang mendatar (talahab) terbuat
dari bambu yang dibelah dua kemudian disusun bertumpang tindih saling menutupi.
Bangunan ini memiliki jendela tanpa kaca, hal ini disebabkan karena benda tersebut
dianggap tabu untuk Bumi Adat termasuk di dalamnya tidak dilengkapi dengan alat-alat
elektronik seperti listrik, televisi, dan radio.
Tiang bangunan terbuat dari kayu sedangkan dinding (bilik) terbuat dari bambu, begitu
pun alas lantai terbuat dari bambu yang disebut palupuh. Dulunya dinding rumah harus
dibuat dari palupuh, namun karena faktor kesulitan akhirnya dibuat bilik, begitu juga
bahan penguat tiang sekarang menggunakan paku, dulunya menggunakan paseuk;
seperti paku yang terbuat dari bambu atau kayu.
Bentuk dan arsitektur bangunan harus serba alami. Semua bahan-bahan bangunan dari
hutan keramat, tidak boleh dari luar. Jika harus memakai barang-barang dari luar, maka
harus terlebih dahulu meminta permohonan atau izin kepada leluhurnya.
Adapun tata ruang Bumi Adat sebagai berikut: jumlah ruangan ada tiga, yaitu kamar
penyimpanan beras (goah); masyarakat di sana biasanya menyebutnya pangcalikan,
kamar mandi kuncen, dan kamar tamu. Kamar tamu biasa digunakan sebagai tempat
penyelenggaraan upacara. Di tempat itu pula terdapat dapur yang hanya terdiri atas
perapian (hawu) dan parako. Peralatan rumah tangga pun harus tradisional, seperti
entik; gelas dari tempurung kelapa, aseupan; untuk mengukus nasi, boboko; tempat
menyimpan nasi, dan langseng; tempat menanak nasi, begitu pun perabotan lainnya
terbuat dari bahan seng yaitu, cengkir, piring, sendok, dan rantang. Di mulut pintu
terdapat bangunan terbuka yang disebut bale-bale. Tempat ini digunakan untuk
perempuan yang sedang haid ketika hendak bertamu atau membantu memasak,
sedangkan pada acara Musiman, bale-bale ini berfungsi untuk membagikan atau
mengatur pembagiantumpeng. Dan ada juga ketentuan untuk berkunjung ke bumi adat
tersebut yaitu, wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan berkunjung ke bumi adat,
pada hari selasa, jumat, dan sabtu, bumi adat tidak boleh dikunjungi, karena menurut
mereka, hari tersebut adalah hari keramat. Selain itupun kampung cikondang memiliki
hutan larangan, hutan larangan disini bukan berarti tidak di perbolehkan untuk
berkunjung, hanya saja ada hari-hari tertentu untuk bidsa berkunjung dan harus
meminta ijin terlebih dahulu, karena tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke
dalam hutan larangan ini.
Pada awalnya bangunan di Cikondang ini merupakan pemukiman dengan pola
arsitektur tradisional seperti yang digunakan pada bangunan Bumi Adat. Konon tahun
1940-an terdapat kurang Iebih enam puluh satu rumah. Sekitar tahun 1942 terjadi
kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat yang letaknya
berada lebih tinggi dari rumah yang lainya. Tidak diketahui apa yang menjadi penyebab
kebakaran itu. Namun ada dugaan bahwa kampung Cikondang dulunya dijadikan
persembunyian atau markas para pejuang yang berusaha membebaskan diri dari
cengkeraman Belanda. Kemungkinan tempat itu diketahui Belanda dan
dibumihanguskan. Selanjutnya, masyarakat di sana ingin membangun kembali
rumahnya. Namun karena bahan-bahan untuk membuat rumah seperti Bumi Adat yang
berarsitektur tradisional membutuhkan bahan cukup banyak, sementara bahan yang
tersedia di hutan keramat tidak memadai, akhirnya mereka membtuskan untuk
membangun rumahnya dengan arsitektur yang umum, yang sesuai dengan kemajuan
kondisi saat itu. Keinginan ini disampaikan oleh Anom Idil (kuncen) kepada karuhun
dimakam keramat. Permohonan mereka dikabulkan dan diizinkan mendirikan rumah
