Anda di halaman 1dari 9

Konsep Bentuk Uma Pangembe Melalui Pendekatan Keearifan Lokal

dan Budaya Setempat


Ignatius Nugroho Adi 1)
ABSTRAK
Kampung Ratenggaro merupakan kampung yang terdapat di Pulau Sumba.
Tepatnya terletak pada Kabupaten Sumba Barat Daya, Kecamatan Kodi. Kampung
ini adalah salah satu dari banyak kampung adat yang ada di sumba. Kampung ini
masih melestarikan budaya tradisional. Budaya itu masih mengalir kental pada
kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak terlihat, orang
berjalan mengenakan Henggi (kain di pinggang), kapota (ikat kepala) dan tak lupa
Katopo (pedang khas sumba) bertengger di pinggang, tergantung dalam ikatan
kain. Masyarakat ini masih bangga akan budaya yang ada di Sumba, mereka masih
merawat dan melestarikan budaya seakan budaya itu adalah anak kesayangannya.
Rumah dengan atap menara khas sumba sering di padu dengan bangunanbangunan yang lebih mengkini. Sebuah bukti lain, bahwa masyarakat sumba
memang telah mengenal peradaban, tetapi tetap tidak ingin meninggalkan budaya
asal mereka yang begitu dibanggakan.
Terdapat tiga jenis bangunan yang menjadi ciri khas budaya setempat, yaitu rumah
menara, rumah kebun, dan batu kubur. Setiap bangunan memiliki hierarki dan
fungsi tersendiri yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan budaya.
Batu kubur selalu ada di bagian depan rumah entah itu rumah menara maupun
rumah kebun. Rumah menara, atau dalam bahasa Kodi disebut Uma Pangembe,
merupakan rumah adat yang berada di kampung adat tiap suku yang ada di
Sumba. Atap yang menjulang tinggi dalam budaya setempat dimaksudkan agar
bisa mencapai Sang Ilahi yang mereka percaya, yakni Marapu.
Hal ini dapat dihubungkan dengan pendekatan arsitektur Vernakular, dimana
sebuah kearifan lokal dan aturan aturan tertentu menghasilkan sebuah bentuk atau
desain. Dari hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan sebelumnya,
makalah ini akan membahas hubungan kearifan lokal dengan bangunan melalui
pendekatan peraturan-peraturan deskriptif yang akhirnya menghasilkan bentuk
arsitektural yang dapat digolongkan sebagai arsitektur rakyat.

Kata Kunci: Uma, Sumba, Ratenggaro

1. Mahasiswa Pasca Sarjana Arsitektur. Email:


i.nugroho.adi@gmail.com

PENDAHULUAN
Uma adalah bahasa setempat untuk kata rumah. Uma Pangembe/ Uma Bokolo
dalam bahasa Indonesia berarti rumah menara/ rumah besar. Rumah dalam
kbbi.web.id diartikan sebagai 1. Bangunan untuk tempat tinggal; 2. Bangunan pada
umumnya (seperti gedung). Dalam artian yang pertama, disebutkan kata tempat
untuk tinggal. Schulz (1985) mendefinisikan tinggal dalam 3 bagian. Pertama,
tempat tinggal means to meet others for exchanges of products, ideas, and
feelings, that is, to experience life as a multitude of Possibilities. Kedua, means to
come to an agreement with others, that is, to accept a set of common values.
Ketiga oneself, ini the sense of having a small chosen world of our own.
Hunian atau permukiman yang merupakan perwujudan hasil karya turun temurun
dari seluruh lapisan masyarakat dalam batas-batas teritorial tertentu dinamakan
Vernacular Architectur yang dihadirkan dalam bentuk lingkungan sebagai wadah
aktivitas manusia (Rapoport 1969). Lingkungan juga dijelaskan oleh Rapoport
(1969) sebagai rona fisik yang menjadi tempat manusia melaksanakan kehidupan
dan kebudayaan.
Vernacular memiliki kata dasar verna yang berarti rakyat. Yulianto Sumalyo (1993)
menjelaskan dalam arsitektur istilah ini untuk menyebutkan bentu-bentuk yang
menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat,
diungkapkan dalam bentuk arsitektural. Paul Oliver menyatakan arsitektur
vernakular terdiri dari rumah-rumah rakyat dan bangunan lain, yang terkair dengan
konteks lingkungan mereka dan sumber daya tersedia yang dimiliki atau dibangun,
menggunakan teknologi tradisional. Semua bentuk arsitektur vernakular dibangun
untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk mengakomodasi nilai-nilai, enkonomi
dan cara hidup budaya yang berkembang.
Uma Pangembe atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai rumah menara.
Uma Pangembe adalah rumah asli suku sumba yang sampai sekarang masih
dilestarikan oleh masyarakat setempat dan masih digunakan sebagai tempat tinggal
keluarga besar. 1 Rumah dapat memiliki anggota mencapai 20 KK. Untuk ukuran
yang hanya 100 m2, 20 KK adalah jumlah anggota rumah yang cukup besar. Ini
menjadi salah satu hal yang unik dan menarik untuk diteliti. Disisi lain, unsur
kearifan lokal dan kebudayaan yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk arsitektural
dalam rumah ini sangat disayangkan bila tidak didokumentasikan dan dipelajari.
Rumah tradisional sumba ini mengandung banyak unsur kearifan lokal dan
kebudayaan yang di artikan dalam tata cara membangun dan dalam bentuk rumah.
Membangun Uma harus dilakukan di waktu tertentu dan diharuskan menggunakan
tukang tertentu. Bentuk rumah juga telah ditentukan dari awal oleh pendiri pertama
rumah.

