PENDAHULUAN
Uma adalah bahasa setempat untuk kata rumah. Uma Pangembe/ Uma Bokolo
dalam bahasa Indonesia berarti rumah menara/ rumah besar. Rumah dalam
kbbi.web.id diartikan sebagai 1. Bangunan untuk tempat tinggal; 2. Bangunan pada
umumnya (seperti gedung). Dalam artian yang pertama, disebutkan kata tempat
untuk tinggal. Schulz (1985) mendefinisikan tinggal dalam 3 bagian. Pertama,
tempat tinggal means to meet others for exchanges of products, ideas, and
feelings, that is, to experience life as a multitude of Possibilities. Kedua, means to
come to an agreement with others, that is, to accept a set of common values.
Ketiga oneself, ini the sense of having a small chosen world of our own.
Hunian atau permukiman yang merupakan perwujudan hasil karya turun temurun
dari seluruh lapisan masyarakat dalam batas-batas teritorial tertentu dinamakan
Vernacular Architectur yang dihadirkan dalam bentuk lingkungan sebagai wadah
aktivitas manusia (Rapoport 1969). Lingkungan juga dijelaskan oleh Rapoport
(1969) sebagai rona fisik yang menjadi tempat manusia melaksanakan kehidupan
dan kebudayaan.
Vernacular memiliki kata dasar verna yang berarti rakyat. Yulianto Sumalyo (1993)
menjelaskan dalam arsitektur istilah ini untuk menyebutkan bentu-bentuk yang
menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat,
diungkapkan dalam bentuk arsitektural. Paul Oliver menyatakan arsitektur
vernakular terdiri dari rumah-rumah rakyat dan bangunan lain, yang terkair dengan
konteks lingkungan mereka dan sumber daya tersedia yang dimiliki atau dibangun,
menggunakan teknologi tradisional. Semua bentuk arsitektur vernakular dibangun
untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk mengakomodasi nilai-nilai, enkonomi
dan cara hidup budaya yang berkembang.
Uma Pangembe atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai rumah menara.
Uma Pangembe adalah rumah asli suku sumba yang sampai sekarang masih
dilestarikan oleh masyarakat setempat dan masih digunakan sebagai tempat tinggal
keluarga besar. 1 Rumah dapat memiliki anggota mencapai 20 KK. Untuk ukuran
yang hanya 100 m2, 20 KK adalah jumlah anggota rumah yang cukup besar. Ini
menjadi salah satu hal yang unik dan menarik untuk diteliti. Disisi lain, unsur
kearifan lokal dan kebudayaan yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk arsitektural
dalam rumah ini sangat disayangkan bila tidak didokumentasikan dan dipelajari.
Rumah tradisional sumba ini mengandung banyak unsur kearifan lokal dan
kebudayaan yang di artikan dalam tata cara membangun dan dalam bentuk rumah.
Membangun Uma harus dilakukan di waktu tertentu dan diharuskan menggunakan
tukang tertentu. Bentuk rumah juga telah ditentukan dari awal oleh pendiri pertama
rumah.
Makalah ini akan membahas konsep bentuk Uma Pangembe dari suku Sumba di
Desa Ratenggaro, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Data-data yang didapat adalah data deskriptif kualitatif dengan
metode naturalistik. Penjelasan dan analisa penelitian banyak yang merupakan
kata-kata dan menggunakan peneliti sebagai instrumen penelitian. Pengambilan
data dilakukan dalam bentuk wawancara terbuka dan pengamatan langsung dalam
proses pembangunan Uma. Data yang didapat dari proses pembangunan 1 rumah
lalu dibandingkan dengan rumah yang sudah ada dalam 1 kampung sehingga
didapatkan data yang lebih umum.
Karena rumah ini berada di dalam kampung adat, maka rumah ini juga terikat oleh
syarat-syarat dan kerja adat, yaitu:
1. Yaigho
yaigho dilakukan pada malam hingga sebelum matahari terbit, upacara
ini melibatkan imam marapu dan anggota keluarga sebiha rumah.
Yaigho ini dilakukan pada awal sebelum memulai sebuah proses
pembangunan rumah.
