Anda di halaman 1dari 8

HASIL OBSERVASI KAMPUNG NAGA

PENGANTAR ILMU ANTROPOLOGI

DISUSUN OLEH :

1. Ihsan hikmatullah (182030075


2. Mayang Terapulina (182030078)
3 Yunadil Iman Nugraha (1820300
4. Difa Muhammad(1820300

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PASUNDAN

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah mengenai hasil kegiatan observasi yang dilakukan oleh
mahasiswa Hubungan Internasional UNPAS di Kampung Naga, Jawa Barat.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
   
Akhir kata kami berharap semoga makalah mengenai pandangan kelompok kami
mengenai kegiatan observasi Kampung Naga kali ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.
   
                                                                                     Bandung, Desember 2018
   
                                                                                             

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok
masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal
ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek
kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan dari
pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat.

Kampung Naga sendiri merupakan tempat yang memegang teguh kebudayaan adat
istiadat dan tidak mudah terpengaruh oleh budaya luar. Hal inilah yang paling tepat bagi
mahasiswa untuk meneliti lebih lanjut mengenai Kampung Naga.

Adat dan budaya yang mereka pegang teguh yang seperti apa, serta bagaimana cara
mereka hidup ditempat tersebut walau masih banyak kekurangan dan fasilitas yang kurang
memdai itulah yang harus kita telurusi lebih dalam. Maka dari itu makalah ini kami buat, agar
setiap orang yang membacanya dapat lebih memahami Kampung Naga melalui persepektif kami.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Geografi Kampung Naga


Lokasi Kampung Naga ini berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan
kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dan juga dikelilingi
oleh lahan padi yang luas dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh
hutan keramat. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan
timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di
daerah Garut. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus
menuruni banyak anak tangga.

Lingkungan Alam di Kampung Naga sangat terawat dan baik, karena mereka pasti menjaganya
dengan baik dan tidak membiarkan warga lain (orang luar) merusak alam mereka. Mereka pun
mengambil bahan bahan makanan atau kebutuhan lainnya berasal dari lingkungan alam sekitar.

Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan
dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu
hektare setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan lain-lain.
Jumlah bangunan di Kampung Naga terjadapat 113 bangunan, sudah termasuk masjid, bale
kampung, dan lumbung padi umum. Bentuk rumah warga Kampung Naga adalah rumah
panggung, yang hampir semua bagiannya terbuat dari bambu dan kayu, hanya atap saja yang
terbuat dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang. Rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah
selatan dengan memanjang kearah barat-timur. Rumah di Kampung Naga dibuat seragam supaya
merata, agar tidak menimbulkan permasalahan dalam berlomba kekayaan antara rumah.

2. Asal Mula Sejarah dan Suku Bangsa Kampung Naga

Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih sangat kental budaya dan
adatnya. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak
intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.

Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang dan tidak ada kejelasan sejarahnya.
Masyarakat disana pun tidak tahu kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi
terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini.

Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga. Mereka tidak mengetahui
asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh
terbakarnya arsip/sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII
Kartosoewiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung
Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi
tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga
membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956. Hal ini jugalah yang menyebabkan
Kampung Naga tidak mengadakan listrik didaerahnya.

Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, pada masa
kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama
Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke
daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah
Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang
sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini
kebenaran versi sejarah tersebut,

Nama Kampung Naga sendiri bukan berarti kampung yang berisi hewan Naga, melainkan kampung
yang berada di bawah. Atau dalam bahasa sunda “Nagawir”, karena letak kampung naga yang
berada dibawah, maka dari itu diambil lah nama Kampung Naga.
3. Teknologi

Kampung Naga terkenal dengan daerah yang tidak memiliki listrik. Hal itu benar adanya,
mereka tidak menggunakan listrik dikehidupan sehari-hari. Untuk masak mereka menggunakan alat
masak sederhana dan berasal dari kayu bakar, pencahayaan disiang hari hanya terdapat dari
matahari. Mereka yang tinggal disana, merasa itu bukanlah hal besar yang harus ditakutkan.
Walaupun Kampung Naga merupakan daerah yang memegang teguh adat dan
istiadatnya, namun mereka juga tidak begitu tertinggal mengenai teknologi. Mereka mengetahui
adanya televise, radio bahkan handphone. Bahkan anak muda di Kampung Naga tersebut juga
sudah banyak yang memakai handphone dikehidupan sehari-hari mereka. Ada pula rumah yang
memiliki televisi. Warga disanapun sebetulnya ingin memiliki televise, namun karena mereka
sudah biasa dengan kehidupan tanpa listrik maka mereka tidak begitu menuntut adanya hal hal
elektronik tersebut ada diwilayah mereka.

4. Sistem Ekonomi
Masyarakat Kampung Naga sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Walaupun mereka tidak menerima dana bantuan dari pemerintah namun mereka tetap bisa hidup
dan menjalankan kehidupannya dengan baik dengan cara mengolah alam yang ada. Ekonomi
masyarakat disana juga tidak begitu terpuruk, sudah ada pedagang kaki lima yang berjualan
diatas kampong naga maupun didalam kampong naga itu sendiri.

5. Organisasi Sosial
Organisasi Sosial yang terdapat dikampung naga cukup sama seperti didaerah lainnya.
Kampung naga memiliki Karang Taruna untuk para pemuda disana yang dimana mereka
membantu untuk suatu acara bersama. Terdapat juga organisasi sosial bagi para ibu-ibu ataupun
bapak-bapak. Mereka juga memiliki kegiatan organisasi, namun tetap mengedepankan adat
istiadat mereka.

6. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Kampung Naga rata-rata sudah memiliki pengetahuan yang cukup luas
mengenai hal-hal diluar desa tersebut. Anak-anak disana juga sudah bersekolah dengan baik,
walau harus naik keatas untuk belajar, namun mereka tetap bersekolah. Anak-anak disana
berpendidikan dari mulai Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Ada pula masyarakat
kampung naga yang berkuliah diperguruan tinggi luar daerah ataupun bekerja diluar desa.
7. Kesenian
Kampung Naga memiliki beberapa kesenian yang mereka lestarikan, diantaranya:

A. Terbang atau terbang gembrung

Terbang atau terbang gembrung hampir sama dengan rebana yang biasa dimainkan dalam
kasidahan. Alat musik tradisional tersebut terbuat dari dua bahan dasar. Masuknya terbang
gembrung sebagai kesenian masyarakat Kampung Naga diduga kuat berkaitan erat dengan
penyebaran Islam di Nusantara. Karena itu, kesenian tersebut biasanya digelar pada saat
menyambut hari suci, misalnya hari raya Iedul fitri atau hari raya Iedul Adha.

B. Angklung

Jenis kesenian masyarakat Kampung Naga lainnya adalah angklung. Seperangkat


angklung yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah dengan ukuran yang
berbeda. Bentuknya hampir sama dengan umumnya instrumen angklung di daerah lainnya.
Selain untuk mengarak jempana angklung juga digunakan untuk mengiringi rombongan peserta
upacara gusaran dalam pelaksanaan acara khitanan anak-anak masyarakat Kampung Naga dan
Sanaga. Namun karena kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai fungsi religius,
kesenian angklung digunakan pula sebagai tradisi untuk menghormati Dewi Sri Pohaci

C. Beluk dan rengkong

Beluk dan rengkong merupakan dua jenis kesenian masyarakat Kampung Naga yang
sudah jarang dijumpai. Dilihat dari fungsinya, terutama seni beluk mencerminkan fungsi
solidaritas sosial antara satu warga dengan warga lainnya.

Seni beluk merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak menggunakan nada-nada tinggi.
Para pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih. Kesenian ini biasa dimainkan pada malam
hari, dan para pemain secara bergiliran membaca syair lagu dan kemudian menyanyikannya. Isi
nyanyian biasanya diambil dari wawacan. Wawacan adalah cerita yang menggunakan Bahasa
Sunda.
8. Sistem Religi dan Hukum Adat
Masyarakat Kampung Naga hampir seluruhnya menganut agama Islam. Didalam
Kampung Naga itu sendiri juga hanya terdapat Masjid untuk melakukan peribadatan ataupun
acara-acara besar lainnya. Namun banyak juga perspektif lain yang timbul dan menghasilkan
sebuah pandangan bahwa Kampung Naga ini dulunya pernah menerapkan budaya Sunda
Wiwitan. Namun, masyarakat Kampung Naga tidak memberitahu hal tersebut, mereka hanya
menyebut diri mereka beragama Islam.

Hukum adat yang berlaku di Kampung Naga adalah hukum alam, sedangkan untuk
hukum pancasila dan kenegaraan diatur secara terbatas dengan peraturan adat dan pemerintahan.
Adat yang ada di Kampung Naga tersirat, tidak tertulis dan berupa perkataan. Prinsip yang dianut
warga kampung naga adalah bahasa amanat, wasiat, dan akibat. Kalau amanat, wasiat dilanggar
pasti ada akibat. Kepercayaan terhadap amanat masih kuat, apapun yang diwariskan oleh leluhur
tidak boleh dilanggar karena ‘pamali’. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang
tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Seperti salah satu hutan
di Kampung Naga yang bernama hutan lindung, di hutan ini belum ada yang masuk. Jangankan
pengunjung, masyarakat Kampung Naga, ketua adat jabatan tertinggi pun belum ada yang masuk
karena menjaga alam dari kerusakan. Karena bagi masyarakat Kampung Naga bukan hanya
hidup di alam saja, tetapi mereka hidup bersama alam.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Kampung Naga sangat melestarikan budaya dan memegang teguh adat istiadat mereka
dengan sangat baik. Maka tidak heran, bahwa mereka tidak mudah tercampur oleh budaya luar.
Walaupun banyak pengunjung yang mendatangi daerah mereka, mereka tetap akan menghormati
namun tidak akan mudah untuk dipengaruhi. Walau hidup tanpa listrik, namun mereka tetap bias
menjalankan kehidupan dengan baik dengan cara mengolah alam yang mereka jaga sendiri.

Masyarakat Kampung Naga tidak menolak apabila ada banyak orang yang berkunjung
kedaerah mereka, bahkan sampai menginap disana. Mereka sangat membuka diri untuk umum,
namun tidak meleburkan budaya adat mereka yang mereka jaga.

Demikianlah seharusnya masyarakat diIndonesia, tetap memegang kebudayaan walaupun


sedang berada dizaman millennial. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan
serta mengembangkan budaya tersebut. Terlebih kepada anak dan cucu kita nantinya, siapa yang
akan mengenalkan budaya adat kita kalau kita sendiri tidak mengetahui, melestarikan dan
mengembangkannya dengan baik dan benar.

2. Saran
Agar makalah ini dapat dipergunakan sebagai laporan hasil observasi di Kampung Naga,
desa Neglasari Tasikmalaya, sehingga kita dapat memahami dan mengetahui apa yang melatar
belakanginya, sejarahnya, serta apa yang terjadi didaerah tersebut semoga bermanfaat bagi setiap
pembaca makalah ini agar menjadi hal yang berguna bai kita semua.

Anda mungkin juga menyukai