Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Perubahan Fungsi Rumah Gadang di Kawasan Seribu Rumah Gadang, Kecamatan


Sungai Pagu, Kab. Solok Selatan

Oleh
FISMANELLY
22161009

Mata Kuliah : Kebudayaan dan Kesenian


Dosen Pembina : Prof. Dr. Daryusti, M.Hum.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Rumah gadang adalah salah satu kebudayaan yang bersifat materil dan sebuah
warisan budaya minang yang memiliki makna serta fungsi di dalam kehidupan sehari-hari
disuku Minangkabau. Perlu kita pahami selain sebagai wujud kebudayaan, rumah gadang
juga dilambangkan sebagai sebuah identitas atau jati diri bagi masyarakat Minangkabau.
Diminangkabau rumah gadang juga bukan dijadikan hunian semata, akan tetapi rumah
gadang juga menjadi salah satu pencerminan system matrilineal yang dianut serta
merupakan symbol kebersamaan, kegotong royongan dan demokratis. Suku Minangkabau
adalah salah satu suku bangsa Indonesia yang berada di provinsi Sumatera Barat.
(Sukmawati, 2008). Suku Minangkabau merupakan salah satu suku di Indonesia yang
masih memegang erat adat istiadat. Berbicara mengenai manusia dan kebudayaan, maka
manusia selalu berperan aktif untuk membuat kebudayaan mereka sendiri dan manusialah
pencipta kebudayaan tersebut, akan tetapi disisi lain kebudayaan pula yang membentuk
manusia dengan lingkungannya. Dengan demikian, manusia dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang timbal balik dan saling berkaitan antara manusia dengan kebudayaannya
sendiri (Arifin, 2009).
Kebudayaan akan terus berlangsung dan tidak akan pernah hilang selagi manusianya
ada, karena manusia adalah faktor paling utama dalam mendukung adanya sebuah
kebudayaan serta kebudayaan itu akan terus mengalami perubahan berdasarkan
perkembangan zaman, jadi kebudayaan tersebut bersifat dinamis yaitu mengalami
perubahan secara terus menerus sesuai dengan kecepatan dan kualitas manusia yang
menjalaninnya. Menurut Koenjaraningrat (1986) kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil nyata manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan bejalar. Hal ini
berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah hasil dari kebudayaan.
Karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang
tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yakni seperti naluri manusia yang ingin
makan, minum dan berjalan dapat dijadikan sebagai sebuah kebudayaan, dan
secara tidak langsung manusia telah bisa merubah tindakan – tindakan mereka menjadi
sebuah kebudayaan. Makan dengan pola-pola yang telah ditetapkan baik mereka, makan
diwaktu yang yang mereka anggap tepat dan wajar, minum dengan menurut pola dan
sopan santun yang mereka yakini dan berjalan serta dudukpun sudah ada aturanya.
Jadi apabila kita tinjau lebih dalam lagi kebudayaan minangkabau, maka secara
filosofis sistem tatanan masyarakat dan kehidupan masyarakat minangkabau ini dapat
dilihat pada hakikat rumah gadangnya. Rumah gadang merupakan salah satu warisan
kebudayaan yang ada pada masyarakat Minangkabau, yang mana pada warisan ini
memiliki nilai estetika segi ruang dan pola dalam rumah gadang. Serta rumah gudang
mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dari
segi arsitekturnya, rumah gadang telah memperlihatkan konstruksi rancangan bangunan
yang khas yaitu adanya wujud visual yang menarik, dengan adanya rancangan seperti ini,
telah memperlihatkan akan tingginya tingkat penguasaan teknologi tradisional nenek
moyang masyarakat suku Minangkabau pada saat itu, dimana mereka telah mampu
mempresentasikan nilai-nilai adat dan estetika sekaligus.