Makalah ini akan membahas konsep bentuk Uma Pangembe dari suku Sumba di
Desa Ratenggaro, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Data-data yang didapat adalah data deskriptif kualitatif dengan
metode naturalistik. Penjelasan dan analisa penelitian banyak yang merupakan
kata-kata dan menggunakan peneliti sebagai instrumen penelitian. Pengambilan
data dilakukan dalam bentuk wawancara terbuka dan pengamatan langsung dalam
proses pembangunan Uma. Data yang didapat dari proses pembangunan 1 rumah
lalu dibandingkan dengan rumah yang sudah ada dalam 1 kampung sehingga
didapatkan data yang lebih umum.

UMA PANGEMBE KATODA KATAKO


Uma Pangembe adalah bahasa Kodi dari rumah menara. Biasanya hanya disebut
dengan uma saja. Rumah menara ini adalah rumah asli Sumba yang sekilas
bentuknya mirip dengan rumah juglo di Jawa, namun dengan bagian menara yang
jauh lebih tinggi menjulang ke langit. Atap pada rumah menara ini sangat tinggi dan
ditutup dengan bahan alang-alang. Masyarakat Sumba berpandangan bahwa
dengan tingginya atap, mereka dapat mendekatkan diri mereka dengan Sang Ilahi.
Kecamatan Kodi di Sumba Barat Daya merupakan salah satu kecamatan yang
memiliki rumah menara dengan atap tinggi di seluruh Sumba. Semakin tinggi
menara suatu rumah mencerminkan kekayaan dari keluarga pemilik rumah
tersebut. Belum tentu dalam satu kampung rumah kepala adalah rumah dengan
menara tertinggi. Dalam kasus Ratenggaro, Uma Katoda Amahu memiliki menara
yang lebih tinggi dibanding dengan Uma Katoda Kataku, padahal Uma Katoda
Kataku adalah rumah kepala di dalam kampung Ratenggaro.
Rumah kepala adalah rumah tempat Ina-Ama atau bapak/ketua dari kampung
tersebut tinggal. Di sana pula tempat mengesahkan segala yang sudah
dimusyawarahkan secara adat. Dinamakan rumah kepala bukan hanya karena di
sana tinggal kepala kampung saja, tetapi dahulu kala dalam pembangunan rumah
kepala ini ditanam kepala manusia di bawah tiang utama dari rumah ini. Kepala
manusia itu adalah kepala musuh dari suku lain dan tidak boleh kepala sembarang
orang, harus kepala dari seorang bangsawan.
Rumah adat ini adalah rumah besar yang terdapat pada kampung adat. Rumah ini
biasanya memiliki 20 keluarga atau bisa lebih. Letak Rumah adat di dalam
kampung seluruhnya ditentukan oleh kepala kampung dan tidak boleh lagi di ubahubah oleh siapapun. Hal ini juga berlaku pada status dan ukuran rumah pada
kampung. Dalam Kampung Ratenggaro sebelum terbakar terdapat 26 rumah
didalam pagar batu dan 2 rumah diluar pagar batu. Rumah adat biasa digunakan
untuk membahas masalah-masalah adat dan rencana-rencana yang akan
dilakukan untuk tahun-tahun mendatang. Persatuan dan persaudaraan sebuah
keluarga dapat dilihat dari keseharian di dalam uma.