2. Upacara pengukiran Pongga
Upacara ini dilakukan siang hari sebelum malam purnama. Kayu
kadimbil yang sudah ditebang, ditata dan dilakukan upacara adat
dengan membaca syair adat diiringi pukulan gong dan tambur. Setelah
imam marapu selesai membacakan syair adat, imam marapu disertai
seluruh keluarga mengitari pongga tersebut sebanyak empat kali
dengan arah berlawanan arah jarum jam. Empat putaran ini dilakukan
sesuai dengan jumlah pongga yang ada dalam uma. Upacara ini
dilakukan pada siang hari dan mengundang seluruh warga kampung
untuk turut serta dalam upacara ini. Setelah selesai upacara, tiang baru
diukir ketika bulan sudah purnama. Kepala tukang mengukir kayu
semalaman tanpa boleh makan dan minum. Pengukiran tiang harus
diselesaikan dalam satu malam purnama.
3. Pemotongan Bambu
Memotong bambu yang baik adalah pagi-pagi buta sebelum matahari
terbit, hal ini dikarenakan glukosa yang terdapat dalam bambu belum
naik ke batang bambu. Kandungan glukosa yang sedikit pada batang
bambu dapat membuat bambu lebih awet dan tidak mengundang
rayap. Hal ini ternyata juga diterapkan pada bambu yang akan
digunakan untuk sebuah uma. Dalam adat, pemotongan bambu harus
dilakukan pada saat pagi sebelum matahari terbit. Setelah itu
didiamkan dalam hutan. Bambu ini bisa didiamkan lebih dari 2 minggu.
Bambu akan diambil dari hutan ketika bambu sudah dibutuhkan dan
sudah saatnya dipasang.
6. Yaigho
Yaigho kembali dilakukan pada malam hari sebelum upacara
pengatapan. Yaigho ini akan dihadiri oleh seluruh anggota keluarga
pemilik uma dan masyarakat kampung. Mulai awal yaigho hingga
selesai penutupan tiang tidak ada makanan yang akan dibagikan oleh
pemilik uma. Hanya kopi dan teh.
7. Upacara pengatapan
Upacara pengatapan dilakukan pagi hari sesudah yaigho. Upacara ini
berupa pesta yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dan
kampung beserta undangan. Anggota keluarga pemilik uma akan
mendirikan tenda-tenda kecil yang berguna untuk menerima seluruh
anggota keluarga dan undang yang hadir. Ribuan tamu akan datang
dan membawa hewan berupa babi untuk diberikan kepada pemilik uma
sebagai tanda partisipasi dalam pesta perayaan pengatapan.
1. Pongga Kataku
Pongga Kataku adalah tiang pertama yang berdiri ketika pembangunan
sebuah uma. Memiliki jabatan sebagai bapak dalam uma, sehingga
pemegang utama dari Pongga Kataku adalah kepala dari sebuah uma.
Pemegang tiang pertama hanya akan mendengarkan masukanmasukan dari anggota keluarga ataupun tamu-tamu yang masuk
kedalam rumah. Menurut orang setempat, pemegang tiang pertama
hanya menjadi telinga yang mendengarkan.
2. Pongga Panginjetong
Pongga Panginjetong adalah tiang kedua yang didirikan pada saat
membangun uma. Memiliki jabatan sebagai ibu dalam uma, sehingga
pemegang utama dari Pongga Panginjetong menjadi wakil kepala dari
sebuah uma. Pemilik bertindak sebagai Perdana Menteri, Pemilik
Uma Katoda Kataku seperti halnya uma yang lain memiliki empat pongga yang
mendukung kehidupan dalam rumah. Akan tetapi, karena kedudukan Uma Katoda
Kataku sebagai Uma Ina Ama, Pemiliki pongga-pongga yang ada dalam Uma
Katoda Kataku sekaligus menjadi orang-orang yang dihormati di dalam kampung
juga. Para pemiliki Pongga dalam Uma Katoda Kataku juga merupakan keturunan
langsung dari pendiri kampung.
ELEMEN-ELEMEN RUMAH
Gambar 3.6
Gambar daerah kekuasaan
rumah
1. Tabalo wawa
bale-bale ini terbuat dari susunan bambu yang dipasang dekat pintu
masuk uma. bale-bale ini digunakan untuk menerima tamu
2. Tabalo Deta/detong
bale-bale yang satu tingkat diatas bale-bale wawa. Tingkatan ini
didapatkan dari 1 lapis susunan bambu tambahan yang diletakan diatas
patenga roro.
3. Kadu Uma
dalam bahasa indonesia berarti Tanduk Rumah. Kadu uma adalah kayu
linyo yang dipahat dan dibentuk yang akan diletakan di atas menara
sebagai sibol Ina Ama di dalam uma. pemasangan kadu uma ini adalah
pekerjaan terakhir sebelum pengatapan
4. Katendeng
Katendeng adalah bale-bale yang diatas tabolo detong. Bentuknya
seperti meja panjang yang bisa digunakan sebagai tempat tidur atau
juga tempat duduk yang tinggi
5. Peda
Peda adalah keranjang yang terdapat tepat di atas perapian. Peda ini
digunakan untuk menyimpan makanan.
6. Katonga Tana
Katonga tana bisa juga dianggap sebagai teras rumah. Katonga tana
memiliki ketinggian 45-50 cm dari tanah. Bale-bale ini digunakan sebgai
tempat duduk saat santai atau tangga untuk masuk ke dalam Uma.
7. Bale kebijaksanaan
Bale-bale ini terletak pada bagian depan uma. Bale-bale ini memiliki
tinggi yang sama dengan Tabalo wawa, tetapi terletak di depan uma
sejajar dengan Katonga tana. Bale kebijaksanaan ini diceritakan
sebagai tempat orang tua menceritakan cerita-cerita kuno. Acara
bercerita ini dilakukan setelah makan, dan diceritakan hingga anakanak tertidur di bale-bale
8. Bilik keramat/Bilik besar/Koro Bokolo
Bilik ini hanya khusus terdapat pada Uma Katoda Kataku sebagai
pemangku jabatan bapak kampung. Bilik keramat ini terletak di bagian
depan, dekat dengan Pongga kataku. Bilik ini berfungsi untuk kamar
leluhur. Dikatakan keramat karena tidak sembarang orang boleh tidur di
bilik ini.
9. Bilik kecil/Koro Tii
Bilik lain selain koro bokolo. Digunakan sebagai tempat tidur dan
menyimpan barang sesuai dengan pembagian tiang.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan, rumah dibagi menjadi 3 zona. Tiap zona memiliki fungsi dan
hierarki tersendiri didalam rumah. Zona bawah Untuk menerima tamu dan
bercengkerama tanpa masuk ke rumah. Zona Tengah adalah area untuk hidup dan
menerima tamu yang lebih serius. Zona Atas adalah tempat dimana marapu atau
arwah-arwah tinggal.
Dalam zona-zona ruang, Uma memiliki area-area khusus sesuai dengan budaya
dan jabatan dalam keluarga. Terdapat juga ruang dalam zona tengah untuk
berkomunikasi dengan marapu yang ada di atas. Disisi lain, terdapat juga zonazona publik dimana tamu dapat ikut duduk dan bercengkerama dengan pemilik
rumah
Dalam Urutan pembangunan rumah, Setiap pembangunan dengan skala besar
selalu diawali dengan upacara memohon ijin kepada marapu. Marapu sebagai
agama yang menjadi pusat pertimbangan juga diikutsertakan dalam proses
pembangunan. Demikian semakin menegaskan bahwa, dalam membangun sebuah
uma budaya berperan sangat banyak.
Kearifan lokal yang terdapat pada uma terdapat pada setiap titik rumah, dimulai dari
jabatan pemilik rumah yang di implementasikan kedalam pongga hingga aturan
pemotongan bambu yang harus diikuti secara terukur.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2011) Kampung Ratenggaro Laporan penelitian tidak dipublikasi, Jakarta
Norberg-Schulz, C (1985) The Concept of Dwelling: On The Wat To Figurative
Architecture New York: Electa/Rizzoli.
Papanek, Victor (1995) The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design in
Design and Architecture London: Thames and Hudson
Rapoport, A. (1969) House Form and Culture Milwaukee: University Of Wincosin
Sumalyo, Yulianto (1993) Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Wiranto (2010) Arsitektur Vernakular Indonesia Semaran: Universitas Diponegoro