Anda di halaman 1dari 5

Analisis Tradisi Kebudayaan Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu

Nama : Feni Wiji Rahayu

NIM : 1714025002

Mata kuliah : Sastra Melayu Lama

Prodi : Sastra Indonesia

Fakultas : Sastra, Budaya dan Komunikasi


Tradisi Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat

Kampung Adat Cireundeu merupakan salah satu kampung adat di Jawa Barat yang masih
memiliki kebudayaan tradisional yang masih tetap bertahan hingga saat ini. Meskipun telah
menerima kemajuan zaman, kampung yang terletak di wilayah kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat tersebut masih memegang teguh ajaran
leluhur atau ajaran tradisi.

Mengapa Cireundeu dikatakan sebagai kampung adat? Dikarenakan di kampung ini masih sangat
mempertahankan adat istiadat dan kebiasaan leluhurnya, serta masih menjaga kepercayaan yang
dianutnya secara turun temurun. Kehidupan adat di Kampung Cireundeu dipimpin oleh seorang
sesepuh (tokoh) dibantu oleh seorang Ais Pangampih dan Panitren. Tokoh tersebut mengatur
sistem peradaban /sosial budaya dari dahulu sampai sekarang yang masih tetap eksis dan tidak
terpengaruhi oleh dunia luar.

Karakteristik masyarakat adat Cireundeu yang agak berbeda dengan masyarakat kebanyakan
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ajaran Pangeran Madrais yang berakar dari konsepsi agama
Sunda Wiwitan, sebuah kepercayaan masyarakat Sunda pra-Islam. Masyarakat Cireundeu mulai
mengenal ajaran Pangeran Madrais sejak awal abad ke-20. Sejak saat itu hingga kini, mayoritas
penduduk kampung Cireundeu tetap teguh menjadikan agama Sunda Wiwitan yang diajarkan
Pangeran Madrais sebagai pedoman hidup. Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang
paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam
kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs
penyembahan. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga
jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah.

Satu hal yang menjadi ciri khas dari kampung ini ialah makanan pokoknya yang bukan beras
seperti masyarakat Indonesia kebanyakan, melainkan singkong. Singkong sebagai bahan
makanan pokok telah menjadi gaya hidup bagi warga sekitar kampung Cireundeu.

Singkong dipilih sekaligus sebagai solusi pencegahan kemungkinan gagal panen karena
singkong dapat ditanam dalam segala musim dan dapat dipanen sepanjang tahun. Dengan
kondisi tersebut, mereka merasa hidup lebih tentram tanpa terpengaruhi oleh krisis ekonomi
negara yang tidak stabil. Selain itu, sumber makanan pokok selalu tersedia serta tidak akan
pernah kelaparan.

Sesepuh warga Cireundeu menuturkan bahwa tradisi makan singkong tersebut bermula pada
tahun 1924, ketika lahan pertanian yang ditanami padi oleh warga Cireundeu mengalami gagal
panen (puso). Masyarakat Cireundeu pun terancam kelaparan, karena pemerintah kolonial
Belanda tidak peduli dengan problem pangan yang dihadapi warga Cireundeu.

Dalam kondisi itu, salah satu tokoh pemikirannya mengatakan, resiko gagal panen dari kebun
singkong relatif lebih kecil daripada lahan padi. Sejak itulah warga Cireundeu mulai beralih
mengonsumsi nasi singkong. Nasi singkong, yang oleh penduduk Cireundeu dinamakan
rasi atau sanguen tersebut menjadi makanan pokok warga Cireundeu meskipun zaman telah
berubah. Hal ini disebabkan oleh wejangan dari Haji Ali selaku leluhur mereka yang meminta

1|Sastra Melayu Lama


masyarakat Cireundeu beralih mengonsumsi nasi singkong sebagai akibat dari peristiwa gagal
panen tahun 1924. Selain itu mereka juga memegang teguh sebuah pepatah karuhun yaitu “Teu
Boga Sawah asal boga pare. Teu boga pare asal boga beas Teu noga beas asal bisa nyangu,
Teu nyangu asal dahar, Teu dahar asal kuat”. Masyarakat Cireundeu pun memegang teguh
wejangan tersebut, sama halnya seperti mereka meyakini dengan teguh ajaran Pangeran Madrais
hingga kini.

Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup
yang santun dalam nafas setiap insan warga kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan
kesenian khas masih terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan
adat leluhurnya. Selain digunakan sebagai makanan pokok, singkong hasil budidaya kampung
tersebut juga digunakan sebagai bahan pembuat aneka ragam kue dan makanan ringan.

Masyarakat Kampung Cireundeu, seperti kebanyakan kampung adat lainnya, memiliki ritual
upacara adat pada acara-acara pernikahan, kelahiran, kematian, dan puncaknya pada ritual
tahunan yaitu Syura-an atau tahun baru Saka Sunda atau tahun baru Saka 1 Sura.

1 Sura bagi warga Cireundeu, ibarat Lebaran. Sebelum tahun 2000, mereka selalu mengenakan
pakaian baru. Namun beberapa tahun terakhir ini, adat mereka dilembagakan. Saat upacara adat,
kaum lelaki mengenakan pakaian pangsi warna hitam, sementara kaum perempuan mengenakan
kebaya atau pakaian warna putih. Acara tersebut dirayakan sebagai rasa syukur masyarakat adat
atas rahmat dari yang Mahakuasa. Syura-an dilangsungkan sehari penuh, ritual dimulai dari pagi
hari dengan melakukan “ngajayak” (keliling kampung) dari gerbang desa yang berakhir di balai
desa. Sesampainya di balai desa, rombongan disambut dengan iring-iringan musik angklung
buncis, dan gending. Setelah semua rombongan sampai ke balai, sesepuh desa memberikan kata
sambutan yang dilanjutkan acara ngurah tumpeng yang berasal dari singkong.