dengan arsitektur umum kecuali Bumi adat yang harus tetap dijaga kelestariannya
sampai kapanpun. Namun diizikanya mendirikan rumah dengan arsitektur umum yaitu
pada tahun 1955, sebelum tahun 1955 masyarakat cikondang tidak diperbolehkan
membuat rumah dengan bahan-bahan yang sudah modern, karena dianggap tabu atau
pamali. Pada saat itu masyarakat cikondang menunggu tahun 1955 untuk membuat
rumah yang lebih modern, dalam masa menunggu, masyarakat cikondang
menggunakan bahan-bahan seadanya untuk membuat rumah agar bisa berlindung.
Hingga sekarang Bumi Adat masih tetap utuh seperti dahulu karena Bumi Adat
dianggap merupakan "lulugu" (biang) atau rumah yang harus dipelihara dan
dilestarikan.
c. Agama
Pada abad ke-17 masyarakat cikondang merupakan penganut agama islam, yaitu
islam sunda wiwitan atau adat istiadat yang masih kental dan dipake di masyarakt
cikondang, islam disini memiliki arti yaitu Insan (Isun), Sawiyah (Angin), Loamah (Bumi
Tanah), Amarah (Api), Mutmainah (Air). Kekhasan kampung Cikondang yang
masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang "karuhun" ditandai
dengan adanya bangunan tua yang menjadi pusat adat istiadat masyarakat tersebut yaitu
Bumi Adat. di kampung Cikondang terdapat suatu religi atau kepercayaan tentang
"karuhun" yang selalu menjaga dan melindungi anak cucu mereka. Karuhun dianggap oleh
mereka sebagai leluhur yang merupakan cikal bakal mereka. Karuhun itulah yang telah
membuka hutan Cikondang menjadi pemukiman seperti sekarang ini. Jasa-jasa mereka
tidak hanya sampai di situ, konon masyarakat mempercayai bahwa leluhurnya selalu men-
gawasi, menjaga, dan melindungi anak cucu mereka sampai kapanpun.
Kepercayaan mereka kepada leluhurnya direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya tabu dan pantangan-pantangan di kampung Cikondang baik yang berlaku khusus di
Bumi Adat juga yang berlaku umum bagi masyarakat Cikondang maupun pada upacara-
upacara adat seperti upacara Seleh Taun Mapag Taun, dan adanya semangat (jiwa) ingin
tetap mempertahankan adat dan kebiasaan leluhurnya merupakan bukti keterikatan batin
dengan leluhurnya. Pantangan menggunakan barang elektronik dan perlengkapan rumah
tangga modern merupakan penuangan rasa cinta mereka kepada nenek moyangnya. Begitu
cintanya mereka berusaha untuk tetap mempertahankan kebiasaan leluhurnya yang hidup
sederhana sesuai dengan jamannya. Rasa hormat pun diperlihatkan ketika membuat
tumpeng lulugu: pada upacara Seleh Taun Mapag Taun, selama proses pembuatan tidak
boleh mencicipi atau mengambil benda yang terjatuh ke lantai. Tindakan ini sebagai upaya
untuk menghindarkan pemberian makanan basi bagi leluhurnya. Mereka menganggap
bahwa makanan yang dicicipi dianggap basi. Begitu pula dengan adanya pantangan bagi
wanita yang sedang haid masuk ke Bumi Adat, karena keadaan demikian dianggap kotor.
Penilain kurang hormat jika Bumi Adat sebagai tempat leluhur mereka yang harus dijaga
kebersihanya kemudian diisi dengan sesuatu yang kotor.
d. Mata Pencaharian
Sumber kehidupan Masyarakat Kampung Adat Cikondang pada awalnya
berpenghasilan dari pertanian. Adapun alat-alat pertanian adalah cangkul, sabit, kapak, dan
gergaji, semua itu peninggalan dari sunan rama, sedangkan tempat nasi dari kayu,
peninggalan dari sunan ibu dan dari sinan. Selain pertanian masyarakat Kampung Adat
Cikondang juga berpenghasilan dari perdagangan yang dapat menafkahkan isteri dan
anaknya. Pertanian bagi mereka suatu hal yang biasa. Masyarakat kampung cikondang
tidak pernah menggunakan pupuk organik untuk pertaniannya.