2
Namun pada hari ini berdasarkan fakta dilapangan dan pengamatan tulisan terdahulu,
ditemukan fenomena makin ditinggalkannya rumah gadang oleh masyarakat Minangkabau
sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Seperti; dinagari limo kaum, kab. Tanah Datar
yang dikenal sebagai pusat adat laras Bodi Caniago dan Nagari Sungai Jambu yang
dikenal pada laras adat Koto Piliang, diwilayah ini terdapat banyak rumah gadang namun
telah banyak yang ditinggalkan, kemudian rumah tersebut lapuk serta runtuh dimakan
zaman. Disatu sisi, hampir diseluruh wilayah Minangkabau rumah gadangnya menuju
kepunahan, akan tetapi disisi lain banyak juga daerah-daerah di Minangkabau yang
kembali membangun rumah gadang, walaupun tidak sebanyak rumah gadang tradisional.
Namun ada salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah Sumater Barat yang rumah
gadang tradisionalnya masih terjaga dan terpelihara keasliannya hingga hari ini, yaitu di
kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan yang dikenal dengan kawasan seribu
rumah gadang.
Berbicara mengenai seribu rumah gadang, tentu akan menimbulkan banyak
pertanyaan salah satunya mengenai penamaan, apakah benar dikawasan tersebut terdapat
seribu rumah gadang? Jawabannya tentu saja tidak. Sebutan ini hanya kiasan atau
ungkapan yang menujukan banyaknya gonjong rumah adat Minangkabau yang
masih terjaga. Keberadaannya pun sangat berdekatan antara satu rumah dan
dengan rumah lainnya yang masih satu kawasan. Kawasan ini meliputi empat
jorong yang berada di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Pagu Kabupaten Solok
Selatan, yaitu Jorong Bariang Rao- Rao, Jorong Bariang Kapalo Koto, Jorong
Lubuk Jaya, Jorong Kampuang nan Limo. Selain itu, kawasan Seribu Rumah Gadang
ini memiliki potensi untuk berkembang menjadi perkampungan adat yang ditujukan
sebagai destinasi wisata budaya unggulan di Solok Selatan.
Dalam menunjang hal tersebut tentu juga diperlukan dukungan dan peran serta
pemerintah dan pemuka masyarakat yang dalam hal ini Niniak Mamak dan Bundo
Kanduang. Saat ini sudah ada beberapa Rumah Gadang yang siap menjadi objek
kunjungan wisata. Pengunjung bisa menginap di Rumah Gadang, berfoto memakai
pakaian adat dan mendengarkan kisah Rumah Gadang yang mereka kunjungi. Namun
seiring berjalannya waktu unsur-unsur modern mulai mempengaruhi arsitektur dan
penggunaan Rumah Gadang. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya keaslian
arsitektur Rumah Gadang. Seperti, ada beberapa Rumah Gadang yang dibangun
dengan konstruksi beton yang dilapisi ukiran kayu. Unsur-unsur modern pun juga
mempengaruhi tingkat penggunaan Rumah Gadang oleh masyarakat. Kendati
demikian tidak semua rumah juga yang mengalami perubahan masih banyak juga yang
asli. Berdasarkan latar belakang ini penulis akan mengkaji fungsi rumah gadang, lalu
bagaimana bisa terjadinya peralihan fungsi rumah gadang serta bagaimana upaya
masyarakat dan pemerintah setempat mempertahankan rumah gadang dikawasan seribu
rumah gadang tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Peranan dan Fungsi Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah Gadang
Kec, Sungai Pagu Kab. Solok Selatan
2. Bagaimana Terjadinya Perubahan Fungsi Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah
Gadang Kec, Sungai Pagu Kab. Solok Selatan

3
3. Bagaimana Upaya Mempertahankan Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah
Gadang Kec, Sungai Pagu Kab. Solok Selatan.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengkaji Peranan dan Fungsi Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah Gadang Kec,
Sungai Pagu Kab. Solok Selatan
2. Menganalisis Perubahan Fungsi Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah Gadang
Kec, Sungai Pagu Kab. Solok Selatan.