Karena rumah ini berada di dalam kampung adat, maka rumah ini juga terikat oleh
syarat-syarat dan kerja adat, yaitu:
1. Yaigho
yaigho dilakukan pada malam hingga sebelum matahari terbit, upacara
ini melibatkan imam marapu dan anggota keluarga sebiha rumah.
Yaigho ini dilakukan pada awal sebelum memulai sebuah proses
pembangunan rumah.
2. Upacara pengukiran Pongga
Upacara ini dilakukan siang hari sebelum malam purnama. Kayu
kadimbil yang sudah ditebang, ditata dan dilakukan upacara adat
dengan membaca syair adat diiringi pukulan gong dan tambur. Setelah
imam marapu selesai membacakan syair adat, imam marapu disertai
seluruh keluarga mengitari pongga tersebut sebanyak empat kali
dengan arah berlawanan arah jarum jam. Empat putaran ini dilakukan
sesuai dengan jumlah pongga yang ada dalam uma. Upacara ini
dilakukan pada siang hari dan mengundang seluruh warga kampung
untuk turut serta dalam upacara ini. Setelah selesai upacara, tiang baru
diukir ketika bulan sudah purnama. Kepala tukang mengukir kayu
semalaman tanpa boleh makan dan minum. Pengukiran tiang harus
diselesaikan dalam satu malam purnama.

3. Pemotongan Bambu
Memotong bambu yang baik adalah pagi-pagi buta sebelum matahari
terbit, hal ini dikarenakan glukosa yang terdapat dalam bambu belum
naik ke batang bambu. Kandungan glukosa yang sedikit pada batang
bambu dapat membuat bambu lebih awet dan tidak mengundang
rayap. Hal ini ternyata juga diterapkan pada bambu yang akan
digunakan untuk sebuah uma. Dalam adat, pemotongan bambu harus
dilakukan pada saat pagi sebelum matahari terbit. Setelah itu
didiamkan dalam hutan. Bambu ini bisa didiamkan lebih dari 2 minggu.
Bambu akan diambil dari hutan ketika bambu sudah dibutuhkan dan
sudah saatnya dipasang.

4. Mencari tali kahikara


Ada sebuah akar-akaran yang sangat kuat. Akar ini disebut kahikara
oleh penduduk setempat. Akar ini berwarna hitam dan berserat
panjang. Ada aturan khusus yang mengharuskan pencari kahikara
untuk tetap diam dan tidak boleh berbicara ketika akan dan sedang
mencari kahikara. Cerita setempat mengatakan bahwa kahikara ketika
ditemukan harus dijinakkan terlebih dahulu, sehingga tidak berubah
wujud. Jika seseorang mencari kahikara dan menemukannya, lalu
berbicara kepada orang lain, maka saat itu juga akar tersebut akan
hilang atau berubah bentuk.
5. Upacara memberdirikan Pongga
Pongga yang telah di ukir, akan diberdirikan dengan upacara yang
mengundang banyak orang. Upacara ini melibatkan banyak orang

karena pemberdirian pongga membutuhkan banyak tenaga. Ribuan


orang bisa hadir untuk mengikuti pemberdirian pongga ini.
Sebelum Pongga diberdirikan, imam marapu akan berbicara dalam
bahasa adat, pembacaan ini berlanjut dengan mengitari pongga yang
sudah ditata dekat lubang Pongga sebanyak empat kali berlawanan
arah jarum jam.

6. Yaigho
Yaigho kembali dilakukan pada malam hari sebelum upacara
pengatapan. Yaigho ini akan dihadiri oleh seluruh anggota keluarga
pemilik uma dan masyarakat kampung. Mulai awal yaigho hingga
selesai penutupan tiang tidak ada makanan yang akan dibagikan oleh
pemilik uma. Hanya kopi dan teh.

7. Upacara pengatapan
Upacara pengatapan dilakukan pagi hari sesudah yaigho. Upacara ini
berupa pesta yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dan
kampung beserta undangan. Anggota keluarga pemilik uma akan
mendirikan tenda-tenda kecil yang berguna untuk menerima seluruh
anggota keluarga dan undang yang hadir. Ribuan tamu akan datang
dan membawa hewan berupa babi untuk diberikan kepada pemilik uma
sebagai tanda partisipasi dalam pesta perayaan pengatapan.