e. Penghasilan
Penghasilan mereka dari pertanian dan perdagangan cukup untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan anaknya. Di Kampung Adat Cikondang tidak
pernah terjadi perselisihan tentang beberapa hal yang menyangkut soal penghasilan karena
mereka selalu saling menolong satu sama lain.

f. Pendidikan
Dilihat dari jenjang pendidikan yang pernah diikuti oleh penduduk setempat,
ternyata prosentasi orang yang berpendidikan lebih besar daripada yang tidak pernah
mengenyam bangku sekolah misalnya di RT 1 dari jumlah 127 jiwa yang berpendidikan
mencapai 83 jiwa, berarti lebih dari 75% penduduk adalah berpendidikan. Hal ini tentunya
akan meningkatkan sumber daya manusia yang berakibat pada cara pandang, cara berpikir,
dan cara orientasi mereka dalam bekerja untuk membangun daerahnya.

g. Sosial dan Kemasyarakatan


Masyarakat di desa cikodang memiliki jiwa gotong royong yang baik. Jiwa gotong
royong di kampung Cikondang dapat dilihat pada pelaksanaan upacara-upacara adat seperti
Seleh Taun Mapag Taun (Musiman) tampak kehidupan tolong menolong dan gotong
royong warga berlangsung spontan. Seolah tersurat dalam perilaku mereka bahwa upacara
ini tidak akan berlangsung tanpa peran serta warganya. Apa yang dapat mereka perbuat
untuk upacara ini akan dilakukan, hal ini diaktualisasikan dalam bentuk sumbangan
misalnya tenaga, biaya, dan bahan-bahan perlengkapan upacara seperti ayam dan kayu
bakar. Jumlah ayam kampung yang diperlukan pada upacara tahun ini sebanyak 100 ekor,
ayam tersebut berhasil terkumpul dan semuanya merupakan partisipasi masyarakat
setempat.
Tentunya pengorbanan waktu dan gagasan-gagasan tidaklah merupakan beban bagi
mereka, yang mereka pikirkan bukan "apa yang telah diberikan kepada mereka, namun apa
yang telah mereka berikan" terhadap kelangsungan upacara ini.
Mereka mengerjakan semua itu dengan kesadaran sendiri, yang disebutkan dalam
bahasa Sunda "hideng sorangan" dan tentunya tanpa pamrih. Bahasa yang digunakan
sehari-hari adalah bahasa Sunda dialek Priangan. Dialek bahasa ini banyak digunakan oleh
masyarakat Bandung. Dalam kehidupan sehari-hari terutama jika berbincang dengan para
temu, mereka menggunakan bahasa sunda halus sehingga memperlihatkan keramahan dan
kehalusan budi pekerti.