3. Mengkaji Upaya Mempertahankan Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah Gadang
Kec, Sungai Pagu Kab. Solok Selatan
D. PEMBAHASAN
1. Peranan dan Fungsi Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah Gadang Kec,
Sungai Pagu Kab. Solok Selatan.
Rumah Gadang merupakan rumah komunal masyarakat Minangkabau, rumah
ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah
Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama lain dengan Rumah
Baanjuang. Oleh karena itu, baik dari gaya, hiasan bagian dalam dan luar serta
fungsi sosial budaya Rumah Gadang mencerminkan kebudayaan dan nilai ke-
Minangkabauan. Rumah Gadang berfungsi sebagai rumah tempat tinggal bagi
anggota keluarga satu kaum, yang mana merupakan perlambangan kehadiran satu
kaum dalam satu nagari, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti
tempat bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan upacara adat dan bahkan
sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk
di dalam suku atau kaum yang secara turun temurun dan hanya dimiliki atau
diwarisi kepada perempuan pada kaum tersebut. Di halaman depan Rumah
Gadang biasanya terdapat dua buah bangunan rangkiang, yang digunakan untuk
menyimpan padi. Rumah Gadang menurut adat dimiliki oleh kaum perempuan
yang akan terus diwariskan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya di
bawah kewenangan pemimpin kaum atau suku yang lazim disebut Mamak Kaum.
Berdasarkan adat Minangkabau, setiap Rumah Gadang didiami oleh keluarga
besar pihak istri yang terdiri atas nenek, anak -anak perempuan dan cucu
perempuan. Makanya, sistem kekerabatan suku Minangkabau adalah matrilineal.
Artinya mengikuti garis keturunan ibu.
Namun pada hari ini fungsi rumah gadang dikawasan seribu rumah gadang telah
mengalami peralihan fungsi dan yang paling menonjol dipengaruhi oleh faktor destinasi
wisata. Rumah gadang dikawasan seribu rumah gadang ini memiliki keunikan tersendiri,
terutama pada bagian arsitekturnya. Rumah Gadang memiliki bentuk seperti rumah
panggung dan persegi panjang. Lantainya terbuat dari kayu Atapnya menonjol dan
mencuat ke atas. Biasanya dicat dengan warna coklat tua. Arsitektur Rumah Gadang
yang unik ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang melihatnya.
2. Perubahan Fungsi Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah Gadang Kec,
Sungai Pagu Kab. Solok Selatan.
Perubahan fungsi Rumah gadang sebagai sebuah identitas serta sebuah simbol bagi
mayarakat Minangkabau terutama di Kawasaan Seribu Rumah gadang, kecamatan

4
Sungai pagu, Kabupaten Solok Selatan dilatar belakangi oleh beberapa faktor. Terdapat
beberapa faktor mengapa fungsi rumah gadang tersebut mengalami perubahan fungsi,
yakni: Faktor merantau dan faktor destinasai wisata di Kabupaten Solok Selatan.
a. Faktor Merantau
Salah satu penyebab terjadinya perubahan fungsi rumah gadang dikawasan
seribu rumah gadang adalah karena banyak keluarga yang ekonominya sudah
tercukupi dan mereka merantau untuk memdirikan kediaman tersendiri dan tidak
lagi tinggal dirumah gadang. Menurut seorang datuk yang berada dikawasan seribu
rumah gadang tersebut beliau menyatakan bahwasanya dahulu rumah gadang
adalah sebagai tempat tinggal keluarga besar, ada 9 ruang di dalam rumah gadang
dan tiap satu ruang ditempati oleh satu keluarga. Sedangkan sekarang rumah gadang
tidak lagi ditempati sebagai tempat tinggal untuk keluarga melainkan hanya sebagai
tempat keluarga besar berkumpul disaat ada acara keluarga, lebaran, acara
pernikahan dan musyawarah kaluarga besar dan acara pengangkatan datuk.