Malam harinya, rombongan kembali melakukan ritual keliling kampung membawa obor. Seusai
keliling membawa obor, di balai desa kembali diadakan acara-acara pentas seni seperti kidung
bumi segandu, jaipongan, pencak silat, karinding, calung, marawis, dan biasanya ditutup dengan
penampilan wayang golek.

Upacara syura-an memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia
hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan,
angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. “Karena itulah manusia harus mengenal
dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain
dan mahluk hidup.

Kini keberadaan Kampung Cireundeu semakin terangkat sebagai sebuah kampung adat. Tak
heran, setiap 1 Sura, kampung ini selalu menjadi daerah tujuan sejumlah peneliti untuk
mengetahui ritual-ritual saat tahun baru. Karena animo besar dari luar Cimahi berkunjung ke
kampung ini setiap 1 Sura, maka Cireundeu pun menjadi aset wisata Kota Cimahi

2|Sastra Melayu Lama


Pandangan penulis terhadap tradisi masyarakat adat Cireundeu

Kepercayaaan Sunda Wiwitan yang dianut sebagian masyarakat nya yang merupakan ajaran dari
Pangeran Madrais tidaklah bersifat chauvinis, melainkan menekankan toleransi dan kesediaan
yang kuat dalam menerima perbedaan. Penguatan identitas kesundaan dijadikan landasan agar
masyarakat sunda tidak kehilangan jati dirinya ketika ‘berhadapan’ dengan kebudayaan
(termasuk kepercayaan atau agama) asing. Esensi ajaran Pangeran Madrais adalah pembangunan
jati diri bangsa (nation character building) yang berkorelasi dengan kecintaan pada tanah air,
yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”. Namun disisi lain, terdapat kesenjangan sosial yang
terjadi pada masyarakat kampung cireundeu dikarenakan kepercayaan sunda wiwitan itu sendiri
tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Sehingga warga di kampung cireundeu mencantumkan
agama yang dipeluknya di kartu tanda penduduk atau di surat-surat keterangan warga negara
atau akta kelahiran menjadi agama islam sebagai agamanya. Bahkan anak-anak kampung
cireundeu banyak yang dicibir disekolahnya karena dianggap tidak mempunyai agama. Di
rapornya pun tercantum bahwa mereka memeluk agama islam.

Terkait singkong sebagai makanan pokok sehari – hari mereka, hal tersebut merupakan sebuah
keunikan tersendiri yang menjadi ciri khas dari masyarakat Cireundeu. Selain itu, hal tersebut
merupakan sebuah ketahanan pangan yang diperlihatkan warga Cireundeu untuk menarik
perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal tersebut juga dapat digunakan untuk
menarik wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berkunjung ke Kampung Adat Cireundeu
sehingga meningkatkan potensi wisata di kota Cimahi. Selain itu, pengolahan singkong tersebut
dapat menambah income tersendiri untuk masyarakat Cireundeu dikarenakan para ibu yang
sudah bisa mengolah singkong yang tidak hanya dijadikan bahan pokok pengganti nasi
melainkan sudah membuat beberapa olahan kue dengan bahan dasar singkong.

Upacara 1 sura atau Syura’an yang digelar oleh masyarakat adat Cireundeu merupakan suatu
bentuk ciri khas yang menandakan bahwa kampung tersebut benar – benar merupakan kampung
adat. Upacara tersebut juga dapat dijadikan sebagai destinasi wisata bagi para wisatawan lokal
maupun mancanegara. Selain itu dapat pula meningkatkan potensi pariwisata di kota Cimahi.
Tradisi 1 sura di kampung adat cireundeu dapat membuang pemikiran saya mengenai hal hal
negatif yang selalu di mitoskan pada malam 1 sura. Karena di kampung adat ini tradisi 1 sura
diperingati sebagai bentuk rasa syukur masyarakat adat atas rahmat dari yang Mahakuasa.

Secara kesimpulan tradisi masyarakat di kampung adat cireundeu merupakan sebuah bentuk
landasan agar mereka tidak kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat cireundeu. Didasarkan
oleh adat adat sunda, selama lebih dari berpuluh puluh tahun mereka dapat mempertahankan
kebudayaannya meskipun kini serangan globalisasi telah masuk kedalam gaya hidup masyarakat
Indonesia. Sehingga anak cucu mereka pun masih dapat menikmati keaslian budaya kakek nenek
beserta para sesepuh pendahulunya. Didukung dengan kondisi alam yang cukup asri, dan jauh
dari hiruk pikuk perkotaan, Kampung Cireundeu memang pantas disebut sebagai kampung adat.

3|Sastra Melayu Lama


Sumber artikel:

https://www.kanal.web.id/2016/09/budaya-masyarakat-kampung-cireundeu.html

https://vanysastrawijaya.wordpress.com/2012/05/21/kampung-adat-cirendeu/

http://www.pikiran-rakyat.com/seni-budaya/2014/11/15/304772/upacara-tutup-tahun-1947-di-
kampung-adat-cireundeu

4|Sastra Melayu Lama

Anda mungkin juga menyukai