B. Kesenian Cikondang
Setiap daerah tentu memiliki kesenian masing-masing, begitupun dengan cikondang. Di
cikondang terdapat 6 kesenian, diantaranya:
1. Tarawangsa
Seni tarawangsa adalah perpaduan 2 instrumen yaitu kecapi dan rebab. Terdiri dari
7 buah lagu yang diambil berdasarkan jumlah hari.
Kesenian ini digunakan masyarakat sebagai ucapan rasa syukur atas hasil pertanian
darat dan sawah yang diselenggarakan pada tanggal 1-10 muharam (satu tahun
sekali). Tidak semua kalangan dapat melakukan perayaan seperti ini, hanya orang-
orang yang memiliki lahan pertanian yang luas. Biasanya perayaan ini dilakukan
secara turun temurun, jika orang tua kita merayakan hasil pertanian dengan
menggunakan tarawangsa, maka kita sebagai anaknya harus melakukan perayaannya
juga. Proses perayaan ini dimulai dengan mipit amit(ngala bewara), kemudian setelah
itu membakar kemenyan, lalu melumasi kawat tarawangsa dengan minyak kelapa.
Sebagai syarat, hasil panen ditutup dengan kain boeh larang dan dilapisi dengan kain
sutra dewangga. Disamping kanan dan kiri diletakan kendi yang berisi daun
hanjuang.
Generasi pertama yang memainkan kecapi yaitu Pak Karsa. Kemudian Pak Karsa
mewariskan keahliannya kepada anaknya yaitu Pak Ajo. Sehingga ketika beliau
meninggal, Pak Ajo lah yang menggantikannya. Sedangkan yang memainkan rebab
yaitu Pak Ido. Lain halnya dengan Pak Karsa, Pak Ido berusaha untuk mewariskan
kepada anaknya, namun anaknya tidak sungguh-sungguh dalam mempelajarinya.
Akhirnya Pak Ido memilih Pak Komar untuk menggantikannya bermain rebab,
meskipun Pak Komar bukan keturunannya. Tradisi masyarakat cikondang, ketika
berlatih tarawangsa diharuskan melakukan ritual dengan mengucapkan jampi tertentu
dan latihannya dilakukan pada tengah malam.
2. Gambang kromong
Gambang Kromong adalah kesenian yang berasal dari Cirebon yang
diadopsi oleh masyarakat Cikondang. Asal muasal kesenian ini yaitu pada dahulu
kala ditemukan gamelan kromong yang tidak sengaja terinjak oleh seekor kerbau
yang digembala oleh Pak Waip dan beliaulah yang mengajarkan gambang kromong
kepada masyarakat adat. Gamelan yang ditemukan hanyalah Goong dan Kenong.
Untuk melengkapi gamelan tersebut masyarakat kemudian membuat alat yang
lainnya seperti kendang dll. Gambang kromong berlaras salendro dan terdapat 9
lagu didalamnya, hal ini disesuaikan dengan jumlah wali. sekarang, gambang
kromong sudah tidak dipergunakan lagi, karena sudah tidak ada yang mampu
memainkan kesembilan lagu gambang kromong. hal ini mengakibatkan ketika para
pemain memainkan lagu lain selain dari sembilan lagu tersebut maka terjadilah
kesurupan. oleh karena itu, sekarang gambang kromong sudah tidak dimainkan lagi.
alat gaamelab disimpan di rumah Pak H. Andi untuk di jaga dan dirawat.
sekarang gambang kromong sudah tidak.
3. Beluk
Beluk adalah jenis kesenian tradisional yang menggunakan unsur suara saja, dan
pemainnya hanya membacakan wawacan seperti wawacan Ogin yang dimulai dengan
pupuh sinom, Samaun pupuh kinanti, Ahmad Muhammad pupuh dangdanggula, muslimin
muslimat pupuh pucung, dan Barjah pupuh asmarandana. Alasan mengapa wawacan
tersebut berbeda-beda namanya, karena masing-masing nama memiliki peran tertentu
berdasarkan legenda. Dari setiap wawacan, yang membedakannya hanyalah awalan lagu
yang dinyanyikan, selanjutnya sama. Wawacan tersebut diambil dari macam-macam pupuh
yang dinyanyikan oleh 6 orang, karena itu ada seorang yang memberikan peran kepada
masing-masing pembaca wawacan yang disebut tukang ilo.
Kesenian beluk pertama di perkenalkan oleh para petani yang suka bernyanyi
nyanyi di ladang, jaman dahulu para petani suka bernyanyi sambil berteriak dan bersaut
sautan antara petani satu dan yang lainya, alasan kenapa jaman dahulu beluk ini di
nyanyikan dengan suara yang keras , karena agar kedengar suaranya oleh para petani yang
lain.
Beluk di cikondang pada saat ini telah regenerasi hingga generasi ke 3. Generasi
pertama dipimpin oleh Uyut Sarmayi, generasi kedua dipimpin oleh Pak Rukma, dan
generasi ke tiga dipimpin oleh Kaman Suitno, S.Pd. Saat ini sudah mulai berlatih untuk
meneruskan generasi keempat. Pewarisan kesenian ini tidak berdasarkan keturunan, jadi
diperbolehkan bagi siapapun yang ingin berlatih. Beluk dipertunjukan untuk syukuran lahir
setelah 40 hari dan syukuran khitan. Tidak semua kalangan dapat merayakan syukuran
dengan kesenian beluk, sama halnya dengan perayaan tarawangsa, kesenian ini hanya dapat
dinikmati oleh kalangan berada.
Seiring perkembangan jaman kini beluk juga di gunakan di berbagai acara hajatan ,
salah satu nya di gunakan untuk selamatan 40 hari anak, (lahiran), dalam kesenian ini ada
yang di sebut dengan tukang ngilo, yaitu orang yang memberikan pengantar sebelum
lalakon beluk bernyanyi. Kesenian beluk di desa cikondang sekarang sudah memasuki
generasi ke-4 yaitu pimpinan Pak Anom Juhana. Adapun susunan generasi pemegang
kesenian beluk yaitu :
1. Azi
2. Wa Emit
3. Anom rumya
4. Anom juhana

4. Silat gagak kemayung


kesenian ini muncul pada tahun 1942 di kampung cikondang. tokoh-tokoh yang
mengajarkan silat ini kepada masyarakat adalah Wa Uri, Mng Soma dan Pak Bahri.
dinamakn silat gagak kemayung karena para tokoh menganalogikan silat ini dengan gagak
kemayung yang memiliki cakar dan paruh yang kuat sehingga mampu membuat siapa saja
lawannya menyerah.

5. Reog wanita
sebenarnya nama reog wanita ini hanya berdarsarkan kelompok yang memainkannya
saja, ketika kelompok yang memainkannya laki-laki maka reog ini dinamakan reog
laki-laki begitupun sebaliknya. kesenian reog adalah kesenian memainkan alat sejenis
kendang dari yang terkecil sampai terbesar akan tetapi bentuknya lebih pendek dan
berongga. alat tersebut dimainkan dengan cara dipukul. kesenian ini dipakai pada
semua acara terutama untuk hiburan.

6. Calung
Kesenian calung adalh pengganti kesenian angklung. dulu sebelulm kesenian ini
dibentuk, di kampung cikindang memiliki kesenian angklung akan tetapi kesenian
angklung diberhenttikan karena kondisi angklung yang sudah rusak sehingaa
masyarakat menciptakan seni yang baru yang dinamakan seni calung.

C. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Dari penelitian yang kami lakukan, kami dapat menyimpulkan bahwa sampai saat ini di
cikondang masih ada nilai-nilai kearifan lokalnya. Bisa silihat dari

Saran

Anda mungkin juga menyukai