Dari peryataan diatas jelas, bahwasannnya fungsi rumah gadang berubah karena
faktor merantau. Kepala keluarga masing-masing yang pertamanya tinggal dirumah
gadang, memilih untuk memisahkan diri dan membangun keluarga di tempat lain
atau di daerah tempat perantauan dan kadangkala ada juga sebagian keluarga yang
masih mendirikan tempat tinggal di dekat rumah gadang mereka dan disekitarannya.
Kendati demikian, bukan berarti rumah gadang tidak ada keluarga yang tinggal
disana, ada beberapa yang orang masih tinggal di rumah gadang seperti anak gadis
yang belum kunjung menikah, anak yatim piatu, orang tua yang tidak tinggal dengan
anaknya, dan janda yang mempunyai anak.
Selain itu, keinginan merantau masyarakat minangkabau yang menginkan
kehidupan yang lebih lanyak dan pada akhirnya banyak masyarakat minangkabau
yang diwilayah seribu rumah gadang khususnya banyak yang merantau. Disaat
mereka merantau dan sukses bukan berarti ikatan emosional orang rantau luntur
akan kampung halamannya. Melainkan faktor merantau ini menguatkan ikatan
culture yang sudah tertanam dari sejak belia. Maka dari itu lahir sebuah ritual yang
dinamakan pulang bersama yang dimana pada waktu-waktu tertentu mereka pulang
ke kampung halaman untuk berkempul bersama keluarga seperti lebaran idul ftri,
pernikahan dan acara adat lainnya. Hal ini merupakan sebuah ikatan budaya yang
sangat kental bagi masyarakat minangkabau yang merantau. Faktor kepulangan
sementara ke kampung halaman menjadi sebuah tradisi baru bagi masyarakat
minangkabau yang ada di kawasan seribu rumah gadang.
Pada saat kepulangan para perantau membawa dampak sturuktural fungsional.
Dimana para perantau ini berembuk dan bermusyawarah akan keberlangsungan
rumah gadang seperti merenovasi rumah gadang agar terus dan terjaga serta menjadi
sebuah simbolis kebesaran kaumnya sendiri. Hal ini sangat jelas untuk menjaga
keutuhan dan keberlangsungan rumah gadang sebagai tempat berkumpulnya
keluarga besar dan sanak saudara diperlukannya sebuah renovasi rumah gadang
dan para perantau mengambil andil untuk memperbaiki rumah gadang tersebut.

5
b. Faktor Destinasi Wisata
Fenomena keunikan artefak budaya minangkabau juga merubah sistem sosio-
budaya bagi masyarakat minangkabau yang ada di kawasan seribu rumah gadang
kecamatan Sungai Pagu, Kab. Solok selatan. Bahwasnya saat ini rumah gadang
bukan sekedar menjadi tempat berkumpul keluarga dan menjadi tempat upacara-
upacara adat saja, melainkan rumah gadang juga menjadi sebuah destinasi wisata
yang dimana identitas kebudayaan minangkabau dijadikan sebagai sebuah objek
wisata bagi para turis lokal maupun turis internasional. Seperti keterangan datuk dan
warga setempat menurut mereka dengan menjadikan rumah gadang sebagai
homestay, rumah persinggahann dapat membagkitkan perekonomian warga dan
menjadi sumber dana untuk keberlangsungan dan perawatan rumah gadang.
Mengingat rumah gadang sebagai simbol kebesaran msayarakat minangkabau
dan kaum. Maka rumah gadang harus dirawat dan dijaga kelesteraian, supaya para
anak muda tidak melupakan budaya dan menjadikan mereka bangga akan budayanya
sendiri. Walaupun ada bagian-bagian rumah gadang yang sudah tidak alami lagi
seperti bentuk awalnya, tapi ini semua dilakukan untuk menjaga keutuhan dan
keberlangsungan rumah gadang..
Pemerintah Kabupaten Solok Selatan juga memahami bagaimana keunikan yang
ada pada wilayah pemerintannya. Apalagi semenjak Menteri Pemberdayaan
Perempuan pada masa pemerintahan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono,
Meuthia Hatta, pada tahun 2007, memberi julukan sebagai Nagari Saribu Rumah
Gadang, maka nama wilayah budaya ini makin terkenal, tidak hanya untuk skala
Indonesia, tetapi sudah sampai ke mancanegara yang pada perkembangannya telah
mampu mendatangkan para wisatawan untuk berkunjung dan merasakan sensasi
bagaimana tinggal di sebuah perkampungan tradisional khas Minangkabau.
Pemerintah Kabupaten Solok Selatan pun menyadari potensi keunikan di
wilayahnya dan pada tahun 2012 telah mengajukan usulan kepada UNESCO agar
kawasan ini dijadikan salah satu cagar budaya warisan dunia (world heritage).
Pada saat wilayah ini sudah menjadi kawasan destinasi wisata budaya (culture
tourism), terjadi pergeseran cara pandang oleh masyarakat terhadap kebudayaannya.
Masyarakat atas inisiatif sendiri dan juga dukungan dari pemerintah mencoba
menggali potensi-potensi ekonomis dari kekayaan dan keunikan budaya daerahnya
untuk dapat meningkatkan pendapatan dari kunjungan wisatawan yang bisa
membawa dampak kesejahteraan bagi masyarakat yang berada dikwasan tersebut.
Hal ini juga merubah sebagian mata pencarian masyarakat yang ada dikawasan
seribu rumah gadang untuk memfungsikan rumah gadang dan mempertahankan
keunikan rumah gadang dan juga memperkenalkan kebudayaan minangkau serta ini
juga menjadi salah satu penjelasan bahwasannya struktur, norma dan nilai yang ada
pada masyarakat minangkabau terkhusus di kawasaan seribu rumah gadang masih
berlaku di tatanan masyarakat, ketika turis lokal maupun turis internasional memasuki
kawasan seribu rumah gadang mereka harus menghargai dan menghornati norma dan
aturan yang ada pada masyarakat ketika berkunjung.

6
3. Upaya Mempertahankan Rumah Gadang Dikawasan Seribu Rumah Gadang
Kec, Sungai Pagu Kab. Solok Selatan.
a. Faktor Mempertahankan Harkat, Martabat dan Kehormatan Kaum serta Status
Kepenghuluan yang Melekat pada Kaum.
Pergeseran peran laki-laki Minangkabau dari peran semula sebagai mamak
menjadi bapak (suami) yang bermuara kepada perubahan struktur kekerabatan
matrilineal Minangkabau, tidak serta merta menyebabkan merosotnya peran laki-
laki Minangkabau sebagai pemimpin kaum. Status kepenghuluan yang disandang
sebagai pemimpin kaum di satu sisi dan status sebagai bapak untuk anak-anak di
rumah istrinya tidak membuat kualitasnya sebagai seorang pemimpin kaum
terdegradasi nilai kepemimpinannya. Di rumah istrinya, ia telah menjadi seorang
sumando-ninik mamak yang membuktikan ia seseorang yang pandai
menempatkan diri.
Nama besar kepenghuluan yang disandangnya, merupakan kehormatan bagi
kaumnya sendiri dan kebanggan juga bagi kaum istrinya di tengah masyarakat.
Ketika rumah gadang mereka sudah rusak dan perlu diperbaiki, tetapi tidak
diperbaiki juga, maka kehormatan kaum dengan kepenghuluannya menjadi
taruhan, sebab keberadaan rumah gadang merupakan penanda pula bagi
masyarakat siapa penghulu kaum tersebut. Rusak rumah gadang, rusak nama
kaum dan rusak pula gelar kepenghuluan kaum. Maka, harkat, martabat dan
kehormatan merupakan suatu nilai yang amat berharga dipandang masyarakat
mutlak perlu dan senantiasa harus ditegakkan.
Ketika penghulu mendirikan adat, maka tegaklah rumah gadang dan ketika
penghulu tidak mendirikan adat, maka runtuhlah rumah gadang. Dengan
demikian mendirikan adat merupakan kata kunci bagi penghulu untuk tetap
berdirinya rumah gadang. Mendirikan adat berarti mendirikan harkat, martabat
dan kehormatan. Maka, rumah gadang menjadi identitas akan harkat, martabat
dan kehormatan kaum serta status kepenghuluan yang melekat pada kaum
tersebut di tengah masyarakat. Pada akhirnya dapat dikatakan, perubahan
sosio-kultural yang di satu sisi telah melemahkan sistem matrilineal, tetapi
pada sisi lain, identitas keminangkabauan melalui keberadaan rumah gadang
tidak serta merta turut terdegradasi.
Di wilayah budaya kawasan seribu rumah gadang, identitas
keminangkabauan itu merupakan manifestasi dari harkat, martabat dan
kehormatan kaum serta status kepenghuluan yang melekat pada kaum tersebut.
Identitas itu diposisikan sebagai suatu nilai yang harus dijunjung tinggi dan
direpresentasikan dalam bentuk kebertahanan rumah gadang yang
membedakannya dengan wilayah lain di Minangkabau, di mana rumah gadang-
rumah gadang cenderung mengalami kepunahan lebih cepat.
b. Faktor Asas Patah Tumbuh Hilang Berganti
Kebertahanan rumah gadang di wilayah kawasan seribu rumah gadang,
Sungai Pagu yang berdasar pada faktor asas patah tumbuh hilang berganti,
pertama, lebih berdasar kepada pemenuhan kebutuhan yang bersifat alamiah,
yaitu pertumbuhan penduduk, di mana masing-masing kerabat samande
7
perempuan yang menghuni sebuah rumah gadang telah berkembang
keturunannya dan tidak lagi muat di dalam rumah gadang pertama. Alasan
lainnya seperti di mana usia rumah gadang yang sudah sangat tua dan kondisinya
sudah mulai lapuk sehingga tidak lagi layak dihuni. Kedua hal tersebut
dapat mejadi dasar untuk ditambah atau dibangunnya kembali sebuah rumah
gadang.
Walaupun demikian, mendirikan rumah gadang tidaklah sesederhana
pemenuhan kebutuhan karena rumah gadang lama sudah penuh atau sudah rusak,
tetapi inti didirikannya kembali rumah gadang adalah mendirikan adat itu
sendiri. Karena itu pula rumah gadang, selain disebut sebagai rumah gadang,
juga disebut sebagai rumah adat karena bersandar kepada pemenuhan kebutuhan
adat. Rumah gadang dapat didirikan setelah memenuhi syarat-syarat adat,
difungsikan sesuai ketentuan-ketentuan adat dan atas kesepakatan seluruh
penghulu yang ada di nagari tersebut.
Rumah gadang tidak hanya merupakan representasi dari sebuah kaum serta
status penghulu di dalamnya, tetapi , rumah gadang juga representasi dari sebuah
nagari dengan adat salingka nagari-nya. Dengan demikian, rumah gadang dikenal
tidak hanya milik sebuah kaum, tetapi juga milik nagari. Oleh karena itu,
jangankan untuk mendirikan rumah gadang, bahkan untuk meruntuhkan tidak
bisa dilakukan begitu saja, tetapi juga setelah memenuhi ketentuan-ketentuan
adat.
c. Faktor Adat Salingka Nagari, Mangguntiang Sibak Baju
Pepatah lama mengatakan “lain padang lain belalang, lain lubuak” lain
ikannyo” lain nagari lain adatnyo”. Hal ini memberikan sebuah gambaran bahwa
setiap daerah mempunyai adat kebiasaan (budaya) tersendiri. Adanya adat
salingka nagari (adat selingkar negeri) bermaksud menjelaskan bahwa ada
kebiasaan-kebiasaan tertentu yang hanya terdapat atau berlaku di suatu nagari
saja sebagai sub dari kebudayaan yang menaunginya. Dalam bahasa sekarang
lebih populer disebut dengan local genius. Di wilayah kawasan seribu ruamh
gadang, Sungai Pagu sebagai sub dari kebudayaan Minangkabau, konsep
mangguntiang sibak baju (menggunting sibak baju) merupakan local genius yang
tidak dimiliki oleh sub kebudayaan lainnya.