POLA PENATAAN RUANG


Didalam sebuah uma, terdapat empat tiang utama / pongga bokolo. Setiap keluarga
yang tinggal di dalam setiap uma selalu memiliki salah satu dari empat Pongga
tersebut. Setiap Pongga memiliki pemegang utama yang menjadi kepala dari
keluarga pemilik tiang sekaligus memiliki jabatan dalam uma sesuai dengan
Pongga yang dia miliki. Kepemilikan tiang ini diwariskan secara turun temurun
kepada anak laki-laki pertama.
Setiap Pongga memiliki urutan hitung, nama, dan jabatan.

1. Pongga Kataku
Pongga Kataku adalah tiang pertama yang berdiri ketika pembangunan
sebuah uma. Memiliki jabatan sebagai bapak dalam uma, sehingga
pemegang utama dari Pongga Kataku adalah kepala dari sebuah uma.
Pemegang tiang pertama hanya akan mendengarkan masukanmasukan dari anggota keluarga ataupun tamu-tamu yang masuk
kedalam rumah. Menurut orang setempat, pemegang tiang pertama
hanya menjadi telinga yang mendengarkan.

2. Pongga Panginjetong
Pongga Panginjetong adalah tiang kedua yang didirikan pada saat
membangun uma. Memiliki jabatan sebagai ibu dalam uma, sehingga
pemegang utama dari Pongga Panginjetong menjadi wakil kepala dari
sebuah uma. Pemilik bertindak sebagai Perdana Menteri, Pemilik

Pongga Panginjetong ini menyampaikan keadaan dan usulun serta


pertimbangang kepada Kepala uma, dan bertugas untuk meneruskan,
melaksanakan dan mengawasi apa yang diputuskan oleh kepala uma.
Menurut orang setempat, pemegang tiang kedua menjadi mulut yang
berbicara.
3. Pongga Kertanda Handoka Pongga Kertanda Limbioro
Pongga Kertanda Handoka adalah tiang ke 3 yang berdiri saat awal
membangun. Dan Pongga Kertanda Limbioro adalah tiang ke 4, tiang
yang berdiri terakhir saat mendirikan tiang. Kedua tiang ini memiliki
jabatan sebagai penyokong pelaksanaan semua keputusan yang
diputuskan dan menjadi dapat memberika masukan kepada kepala
uma. Pada intinya, tiang ke 3 dan ke 4 menjadi pengatur pelaksanaan
sebuah keputusan. Kepemilikan tiang 3 dan 4 sepenuhnya dikuasai
oleh pemilik Pongga Kataku
Keempat pemilik tiang ini menjadi petinggi rumah yang dihormati oleh seluruh
anggota sebuah uma, pemilik empat Pongga ini yang langsung diturunkan kepada
anak ketika pemilik meninggal.
Pongga juga berarti daerah untuk menaruh barang-barang yang dimiliki oleh
keluarga pemilik pongga. Seseorang yang bukan pemilik daerah tiang harus
meminta ijin jika ingin meletakan barang pada pemilik daerah. Jika tidak hal itu akan
di anggap tidak sopan.Daerah penempatan barang ini tidak menjadi daerah tidur.
Setiap penghuni rumah dapat tidur dimana saja, dibedakan oleh daerah tidur lakilaki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki tempat tidur sendiri-sendiri
tidak menjadi satu sesuai dengan pasangan suami istri. Biasanya, laki-laki tidur di
dekat pintu masuk dan perempuan tidur di bagian belakang rumah.

Uma Katoda Kataku seperti halnya uma yang lain memiliki empat pongga yang
mendukung kehidupan dalam rumah. Akan tetapi, karena kedudukan Uma Katoda
Kataku sebagai Uma Ina Ama, Pemiliki pongga-pongga yang ada dalam Uma
Katoda Kataku sekaligus menjadi orang-orang yang dihormati di dalam kampung

juga. Para pemiliki Pongga dalam Uma Katoda Kataku juga merupakan keturunan
langsung dari pendiri kampung.

