Anda di halaman 1dari 3

Nama: Muhammad Rizqi Fitra Pratama

Npm: 1122015

Tugas Hukum Adat

KATA PENGANTAR

Bismillah, dengan segala terima kasih saya kepada Ibu Aida karena sudah memberikan saya
kesempatan untuk memperbaiki nilai-nilai saya yang masih sangat kurang untuk membuat
saya cukup. Saya juga bersyukur karena saya bisa mengikuti perbaikan ini dengan lancar.
Untuk pembuatan makalah saya, yang pastinya masih ada beberapa kesalahan, saya sungguh
meminta maaf. Namun, saya akan mencoba yang terbaik dalam pembuatan makalah
mengenai budaya adat yang saya ketahui sesuai dengan arahan tugas yang diberikan oleh Ibu
Aida.

Budaya dan Masyarakat Adat di Sukabumi.

1. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.


Masyarakat lokal yang ada umumnya adalah suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok
masyarakat Kasepuhan dan bukan Kasepuhan. Untuk masyarakat Kasepuhan, secara historis
terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi,
Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat kasepuhan masih memiliki susunan organisasi secara adat
yang terpisah dari struktur organisasi pemerintahan formal (desa).

Berdasarkan wilayah hidupnya, masyarakat Kasepuhan Banten Kidul tersebar di Banten,


Sukabumi dan Bogor. Di daerah Banten Selatan (Banten Kidul) warga Kasepuhan (incu putu)
bermukim di sekitar Kecamatan Bayah yang antara lain terkonsentrasi di kampung Tegal
Lumbu, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, Sirnagalih dan banyak lagi perkampungan tersebar
di sekitar Desa Mekarsari, Sirnagalih, Sukamulya, Neglasari, Hergamanah, Warung Banten,
Cihambali, Cikuda dan Citorek.

Di Kecamatan Jasinga antara lain tersebar di sekitar kampung Gajrug, Sajira, Guradog dan
berbagai kampung lain di sekitar wilayah tersebut. Di daerah Bogor Selatan, mereka
bermukim di sekitar Kecamatan Cigudeg tepatnya di kampung Urug, Pabuaran dan Cipatat
Kolot di wilayah Desa Kiara Pandak. Di daerah Sukabumi Selatan mereka tersebar di sekitar
wilayah pedalaman Kecamatan Cisolok dan sepanjang sungai Cibareno Girang (Adimihardja,
1992). Selebihnya adalah daerah-daerah yang ditempati oleh urang sunda asli bukan
Kasepuhan dan Baduy (masyarakat lokal).
Berdasarkan fungsi yang harus dijalankan dari tatali piranti karuhun, sebaran Masyarakat
Kasepuhan tersebut, Kasepuhan Sinaresmi, Ciptagelar, Cisungsang, Cisitu, Cicarucup,
Citorek dan Bayah merupakan kelompok Kasepuhan utama. Salah satu indikasi yang
menunjukan tentang ”keutamaan” kelompok Kasepuhan tersebut adalah banyaknya
perwalian. Selain dari Bogor, Sukabumi dan Lebak, pengikut Kasepuhan juga berasal dari
beberapa daerah lain. Banyak tidaknya pengikut dalam suatu kelompok Kasepuhan sangat
mungkin juga dipengaruhi oleh kebiasaan berpindahnya kampung gede Kasepuhan (sebagai
pusat orientasi sosio-kultural dan politik Masyarakat Kasepuhan) tersebut. Untuk bahasa,
yang umum digunakan oleh masyarakat lokal adalah bahasa Sunda dan mayoritas
penduduknya beragama Islam walau masih terdapat yang menganut kepercayaan lama
(sunda wiwitan).

Masyarakat Kasepuhan di TNGHS merupakan bagian dari warisan budaya nasional. Mereka
masih memegang teguh adat kebudayaan nenek moyangnya terlihat dalam keseragaman
kehidupan sehari-hari, arsitektur rumah, sistem pertanian dan interaksi dengan hutan.
Masyarakat setempat memanfaatkan hutan dan lahan sekitarnya dalam berbagai cara, yaitu
seperti huma/ladang (swidden cultivation), sawah (rice growing), kebun (garden), kebuntalun
(mixed garden) dan talon (mixed forest). 

Masyarakat memiliki kearifan tradisional yang sifatnya tutun temurun dalam pemanfaatan
dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas
pemanfaatan dan tingkat perlindungannya yaitu adanya ‘leuweung titipan’ (protected forest),
‘leuweung tutupan’ (conservation forest), atau ‘leuweung sampalan’ (opened forest). Mereka
masih memiliki interaksi yang kuat dengan hutan sekitarnya. Masyarakat juga memiliki
pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka
berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu
melestarikan sumberdaya genetik padi (Oryza sativa) lokal.

2. Kebudayaan Masyarakat Adat di Cipta Gelar


Kasepuhan Adat Cipta Gelar merupakan salah satu kampung adat yang masuk dalam
kesatuan adat Banten Kidul. Kasepuhan Adat Cipta Gelar masih memegang kuat adat dan
tradisi yang diturunkan sejak 640 tahun yang lalu, Kasepuhan Cipta Gelar dipimpin oleh
seorang tetua adat yang disebut Abah Ugi dan diangkat berdasarkan keturunan, salah satunya
dalam kemandirian pangan. Sampai saat ini Kasepuhan Adat Ciptagelar di pimpin oleh abah
ke-9 sejak tercatat kasepuhan tahun 1368.
Kasepuhan Cipta Gelar masih memiliki keterikatan dengan kerajaan sunda Prabu Siliwangi.
Kampung adat yang mempunyai ciri khas bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang
kuat oleh masyarakat setempat. Istilah Kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ka
dan akhiran an, dalam bahasa sunda kata sepuh berati ˮKolotˮ atau ˮTuaˮ, kata Kasepuhan
juga mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah laku sesuai aturan
adat istiadat lama.

Pada tahun 1960-an Kampung Kasepuhan Cipta Gelar mempunyai nama khusus yang dapat
dianggap sebagai nama asli masyarakat tersebut, yaitu perbu namun nama perbu diganti
menjadi Kasepuhan atau kesatuan. Sejak tahun 2001 sekitar bulan Juli kampung Cipta Rasa
yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan hijrah wangsit ke Desa Sinaresmi, di Desa
Sukamulya. Abah Anom sebagai pemimpin kampung adat memberi nama Cipta Gelar yang
artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Cipta Rasa ke Cipta Gelar ini atas
perintah leluhur yang di sebut wangsit, wangsit yang diterima Abah Anom melalui proses
ritual yang hasilnya harus dilaksanakan. Pada tahun 2002 Abah Anom sebagai pemimpin
menerima wangsit dari leluhur untuk pindah dari Cipta Rasa ke Cipta Gelar. Oleh karena
itulah perpindahan kampung adat merupakan kesetiaan dan kepatuhan leluhur.

Pada setiap tahunnya, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merayakan ritual adat tahunan yang
disebut Seren Taun, yaitu upacara syukur kepada Tuhan yang maha kuasa atas berkah panen
yang melimpah serta menandai awal tahun pertanian dalam tradisi Sunda. Di kampung adat
Cipta Gelar biasanya mengadakan upacara adat tahunan seperti Ngaseuk, Mipit, Nganyaran ,
Ponggokan, dan Seren taun. Padi dianggap sebagai sumber kehidupan. Jadi, dari awal sampai
waktunya panen pun diadakan upacara adat untuk menjunjung tinggi nilainya.
Pertama, Ngaseuk atau menanam padi di lahan kering menggunakan aseuk atau tongkat
lancip, ke dua dilanjutkan dengan Mipit atau memetik dan mengambil apa yang ditanam
sebelumnya. Ke tiga, pada upacara adat Nganyaran, adalah prosesi untuk mencicipi hasil
panen padi yang ditanam sebelumnya. Nantinya, juga terdapat upacara Ponggokan yang
berisikan sensus data dari jumlah laki-laki dan perempuan, jumlah lumbung, jumlah rumah,
jumlah kendaraan, dan juga jumlah hasil iuran warga untuk pesta panen Seren taun. Terakhir,
atau puncaknya adalah pada upacara adat Seren taun, atau pesta panen. Kemeriahan pesta
adat itu bertujuan untuk mensyukuri apa yang mereka dapat serta menyerahkan siklus hidup
tahun berikutnya dan kehidupan masyarakat.
Meskipun masih ada beberapa kegiatan tradisional yang selalu dilakukan, masyarakat
Kampung Adat Cipta gelar tidak menolak adanya modernisasi. Buktinya di sana
terdapat aliran listrik yang bersumber dari PLTA yang dibangun secara swadaya.
Selain itu juga didirikan stasiun televisi dan radio yang dikelola oleh masyarakat
sekitar.

Anda mungkin juga menyukai