Konsep ini dihubungkan dengan pengangkatan seorang penghulu, di mana
sesuai adat diwilayah ini, seorang penghulu menyandang gelar
kepenghuluannya seumur ia hidup. Tetapi, ketika ia merasa sudah tua dan
merasa tidak sanggup lagi memikul beban adat karena ketuaannya, atau ketika
anggota- anggota kaumnya melihat penghulu mereka sudah tidak mungkin lagi
melaksanakan kewajiban-kewajiban adat karena faktor ketuaannya tersebut,
maka atas kesepakatan seluruh anggota kaum serta kesepakatan forum
penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN), maka disepakatilah calon
pengganti yang akan menyandang kewajiban-kewajiban adat dari penghulu
yang digantikan Biasanya, calon pengganti adalah salah seorang dari
kemenakan penghulu yang sudah tua itu yang dianggap dapat memenuhi azas
mungkin dan patut untuk menyandang gelar penghulu. Setelah kesepakatan
8
didapat, maka penghulu pengganti ini dilewakan (diumumkan) kepada
masyarakat dalam suatu upacara adat dengan tetap memakai gelar kebesaran adat
penghulu yang sama dengan yang digantikannya itu.
Penjelasan inilah yang disebut mangguntiang sibak baju. Di dalam konteks
perubahan sosio-kultural, konsep adat mangguntiang sibak baju sebagai local
genius ini tetap berjalan di wilayah budaya kawasan seribu rumah gadang Sungai
Pagu. Konsep adat yang diyakini sudah berumur sangat tua ini implisit
mengandung sifat antisipatif dan adaptif terhadap perubahan zaman. Rumah
gadang yang dibangun atas dasar konsep ini tidak berhubungan secara langsung
dengan tingkat fertilitas kaum rumah gadang atau kondisi rumah gadang yang
telah rusak yang bermuara pada dibangun barunya atau diperbaikinya kembali
sebuah rumah gadang agar dapat menampung penghuni baru, tetapi lebih
cenderung melekat kepada status kepenghuluan kaum tersebut yang terangkat di
mata masyarakat.
d. Faktor adat salingka nagari; Balah Pinang
Konsep balah pinang (belah pinang) juga merupakan local genius wilayah
budaya kawasan seribu rumah gadang. Konsep ini juga berhubungan dengan
status kepenghuluan yang melekat pada suatu kaum. Ketika jumlah anggota
kaum sudah makin berkembang sedemikian rupa dan sudah dibangun pula
rumah gadang tambahan berdasarkan konsep patah tumbuh hilang berganti,
hingga sampailah pada satu titik, jumlah anggota kaum dianggap sudah terlalu
besar dan sulit mengendalikannya, maka muncullah konsep balah pinang sebagai
suatu solusi pemecahan masalah.
Melalui musyawarah besar anggota kaum diperoleh kesepakatan untuk
membelah gelar kepenghuluan kaum ini menjadi dua (pinang dibelah dua), atau
bahkan menjadi tiga (pinang dibelah tiga), tetapi dengan syarat tetap berada di
bawah naungan payung besar gelar kepenghuluan kaum tersebut, yang pada
prosesnya juga melalui musyawarah forum Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Mekanisme adat inilah yang disebut balah pinang (belah pinang). Begitupun
dengan pemberian dan penetapan gelar kepenghuluan, diatur oleh adat
sedemikian rupa,sehingga masyarakat mengetahui bahwa gelar penghulu ini
merupakan belahan dari kepenghuluan pertama dari suatu kaum asal.
Konsep balah pinang yang pada permukaannya lebih berorientasi kepada
pembelahan gelar kepenghuluan, pada hakekatnya adalah membuka suatu lahan
baru dimana nantinya didirikan rumah gadang baru yang menampung
anggota kaum yang pindah. Begitulah seterusnya, sebuah kaum asal yang
berada di bawah satu gelar kepenghuluan, bisa membelah diri menjadi dua atau
tiga sub kaum, yang pada perkembangannya juga menambah jumlah rumah
gadang sebagai tempat hunian anggota kaum yang bersangkutan dibanding
dengan pertumbuhan rumah gadang atas dasar konsep mangguntiang sibak baju,
konsep belah pinang lebih menyumbang banyak terhadap pertumbuhan rumah
gadang pada masanya dan terus membelah diri sesuai perkembangan anggota
kaum, sampai munculnya perubahan pada masyarakat. Perubahan sosio-kultural
yang berdampak para kerabat samande satu persatu meninggalkan rumah gadang,
9
baik dengan membuat rumah sendiri atau pergi merantau, sekarang telah sampai
pada tahap di mana masyarakat lebih hanya untuk mempertahankan dan merawat
rumah gadang yang masih ada untuk menjaga harkat, martabat dan kehormatan
kaum dan status kepenghuluan yang melekat pada kaum tersebut.
Secara adat konsep balah pinang ini masih tetap berlanjut dalam
pembelahan gelar kepenghuluan tanpa keharusan yang ketat untuk membuat
rumah gadang, sebab sebagian besar anggota kaum telah hidup memisah dari
rumah gadang atau tinggal di rantau. Walaupun demikian, sesuai konteks
kajian ini, konsep balah pinang merupakan faktor dominan di wilayah budaya
seribu rumah gadang yang menyumbang terhadap banyak dan tingginya tingkat
kebertahanan rumah gadang yang membedakannya dengan wilayah manapun di
Minangkabau, di mana rata-rata rumah gadang telah lebih dulu mengalami
penyusutan jumlah yang sangat signifikan, bahkan punah.
E. PENUTUP
Rumah gadang pada awalnya difungsikan dan dilibatkan dalam tatanan sosial
masyarakat minangkabau pada dahulunya. Tapi fungsinya sudah mulai bergeser secara
perlahan. Rumah gadang dahulunya dipakai untuk musyawarah mufakat adat, pernikahan
adat, pengangakatan datuk, upacara kematian dan tempat tinggal dari beberapa keluarga
yang diambil dari garis keturunan ibu. Tapi perubahan fungsi rumah gadang Pada saat ini,
sangatlah jelas. Walaupun demikian perubahan fungsi ini lebih banyak pada hal positifnya.
Ini terlihat ketika kawasan seribu rumah gadang dijadikan salah satu destinasi wisata, hal
ini juga telah membantu perekonomian masyarakat sekitar, terawat dan terus
terpeliharanya rumah gadang secara terus menerus.
F. DAFTAR PUSTAKA
Agusti Efi Marthla. (2013). Rumah Gadang Kajian Filosofi Arsitekturminangkabau.
Bandung; Humaniora
Arifin, Zainal. (2009). Dualitas dalam Masyarakat Minangkabau. Kasus Praktik
Perkawinan Minangkabau di Dua Nagari. Disertasi Universitas Gajah Mada
Yogyakarta.
Daryusti. (2011). Hegemoni Penghulu dalam Perspektif Budaya (Edisi Revisi).Yogyakarta
: Multi Grafindo
Noviantti, Yusda. (2020). Transformasi Nilai Budaya Di Kawasan Seribu Rumah Gadang
Pada Etnis Minangkabau Di Kabupaten Solok Selatan. JBS (Jurnal Berbasis Sosial)
Pendidikan IPS STKIP Al Maksum Vol 1, No 2.
Saywan. (2016). Kebertahanan Rumah Gadang dan Perubahan Sosial Di Wilayah
Budaya. Alam Surambi Sungai Pagu Kabupaten Solok Selatan, Jurnal
Penelitian, Universitas Negeri Padang
Sukmawati, Noni. ( 2008). Bagurau Saluang Dan Dendang dalam Perpektif Perubahan
Budaya Minangkabau. Vol 35 No 2 Forum Ilmu Sosial: Universitas Andalas.

10

Anda mungkin juga menyukai