ELEMEN-ELEMEN RUMAH

Gambar 3.6
Gambar daerah kekuasaan
rumah
1. Tabalo wawa
bale-bale ini terbuat dari susunan bambu yang dipasang dekat pintu
masuk uma. bale-bale ini digunakan untuk menerima tamu
2. Tabalo Deta/detong
bale-bale yang satu tingkat diatas bale-bale wawa. Tingkatan ini
didapatkan dari 1 lapis susunan bambu tambahan yang diletakan diatas
patenga roro.
3. Kadu Uma
dalam bahasa indonesia berarti Tanduk Rumah. Kadu uma adalah kayu
linyo yang dipahat dan dibentuk yang akan diletakan di atas menara
sebagai sibol Ina Ama di dalam uma. pemasangan kadu uma ini adalah
pekerjaan terakhir sebelum pengatapan
4. Katendeng
Katendeng adalah bale-bale yang diatas tabolo detong. Bentuknya
seperti meja panjang yang bisa digunakan sebagai tempat tidur atau
juga tempat duduk yang tinggi
5. Peda

Peda adalah keranjang yang terdapat tepat di atas perapian. Peda ini
digunakan untuk menyimpan makanan.

6. Katonga Tana
Katonga tana bisa juga dianggap sebagai teras rumah. Katonga tana
memiliki ketinggian 45-50 cm dari tanah. Bale-bale ini digunakan sebgai
tempat duduk saat santai atau tangga untuk masuk ke dalam Uma.
7. Bale kebijaksanaan
Bale-bale ini terletak pada bagian depan uma. Bale-bale ini memiliki
tinggi yang sama dengan Tabalo wawa, tetapi terletak di depan uma
sejajar dengan Katonga tana. Bale kebijaksanaan ini diceritakan
sebagai tempat orang tua menceritakan cerita-cerita kuno. Acara
bercerita ini dilakukan setelah makan, dan diceritakan hingga anakanak tertidur di bale-bale
8. Bilik keramat/Bilik besar/Koro Bokolo
Bilik ini hanya khusus terdapat pada Uma Katoda Kataku sebagai
pemangku jabatan bapak kampung. Bilik keramat ini terletak di bagian
depan, dekat dengan Pongga kataku. Bilik ini berfungsi untuk kamar
leluhur. Dikatakan keramat karena tidak sembarang orang boleh tidur di
bilik ini.
9. Bilik kecil/Koro Tii
Bilik lain selain koro bokolo. Digunakan sebagai tempat tidur dan
menyimpan barang sesuai dengan pembagian tiang.

KESIMPULAN
Secara keseluruhan, rumah dibagi menjadi 3 zona. Tiap zona memiliki fungsi dan
hierarki tersendiri didalam rumah. Zona bawah Untuk menerima tamu dan
bercengkerama tanpa masuk ke rumah. Zona Tengah adalah area untuk hidup dan
menerima tamu yang lebih serius. Zona Atas adalah tempat dimana marapu atau
arwah-arwah tinggal.
Dalam zona-zona ruang, Uma memiliki area-area khusus sesuai dengan budaya
dan jabatan dalam keluarga. Terdapat juga ruang dalam zona tengah untuk
berkomunikasi dengan marapu yang ada di atas. Disisi lain, terdapat juga zonazona publik dimana tamu dapat ikut duduk dan bercengkerama dengan pemilik
rumah
Dalam Urutan pembangunan rumah, Setiap pembangunan dengan skala besar
selalu diawali dengan upacara memohon ijin kepada marapu. Marapu sebagai
agama yang menjadi pusat pertimbangan juga diikutsertakan dalam proses
pembangunan. Demikian semakin menegaskan bahwa, dalam membangun sebuah
uma budaya berperan sangat banyak.

Kearifan lokal yang terdapat pada uma terdapat pada setiap titik rumah, dimulai dari
jabatan pemilik rumah yang di implementasikan kedalam pongga hingga aturan
pemotongan bambu yang harus diikuti secara terukur.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2011) Kampung Ratenggaro Laporan penelitian tidak dipublikasi, Jakarta
Norberg-Schulz, C (1985) The Concept of Dwelling: On The Wat To Figurative
Architecture New York: Electa/Rizzoli.
Papanek, Victor (1995) The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design in
Design and Architecture London: Thames and Hudson
Rapoport, A. (1969) House Form and Culture Milwaukee: University Of Wincosin
Sumalyo, Yulianto (1993) Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Wiranto (2010) Arsitektur Vernakular Indonesia Semaran: Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai